Perkawinan agung
Drupadi dengan kelima Pandawa sampai pula ke telinga Widura, satu hal yang
menyebabkan rasa gembira dan syukur tiada terkira. Pandawa dan ibu Kunthi yang
disangka telah hangus terbakar api kiranya masih hidup dalam keadaan selamat,
bahkan telah menyelenggarakan perkawinan dengan Putri Pancala. Tak sabar Widura
menyampaikan kabar gembira ini kepada Raja Destarastra. “Baginda raja, saya
datang dengan sebuah berita gembira. Hastina telah dinaungi bintang
keberuntungan, istana akan bertambah kuat, Drupadi, Putri Raja Drupada dari
Pancala kini adalah anak menantu Hastina….”
Dalam gelap mata
serta pandangan yang serba hitam, Destarastra tersenyum, ia tak pernah mengira,
kabar gembira ini akan berubah menjadi
hal yang sebaliknya. Dalam persangkaan, Duryudana telah memenangkan sayembara,
berhak menyunting Drupadi. Ia tahu arti persekutuan dengan Pancala, sebuah
kekuatan tak tertandingi. “Benar, sebuah kabar gembira. Segera persiapkan
keberangkatan ke Pancala untuk adat memboyong putri, akan diselenggarakan
upacara megah menyambut Putri Pancala selaku menantu Hastina…”
Darah Widura
tersirap, Yang Mulia Raja kiranya keliru mengartikan kata-katanya, bukan
Duryudana memenangkan sayembara, tetapi Arjuna. Beberapa saat tenggorokan
Widura tercekat, ia harus pandai mengatur kata-kata yang tepat untuk
menyampaikan kabar sesungguhnya, meski kabar itu akan menghapus senyum pada
wajah buta sang raja selama-lamanya. “Mohon ampun baginda. Kiranya Pandawa dan
Ibu Kunthi selalu mendapatkan perlindungan dewata, setelah peristiwa kebakaran
di Waranawata, lima satria dengan ibu agung masih mendapatkan keselamatan.
Sekali lagi mohon ampun, bukan Duryudana memenangkan sayembara, tetapi Arjuna.
Sesuai dengan ajaran yang tertulis dalam kitab sastra kelima Pandawa telah
menyunting Drupadi, kini mereka menetap di Pancala di bawah naungan Raja
Drupada….” Sangat tidak mudah bagi Widura mengatakan hal yang sebenarnya,
tetapi harus. Ia tahu betapa akan sangat kecewa Destarastra, ia tahu betapa
senyum di wajah raja yang buta itu segera berubah menjadi seraut yang diliputi
kegetiran. Sia-sia sang raja mencoba menyembunyikan kekecewaan, Destarastra tak
pernah pandai bersandiwara.
“Ah, Pandawa yang
malang, satria yang kukasihi…. Lama kutunggu kabar, kiranya mereka semua masih
hidup, bahkan telah menikah dengan Putri Pancala pula. Terasa tenang hatiku, upacara pemakaman itu
seharusnya tak perlu diselenggarakan. Syukur kepada dewata yang agung”,
Destarastra berusaha menutupi segala rasa kecewa, ia tahu arti kehidupan bagi
Pandawa, ia tahu arti perkawinan itu. Bagaimana pula perasaan Duryudana,
pangeran tercinta? Bukankah kekalahan ini menyakiti hatinya? Terlebih kalah
bertanding dengan Arjuna yang disangka telah mati. Sebuah kekalahan telak yang
tak mungkin dibayar kembali.
Diam-diam Destarastra
menghela napas panjang, kemenangan itu berarti ia akan berhadapan dengan pertikaian
antara saudara sepupu tanpa kesudahan. Andai sepasang matanya dapat melihat
segala warna kehidupan? Kini, segala sesuatu bahkan tampak lebih gelap.
Dada Destarastra
terasa kian sesak ketika Duryudana kembali dari Pancala dengan wajah muram,
karena tak pernah memenangkan pertandingan. Ia bukan hanya gagal mempersunting
jelita Putri Pancala, ia harus mengakui sebagai satria yang kalah. Wajah
Duryudana semakin kelam ketika ayahanda menyambut kedatangan itu dengan
kata-kata yang tak pernah ingin didengar. “Putraku Duryudana, tak mengapa
engkau tak berhasil menyunting Putri Pancala, Drupadi bukan takdir bagimu.
Dewata mengatur cerita dan rencana berbeda di luar persangkaan manusia. Akan
tetapi, tahukah siapa sebenarnya satria yang memenangkan sayembara?” andai
dapat melihat, Destarastra akan tahu, betapa kelam dan gundah wajah Duryudana.
Duryudana tak segera
menjawab, ia telah kalah. Ia bahkan tak pernah ingin tahu dengan siapa akhirnya
putri jelita itu menikah. Wajah cantik Drupadi semakin menjauh, mencela, dan
menyakiti. Ia ingin melupakan kekalahan seorang peserta sayembara.
“Tahukah siapa
satria yang telah memenangkan sayembara?” sekali l agi Destarastra bertanya.
Hening.
Duryudana merasakan
suasana ganjil dan melukai. Pantaskah seorang putra mahkota menelan kekalahan
dalam mimpi menyunting putri raja? Dada Duryudana terasa terbakar, semakin
berkobar ketika ayahanda raja terus berkata-kata.
“Pandawa dan ibu
Kunthi ternyata masih hidup, menyamar selaku Brahmana. Tak usah terkejut,
Arjuna adalah Brahmana satria yang memenangkan sayembara, kini kelima satria
telah menikahi Drupadi, menetap di istana di bawah perlindungan Raja Pancala.
Mereka bersembunyi setelah menyelamatkan diri dari musibah kebakaran ….”
Terbata-bata Destarastra berucap, putra mahkota harus tahu keadaan yang
sebenarnya, ia tahu Duryudana tak pernah menghendaki kehadiran Pandawa,
terlebih selaku pemenang sayembara.
Kali ini Duryudana
bukan hanya merasa kalah, tetapi terbanting kemudian terlempar pada kedalaman
jurang tanpa dasar. Arjuna tengah mentertawainya, satria tampan itu telah
menggagalkan maksud hati menikahi Drupadi, menggagalkan pula persekutuan dengan
Pancala. Di depan Pandawa, Kurawa tak lebih dari topeng rapuh yang seketika
roboh dengan hembusan angin paling
lembut sekalipun. Seratus Kurawa dengan megah Hastina pura bukanlah apa-apa.
Semula wajah Duryudana memucat, perlahan-lahan berubah menjadi semerah bara.
Kurawa pertama tak memerlukan waktu lebih lama untuk menyertakan Dursasana menemui Sangkuni.
“Paman, ternyata
Pandawa lebih cerdik dari yang pernah kita sangka, Purochana tak dapat memikul
kepecayaan, ia gagal dengan kepercayaan itu. Arjuna memenangkan sayembara,
memenangkan Drupadi, merangkul Pancala sebagai sekutu. Apakah kita akan diam
selamanya?” wajah Duryudana lebih kelam dari mendung yang bersiap mencurahkan
hujan, ia tak pernah mampu menerima kekalahan, ia harus menang.
“Pergilah bersama
Karna, menghadap Yang Mulia Raja”, Sangkuni memberikan satu saran. Duryudana
tak menunggu lebih lama untuk meneruskan saran itu. Ia segera mengajak serta
Karna menemui ayahanda.
“Ayahanda pernah
berucap kepada Widura, bahwa masa depan kita akan menjadi lebih baik. Sekarang apa yang
terjadi? Dengan perkawinan Pandawa dan Putri Pancala, Kurawa bukanlah apa-apa.
Pandawa lebih cerdik dari segala persangkaan kita, bila kita tidak hancurkan mereka,
mereka akan terlebih dahulu menghancurkan kita. Apa petunjuk ayahanda?” suara
Duryudana bercampur antara kemarahan dan keluhan.
Destarastra mengheka
napas panjang, ia tahu Kurawa berjumlah serratus orang, Pandawa hanya lima.
Akan tetapi, lima satria ini nyaris tak tertandingi, tak pernah undur dengan
kekuatan seluruh jumlah anak yang pernah dilahirkan. “Benar kata-katamu
putraku, seharusnya kita tidak pernah menyampaikan apa-apa kepada Widura, itu
sebabnya ayahmu yang buta selalu menahan diri. Setelah persekutuan Pandawa
dengan Pancala, apa selanjutnya rencanamu?”
“Sementara saya tak
mampu berpikir, kita kalah dengan telak. Akan tetapi, Pandawa terlahir dari
dua ibu yang berbeda. Bukankah kita bisa
membujuk Nakula dan Sadewa untuk membenci anak-anak Khunti? Bukankah kita masih
bisa memberikan emas dan permata kepada Raja Drupada untuk bersekutu?”
Duryudana harus tahu arti putus asa, jauh di lubuk hati sesungguhnya ia gentar
dengan kesaktian Pandawa, ia bahkan tidak pernah merasa yakin dapat memenangkan
pertikaian itu. Akan tetapi, kata-kata itu tak masuk akal di dalam benak Karna.
“Benarkah kita bisa
memecah belah anak-anak Kunthi dan Madrim? Benarkah kita bisa merangkul Raja
Drupada sebagai sekutu, karena bujukan emas permata?” senyum di wajah tampan
Karna terkulum. Ia tahu kekuatan hati
masing-masing Pandawa untuk tetap bersatu, meski terlahir dari ibu yang
berbeda. Dan, benarkah Raja Drupada bersedia menjadi sekutu? Mengorbankan
perkawinan putri tercinta? Senyum di wajah tampan Karna tak juga sirna.
“Akan tetapi, kita
harus mampu mencegah Pandawa kembali ke Hastina untuk merebut istana, perlu
disebarkan berita bila Pandawa kembali, kelimanya akan berhadapan dengan bahaya
besar”, Duryudana membuat sebuah rencana.
“Apakah Pandawa
benar bisa ditakut-takuti?” Karna kembali membantah, kemampuan Pandawa
menyelamatakan diri dari musibah kebakaran hutan yang disengaja sudah cukup
membuktikan kecerdikannya. Pandawa dan ibu Kunthi tak bisa ditakut-takuti,
mereka terlalu berani sekedar untuk merasakan takut.
“Apakah kita tidak
bisa memisahkan Pandawa melalui perselisihan dengan satu istri Drupadi? Kita
bisa mengupah perempuan penjaja yang cantik mempesona, sehingga Pandawa
melupakan Drupadi. Sang putri akan mengadu pada ayahanda, meminta penghakiman
kemudian kita akan mengambilnya sebagai putri yang malang, dan membuatnya
tercemar?” Duryudana mengutarakan sebuah gagasan.
Kali ini Karna
tergelak, “Pandawa tak bisa dipecah belah dengan cara seperti itu, beragam
musibah yang terlampaui menyebabkan mereka lebih waspada. Raja Drupada tak akan
goyah dengan kemilau emas permata, Drupadi tak akan mengkhianati suaminya”,
jawab Karna dengan suara mantab.
“Bila demikian kita
harus melakukan serangan secara tiba-tiba, sebelum Krisna bergabung dengan
pasukan perang Yadawa yang terkenal. Tipu muslihat terbukti sia-sia….” Suara
Duryudana meradang.
Lalu suasana hening,
Destarastra sang raja bahkan tak mampu mengambil keputusan. Ia tidak tahu
gundah gulana hati putra tercinta, akan tetapi satria mana yang dapat
memusnahkan Pandawa. Kelima satria itu terlalu kuat, para dewata seakan
melindungi keselamatannya. Ia sang raja bahkan tidak mampu menentukan sikap,
maka Destarastra perlu kiranya meminta pertimbangan Bhisma dan Drona.
Senyum di bibir
Bhisma mengembang ketika mendengar kabar, bahwa Pandawa masih hidup dalam
keadaan selamat, Arjuna memenangkan sayembara dalam memperebutkan Putri Pancala
dan kini menetap di istana di bawah naungan Raja Drupada. Senyum itu nyaris
sirna ketika Destarastra berucap,
“Perkawinan Pandawa dan Putri Pancala telah merisaukan hati putraku Duryudana,
adakah suatu cara untuk meniadakan Pandawa, sehingga hati putraku kembali
tenang seperti sediakala?”
Bhisma menghela
napas sesaat kemudian menjawab pertanyaan sang raja, “Yang lalu biarkan
berlalu, semua telah terjadi. Satu hal bahwa Pandawa selalu berhak akan
Hastina, bukankah masyarakat luas menghendaki hal serupa? Dendam dan iri dengki
hanya akan menimbulkan perpecahan. Persilakan Pandawa kembali ke istana,
berikan setengah dari kerajaan, kukira hal ini adalah satu-satunya jalan
keluar”, Bhisma memberikan nasehat, sebuah keputusan yang disetujui pula oleh
Drona.
“Saya setuju dengan
pendapat Bhisma yang agung, persilakan Pandawa kembali ke istana. Bagi kerajaan
menjadi sua”, Drona menganggukkan
kepala, satu hal yang menyebabkan darah Karna mendidih, ia tak sanggup
membayangkan Pandawa hidup dengan dilumuri kemuliaan dengan restu dari yang
agung Bhisma.
“Benarkah demikian
pendapat seorang pendeta, merelakan kembali Pandawa hadir, mendapat hak separuh
kerajaan dan hidup dilumuri kemuliaan. Sanggupkah kita melihat Kurawa tertindas
di bawah kelima kaki Pandawa?” suara Karna menggelegar seakan Guntur, ia tak
dapat melupakan penghinaan Pandawa atas dirinya, anak seorang sais kereta.
Telinga Drona
mendadak seakan terbakar nyala api ketika mendengar penyangkalaan Karna,
“Karna, anak sais kereta. Apabila Yang Mulia Raja tidak mengindahkan nasehat
Bhisma yang agung, Kurawa akan mengalami
kehancuran!” suara Drona tak kalah menggelegar dengan suara Karna, ia
tahu perihal dendam anak seorang sais kereta kepada Pandawa.
Suara Mahaguru Drona
mengakhiri pembicaraan itu.
Destarastra belum
juga mampu mengambil keputusan, ia masih perlu meminta waktu bagi Widura untuk
sebuah nasehat yang bijak. Jawaban Widura tak berbeda dengan nasehat Bhisma dan
Drona, “Nasehat Bhisma yang agung dan Mahaguru Drona benar, Pandawa adalah kemenakan yang mulia raja. Kehancuran Pandawa
adalah kehancuran Hastina, hal itu berarti adalah kehancuran pula bagi Kurawa.
Pandawa selamat dari musibah kebakaran
di hutan Waranawata, seakan suatu bukti Dewata yang agung selalu memberikan
perlindungan. Demikian pula ketika mereka tetap selamat terlunta-lunta di tengah hutan rimba hingga memenangkan sayembara di Kerajaan
Pancala. Seluruh rakyat Hastina bergembira
dengan kabar kemenangan Pandawa, tidak usah selalu menuruti kehendak Duryudana,
Karna dan Drona masih terlalu hijau dalam memahami tata negara. Masih ada jalan
damai untuk menebus semua kesalahan, memanggil Pandawa kembali ke Hastina,
membagi kerajaan menjadi dua”, Widura sependapat dengan nasehat Bhisma dan
Drona.
Destarastra, sang
raja yang buta sepasang matanya termangu-mangu, ia tak dapat menyangkal
kebenaran kata-kata Bhisma, Drona, dan kini Widura. Ia berkewajiban bersikap
adil terhadap Pandawa, andai kelima satria itu bukan kemenakannya sekalipun,
hati baiknya berbisik untuk bersikap bijak. Akan tetapi, apakah Kurawa akan
merasa damai dengan keputusan ini? Kepala Destarastra terasa nyeri, Kurawa tak
pernah merasa nyaman selama Pandawa masih bercokol di muka bumi. Kepada siapa
sebenarnya ia harus memihak? Pandangan sepasang matanya terasa lebih gelap dan
menyakiti. Mengapa ia harus terlahir sebagai raja yang buta?
Ketika akhirnya
Destarastra memerintah Widura bagi penjemputan terhadap Pandawa, Drupadi, dan
Kunthi, dendam di dada Kurawa kembali berpijar sebagai bara yang semakin
langgeng di dalam sekam. Di mata Duryudana seluruh pilar istana seakan menyala bagai lidah api. Akan tetapi, ia
hanya bisa diam, tak mampu menentang kehendak raja, sungguhpun ia telah
mengajukan keberatan.
Sampai di Kerajaan
Pancala, Widura menyerahkan persembahan emas dan permata yang berkilau
menyilaukan sebagai ucapan salam dari Raja Destarastra kepada Raja Drupada.
“Dapatkah saya bertemu dengan Pandawa untuk menyampaikan sepucuk surat dari
Raja Destarastra, baginda menghendaki upaya damai, mempersilakan Pandawa
kembali ke Hastina, membagi kerajaan menjadi dua”, kata-kata Widura penuh
hormat dan santun. Ia tengah berhadapan dengan seorang raja besar yang
berkuasa.
“Pandawa benar ada
di bawah naungan Raja Pancala, akan tetapi aku tak berhak mengubah pendirian
serta segala rencananya”, Drupada menyembunyikan rasa curiga, ia tak sepenuhnya
percaya pada niat baik Destarastra.
Masih dengan rasa
hormat Widura menemui Kunthi untuk menyampaikan pesan Destarastra, hati Widura
terasa damai ketika melihat senyum di bibir Kunthi. “Widura, anak Wichitrawirya
engkau telah menyelamatkan anak-anakku. Engkau menganggap Pandawa selaku anakmu
pula, tak sepenuhnya aku mempercayai Destarastra, tetapi aku masih bisa
mempercayakan keselamatan Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa serta
Drupadi kepadamu”, suara Kunthi lembut, ia tahu tengah berhadapan dengan siapa.
“Pandawa akan
mewarisi kerajaan, memperoleh kebesaran dan kemakmuran, bukan kemusnahan. Mari
kita pergi ….” Widura membungkukkan badannya dengan takjim, ia sangat berharap
Kunthi akan memenuhi permintaan ini. Suatu kesalahan bila pewaris Hastina harus
berteduh di bawah naungan Raja Drupada, kelima satria dan ibu agung memiliki
istana yang sejatinya.
“Benar ibu agung
Kunthi, Pandawa memiliki kerajaan serta berhak kembali ke tempat yang
sebenarnya. Pergilah….” Drupada tak mengucapkan kata-kata yang salah, ia
menganggukkan kepala dengan bijak, senyumnya dikulum.
Dengan restu dari
Raja Pancala, Pandawa, Kunthi serta Drupadi berkemas meninggalkan istana dalam pengawalan Widura dan prajurit Hastina pada
sebuah iring-iringan yang disambut suka cita rakyat Hastina. Jalan raya dihiasi
aneka kembang warna warni, menebarkan aroma mewangi, diperciki air suci, rakyat
bersorak sorai, melambaikan tangan. Andai sepasang mata Destarastra dapat
melihat, betapa keruh wajah Kurawa, betapa ceria wajah rakyat Hastina yang
mendapatkan kembali, bahwa Pandawa masih berada dalam keadaan sehat hadir
bersama Kunthi serta jelita Putri Pancala sebagai istri. Destarastra mencoba
bersikap adil, meski suara hati berbisik lain.
Pada penobatan
Yudhistira selaku Raja Hastina, Destarastra menyampaikan amanat, “Yudhistira
putra Pandu, kini engkau seorang raja. Ayahandamu, adikku Pandu telah membawa
Hastina menuju kemakmuran, harapanku engkau akan melakukan hal yang sama bagi
rakyatmu. Buktikan bahwa Yudhistira dan Pandawa benar adalah putra Pandu,
adinda yang mencintaiku dan senang pula berbagi nasehat. Maafkan semua
kesalahan Kurawa anak-anakku, mereka adalah saudara sepupu, sangat kuharap
bahwa damai akan selalu terentang di antara sanak saudara. Pergilah ke
Kandawaprastha, bangunlah ibu kota kerajaan di sana. Dahulu kala, Pururawa,
Nahusya, dan Yayati leluhur darah Bharata memerintah kerajaan dari tempat yang
sama. Bangunlah kembali Kandawaprastha dengan nama baru dengan seluruh restuku.
Sangat berharap bahwa kerajaanmu akan menjadi makmur, karena Yudhistira Putra
Pandu adalah raja yang adil dan bijaksana”, Destarastra berucap setulus hati,
ia sangat berharap, bahwa penobatan hari ini
akan menjadi suatu hari damai bagi Pandawa dan Kurawa untuk
selama-lamanya.
Andai mata batin
Destarastra dapat melihat jauh, betapa iri hati pada diri Kurawa tak akan
pernah padam hingga kematian meleraikan….
Adapun Pandawa tak
berlama-lama tinggal di Hastina, kelima satria, Kunthi serta Drupadi dapat
menangkap kilatan kebencian pada sepasang mata Kurawa. Pembagian wilayah
kerajaan ini tampaknya bukan menyudahi perasaan iri dengki, tetapi bahkan
memulai babak baru pertikaian yang tak akan pernah diakhiri. Dengan takjim
Pandawa berpamit, bersama Kunti dan Drupadi dalam iring-iringan panjang memulai
perjalanan menuju ke Kandawaprastha. Kerja keras segera dimulai ketika sampai
pada puing-puing ibu kota, batu pertama diletakkan untuk sebuah ibu kota
bernama Indraprastha dan kerajaan bernama Amarta.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar