Senin, 24 Juni 2019

INDRAPRASTA --Mahabhrata, 16 The Great Epic of India


Perkawinan agung Drupadi dengan kelima Pandawa sampai pula ke telinga Widura, satu hal yang menyebabkan rasa gembira dan syukur tiada terkira. Pandawa dan ibu Kunthi yang disangka telah hangus terbakar api kiranya masih hidup dalam keadaan selamat, bahkan telah menyelenggarakan perkawinan dengan Putri Pancala. Tak sabar Widura menyampaikan kabar gembira ini kepada Raja Destarastra. “Baginda raja, saya datang dengan sebuah berita gembira. Hastina telah dinaungi bintang keberuntungan, istana akan bertambah kuat, Drupadi, Putri Raja Drupada dari Pancala kini adalah anak menantu Hastina….”
Dalam gelap mata serta pandangan yang serba hitam, Destarastra tersenyum, ia tak pernah mengira, kabar gembira ini akan berubah  menjadi hal yang sebaliknya. Dalam persangkaan, Duryudana telah memenangkan sayembara, berhak menyunting Drupadi. Ia tahu arti persekutuan dengan Pancala, sebuah kekuatan tak tertandingi. “Benar, sebuah kabar gembira. Segera persiapkan keberangkatan ke Pancala untuk adat memboyong putri, akan diselenggarakan upacara megah menyambut Putri Pancala selaku menantu Hastina…”
Darah Widura tersirap, Yang Mulia Raja kiranya keliru mengartikan kata-katanya, bukan Duryudana memenangkan sayembara, tetapi Arjuna. Beberapa saat tenggorokan Widura tercekat, ia harus pandai mengatur kata-kata yang tepat untuk menyampaikan kabar sesungguhnya, meski kabar itu akan menghapus senyum pada wajah buta sang raja selama-lamanya. “Mohon ampun baginda. Kiranya Pandawa dan Ibu Kunthi selalu mendapatkan perlindungan dewata, setelah peristiwa kebakaran di Waranawata, lima satria dengan ibu agung masih mendapatkan keselamatan. Sekali lagi mohon ampun, bukan Duryudana memenangkan sayembara, tetapi Arjuna. Sesuai dengan ajaran yang tertulis dalam kitab sastra kelima Pandawa telah menyunting Drupadi, kini mereka menetap di Pancala di bawah naungan Raja Drupada….” Sangat tidak mudah bagi Widura mengatakan hal yang sebenarnya, tetapi harus. Ia tahu betapa akan sangat kecewa Destarastra, ia tahu betapa senyum di wajah raja yang buta itu segera berubah menjadi seraut yang diliputi kegetiran. Sia-sia sang raja mencoba menyembunyikan kekecewaan, Destarastra tak pernah pandai bersandiwara.
“Ah, Pandawa yang malang, satria yang kukasihi…. Lama kutunggu kabar, kiranya mereka semua masih hidup, bahkan telah menikah dengan Putri Pancala pula.  Terasa tenang hatiku, upacara pemakaman itu seharusnya tak perlu diselenggarakan. Syukur kepada dewata yang agung”, Destarastra berusaha menutupi segala rasa kecewa, ia tahu arti kehidupan bagi Pandawa, ia tahu arti perkawinan itu. Bagaimana pula perasaan Duryudana, pangeran tercinta? Bukankah kekalahan ini menyakiti hatinya? Terlebih kalah bertanding dengan Arjuna yang disangka telah mati. Sebuah kekalahan telak yang tak mungkin dibayar kembali.
Diam-diam Destarastra menghela napas panjang, kemenangan itu berarti ia akan berhadapan dengan pertikaian antara saudara sepupu tanpa kesudahan. Andai sepasang matanya dapat melihat segala warna kehidupan? Kini, segala sesuatu bahkan tampak lebih gelap.  
Dada Destarastra terasa kian sesak ketika Duryudana kembali dari Pancala dengan wajah muram, karena tak pernah memenangkan pertandingan. Ia bukan hanya gagal mempersunting jelita Putri Pancala, ia harus mengakui sebagai satria yang kalah. Wajah Duryudana semakin kelam ketika ayahanda menyambut kedatangan itu dengan kata-kata yang tak pernah ingin didengar. “Putraku Duryudana, tak mengapa engkau tak berhasil menyunting Putri Pancala, Drupadi bukan takdir bagimu. Dewata mengatur cerita dan rencana berbeda di luar persangkaan manusia. Akan tetapi, tahukah siapa sebenarnya satria yang memenangkan sayembara?” andai dapat melihat, Destarastra akan tahu, betapa kelam dan gundah wajah Duryudana.
Duryudana tak segera menjawab, ia telah kalah. Ia bahkan tak pernah ingin tahu dengan siapa akhirnya putri jelita itu menikah. Wajah cantik Drupadi semakin menjauh, mencela, dan menyakiti. Ia ingin melupakan kekalahan seorang peserta sayembara.
“Tahukah siapa satria yang telah memenangkan sayembara?” sekali l agi Destarastra bertanya.
Hening.
Duryudana merasakan suasana ganjil dan melukai. Pantaskah seorang putra mahkota menelan kekalahan dalam mimpi menyunting putri raja? Dada Duryudana terasa terbakar, semakin berkobar ketika ayahanda raja terus berkata-kata.
“Pandawa dan ibu Kunthi ternyata masih hidup, menyamar selaku Brahmana. Tak usah terkejut, Arjuna adalah Brahmana satria yang memenangkan sayembara, kini kelima satria telah menikahi Drupadi, menetap di istana di bawah perlindungan Raja Pancala. Mereka bersembunyi setelah menyelamatkan diri dari musibah kebakaran ….” Terbata-bata Destarastra berucap, putra mahkota harus tahu keadaan yang sebenarnya, ia tahu Duryudana tak pernah menghendaki kehadiran Pandawa, terlebih selaku pemenang sayembara.
Kali ini Duryudana bukan hanya merasa kalah, tetapi terbanting kemudian terlempar pada kedalaman jurang tanpa dasar. Arjuna tengah mentertawainya, satria tampan itu telah menggagalkan maksud hati menikahi Drupadi, menggagalkan pula persekutuan dengan Pancala. Di depan Pandawa, Kurawa tak lebih dari topeng rapuh yang seketika roboh dengan hembusan angin  paling lembut sekalipun. Seratus Kurawa dengan megah Hastina pura bukanlah apa-apa. Semula wajah Duryudana memucat, perlahan-lahan berubah menjadi semerah bara. Kurawa pertama tak memerlukan waktu lebih lama untuk menyertakan Dursasana  menemui Sangkuni.
“Paman, ternyata Pandawa lebih cerdik dari yang pernah kita sangka, Purochana tak dapat memikul kepecayaan, ia gagal dengan kepercayaan itu. Arjuna memenangkan sayembara, memenangkan Drupadi, merangkul Pancala sebagai sekutu. Apakah kita akan diam selamanya?” wajah Duryudana lebih kelam dari mendung yang bersiap mencurahkan hujan, ia tak pernah mampu menerima kekalahan, ia harus menang.
“Pergilah bersama Karna, menghadap Yang Mulia Raja”, Sangkuni memberikan satu saran. Duryudana tak menunggu lebih lama untuk meneruskan saran itu. Ia segera mengajak serta Karna menemui ayahanda.
“Ayahanda pernah berucap kepada Widura, bahwa masa depan kita akan  menjadi lebih baik. Sekarang apa yang terjadi? Dengan perkawinan Pandawa dan Putri Pancala, Kurawa bukanlah apa-apa. Pandawa lebih cerdik dari segala persangkaan kita, bila kita tidak hancurkan mereka, mereka akan terlebih dahulu menghancurkan kita. Apa petunjuk ayahanda?” suara Duryudana bercampur antara kemarahan dan keluhan.
Destarastra mengheka napas panjang, ia tahu Kurawa berjumlah serratus orang, Pandawa hanya lima. Akan tetapi, lima satria ini nyaris tak tertandingi, tak pernah undur dengan kekuatan seluruh jumlah anak yang pernah dilahirkan. “Benar kata-katamu putraku, seharusnya kita tidak pernah menyampaikan apa-apa kepada Widura, itu sebabnya ayahmu yang buta selalu menahan diri. Setelah persekutuan Pandawa dengan Pancala, apa selanjutnya rencanamu?”
“Sementara saya tak mampu berpikir, kita kalah dengan telak. Akan tetapi, Pandawa terlahir dari dua  ibu yang berbeda. Bukankah kita bisa membujuk Nakula dan Sadewa untuk membenci anak-anak Khunti? Bukankah kita masih bisa memberikan emas dan permata kepada Raja Drupada untuk bersekutu?” Duryudana harus tahu arti putus asa, jauh di lubuk hati sesungguhnya ia gentar dengan kesaktian Pandawa, ia bahkan tidak pernah merasa yakin dapat memenangkan pertikaian itu. Akan tetapi, kata-kata itu tak masuk akal di dalam benak Karna.   
“Benarkah kita bisa memecah belah anak-anak Kunthi dan Madrim? Benarkah kita bisa merangkul Raja Drupada sebagai sekutu, karena bujukan emas permata?” senyum di wajah tampan Karna terkulum. Ia tahu kekuatan hati  masing-masing Pandawa untuk tetap bersatu, meski terlahir dari ibu yang berbeda. Dan, benarkah Raja Drupada bersedia menjadi sekutu? Mengorbankan perkawinan putri tercinta? Senyum di wajah tampan Karna tak juga sirna.
“Akan tetapi, kita harus mampu mencegah Pandawa kembali ke Hastina untuk merebut istana, perlu disebarkan berita bila Pandawa kembali, kelimanya akan berhadapan dengan bahaya besar”, Duryudana membuat sebuah rencana.
“Apakah Pandawa benar bisa ditakut-takuti?” Karna kembali membantah, kemampuan Pandawa menyelamatakan diri dari musibah kebakaran hutan yang disengaja sudah cukup membuktikan kecerdikannya. Pandawa dan ibu Kunthi tak bisa ditakut-takuti, mereka terlalu berani sekedar untuk merasakan takut.
“Apakah kita tidak bisa memisahkan Pandawa melalui perselisihan dengan satu istri Drupadi? Kita bisa mengupah perempuan penjaja yang cantik mempesona, sehingga Pandawa melupakan Drupadi. Sang putri akan mengadu pada ayahanda, meminta penghakiman kemudian kita akan mengambilnya sebagai putri yang malang, dan membuatnya tercemar?” Duryudana mengutarakan sebuah gagasan.
Kali ini Karna tergelak, “Pandawa tak bisa dipecah belah dengan cara seperti itu, beragam musibah yang terlampaui menyebabkan mereka lebih waspada. Raja Drupada tak akan goyah dengan kemilau emas permata, Drupadi tak akan mengkhianati suaminya”, jawab Karna dengan suara mantab.
“Bila demikian kita harus melakukan serangan secara tiba-tiba, sebelum Krisna bergabung dengan pasukan perang Yadawa yang terkenal. Tipu muslihat terbukti sia-sia….” Suara Duryudana meradang.
Lalu suasana hening, Destarastra sang raja bahkan tak mampu mengambil keputusan. Ia tidak tahu gundah gulana hati putra tercinta, akan tetapi satria mana yang dapat memusnahkan Pandawa. Kelima satria itu terlalu kuat, para dewata seakan melindungi keselamatannya. Ia sang raja bahkan tidak mampu menentukan sikap, maka Destarastra perlu kiranya meminta pertimbangan Bhisma dan Drona.
Senyum di bibir Bhisma mengembang ketika mendengar kabar, bahwa Pandawa masih hidup dalam keadaan selamat, Arjuna memenangkan sayembara dalam memperebutkan Putri Pancala dan kini menetap di istana di bawah naungan Raja Drupada. Senyum itu nyaris sirna  ketika Destarastra berucap, “Perkawinan Pandawa dan Putri Pancala telah merisaukan hati putraku Duryudana, adakah suatu cara untuk meniadakan Pandawa, sehingga hati putraku kembali tenang seperti sediakala?”
Bhisma menghela napas sesaat kemudian menjawab pertanyaan sang raja, “Yang lalu biarkan berlalu, semua telah terjadi. Satu hal bahwa Pandawa selalu berhak akan Hastina, bukankah masyarakat luas menghendaki hal serupa? Dendam dan iri dengki hanya akan menimbulkan perpecahan. Persilakan Pandawa kembali ke istana, berikan setengah dari kerajaan, kukira hal ini adalah satu-satunya jalan keluar”, Bhisma memberikan nasehat, sebuah keputusan yang disetujui pula oleh Drona.
“Saya setuju dengan pendapat Bhisma yang agung, persilakan Pandawa kembali ke istana. Bagi kerajaan  menjadi sua”, Drona menganggukkan kepala, satu hal yang menyebabkan darah Karna mendidih, ia tak sanggup membayangkan Pandawa hidup dengan dilumuri kemuliaan dengan restu dari yang agung Bhisma.
“Benarkah demikian pendapat seorang pendeta, merelakan kembali Pandawa hadir, mendapat hak separuh kerajaan dan hidup dilumuri kemuliaan. Sanggupkah kita melihat Kurawa tertindas di bawah kelima kaki Pandawa?” suara Karna menggelegar seakan Guntur, ia tak dapat melupakan penghinaan Pandawa atas dirinya, anak seorang sais kereta.
Telinga Drona mendadak seakan terbakar nyala api ketika mendengar penyangkalaan Karna, “Karna, anak sais kereta. Apabila Yang Mulia Raja tidak mengindahkan nasehat Bhisma yang agung, Kurawa akan mengalami  kehancuran!” suara Drona tak kalah menggelegar dengan suara Karna, ia tahu perihal dendam anak seorang sais kereta kepada Pandawa.
Suara Mahaguru Drona mengakhiri pembicaraan itu.
Destarastra belum juga mampu mengambil keputusan, ia masih perlu meminta waktu bagi Widura untuk sebuah nasehat yang bijak. Jawaban Widura tak berbeda dengan nasehat Bhisma dan Drona, “Nasehat Bhisma yang agung dan Mahaguru Drona benar, Pandawa adalah  kemenakan yang mulia raja. Kehancuran Pandawa adalah kehancuran Hastina, hal itu berarti adalah kehancuran pula bagi Kurawa. Pandawa selamat dari musibah  kebakaran di hutan Waranawata, seakan suatu bukti Dewata yang agung selalu memberikan perlindungan. Demikian pula ketika mereka tetap selamat  terlunta-lunta di tengah hutan rimba  hingga memenangkan sayembara di Kerajaan Pancala.  Seluruh rakyat Hastina bergembira dengan kabar kemenangan Pandawa, tidak usah selalu menuruti kehendak Duryudana, Karna dan Drona masih terlalu hijau dalam memahami tata negara. Masih ada jalan damai untuk menebus semua kesalahan, memanggil Pandawa kembali ke Hastina, membagi kerajaan menjadi dua”, Widura sependapat dengan nasehat Bhisma dan Drona.
Destarastra, sang raja yang buta sepasang matanya termangu-mangu, ia tak dapat menyangkal kebenaran kata-kata Bhisma, Drona, dan kini Widura. Ia berkewajiban bersikap adil terhadap Pandawa, andai kelima satria itu bukan kemenakannya sekalipun, hati baiknya berbisik untuk bersikap bijak. Akan tetapi, apakah Kurawa akan merasa damai dengan keputusan ini? Kepala Destarastra terasa nyeri, Kurawa tak pernah merasa nyaman selama Pandawa masih bercokol di muka bumi. Kepada siapa sebenarnya ia harus memihak? Pandangan sepasang matanya terasa lebih gelap dan menyakiti. Mengapa ia harus terlahir sebagai raja yang buta?
Ketika akhirnya Destarastra memerintah Widura bagi penjemputan terhadap Pandawa, Drupadi, dan Kunthi, dendam di dada Kurawa kembali berpijar sebagai bara yang semakin langgeng di dalam sekam. Di mata Duryudana seluruh pilar istana seakan  menyala bagai lidah api. Akan tetapi, ia hanya bisa diam, tak mampu menentang kehendak raja, sungguhpun ia telah mengajukan keberatan.
Sampai di Kerajaan Pancala, Widura menyerahkan persembahan emas dan permata yang berkilau menyilaukan sebagai ucapan salam dari Raja Destarastra kepada Raja Drupada. “Dapatkah saya bertemu dengan Pandawa untuk menyampaikan sepucuk surat dari Raja Destarastra, baginda menghendaki upaya damai, mempersilakan Pandawa kembali ke Hastina, membagi kerajaan menjadi dua”, kata-kata Widura penuh hormat dan santun. Ia tengah berhadapan dengan seorang raja besar yang berkuasa.
“Pandawa benar ada di bawah naungan Raja Pancala, akan tetapi aku tak berhak mengubah pendirian serta segala rencananya”, Drupada menyembunyikan rasa curiga, ia tak sepenuhnya percaya pada niat baik Destarastra.
Masih dengan rasa hormat Widura menemui Kunthi untuk menyampaikan pesan Destarastra, hati Widura terasa damai ketika melihat senyum di bibir Kunthi. “Widura, anak Wichitrawirya engkau telah menyelamatkan anak-anakku. Engkau menganggap Pandawa selaku anakmu pula, tak sepenuhnya aku mempercayai Destarastra, tetapi aku masih bisa mempercayakan keselamatan Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa serta Drupadi kepadamu”, suara Kunthi lembut, ia tahu tengah berhadapan dengan siapa.
“Pandawa akan mewarisi kerajaan, memperoleh kebesaran dan kemakmuran, bukan kemusnahan. Mari kita pergi ….” Widura membungkukkan badannya dengan takjim, ia sangat berharap Kunthi akan memenuhi permintaan ini. Suatu kesalahan bila pewaris Hastina harus berteduh di bawah naungan Raja Drupada, kelima satria dan ibu agung memiliki istana yang sejatinya.
“Benar ibu agung Kunthi, Pandawa memiliki kerajaan serta berhak kembali ke tempat yang sebenarnya. Pergilah….” Drupada tak mengucapkan kata-kata yang salah, ia menganggukkan kepala dengan bijak, senyumnya dikulum.
Dengan restu dari Raja Pancala, Pandawa, Kunthi serta Drupadi berkemas meninggalkan istana  dalam pengawalan Widura dan prajurit Hastina pada sebuah iring-iringan yang disambut suka cita rakyat Hastina. Jalan raya dihiasi aneka kembang warna warni, menebarkan aroma mewangi, diperciki air suci, rakyat bersorak sorai, melambaikan tangan. Andai sepasang mata Destarastra dapat melihat, betapa keruh wajah Kurawa, betapa ceria wajah rakyat Hastina yang mendapatkan kembali, bahwa Pandawa masih berada dalam keadaan sehat hadir bersama Kunthi serta jelita Putri Pancala sebagai istri. Destarastra mencoba bersikap adil, meski suara hati berbisik lain.
Pada penobatan Yudhistira selaku Raja Hastina, Destarastra menyampaikan amanat, “Yudhistira putra Pandu, kini engkau seorang raja. Ayahandamu, adikku Pandu telah membawa Hastina menuju kemakmuran, harapanku engkau akan melakukan hal yang sama bagi rakyatmu. Buktikan bahwa Yudhistira dan Pandawa benar adalah putra Pandu, adinda yang mencintaiku dan senang pula berbagi nasehat. Maafkan semua kesalahan Kurawa anak-anakku, mereka adalah saudara sepupu, sangat kuharap bahwa damai akan selalu terentang di antara sanak saudara. Pergilah ke Kandawaprastha, bangunlah ibu kota kerajaan di sana. Dahulu kala, Pururawa, Nahusya, dan Yayati leluhur darah Bharata memerintah kerajaan dari tempat yang sama. Bangunlah kembali Kandawaprastha dengan nama baru dengan seluruh restuku. Sangat berharap bahwa kerajaanmu akan menjadi makmur, karena Yudhistira Putra Pandu adalah raja yang adil dan bijaksana”, Destarastra berucap setulus hati, ia sangat berharap, bahwa penobatan hari ini  akan menjadi suatu hari damai bagi Pandawa dan Kurawa untuk selama-lamanya.
Andai mata batin Destarastra dapat melihat jauh, betapa iri hati pada diri Kurawa tak akan pernah padam hingga kematian meleraikan….
Adapun Pandawa tak berlama-lama tinggal di Hastina, kelima satria, Kunthi serta Drupadi dapat menangkap kilatan kebencian pada sepasang mata Kurawa. Pembagian wilayah kerajaan ini tampaknya bukan menyudahi perasaan iri dengki, tetapi bahkan memulai babak baru pertikaian yang tak akan pernah diakhiri. Dengan takjim Pandawa berpamit, bersama Kunti dan Drupadi dalam iring-iringan panjang memulai perjalanan menuju ke Kandawaprastha. Kerja keras segera dimulai ketika sampai pada puing-puing ibu kota, batu pertama diletakkan untuk sebuah ibu kota bernama Indraprastha dan kerajaan bernama Amarta.

                                        
                                                     ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...