Satu kecerobohan benar-benar telah
saya lakukan dengan menganggap, bahwa menetap di seputar lingkungan tempat
tinggal adalah aman. Tak pernah sedikitpun saya berfikir akan ada serangan
fisik yang berakibat langsung mengancam keselamatan. Hari itu, dengan nyaman
saya menikmati kesendirian, anak pertama telah
memulai semester kesatu perkuliahan, anak kedua sementara berlibur
tinggal dengan kakaknya. Saya mengira bisa menikmati hari-hari lengang dengan
damai tanpa repot menyiapkan makan yang lebih sering diprotes, karena tidak
enak, bertatapan dengan wajah masgul, karena terlambat membeli kue sebagai bekal ke sekolah serta protes-protes lain,
karena selalu ada yang tidak beres di dalam rumah.
Malam itu saya tertidur dengan nyenyak
berselimut hangat bermimpi indah, tetapi mimpi itu terjaga ketika tiba-tiba
terdengar suara ketukan di pintu kamar serta beberapa kali handle pintu
ditarik. Kali ini saya tidak bermimpi, kucing pasti tidak bisa mengetuk pintu.
Lantas, siapa? Dengan mengantuk saya membuka pintu memeriksa situasi di ruang
TV dan ruang makan, sunyi. Akan tetapi, udara dingin menghembus pertanda pintu
depan dan belakang terbuka lebar. Saya masuk kembali ke dalam kamar mengunci
pintu. Sekejab kemudian terdengar suara berat langkah kaki dari arah dapur,
langkah itu tergesa, cepat, dan berat seolah sepasang telapak kaki dilapisi
lempeng besi. Saya menggigil, menyadari
ada pencuri masuk pada pagi sekitar pukul 02.30 beberapa saat setelah terdengar
suara stom kapal putih.
Saya tahu bahaya terbesar pencuri yang
tertangkap tuan rumah, ia bisa melakukan tindakan kejahatan lebih dari niat
mencuri. Saya telah melangkah sejauh ini hingga anak-anak beranjak dewasa, saya
tidak ingin pencapaian ini berakhir dengan tragis. Tergesa saya telepon polisi,
ponsel tidak diangkat, saya kirim sms dengan tulisan kacau. Sesaat kemudian
ponsel berdering, sambil berbisik saya berucap, “Pencuri masuk rumah, tolong.
Pencuri masuk rumah, tolong ….”.
Terdengar jawaban, “Ya …. Ya …. Saya
segera datang”.
Saya masih memanggil sejumlah nomor
dengan pikiran kacau memohon pertolongan. Percuma menjerit, jarak rumah
tetangga di samping, belakang, dan depan masih beberapa meter, kemungkinan
terburuk semuanya tertidur pulas, tidak akan mendengar jeritan. Sementara suara
langkah kaki di luar kamar semakin menegangkan, langkah itu menuju kamar tengah
serta depan yang tidak terkunci, dengan gegabah terdengar suara laci dibuka dan
ditutup kemudian langkah itu menuju ke bagian belakang rumah. Demikian berulang
kali, jantung saya berpacu, saya tidak berani mengambil tindakan gegabah, saya
harus menghadapi situasi menegangkan ini. Tas kerja berisi surat berharga serta
uang operasional kantor yang belum sempat saya bayarkan, saya lempar ke bawah kolong. Saya tak akan mampu
menanggung kerugian sejumlah satu tahun gaji.
Akhirnya tiba saat paling menakutkan,
ialah ketika pencuri mulai membongkar pintu kamar yang terbuat dari triplek,
saya tetap menutup mulut, meski suhu tubuh semakin dingin bagai terjebak di
dalam kulkas. Beberapa saat kemudian tampak kepala botak terjulur dari daun
pintu yang jebol dengan muka tepat menghadap ke lantai. Ia seorang laki-laki
tua mengenakan T Shirt coklat muda dengan lengan coklat tua, saya perhatikan
benar ciri-ciri itu. Sebelum orang tak dikenal itu dapat bertindak lebih jauh,
dengan sepenuh tenaga saya semprotkan baygon tepat di mata sebelah kiri.
Pencuri itu tampak terkejut seakan disengat aliran listrik, tanpa menjerit atau
mengucap sepatah kata ia berlari cepat ke arah ruang tamu, meninggalkan rumah
dengan tergesa. Di lantai kamar saya
masih terduduk berselubung kain, menggigil. Mungkin antara saya dan pencuri mengalami
ketakutan yang sama. Satu hal yang
tiba-tiba tersisa di dalam benak adalah, hampa. Saya kehilangan seluruh
kenangan serta harapan yang pernah rapi tertata.
Saya masih harus menggigil beberapa
menit hingga dua orang polisi datang dengan revolver di tangan. Dengan sigap
saya membuka kunci pintu kamar, menerima kehadiran dua orang anggota keamanan.
Kami memeriksa sekeliling rumah, karpet di depan pintu kamar telah acak-acakan.
Pintu pagar, ruang tamu, pintu belakang, dan pintu ke tempat pembuangan sampah
terbuka lebar. Tak ada barang yang sempat dibawa pencuri, kecuali kunci pintu
ruang tamu serta kunci motor. “Bagaimana pencuri bisa masuk ke dalam rumah?”
kami bertanya-tanya.
Ketika pagi memecah, seorang anggota
kepolisian kembali datang dengan membawa perlengkapan sidik jari. Seluruh
handle pintu diperiksa, tetapi tidak ada bekas sidik jari yang tertinggal. Saya
terduduk lemas di kursi teras depan, kehilangan akal sehat. Ketika salah
seorang polisi memperhatikan jendela, ia mendapati kawat ram dalam keadaan
rusak, lengan manusia dewasa bisa terjulur ke dalam untuk memutar anak kunci
yang menempel di handle pintu. Pintu pagar selama enam tahun tidak pernah saya
kunci, karena saya merasa lingkungan tempat tinggal ini aman, tak pernah
menyangka akan dikunjungi tamu tak diundang pada dini hari.
Saya masih meminta anggota kepolisian
sementara di rumah sampai saya tiba kembali dari kampung untuk memanggil
kerabat datqng. Kesendirian ternyata menakutkan. Tukang datang beberapa jam
kemudian untuk memperbaiki kerusakan,
membuat pintu darurat pada setiap kamar, sehingga saya bisa mengambil tindakan
pengamanan bila ancaman tina-tiba datang. Saya masih mencari ciri-ciri orang yang
pernah merunduk pada pintu kamar yang jebol, tapi sampai tiga minggu ke depan,
pencuri itu tak pernah dapat saya temui.
Suatu pagi ketika pekerja dari Dinas Pekerjaan Umum
tengah memperbaiki jembatan yang rusak, di depan rumah, saya datang bergabung,
meminta papan sisa, antisipasi bila papan jembatan tercungkil sementara petugas
dating terlambat. Ketika membalikkan badan saya segera bertatapan dengan sosok
itu, seorang laki-laki menjelang 50 tahun dengan mata rusak sebelah kiri. Ia
tampak seakan mengenal saya, sekilas
menatap dengan pandangan menyesal. Saya terdiam, haruskah saya melaporkan
kembali pada polisi? Seorang kawan di kantor
menyarankan tidak usah melapor, waktu telah berjalan lewat tiga minggu.
Beberapa hari ke depan saya masih berpapasan dengan orang yang sama, sikap itu
seolah menunjukkan penyesalannya. Ia juga berulang-ulang lalu lalang lewat di
depan rumah, rupanya ia tinggal tak jauh dari rumah, sekitar 100 meter di
sebelah kanan kemudian memasuki jalan kecil, ia tinggal di rumah semi permanen,
asalnya dari kampung yang jauh. Satu kali pencuri itu bahkan merekam kartu
indentitas di kantor, saya kopi kartu itu untuk disimpan. Selama yang
bersangkutan tidak melakukan tindakan apa-apa, saya diam, tetapi bila ia berani
bertindak melampaui batas, saya akan mengambil tindakan seperti yang pernah
saya kerjakan.
Hingga beberapa bulan saya menjalani
hari-hari tanpa harapan, segalanya mencemaskan dan menjadi tawar. Rasa takut dan tawar membuat
saya mengerti, bahwa sesiapun tak akan pernah berada dalam situasi yang
benar-benar aman dari serangan fisik atau fitnah menjatuhkan. Waspada
diperlukan pada setiap detik dan tarikan tahu, saya menjadi lebih mengerti,
bahwa keselamatan menjadi hal yang paling berharga.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar