Senin, 24 Juni 2019

P E N C U R I


Satu kecerobohan benar-benar telah saya lakukan dengan menganggap, bahwa menetap di seputar lingkungan tempat tinggal adalah aman. Tak pernah sedikitpun saya berfikir akan ada serangan fisik yang berakibat langsung mengancam keselamatan. Hari itu, dengan nyaman saya menikmati kesendirian, anak pertama telah  memulai semester kesatu perkuliahan, anak kedua sementara berlibur tinggal dengan kakaknya. Saya mengira bisa menikmati hari-hari lengang dengan damai tanpa repot menyiapkan makan yang lebih sering diprotes, karena tidak enak, bertatapan dengan wajah masgul, karena terlambat membeli kue sebagai  bekal ke sekolah serta protes-protes lain, karena selalu ada yang tidak beres di dalam rumah.
Malam itu saya tertidur dengan nyenyak berselimut hangat bermimpi indah, tetapi mimpi itu terjaga ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamar serta beberapa kali handle pintu ditarik. Kali ini saya tidak bermimpi, kucing pasti tidak bisa mengetuk pintu. Lantas, siapa? Dengan mengantuk saya membuka pintu memeriksa situasi di ruang TV dan ruang makan, sunyi. Akan tetapi, udara dingin menghembus pertanda pintu depan dan belakang terbuka lebar. Saya masuk kembali ke dalam kamar mengunci pintu. Sekejab kemudian terdengar suara berat langkah kaki dari arah dapur, langkah itu tergesa, cepat, dan berat seolah sepasang telapak kaki dilapisi lempeng  besi. Saya menggigil, menyadari ada pencuri masuk pada pagi sekitar pukul 02.30 beberapa saat setelah terdengar suara stom kapal putih.
Saya tahu bahaya terbesar pencuri yang tertangkap tuan rumah, ia bisa melakukan tindakan kejahatan lebih dari niat mencuri. Saya telah melangkah sejauh ini hingga anak-anak beranjak dewasa, saya tidak ingin pencapaian ini berakhir dengan tragis. Tergesa saya telepon polisi, ponsel tidak diangkat, saya kirim sms dengan tulisan kacau. Sesaat kemudian ponsel berdering, sambil berbisik saya berucap, “Pencuri masuk rumah, tolong. Pencuri masuk rumah, tolong ….”.
Terdengar jawaban, “Ya …. Ya …. Saya segera datang”.
Saya masih memanggil sejumlah nomor dengan pikiran kacau memohon pertolongan. Percuma menjerit, jarak rumah tetangga di samping, belakang, dan depan masih beberapa meter, kemungkinan terburuk semuanya tertidur pulas, tidak akan mendengar jeritan. Sementara suara langkah kaki di luar kamar semakin menegangkan, langkah itu menuju kamar tengah serta depan yang tidak terkunci, dengan gegabah terdengar suara laci dibuka dan ditutup kemudian langkah itu menuju ke bagian belakang rumah. Demikian berulang kali, jantung saya berpacu, saya tidak berani mengambil tindakan gegabah, saya harus menghadapi situasi menegangkan ini. Tas kerja berisi surat berharga serta uang operasional kantor yang belum sempat saya bayarkan, saya  lempar ke bawah kolong. Saya tak akan mampu menanggung kerugian sejumlah satu tahun gaji.
Akhirnya tiba saat paling menakutkan, ialah ketika pencuri mulai membongkar pintu kamar yang terbuat dari triplek, saya tetap menutup mulut, meski suhu tubuh semakin dingin bagai terjebak di dalam kulkas. Beberapa saat kemudian tampak kepala botak terjulur dari daun pintu yang jebol dengan muka tepat menghadap ke lantai. Ia seorang laki-laki tua mengenakan T Shirt coklat muda dengan lengan coklat tua, saya perhatikan benar ciri-ciri itu. Sebelum orang tak dikenal itu dapat bertindak lebih jauh, dengan sepenuh tenaga saya semprotkan baygon tepat di mata sebelah kiri. Pencuri itu tampak terkejut seakan disengat aliran listrik, tanpa menjerit atau mengucap sepatah kata ia berlari cepat ke arah ruang tamu, meninggalkan rumah dengan tergesa. Di lantai kamar saya  masih terduduk berselubung kain, menggigil.  Mungkin antara saya dan pencuri mengalami ketakutan yang sama.  Satu hal yang tiba-tiba tersisa di dalam benak adalah, hampa. Saya kehilangan seluruh kenangan serta harapan yang pernah rapi tertata.
Saya masih harus menggigil beberapa menit hingga dua orang polisi datang dengan revolver di tangan. Dengan sigap saya membuka kunci pintu kamar, menerima kehadiran dua orang anggota keamanan. Kami memeriksa sekeliling rumah, karpet di depan pintu kamar telah acak-acakan. Pintu pagar, ruang tamu, pintu belakang, dan pintu ke tempat pembuangan sampah terbuka lebar. Tak ada barang yang sempat dibawa pencuri, kecuali kunci pintu ruang tamu serta kunci motor. “Bagaimana pencuri bisa masuk ke dalam rumah?” kami bertanya-tanya.
Ketika pagi memecah, seorang anggota kepolisian kembali datang dengan membawa perlengkapan sidik jari. Seluruh handle pintu diperiksa, tetapi tidak ada bekas sidik jari yang tertinggal. Saya terduduk lemas di kursi teras depan, kehilangan akal sehat. Ketika salah seorang polisi memperhatikan jendela, ia mendapati kawat ram dalam keadaan rusak, lengan manusia dewasa bisa terjulur ke dalam untuk memutar anak kunci yang menempel di handle pintu. Pintu pagar selama enam tahun tidak pernah saya kunci, karena saya merasa lingkungan tempat tinggal ini aman, tak pernah menyangka akan dikunjungi tamu tak diundang pada dini hari.
Saya masih meminta anggota kepolisian sementara di rumah sampai saya tiba kembali dari kampung untuk memanggil kerabat datqng. Kesendirian ternyata menakutkan. Tukang datang beberapa jam kemudian untuk  memperbaiki kerusakan, membuat pintu darurat pada setiap kamar, sehingga saya bisa mengambil tindakan pengamanan bila ancaman tina-tiba datang. Saya masih mencari ciri-ciri orang yang pernah merunduk pada pintu kamar yang jebol, tapi sampai tiga minggu ke depan, pencuri itu tak pernah dapat saya temui.
Suatu pagi  ketika pekerja dari Dinas Pekerjaan Umum tengah memperbaiki jembatan yang rusak, di depan rumah, saya datang bergabung, meminta papan sisa, antisipasi bila papan jembatan tercungkil sementara petugas dating terlambat. Ketika membalikkan badan saya segera bertatapan dengan sosok itu, seorang laki-laki menjelang 50 tahun dengan mata rusak sebelah kiri. Ia tampak seakan  mengenal saya, sekilas menatap dengan pandangan menyesal. Saya terdiam, haruskah saya melaporkan kembali pada polisi? Seorang kawan di kantor  menyarankan tidak usah melapor, waktu telah berjalan lewat tiga minggu. Beberapa hari ke depan saya masih berpapasan dengan orang yang sama, sikap itu seolah menunjukkan penyesalannya. Ia juga berulang-ulang lalu lalang lewat di depan rumah, rupanya ia tinggal tak jauh dari rumah, sekitar 100 meter di sebelah kanan kemudian memasuki jalan kecil, ia tinggal di rumah semi permanen, asalnya dari kampung yang jauh. Satu kali pencuri itu bahkan merekam kartu indentitas di kantor, saya kopi kartu itu untuk disimpan. Selama yang bersangkutan tidak melakukan tindakan apa-apa, saya diam, tetapi bila ia berani bertindak melampaui batas, saya akan mengambil tindakan seperti yang pernah saya kerjakan.
Hingga beberapa bulan saya menjalani hari-hari tanpa harapan, segalanya mencemaskan dan  menjadi tawar. Rasa takut dan tawar membuat saya mengerti, bahwa sesiapun tak akan pernah berada dalam situasi yang benar-benar aman dari serangan fisik atau fitnah menjatuhkan. Waspada diperlukan pada setiap detik dan tarikan tahu, saya menjadi lebih mengerti, bahwa keselamatan menjadi hal yang paling berharga.
       

                                                                 ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...