BAB VIII
KAMBOJA
Hari-hari
kuliah memberikan suasana serta harapan, dan rasa senang tanpa batas. Tambunan,
Lila, Wina, Retno, dan entah siapa lagi selalu bergabung, bahkan kakak kelas
yang semula tampak seakan orang asing, menjadi demikian akrab sedekat sahabat
karib. Kukira aku akan dianggap berbeda, karena hitam kulit dan keriting
rambut. Ternyata perbedaan ini menjadi symbol penyatuan, setiap mahasiswa
seakan bangga dapat mengenalku, karena berasal dari tempat yang sungguh jauh,
menjadi bagian dari kehidupan kampus yang tak pernah membedakan kelas, suku, ras, agama, dan golongan.
Aku mengerti, mengapa mama dan ibu guru, bahkan bapa memiliki harapan terlalu
besar supaya aku terus belajar. Pendidikan membangun karakter, mengubah takdir
hidup manusia. Satu alasan mendasar mengapa aku harus bersiteguh menekuni
perkuliahan ini.
Setiap
hari selalu diawali dengan bangun pagi, membereskan seisi kamar serta piring
kotor, mencuci pakaian, sarapan nasi gudeg atau tiwul, sebelum akhirnya bersiap
dan bergegas ke kampus yang terletak tidak jauh dari rumah kost dengan berjalan
kaki. Semula aku merasa aneh dengan rasa gudeg yang sangat manis seperti kolak,
tetapi lama-lama terbiasa, terlebih bila makan beramai-ramai dengan teman kost.
Adapun situasi kampus selalu sibuk dengan proses belajar mengajar, aktivitas
tambahan di luar jam belajar. Riuh rendah kelompok mahasiswa menyalurkan hobi
serta tugas lapangan, dan yang paling meriah adalah hari wisuda yang jatuh pada
setiap tanggal 19, empat kali dalam setahun. Adalah hari kemenangan ketika
wisudawan dan wisudawati dengan bangga mengenakan toga, menerima ijazah
kemudian berfoto bersama kerabat, handai taulan serta pendamping.
Tanggal
19 Desember adalah hari bersejarah, ulang tahun Universitas. Satu tahun setelah
agresi militer Belanda, Soekarno – Hatta, Prof. Sardjito and his geng
bersikukuh menyatakan NKRI masih sanggup bersatu, mendirikan Universitas dengan
meminjam Siti Hinggil sebagai kampus, hingga Sri Sultan XI merelakan tanah
Bulaksumur sebagai lingkungan kampus sampai sekarang. Universitas adalah
jantung kehidupan kota dan mahasiswa, setiap hari jantung itu berdetak dengan
satu harapan dan kerja keras untuk tidak berhenti. Diam berarti mati.
“Hai
Papua cantik ….” Seorang menjerit dari kejauhan memanggilku, reflek aku
menoleh, tampak Tambunan melambai, senyumnya mengembang. Aku telah terbiasa
dengan wajah bersahaja serta postur tubuh jangkung yang selalu ada sehari-hari
pada jam perkuliahan kemudian membangun
kebersamaan setelah jam kuliah usai.
“Tambunan
…. Terima kasih novelnya. Sastra Antrologi yang menarik dan menyentuh”,
kukembalikan novel mungil lebih seratus halaman tentang kisah sendu di Lembah
Baliem, Jayawijaya.
“Engkau
menangis pasti ….” Tambunan mulai tersenyum nakal.
“Mencucurkan
air mata ketika membaca karya sastra bukanlah kesalahan,” aku memang menangis
membayangkan nasib Liwa serta perempuan Lembah Baliem yang masih terjebak dalam
budaya patriakal.
“Tapi
benar kehidupan di Lembah Baliem masih seperti itu?” Tambunan meragukan
kandungan novel yang jauh berbeda dengan kehidupan di Yogyakarta.
“Untuk
membuktikan kebenarannya lebih baik datanglah ke lembah itu, tak seorangpun
dapat meyakini suatu pernyataan kecuali yang bersangkutan melihat dan ikut
merasakan ….” Ingatanku kembali ke dusun sagu, situasi yang tidak jauh berbeda
dengan Lembah Baliem, dengan kisah yang berbeda, maka duka cerita perempuan itu
sama.
“Makanya
lebih baik engkau menikah dengan orang Batak ….” Senyum Tambunan berubah
menjadi nakal.
“Jangan
mau dengan orang Batak, nanti engkau dibawa pulang ke Danau Toba ….” Tiba-tiba
Lila menyela, wajahnya cerah dengan tata rias minimalis.
“Danau
Toba destinasi wisata alam yang mengesankan, kalau menikah dengan Tambunan
engkau akan menjadi nyonya rumah wisatawan, domestik dan mancanegara ….” Wina
menampakkan sosoknya yang lembut, tiba-tiba telah bergabung pula dalam
percakapan.
“Ibu
guru pernah sampaikan, gendong ijazah dulu baru gendong anak ….” Kujawab
singkat dan cepat.
“Atau
kedua-duanya, gendong anak dan ijazah ….” Tambunan tergelak, tetapi tidak lama,
karena dosen pengajar telah datang dengan sikap serius, kami tahu saat canda
ria telah selesai, tibalah waktu untuk mendengarkan, bertanya, dan berinteraksi
di dalam kelas.
“Baik,
siapa yang telah membaca Sastra Antropologi. Novel yang tidak hanya bermuatan
roman, tetapi mengangkat kekuatan adat isti adat sebagai setting, sehingga alur
cerita memanjang dan berliku sedemikan jauh dengan akhir yang mengejutkan.
Karya sastra mengangkat kehidupan sosial budaya pada saat karya tersebut
dituliskan, suatu penggambaran dan kisah yang bukan hanya rekaan semata, tetapi
berbasis pada kehidupan sosial budaya yang akurat menuntun, atau menjebak tokoh
pada kisah yang rumit dan seringkali menyakitkan.
“Magdalena
sudah membaca bu ….” Tiba-tiba Tambunan kembali bersuara sambil mengerdipkan
mata.
“Ah
Magda, gadis Papua yang manis. Apa yang bisa ditangkap dari Sastra Antropologi
di Lembah Baliem?” Ibu Dosen mengalihkan pandangan menatapku lekat-lekat, aku
perlu menghela napas sebelum akhinya menjawab.
“Sebuah
novel yang harus dibaca bermuatan adat serta budaya patriakal, kisah tragis
tokoh perempuan, karena harus kalah, mengakhiri hidup dengan kematian, terjun
ke dasar sungai. Suatu anggapan, bahwa kematian adalah pembebasan ….” Tanpa
sadar suaraku bergetar, sedimikian kuat deretan kalimat mempengaruhi pikiran
pembaca, sehingga aku terseret terlalu jauh di dalamnya.
“Okey,
minggu depan saya tunggu masing-masing resensi dari Sastra Antropogis yang
sudah dibaca ….” Ibu dosen masih terus berbicara muatan sastra tentang moral,
adalah nasehat yang diberikan penulis secara terselubung dalam sebuah kisah
dengan setting budaya setempat. Mahasiswa bertanya, saling bertukar pikiran,
saling berdebat, sehingga ruang kelas menjadi hangat hingga waktu berlalu, kami
beriringan meninggalkan ruangan dengan canda ria serta percakapan yang
menyebabkan masing-masing pihak tahu. Setiap pribadi selalu menjadi bagian dari
yang lain.
Selebihnya
kami menghambur ke kantin untuk meneruskan percakapan yang terjeda. “Pinjam
dong novelnya ….” Lila mengulurkan tangan.
“Ada
novelnya Ahmad Tohari ….” Wina mengeluarkan trilogi novel dari tasnya, senyumnya
penuh kemenangan.
“Aku
baca ya ….” Tergesa Lila menyambar novel itu.
“Boleh,
kita meresensi novel yang sama, toh sudut pandangnya akan berbeda ….” Wina
merelakan.
Kemudian
kami sibuk dengan masing-masing piring, mangkuk, dan segelas minuman. Dalam keadaan
lapar hidangan sederhana ini sungguh lezat terasa. Percakapan terus berlanjut
diselingi gelak tawa hingga tiba waktu mengikuti mata kuliah berikutnya. Kami
berempat seolah tak terpisahkan, menikmati kebersamaan yang dalam pada awal
kuliah. Tak seorang pun menyadari, bahwa
kebersamaan ini akan begitu singkat hanya berlangsung selama menempuh SKS,
kemudian masing-masing akan sibuk dengan KKN, Skripsi serta peluang mendapatkan
pekerjaan, bea siswa S2, bahkan berumah tangga. Segalanya akan menjadi kenangan
ketika waktu melesat seakan terbang menuju hari depan yang tidak juga diketahui
dimana batas ujungnya. Sering aku mendengar kata-kata, ‘wong urip iku ming mampir ngombe ….’. Bahwa hidup hanya sekedar menumpang minum,
sebelum perjalanan panjang di keabadian. Hidup hanya perjalanan singkat
dalam keadaan haus bagi seteguk air.
Sebuah perumpamaan indah yang mengesankan. Akan tetapi, bagaimana aku harus
menjalani yang singkat ini --yang
sekedar mampir ngombe, sekedar
menumpang minum, karena ….
***
Ujian
semester untuk mata kuliah terakhir baru selesai, beban berat baru terlampaui. Andai
ada tersedia biaya tiket untuk berlibur ke dusun sagu, akan tetapi betapa mahal
harga tiket. Wina pernah mengajakku untuk berlibur di Semarang, tetapi aku
belum memastikan jawaban. Sementara lebih senang melewatkan libur di Yogya
dengan setumpuk karya sastra. Pun kemarau tahun ini lebih panjang dari batas
waktu yang ditentukan, di halaman daun kering gugur, ranting-ranting patah,
bunga-bunga layu. Tampak setangkai kamboja lerai dari dahan, berputar-putar di
udara, surut ke permukaan tanah, karena gravitasi kemudian terkulai dalam
hembusan angin. Aku sendiri di teras rumah kost, kamboja terakhir telah gugur,
yang tersisa adalah dahan kering menunggu rinai hujan untuk kembali tunas.
Kapankah tunas itu akan benar bertumbuh?
Aku
terhenyak ketika ponsel berdering, di monitor tertera nama Fransis, hatiku
nyaris terlonjak. “Fransis …..” suaraku nyaris jeritan, setiap menit aku
menunggu ponsel berdering.
“Tewerauta
….” Dari jauh suara itu bergaung, seakan telah seribu tahun aku merindukan
panggilan itu.
“Dimana
posisi?” tak sabar aku ingin tahu dimana kiranya Fransis berada.
“Saya
di Sentani mau terbang ke Oksibil, engkau dimana?”
“Saya
di Yogya, pulang kuliah.”
“Ah,
engkau benar telah menjadi mahasiswa.”
Kemudian
terdengar suara berdengung, aku seakan terseret pada kesibukan Bandara Sentani
nun jauh di sana. Betapa ingin aku berada di tempat yang sama kemudian
menghambur ke pelukan Fransis, sekurang-kurangnya bersandar pada pundaknya yang
kukuh. Tetapi jarak merentang seakan helai benang getas yang nyaris putus.
“Kapan kita bisa bertemu?” sebuah pertanyaan konyol, karena aku tahu, masing-masing
pihak baik aku maupun Fransis tidak bisa menempuh jarak yang sama bagi jumpa.
“Berdoalah
Tuhan menghendaki ….” Suara itu terdengar semakin menjauh, tanpa salam
perpisahan tiba-tiba sambungan telepon terputus. Aku masih menunggu beberapa
saat, tetapi seluler membungkam, sebuah tarikan napas panjang kusudahi bagi
penantian ini. Masa-masa kuliah masih sangat panjang, mungkinkah ada satu jeda
untuk menjumpai Fransis. Betapa besar pengorbanan untuk suatu masa yang disebut
esok, aku bahkan harus merelakan perpisahan ini. Kerinduan ternyata
menyakitkan. Adakah suatu pilihan kecuali menelan rasa sakit itu?
Andai
pilihan itu benar ada.
Aku
masih terdiam di teras seakan mengaduh bersama tanah gersang yang nyaris retak,
karena ketiadaan hujan. Di atas langit seakan murka bersiap membakar apa saja,
juga keping hati yang kelam tanpa warna. Tidur adalah obat yang paling mujarab,
melupakan sejenak segala beban sebelum kembali terjaga dalam keadaan lebih
segar untuk beban yang sama. Ketika terjaga langit menjelang rembang petang,
udara masih gerah. Kusambar satu judul karya sastra, kubuka lembar demi lembar,
tetapi tidak lama. Dari ruang tengah terdengar berita yang menyebabkanku
terhenyak, melempar satu judul novel, tergesa, nyaris berlari menuju ruang TV.
Sepasang mataku nyaris meloncat dengan keseluruhan berita yang ditayangkan.
“Pesawat Trigana dari Bandara Sentani –
Oksibil kehilangan kontak, kabut tebal serta kondisi geografis yang terjal adalah
kendala utama bagi setiap penerbangan
menuju ke landasan pacu ….”
Selebihnya
pandangan mataku berkunang-kunang, halimun seakan bergulung-gulung di seisi
ruangan, menjadi putih yang terputih serta dingin yang terdingin. Sebongkah
batu seolah menghantam tepat di ubun-ubun kepala. Aku tahu apa arti hilang
kontak Sentani – Oksibil, ketika sampai batas waktu yang ditentukan
pesawat terlambat landing di landasan
pacu. Waktu penerbangan selalu konstan tak dapat ditunda, kecuali ketika
pesawat harus memutar untuk menempatkan diri pada posisi yang tepat untuk
landing. Berapa kali kecelakan pesawat di Papua terjadi, karena kabut serta
tebing tinggi yang terjal? Kali ini Fransis baru menelepon, berpamit menuju ke
tempat tugas, hingga batas waktu penerbangan belum sampai di tempat tujuan.
Masihkah aku perlu mendengar kelanjutan berita?
Halimun
itu perlahan menjadi helai kain kafan, semakin dingin semakin lebar, dengan
lunglai kujatuhkan seluruh bobot tubuh pada kain jenazah itu. Tak ada yang
sempat kudengar kecuali jeritan Sagung. “Tewerauta ….” Lalu segalanya gelap
menjadi malam paling hitam dan panjang tanpa berkesudahan.
Ketika
terjaga terasa sakit tak terperi di bagian kepala, juga amis darah. Kiranya
kepalaku sempat terbentur, terluka, mengucurkan darah. Sesaat aku tak pernah
tahu dimana sesungguhnya posisi berada, tetapi beberapa tabuh segera mengerti.
Aku terbaring di kamar, berselimut, di sekelilingku adalah teman-teman kost
dengan wajah cemas, sepasang mata Vida dan Sagung bahkan telah berkaca-kaca.
Keduanya tahu arti berita kecelakaan pesawat di Papua, tak satu pun selamat,
bahkan kerabat yang terdekat, atau sosok yang paling dicintai. Pertanyaan bagi
Vida dan Sagung adalah, siapa yang duduk di kursi penumpang pesawat naas itu?
“Magda
….” Vida benar tampak panik, ia memijit-mijit kakiku.
“Teweraut
….” Suara Sagung bercampur isak tangis, gadis ini memang sedikit cengeng dan
melankolis.
“Bagaimana
kelanjutan berita pesawat hilang kontak di Papua?” terbata, tetapi akhirnya aku
bisa bertanya.
“Belum
ada kabar sampai pada breaking news ….” Vida menjawab.
“Siapa
menumpang pesawat itu?” Sagung menatap wajahku yang sepucat mayat lekat-lekat.
“Fransis
….” Kemudian tubuhku kembali terkulai, aku tak dapat mengingat apapun, kecuali
sebuah lorong panjang nyaris tanpa ujung, dingin dan sepi, memanggil keringat
dingin seakan embun yang gugur.
Seterusnya
aku mengapung antara ada dan tiada, antara sisa kekuatan dan keputusasaan.
Demikian juga ketika dengan berbaring ditunggu kawan-kawan secara bergantian
mengikuti berita, bahwa pesawat Trigana Sentani – Oksibil akhirnya ditemukan
tak jauh dari landasan pacu dalam keadaan berkeping-keping. Aku berteriak kalap sebelumnya akhirnya ribuan
kunang-kunang tampak riuh berseliweran. Ribuan lebah berdengung, tak ada yang
lebih kuinginkan, kecuali mati.
Akan
tetapi, kehidupan masih bermurah hati memberikan udara bagi gelembung
paru-paru. Aku masih kembali terjaga, tak dapat menolak ketika nama Fransiskus
tertera di monitor televisi sebagai salah satu dari keseluruhan korban, tak
satu pun selamat. Waktupun seakan diam membeku, jarum jam berhenti, aku
melupakan hari, minggu, bulan, dan tahun. Tak ada penanggalan gugur, yang
tersisa air mata, terus membanjir seakan anak sungai dan berubah menjadi
kubangan danau. Nasi hanya beberapa suap kutelan, selebihnya aku berbaring dan
terus berbaring, merasakan sakit dan ketakutan yang sama ketika pesawat
kehilangan keseimbangan, karena cidera, mengeram, selang oksigen otomatis
terlontar, seluruh penumpang menjerit berhadapan secara langsung dengan wajah
sang maut. Pesawat menukik –menukik kehilangan kendali, kehilangan jadwal
penerbangan esok hari. Benturan dasyat serta
ledakan mengakhiri seluruh jerit ketakutan menjadi diam abadi. Tak ada
lagi suara kecuali kehancuran total,
kecuali trauma yang mengubah segala bentuk harapan menjadi putus asa.
Segalanya terjadi demikian cepat menjadi tragedy, menjadi berita hingga sampai
di ruang TV rumah kost, harus kuterima
kematian ini. Air mataku kembali membanjir, ketika akhirnya bapa menelepon
dengan suara serak.
“Tewerauta
…. Engkau telah mendengar berita itu? kecelakaan pesawat? Fransis telah tenang,
kami semua mandi lumpur di pemakaman. Kuatkan hatimu, selesaikan kuliahmu,
hanya doa bisa kita panjatkan ….” Suara bapa makin serak tak tereja, kulempar
ponsel, aku tak ingin mendengar apa-apa lagi kecuali desir angin yang kejam
menelantarkan ranting dan dedaunan. Selebihnya senyap. Hidup berubah dalam
sekejab seakan beku peti mati, separuh hidupku ikut pula terkubur di dalamnya.
Tubuh Fransis hanya menyisakan penggalan daging tak berbentuk, haruskah aku
terus mengenangnya sebagai serpihan badan tanpa identitas yang mengenaskan?
Dimana sosok segagah pasukan siap tempur yang merelakan pundaknya bagi seorang
Teweraut untuk sekedar duduk bersandar? Dimana sorot mata teramat jernih dan
dalam yang menyebabkan aku rela berenang
sekalipun harus tenggelam? Dimana akhir dari jawaban, bahwa aku bersedia
menunggu hingga pendidikan SPN selesai untuk suatu hari bahagia dalam gaun
pengantin?
Dimana?
Pertanyaan
itu tercekat di tenggorokan seakan duri yang terlalu dalam melukai. Benarkah
kehidupan berakhir sampai di sini? Untung seluruh kegiatan perkuliahan pada
hari ini libur sampai KRS tahun depan, aku dapat berkabung tanpa meninggalkan
satu pun mata kuliah. Akan tetapi, apa bedanya Fransis tak akan dapat lagi
bangkit dari kubur untuk bersama duduk memancing karaka memenuhi janji, karena
telah memintaku menunggu. Demikianlah duka cita seorang “janda”?
Semakin
hari suasana di rumah kost semakin sunyi seluruh penghuni pulang berlibur,
berkumpul dengan keluarga. Dimana keluargaku? Jarak terlalu jauh, aku masih dikunjungi ibu kost yang merasa
bersimpati. Selebihnya kesendirian ini lengkap sudah. Hingga sore itu tanpa
disangka tiba-tiba Nurul muncul di depan pintu. “Magda …. “ tangan halus itu
memelukku. Sejak menginjak Yogya, aku tak pernah bertemu Nurul sampai hari ini.
“Aku
dengar musibah Trigana ke Oksibil, kita punya kakak kelas Fransis ada dalam
pesawat itu ….” Wajah Nurul menjadi sendu, meski tak segelap wajahku.
“Segala
yang telah terjadi Tuhan benar menghendaki, siapa bisa lebih berkuasa?”
“Magda
…. Apa yang sesungguhnya terjadi? Fransis?” sepasang alis mata Nurul berkerut.
“Aku
pernah janji untuk menunggu sampai pendidikan SPNnya selesai, tetapi kemudian
Fransis tugas ke Oksibil. Kutunggu hingga tiba masa kuliah dan masih akan
kutunggu, tetapi yang kutemui sekarang pemakaman tanpa dapat menghadiri ….”
Kali ini tangisku benar pecah, aku tak perlu malu menunjukkan kelemahan di
depan seorang sahabat, harus kuakui sekian
hari aku berpura-pura kuat --berpura-pura benar kuat. Ternyata aku hanya
seonggok tulang belulang terbungkus daging yang menjadi demikian rapuh tanpa
kekasih hati ketika harus menyeberangi sunyi yang panjang, amat panjang.
Selebihnya
seluruh tubuhku menggigil dalam demam tinggi, aku nyaris berada pada ambang
batas antara hidup dan mati. Andai Nurul tak berbaik hati merelakan diri
sebagai perawat, dengan sabar membantu bagi kesembuhan, baik secara fisik
maupun mental. Entah dimana kiranya diriku berada. Aku harus mengerti arti
seorang sahabat, ia ada ketika aku sengsara dan tanpa daya. Nurul membiarkan
air mataku tumpah, tubuhku lunglai, demam tinggi membakar , rasa sakit tak
terperi menggerogoti dari ujung telapak kaki hingga ubun-ubun. Selebihnya
tubuhku seakan mengambang, melayang bagai ringan kapas, terpelanting menuju
entah, lalu segalanya hampa.
Hari
ini ketika terjaga Nurul masih ada di rumah kost, ia masih merelakan diri
membereskan sesisi kamar, menyediakan makanan dan minuman, menatapku dengan
segala belas kasihan, memutar merdu suara music, dan terus memberikan kata-kata
penghiburan. “Segala yang hidup pasti akan berpulang menuju keabadian. Fransis
tidak benar pergi, ia tetap ada dalam ingatan. Manusia hanya menjalani takdir,
kita tidak bisa memili, kita menjalani ….” Masih beribu kata dari hati baik
Nurul terucap hingga aku mulai mampu berdiri, mandi air hangat, menyuap nasi.
Dengan sabar Nurul membawaku jalan-jalan di seputar kampus pada Minggu sore.
Setiap Minggu Nurul selalu datang hingga masa kuliah kembali aktif, terkadang
ia membawa aneka makanan ringan atau buah-buahan, satu kali ia memaksaku pergi
ke bioskop untuk mendapatkan suasana lain. Semula aku enggan, ternyata menonton
bioskop benar cukup menghibur, membawa penonton pada suatu dimensi sangat jauh,
tak terukur, membantu melupakan duka cita yang tak terkatakan.
Seterusnya
aku rajin membuka buku menyusun kata demi kata, mencurahkan segala nestapa,
betapa jarak antara kehidupan dan kematian demikian dekat, nyaris tanpa sela.
Betapa kematian sekalipun tak menyebabkan seorang melupakan. Kelak aku akan
tahu, bahwa di setiap doa, aku tak pernah melupakan Fransis untuk diampuni
segala dosa dan mendapatkan tempat yang tenang di alam sana. Fransis tetap
hidup dalam ingatan hingga hari terakhirku, meski di sisiku berdiri kukuh
seorang suami serta tiga orang anak yang kukasihi hingga mati. Aku telah
melakukan segala cara untuk tetap kuat, akan tetapi masih juga tak mampu
menahan isak tangis ketika malam sampai pada warna yang paling hitam dan suhu
yang paling dingin. Maka kupanggil nomor Tara.
“Halo
kakak, bisa bantukah? Kapan ada waktu ke pantai, aku harus menabur bunga bagi
yang telah tiada ….”
“O….
Magda …. Selalu siap untukmu, aku ada waktu di Minggu siang. Okey? Nanti
kujemput. Daa….”
Maka
Minggu lewat duhur, aku telah duduk di samping Tara yang sigap mengemudikan
Yaris, Nurul di jok belakang. Sepanjang jalan hijau pepohonan, aneka warna
bunga serta kesibukan lalu lintas tak
lagi sama. Harapan sua dengan Fransis telah terkubur bersama kepingan jenazah
tanpa bentuk. Perasaan hampa menyergap, kubiarkan rasa sakit itu hingga ngilu
di ulu hati, masih tersisa satu keyakinan waktu akan mengubah segala sesuatu
pada tempatnya. Ketika hati yang lemah akan berubah menjadi kuat, karena
proses, ketabahan, serta ketiadaan pilihan kecuali menjalani.
Tara
tak banyak bicara, ia sempat mengangguk ketika Nurul membisikkan kata-kata,
kemudian menatapku sekilas dengan muram. Ia masih terlalu muda, tetapi cukup
mengerti arti ditinggalkan. Ia tahu aku tak ingin banyak berucap, meski ia
telah berbaik hati mengantar pada perjalanan yang cukup jauh ini. Mobil
meluncur dengan manis di atas jalan raya yang licin, Tara telah mahir
menghindar dari setiap benturan serta memutar pada setiap belokan. Akhirnya
tampaklah bukit-bukit pasir, biru laut serta ombak menggelegar yang tak pernah
diam.
Tara
merangkul bahuku, Nurul menggandeng tanganku. Bertiga kami melangkah di atas
pasir ketika angin bagai elegi pada suara yang paling lirih. Aku harus
mengerti, ketika ditinggal ke alam keabadian, aku tak benar sendiri, selalu ada
yang menyayangi. Akhirnya aku bersimpuh memejamkan mata di atas pasir, di
depanku lidah ombak. Tara dan Nurul duduk berdampingan pada jarak terukur, wajahnya muram. Beberapa
tabuh, aku melupakan Nurul, melupakan Tara, melupakan suasana kampus, yang
kuingat Fransis. Beribu kata kuucap selaku doa, hingga beban bergalon air
tumpah, tercurah seakan hujan, menyatu dengan debur ombak.
“Akan kutemui
di keabadian ketika kematian tak akan pernah dapat memisahkan ….”
Tanpa
sadar mulutku berucap dengan suatu keyakinan, kematian hanya jeda, karena
ingatan kekal, selama-lamanya. Fransis tak pernah pergi, ia selalu bersemayam
di hati. Ketika kularung seikat bunga mawar seputih salju pada lidah ombak, air
berkesiur semakin dingin. Aku harus tahu, berdoapun ada batas ujungnya, Tara
dan Nurul pasti telah bosan menunggu. Sekejab aku bertatapan, benar aku tidak
sedang seorang diri. Dalam keadaan merana, masih ada sahabat yang mengasihi.
Masih ada sisa kekuatan menyusut air mata, sebelum akhirnya kami berjalan
beriringan, Tara masih memeluk pundakku, Nurul masih menggandeng tanganku. Di
langit sebelah barat langit merah saga, matahari masih berpijar seakan bola
raksasa merah membara yang terhuyung perlahan, bersiap meninggalkan batas
cakrawala. Kami berisitirahat pada tempat makan di bawah tenda, menikmati air
kelapa muda serta satu mangkuk bakso. Kemudian Tara membimbingku ke pintu
mobil, membukakan dengan hormat, tersenyum ketika aku menempatkan diri di atas
jok, mengencangkan sabuk pengaman. Langit semakin hitam ketika mobil kembali
melaju ke arah utara Yogyakarta, kusandarkan seluruh beban tubuh dan kepala,
kupejamkan mata. Aku melupakan perjalanan kembali hingga tiba-tiba mobil telah
berhenti di depan rumah kost.
“Terima
kasih untuk semua kebaikan kakak ….” Kupaksakan senyum. Tara mengangguk, ia
masih sangat muda, tetapi memahami segala rasa kehilangan. Nurul masih tinggal
di rumah kost, kami berdua melambai. Aku seakan terlempar kembali ke relung
hampa yang sempurna, ketika Yaris menderu meninggalkan dua sosok yang
berdekatan antara yang satu dengan yang lain. Aku dan Nurul.
“O
ya, ada salam dari Yodi. Pernahkan ia menelepon?” Nurul membuka pembicaraan.
Aku menggeleng, Yodi nyaris hilang ditelan bumi, aku tak pernah memikirkan atau
mengharap kehadirannya. Di dalam pikiranku
hanya ada Fransis.
Benarkah?
***
Seminggu
kemudian Yodi berdiri di ambang pintu dengan sekotak mungil cokelat. “Maaf,
baru kali ini dapat berkunjung ….” Andai sempat memperhatikan dengan cermat
mestinya aku tahu, betapa telah banyak berubah sikap dan penampilan Yodi, ia
menjadi lebih dewasa dan tenang, tetapi aku tak menyediakan celah bagi
kehadiran Yodi, juga bagi kunjungan-kunjungan berikutnya. Aku belum sepenuhnya
sanggup melupakan Fransis. Yodi hanya sebatas teman satu kampung, teman baik
yang meluangkan sejenak waktu untuk suatu hari yang belum juga diketahui dengan
pasti. Kehadiran Yodi tak pernah mampu menilap bayangan Fransis yang telah
bersemayam di liang kubur.
Adapun
hari-hari terus berlalu, kesibukan kuliah
menyita waktu tanpa memberi jeda, bagi duka cita berlama-lama. Tersirat
bahasa tidak tertulis, bahwa leleran air mata dari kesedihan terdalam sekalipun
selalu ada batasnya. Aku harus berhenti menangis, atau kuliah ini akan kandas
di tengah jalan, aku akan kembali ke dusun sagu tanpa harus menggendong ijazah.
Sepanjang kuliah serta beragam tugas, ujian semester, seminar, hang out, dan entah apa lagi. Terlebih
pada setiap doa, aku tak pernah dapat melupakan Fransis, kehilangan ini terlalu
dalam. Perpisahan abadi di batas pengharapan yang berakhir pudar. Akan tetapi,
adakah Teweraut mesti hanyut kemudian tenggelam selamanya? Apakah aku harus
melupakan kerja keras mama, menggandeng tangan bandel ini hampir setahun untuk
tetap duduk di bangku sekolah pemula? Mengabaikan air mata mama yang pernah
membanjir seakan Sungai Fambrep? Menguburkan seluruh harapan dari orang yang
telah berpulang?
Tidak!
Aku,
Teweraut boleh menangis, tetapi tidak secengeng itu. Seperti halnya malam
terhitam dan terpanjang pun akan selalu ada batas akhirnya, demikian pula
dengan duka cita. Ada saat berduka saat seorang diri, ada pula saat untuk
kembali belajar dengan sungguh-sungguh, bersosialisasi, mereka-reka hari esok
yang memang harus dicapai. Orang-orang Jawa memiliki konsep hidup berbeda
--bahkan seorang tidak boleh menunjukkan perasaan hati terdalam di hadapan sekalian
orang secara berlebihan. Perasaan sedih, kecewa, amarah, benci, dan gembira adalah
rahasia yang harus disimpan pada relung hati, tak seorang pun boleh terlalu
mengerti, kecuali yang bersangkutan.
Seorang harus mengerti kala harus
menjadi artis dalam panggung kehidupan sesungguhnya atau menjadi model di atas
catwalk sebenarnya. Di depan khalayak seorang harus menjadi sosok lain tanpa
melupakan jati diri, aku harus bekerja keras untuk ini. Secara langsung dan
tidak langsung teman-teman banyak membantu, Nurul selalu meluangkan waktu untuk
sekedar duduk bertukar pikiran di teras rumah kost sambil menatap bunga kamboja
serta secangkir teh di tangan. Sagung, Vida, Lila, Retno, dan Tambunan adalah
teman-teman setia yang konon akan menjadi teman selamanya, bahkan setelah
perkuliahan ini selesai. Akhirnya aku
harus mengerti pertalian erat dengan teman-teman, mereka mengubah takdir
hidup, seakan air yang mengalir pada musim kering, seakan lembut cahaya
kunang-kunang yang indah berpijar ketika malam semakin hitam, karena
ditinggalkan bulan. Tara masih sempat juga menelepon, meluangkan waktu untuk
sekedar makan jagung bakar serta wedang ronde di alun-alun kota.
Pertemanan
sungguh ajaib, yang mampu mengisi kekosongan akan hubungan dengan kerabat yang
teramat jauh dan seakan nyaris putus. Tak seorang pun benar sebatang kara,
ketika yang bersangkutan masih bersedia
meluangkan waktu untuk kehadiran orang lain, memberi dan menerima. Adapun Yodi
seringkali menghilang sebelum akhirnya tiba-tiba muncul dengan sikap yang
manis, yang menjadi alasan, maka aku tidak mungkin mengusirnya, juga bagi
kedatangan berikut. Tak pernah ada kata terucap, kecuali ‘apa kabar?’ serta
sekedar kisah di seputar lingkungan kampus, atau harapan untuk kembali dengan
kemenangan ke dusun sagu.
Kiranya
waktu adalah jawaban paling arif bagi kisah paling tragis sekalipun, waktu juga
yang mendorongku untuk tetap kuat melewati hari demi hari. Ketika pulang kuliah
dan sendiri di kamar, air mataku masih menetes demi Fransis. Akan tetapi,
ketika terlibat dengan aneka kegiatan perkuliahan aku harus bersikap, seolah
tak terjadi apa-apa. Seluruh hari harus berlalu sesuai dengan rencana. Tanpa
terasa semester demi semester berlalu, hingga tiba waktu Kuliah Kerja Nyata
yang mengambil lokasi di desa-desa.
Di
halaman rumh kost bunga kamboja masih tetap bermekaran untuk kemudian layu,
lerai, berserakan ….
***
Hari
ini untuk yang kesekian kali aku harus pergi ke kampus untuk konsultasi dengan
dosen pembimbing bagi pemantapan judul skripsi, satu hal yang menjadi kekuatan
serta dorongan, bahwa pembimbingku adalah sikap bersahabat serta seorang ibu
yang selalu memahami kesulitan Ananda.
“Selamat
pagi ibu ….” Kubungkukkan badan dalam-dalam, Ibu Tuti tengah mempelajari
setumpuk naskah, tugas seorang dosen belajar dan belajar.
“Tewerauta
…. Engkau sehat-sehat?” senyum Ibu Tuti selalu menimbulkan suasana bersahaja.
“Saya
selalu dalam keadaan baik”, ada pepatah menyatakan, tak seorang pun berhak tahu
suasana terkelam dari sekeping hati, kecuali sang empu itu sendiri. Ibu Tuti
tak perlu mengetahui apa pun, juga rasa kehilanganku akan Fransis yang teramat
dalam. Ibu Tuti hanya boleh tahu, bahwa aku sudah siap dengan tugas akhir,
menyusun skripsi.
“Skripsimu
tentang masalah gender? Suatu ketidak adilan yang menimpa perempuan, karena
patriakhi. Saya selaku dosen pembimbing sangat mendukung. O ya, engkau siap
belajar teori sastra ke Moskow?” senyum Ibu Tuti menjadi penuh arti.
“Moscow?”
sepasang matakiu nyaris terlonjak dari kelopak,
karena terkejut. Tak pernah terbayangkan, bahwa aku akan terbang menuju
sebuah negeri yang sungguh jauh.
“Engkau
mahasiswa yang pintar dan tekun, universitas akan membuka jaringan yang pertama
kali dengan Moscow Lemonosove State University. Andai engkau memiliki
keberanian dan kemauan ….” Ibu Tuti masih tersenyum, ia tampak yakin dengan
kesanggupanku.
“Tetapi
ibu ….” Suaraku tergagap.
“Tidak
ada tapi, pemerintah daerahmu sudah bersiap mendanai. Saya sendiri mengkontak
kepala daerah, surat-surat sudah disiapkan. Satu hal yang diperlukan adalah
kesanggupan, masih ada waktu untuk sekedar memperdalam Bahasa Inggris, saya
dengar engkau cakap pula akan hal itu,” senyum Ibu Tuti demikian tulus, wajah
bersahaja itu tampak teduh di bawah kerudung berwarna kelam. Kami berbeda suku dan agama, akan tetapi dalam hal
ini perbedaan itu tidak berarti apa-apa. Ibu Tuti tahu kepada siapa harus
memberikan dorongan, adakah ia tahu kehilanganku yang dalam akan kematian
Fransis.
Perlahan
sepasang mataku mengembun, untuk banyak alasan aku tak mampu membendung air
mata. Kubiarkan diriku menjadi demikian rapuh di depan Ibu Tuti, tanpa harus
terisak-isak. Pada akhir pertemuan aku tak mampu untuk tidak menjatuhkan diri
di pelukan Ibu Tuti, tak perlu kuucap, aku siap dengan perjalanan yang jauh
ini.
Hari
selanjutnya aku menjadi sibuk dengan proposal skripsi serta persiapan
keberangkatan, segala perasaan berkecamuk menjadi satu. Ketika kuterima
sejumlah transfer serta surat resmi dari Pemerintah Daerah perihal kesanggupan
membiayai satu semester di Moscow, seluruh tubuhku bergetar. O ya, aku harus
membuka buku rekening Bank Mandiri untuk transfer internasional. Selebihnya menjadi
repot dengan pengurusan passport, visa, kontak ke Lemonosove State University
untuk pendaftaran dan tempat tinggal. Kemudian menelepon ke dusun sagu,
mengabarkan berita baik hingga bapa terisak-isak, antara cemas dan bahagia
mesti melepas Teweraut --si gadis cantik menuju negeri yang jauh.
Hari
berikutnya aku bersorak gembira, Ketika berjumpa Lila di kampus, dengan
sepasang mata berbinar, “Magda, aku telah meminta persetujuan Ibu Tuti untuk
ikut pula ke Moskow,” kami segera berpelukan, aku tak akan sendiri di negeri
yang jauh dan asing. Seterusnya kami selalu Bersama untuk mempersiapkan diri
menuju keberangkatan hingga saat itu tiba.
***
Bersambung ....