Jumat, 01 November 2019

Bab VIII: MENGGAMBAR BINTANG --Kisah Seorang anak Asmat--


BAB VIII
KAMBOJA


Hari-hari kuliah memberikan suasana serta harapan, dan rasa senang tanpa batas. Tambunan, Lila, Wina, Retno, dan entah siapa lagi selalu bergabung, bahkan kakak kelas yang semula tampak seakan orang asing, menjadi demikian akrab sedekat sahabat karib. Kukira aku akan dianggap berbeda, karena hitam kulit dan keriting rambut. Ternyata perbedaan ini menjadi symbol penyatuan, setiap mahasiswa seakan bangga dapat mengenalku, karena berasal dari tempat yang sungguh jauh, menjadi bagian dari kehidupan kampus yang tak pernah  membedakan kelas, suku, ras, agama, dan golongan. Aku mengerti, mengapa mama dan ibu guru, bahkan bapa memiliki harapan terlalu besar supaya aku terus belajar. Pendidikan membangun karakter, mengubah takdir hidup manusia. Satu alasan mendasar mengapa aku harus bersiteguh menekuni perkuliahan ini.

Setiap hari selalu diawali dengan bangun pagi, membereskan seisi kamar serta piring kotor, mencuci pakaian, sarapan nasi gudeg atau tiwul, sebelum akhirnya bersiap dan bergegas ke kampus yang terletak tidak jauh dari rumah kost dengan berjalan kaki. Semula aku merasa aneh dengan rasa gudeg yang sangat manis seperti kolak, tetapi lama-lama terbiasa, terlebih bila makan beramai-ramai dengan teman kost. Adapun situasi kampus selalu sibuk dengan proses belajar mengajar, aktivitas tambahan di luar jam belajar. Riuh rendah kelompok mahasiswa menyalurkan hobi serta tugas lapangan, dan yang paling meriah adalah hari wisuda yang jatuh pada setiap tanggal 19, empat kali dalam setahun. Adalah hari kemenangan ketika wisudawan dan wisudawati dengan bangga mengenakan toga, menerima ijazah kemudian berfoto bersama kerabat, handai taulan serta pendamping.

Tanggal 19 Desember adalah hari bersejarah, ulang tahun Universitas. Satu tahun setelah agresi militer Belanda, Soekarno – Hatta, Prof. Sardjito and his geng bersikukuh menyatakan NKRI masih sanggup bersatu, mendirikan Universitas dengan meminjam Siti Hinggil sebagai kampus, hingga Sri Sultan XI merelakan tanah Bulaksumur sebagai lingkungan kampus sampai sekarang. Universitas adalah jantung kehidupan kota dan mahasiswa, setiap hari jantung itu berdetak dengan satu harapan dan kerja keras untuk tidak berhenti. Diam berarti mati.

“Hai Papua cantik ….” Seorang menjerit dari kejauhan memanggilku, reflek aku menoleh, tampak Tambunan melambai, senyumnya mengembang. Aku telah terbiasa dengan wajah bersahaja serta postur tubuh jangkung yang selalu ada sehari-hari pada jam perkuliahan kemudian membangun  kebersamaan setelah jam kuliah usai.

“Tambunan …. Terima kasih novelnya. Sastra Antrologi yang menarik dan menyentuh”, kukembalikan novel mungil lebih seratus halaman tentang kisah sendu di Lembah Baliem, Jayawijaya.

“Engkau menangis pasti ….” Tambunan mulai tersenyum nakal.

“Mencucurkan air mata ketika membaca karya sastra bukanlah kesalahan,” aku memang menangis membayangkan nasib Liwa serta perempuan Lembah Baliem yang masih terjebak dalam budaya patriakal.

“Tapi benar kehidupan di Lembah Baliem masih seperti itu?” Tambunan meragukan kandungan novel yang jauh berbeda dengan kehidupan di Yogyakarta.

“Untuk membuktikan kebenarannya lebih baik datanglah ke lembah itu, tak seorangpun dapat meyakini suatu pernyataan kecuali yang bersangkutan melihat dan ikut merasakan ….” Ingatanku kembali ke dusun sagu, situasi yang tidak jauh berbeda dengan Lembah Baliem, dengan kisah yang berbeda, maka duka cerita perempuan itu sama.

“Makanya lebih baik engkau menikah dengan orang Batak ….” Senyum Tambunan berubah menjadi nakal.

“Jangan mau dengan orang Batak, nanti engkau dibawa pulang ke Danau Toba ….” Tiba-tiba Lila menyela, wajahnya cerah dengan tata rias minimalis.

“Danau Toba destinasi wisata alam yang mengesankan, kalau menikah dengan Tambunan engkau akan menjadi nyonya rumah wisatawan, domestik dan mancanegara ….” Wina menampakkan sosoknya yang lembut, tiba-tiba telah bergabung pula dalam percakapan.

“Ibu guru pernah sampaikan, gendong ijazah dulu baru gendong anak ….” Kujawab singkat dan cepat.

“Atau kedua-duanya, gendong anak dan ijazah ….” Tambunan tergelak, tetapi tidak lama, karena dosen pengajar telah datang dengan sikap serius, kami tahu saat canda ria telah selesai, tibalah waktu untuk mendengarkan, bertanya, dan berinteraksi di dalam kelas.

“Baik, siapa yang telah membaca Sastra Antropologi. Novel yang tidak hanya bermuatan roman, tetapi mengangkat kekuatan adat isti adat sebagai setting, sehingga alur cerita memanjang dan berliku sedemikan jauh dengan akhir yang mengejutkan. Karya sastra mengangkat kehidupan sosial budaya pada saat karya tersebut dituliskan, suatu penggambaran dan kisah yang bukan hanya rekaan semata, tetapi berbasis pada kehidupan sosial budaya yang akurat menuntun, atau menjebak tokoh pada kisah yang rumit dan seringkali menyakitkan.

“Magdalena sudah membaca bu ….” Tiba-tiba Tambunan kembali bersuara sambil mengerdipkan mata.

“Ah Magda, gadis Papua yang manis. Apa yang bisa ditangkap dari Sastra Antropologi di Lembah Baliem?” Ibu Dosen mengalihkan pandangan menatapku lekat-lekat, aku perlu menghela napas sebelum akhinya menjawab.

“Sebuah novel yang harus dibaca bermuatan adat serta budaya patriakal, kisah tragis tokoh perempuan, karena harus kalah, mengakhiri hidup dengan kematian, terjun ke dasar sungai. Suatu anggapan, bahwa kematian adalah pembebasan ….” Tanpa sadar suaraku bergetar, sedimikian kuat deretan kalimat mempengaruhi pikiran pembaca, sehingga aku terseret terlalu jauh di dalamnya.

“Okey, minggu depan saya tunggu masing-masing resensi dari Sastra Antropogis yang sudah dibaca ….” Ibu dosen masih terus berbicara muatan sastra tentang moral, adalah nasehat yang diberikan penulis secara terselubung dalam sebuah kisah dengan setting budaya setempat. Mahasiswa bertanya, saling bertukar pikiran, saling berdebat, sehingga ruang kelas menjadi hangat hingga waktu berlalu, kami beriringan meninggalkan ruangan dengan canda ria serta percakapan yang menyebabkan masing-masing pihak tahu. Setiap pribadi selalu menjadi bagian dari yang lain.

Selebihnya kami menghambur ke kantin untuk meneruskan percakapan yang terjeda. “Pinjam dong novelnya ….” Lila mengulurkan tangan.

“Ada novelnya Ahmad Tohari ….” Wina mengeluarkan trilogi novel dari tasnya, senyumnya penuh kemenangan.

“Aku baca ya ….” Tergesa Lila menyambar novel itu.

“Boleh, kita meresensi novel yang sama, toh sudut pandangnya akan berbeda ….” Wina merelakan.

Kemudian kami sibuk dengan masing-masing piring, mangkuk, dan segelas minuman. Dalam keadaan lapar hidangan sederhana ini sungguh lezat terasa. Percakapan terus berlanjut diselingi gelak tawa hingga tiba waktu mengikuti mata kuliah berikutnya. Kami berempat seolah tak terpisahkan, menikmati kebersamaan yang dalam pada awal kuliah. Tak seorang pun  menyadari, bahwa kebersamaan ini akan begitu singkat hanya berlangsung selama menempuh SKS, kemudian masing-masing akan sibuk dengan KKN, Skripsi serta peluang mendapatkan pekerjaan, bea siswa S2, bahkan berumah tangga. Segalanya akan menjadi kenangan ketika waktu melesat seakan terbang menuju hari depan yang tidak juga diketahui dimana batas ujungnya. Sering aku mendengar kata-kata, ‘wong urip iku ming mampir ngombe ….’.  Bahwa hidup hanya sekedar menumpang minum, sebelum perjalanan panjang di keabadian. Hidup hanya perjalanan singkat dalam  keadaan haus bagi seteguk air. Sebuah perumpamaan indah yang mengesankan. Akan tetapi, bagaimana aku harus menjalani  yang singkat ini --yang sekedar mampir ngombe, sekedar menumpang minum, karena ….


                                                                          ***

Ujian semester untuk mata kuliah terakhir baru selesai, beban berat baru terlampaui. Andai ada tersedia biaya tiket untuk berlibur ke dusun sagu, akan tetapi betapa mahal harga tiket. Wina pernah mengajakku untuk berlibur di Semarang, tetapi aku belum memastikan jawaban. Sementara lebih senang melewatkan libur di Yogya dengan setumpuk karya sastra. Pun kemarau tahun ini lebih panjang dari batas waktu yang ditentukan, di halaman daun kering gugur, ranting-ranting patah, bunga-bunga layu. Tampak setangkai kamboja lerai dari dahan, berputar-putar di udara, surut ke permukaan tanah, karena gravitasi kemudian terkulai dalam hembusan angin. Aku sendiri di teras rumah kost, kamboja terakhir telah gugur, yang tersisa adalah dahan kering menunggu rinai hujan untuk kembali tunas. Kapankah tunas itu akan benar bertumbuh?

Aku terhenyak ketika ponsel berdering, di monitor tertera nama Fransis, hatiku nyaris terlonjak. “Fransis …..” suaraku nyaris jeritan, setiap menit aku menunggu ponsel berdering.

“Tewerauta ….” Dari jauh suara itu bergaung, seakan telah seribu tahun aku merindukan panggilan itu.

“Dimana posisi?” tak sabar aku ingin tahu dimana kiranya Fransis berada.

“Saya di Sentani mau terbang ke Oksibil, engkau dimana?”

“Saya di Yogya, pulang kuliah.”

“Ah, engkau benar telah menjadi mahasiswa.”

Kemudian terdengar suara berdengung, aku seakan terseret pada kesibukan Bandara Sentani nun jauh di sana. Betapa ingin aku berada di tempat yang sama kemudian menghambur ke pelukan Fransis, sekurang-kurangnya bersandar pada pundaknya yang kukuh. Tetapi jarak merentang seakan helai benang getas yang nyaris putus. “Kapan kita bisa bertemu?” sebuah pertanyaan konyol, karena aku tahu, masing-masing pihak baik aku maupun Fransis tidak bisa menempuh jarak yang sama bagi jumpa.

“Berdoalah Tuhan menghendaki ….” Suara itu terdengar semakin menjauh, tanpa salam perpisahan tiba-tiba sambungan telepon terputus. Aku masih menunggu beberapa saat, tetapi seluler membungkam, sebuah tarikan napas panjang kusudahi bagi penantian ini. Masa-masa kuliah masih sangat panjang, mungkinkah ada satu jeda untuk menjumpai Fransis. Betapa besar pengorbanan untuk suatu masa yang disebut esok, aku bahkan harus merelakan perpisahan ini. Kerinduan ternyata menyakitkan. Adakah suatu pilihan kecuali menelan rasa sakit itu?

Andai pilihan itu benar ada.

Aku masih terdiam di teras seakan mengaduh bersama tanah gersang yang nyaris retak, karena ketiadaan hujan. Di atas langit seakan murka bersiap membakar apa saja, juga keping hati yang kelam tanpa warna. Tidur adalah obat yang paling mujarab, melupakan sejenak segala beban sebelum kembali terjaga dalam keadaan lebih segar untuk beban yang sama. Ketika terjaga langit menjelang rembang petang, udara masih gerah. Kusambar satu judul karya sastra, kubuka lembar demi lembar, tetapi tidak lama. Dari ruang tengah terdengar berita yang menyebabkanku terhenyak, melempar satu judul novel, tergesa, nyaris berlari menuju ruang TV. Sepasang mataku nyaris meloncat dengan keseluruhan berita yang ditayangkan.

Pesawat Trigana dari Bandara Sentani – Oksibil kehilangan kontak, kabut tebal serta kondisi geografis yang terjal  adalah kendala utama bagi setiap penerbangan  menuju ke landasan pacu ….”

Selebihnya pandangan mataku berkunang-kunang, halimun seakan bergulung-gulung di seisi ruangan, menjadi putih yang terputih serta dingin yang terdingin. Sebongkah batu seolah menghantam tepat di ubun-ubun kepala. Aku tahu apa arti hilang kontak Sentani – Oksibil, ketika sampai batas waktu yang ditentukan pesawat  terlambat landing di landasan pacu. Waktu penerbangan selalu konstan tak dapat ditunda, kecuali ketika pesawat harus memutar untuk menempatkan diri pada posisi yang tepat untuk landing. Berapa kali kecelakan pesawat di Papua terjadi, karena kabut serta tebing tinggi yang terjal? Kali ini Fransis baru menelepon, berpamit menuju ke tempat tugas, hingga batas waktu penerbangan belum sampai di tempat tujuan. Masihkah aku perlu mendengar kelanjutan berita?

Halimun itu perlahan menjadi helai kain kafan, semakin dingin semakin lebar, dengan lunglai kujatuhkan seluruh bobot tubuh pada kain jenazah itu. Tak ada yang sempat kudengar kecuali jeritan Sagung. “Tewerauta ….” Lalu segalanya gelap menjadi malam paling hitam dan panjang tanpa berkesudahan.

Ketika terjaga terasa sakit tak terperi di bagian kepala, juga amis darah. Kiranya kepalaku sempat terbentur, terluka, mengucurkan darah. Sesaat aku tak pernah tahu dimana sesungguhnya posisi berada, tetapi beberapa tabuh segera mengerti. Aku terbaring di kamar, berselimut, di sekelilingku adalah teman-teman kost dengan wajah cemas, sepasang mata Vida dan Sagung bahkan telah berkaca-kaca. Keduanya tahu arti berita kecelakaan pesawat di Papua, tak satu pun selamat, bahkan kerabat yang terdekat, atau sosok yang paling dicintai. Pertanyaan bagi Vida dan Sagung adalah, siapa yang duduk di kursi penumpang pesawat naas itu?

“Magda ….” Vida benar tampak panik, ia memijit-mijit kakiku.
“Teweraut ….” Suara Sagung bercampur isak tangis, gadis ini memang sedikit cengeng dan melankolis.

“Bagaimana kelanjutan berita pesawat hilang kontak di Papua?” terbata, tetapi akhirnya aku bisa bertanya.

“Belum ada kabar sampai pada breaking news ….” Vida menjawab.

“Siapa menumpang pesawat itu?” Sagung menatap wajahku yang sepucat mayat lekat-lekat.

“Fransis ….” Kemudian tubuhku kembali terkulai, aku tak dapat mengingat apapun, kecuali sebuah lorong panjang nyaris tanpa ujung, dingin dan sepi, memanggil keringat dingin seakan embun yang gugur.

Seterusnya aku mengapung antara ada dan tiada, antara sisa kekuatan dan keputusasaan. Demikian juga ketika dengan berbaring ditunggu kawan-kawan secara bergantian mengikuti berita, bahwa pesawat Trigana Sentani – Oksibil akhirnya ditemukan tak jauh dari landasan pacu dalam keadaan berkeping-keping. Aku berteriak  kalap sebelumnya akhirnya ribuan kunang-kunang tampak riuh berseliweran. Ribuan lebah berdengung, tak ada yang lebih kuinginkan, kecuali mati.

Akan tetapi, kehidupan masih bermurah hati memberikan udara bagi gelembung paru-paru. Aku masih kembali terjaga, tak dapat menolak ketika nama Fransiskus tertera di monitor televisi sebagai salah satu dari keseluruhan korban, tak satu pun selamat. Waktupun seakan diam membeku, jarum jam berhenti, aku melupakan hari, minggu, bulan, dan tahun. Tak ada penanggalan gugur, yang tersisa air mata, terus membanjir seakan anak sungai dan berubah menjadi kubangan danau. Nasi hanya beberapa suap kutelan, selebihnya aku berbaring dan terus berbaring, merasakan sakit dan ketakutan yang sama ketika pesawat kehilangan keseimbangan, karena cidera, mengeram, selang oksigen otomatis terlontar, seluruh penumpang menjerit berhadapan secara langsung dengan wajah sang maut. Pesawat menukik –menukik kehilangan kendali, kehilangan jadwal penerbangan esok hari. Benturan dasyat serta  ledakan mengakhiri seluruh jerit ketakutan menjadi diam abadi. Tak ada lagi suara kecuali kehancuran total,  kecuali trauma yang mengubah segala bentuk harapan menjadi putus asa. Segalanya terjadi demikian cepat menjadi tragedy, menjadi berita hingga sampai di ruang TV rumah kost, harus  kuterima kematian ini. Air mataku kembali membanjir, ketika akhirnya bapa menelepon dengan suara serak.

“Tewerauta …. Engkau telah mendengar berita itu? kecelakaan pesawat? Fransis telah tenang, kami semua mandi lumpur di pemakaman. Kuatkan hatimu, selesaikan kuliahmu, hanya doa bisa kita panjatkan ….” Suara bapa makin serak tak tereja, kulempar ponsel, aku tak ingin mendengar apa-apa lagi kecuali desir angin yang kejam menelantarkan ranting dan dedaunan. Selebihnya senyap. Hidup berubah dalam sekejab seakan beku peti mati, separuh hidupku ikut pula terkubur di dalamnya. Tubuh Fransis hanya menyisakan penggalan daging tak berbentuk, haruskah aku terus mengenangnya sebagai serpihan badan tanpa identitas yang mengenaskan? Dimana sosok segagah pasukan siap tempur yang merelakan pundaknya bagi seorang Teweraut untuk sekedar duduk bersandar? Dimana sorot mata teramat jernih dan dalam yang  menyebabkan aku rela berenang sekalipun harus tenggelam? Dimana akhir dari jawaban, bahwa aku bersedia menunggu hingga pendidikan SPN selesai untuk suatu hari bahagia dalam gaun pengantin?

Dimana?

Pertanyaan itu tercekat di tenggorokan seakan duri yang terlalu dalam melukai. Benarkah kehidupan berakhir sampai di sini? Untung seluruh kegiatan perkuliahan pada hari ini libur sampai KRS tahun depan, aku dapat berkabung tanpa meninggalkan satu pun mata kuliah. Akan tetapi, apa bedanya Fransis tak akan dapat lagi bangkit dari kubur untuk bersama duduk memancing karaka memenuhi janji, karena telah memintaku menunggu. Demikianlah duka cita seorang “janda”?  

Semakin hari suasana di rumah kost semakin sunyi seluruh penghuni pulang berlibur, berkumpul dengan keluarga. Dimana keluargaku? Jarak terlalu jauh, aku  masih dikunjungi ibu kost yang merasa bersimpati. Selebihnya kesendirian ini lengkap sudah. Hingga sore itu tanpa disangka tiba-tiba Nurul muncul di depan pintu. “Magda …. “ tangan halus itu memelukku. Sejak menginjak Yogya, aku tak pernah bertemu Nurul sampai  hari ini.

“Aku dengar musibah Trigana ke Oksibil, kita punya kakak kelas Fransis ada dalam pesawat itu ….” Wajah Nurul menjadi sendu, meski tak segelap wajahku.

“Segala yang telah terjadi Tuhan benar menghendaki, siapa bisa lebih berkuasa?”

“Magda …. Apa yang sesungguhnya terjadi? Fransis?” sepasang alis mata Nurul berkerut.

“Aku pernah janji untuk menunggu sampai pendidikan SPNnya selesai, tetapi kemudian Fransis tugas ke Oksibil. Kutunggu hingga tiba masa kuliah dan masih akan kutunggu, tetapi yang kutemui sekarang pemakaman tanpa dapat menghadiri ….” Kali ini tangisku benar pecah, aku tak perlu malu menunjukkan kelemahan di depan seorang sahabat, harus kuakui  sekian hari aku berpura-pura kuat --berpura-pura benar kuat. Ternyata aku hanya seonggok tulang belulang terbungkus daging yang menjadi demikian rapuh tanpa kekasih hati ketika harus menyeberangi sunyi yang panjang, amat panjang.

Selebihnya seluruh tubuhku menggigil dalam demam tinggi, aku nyaris berada pada ambang batas antara hidup dan mati. Andai Nurul tak berbaik hati merelakan diri sebagai perawat, dengan sabar membantu bagi kesembuhan, baik secara fisik maupun mental. Entah dimana kiranya diriku berada. Aku harus mengerti arti seorang sahabat, ia ada ketika aku sengsara dan tanpa daya. Nurul membiarkan air mataku tumpah, tubuhku lunglai, demam tinggi membakar , rasa sakit tak terperi menggerogoti dari ujung telapak kaki hingga ubun-ubun. Selebihnya tubuhku seakan mengambang, melayang bagai ringan kapas, terpelanting menuju entah, lalu segalanya hampa.

Hari ini ketika terjaga Nurul masih ada di rumah kost, ia masih merelakan diri membereskan sesisi kamar, menyediakan makanan dan minuman, menatapku dengan segala belas kasihan, memutar merdu suara music, dan terus memberikan kata-kata penghiburan. “Segala yang hidup pasti akan berpulang menuju keabadian. Fransis tidak benar pergi, ia tetap ada dalam ingatan. Manusia hanya menjalani takdir, kita tidak bisa memili, kita menjalani ….” Masih beribu kata dari hati baik Nurul terucap hingga aku mulai mampu berdiri, mandi air hangat, menyuap nasi. Dengan sabar Nurul membawaku jalan-jalan di seputar kampus pada Minggu sore. Setiap Minggu Nurul selalu datang hingga masa kuliah kembali aktif, terkadang ia membawa aneka makanan ringan atau buah-buahan, satu kali ia memaksaku pergi ke bioskop untuk mendapatkan suasana lain. Semula aku enggan, ternyata menonton bioskop benar cukup menghibur, membawa penonton pada suatu dimensi sangat jauh, tak terukur, membantu melupakan duka cita yang tak terkatakan.

Seterusnya aku rajin membuka buku menyusun kata demi kata, mencurahkan segala nestapa, betapa jarak antara kehidupan dan kematian demikian dekat, nyaris tanpa sela. Betapa kematian sekalipun tak menyebabkan seorang melupakan. Kelak aku akan tahu, bahwa di setiap doa, aku tak pernah melupakan Fransis untuk diampuni segala dosa dan mendapatkan tempat yang tenang di alam sana. Fransis tetap hidup dalam ingatan hingga hari terakhirku, meski di sisiku berdiri kukuh seorang suami serta tiga orang anak yang kukasihi hingga mati. Aku telah melakukan segala cara untuk tetap kuat, akan tetapi masih juga tak mampu menahan isak tangis ketika malam sampai pada warna yang paling hitam dan suhu yang paling dingin. Maka kupanggil nomor Tara.

“Halo kakak, bisa bantukah? Kapan ada waktu ke pantai, aku harus menabur bunga bagi yang telah tiada ….”

“O…. Magda …. Selalu siap untukmu, aku ada waktu di Minggu siang. Okey? Nanti kujemput. Daa….”

Maka Minggu lewat duhur, aku telah duduk di samping Tara yang sigap mengemudikan Yaris, Nurul di jok belakang. Sepanjang jalan hijau pepohonan, aneka warna bunga serta  kesibukan lalu lintas tak lagi sama. Harapan sua dengan Fransis telah terkubur bersama kepingan jenazah tanpa bentuk. Perasaan hampa menyergap, kubiarkan rasa sakit itu hingga ngilu di ulu hati, masih tersisa satu keyakinan waktu akan mengubah segala sesuatu pada tempatnya. Ketika hati yang lemah akan berubah menjadi kuat, karena proses, ketabahan, serta ketiadaan pilihan kecuali menjalani.

Tara tak banyak bicara, ia sempat mengangguk ketika Nurul membisikkan kata-kata, kemudian menatapku sekilas dengan muram. Ia masih terlalu muda, tetapi cukup mengerti arti ditinggalkan. Ia tahu aku tak ingin banyak berucap, meski ia telah berbaik hati mengantar pada perjalanan yang cukup jauh ini. Mobil meluncur dengan manis di atas jalan raya yang licin, Tara telah mahir menghindar dari setiap benturan serta memutar pada setiap belokan. Akhirnya tampaklah bukit-bukit pasir, biru laut serta ombak menggelegar yang tak pernah diam.

Tara merangkul bahuku, Nurul menggandeng tanganku. Bertiga kami melangkah di atas pasir ketika angin bagai elegi pada suara yang paling lirih. Aku harus mengerti, ketika ditinggal ke alam keabadian, aku tak benar sendiri, selalu ada yang menyayangi. Akhirnya aku bersimpuh memejamkan mata di atas pasir, di depanku lidah ombak. Tara dan Nurul duduk berdampingan pada  jarak terukur, wajahnya muram. Beberapa tabuh, aku melupakan Nurul, melupakan Tara, melupakan suasana kampus, yang kuingat Fransis. Beribu kata kuucap selaku doa, hingga beban bergalon air tumpah, tercurah seakan hujan, menyatu dengan debur ombak.

“Akan kutemui di keabadian ketika kematian tak akan pernah dapat memisahkan ….”

Tanpa sadar mulutku berucap dengan suatu keyakinan, kematian hanya jeda, karena ingatan kekal, selama-lamanya. Fransis tak pernah pergi, ia selalu bersemayam di hati. Ketika kularung seikat bunga mawar seputih salju pada lidah ombak, air berkesiur semakin dingin. Aku harus tahu, berdoapun ada batas ujungnya, Tara dan Nurul pasti telah bosan menunggu. Sekejab aku bertatapan, benar aku tidak sedang seorang diri. Dalam keadaan merana, masih ada sahabat yang mengasihi. Masih ada sisa kekuatan menyusut air mata, sebelum akhirnya kami berjalan beriringan, Tara masih memeluk pundakku, Nurul masih menggandeng tanganku. Di langit sebelah barat langit merah saga, matahari masih berpijar seakan bola raksasa merah membara yang terhuyung perlahan, bersiap meninggalkan batas cakrawala. Kami berisitirahat pada tempat makan di bawah tenda, menikmati air kelapa muda serta satu mangkuk bakso. Kemudian Tara membimbingku ke pintu mobil, membukakan dengan hormat, tersenyum ketika aku menempatkan diri di atas jok, mengencangkan sabuk pengaman. Langit semakin hitam ketika mobil kembali melaju ke arah utara Yogyakarta, kusandarkan seluruh beban tubuh dan kepala, kupejamkan mata. Aku melupakan perjalanan kembali hingga tiba-tiba mobil telah berhenti di depan rumah kost.

“Terima kasih untuk semua kebaikan kakak ….” Kupaksakan senyum. Tara mengangguk, ia masih sangat muda, tetapi memahami segala rasa kehilangan. Nurul masih tinggal di rumah kost, kami berdua melambai. Aku seakan terlempar kembali ke relung hampa yang sempurna, ketika Yaris menderu meninggalkan dua sosok yang berdekatan antara yang satu dengan yang lain. Aku dan Nurul.

“O ya, ada salam dari Yodi. Pernahkan ia menelepon?” Nurul membuka pembicaraan. Aku menggeleng, Yodi nyaris hilang ditelan bumi, aku tak pernah memikirkan atau mengharap kehadirannya. Di dalam pikiranku  hanya ada Fransis.

Benarkah?

                                                                                  ***

Seminggu kemudian Yodi berdiri di ambang pintu dengan sekotak mungil cokelat. “Maaf, baru kali ini dapat berkunjung ….” Andai sempat memperhatikan dengan cermat mestinya aku tahu, betapa telah banyak berubah sikap dan penampilan Yodi, ia menjadi lebih dewasa dan tenang, tetapi aku tak menyediakan celah bagi kehadiran Yodi, juga bagi kunjungan-kunjungan berikutnya. Aku belum sepenuhnya sanggup melupakan Fransis. Yodi hanya sebatas teman satu kampung, teman baik yang meluangkan sejenak waktu untuk suatu hari yang belum juga diketahui dengan pasti. Kehadiran Yodi tak pernah mampu menilap bayangan Fransis yang telah bersemayam di liang kubur.

Adapun hari-hari terus berlalu, kesibukan kuliah  menyita waktu tanpa memberi jeda, bagi duka cita berlama-lama. Tersirat bahasa tidak tertulis, bahwa leleran air mata dari kesedihan terdalam sekalipun selalu ada batasnya. Aku harus berhenti menangis, atau kuliah ini akan kandas di tengah jalan, aku akan kembali ke dusun sagu tanpa harus menggendong ijazah. Sepanjang kuliah serta beragam tugas, ujian semester, seminar, hang out, dan entah apa lagi. Terlebih pada setiap doa, aku tak pernah dapat melupakan Fransis, kehilangan ini terlalu dalam. Perpisahan abadi di batas pengharapan yang berakhir pudar. Akan tetapi, adakah Teweraut mesti hanyut kemudian tenggelam selamanya? Apakah aku harus melupakan kerja keras mama, menggandeng tangan bandel ini hampir setahun untuk tetap duduk di bangku sekolah pemula? Mengabaikan air mata mama yang pernah membanjir seakan Sungai Fambrep? Menguburkan seluruh harapan dari orang yang telah berpulang?

Tidak!

Aku, Teweraut boleh menangis, tetapi tidak secengeng itu. Seperti halnya malam terhitam dan terpanjang pun akan selalu ada batas akhirnya, demikian pula dengan duka cita. Ada saat berduka saat seorang diri, ada pula saat untuk kembali belajar dengan sungguh-sungguh, bersosialisasi, mereka-reka hari esok yang memang harus dicapai. Orang-orang Jawa memiliki konsep hidup berbeda --bahkan seorang tidak boleh menunjukkan perasaan hati terdalam di hadapan sekalian orang secara berlebihan. Perasaan sedih, kecewa, amarah, benci, dan gembira adalah rahasia yang harus disimpan pada relung hati, tak seorang pun boleh terlalu mengerti,  kecuali yang bersangkutan. Seorang  harus mengerti kala harus menjadi artis dalam panggung kehidupan sesungguhnya atau menjadi model di atas catwalk sebenarnya. Di depan khalayak seorang harus menjadi sosok lain tanpa melupakan jati diri, aku harus bekerja keras untuk ini. Secara langsung dan tidak langsung teman-teman banyak membantu, Nurul selalu meluangkan waktu untuk sekedar duduk bertukar pikiran di teras rumah kost sambil menatap bunga kamboja serta secangkir teh di tangan. Sagung, Vida, Lila, Retno, dan Tambunan adalah teman-teman setia yang konon akan menjadi teman selamanya, bahkan setelah perkuliahan ini selesai. Akhirnya aku  harus mengerti pertalian erat dengan teman-teman, mereka mengubah takdir hidup, seakan air yang mengalir pada musim kering, seakan lembut cahaya kunang-kunang yang indah berpijar ketika malam semakin hitam, karena ditinggalkan bulan. Tara masih sempat juga menelepon, meluangkan waktu untuk sekedar makan jagung bakar serta wedang ronde di alun-alun kota.

Pertemanan sungguh ajaib, yang mampu mengisi kekosongan akan hubungan dengan kerabat yang teramat jauh dan seakan nyaris putus. Tak seorang pun benar sebatang kara, ketika yang bersangkutan masih  bersedia meluangkan waktu untuk kehadiran orang lain, memberi dan menerima. Adapun Yodi seringkali menghilang sebelum akhirnya tiba-tiba muncul dengan sikap yang manis, yang menjadi alasan, maka aku tidak mungkin mengusirnya, juga bagi kedatangan berikut. Tak pernah ada kata terucap, kecuali ‘apa kabar?’ serta sekedar kisah di seputar lingkungan kampus, atau harapan untuk kembali dengan kemenangan ke dusun sagu.

Kiranya waktu adalah jawaban paling arif bagi kisah paling tragis sekalipun, waktu juga yang mendorongku untuk tetap kuat melewati hari demi hari. Ketika pulang kuliah dan sendiri di kamar, air mataku masih menetes demi Fransis. Akan tetapi, ketika terlibat dengan aneka kegiatan perkuliahan aku harus bersikap, seolah tak terjadi apa-apa. Seluruh hari harus berlalu sesuai dengan rencana. Tanpa terasa semester demi semester berlalu, hingga tiba waktu Kuliah Kerja Nyata yang mengambil lokasi di desa-desa.

Di halaman rumh kost bunga kamboja masih tetap bermekaran untuk kemudian layu, lerai, berserakan ….

                                                                             ***




Hari ini untuk yang kesekian kali aku harus pergi ke kampus untuk konsultasi dengan dosen pembimbing bagi pemantapan judul skripsi, satu hal yang menjadi kekuatan serta dorongan, bahwa pembimbingku adalah sikap bersahabat serta seorang ibu yang selalu memahami kesulitan Ananda.
“Selamat pagi ibu ….” Kubungkukkan badan dalam-dalam, Ibu Tuti tengah mempelajari setumpuk naskah, tugas seorang dosen belajar dan belajar.
“Tewerauta …. Engkau sehat-sehat?” senyum Ibu Tuti selalu menimbulkan suasana bersahaja.
“Saya selalu dalam keadaan baik”, ada pepatah menyatakan, tak seorang pun berhak tahu suasana terkelam dari sekeping hati, kecuali sang empu itu sendiri. Ibu Tuti tak perlu mengetahui apa pun, juga rasa kehilanganku akan Fransis yang teramat dalam. Ibu Tuti hanya boleh tahu, bahwa aku sudah siap dengan tugas akhir, menyusun skripsi.
“Skripsimu tentang masalah gender? Suatu ketidak adilan yang menimpa perempuan, karena patriakhi. Saya selaku dosen pembimbing sangat mendukung. O ya, engkau siap belajar teori sastra ke Moskow?” senyum Ibu Tuti menjadi penuh arti.
“Moscow?” sepasang matakiu nyaris terlonjak dari kelopak,  karena terkejut. Tak pernah terbayangkan, bahwa aku akan terbang menuju sebuah negeri  yang sungguh jauh.
“Engkau mahasiswa yang pintar dan tekun, universitas akan membuka jaringan yang pertama kali dengan Moscow Lemonosove State University. Andai engkau memiliki keberanian dan kemauan ….” Ibu Tuti masih tersenyum, ia tampak yakin dengan kesanggupanku.
“Tetapi ibu ….” Suaraku tergagap.
“Tidak ada tapi, pemerintah daerahmu sudah bersiap mendanai. Saya sendiri mengkontak kepala daerah, surat-surat sudah disiapkan. Satu hal yang diperlukan adalah kesanggupan, masih ada waktu untuk sekedar memperdalam Bahasa Inggris, saya dengar engkau cakap pula akan hal itu,” senyum Ibu Tuti demikian tulus, wajah bersahaja itu tampak teduh di bawah kerudung berwarna kelam. Kami  berbeda suku dan agama, akan tetapi dalam hal ini perbedaan itu tidak berarti apa-apa. Ibu Tuti tahu kepada siapa harus memberikan dorongan, adakah ia tahu kehilanganku yang dalam akan kematian Fransis.

Perlahan sepasang mataku mengembun, untuk banyak alasan aku tak mampu membendung air mata. Kubiarkan diriku menjadi demikian rapuh di depan Ibu Tuti, tanpa harus terisak-isak. Pada akhir pertemuan aku tak mampu untuk tidak menjatuhkan diri di pelukan Ibu Tuti, tak perlu kuucap, aku siap dengan perjalanan yang jauh ini.

Hari selanjutnya aku menjadi sibuk dengan proposal skripsi serta persiapan keberangkatan, segala perasaan berkecamuk menjadi satu. Ketika kuterima sejumlah transfer serta surat resmi dari Pemerintah Daerah perihal kesanggupan membiayai satu semester di Moscow, seluruh tubuhku bergetar. O ya, aku harus membuka buku rekening Bank Mandiri untuk transfer internasional. Selebihnya menjadi repot dengan pengurusan passport, visa, kontak ke Lemonosove State University untuk pendaftaran dan tempat tinggal. Kemudian menelepon ke dusun sagu, mengabarkan berita baik hingga bapa terisak-isak, antara cemas dan bahagia mesti melepas Teweraut --si gadis cantik menuju negeri yang jauh.

Hari berikutnya aku bersorak gembira, Ketika berjumpa Lila di kampus, dengan sepasang mata berbinar, “Magda, aku telah meminta persetujuan Ibu Tuti untuk ikut pula ke Moskow,” kami segera berpelukan, aku tak akan sendiri di negeri yang jauh dan asing. Seterusnya kami selalu Bersama untuk mempersiapkan diri menuju keberangkatan hingga saat itu tiba.

                                                                      ***




Bersambung ....



--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...