BAB
V
“Magda …. Besok pagi
tanggal merah ke rumah ya …. Kita orang ada mau bakar-bakar ….” Suara lembut
Ibu Guru Ambar nyaris mengejutkanku dari arah belakang. “Ajak Nurul juga ….”
Senyum ibu guru teramat tulus, tak seorang pun mampu menolaknya.
“Dengan senang hati
ibu ….” Tak dapat aku menahan diri untuk tidak tersenyum, acara makan bersama
ikan bakar selalu menyenangkan. Aku tak tahu mengapa ibu guru harus
menyelenggarakan acara bakar-bakar, tak perlu bertanya, tapi pasti
menghadirinya.
Maka pagi hari pada
tanggal merah itu kami telah melebur
dalam kegembiraan kelompok kecil,
beberapa orang guru, Fransis, Nurul juga Diana, dan seorang siswa yang belum
lama kukenal, Yodi bersama-sama memotong-motong ikan dan ayam, membumbuinya dengan
rempah-rempah. Fransis demikian gesit menyalakan kayu bakar, kemudian membakar ikan
serta ayam dibantu Yodi. Diana memasak nasi serta menyiapkan lalapan, aku
membantu ibu guru menggerus sambal, menyiapkan minuman dingin serta seperangkat
perlengkapan makan.
Akhirnya semuanya
siap, secara mengejutkan beberapa orang guru tiba-tiba hadir dengan kue tart
berhias indah dan lilin bertuliskan angka 48 pada sebuah piring lebar. Kiranya
Ibu Guru Ambar tengah merayakan ulang tahun yang ke 48, suasana menjadi meriah
dengan lagu selamat ulang tahun serta tepuk tangan. Ketika Ibu Guru Ambar
meniup lilin kemudian memotong kue, sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Aku
tersadar, tak ada tampak suami ibu guru juga anak-anaknya, dimana anggota
keluarga yang lain? Kami yang hadir pada hari ini 27 Agustus adalah anggota
keluarga Ibu Guru Ambar. Raut wajah Ibu Guru Ambar tiba-tiba menjadi sendu,
sedemikian sendu, sehingga hatiku tiba-tiba bergetar dasyat, air mata nyaris
tergenang. Di balik senyum serta kelembutan, setiap pribadi kiranya menyimpan
misteri.
Acara makan-makan
berlangsung dengan hangat, nasi panas, ikan serta ayam lalapan, dengan sambal
pedas serta minuman dingin dalam suasana kekeluargaan sungguh nikmat tanpa
dapat disangkal. Aku tengah meneguk minuman dingin ketika tanpa sadar menoleh
pada sepasang mata yang menatap sedemikian dekat. Sepasang mata Yodi, pelajar
baru pindahan dari Merauke, menyertai orang tuanya dalam rangka tugas
pemerintahan dan kini menjadi salah satu pelajar SMA, dan kini tengah menatap
pada jarak dekat seakan ingin menjenguk isi yang paling dalam. Atau, lebih
tepatnya ingin menelan segala yang aku miliki. Bulu kudukku meremang, antara
terkejut, gentar, dan ketakutan. Beberapa saat waktu seakan terhenti, aku
merasa terlempar ke peta yang sungguh jauh, bukan lagi berada di tempat
berpijak, tempat makan bersama pada ulang tahun Ibu Guru Ambar.
“Kau cantik sekali
Magda ….” Suara Yodi berbisik seakan angin dingin berkesiur dari tempat yang
paling beku. Sejenak aku menatap sepasang matanya, tenggorokanku tercekat, bola
mata itu seakan danau kembar sedalam lautan yang memanggil sekaligus
menenggelamkan. Perasaan gamang serta aneh menghantam sedemikian kencang, aku
tahu, tanpa pertimbangan yang kuat, tubuhku pasti terseret, tenggelam, lalu
hilang menuju entah. Yodi berperawakan tegap, dengan kulit agak terang dan
rambut digunting pendek seakan pasukan perang. Aneh, mengapa ada seorang
berkulit terang, berambut ikal yang menyatakan aku cantik?
“Kau dengar
kata-kataku?” suara Yodi kembali berbisik, perlahan, tetapi pasti.
Lidahku membeku
tanpa sepatah kata. Yodi memang masih sekitar tiga bulan menjadi pelajar baru
di sekolah ini, tetapi betapa sering ia tertangkap mencuri pandang. Aku tak
tahu arti tatapan itu, tak perlu tahu, tapi kali ini aku harus tahu. Yodi
menginginkan sesuatu dari seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, tanpa
persetujuan. Tiba-tiba aku merasa tersudut pada dinding yang sangat dingin dan
kelam, tanpa mampu bertindak apa-apa, andai aku tak mampu mengatakan “tidak”.
Nasi yang tertelan tiba-tiba terasa sekam, perlahan kurentangkan jarak, sengaja
kupetik sehelai daun jeruk di teras ibu guru untuk menghalau amis dari telapak
tangan.
Rumah ibu guru amat
mungil dengan teras samping yang cukup lebar untuk acara makan bersama, tangga
menuju kolam dengan air cokelat susu, pohon-pohon bakau yang rindang serta
aneka tanaman hias di dalam pot bunga yang ditata indah. Bulu kudukku kembali
meremang ketika terasa tangan kekar menggenggam lenganku yang rapuh. Kali ini
Yodi tak mengatakan apa-apa, tetapi aku sungguh merasa gamang dengan binar pada
bola matanya. Aku ingin berlari sejauh mungkin, tetapi genggaman tangan Yodi
sedemikian keras.
“Magda …. Kue ulang
tahun masih banyak. Ayo …..” suara Ibu Guru Ambar menyelematkanku, ada alasan
untuk membebaskan diri dari kehadiran
Yodi serta keinginannya yang tak bisa kumengerti.
Black forest itu
sungguh nikmat, aku makan bunuh --makan sekenyang-kenyangnya, hingga tiba
saatnya untuk membersihkan seluruh perlengkapan makan yang kotor, membersihkan
seluruh ruangan, maka keadaan rumah kembali seperti sediakala. Aku masih
menyibukkan diri membersihkan lantai ketika seluruh tamu berpamitan. Seluruh
kesibukan hari ini benar menyebabkan lelah, sehingga tanpa sadar aku berbaring
di depan TV, di atas karpet, memejamkan mata beberapa tabuh dan terjaga ketika
suasana rumah sudah sunyi. Ibu Guru Ambar tengah berbaring di dalam kamar, ibu
guru sengaja membiarkanku tertidur, ia tahu aku lelah dengan semuanya.
Sekilas aku menatap
pada deretan buku, tanpa sadar kuraih satu judul, Burn Alive --sebuah kisah
nyata tentang kekerasan pada perempuan di Tepi Barat, Palestina. Kisah
yang teramat dasyat dalam rangkaian bahasa sastra yang indah dan tak dapat lagi
dikritisi. Adalah seorang gadis gembala domba yang jatuh cinta kepada pemuda
tetangga, ketika langkah itu terlalu jauh hingga terjadi kehamilan di luar
pernikahan. Si gadis harus menanggung aib, dibakar hidup-hidup pihak keluarga,
karena dinyatakan berdosa. Sementara sang pemuda bebas, meneruskan pendidikan,
mengejar cita-cita. Suatu kehidupan dalam budaya patriakal, adat isti adat yang
menyudutkan perempuan, menyeretnya pada suatu tempat yang sungguh kelam tanpa
pertolongan. Aku tak tahu berapa lama duduk membaca menyusuri kalimat demi
kalimat hingga tiba-tiba suara Ibu Guru Ambar terdengar mengejutkan.
“Kisah nyata yang
ditulis dengan hebat dan layak dibaca ….”
“Ibu mohon maaf,
saya membaca tanpa ijin ….” Suaraku tergagap, aku telah menghaki satu judul
buku tanpa ijin pemiliknya.
“Bacalah, buku
memang untuk dibaca. Engkau boleh datang ke rumah ini setiap waktu untuk
membaca, engkau siswi yang pintar. Jangan sia-siakan waktu, nanti saya akan
membantu supaya engkau dapat pula kuliah di Yogya dengan bea siswa ….” Ibu Guru
Ambar duduk santai di atas kursi, suasana rumah sunyi hanya tinggal kami
berdua.
“Tapi, mohon maaf.
Ibu tinggal sendiri?” aku memberanikan diri bertanya. Beberapa tabuh berlalu
sebelum akhirnya Ibu Guru Ambar menjawab.
“Tara, ibu punya
anak sudah kuliah di Yogya, Bapak sudah lama berpulang. Kenangan itu terlalu
indah, tak mungkin aku mengganti dengan kenangan lain ….” Wajah Ibu Guru Ambar
berubah sendu, sepasang matanya yang nyaris menjadi kubangan danau menatap
deretan foto yang terpajang pada dinding rumah. Hatiku teriris, foto itu
dipenuhi kenangan saat Ibu Guru masih tinggal bertiga dengan suami serta Tara,
Ibu Guru tak hendak menggantikan kenangan itu dengan foto yang lain. Hari lalu
benar telah berlalu, akan tetapi kenangan abadi menyatu dalam ingatan, tak
tergantikan, dengan akibat Ibu Guru memilih seorang diri tanpa kehadiran
sesiapa.
Suasana berubah
tanpa terkendali, kulihat sunyi yang teramat dalam pada sepasang bola mata yang
indah itu. Diam-diam aku merasakan kehilangan yang sama, tiba-tiba pusaran arus
seakan menyeretku ke dalam makam mama dan adik kecil di samping rumah yang
semakin kelam. Betapa dekat jarak antara kehidupan dan kematian, betapa tipis batas antara fana dan
keabadian. Manusia hanya pelaku.
Sementara waktu melesat
demikian cepat seakan terbang, sinar matahari roboh menjadi cahaya kekuningan
yang membias pada warna hijau daun. Kurasakan hening yang ganjil dan tak biasa.
Ketika akhirnya berpamit aku masih dalam satu keinginan untuk kembali ke tempat yang sama, membaca buku dan
berbincang-bincang, ada suasana nyaman. Sosok tegar serta lembut Ibu Guru Ambar
memberikan rasa nyaman, seorang yang dapat berbagi serta bersahabat tanpa
membedakan suku, ras, agama, dan golongan.
Minggu berikutnya
aku menyediakan diri mengunjungi Ibu Guru Ambar, suasana rumah lebih hening
dari hari-hari biasa. Tak ada acara bakar-bakar, tak ada kue ulang tahun, tak
ada kehadiran tamu, hanya aku dan Ibu Guru. “Magda …. Saya kira engkau tidak
bersedia datang lagi ….” Ibu Guru masih dalam keramahan yang sama, tangan yang
hangat itu menggandengku ke almari buku. “Hanya dengan membaca wawasan dan
pengertian akan terbuka. Dan ingatkah situasi kita sebagai perempuan, bila
perempuan tidak berdaya upaya, bersaing positif dengan laki-laki, kita tidak
akan pernah mencapai kesetaraan gender. Sudah engkau baca sendiri kasus yang
terjadi di Tepi Barat, budaya patrikhal, kesepakatan bersama tidak tertulis
yang menempatkan perempuan sebagai korban. Perempuan akan tetap bernasib malang
bila tidak membela dirinya sendiri ….”
Kata-kata Ibu Guru
Ambar menyebabkan aku terdiam, selama ini tak seorang pun mengajakku berbicara
tentang gender, tentang nasib malang perempuan. Akan tetapi, betapa aku telah
melihat pada kehidupan di seputar kampung. Kekerasan yang terjadi, karena
perkawinan dini, satu keluarga muda tanpa pekerjaan tetap dengan anak-anak yang
lahir setiap tahun dan beberapa di antaranya meninggal, karena ispa, malaria
serta diare. Pada beberapa kasus perempuan bahkan mengalami cacat permanen
serta kematian di tangan suami. Tanpa sadar aku menghela napas panjang, mengakui kebenaran kata-kata Ibu
Guru Ambar.
Tiba-tiba bahkan
terlintas bayangan Yodi, seorang pelajar yang bahkan belum lama kukenal, akan
tetapi telah memiliki keinginan demikian kuat untuk terus mendekat, dengan
suatu dorongan untuk menguasai serta menimbulkan rasa takut. Kini aku mengerti,
mengapa Yodi harus berperilaku seperti itu, ia merasa berhak berlaku sesuka
hati terhadap seorang pelajar putri, karena ia adalah seorang laki-laki. Ia
tidak perlu meminta persetujuan, ia bahkan bisa berlaku apa saja, bila sang
perempuan tidak berkehendak menyatakan “tidak”.
“Masih ada waktu
mempersiapkan diri untuk pendidikan yang lebih tinggi. Ibu akan membantumu
mendapatkan bea siswa ke Yogya, pendidikan serta kemampuan kerja seorang
sarjana akan mengubah takdir manusia. Kuliah mungkin sekitar lima tahun, akan
tetapi akan membangun karakter menjadi lebih baik,” kata-kata Ibu Guru demikian
mantab.
“Saya belum pernah
ke Yogya Ibu ….” Ada cemas menyusup sedemikian dalam yang membangkitkan rasa
takut. Bagaimana aku seorang gadis dari dusun sagu akan dapat menyelesaikan
pendidikan tinggi di Yogya, di kota yang amat jauh, berjam-jam melayang di
dalam burung besi, dengan kehidupan serta adat isti adat yang asing.
“Yogya dikuasai anak
muda, tempat belajar, mahasiswa Papua, Maluku serta NTT banyak. Tak ada yang
harus engkau cemaskan, tak ada pula yang harus engkau takutkan. Yakinlah bahwa
engkau akan menyelesaikan pendidikan di kota itu dan pendidikan itu pasti akan selesai.
Sekarang, manfaatkan waktumu untuk membaca, buku ini bisa dibaca di rumah ini,
bisa pula dibawa pulang ke rumah, mata pelajaran di sekolah amat terbatas, tak
bisa sebagai jaminan untuk memahami seluruh kebidupan, kecuali kita membaca dan
membaca. Ada majalah tentang Yogya, bacalah …. “ Ibu Guru mengulurkan sehelai
majalah, tak lama kemudian aku telah tenggelam di dalamnya.
Yogyakarta, nyaris
tiga abad peradaban yang semula dibangun Sultan Agung, Panembahan Senopati dan
seluruh keturunan hingga kini atas pemberian lahan dari Sultan Demak, dengan
Keraton sebagai pusat lingkaran konsentris. Lahan subur di seputar Gunung
Merapi, Pantai Selatan, Prambanan, Borobudur sebagai situs sejarah serta
Universitas Gadjah Mada, kehidupan bersahaja di sekitarnya memberi harapan bagi
sekalian kawula muda untuk memiliki kehidupan yang lebih baik.
“Teruslah membaca,
ibu ke pasar sebentar ….” Tanpa menunggu jawaban Ibu Guru menempatkan diri di
atas motor listrik, menekan gas, maka kendaraan roda dua itu secara ajaib meluncur
menuju arah pasar, meninggalkan suasana hening di dalam rumah, karena benar
kini aku cuma seorang diri.
“Magda ….” Tiba-tiba
keheningan ini terpecah oleh suara Yodi, seperti siluman pemuda ini telah
berdiri tepat di hadapku, raut wajahnya penuh kesombongan seolah berwenang
mengatur seluruh hidupku. Di tangan Yodi ada bibit tanaman, ia tak peduli
dengan bibit tanaman itu, tatapannya nanar, seakan berkobar lidah api pada
sepasang bola matanya yang seram. “Saya bawa bibit tanaman untuk Ibu Guru ….”
“Ibu Guru ada ke
pasar, sebentar kembali.”
“Kamu sendiri?”
langkah Yodi mendekat, tak berapa lama aku merasakan dekapan kuat yang tak
dapat kulawan, napas itu memburu, sesaat bibirnya menyentuh bibirku. Aku tak
merasakan apa-apa, kecuali kemarahan, waktu yang tiba-tiba membeku, dan geram,
karena tak berdaya menyelamatkan diri sendiri. Masih ada sisa tenaga untuk
melayangkan tangan, dan, “Plak!!”
Wajah Yodi mendadak
memucat, ia tak pernah menyangka seorang gadis dari dusun sagu akan memiliki
keberanian menampar pipi, karena kelancangannya. “”Kalau masih mau satu
tamparan untuk kau punya pipi kiri?!” aku masih memiliki keberanian untuk itu.
Kutatap lekat-lekat sepasang mata Yodi, kubahasan penolakan, agaknya ia tidak
menyerah. Yodi tak hendak mengerti arti penolakan, yang ada ialah kemenangan
atas seorang gadis. Kali ini ia mencengkeram pundakku, setengah membenturkan ke
dinding, tak ada lagi jarak.
“Tak seorang pun
menolakku, tak seorang pun ….” Suara itu mendesis seakan ular yang marah,
diam-diam bulu kudukku meremang. Aku tak akan pernah tahu apa yang mesti
terjadi setelah itu, bila Nurul tidak tiba-tiba datang, bersuara sebelum
melihat apa yang tengah terjadi.
“Selamat sore ….”
Yodi segera
melepaskan cengkeraman pada pundak, aku hanya mematung, tak mampu mengucap
sepatah kata ketika Nurul nampak dengan bibit tanaman pula. Rupanya keduanya
memenuhi permintaan Ibu Guru Ambar untuk bibit tanaman yang berbeda, Ibu Guru
gemar mengoleksi aneka jenis tanaman yang kini menghias indah teras samping
serta depan rumah. Menatap hijau daun serta aneka warna bunga memang
menenangkan, akan tetapi mengalami
kekerasan di antara rupa tanaman hias, sungguh menyedihkan.
“Ah, kalian selalu
berdua ….” Nurul tersenyum nakal, ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tak perlu tahu, dan tak pernah tahu, bahwa
kedatangannya menyelamatkanku. “Ibu Guru Ambar dimana? Saya ada bawa bibit
jeruk purut ….” Nurul mencari-cari pot yang kosong, tanpa persetujuan Ibu Guru
segera menanam bibit jeruk itu, menyiramnya dengan air kemudian menempatkan pada
salah satu sudut.
“Ibu Guru ada ke
pasar, sebentar kembali ….” Jawabku singkat.
“O ya, buku Namaku
Teweraut tulisan Ibu Ani Sekarningsih sudah selesai saya baca. Kedua tokoh
akhirnya meninggal ….” Suara Nurul sendu seakan terlarut dalam suasana
berkabung yang tak akan pernah berakhir, karya sastra memang berkuasa
mempengaruhi emosi pembaca. “Saya mau baca Anne Frank ….” Tanpa kembali
bersuara Nurul segera melangkah menuju ke dalam rumah, menempatkan diri di
depan rak buku, mencari-cari satu judul kemudian berbaring di atas kursi
panjang, membaca. Ia berlaku seakan tengah tinggal di dalam rumahnya.
Sementara Yodi masih
menatapku dengan sepasang mata dibakar api kemudian melangkah geram, tak pernah
menoleh lagi. Aku tahu ia tak akan pernah menyerah, tak akan pernah
memaafkanku. Diam-diam aku dihantui rasa gamang, suatu perasaan yang dapat
menyebabkan binasa, karena harus menanggung tekanan atas kemauan seseorang yang
tak akan pernah dapat kupenuhi. Kuhempaskan diri di atas kursi, kiranya bukan
hanya Marius dan Hengki yang menggangguku di rumah, kini Yodi melakukan hal
yang lebih menakutkan di lingkungan sekolah. Di manapun tempat kiranya
perempuan selalu ditempatkan sebagai korban, kecuali yang bersangkutan berusaha
melawan.
Dan aku, Teweraut
selalu memiliki alasan untuk melawan.
Langkahku masih
enggan ketika menuju rak buku untuk memeriksa beberapa judul, memilih yang
terbaik kemudian membuka lembar demi lembar untuk menyelami kehidupan di
dalamnya. Kali ini aku gagal mengeja kata demi kata, yang terbayang wajah Yodi,
wajah yang diliputi kesumat dendam. Aku tak pernah menginginkan hubungan
seperti ini, seorang anak gadis kepala suku berhak memilih dengan laki-laki mana mesti berbagi, aku tak akan
pernah berbagi dengan Yodi, sehebat apapun kepandaiannya di dalam kelas.
Mestinya ia meminta persetujuan, bukan memaksakan kehendak. Suatu saat ia akan
tahu kehendaknya memiliki batas. Ia pasti akan tahu.
Aku hanya
membalik-balik majalah serta koran yang sudah lewat tanggal, nyaris tak ada
koran baru di tempat ini, karena factor transportasi. Isi kepala seakan serupa
badai, ingin menjauh dari tatapan mata Yodi yang membangkitkan rasa cemas,
seolah aku bukanlah apa-apa, kecuali seorang gadis dusun yang harus menuruti
kemauannya. Yodi tidak tahu, tidak mau tahu, bahwa aku tidak seperti itu. Kini
aku tahu arti rasa geram sekaligus tak berdaya.
“Nanti engkau mau
meneruskan kemana Magda, Ibu Guru pernah sampaikan mau mencarikan bea siswa
supaya engkau bisa kuliah di Yogya? Engkau bersedia, kalau benar kita akan
selalu bersama. Aku juga mau ke Yogya ….” Kata-kata Nurul demikian polos,
seakan ia enggan berpisah selama masa-masa pendidikan yang panjang. Perlukah
aku ragu-ragu dengan setiap kata-katanya?
“Ibu Guru
menyarankan demikian, tetapi entahlah. Bea siswa bukan perkara mudah, selama
hidup aku bahkan belum pernah ke Yogya ….” Beban lain menekan isi kepala,
bagaimana aku bisa mendapatkan bea siswa
ke Universitas Gadjah Mada? Seorang gadis dusun sagu yang besar di bevak, selalu dikelahi saudara
laki-laki, tanpa mama kandung?
“Yogya dikuasai
mahasiswa, segala kebutuhan hidup menjadi murah untuk memenuhi kebutuhan anak
kost. Ada banyak situs wisata budaya, wisata alam serta sejarah, kita tidak
akan pernah kehabisan tujuan untuk jalan-jalan. Buku-buku dan majalah mudah
didapat, nenek di Yogya, nanti saya tinggal di rumahnya. Kalau benar ke Yogya,
engkau bisa juga tinggal di rumah sampai menemukan tempat yang engkau senang.
Setiap libur engkau bisa berkunjung dan tinggal di rumah ….” Nurul terus
berkicau, seolah yakin bahwa kami akan menjadi bagian pasti dari kehidupan kota
itu.
“Aku akan mendaftar
ke dua tempat, UGM dan UII salah satunya harus tembus. Mama bilang harus
kuliah, bekerja baru menikah, tidak boleh pacar pacaran, hanya mengganggu saja
….” Nurul selalu lepas bicara seolah dalam hidup tak pernah ada yang menekan
atau menyakiti hati. “O ya, bagaimana dengan Yodi? Ehem …..” Nurul tersenyum
nakal. “Kiranya ada yang jatuh cinta …. Ha ha ha ….” Nurul tergelak, suaranya
memenuhi seisi ruangan. Diam-diam wajahku merah padam.
“Yodi tampan juga,
juara kelas …. Dan berkeras mengejarmu ….” Nurul kembali menekuni catatan
harian Anne Frank, rasa ingin tahu gadis ini terlalu tinggi. Juara kelas benar
secara tiba-tiba dipegang Yodi, tetapi Nurul dapat bertindak lebih cepat,
gesit, bertanggung jawab, juga pintar tersenyum nakal.
Kali ini aku tak
menanggapi pembicaraan Nurul, ia tak tahu isi hatiku, betapa kehadiran Yodi
menyebabkan pikiranku gamang. Tak bisa kubayangkan andai dengan tololnya aku
merasa nyaman dengan kehadiran itu, Yodi akan berbuat apa saja, dan akhirnya
aku tak akan pernah dapat memaafkan kesalahannya. Satu hal yang dapat kulakukan
adalah melupakan.
“Hello cewek-cewek
…. Baca apa sekarang?” suara Ibu Guru mengejutkan, pada genggaman tangannya
adalah seekor ikan kakap serta sayur mayur. Ibu Guru Ambar hendak memasak,
tiba-tiba aku kehilangan minat baca, akan
lebih baik bila aku membantunya memasak dari pada mendengar kata-kata nakal
Nurul tentang Yodi.
“Ibu, mari saya
bantu ….” Dengan cekatan kuraih ikan kakap di tangan Ibu Guru, kubawa ke arah
belakang untuk kubersihkan. “Ibu guru
mau masak apa ikan ini?”
“Mau dibakar.”
“Baik Bu ….” Ikan
cukup dibersihkan, disayat pada kiri kanan kulitnya, dikucuri jeruk untuk
menghilangkan amis, dibubuhi garam, kecap serta lada halus. Kemudian kunyalakan
api tungku, sementara Ibu Guru menanak nasi serta memetik kangkung cabut untuk
ditumis. Demikianlah menu makan sehari-hari di wilayah ini.
“Ada kumpulan
soal-soal ujian di almari, engkau harus mulai membaca sebelum ujian benar tiba.
Tidak perlu lagi belajar teori,” Ibu Guru membuka pembicaraan. “Ada satu jalur
seleksi berdasarkan minat dan kemampuan, mendaftarlah ke Universitas Gadjah
Mada jurusan Bahasa. Engkau berbakat untuk itu. Persoalan biaya, nanti ibu
carikan bea siswa, yang penting sekarang dan esok manfaatkan waktumu untuk
belajar,” suara Ibu Guru tanpa ragu sedikitpun.
“Mengapa Ibu
bersungguh sungguh supaya saya bisa kuliah?”
“Pendidikan mengubah
takdir manusia, atau engkau sudah merasa cukup dengan ijazah SMA? Menjadi
pegawai golongan dua dan entah bagaimana nasibmu kelak. Nasib perempuan di
tangan perempuan itu sendiri, bukan di tangan suami. Bila dulu Ibu Guru tidak
kuliah dan sekarang Tara punya papa meninggal, bagaimana nasib anak yang
kulahirkan? Atau, kita menikah tanpa bekal kemampuan kerja, tanpa power dan pihak laki-laki
bertindak sekehendak hati, karena mengira dirinya memiliki lebih banyak dari
pada perempuan. Selagi masih ada waktu, selamatkan hidupmu. Saya sudah putuskan
menetap di tempat ini, berharap aka nada seorang perempuan Asmat yang
benar-benar kuat dan mampu menyelamatakan seluruh hidup, mampu menjadi
panutan,” tahun ini aku pada semester genap kelas sebelas, masih ada satu tahun
mempersiapkan diri mengikuti petunjuk Ibu Guru.
Kutatap wajah lembut
Ibu Guru, wajah yang menyembunyikan kecerdasan serta niat baik untuk selalu
berbagi tanpa membedakan suku, ras, agama, dan golongan. Kini aku mematung di
antara dua keinginan yang membingungkan, memenuhi keinginan Ibu Guru meneruskan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi –sekaligus memenuhi panggilan hati
terdalam serta bersitegang melampaui hal-hal baru yang belum pernah dapat
terbayangkan. Mampukah Teweraut menembus seleksi ke Perguruan Tinggi terbaik,
melampaui proses panjang di dalamnya hingga sampai pada hari mengenakan toga?
Tanpa sadar aku menarik napas panjang, memejamkan mata, kemudian kembali
membersihkan ikan.
“Tak usah cemas, tak
usah bimbang, engkau tidak sendiri. Ibu Guru bisa menyertai ke Yogya sambil
menjenguk Tara, Nurul juga rencana ke Yogya. Kita akan tetap bersama pada
tempat yang berbeda, satu hal, yakinlah dengan keinginanmu. Tanpa keinginan
kita tidak akan pernah mencapai apa-apa,” Tangan Ibu Guru dengan cekatan
menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, ia selalu yakin dengan setiap gerak laku
dan kata-kata. Perlahan aku mulai menyadari kebenaran kata-kata seorang Ibu Guru,
aku kembali teringat keinginan keras mama supaya aku menjadi Ibu Guru, kiranya
seorang guru bertugas membangun karakter setiap siswa tanpa harus
membedakannya. Aku tahu apa yang harus kulakukan dalam waktu kurang lebih dua
belas bulan ke depan, mempersiapkan diri bagi pendidikan tinggi. Satu hal yang
bahkan bapa tak pernah mampu memikirkan, aku harus memikirkan sendiri tanpa
kehadiran mama, juga Jan yang kini bertugas di tempat yang sungguh jauh. Bila
tak kumanfaatkan kesempatan ini, maka aku akan kehilangan untuk selama-lamanya.
“Bila libur, bahkan
setiap hari pintu rumah ini terbuka, bacalah buku atau bacaan apapun yang ada,
ikuti berita, supaya kita bisa menjadi bagian setiap perubahan.” Ibu Guru masih
tetap berucap, aku diam mendengarkan hingga seluruh hidangan makan siang ini
selesai tertata di atas meja.
“Ayo kita makan di
teras saja,” Ibu Guru membentangkan tikar di teras samping, kami telah
mengambil nasi serta lauk pauk serta segelas air dingin, kemudian duduk di
teras sambal mengunyah makanan.
“O ya, tadi Yodi
datang membawa bibit tanaman kemudian pulang,” kutunjukkan anggrek macan di
sudut teras. Anggrek itu akan mekar di
bawah hujan sepanjang tahun dengan warna yang langka, dasar hijau serta
corak cokelat tanpa bentuk.
“Ehem ….” Nurul
kembali berdehem kemudian tersenyum nakal, matanya mengerling penuh arti. Aku
pura-pura membuang pandang, Nurul tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Sementara ia tak perlu tahu.
“Oh, anggrek macan
…. “ Sepasang mata Ibu Guru Ambar membelalak lebar, telah lama ia mengharap
puspa langka mekar di halaman rumah. Pemberian bibit dari Yodi sungguh suatu
hal yang sangat berharga, Ibu Guru tidak tahu kejadian saat bibit anggrek macan
itu diberikan. Ia pun tidak perlu tahu.
Kami terus makan
dengan lahap hingga perut menjadi sesak, mengemasi seluruh perlengkapan makan
yang kotor kemudian kembali membaca buku. Kudapatkan catatan Ibu Kartini, Habis
Gelap Terbitlah Terang, buku sejarah yang memuat awal mula bangkitnya
kesetaraan gender di wilayah Nusantara. Satu proses panjang yang belum dapat
seluruhnya dicapai lapisan perempuan Indonesia, termasuk di wilayah tempatku
menetap.
Kebiasaan berkunjung
ke rumah Ibu Guru Ambar menjadi bagian tetap tak terpisahkan, bahkan akhirnya
berkembang menjadi jalan santai di pagi atau sore hari. Olah raga amat penting,
demikian pendapat Ibu Guru, aku, Nurul kadang-kadang Fransis menyertai. Aku tak
pernah mengharapkan kehadiran Yodi, akan tetapi ketika sore ini juara kelas itu
menyertai, aku tak berdaya. Ia juga siswa kesayangan Ibu Guru Ambar, karena
kepintarannya. Kehadiran Yodi memancing senyum nakal di bibir Nurul, ia
mengerling, mengira kebersamaan Yodi adalah suatu hal yang menggetarkan hati.
Aku membuang
pandang, memasang jarak antara Yodi, lebih mendekat ke Fransis. Kami mulai
melangkah berkeliling di sepanjang jalan komposit, jalan papan jembatan
perlahan ditinggalkan, karena terlalu cepat lapuk serta tidak bisa menampung
lalu lintas yang semakin padat. Ketika dengan keangkuhan Yodi menatap,
mengharap hatiku luluh, dengan sengaja kugandeng tangan Fransis. Sesaat dapat
kutangkap menyala pijar api pada sepasang mata Yodi, ia berharap aku menjauh
dari Fransis, ia ia tidak memiliki cukup perbendaharaan kata, tak berdaya. Kali
ini kunikmati kemenangan ini, seorang anak kepala suku berhak memilih tangan
siapa yang dapat digandeng, karena
alasan menjauh dari Yodi kupilih Fransis. Sejenak dapat kutangkap Nurul
melirik, mengerutkan kening, ia kesulitan memahami apa yang sebenarnya terjadi
antara kami bertiga. Aku sengaja bungkam, kubiarkan Nurul terjebak tanda tanya,
suatu saat ia akan menyadari kesalahannya.
Adapun sinar mentari
mulai condong keemasan jatuh pada hijau daun pohon bakau yang bertumbuh pada
kiri kanan jalan. Setiap kali berpapasan kami nyaris melambai, “Daaa…..”
suasana menjadi hangat. Kota Agats adalah kehidupan bersahaja, setiap orang
hampir mengenal antara satu dengan yang lain, melanglah di sepanjang jalan
bukan berarti seorang diri.
“O ya, Nurul jurusan
apa yang akan engkau pilih nanti?” Ibu Guru Ambar membuka pembicaraan.
“Hukum, saya ingin
menjadi pengacara,” jawaban Nurul yakin.
“Kalau saya akan
mengambil jurusan pertanian,” Yodi menjawab sebelum mendapatkan pertanyaan.
“Fransis mau kemana
setelah ini?” Ibu Guru mengalihkan pertanyaan.
“Saya ingin
menjadi polisi,” suara Fransis terdengar bangga, aku belum juga melepaskan
genggaman tangan.
“Kalau
Magda?”
“Entahlah,
membayangkan tinggal di Yogya rasanya mustahil, saya hanya seorang anak dusun
sagu,” kulepaskan genggaman tangan pada Fransis, pikiranku menjadi gamang,
setahun ke depan, mampukah aku meninggalkan tempat yang kecil dan jauh ini.
Dapatkah aku melupakan segala kesahajaan tempat aku bermula menjadi manusia
hingga mengenal Ibu Guru Ambar yang memberi saran meninggalkan dusun sagu,
terbang ke tempat jauh untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi untuk suatu
masa di hari depan? Untuk suatu kesetaraan bagi gender?
“Kalau Magda
pantasnya pilih jurusan seni budaya, khusus tarian adat ….” Fransis mulai
mengejek dengan senyum nakal.
“Saya tak
pandai menari,” Kucoba menyangkal.
“Engkau luar
biasa dalam goyang adat sampai terlupa dengan perhiasan yang berserakan di atas
lumpur ….” Fransis terkekeh, ia membuatku tersipu, wajahku memerah.
“Atau jurusan
Ewer Timika menumpang kapal perintis …. “ Sepasang mata Fransis tampak
mengerjab, senyumnya semakin nakal. Aku menjadi gemas, kucubit pinggangnya
hingga ia mengaduh kesakitan tanpa berani melawan.
“Magda
cocoknya menjadi pramugari kapal perintis,” Yodi menyeringai, kata-katanya
nyaris sinis, juga tatapan mata itu, aku pura-pura tak mendengar. Jauh di dalam
hati kurasakan kebersamaan yang memberikan rasa damai sekaligus cemas, karena
tak ada suasana yang benar-benar abadi. Setelah lulus Fransis akan pergi
mengikuti pendidikan kepolisian, Nurul ke Yogya, Yodi mungkin ke Jayapura. Ibu
Guru Ambar akan tetap bersiteguh sebagai pendidik, mengantar siswa siswi
menjadi manusia, bukan sekedar mendapatkan ijazah. Kebersamaan ini akan
berakhir, hanya lekat dalam ingatan.
Akhirnya kami
berhenti pada suatu tempat teduh untuk melepas lelah sambal meneguk air, jalan
santai benar menyehatkan. Kuluruskan kaki, Fransis tampak melatih diri dengan
berlari kecil, Ibu Guru Ambar dan Nurul sibuk selfi memuat foto jalan santai
hari ini di FB. Maka Yodi kembali mendekat, masih dengan kesombongan yang sama. “Aku mau ke Jayapura,
kuliah di Uncen. Lebih baik kita pergi ke tempat yang sama, kemanapun pergi
saya akan menyertai,” kata-kata Yodi teramat manis, mewakili segala ungkapan
cinta. Aneh, hatiku tak bergeming, aku bahkan tak pernah berminat menatap
sepasang matanya yang teramat dekat.
“Saya tidak
tahu mau kemana?” kutinggalkan Yodi seorang diri, aku benar enggan dekat dengan
juara kelas itu. Ia pernah mencuri sebuah ciuman yang membangkitkan geram, dan
aku masih tetap geram untuk jangka waktu
yang panjang. Tak seorangpun berhak mencuri ciuman dari seorang anak gadis
kepala suku. Kiranya Yodi belum benar mengerti siapa aku.
Udara cerah
dan segar, sinar matahari memberi segala pengharapan serta kesan yang tak akan
pernah lesap dalam ingatan, pada jarak dekat maupun terukur hijau daun seindah
kemilau batu zamrud. Akan tetapi, pikiranku gamang, membayangkan kehidupan di
tempat jauh yang belum pernah kukunjungi, bahkan dalam mimpi sekalipun.
Yogyakarta?
“Tak usah
cemas …. Segala sesuatu hanya perlu persiapan mental. Tetaplah memiliki
keinginan, keinginan untuk jenjang yang lebih tinggi, keinginan untuk pekerjaan
serta jaminan hidup yang lebih baik serta melihat dunia luar. Kehidupan akan
menjadi seperti yang kita inginkan. Atau, engkau mau selamanya terkurung di
dusun sagu?” Ibu Guru Ambar agaknya memahami kegamangan ini, tangannya yang
lembut namun kuat menggenggam telapak tanganku, kami jalan bergandengan seakan ibu dan anak dengan warna
kulit serta model rambut berbeda.
Diam.
Tak sepatah
kata terucap, benarkah aku ingin terkurung di dusun sagu, mendayung ci ke bevak, mereguk sepuas-puasnya keindahan
Sungai Fambrep bersama hijau daun, kabut embun, suara satwa liar serta merdu
ricik air yang mengalir dari hulu ke muara. Dan berakhir di rumah gaba-gaba,
atau terbang jauh meninggalkan bevak, beradaptasi
dengan kehidupan baru, mencapai prestasi yang belum pernah terbayangkan.
Syaratnya hanya ‘ingin’. Ingin meraih gelar sarjana beserta segala kemampuan
yang menyertai dan masa depan yang jauh lebih baik.
“Masih ada
cukup waktu untuk berpikir, engkau tidak perlu menjawab sekarang ….” Ibu Guru
Ambar selalu bijak, ia dapat memahami isi hati orang lain dari raut wajah yang
suram dan bimbang.
Kami terus
melangkah dalam suasana yang redup menjelang temaram, matahari seakan bola
raksasa berwarna jingga yang terus menggelincir di batas cakrawala dan berniat
tenggelam ke dasar samudera, lalu gelap menyergap. Kecuali sinar bulan dan
bintang menggantikan, maka langit akan lebih hitam dari tinta. Angin dingin
akan membekukan udara, maka segalanya akan berpulang menuju diam tanpa kata.
“Sabtu dan
Minggu sore kita jalan lagi, kumpul di rumah Ibu Guru, tidak perlu
pemberitahuan ulang. Okey?” kami duduk sebentar melepas lelah sebelum akhirnya
berpamit. Yodi dan Nurul naik sepeda kembali ke rumah masing-masing. Aku dan
Fransis berjalan kaki dalam arah berbeda, kami saling melambai sebagai salam
perpisahan.
Di atas
langit temaram.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar