BAB
IV
Makam
Benarkah susah senang
hanya rupa kehidupan, seperti pergantian gelap dan terang? Serupa pergolakan
air laut, sesaat pasang kemudian surut?
Yin – Yang, dua hal berlawanan, tetapi tidak
bertentangan, selalu mengisi, mencipta keseimbangan? Benarkah?
Aku lulus SMP, masih
dalam sepuluh besar. Ucok pindah ke Yogyakarta, mendaftar di Debrito, mempersiapkan diri lebih cermat supaya bisa
meneruskan ke Universitas Gadjah Mada Jurusan Fisika. Suasana lebih hening tanpa
Ucok, kami merasakan kehilangan yang dalam. Sela telah lari dengan pujaan hati,
melahirkan bayi dalam muda usia kemudian menghilang di tengah bevak. Mira pindah ke Merauke tinggal
dengan kerabat, meneruskan pendidikan di
bumi Animha. Tinggal aku dan Nurul yang masih bertahan satu kelas, kebiasaan
bertandang ke rumah Nurul pada hari libur masih berlangsung. Ada buku dan majalah di rumah Nurul yang bisa dibaca
dengan tenang, juga siaran televisi yang membawa pengetahuan melanglang amat
jauh, melewati jarak yang terukur.
Adapun Jan, ia telah
menjadi Tamtama, bertugas di Merauke. Jan menelepon via pak guru yang memiliki handphone. Sekali ia pernah kembali
kemudian ia berkabar bila telah pindah tugas ke Wamena. Segalanya berjalan
dengan baik, hingga pagi hari ketika berpamit aku melihat wajah mama teramat
pucat.
“Mama sakit?” tak dapat
kusembunyikan kekhawatiran.
“Tidak, pergilah ke
sekolah,” jawab mama singkat, aku tahu mama menyembunyikan sesuatu.
Seperti biasa aku
berjalan kaki ke sekolah, hari-hari lalu dengan tenang. Kali ini ada yang kacau jauh di relung hati,
kucoba menekan “kekacauan” itu dengan harapan sangat jauh tentang masa depan,
setelah aku bisa menjadi ibu guru, mengajar di depan kelas, berbagi pengetahuan,
moral serta pengalaman hidup. Akan tetapi, semakin hari wajah mama semakin
pucat, berulang kali muntah kemudian berbaring dalam keadaan lemah. Aku harus
mengambil tugas-tugas rumah tangga sebelum dan sepulang sekolah sehingga mama
dapat beristirahat dengan baik. Ketika persediaan sagu menipis, aku meminta kepada mama adik atau
mama tua. Dengan menghemat pendapat selaku kepala kampung bapa masih bisa
membeli ikan, atau ia pergi menjaring bersama Marius dan Hengki. Dengan
perhatian seluruh anggota keluarga kuharap kesehatan mama membaik, akan tetapi
yang terjadi sebaliknya. Wajah mama sepucat kertas, mulutnya lebih banyak
terdiam, ia berniat menanggung beban hidup seorang diri.
“Mama kita pergi ke
Pustu….” Aku harus membujuk berulang kali, bahkan bersitegang sebelum akhirnya
mama bersedia pergi ke Pustu yang terletak di lingkungan ini.
Ketika mendengar hasil
pemeriksaan suster –bidan, sepasang mataku terbelalak. “Mama mengandung….”
Suara itu seakan guntur yang merobek langit di siang hari. Mulut mama semakin
rapat mengatup, mama tahu apa arti mengandung kemudian melahirkan dalam usia
yang semakin tua. Tak seorang pun tahu dengan pasti tanggal berapa mama lahir,
tetapi kerutan pada wajah sudah cukup membuktikan saat ini bukan lagi waktu
yang tepat untuk mengandung dan melahirkan. Suster memberikan mama vitamin,
menyarankan datang ke Posyandu pada tanggal 23 untuk mendapatkan suntikan
tetanus toksoid bagi ibu hamil.
Sepulang dari Pustu tak
sepatah katapun terucap, mama tak berkenan mengikuti program KB, program yang
sulit dimengerti bagi masyarakat peramu dengan akibat mengandung dalam usia tua.
Kini mama harus menanggung beban di luar
kemampuan, “Melahirkan anak adalah rejeki orang,” aku mencoba menghibur. Mama
tak menanggapi, pandangannya menerawang terlalu jauh pada sebuah peta yang tak
dapat dikunjungi. Kerisauanku mulai berubah menjadi ketakutan yang semakin
kupendam semakin mengakar.
Semakin lama kandungan
mama semakin membesar, bapa tak berucap apa-apa, Marius dan Hengki sibuk dengan
sehari-hari yang tak perlu kumengerti. Aku akan punya adik, kuharap adik
perempuan, sehingga aku memiliki teman bermain di rumah ini. Harapanku
terkabul, hari itu sepulang sekolah terap sederhana tampak membentang di tepi
sungai di dekat rumah. Mama tak hendak melahirkan di Pustu atau di dalam rumah,
darah yang mengalir saat melahirkan dapat menyebabkan penyakit dan kematian,
sebab itu suster membantu mama melahirkan di tepi sungai tanpa kehadiran siapa-siapa. Aku menunggu dengan gelisah
hingga terdengar suara tangisan bayi, aku masih harus menunggu beberapa lama
hingga suster memberikan bayi kecil dalam bungkusan kain, seorang bayi
perempuan. Kini ada dua Teweraut di rumah panggung ini.
Tanganku gemetar ketika
menerima bayi itu kemudian menggendong dengan hati-hati, bayi itu terlelap,
sepasang matanya memejam –memejam, seakan putri tidur. “Tewerauta ….” Telah
kusiapkan tumpukan kain menjadi serupa kasur kecil tempat adik kecil berbaring,
aku akan selalu menjaganya hingga dewasa, mengajarinya menggambar, menulis, dan
membaca. Dengan hati-hati kubaringkan adik kecil di atas tumpukan kain, ia
masih tertidur dengan amat lelap seolah seluruh dunia membuainya.
Satu tabuh kemudian mama
telah sampai di dalam rumah dengan setumpuk kain berlumuran darah, aku tahu
pekerjaan penting itu, mencuci seluruh kain dengan air kolam. Air hujan hanya
sedikit tersisa di dalam drem, diutamakan untuk memasak dan menyeduh teh panas.
Wajah mama tiba-tiba berubah menjadi tua, sorot matanya padam, mama menahan
sakit. Ketika kusodorkan segelas teh panas mama hanya meneguk tanpa minat
kemudian berbaring di dekat tungku api, mama tak banyak berucap, tetapi segala
sikapnya telah menunjukkan betapa ia merasa amat lelah. Mama memerlukan istirahat yang amat panjang.
Malam berikutnya ketika Marius datang ke rumah bersama seorang
gadis, Melani untuk membakar sagu, kami tahu Marius telah menentukan pilihan
hidup. Ia telah dewasa dan tiba saatnya untuk hidup berkeluarga, maka
rumah kecil ini bertambah satu orang
penghuni. Kami harus menambah satu
tungku api untuk keluarga Marius. Demikian pula ketika Hengki pulang ke rumah
pada bulan berikutnya dengan seorang gadis, Adriani, ia telah pula menentukan pilihan hidup. Keduanya telah
dewasa, harus pula memiliki tungku yang berbeda. Maka Bapa, Marius, dan Hengki
dibantu beberapa kerabat menebang kayu di hutan untuk menambah luas rumah ini.
Kini kami menjadi keluarga besar dengan
tiga tungku api di dalam rumah.
Kehadiran maitua –istri Hengki dan Marius berarti tenaga inti untuk pergi menjaring dan
memangur sagu ke hutan. Selama bersedia bersimbah peluh memanfaatkan hasil laut
dan hutan, kami tak akan pernah kelaparan. Benar, kami tak pernah kelaparan,
tetapi betapa mama menjadi semakin kurus. Sejak kelahiran adik kecil yang kami
panggil Teweraut, mama menjadi semakin diam, tulang pipinya menonjol, kelopak
matanya membentuk cekungan, sedemikian dalam, sehingga aku harus menatap mama
berlama-lama untuk benar mengenalinya.
“Mama semakin kurus,
makanlah sagu yang banyak ma ….” Kuulurkan sebungkus sagu ulat yang masih
hangat. Aku ingin melihat mama menelan makanan dengan lahap, tetapi harapanku
kandas. Tatapan mama mengisyaratkan rasa sakit yang susah diungkapkan, bahkan
kepada anak yang sangat dikasihi sekalipun. Dan wajah itu sepucat kertas, andai
bisa memaksa mama bicara tentang kerisauan hatinya. Diam-diam aku putus asa,
aku ingin memaksa mama membuka mulut, berkata tentang apa saja. Akan tetapi,
aku sungguh tak berkuasa. Akupun diam --diam dan ketakutan.
Suatu hari kesehatan mama
benar-benar memburuk, mama tak bisa berlama-lama menggendong adik kecil.
Tubuhnya yang semakin kurus terbaring di dekat nyala api tungku, selepas hujan
udara benar dingin menggigit tulang. Marius dan Hengki telah dua hari tinggal
di bevak memangur sagu, bapa
berlama-lama di rumah bujang dengan orang-orang membicarakan persoalan partai.
Rumah ini tampak semakin tua, bocor pada beberapa bagian, kutadah air hujan
dengan loyang atau ember.
Ketika kesehatan mama
memburuk, demikian pula dengan kesehatan adik kecil, bayi itu menangis
berkepanjangan dalam demam yang amat tinggi, napasnya sesak seakan seluruh
tubuhnya ditindis beban yang amat berat. Ia hanya dapat meminum air susu ibu,
sementara mama merasa susah sungguh dengan hal yang satu ini. Dengan cemas
kugendong dan kutimang-timang Teweraut kecil, betapa ingin aku mendengar
tangisnya terdiam, melihat senyumnya yang manis dan sepasang mata yang sejernih
air telaga.
“Mari bawa ke sini adik
kecil….” Suara mama lemah, ia mencoba menyusui adik kecil, tetapi tangis itu
terdengar semakin menyayat.
Kuminta kembali adik dari
pelukan mama, kuberikan beberapa tetes air putih, ia kehausan, sesaat ia
terdiam, tetapi demamnya semakin tinggi. Adik kecil tak lagi menangis, karena
tak lagi tersisa tenaga untuk menangis. Ia terlalu lemah sekedar untuk
menangis, karena suatu hal yang tak pernah kuketahui. Hingga esok hari pada
pagi-pagi sekali tangisan adik kecil benar-benar terhenti, setelah demam yang
tinggi, muntah berulang kali, napas yang sesak dan tersengal. Dengan damai
sepasang mata yang indah tanpa dosa itu memejam untuk selamanya.
“Tewerautaaaaaaaaaaaaa…..”
tangis mama terpecah, memanggil seisi kampung berdatangan, orang-orang tahu
tentang jerit duka cita itu.
“Adik….. adik kecil….”
tenggorokanku tercekit, kupeluk tubuh mungil itu, tubuh yang belum sempat
beranjak dewasa, untuk melihat seluruh isi hutan dan isi dunia. Aku pernah
berkeinginan untuk membawanya beranjak dewasa, mengajarinya menggambar,
menulis, dan membaca. Kini keinginan itu tak lagi bersisa, seakan panas api yang menguap
bersama asap. Kehilangan sama sakitnya dengan kehampaan. Ketika ia pernah ada
dalam sepenuh harap, kini tiada, hanya ingatan yang menggigit selamanya.
Kalau air mata mama
pernah mengalir menjadi sepasang Sungai Fambrep ketika aku pernah membolos dari
sekolah selama setahun. Kali ini sepasang pipi mama banjir oleh aliran Sungai
Siret, sungai maha besar yang tidak pernah dapat diseberangi juara renang kelas
dunia sekalipun. Mama terjungkal, karena rasa bersalah dan kehilangan yang teramat dalam. Aku tak dapat
menghibur mama, karena terpelanting pada
rasa kehilangan yang sama. Ketika mama melumuri seluruh tubuhnya dengan hitam
lumpur, meraung hingga suara tangisannya
merobek langit. Aku melakukan hal serupa sebagai penanda duka cita. Bapa
dan seluruh kerabat menyertai ratapan kehilangan dengan cara yang sama, secara
bergantian kami menggunduli rambut.
Rumah tua ini segera menjadi rumah duka yang dikunjungi seisi
kampung. Sore hari ketika Marius dan Hengki kembali dari bevak dengan bernoken-noken sagu serta hasil hutan yang lain, maka
suara tangisan bertambah riuh. Tak ada gerak apapun di kampung hari ini,
kecuali menangisi bayi kecil yang bahkan belum memiliki nama. Wajah tak berdosa
itu tiba-tiba berkelebat seakan mata pisau yang menikam ulu hati ketika
dibaringkan di liang lahat samping rumah. Aku tak akan dapat lagi
menggendongnya, bahkan mengingat wajahnya dengan jelas, kecuali tubuh mungil
tak bersalah yang tak memiliki hak hidup untuk jangka waktu yang lebih panjang.
Ketika jenazah bayi kecil
itu akhirnya hilang ditelan bumi dalam raungan yang nyaris tak akan pernah
terhenti, langit telah padam pada mendung hitam yang menggantung, udara beku,
dedaunan risau ditampar angin dingin. Kuceburkan diri ke dalam kolam berwarna
coklat susu, kubersihkan seluruh tubuh kemudian kuulangi dengan air hujan dan sabun.
Kemudian aku termangu di depan api tungku, jilatan lidah api tak lagi sama,
belum lama seorang anak manusia terlahir menjadi bagian dari keluarga ini
kemudian ia pergi selama-lamanya, menorehkan rasa kehilangan yang dalam.
Apa sesungguhnya yang
terjadi?
Kelak aku akan tahu, ada
beberapa kemungkinan seorang bayi tak memiliki usia panjang. Pertama disebabkan
oleh infeksi saluran pernapasan, karena
sering dibaringkan di dekat tungku api, di atas lantai, gizi buruk menurunkan
daya tahan. Malaria adalah bahaya mematikan berikutnya, maka di kampung ini,
juga di kampung-kampung lain angka kematian bayi teramat tinggi. Rata-rata ibu
melahirkan delapan kali, tiga di antara bayi yang dilahirkan meninggal.
Bayi-bayi yang dapat bertahan hidup hingga dewasa adalah hasil seleksi alam,
karena daya tahan hidup yang luar biasa di tengah maha alam raya. Adikku,
Teweraut kecil meninggal, karena kemungkinan ini. Suatu kehilangan yang akan
mengejar sebagai bayang-bayang pada seluruh perjalanan hidupku. Aku tahu, mama
tak pernah dapat memaafkan dirinya, karena kematian ini. Di sisi lain, tanpa
pernah berucap, aku pun memikul kesalahan serupa. Aku tak cukup dewasa untuk
menyelamatkan kehidupan adik kandung,
seorang anak tak berdoa.
Sejak hari pemakaman mama
menjadi lebih sering diam, wajahnya sayu, seluruh tubuhnya hanya menyisakan
tulang belulang sudah pasti rubuh bila sepoi angin meniupnya. Mama membakar
sagu, membelah kayu bakar serta mengerjakan segala sesuatu hampir tanpa minat.
Mulutnya yang bungkam menimbulkan rasa takut yang tak dapat kuatasi, aku
menyerah.
“Panggil Jan pulang,
sampaikan mama sakit ….” Demikian permintaan mama dengan suara yang amat lemah,
nyaris tak terdengar. Aku tahu permintaan itu tak dapat ditolak, maka aku
berusaha mencari hubungan per telepon, dengan satu harapan kehadiran Jan akan memberi kesembuhan serta
semangat baru bagi mama. Benarkah?
Dua minggu kemudian
ketika Jan datang dengan seragam tentara, mama segera menghambur ke pelukannya,
air mata mama bercucuran tanpa sepatah kata. Aku tak tahu apa sesungguhnya
beban yang dipikul mama, mungkin rasa sakit yang semakin menggerogoti sejak
kehamilan serta kelahiran bayi mungil yang berakhir dengan tiada. Jan yang
gagah masih dapat menahan tangis, ia sungguh tampak dewasa dan menawan. Jauh
berbeda dengan Marius dan Hengki yang berpakaian kumal serta berwajah licik.
Mengapa pula harus ada tiga bersuadara dengan watak yang berbeda?
“Mama harus makan yang
banyak supaya sembuh ….” Jan menyuapkan mama papeda dan ikan kuah kuning. Mama
mengunyah tanpa selera, kemudian kembali berbaring memejamkan mata dengan wajah
lelah, seolah usai menempuh perjalanan ke ujung jauh tak berminat meneruskan
kembali perjalanan itu. Apa yang akan terjadi kemudian dengan mama setelah Jan
datang?
Ketakutan kembali
menyergap, kali ini tanpa perlawanan dan tanpa daya. Aku tak mampu mengucapkan
atau mengartikan, hanya menunggu detik-detik yang paling mengerikan, yang pasti meminta seluruh
ketabahan. Dan aku tak akan pernah sanggup memberikan, terlebih seluruhnya.
Sore itu langit lebih
muram dari mendung yang paling hitam, lewat pergantian tahun angin barat
berpusing, mematahkan dahan dan ranting. Air laut mendidih pada lidah ombak
yang marah, tak seorang pun berani turun ke laut dengan perahu kecil serupa
daun kering pada luas samudera. Setiap orang mendambakan keselamatan, kehidupan
serta usia yang panjang, akan tetapi adakah seluruh keinginan itu dapat selalu
terpenuhi tanpa syarat?
Mama meregang dalam demam
tinggi, karena malaria. Tablet yang diperoleh dari Pustu tak mampu menurunkan
demam, terlebih penyakit yang dideritanya. Berjam-jam mama menatap makam kecil
di samping rumah tanpa sepatah kata, sepasang matanya seakan lentera yang
mengerjap di tengah rimba belantara, nyaris padam. Andai mama memiliki
keinginan, atau alasan untuk sembuh, namun keinginan terdalam dalam diri mama
tampaknya menjauh –menjauh. Mama telah melihat Jan menjadi tentara. Mungkin
mama tak ingin lagi melihatku berdiri di depan kelas, mengajar sebagai ibu
guru. Atau entahlah? Aku tak mampu menjawab pertanyaan dan galau yang menelan
seluruh isi kepalaku.
Akhirnya mama berbaring
di dekat tungku api, “Nyalakan api, saya rasa dingin….” Suara mama
terbata-bata. Jan menuruti keinginan mama menyalakan api tungku, secercah api
yang perlahan menjilat sebagai lidah panas, memberikan suasana hangat.
Ketika aku mencoba
menyuapkan teh panas, mama menolak, “Sudahlah …. Tetaplah engkau sekolah supaya
menjadi ibu guru ….” Adalah suara dan permintaan mama yang penghabisan, setelah
itu mataku segera menjadi kubangan danau ketika tampak napas mama tersengal,
sia-sia menghirup udara. Wajah itu semakin pucat tanpa cahaya kehidupan,
kugenggan tangan mama erat-erat. Di dekatku, tanpa jarak bapa duduk terpaku
seolah telah tahu apa yang akan terjadi pada senja yang muram ini. Jan tak
berdaya, ia telah memenuhi panggilan seorang ibu kandung setelah perjalanan
yang panjang dan lama. Ia mencoba tabah
pada saat terakhir ketika seorang manusia sampai pada waktu menghadap Sang
Pencipta, karena panggilan-Nya.
Ketika tubuh mama
tiba-tiba lunglai tanpa perlawanan, tanpa mencoba berjuang menghirup udara
segar, aku tahu, saat yang paling menakutkan itu telah tiba. Aku tak memiliki
pilihan, kecuali melampaui rasa takut itu, “Mama ….. mama….” Kuguncang berulang
kali tubuh rapuh itu, akan tetapi mama tak lagi dapat mendengar jeritanku,
bahkan ketika raunganku memecah senja yang akan segera beralih rupa menjadi
gelap dalam angin barat yang tak henti berpusing. Bapa dan Jan menjerit dengan
raungan yang sama, Hengki dan Marius tergesa datang tak lama kemudian, langsung
memeluk tubuh mama yang lunglai tak bergerak. Dalam jangka waktu tak terlalu
lama rumah tua ini kembali menjadi rumah duka, kali ini lebih dalam dan
menyakitkan, karena mamaku tercinta berpulang untuk selama-lamanya.
Pandanganku tiba-tiba
berkunang-kunang, seluruh bintang di langit riuh berseliweran, amat terang dan
menyilaukan, membutakan seluruh pandangan. Aku terlupa dimana kiranya kaki
berpijak, aku terlupa tanggal, hari, bulan, dan tahun berapa sekarang?
Segalanya sirna menjadi helai selimut maha hitam tanpa tepi yang berkuasa
membentang. Aku kehilangan seluruh bobot, segalanya seringan kapas, terlalu
ringan hingga akhirnya tubuhku roboh bagai lapuk pohon bakau dihempas badai.
Ketika kembali terjaga
yang kurasakan adalah segala rasa sakit, karena kehilangan. Suara raungan dari
seluruh kerabat terdengar seakan ribuan batang bambu yang bergesekan, mengiris.
Makam adik kecil bahkan belum lagi kering, kini di samping makam kecil itu akan
digali lagi kembali makam yang lebih besar, tanah lumpur yang meminta mama
berbaring selama-lamanya, sementara aku tak akan pernah sanggup kehilangan. Belum lagi tumbuh rambut yang
digundul, karena duka cita kehilangan seorang bayi, kini kami harus kembali
menggunduli rambut, karena kematian itu.
Air mataku bukan lagi
mengalir seakan Sungai Fambrep atau Sungai Siret, tetapi pecah menjadi debur
ombak Laut Arafura. Air mata ini akan tetap mengalir sampai jangka waktu yang tidak akan pernah ada batasnya, setiap
ingatanku kembali pada mama, air mata ini kembali menitik. Aku belum lagi
berdiri di depan kelas menjadi ibu guru, belum lagi menjawab keinginan mama,
kini satu-satunya perempuan yang berperan mengubah seluruh takdir hidup telah
berpulang. Pernahkan aku membalas budi, ketulusan serta kekerasan hati mama
supaya aku menjadi siswa yang rajin ke sekolah dan memiliki masa depan.
“Mama ………….!” Aku kembali
meraung kemudian terguling untuk yang kedua kalinya. Waktu seakan terhenti, tak
ada lagi selimut maha hitam membentang hingga batas langit terjauh, yang menggumpal
kini gulungan kain kafan, semakin membesar dan terus membesar hingga akhirnya
menyumbat seluruh napasku.
Ketika jenazah mama
dibaringkan ke liang lahat dalam tangis
duka cita, aku melumuri seluruh tubuh dengan lumpur. Akan tetapi, tangis itu
tak mengubah apa pun. Tak mampu membangunkan tubuh mama yang terdiam selamanya.
Roh itu telah tercabut dari badan, melayang di udara, menyaksikan tangis
kesedihan serta keseluruhan pemakaman, tanpa mampu bersuara, berucap dengan
yang masih berhak akan kehidupan. Tanggung jawab mama telah selesai, ia berhak
menempuh istirahat panjang di alam keabadian, tak perlu memikirkan Marius dan
Hengki yang terlibat kawin kecil atau aku yang belum sampai untuk menjadi ibu
guru.
Lalu segalanya terasa
hampa, rumah panggung ini kehilangan roh, suasana sunyi menggigit hingga nyeri
di ulu hati. Suara tangisan reda berhari-hari setelah pemakaman ini, tak ada
lagi yang bisa dilakukan usai pemakaman kecuali doa dan pengharapan, selebihnya
diam. Aku tak tahu berapa lama terduduk
di depan makam, melupakan waktu, hari dan tanggal. Aku hanya menunggu gelap
tiba, untuk turun ke lumpur menyalakan lentera supaya adik kecil dan mama tetap
mendapatkan cahaya di alam sana. Alam keabadian yang menceraikan seluruh temu
dan percakapan, yang menyebabkan aku kehilangan tempat bersandar, kehilangan tempat bergantung, bagai lunglai
daun kerontang ditolak dahan.
Sore itu aku masih
terjerembab dalam kehilangan yang sama, ketika mendung menggantung, angin lebih
dingin dari hembusan sebelumnya. Kesunyian semakin dalam, bahkan jejak kaki di
atas papan seakan tanpa suara, demikian pula dengan kegembiraan kanak-kanak
bermain. Aku harus menelan bulat-bulat pahit di ujung lidah hingga membenam di
dasar lambung. Tak ada pilihan, tak pernah ada pilihan, kecuali menjalani
takdir selaku piatu. Makam mama dan adik kecil dingin tanpa kata, setiap gelap
kunyalakan lentera, sehingga tugu kematian itu sedikit dilumuri cahaya. Ketika
malam jatuh mama tidak benar-benar sendiri dan gelap. Sore ini aku melakukan
hal yang sama lalu duduk mematung, cahaya senja semakin luruh, menjadi temaram,
rembang petang, lalu gelap. Suara burung-burung riuh kembali ke sarang seakan
tak pernah kudengar, yang bergulung di telinga hanya hampa, daun gugur menuju
entah, dan angin yang mati.
“Tewerauta …. Sa bawa
ikan buat koe….” Tiba-tiba Fransis telah berdiri sambil mengulurkan seekor ikan
kakap.
Aku tak tahu mengapa ia
harus datang dengan seekor ikan, aku tak sempat memikirkan untuk tahu,
“Terima kasih ….” Tanpa sadar aku
berucap, aku tak pernah tahu bila Fransis berlama-lama menatap, aku tak perlu
tahu. Pikiranku menerawang terlalu jauh pada peta tak berujung, pada alam abadi
tempat mama beristirahat selama-lamanya.
“Engkau tidak pergi ke
sekolah?” suara Fransis teramat pelan, teramat pelan seakan cemas bila
daun-daun akan gugur bila ia sedikit bersuara lebih keras.
“Sekolah….?” Aku terhenyak,
entah berapa hari aku melupakan kebiasaan penting ini. Adakah mama tahu bila
telah cukup lama aku membolos, membuatnya kecewa? Fransis masih beberapa tabuh
duduk di samping tanpa kata kecuali satu pertanyaan yang telah terucap, kami
bersama dalam diam, sampai akhirnya Fransis berpamit, karena gelap benar telah
datang.
Yohana, Marius punya maitua segera menyambar ikan pemberian
Fransis tanpa menunggu jawaban, karena asap tungku benar harus mengepul. Aku
tak menolak, tak pula mengiyakan,
membiarkan segala sesuatu terjadi seperti apa adanya. Benar, kami harus
makan, bukan hanya hari ini, tetapi untuk selamanya. Kehidupan adalah suatu anugerah, bahkan
ketika mama berpulang sebelum aku benar-benar menjadi dewasa. Akan tetapi, aku
masih mempertanyakan satu hal yang disebut anugerah, karena kehilangan ini
terlalu menyakitkan hati --menyakitkan hati.
Sore berikutnya ketika
cahaya matahari kemilau seakan sinar emas yang jatuh pada hijau daun, aku
kembali duduk di samping rumah menatap makam yang diam membungkam. Air mata ini
belum juga kering, atau tak akan pernah kering, berulang kali aku menyeka,
berulang kali pula sepasang mata ini
mengembun. Aku akan tetap duduk
mematung hingga gelap turun seakan tabir misteri, akan tetapi
serombongan tamu tiba-tiba hadir.
“Magdalena ….”
“Magda….”
“Hello …. Selamat sore
….”
Aku terhenyak, ketika
Nurul, Ibu Guru Ambar, Fransis, dan Diana, ketua kelas telah berdiri di ambang
pintu dengan kantung berisi, teh, gula, kopi, biscuit, dan entah apa lagi.
Kehadiran itu memberi kesadaran, bahwa telah cukup lama aku menjauhkan diri
dari kehidupan yang membawa langkah amat jauh menuju pintu masa depan. Aku
menyendiri di tempat yang kelam, tak menghiraukan kehadiran siapa-siapa, seolah
waktu terhenti pada hari ini.
“Kami semua ikut berduka
cinta atas kepergian mamanda tercinta,” suara Ibu Guru Ambar merdu seakan
nyanyian biduan ternama.
Kupandang satu demi satu
wajah yang teramat dekat pada hari-hari sekolah, wajah yang nyaris kulupakan
dan kini hadir tanpa undangan. Tiba-tiba aku merindukan kebersamaan ini. Aku
terlalu hanyut dengan duka hati, melupakan yang sangat penting dalam hidup,
melupakan Nurul, Fransis, Diana, dan Ibu Guru Ambar yang sehari-hari mengajar
Bahasa Inggris.
“Terlalu lama engkau
meninggalkan pelajaran di sekolah. Setiap orang boleh berduka, boleh
kehilangan, akan tetapi setiap cucuran air mata ada batasnya. Tuhan memberi
kemudian memintanya kembali, Ia berkuasa. Manusia hanya pelaku, harus merelakan
segala sesuatu yang tidak akan pernah kembali sekalipun ….” Ibu Guru Ambar
selalu pandai menyusun kata-kata, suara serta perangainya lembut. Aku tahu
mengapa mama ingin sekali aku menjadi ibu guru, kiranya seorang guru bukan
hanya mengajar di depan kelas, tetapi mendorong seorang siswa yang kehilangan
semangat.
Sekali lagi kutatap
wajah-wajah tulus yang rela berjalan kaki menuju rumah tua dengan kantung penuh
bahan makanan sebagai ungkapan duka cita. Senyum di bibir Ibu Guru Ambar
teramat tulus, aku kembali meraung menjatuhkan diri di pangkuannya. Mengapa
seorang ibu guru yang piawai berbahasa Inggris mesti bersusah payah mendatangi
seorang siswa, seorang gadis rimba? Ibu Guru Ambar tampak menahan isak tangis,
demikian juga Nurul serta Diana. Fransis lebih kuat, ia telah tahu
sehari-hariku di kampung ini. Ibu guru membiarkan tangisku hingga mereda.
“Kutunggu kehadiranmu di
sekolah pada kesempatan pertama, mamanda tidak akan tenang di alam sana, bila
engkau tidak berlaku seperti yang dikehendaki. Mama ingin anak-anaknya memiliki
pendidikan cukup untuk masa depan yang lebih baik ….” Ibu Guru Ambar masih
terus memberikan dukungan.
“Tanpa engkau di kelas,
sekolah sunyi ….” Nurul menggenggam tanganku, aku tak pernah ragu dengan
ketulusan itu.
“Besok engkau harus
kembali masuk sekolah,” Diana menegaskan, ia menunjukkan tanggung jawab sebagai
ketua kelas. Seorang siswa tidak boleh membolos berlama-lama, apapun
masalahnya, disiplin amat penting bagi siswa bersangkutan, juga seorang
Teweraut yang tengah dirundung duka.
Tanpa sadar aku
mengangguk, kuakui kelalaian ini. Kami masih bercakap-cakap beberapa saat, satu
pertemuan singkat yang menyebabkan aku tahu, bukan kehilangan ini kutanggung
seorang diri. Bahkan seorang ibu guru yang kukenal pada jam pelajaran bisa pula merasakan kehilangan
ini. Tak ada seorang yang benar-benar sebatangkara, tanpa kepedulian
siapa-siapa, kehadiran ibu guru dan kawan-kawan inilah buktinya. Ibu Guru,
Fransis, Nurul, dan Diana akhirnya berpamit setelah memelukku satu demi satu.
Kali ini aku merasa damai, menjadi bagian dari yang lain, aku melambai
melepaskan langkah kembali empat orang itu hingga bayang-bayangnya
menghilang jauh dari batas pandang.
Malam ini aku berbaring
pada bilik yang sempit dengan remang cahaya lentera, aku telah meluangkan cukup
panjang waktu untuk mengaduh. Apakah seorang harus terus menjerit, karena
kehilangan dan ditinggalkan? Kutarik napas panjang berulang-ulang, ada tanggung
jawab lebih besar, meneruskan pendidikan untuk suatu masa yang pasti akan
datang. Kutatap tua langit-langit di atas bilik, wajah bersahaja mama kembali
membayang, wajah yang semakin pias dan pucat, mengabur semakin jauh, menghilang
dari batas pandang berganti dengan ribuan kerdip lembut cahaya kunang-kunang.
Cahaya itu riuh berseliweran dalam gerak zig zag, berubah menjadi kerdip
bintang, lalu mataku mengatup, memejam,
lelap dalam tidur panjang.
Aku terbangun dalam
keadaan lebih baik, berusaha menjadi kuat, membereskan seisi bilik yang kusut
masai, membersihkan diri, mengenakan pakaian seragam, meraih tas kemudian
melangkah dengan perlahan menuju ke
sekolah. Sekilas kutatap makam mama dan adik kecil, ingin rasanya mengaduh dan
mengurungkan niat pergi ke sekolah, akan tetapi hati baikku melarang. Aku terus
melangkah, kesunyian terasa panjang dan dalam, bahkan hembusan angin seakan
mati.
“Tewerauta ….” Suara
Fransis bergaung memecah hening, ia telah bersiap pula dengan seragam abu-abu
putih serta tas punggung. Sekilas ia tersenyum, setengah berlari ia menyamai
langkahku, maka kami berjalan bersisihan.
“Fransisooo….” Suara lain
kembali bergaung, adalah Lauren kawan satu kelas Fransis, iapun bergabung untuk
menempuh langkah yang cukup jauh ke sekolah.
Jembatan papan semakin
tua dan lapuk, ada kalanya kami harus melangkah dengan hati-hati supaya tidak
terperosok ke dalam lubang. Pada dua tepi jalan adalah rumah panggung, kios
serta beragam bangunan fisik yang dinaungi hijau pohon bakau. Tak sepatah
katapun terucap, Fransis dan Lauren tahu suasana hatiku, keduanya tak banyak
berucap hingga kami sampai di pintu gerbang sekolah.
“Magdalena ….” Nurul
nyaris menjerit, ia memelukku, tak sabar menggandeng tanganku menuju ruang
kelas yang mulai dipenuhi siswa dan siswi.
Hari-hari sekolah
berlanjut tanpa kehadiran mama, aku tak akan pernah meninggalkan hari-hari itu,
hingga masa berakhir dan sehelai ijazah akan tergenggam di tangan. Akan tetapi,
di rumah bapa memiliki persoalan berbeda,
karena kematian itu. Dan aku harus melakukan sesuatu.
***
Makam mama dan adik
kecil di samping rumah semakin diam, air pasang pada pergantian tahun akan
menggenangi tugu kematian itu, membenamkannya dalam air kecoklatan, membuat
setiap yang ditinggalkan semakin tak berdaya. Suasana rumah tak kalah diam
dengan kematian itu sendiri, Marius dan Hengki bergantian pergi ke bevak atau menjaring --bila sedang
berbaik hati, maka asap tungku masih menyeruak lewat celah atap rumah,
sebagai penanda masih ada kehidupan di
tempat ini. Akan tetapi, tak jarang keduanya pulang dalam keadaan mabuk,
mencercau, kemudian tertidur di teras rumah dan tak hendak terbangun dalam
sehari atau dua hari. Bapa telah menegur berulang kali, tetapi telinga Hengki
dan Marius seakan telinga panci, tak pernah mendengar teguran itu. Betapa beda
keduanya dengan Jan. Aku memasang jarak sejauh mungkin dengan Jan serta Hengki,
tak hendak terlibat dalam pertikaian yang tidak menghasilkan apa-apa.
Ketika Melani dan
Adriani mengandung dalam kurun waktu yang sama, perilaku Hengki dan Marius
nyaris tak berubah. Pulang larut dalam keadaan mabuk, meracau, bahkan melempar
barang atau membenturkan tubuh ke dinding. Entah apa sesungguhnya yang ingin
dicapai dua bersaudara itu, begitu dekat jarak antara kami, tetapi betapa tidak
pernah terhubung antara yang satu dengan yang lain. Bahkan, aku seakan tak
pernah mengenal keduanya. Belas kasihanku terjatuh pada Melani dan Adriani yang
harus memikul beban rumah tangga dalam keadaan mengandung pada usia muda,
keduanya telah menjatuhkan pilihan kemudian menanggung akibat seumur hidupnya.
Beruntung, aku telah memenuhi tuntutan mama untuk pergi ke sekolah sekaligus,
menghindari perkawinan dini yang berakibat fatal.
Penampilan Melani
dan Adriani mendadak berubah menjadi tua, keduanya harus tetap merawat tanaman,
memangur sagu ke hutan, menjaring, membelah
kayu bakar dalam keadaan mengandung. Di luar jam sekolah aku membantu
menyelesaikan pekerjaan itu, demikian juga ketika kandungan keduanya semakin membesar kemudian
melahirkan dalam rentang jarak yang tidak terlalu panjang. Aku ikut membantu
memandikan dan menjaga dua bayi mungil yang tidak bersalah itu, kehilanganku akan kematian adik kecil
yang belum mendapatkan nama terobati. Aku mulai dapat tersenyum, ketika ranting
kering patah, maka tunas-tunas muda tumbuh bersemi.
Akan tetapi, harus
kuterima kenyataan, betapa makin diam sikap bapa, ia kehilangan belahan jiwa,
seorang perempuan yang telah berbagi sekian lama hingga Jan tumbuh menjadi
tentara. Setelah raungan pada hari
pemakaman bapa tak pernah
mencucurkan air mata, tak ada tangis, tetapi sikap diam ternyata lebih
mengerikan dari tangisan. Wajah muram itu menyebabkan ulu hati nyeri seakan
teriris belati, aku tahu apa yang harus kuucap.
“Bapa, mama telah
menjadi tanah. Betapapun kita menyayangi, mama tak akan pernah bangkit lagi.
Bapa masih bisa menikah lagi ….” Suatu hari aku memberanikan diri berucap di
depan api tungku, kutatap wajah muram bapa. Betapa tidak mudah ditinggalkan
belahan jiwa? Dan betapa berat meneruskan hidup seorang diri.
Tak ada jawaban.
Pandangan bapa menerawang
jauh pada suatu tempat yang tak dapat dikunjungi, bahkan aku Teweraut anak
gadis kesayangannya. Sepasang mata bapa yang sayu akan berubah menjadi genangan
telaga, tetapi ia masih cukup mampu membendung kubangan air supaya tidak
menjadi isak tangis. Suatu hal yang tidak mudah, melupakan seorang perempuan
yang telah tiada kemudian menempatkan perempuan lain di relung hati. Kenangan
akan diri mama tak akan pernah pudar, sungguhpun mama telah menyatu menjadi
tanah.
Berhari-hari setelah
percakapan itu bapa masih tetap diam, maka suatu senja ketika sinar matahari
condong di langit sebelah barat, sekuning semburat emas yang terjatuh pada
dedaunan, aku kembali mengulang penawaran. “Kehidupan bapa masih sangat
panjang, tidak salah andai ada maitua
lain di rumah ini, tanggung jawab mama sudah selesai. Saya akan menerima
siapapun perempuan pilihan bapa, akan menyebutnya mama ….”
“Tewerauta ….” Bapa
memelukku sambal menghela napas berulang kali, kurasakan pergolakan batin yang
sangat dasyat, bahkan hingga beberapa minggu ke depan, ketika akhirnya bapa
membawa seorang perempuan ke dalam rumah untuk membakar sagu.
Bapa telah
menentukan pilihan hidup. Antonia, perempuan itu masih terlalu muda untuk
kupanggil mama, tetapi aku menepati janji, kuberikan senyum dan persahabatan,
kubela saat Marius dan Hengki menatapnya dengan benci. Bapa tampak lebih bersemangat, wajahnya yang muram tampak
lebih bersinar, ia memiliki seorang yang dapat pergi mendayung bersama untuk
memangur sagu atau menjaring ikan, juga tempat berbagi dalam suka dan duka.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar