BAB VI
FRANSIS
Malam benderang di
bawah purnama bulan dalam sinar batu
berlian, pun ribuan bintang berserakan seakan batu permata di atas sehelai kain
beludru maha hitam. Waktu yang sempurna untuk memancing karaka --kepiting
menjelang hari Minggu, aku tak harus mengerjakan tugas, atau cepat menyelinap
ke dalam bilik supaya esok bisa bangun pagi. Aku akan melewatkan sepanjang
malam di bawah purnama, memancing karaka sebanyak banyaknya, maka esok tak
seorang pun di rumah akan kelaparan. Tak terlalu jauh pada jarak terukur,
terdengar suara anak-anak menyanyi, cahaya cerlang rembulan membangkitkan
kegembiraan pada diri bocah-bocah untuk selalu bersama, bersuka ria. Tak
terdengar sumpah serapah dari orang-orang yang bertengkar atau mabuk di
jalanan. Kali ini aku berhak malam nan
damai di tanah kelahiran, bernaung di bawah cahaya bulan yang abadi saat gelap
menyergap.
Apakah aku akan
mampu meninggalkan kampung yang jauh ini dengan segala kenangan atasnya?
“Tewerauta …. “
tiba-tiba bayangan Fransis berkelebat mendekat, seakan telah tahu, bahwa pada
saat yang sama aku akan berada di tempat ini, di atas sungai, di dekat rumah.
“Dapat banyak karaka?” tanpa meminta persetujuan Fransis duduk, semula aku tak
memperhatikan, tetapi ketika menoleh aku melihat citra roman muka tak biasa.
“Lumayan untuk lauk
esok,” aku menjawab singkat.
Darahku tersirap
ketika tiba-tiba tangan kekar Fransis menggenggam erat tanganku, aneh aku tak
hendak melepaskan, aku tak merasa pula geram atau ketakutan. Aku bahkan merasa
nyaman, berapa lama aku pernah mengenal Fransis? Mungkin seumur hidupku.
“Tewerauta …. Maukah
engkau menunggu?” suara Fransis terdengar berat, dalam, dan bersunguh-sungguh.
Ia tidak sedang bermain-main.
“Menunggu?” rasa
heran menyergap. Mengapa aku harus menunggu?
“Besok dengan kapal
aku akan ke Timika terus ke Jayapura mengikuti tes polisi. Maukah engkau
menunggu hingga pendidikan dan ikatan dinas selesai, kemudian aku akan
melamarmu?” suara Fransis bergetar, ia sedang memberanikan diri.
Aku tergagap,
jantungku seakan henti berdetak, aku tak pernah menduga kata-kata ini, tetapi
tak kuasa menolak. Aku tak memiliki alasan menolak, apa yang kurang dalam diri
Fransis? Bukan saja aku telah mengenal seumur hidup, tetapi aku tak pernah
meragukan kebaikan serta tanggung jawabnya. Ia tahu aku anak seorang kepala
suku, hal itu berarti ia tak berhak bertindak sesuka hati, bahkan andai ia
bisa.
“Maukah engkau
menunggu?” genggaman Fransis semakin erat, aku dapat merasakan dua hal
sekaligus, ketakutan serta harapan. Dapatkah aku mengabaikan?
Kata-kataku tertahan
di tenggorokan, aku bahkan tak mampu menjawab, mengapa tiba-tiba Fransis
meminta kesanggupan, selama ini ia tak pernah mengatakan apa-apa. Atau,
bertahun sudah sepasang mataku buta adanya. Ketika menoleh dalam jarak teramat
dekat --satu hembusan napas, sepasang mata
kami saling bertatatapan. Aku tidak sedang terseret ke dalam sepasang danau
kembar sedalam lautan yang dingin dan menenggelamkan. Aku melihat telaga
sejernih kaca, ketika ikan-ikan riang berenang di dalamnya. Kata-kata kembali
tertelan di tenggorokan, aliran darah tiba-tiba berpacu seakan gemuruh air
terjun.
“Tewerauta ….”
Fransis tak pernah memanggilku dengan Magda seperti kawan-kawan di sekolah, ia
tahu bagaimana harus memangil anak gadis kepala suku, ia tinggal terlalu dekat
dengan lingkunganku.
Aku masih kehilangan
kata-kata, sebagai jawaban kusandarkan kepala di pundaknya. Fransis menghela
napas panjang, ia tahu jawaban itu. Napasku seakan terhenti, aku ingin waktu
membeku, memberi peluang tanpa batas supaya aku dapat menyandarkan kepala ke bahu yang kekar untuk
selama-lamanya. Akan tetapi, jarum jam terus berdetak pada hitungan pasti, tak
dapat diputar undur, angin semakin dingin. Di atas bayangan talam bulan masih
menggantung pada gemerlap cahaya yang membangkitkan khayalan.
“Engkau bersedia
menunggu?” kurasakan tangan Fransis memeluk punggungku, waktu seakan membawaku
terbang menuju langit penghabisan.
Sebagai jawaban
kucium lembut pipi Fransis, “Ya, saya akan menunggu ….”
Malam menukik pada
suhu yang paling dingin, embun pertama telah gugur, hening malam yang dalam
serta sesekali suara satwa liar. Bintang-bintang tampak lebih terang berpijar,
dan kunang-kunang itu adalah lembut cahaya yang menggenapi nuansa. Aku tak
pernah ingin melepaskan diri dari pelukan Fransis, aku ingin bersama selamanya.
Aku terlupa, bahwa waktu dapat lebih cepat bergerak seakan terbang, karena
cemas akan kehilangan.
“Tewerautaa…..
pulang sudahoooo….. su mau pagi ini…..!” adalah suara bapa, aku tahu bapa tak
perlu mengulang panggilan untuk yang kedua kalinya. Apa yang akan terjadi, bila
aku tetap membiarkan diri bersandar pada pundak Fransis. Bapa masih meneruskan
keinginan mama supaya aku menjadi ibu guru. Waktu untuk memancing karaka sudah
habis, demikian saat-saat paling mengesankan bersama Fransis, demikian cepat
berlalu.
“Bapa telah
memanggil pulang, pulanglah. Besok kapal jam 10.00, bila engkau bersedia ke
dermaga ….” Fransis melepaskan tangan dari bahuku, sekilas ia memberikan ciuman
kemudian melangkah tanpa pernah kembali
berpaling.
Di tempat berdiri
aku terpaku seakan ukiran kayu, sulit menyadari segala yang baru terjadi. Tak
pernah kusangka setelah seumur hidup perkenalan Fransis akan meminta
kesanggupan menunggu dengan cara paling terhormat. Hanya sesaat, karena waktu
tak pernah bersedia menanti, bahkan memintanya berjalan kembali ke rumah tanpa
menoleh, esok akan membawanya pergi jauh –amat jauh dengan kapal putih. Aku
akan mengenang malam mengesankan ini seumur hidup dalam susah dan senang, dalam
harapan dan keputusasaan.
“Tewerautaaa ……”
suara bapa kembali memanggil.
“Iya bapa …. Saya
pulang,” tergesa kukemasi ember yang telah penuh karaka, pancing, serta helai
kain yang mulai tua.
Ketika melangkah
kembali ke rumah berupa perasaan menghantam seakan badai, kebahagiaan ini
melambung sedemikian tinggi, seakan hendak mencapai cahaya purnama di langit
malam. Aku mendapatkan permintaan dari orang yang tepat untuk hidup bersama
suatu waktu, selamanya. Aku berhak bangga sekaligus bahagia untuk hal ini.
Aku merasa amat kuat dan tersanjung. Akan tetapi, pada jarak
yang tidak terlalu lama, bahkan teramat dekat Fransis berpamit, menuju masa
depan, pada tempat yang sangat jauh dan belum pernah sekalipun kukunjungi.
Benarkah ia akan kembali? Benarkah ia akan menepati janji?
Kini aku harus menyadari arti ketakutan, arti kehilangan.
Pertemanan selama ini dengan Fransis telah membawa pada suatu pengertian, aku
benar tak sendiri dan sangat berarti bagi orang lain. Ketika akhirnya Fransis
meminta kepastian, aku tergagap kemudian harus melepaskan kepergian pada
hitungan waktu yang terlalu singkat. Kapan lagi akan bertemu? Mungkinkah
memancing karaka pada malam bulan purnama tak akan pernah terulang?
Hingga langit terang
mataku nyaris tak dapat terpejam, pada langit-langit bilik selalu tampak wajah
Fransis. Aku terlambat mengenali arti segala sikap serta tatapan matanya, aku
bahkan tak menyadari betapa nyaman selalu dengan kehadirannya. Kini Fransis
berpamit dengan sebuah permintaan sekaligus janji untuk datang melamar, janji
yang indah dan pasti kutunggu hingga akhir waktu. Hanya sesaat setelah mata
memejam, aku tergesa bangun, aku hanya memiliki sisa waktu dengan Fransis
hingga kapal masuk, selebihnya akan
menunggu dalam waktu yang amat panjang serta tak pernah tahu dimana
ujungnya.
Misa Hari Minggu
kuikuti dengan tergesa, aku masih dalam pakaian ibadah serta noken berisi Al
Kitab kala datang ke rumah Fransis kemudian
berjalan ke tambatan perahu bersama anggota keluarga yang lain kemundian
menumpang long boat. Aku tak perlu merasa bersalah ketika menggandeng tangan
Fransis, demikian pula ketika duduk merapat di sebelahnya. Suatu sikap yang
membuat siapapun mengerti, kami telah bersiap bagi hari perkawinan itu. Suatu
hari yang aku bahkan belum mampu melihat, kecuali harapan yang sangat jauh.
Dermaga dipenuhi
ratusan, bahkan mungkin ribuan manusia, tukang pikul, pedagang, penumpang, dan
pengantar, yang lebih banyak adalah pengantar. Matahari mulai menyengat,
sungguh berbeda dengan sinar purnama kala aku
hanya duduk berdua dengan Fransis, tetapi apa peduli. Selama Fransis di
samping panas api pun tak berarti apa-apa. Aku masih memiliki kesempatan
terakhir untuk selalu bersama Fransis,
ketika kapal putih stom dari kejauhan dengan suara keras membelah seluruh
kehidupan di sekitarnya. Aliran darahku seakan membeku, waktu kembali melayang
bersama jadwal pelayaran kapal, aku harus tahu arti tak berdaya. Suatu perasaan
tak ingin kehilangan, tetapi harus, kali ini aku tak mampu membendung air mata.
Setelah keberangkatan ini, masihkah aku bisa duduk berdua, menyandarkan kepala
di bahu Fransis di bawah bulan purnama? Ketika bintang-bintang dan lembut sinar
kunang-kunang ramai pula bertebaran.
Beberapa saat
setelah kapal sandar, maka penumpang bersama segala rupa barang
berdesak-desakan turun. Suasana hiruk pikuk nyaris tak terkendali, aku mulai
kehilangan waktu. Ketika jarum jam sampai pada detik terakhir untuk
kebersamaanku dengan Fransis, air mata gugur, isak tangis pecah, kujatuhkan
diriku ke pelukan Fransis. Kini aku benar-benar terjebak pada rasa takut
teramat dalam, teramat ragu untuk bisa kembali melepaskan. Wajah Fransis sayu
menahan air mata, ketika melambai kemudian berdesakan menaiki tangga kapal
bersama seorang anggota Polres Asmat yang bertugas mengawal hingga ke tempat
tujuan. Rasa hampa menyergap ketika kapal
kembali stom sebagai tanda keberangkatan, aku masih terpaku tanpa daya
ketika kapal berputar menuju muara kemudian perlahan bergerak melawan riak
ombak, membawa Fransis semakin menjauh. Tanganku yang pendek tak akan dapat
menggapai –--tak akan pernah dapat. Sampai kapal jauh di muara aku masih
berdiri, tetapi tiba-tiba cuaca berubah dengan cepat, terik segera gelap
karena mendung, perlahan gerimis jatuh
bagai cucuran air mata peri yang mengisak, karena duka hati. Aku mulai merasa
tubuhku menggigil, kesempatan pertama harus kembali ke rumah untuk menyepi di
dalam bilik setelah itu aku dapat menumpahkan seluruh rasa kehilangan, harapan,
dan keputusasaan.
Oh Fransis ….
Setelah
keberangkatan itu aku melalui hari-hari dengan hampa, segalanya berjalan lambat
dan menakutkan untuk sebuah kabar. Ketika kabar dari Fransis tak juga datang,
diam-diam aku menangis pada sudut bilik yang gelap, tetapi sampai berapa lama
air mata ini harus mengucur? Ujian semester di ambang pintu, aku harus lebih
sering bertandang ke rumah Ibu Guru Ambar untuk belajar soal-soal. Ibu Guru
terus memberikan gambaran yang jelas tentang Yogya, ia tidak sedang
berpura-pura ketika memintaku untuk pergi kuliah kesana, ia telah mempersiapkan
segalanya. Apakah aku harus undur diri? Jawaban dari suara hati adalah,
“tidak”. Hal itu aku benar harus mempersiapkan diri untuk suatu masa pendidikan
tinggi yang panjang pada peta yang sangat jauh dan tak mudah kumengerti, tetapi
harus.
Tapi dimana Fransis?
Beberapa bulan
kemudian, Julian, adik laki-laki Fransis tergesa datang dengan HP di tangan,
“Fransis mau bicara ….”
Aku tergagap, berapa
lama sudah harus menunggu untuk datang hari ini, “Halo …. Fransis …. Apa
kabar?” suaraku nyaris menjerit.
“Baik ….. baru
terima kabar kelulusan. Besok saya akan memulai hari pendidikan ….” Suara
Fransis terdengar bangga, ia tak dapat menyembunyikan kegembiraan.
“Selamat …. Selamat
…. Berapa lama?”
“Satu tahun ….”
“Lama juga, tapi
engkau sehat-sehat saja?”
“Saya sehat, latihan
fisik setiap hari, kepala botak. Mungkin engkau tak mengenal saya lagi kalau
ketemu,” ada nada rindu teramat dalam suara itu.
“Tak mungkin saya
tak mengenal Fransis, jadi selama satu tahun engkau terkurung di tempat
pendidikan?”
“Ya, demikianlah
calon polisi. Tapi engkau masih bersedia menunggu?”
“Mengapa masih
bertanya?”
“Tapi Tewe, saya
tidak bisa berlama-lama, ada panggilan. Daaaa ….. sampai jumpa,” sambungan HP
padam tiba-tiba. Aku terpaku, demikian ketatnya pendidikan itu, sehingga bicara
via seluler juga sangat dibatasi waktu.
Aku seakan
terlambung sedemikian tinggi ke langit biru, kemudian terhempas kuat-kuat
dengan perasaan hampa. HP kuserahkan kembali kepada Julian, aku terlupa untuk
mengucap terima kasih, pikiranku kembali melayang pada malam bulan purnama
ketika menyandarkan kepala di bahu Fransis. Bahu itu kini demikian jauh tak
terjangkau, bahkan suaranya menjadi amat mahal serta mustahil untuk didengar.
Kapan lagi aku akan mendengar suara itu?
Jauh di dalam hati
aku mengeluh, bila tahun berikut aku benar harus ke Yogya atas saran Ibu Guru
Ambar, apakah aku masih dapat memancing karaka bersama Fransis di bawah bulan
terang? Tiba-tiba keraguan menghantam sedemikian hebat, tak ada pilihan
kecuali menekan ragu untuk jangka waktu
yang tak ada batasnya, atau sampai waktu benar membuktikannya.
Berikutnya aku
membenamkan diri untuk persiapan ujian semester, mengikuti keinginan Ibu Guru Ambar untuk belajar lebih keras pada
hari aktif dan bersantai pada Sabtu sore, hari Minggu atau libur. Aku sudah
berketatapan untuk meneruskan kuliah ke Yogya, hal itu berarti aku akan berada pada jarak semakin
jauh dari Papua dan Fransis. Entah kapan akan terjadi pertemuan itu, aku mulai
ragu. Kutekan keraguan sedemikian kuat, menjadi kesakitan, bahkan keputusasaan,
tak seorang pun tahu dimana jalan hidup ini berujung.
“Magda ….. saya
tunggu besok di rumah untuk bakar ikan, sorenya jalan santai. Ajak Nurul juga
….” Suara Ibu Guru Ambar sepulang pelajaran.
“Baik ibu …..” acara
bakar-bakar ikan serta jalan sore adalah hiburan segar di ujung jauh ini, aku
dapat melupakan segala cemas serta rasa gamang, melupakan bahwa kebersamaan
dengan ibu guru selalu dibatasi waktu. Pada akhirnya segalanya hanya tinggal
kenangan, sekalipun tak terpisah dari ingatan, tetapi sulit kembali terulang.
Keesokan hari
setelah misa pagi hari, aku bergegas berjalan kaki menuju ke rumah Ibu Guru, mujur Hengki dan
Marius kelebihan hasil tangkapan, maka aku dapat menjinjing seekor ikan kakap
berukuran besar yang masih segar. Sepasang mata Ibu Guru membelalak lebar
melihat ikan dalam genggaman. “Besar sekali, ikan segar lagi ….”
“Marius dan Hengki
pulang menjaring, ini rejeki hari ini,” tanpa meminta persetujuan aku menuju
rumah bagian belakang untuk membersihkan ikan, mengucurinya dengan jeruk asam,
membubuhinya dengan garam serta royco, dan lada bubuk. Kemudian menyalakan api
tungku, setelah menjadi bara ikan akan dibakar hingga matang serta menebarkan
aroma menakjubkan.
“Halo sayang ….”
Tiba-tiba Yodi telah berdiri di samping meraih pinggangku dengan santai, seolah
ia memang berhak untuk berlaku seperti itu. Ia tidak pernah tahu apa yang telah
terjadi antara aku dengan Fransis, ia tak perlu tahu dan tak berhak untuk tahu
dengan akibat ia teramat yakin meraih pinggangku tanpa rasa bersalah.
“Ehem ….” Terdengar
suara Nurul berdehem, kerlingan sepasang matanya sungguh nakal serta membuat
dada sesak. Nurul pun tak pernah tahu apa yang terjadi antara aku dan Fransis,
betapa kerinduan ini membuatku seakan mati. Ia hanya tahu Yodi selalu mencari
kesempatan mendekat, mendekat untuk suatu hari yang belum tentu akan tiba.
“Oh kiranya ada yang
sakit batuk. Maka minumlah komix ….” Yodi tetap tenang seperti biasanya, aku
tak tahu mengapa ia masih juga berniat mendekat, meski aku tak pernah
menanggapi, bahkan memasang muka “bunuh” muka seram.
“Ha ha ha ….” Nurul
tergelak, suaranya lepas, memenuhi seisi rumah, ia tak peduli bahwa ia tengah
berada di rumah Ibu Guru, bukan rumah pribadi. Sekilas tampak Ibu Guru Ambar
merasa geli melihat ulah siswa siswi, ia sama sekali tidak terganggu dengan
suara tawa lepas yang bergaung pada seisi ruangan. Ia maklum akan sikap anak
pelajar di luar jam sekolah. Kebebasan serupa kegembiraan tanpa batas.
Nurul kembali
membantu Ibu Guru Ambar memasak nasi, sambal, lalapan serta sirup dingin, Yodi
membantuku menyalakan bara, membakar ikan, melumurinya dengan kecap serta
minyak goreng. Udara segera penuh dengan aroma yang menerbitkan selera. Dari
dalam ruangan terdengar denting piano Richard Clayderman, Ibu Guru penggemar
musik klasik. Sebagai penyerta aku mulai
terlena dibuatnya, suara itu demikian merdu, sejenak aku bahkan terlupa pada
posisi mana sebenarnya berdiri. Hingga akhirnya semua hidangan siap dan perut
benar terasa lapar.
Entah apa yang
sesungguhnya dibicarakan, tetapi Yodi tiba-tiba akrab dengan Nurul, keduanya
tampak seakan dua sahabat tak terpisahkan, saling menyayangi. Aku hanya berdua dengan Ibu Guru Ambar menghadap
meja mungil dengan masing-masing piring penuh hidangan lezat serta segelas
sirup dingin. “Engkau sudah benar bersiap ke Yogya untuk masa depan yang lebih
baik?” Ibu Guru membuka pembicaraan.
“Kira-kira demikian
Ibu,” jawabku singkat, Ibu Guru tampak lega, ia telah berhasil membangun
keberanian seseorang untuk pergi jauh dalam rangka pendidikan tingga sekaligus
kesetaraam gender.
“Ibu sedang
mempersiapkan engkau punya bea siswa serta kemudahan untuk belajar di
universitas negeri. Berdoalah, upaya itu terkabul,” ucapan Ibu Guru Ambar
sungguh-sungguh. “Jangan membuat mama kecewa, engkau bisa menjadi lebih dari
seorang Ibu Guru, dan hal itu akan mengubah seluruh hidup. Jangan ragu, jangan
takut. Bila Nurul tidak menyertai, Ibu Guru akan mengantarmu ke Yogya, sekalian
mengunjungi Tara,” Ibu Guru Ambar mengunyah makanan dengan nikmat, seolah
seluruh beban hidup hanyalah desiran angin nan lembut, tak perlu dipersoalkan.
“Bicarakan dengan
mama dan papa tentang rencana ini, mintalah doa restu supaya semua berjalan
lancar,” Ibu Guru meneguk minuman dingin, kemudian menyeka mulutnya yang basah.
Ia sungguh menikmati hidangan ini.
“Baik Ibu ….”
“Besok akan ada tes
masuk ke perguruan tinggi melalui penelusuran minat dan bakat. Jangan lewatkan
dan tetap berharap yang terbaik,” Ibu Guru Ambar menganggukkan kepala,
memberikan keyakinan.
Kali ini aku
benar-benar mengerti untuk tidak mengatakan, “tidak” atau aku tak akan pernah
sampai pada hari esok serta kesetaraan gender. Aku harus tahu arti kesungguhan
hati, keyakinan serta masa depan. Ibu Guru Ambar sudah bekerja keras untuk hal
ini. Adakah aku memiliki cukup alasan untuk menyia-nyiakan? Pastinya tidak.
Seperti biasanya aku
kembali mengemasi perlengkapan makan yang kotor, mencucinya di westafel,
menjungkirnya di rak piring. Nurul membersihkan lantai, sementara Yodi tampak
membantu Ibu Guru memotong dahan pohon yang terlalu tinggi serta menyiangi
tanaman. Setelah itu aku mencari tempat yang aman dari jangkauan Yodi untuk
membaca buku saku tentang Yogya serta beberapa brosur tentang kota yang sama.
Sore hari kami jalan
santai bertiga, akan tetapi menjadi riuh, karena bertemu dengan guru serta
siswa yang lain dari sekolah yang sama. Maka aku selalu bisa memasang jarak
dengan Yodi, menikmati kebersamaan yang dalam pada situasi berbeda dengan jam
sekolah. Aku harus mengerti, bahwa betapapun seorang mencintai tanah kelahiran,
ia harus rela meninggalkan jauh di seberang lautan demi masa depan. Bukankah
selalu hadir suatu waktu untuk kembali dan bersama lagi? Dedaunan tampak lebih
hijau, demikian juga aneka warna bunga yang mekar pada halaman rumah. Langit
biru tanpa batas, awan seputih kapas, adapun wajah-wajah yang berpapasan
kemudian melambai adalah kesahajaan yang menyapa hingga ke relung hati
terdalam.
“Ada apa sebenarnya
antara engkau dengan Yodi?” Nurul berbisik, kerlingan matanya masih nakal
dan menjemukan.
“Tidak, ia belum
tahu bila di dusun sagu seorang Teweraut adalah anak gadis kepala suku,” aku
sungguh sebal dengan pertanyaan itu. Akan tetapi, Nurul sungguh menikmati canda
ria bersumber dari kenakalan Yodi mendekatiku.
“Kamu cantik sih,
maka banyak yang tergila-gila, ha ha ha ….” Suara gelak tawa kembali bergema
seakan menggetarkan dedaunan, suasana menjadi riuh. Nurul tak pernah mau
menyadari, betapa wajahku menjadi sangat jemu. Betapa aku merindukan Fransis,
sedang apa ia sekarang? Adakah ia tengah bersiteguh di aral rintang, mendapat
hukuman serta ganjaran, karena kelalaian? Bayangan itu sungguh jauh tak
bertepi, aku harus tahu betapa menakutkan kehilangan. Sampai kapan harus
menunggu? Kapan akan datang suatu hari untuk bertemu?
Pikiranku mengawang
terlalu jauh, aku tak peduli ketika berulang kali Yodi mencuri pandang, ia tak
pernah menyerah, dan aku lebih senang berpura-pura tidak pernah tahu. Aku telah
menyerahkan seluruh hatiku kepada Fransis, bukan Yodi, si pengganggu yang
selalu mendapatkan celah waktu untuk melirik dan mendekat. Di sepanjang jalan
hingga kembali ke rumah yang terbayang pada wajahku adalah senyum manis
Fransis, kerinduan ternyata menyakitkan. Aku tak pernah tahu sampai batas mana
bisa mempertahankan.
Usai jalan sore,
matahari padam dengan amat cepat, cahaya kekuningan dalam sekejab berubah
menjadi temaram, memudar, memucat. Kami saling melambai untuk bertemu kembali
esok hari, aku melangkah seakan terpuruk pada kesendirian yang teramat dalam
tanpa dasar. Ingin rasanya aku terbang ke Jayapura, memeluk Fransis, menyatakan
betapa aku merindukannya dan tak seorangpun mampu mengobati kerinduan itu
kecuali sang kekasih hati. Aku membersihkan diri dengan cerpat tanpa sepatah
kata hingga gelap tiba.
Malam ini benar tak
segelap tinta, dari langit sebelah timur sinar bulan memancar cemerlang,
bintang-bintang riang bertebaran seakan bersinar di atas sehelai kain beludru
berwarna hitam. Aku kembali terseret pada suasana malam itu, malam ketika
Fransis meminta kesediaanku menunggu kemudian berpamit pergi --berpamit pergi
seakan tak akan pernah kembali. Benarkah?
Kuraih pancing,
ember serta umpan. Aku hendak membenamkan diri ke dalam nostalgia yang berasa
hampa, tak terelakkan betapapun aku ingin menghentikan semuanya. Kiranya
kewenangan manusia amat terbatas bahkan untuk sekedar bertemu. Kali ini aku
merasa teramat kecil, jauh, dan tak berdaya, yang bisa aku lakukan adalah duduk
persis di atas papan jembatan di dekat rumah, di atas kali untuk memancing
karaka. Aku tak merasa susah atau senang ketika kail berhasil mendapatkan hasil
tangkapan, aku hanya mematung memandang seisi kampung yang tampak temaram di
bawah sinar rembulan.
“Tewerauta …. Ada
yang risau di kau punya hati?” tiba-tiba bapa telah duduk di sampingku, tepat
di tempat Fransis pernah duduk, memintaku menunggu kemudian berpamit pergi.
Mulutku terkunci,
aku tak tahu apa yang harus kukatakan, lidahku kelu. Kudengar bapa menghela
napas panjang, seakan ia tahu segala yang gundah di ulu hati. Bapa seorang tua
yang telah cukup kenyang dengan asam garam kehidupan. Ia telah
ditinggalkan mama, telah mendapatkan
pula pengganti, akan tetapi apa bedanya? Bayangan mama tak pernah menghilang
dari ingatan, sering aku melihat bapa terduduk di depan makam mama, wajahnya
muram. Ia menyembunyikan kesedihan teramat dalam pada sepasang matanya yang
menua, untuk hal yang satu ini aku tak
pernah berdaya menghiburnya.
“Bila memang jodoh,
Fransis pasti pulang kembali untuk engkau. Bila tidak, akan ada cerita lain,
ada yang mengatur, tak usah engkau sesali,” suara bapa berat.
Diam.
Malam merangkak
mendorong bayangan talam rembulan di ketinggian. Sampai kapan aku akan
menyembunyikan kegundahan hati, bukankah aku sudah tak sanggup lagi? Kurasakan
tangan bapa merangkul pundak, angin berhembus dingin, bintang-bintang seakan
menjauh, lesap dalam hampa. Aku tak
berdaya ketika sepasang mataku berembun lalu gugur seakan gerimis, pipiku
basah. Semula hanya gerimis, tetapi akhirnya tangis ini pecah seakan air bah,
berubah menjadu genangan danau. Bapa membiarkan aku menumpahkan kesedihan,
rupanya ia tahu, menangis selalu mengurangi beban hidup.
“Berat terpisah
jarak dan mungkin kehilangan, akan
tetapi engkau harus memenuhi pesan mama, menjadi ibu guru,” suara bapa serak,
wajahnya sendu. Ia tak pernah benar sanggup ditinggalkan mama, tak seorang pun
mampu menggantikan tempat di hatinya. Tidak juga seorang perempuan bersahaja
yang kini bersedia menjadi istrinya.
“Saya mengerti bapa,
saya akan menjadi lebih dari ibu guru, lebih dari sekedar pesan mama,” aku
masih bersandar di bahu bapa, tak mampu lagi menyembunyikan kerapuhan, karena
sesungguhnya manusia adalah bagian baku dari rapuh.
Sekali lagi bapa
menghela napas panjang, aku tahu kasih sayang bapa tanpa batas, terlebih
setelah kepergian mama. Bapa akan melepas anak perempuan pergi jauh dengan amat
berat, karena jarak yang meregang pada satu tempat yang belum pernah dan
mungkin tak akan pernah dapat dikunjungi. Bapa tahu pula kerinduanku akan
Fransis yang tak juga terobati –menjadi dewasa ternyata tak mudah, harus
bersiap menghadapi segala kemungkinan dan kesulitan yang paling buruk
sekalipun.
Aku tak tahu hingga
berapa lama terduduk di atas jembatan, di bawah cahaya bulan, hingga malam
sampai pada saat yang paling dingin, embun yang pertama gugur. Ember telah
penuh dengan karaka dan sinak, sepasang mata seakan digayuti lempeng besi. Aku
harus menyudahi malam ini untuk tidur dan kesibukan esok hari. Kami
bergandengan tangan kembali ke rumah panggung yang semakin lapuk dan tua,
meninggalkan lenggang suasana jembatan papan. Wajah Fransis tetap mengapung di
langit-langit bilik ketika aku berbaring, semakin lama semakin mengabur hingga
akhirnya aku pulas tertidur.
Keesokan hari dan
seterusnya adalah masa yang melelahkan, karena aku kembali terjebak pada
kesibukan belajar, menghadapi ujian praktek dan ujian akhir, mengikuti saran
Ibu Guru Ambar untuk mengikuti tes di perguruan tinggi via undangan serta
aplikasi untuk mendapatkan bea siswa. Segalanya berjalan apa adanya seperti air
yang jatuh, seperti sungai yang mengalir, tak seorang tahu apa yang akan terjadi esok hingga hari itu tiba
dan segalanya benar terjadi, dan aku menjadi bagian dari kejadian itu.
“Magda ….” Suara Ibu
Guru Ambar memanggil.
“Saya ibu ….”
Kujawab cepat.
“Kabar baik ….”
Senyum Ibu Guru Ambar mengembang, mengundang harapan dan kegembiraan, tanpa
diminta untuk yang kedua kali, aku pun tersenyum, sejenak melupakan kerinduan
akan Fransis.
“Lihatlah ke papan
pengumuman ….” Ibu Guru membimbingku menuju papan pengumuman kemudian sepasang
mataku terbelalak lebar hingga mengucurkan gerimis.
“Engkau berhasil
diterima di universitas via undangan, bersiaplah berangkat. Bea siswa sudah
siap….” Ibu Guru Ambar mengulurkan sehelai amplop cokelat.
Kali ini sepasang
mataku nyaris meloncat dari kelopak, suatu keberuntungan serta kesempatan emas
yang nyaris sulit didapat, kini tergenggam di tangan. Kupeluk Ibu Guru Ambar
erat-erat, air mataku tergenang. “Terima kasih ibu ….”
Langkahku seakan
terbang ketika kembali ke rumah untuk memeluk bapa dengan air mata berderai,
“Bapa, saya pasti memenuhi pesan mama, saya diterima di universitas Yogya
dengan bea siswa pula,” lama saya terisak dalam pelukan bapa, rasa gembira
meluap menjadi tangisan. Hingga akhirnya saya tersadar, bahwa kebersamaan
dengan bapa di dusun sagu telah selesai hanya
tersisa hitungan hari. Setelah itu tak seorang pun tahu apa yang akan
terjadi, kecuali mesti bertindak mengikuti
kata hati dengan satu keyakinan aku tak boleh undur, tak boleh menyerah,
langkah telah sejauh ini.
Bapa hanya
mengganguk-angguk, sepasang matanya berkaca-kaca, ia tahu arti pelukan itu.
Anaknya, Teweraut akan menempuh takdir hidup berbeda dari anak dusun sagu yang
lain, meninggalkan kampung halaman, menuju peta sangat jauh yang tak akan dapat
dikunjungi seorang kepala suku sekalipun, kecuali mukjizat. Setelah
keberangkatan itu, kapan temu akan terjadi?
Entahlah ….
Di depan pintu
Marius dan Hengki menatapku dengan aneh, tak ada lagi tingkah lagi mengejek
menyakitkan, karena aku hanya seorang anak perempuan yang akan selalu kalah
berkelahi dan cengeng. Kekuatan seorang perempuan bukan fisik, bukan otot,
tetapi kemampuannya berprestasi dan
bersikap baik. Aku telah membuktikan untuk itu, Hengki dan Marius kini hanya mampu berdiam tanpa sepatah kata.
Tatapan dua pasang mata itu telah menyampaikan cukup kekalahannya, wajah kelam
itu bahkan menunduk –menunduk. Wajah penjaring yang tergesa kawin muda menuruti
keinginan diri dan tidak akan pernah membekali diri dengan selembar ijazah untuk
hari esok yang lebih baik. Aneh, aku tak ingin bersorak. Aku pun diam tanpa
sepatah kata, tak ada yang perlu dibicarakan dengan Marius atau Hengki.
Sekilas terbayang
kembali kenakalan dua orang saudara di dalam bevak, diam-diam darahku kembali
mendidih. Aku perlu waktu yang sangat panjang untuk meredakan amarah sekaligus
memaafkan, meski kebersamaan dengan saudara sekandung hanya menyisakan hitungan
jari. Kemudian tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar