*Seorang dibedakan bukan,
karena laki-laki atau perempuan,
tetapi kemampuannya berprestasi
dan bersikap baik … .
Prolog
Kini aku berada di dalam kabin Luthfansa, Airabus
A380, pesawat seharga 289 juta dollar, maskapai penerbangan Jerman dalam
perjalanan ke Amsterdam untuk memulai study gender S2. Beragam perasaan
berkecamuk seolah tanpa ujung ketika mesin pesawat mulai berdengung untuk
memulai penerbangan panjang, transit di Singapura kemudian menuju Schippol
Airport selama kurang lebih 12 jam, menuju benua tempat dongeng Putri Salju
berasal. Sepuluh tahun lalu saat masih gadis belia di tanah berlumpur Asmat
--Papua aku tak pernah membayangkan untuk sampai pada hari ini. Hidup selalu
berselubung kabut misteri, setelah melalui malam panjang berlumuran hitam tinta
sampai kiranya pada fajar benderang dengan cahaya emas sang surya. Sekilas aku
menatap ke deretan kursi penumpang, rata-rata adalah orang-orang berkulit putih
atau sawo matang. Hanya beberapa berkulit hitam serta berambut ikal, aku sempat
bertatapan dengan seorang ibu dengan penampilan sama, kulit yang teramat legam.
Mungkin orang Afrika, kami sempat tersenyum menyatakan kebersamaan dan
persamaan.
Di sampingku Lila,
terdiam. Ia tak banyak berucap, mungkin ada satu kisah yang tak hendak
diceritakan, sampai waktu menentukan. Lila akan menjadi sahabat dekat selama
perjalanan serta studi ini, ia akan menjadi saksi bahwa aku tak sebatang kara. Selalu
ada seorang bersama pada sebuah negeri yang jauh dan asing sekalipun, kehadiran
Lila memberikan rasa tenteram.
Ketika pramugari yang ayu
dan santun menawarkan gula-gula di atas piring yang indah aku memungutnya dua butir. Penerbangan selalu
diawali dengan mengulum gula-gula. Kemudian pesawat raksasa ini bergerak menempatkan diri di ujung landasan pacu, di
atas langit sama birunya dengan laut. Kali ini penerbanganku yang kedua ke luar
negeri, setelah satu semester di Lemonosov Moscow State University untuk
penulisan skripsi. Tanpa sadar rasa gentar menyergap, aku akan menetap untuk
jangka waktu yang cukup panjang pada suatu tempat yang sama sekali baru dengan
kebiasaan serta adat isti adat yang berbeda pula. Aku akan menjadi bagian kecil
di dalamnya, aku tak pernah tahu --tak seorangpun akan tahu apa yang akan
terjadi pada hari-hari mendatang, bahkan satu jam setelah pesawat ini
mengudara. Akan tetapi, aku berkesungguhan untuk melaluinya.
Ketika dengan kekuatan
pasti pesawat mulai menukik tanpa sadar sepasang mataku terpejam dan berembun.
Wajah mama kembali terbayang, seorang perempuan bersahaja yang berpulang menuju
keabadian sebelum aku sempat beranjak dewasa. Andai mama bisa mengantar pada
perjalanan panjang hari ini, tetapi takdir hidup menghendaki berbeda. Aku
seorang diri dengan kenangan tak pernah
pudar akan kehadiran mama, tanpa nasehat serta kasih sayangnya, akankah aku
memiliki kesempatan yang sangat baik memenangkan bea siswa LPDP, menyelesaikan
berkas-berkas, surat rekomendasi, peluang pada sebuah universitas di Amsterdam
kemudian duduk pada lambung Airbus?
Setelah wajah mama,
bayangan Yodi kembali hadir. Aku pernah terlambat menyadari kehadirannya,
tetapi masih tersisa satu tabuh sebelum akhirnya menyadari, betapa kehilangan
terlalu menyakitkan. Betapa takdir tak akan terlepas dari keinginan itu
sendiri.
Udara dingin di dalam
kabin seakan menyedotku ke masa lalu, suatu kurun waktu yang cukup panjang
dengan asam garam serta pahit getir yang harus kutelan tanpa kenal ampun. Aku
tak harus menyesali segala yang pernah terjadi, ingatan akan terus mengenang
sejauh apapun kaki melangkah untuk mencapai cita-cita --menggambar bintang.
Adakah engkau ingin
mendengar ceritaku?
Bab
I
Asmat
--Tanah Rawa Berlumpur
Pagi hari, udara jernih
dan berembun. Aku baru seorang gadis kecil yang tertawa gembira berada antara
mama, bapa, kakak, mama tua, om, dan saudara sepupu. Kami akan pergi ke bevak rumah sementara jauh di hutan
untuk memangur sagu dalam beberapa hari. Sepanjang jalan menuju tambatan perahu
setiap orang menyapa dan melambai, bapa adalah kepala kampung, seorang yang
dituakan dan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari di tempat ini. Aku anak kelima
dengan tiga kakak laki-laki, satu orang meninggal saat masih bayi.
Jembatan papan tempat
kaki menapak sudah mulai lapuk dan berlubang, aku harus hati-hati atau akan
jatuh terjerembab, di bawah kolong
jembatan adalah tanah berlumpur yang akan digenangi air berwarna coklat
susu saat bulan purnama, terlebih saat pergantian tahun. Pada kiri kanan
jembatan adalah rumah panggung berdinding gaba-gaba, beratap ilalang yang
segera lapuk ketika waktu serasa terbang menuju hari depan. Beragam alat
penampung air, drem, ember, jerigen, loyang dan botol aqua tampak berjajar di teras-teras
rumah untuk menampung cucuran air hujan.
Hutan hujan tropis yang mengungkung perkampungan berkuasa menguapkan air,
karena panas sang surya kemudian mencurahkan air dari langit sepanjang tahun,
hanya jeda dua hingga tiga minggu. Hujan adalah satu-satunya sumber air bersih
di tempat ini, tanah rawa berlumpur telah mewarnai air anak-anak sungai serta
menutup sumber air bersih dari perut bumi. Kami hidup pada alam yang berbeda,
ketika setiap manusia akan dewasa dengan cara yang berbeda pula. Pada salah
satu sisi kampung berdiri jew dengan
megah, ialah rumah bujang tempat
bermusyawarah serta menyelenggarakan pesta adat bagi seisi kampung tanpa
kecuali. Bangunan tradisional dengan satu ruang tunggal di dalamnya yang sangat
lapang, sebelas pintu tanpa daun, terus menganga lebar. Lurus dengan sebelas
pintu adalah tungku api, wayir --tungku
utama terletak tepat di tengah-tengah. Keseluruhan bangunan terbuat dari segala
bahan yang bisa diperoleh di tengah hutan, kulit kayu, batang pohon, daun nipah
serta rotan. Ukiran leluhur tampak kukuh pada tiang pancang menatap ke depan,
adalah bahasa, bahwa jiwa-jiwa yang telah berpulang menuju alam keabadian tetap menyertai kehidupan anak cucu hingga hari ini
dan esok nanti. Ketika kematian
berikutnya menyusul.
Kami orang Asmat
memandang kehidupan menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah dunia hidup atau
Asmat ow capinmi, bagian kedua adalah
tempat persinggahan orang-orang yang sudah
meninggal dan belum memasuki tempat istirahat kekal di safar --surga—yang disebut dampu ow capinmi. Roh-roh yang tinggal
di dampu ow capinmi adalah penyebab
penyakit, penderitaan, gempa bumi, dan peperangan. Orang-orang yang masih hidup
harus menebus roh-roh ini dengan membuat pesta-pesta dan ukiran serta
memberinya nama agar mereka dapat masuk ke alam safar --yang merupakan tujuan
akhir, bagian ketiga dari kehidupan orang Asmat.
Selain sebagai tujuan
akhir dari kehidupan orang Asmat, safar
juga diyakini sebagai tempat asal roh-roh bayi. Bayi-bayi tersebut pada mulanya
masuk melalui jiwi jof, yaitu pintu
tempat mereka masuk ke dunia ini. Setelah dewasa dan kemudian meninggal, maka
mereka akan melaui jamir jof , yang
merupakan jalan menuju dunia akhir. Anak-anak yang lahir melalui jiwi jof merupakan penjelmaan
orang-orang yang sudah meninggal. Mereka adalah pribadi baru yang bernama yuwus, yang berarti “nama” yang bagi
orang Asmat adalah roh dari pribadinya. Dengan memberi nama pada sebuah ukiran,
berarti roh dan pribadi tersebut masuk ke dalam ukiran itu. Dengan demikian,
ukiran tersebut merupakan pribadi itu sendiri. Atas dasar kepercayaan terhadap
roh leluhur yang telah menetap di dampu
ow capinmi, maka tangan sang wowipits
--pengukir-- bergerak mengikuti naluri untuk menciptakan maha karya yang
menyebabkan seni ukir Asmat menjadi amat masyur.
Di jew atau di teras rumah acapkali tampak wowipits tengah memahat
sebatang kayu menjadi satu bentuk patung. Kerap terdengar cerita pada malam
buta, ketika langit malam dilumuri genangan tinta dan bungkam tanpa kata,
patung yang disusupi roh leluhur dapat bersuara atau berpindah tempat. Ada pula
di antara patung-patung itu yang tidak disusupi roh, tetapi dibuat untuk
kepentingan seni, terlebih pada lelang Pesta Budaya bulan Oktober. Ukiran itu
tampak demikian indah dan menggetarkan,
tanpa satu motifpun yang kembar.
“Tewerauta …. kemana kamu
orang pergi?” seorang bocah laki-laki menegurku dari teras rumah.
“Bevak …. Pangur sagu….” Jawabku seraya melambaikan tangan. Sekejab
aku akan meninggalkan kehidupan kampung,
menyusup jauh ke perut alam, tempat yang tak kalah menyenangkan.
Sampai pada tambatan
perahu kami menuruni tangga dengan hati-hati, menempatkan seluruh perlengkapan
ke dalam ci –perahu lesung, yang
terbuat dari batang kayu utuh serta cekungan di dalamnya. Pada kepala perahu
adalah ukiran leluhur yang telah
berpulang, ia telah tiada, kembali menjadi debu, tetapi rohnya tetap
tinggal bersama, menyertai kemana kami pergi. Aku yang paling kecil duduk pada
ujung perahu, terbebas dari urusan mendayung, mama, bapa serta tiga orang kakak
berdiri dengan keseimbangan penuh pada badan perahu yang ramping kemudian mulai
mendayung. Pada perahu yang lain keluarga mama adik melakukan hal yang sama, dengan perlahan dua
perahu mulai bergerak meninggalkan perkampungan menuju dusun sagu. Desir angin
teramat lembut dan bersahabat.
Sungai Fambrep adalah
sudut paling mengesankan di seputar kampung ini, ialah anak sungai dengan
aliran yang semakin lama terdengar kian merdu. Pada dua tepi sungai adalah
pohon-pohon bakau yang menjulang terlalu tinggi menggapai biru langit hingga
hijau rimbunan daun melindungi kami dari sayatan sinar mahatari. Siang paling
terik sekalipun selalu sejuk di sungai ini. Pada dahan-dahan pohon tampak satwa
liar beterbangan dengan suara mencecet, menjauhkan kami dari suasana
perkampungan yang seringkali terpecah belah oleh suara perkelahian, orang-orang
baku kejar, bahkan perkelahian kelompok. Perahu terus melaju semakin jauh
semakin jauh, hanya sekali atau tiga kali kami berpapasan dengan pendayung dari
perahu yang sama atau pengendara speed
boat, kemudian sunyi. Hanya suara alam yang
menyatu serta napas yang berat, karena gerakan tangan mengayuh dayung.
Perahu berbelok menempuh anak sungai yang kian mengecil dengan dedaunan yang
rindang, tak lama kemudian tampaklah atap bevak yang menua, karena waktu, panas terik, angin serta hujan.
Tak lama ketika perahu
tertambat pada sebatang batang pohon aku segera meloncat turun, menaiki tangga bevak menjadi orang pertama yang menguak
daun pintu, memuaskan rindu pada ruangan hampa di dalamnya. Api tungku telah
lama mati menyisakan abu yang semakin kelam, seluruh dinding papan dan
gaba-gaba telah lapuk. Bapa, bapa adik, dan kakak akan memperbaiki tempat ini,
maka aku akan berbaring dengan nyaman pada malam hari dengan api tungku terus
menyala. Tak ada jendela atau lubang angin
di bevak ini, sementara orang
masih percaya, bahwa jendela serta lubang angin akan menjadi tempat lalu lalang hantu serta roh
jahat yang menyebabkan penyakit serta kematian. Aku tak pernah tahu seperti apa
sebenarnya bentuk roh jahat, tetapi tak juga mempertanyakannya.
Semua beristirahat
sejenak sebelum akhirnya tenggelam dalam kerja masing-masing, aku segera
mengikuti mama dan mama adik menempuh langkah yang cukup jauh untuk memangur
sagu. Bapa serta yang lain sibuk memperbaiki bevak supaya kami terlindungi pada malam hari, setelah bevak tampak lebih pantas, mereka sibuk
memancing, membelah kayu bakar serta mencari karaka –kepiting. Aku menikmati hijau daun serta suasana alam nan
rindang dengan embun tergenang pada
kelopak bunga liar yang dihinggapi kupu-kupu.
Ah, pohon pisang yang
tiga bulan lalu kutinggalkan kiranya tengah berbuah lebat dengan semburat
kekuningan. Kami akan menikmati hidangan lezat, adapun batang sagu yang rebah
kini telah ditumbuhi ulat berwarna putih, gemuk dengan dua warna hitam pada
kedua ujungnya. Ulat-ulat itu bergerak memanjang dan memendek dengan amat lucu,
menandakan kehidupan, adalah campuran yang gurih bagi segenggam sagu yang
dibakar di dalam daun sagu. Daun singkong tampak pula menghijau, pertanda kerja
keras mama berkebun telah membuahkan hasil. Kami tak akan kelaparan dalam waktu
beberapa minggu dengan persediaan makanan yang cukup.
Aku dan saudara sepupu
memunguti ulat-ulat sagu dan menyimpannya di dalam ese –noken, tas. Mama dan mama adik mulai bersimbah keringat
menokok sagu hingga serat putih itu hancur menjadi serpihan, merendamnya dengan
air, mengendapkan beberapa lama hingga padat induk sagu yang sarat pati
berwarna putih siap diisi ke dalan noken. Esok hari kami akan datang kembali
memungut sagu yang telah mengendap sebagai bahan persediaan makanan. Ketika
keringat mama telah menetes untuk yang penghabisan kami berkemas kembali ke bevak dengan beban masing-masing di
punggung.
Di dalam bevak asap tungku tengah mengepul
menembus atap nyiru pertanda suatu kehidupan tetap berlangsung. Api selalu
sebagai penanda sang hidup, bergegas aku mencuci kaki yang berlepotan lumpur ke
dalam air lalu bergegas menyeruak ke
dalam bevak, menyambar daun sagu, menaburkan
sagu yang amat putih seakan lembut kapas, menambahkan beberapa ekor ulat sagu,
membungkusnya kemudian memanggangnya di atas bara. Tak berapa lama kemudian aku
mengunyah rasa yang demikian nikmat ketika sadar perut telah kosong sama
sekali.
Akan tetapi, dengan
serakah Marius, kakak laki-laki menyambar makanan lezat ini dari tanganku
kemudian berlari menjauh, mendekati tepi sungai. Lahap ia menelan sagu ulat itu
dalam sekejab kemudian menceburkan diri ke dalam air sungai. Senyumnya nakal
dan penuh kemenangan, aku merasakan kemarahan meleleh bagai leleran panas lava
pijar, hingga seluruh wajah berubah menjadi merah darah.
“Marius …….!! Awas
koe…..!!” jeritanku seakan terbawa angin lalu. Adalah untuk yang kesekian kali
seorang laki-laki melakukan tipu daya terhadap saudara perempuan.
“Kamu orang bakar ulang
sudah….” Jan, kakak laki-laki tertua menghibur. Jan tidak sejahat Marius serta
Hengki yang suka berlaku curang, ia selalu tampak dewasa. Ia bahkan membantuku
membakar sagu ulat kemudian menyodorkan ke tanganku.
Air mataku hampir
menitik, aku selalu kesal dengan Marius dan Hengki, mereka selalu memiliki
alasan bernuat semaunya. Marius senang menjarah hak orang, sedangkan Hengki
suka mengejek, karena aku seorang anak perempuan yang tidak akan pernah menang
berkelahi. Di dalam hati diam-diam aku selalu membangun keyakinan, suatu saat
pasti akan keluar sebagai pemenang –suatu saat. Aku mengunyah sagu bercampur
ulat yang masih panas ini nyaris tanpa selera, dendamku terhadap Marius terus
menyala, mengapa seorang anak perempuan harus selalu terpedaya. Bukankah bayi
perempuanpun pada akhirnya akan tumbuh dewasa dan bisa bertindak apa saja. Aku
melihat suster --bidan perempuan, guru perempuan, bahkan dokter perempuan,
apakah perempuan yang telah memiliki pekerjaan serta menempati kedudukan sosial
di dalam kehidupan masyarakat masih bisa diperdaya saudara laki-laki?
“Makanlah Tewerauta ….”
Bapa menghibur, ia tahu kegundahan hatiku.
Namaku sebenarnya
Magdalena, tetapi mama dan bapa selalu memanggilku Teweraut yang artinya
perempuan cantik, maka demikianlah aku dipanggil sehari-hari. Seorang gadis
kecil yang cantik dan selalu dibuat geram saudara laki-laki, dan sebenarnya
anak laki-laki di lingkungan kampung yang kenakalannya melebihi preman jahanam.
Aku belum lagi mampu berkelahi, tetapi jauh di dalam hati aku menyusun
keberanian untuk dapat berkelahi dengan siapapun suatu saat. Sagu ulat ini tak
kuhabiskan, tiba-tiba keseluruhan hari menjadi retak, aku selalu tak nyaman
dengan Marius. Ia dapat merampas segala hal yang kumiliki sekaligus memamerkan
dengan licik hal-hal yang tak pernah kumiliki. Tanpa terasa tubuhku yang mungil
rebah di atas tapin –tikar, sepasang
mata seakan digayuti bilah besi, embun
seakan menitik perlahan-lahan, kabut melilit seisi bevak, lalu aku melupakan semuanya, terlelap dalam tidur yang
melenakan.
Tampaklah langit yang
maha biru, menjadi kelam, karena mendung, menjadi tembaga, karena cahaya senja,
dan menjadi hitam, karena malam. Perlahan tampak cahaya yang teramat lembut,
adalah ribuan kunang-kunang yang berpesa pada gelap nuansa, langit tampak
seakan kanvas yang teramat dekat dapat tersentuh. Kuraih pensil warna, seakan
ada kekuatan yang mendorong di luar kemauan, maka tanganku terus bergerak,
kugambar bintang, semula hanya satu – dua – tiga. Akhirnya langit menjadi
gemerlap oleh cahaya yang tak terkira ….
Hangat api tungku
membangunkanku, cahaya itu kiranya lampu petromax yang telah menyala dan
tergantung di langit-langit bevak. Di
luar malam telah turun bagai tirai maha hitam yang berkuasa terbentang tanpa
satu tangan yang dapat menghentikan. Waktu kembali terbang meninggalkan satu
hari dengan suka duka cerita yang membekas. Dari balik bulu mata aku dapat
melihat Marius tengah rakus mengunyah pisang bakar, sekilas matanya melirikku
tanpa bersahabat. Adapun Hengki tengah mulai menghisap batang rokok, ia
meringis ketika bapa merampas batang rokok itu kemudian menampar mulutnya.
“Plak!”
Rasakan, bisikku dalam
hati. Perangai Hengki tak jauh berbeda dengan Marius, aku menganggap kedua
orang itu onak dalam setiap hari. Suara tamparan itu membuatku agak terhibur,
meski aku pura-pura diam tanpa kata. Aku tak hendak memulai permusuhan dengan
Hengki, karena tangannya akan dengan mudah melayang, sedangkan mulutnya terlalu
cepat menucapkan kata-kata keji.
“Bangun Tewe ….” suara
mama terdengar merdu, tangannya yang legam menyorongkan sesisir pisang bakar.
Tiba-tiba aku merasa amat lapar, tanpa berucap kusambar pisang itu kukunyah dan
kutelan dengan lahap. Jerih payah mama menanam pisang kini membuahkan hasil,
ketika sesisir pisang telah tandas, aku kembali melahap sagu, makan sekenyang
kenyangnya hingga perutku yang kecil tak lagi menampung apa-apa.
“Nanti pulang dari bevak kamu harus kembali ke sekolah Jan,
bawa serta Marius dan Hengki. Jangan kamu kasih biar dorang dua pergi manyari, bermain kacau-kacau ”, mama
kembali bersuara. “Cukup sudah orang tua pergi pangur sagu ke hutan buat makan
semua-semua, kamu orang anak-anak harus hidup lebih baik dari orang tua. Gerald
kamu orang punya sepupu sudah jadi polisi, kamu Jan harus bisa jadi tentara.
Atau kamu orang ingin selamanya menjaring ikan?” sepasang mata mama menatap Jan lekat-lekat seolah
ingin menjenguk isi terdalam hati anak itu.
Hening.
Suasana di dalam bevak tiba-tiba menjadi diam, lidah api
tungku terus menjilat menebarkan hangat. Bulan Agustus udara di bevak ini atau di bevak yang manapun beku bagai dihembus dari suatu tempat yang
dipenuhi gumpalan es. Konon, di belahan bumi selatan salju tengah turun, posisi
Papua, terlebih Merauke dan Asmat yang berdekatan dengan Australia, tempat Suku
Aborigin menjadi lebih dingin bila dibanding dengan bulan Desember ketika
matahari berada di pada 23,5 derajat garis balik selatan dan Australi mengalami
siang yang selama-lamanya.
“Baik mama….” Semoga
suatu saat saya akan bisa menjadi tentara”, jawab Jan singkat, sebuah jawaban
yang membuat wajah mama tampak tenang.
“Mama sudah rasakan hidup
susah, kamu tidak perlu merasakan apa yang harus mama rasakan”, sekali lagi
mama menegaskan. “Kamu juga harus
sekolah Tewe….” Sepasang mata mama giliran menatapku, aku merasakan sebuah
permintaan serta tekanan yang tak mampu kutolak.
“Sekolah?” aku balik
bertanya.
“Tewe masih terlalu kecil
untuk sekolah”, bapa menjawah, ia menyadari kebimbanganku.
“Tewe su tua, cukup bermain lumpur. Kamu akan
menjadi ibu guru”, mama terus bersuara.
“Ibu guru?” kujawab
keinginan mama dengan ngeri, bagaimana aku seorang bocah yang tumbuh di bevak akan dapat berdiri dengan kukuh
untuk mengajar di depan kelas? Kupejamkan mata, aku merasa diriku
terlalu kecil, tersisih dari dunia maha luas yang belum mampu kujenguk seluruh
isinya. Apa sebenarnya isi dunia ini?
“Ya, kamu orang harus
jadi ibu guru. Atau mau kawin kecil, beranak pinak pada usia bocah, pergi
pangur sagu, menjaring ikan sampai tua bangka?”
sepasang mata mama menatapku bagai kilatan mata pisau, ia tidak nyaman
dengan keraguanku.
“Ursula….tidak usah
engkau terlalu keras dengan anak-anak”, bapa mencoba mengamankan keadaan, meski
ia tahu tak akan pernah menang bersilat
lidah dengan mama. Mamaku Ursula adalah anak kepala perang, ketika menikah
dengan mama, bapa tahu ia tak akan pernah dapat memukul mama atau berkehendak
semau-maunya seperti yang terbiasa terjadi. Kekerasan keluarga di kampung ini
menjadi suatu hal yang lumrah, perkelahian suami istri, karena ketiadaan sagu
atau rokok. Akan tetapi bapaku, Anselmus tak pernah berani bertindak kekerasan
dengan mama, atau sebenarnya ia takut dengan sikap tegas mama, karena menyadari
ketegasan mama benar adanya.
“Saya memang harus keras,
atau anak-anakku akan menjadi tukang mabuk di jalanan. Marius dan Hengki sudah
coba-coba minum sopi, satu kali saya akan rotan kamu orang”, sepasang mata mama
berubah seakan bola api ketika menatap Marius dan Hengki, mama tahu kenakalan
kedua anak itu, Marius dan Hengki suka pergi acara, berpesta dan menari-nari
hingga pagi lalu coba-coma minum sopi, minuman beralkohol buatan lokal. Mama
tahu anak-anak yang sudah mencoba minum dari kecil mungil tak akan pernah
menjadi manusia kecuali permabuk, kawin kecil, dan membuat onar di sepanjang
hidup.
Wajah Marius dan Hengki
perlahan memucat dan menunduk, ia tahu mama pernah memukulnya dengan kayu bakar
tanpa ampun, karena kenakalan yang berlebihan. Hukuman itu kiranya tetap
menunggu kesempatan tepat untuk jangka waktu yang tak ada batasnya. Wajah menunduk dan memucat itu
membuatku merasa terhibur, aku tak bisa menyatakan keberatan, karena Marius
merampas sagu ulat yang lezat dan hangat, kini mama menegurnya dengan alasan
lain. Malam terasa hangat di dekat nyala api tungku meski udara semakin
menggigit pori-pori, sekejab aku membuka pintu bevak menghirup udara segar.
Suasana di sekitar adalah
kegelapan, ricik air kali, lalu daun-daun yang kehilangan warna. Kucoba mencari
bintang-bintang yang sekejab hadir dalam impian, tetapi langit sama gelap
dengan jelaga, mendung tengah menggantung bagai duka seribu bidadari maya yang
bersiap mengisak mencurahkan air mata. Ketika perlahan terdengar suara gerimis
menitik, aku merasa seakan mendengar nyanyian alam nan merdu. Hujan selalu
turun sepanjang tahun, adalah kerarifan alam yang mendukung kelangsungan hidup
di kampung ini. Andai hujan turun dalam enam bulan terakhir dalam kurun waktu
satu tahun, kehidupan di kampung ini pasti sudah lama berakhir. Mungkin orang
di wilayah lain tak akan pernah mempercayai kehadiran air hujan di tempat ini
kecuali datang untuk menyaksikan sendiri. Aku masih ingin berlama-lama menyatu
dengan hitam malam, tetapi suara hujan semakin keras bahkan mengerikan.
Di bevak sebelah tempat mama adik tinggal terjadi kesibukan serupa,
ketika satu keluarga tengah duduk bersama membakar sagu dan ikan untuk
mencukupi kebutuhan makan hari ini. Aku dapat mendengar suara orang bercakap
meski tak pernah tahu hal apa yang dibicarakan hingga suara gemuruh hujan
mengubah kesibukan menjadi kegembiraan menampung air hujan. Suasana berubah
dengan cepat dari panas terik dan biru langit nan membentang, menjadi langit
merah, hitam, dan kini hujan deras yang meruapkan udara dingin.
Tergesa mama menempatkan
loyang, ember, jerigen, apapun yang
berguna untuk menampung air. Kami harus minum, satu-satunya sumber air bersih
adalah hujan, ketika siang mama basah kuyup keringat, kini mama basah kuyup air
hujan. Sementara tubuhku mulai menggigil, suara hujan berubah seakan raungan
alam yang marah, karena satu dan lain hal. Air tercurah dari langit
mencabik-cabik hening, mengusir bintang, menyatu dengan angin kencang seakan
berniat membawa bevak ini terbang
melayang menuju peta teramat jauh, tak bertuan. Beberapa bagian atap bocor,
mama segera menadahnya dengan ember. Aku mendekatkan diri pada nyala api
tungku, bapa meletakkan batang-batang kayu di atas para-para, bila kayu tetap
basah, esok tungku api tak akan pernah menyala, tak ada sagu atau ikan bakar.
Segalanya akan terhenti.
Kuharap hujan reda dalam
beberapa saat, akan tetapi langit malam terbelah oleh suara guntur, halilintar
yang menggelegar, kilat nan menyambar. Selebihnya air yang tertumpah tanpa
kenal ampun seakan tangisan beribu peri, karena pedih serta duka hati. Suara
itu menimbulkan rasa takut, kukatupkan mata untuk melupakan segala suara,
kubayangkan tentang gemerlap cahaya bintang pada indah langit malam di bawah
cerlang cahaya bulan. Lalu tubuhku yang rapuh melayang terbang menempuh cahaya,
meninggalkan bevak yang basah kuyup,
meninggalkan rasa takut, meninggalkan dendamku pada Marius serta permintaan
mama untuk pergi sekolah. Aku berada di antara lembut cahaya kunang-kunang yang
dengan menakjubkan berubah menjadi bintang timur, menjadi beribu bintang. Tubuhku terus
melayang, melayang hingga aku tak mendengar apa-apa, tak merasakan apa-apa. Di
luar malam terjebak dalam curahan hujan lebat serta maha warna hitam yang kukuh
membentang tanpa berkesudahan.
***
Pagi terjaga dengan udara
yang terlalu dingin menikam pori-pori, ketika membuka mata suasana di dalam bevak telah sunyi. Di luar terdengar
suara orang membelah kayu bakar, Marius tergelak bersama Hengki dengan segala
kesombongan. Dimana mama?
Ia pasti tengah menyusup
ke dalam hutan untuk kembali memangur sagu. Aku merasa menjadi orang yang
paling malas, terbangun dengan enggan. Betapa nyaman berbaring di balik sehelai
kain usang, kelambu serta api tungku yang belum sepenuhnya padam. Aku masih
ingin bermalas-malasan, tetapi Hengki tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam bevak, mengejek. “Dasar perempuan
pemalas ….” Wajahnya menatapku geram, ia menyeringai dengan deretan gigi yang
tampak buruk kemudian berlalu keluar setelah menyambar sebatang pisang bakar.
Kusambar pecahan kayu
bakar kulempar ke punggungnya, dengan gesit Hengki mengelak sambil menjulurkan
lidahnya, sekejab ia menggoyang-goyangkan pantat kemudian menghilang dari balik pintu. Demi
Tuhan aku ingin Hengki pergi untuk selamanya, aku tak ingin bersua dengan
wajahnya yang sungguh buruk di rupa. Akan tetapi, takdir menghendaki lain, aku
masih akan tetap bersama Hengki dan bedebah Marius untuk jangka waktu yang
sangat panjang. Bahkan kedua sosok itu betapapun menjengkelkan tak akan pernah
menghilang dari ingatan.
Beberapa tabuh setelah
terbangun aku segera membakar sagu ulat, menikmati manakan adat tanpa kehadiran
Marius si penjarah hingga perut menjadi kenyang. Seterusnya aku mengejar mama
yang tengah bersimbah peluh memangur sagu di tengah hutan. Mama masih bekerja
keras memangur sagu kemudian memikulnya di punggung berulang kali ke dalam bevak. Wajah mama tampak demikian penat,
tetapi aneh ia tak pernah sekalipun mengeluh. Ketika akhirnya mama menyudahi
kerja keras memangur serta memikul sagu di bevak
senja telah tiba dalam cahaya emas yang menakjubkan. Hijau daun tampak
gemilang di bawah cahaya kekuningan, suara kicau burung, ricik air serta
ranting kering patah menjadi bagian sehari-hari tak terpisahkan.
Sejenak aku terduduk pada
sebuah cabang kayu, di atas aliran air sungai, menyatu dalam cahaya lembayung
dan hijau daun, satu kenangan masa kecil yang terekam kuat pada ingatan
terdalam kemudian selalu terbawa sejauh apapun kaki melangkah. Aku menjerit
ketika tiba-tiba ada tangan kuat mendorongku terjatuh dari cabang pohon.
Sekejab kemudian aku telah tercebur, basah kuyup ke dalam air. Darahku mendidih
oleh suara tergelak Marius. Si bedebah kembali berbuat ulah. Dengan gesit aku
beranjak ke tepian kugenggam lumpur, kukejar Marius dan kuoleskan hitam lumpur
pada mukanya yang legam. Kemudian aku berlari menceburkan diri ke dalam aliran
sungai. Dengan geram Marius berniat mengejarku, tetapi Jan segela menahan
langkah dengan mejegalnya, sehingga ia jatuh terjerembab ke atas lumpur. Marius
berniat melawan Jan, tetapi kakak tertuaku berdiri dengan gagah tanpa rasa
takut.
“Berani kau melawanku?”
wajah Jan dingin. “Kau mendorong anak kecil ke dalam air, cukup sudah”, Jan
menatap Marius penuh teguran. Ketika Marius melayangkan tangan dengan sigap Jan
menangkap, mendorong tubuh Marius jauh ke belakang. “Jangan kira aku takut
menghajarmu”, Jan menyambar sebatang kayu, maka Marius segera tertunduk,
membuang pandang kemudian menjauh.
Aku menatap adegan itu
dengan penuh kemenangan, aku masih terlalu rapuh untuk berkelahi dengan Marius.
Akan tetapi, apakah seorang bocah kecil akan rapuh seterusnya? Diam-diam aku
tersenyum, lalu menenggelamkan diri ke dalam air, berenang pada aliran sungai
secoklat kopi susu selalu menyenangkan.
Aku terus berenang menyeberang dari satu tepi menuju ke tepi sungai hingga
tiba-tiba udara berubah menjadi sangat dingin, bila terus bermain air bibirku
akan biru dan seluruh badan akan ngilu.
“Tewerauta …. bareo, pulang. Su gelap ini, nanti roh
jahat datang mengambil anak kecil pergi jauh ….” Mama berteriak dari bevak. Suasana gelap selalu memanggil
roh jahat datang, anak kecil harus kembali ke orang tua untuk menghangatkan
diri di depan api tungku.
“Tungguo…. Asyik ini….”
Aku mencoba melawan, tetapi air sungai terasa semakin dingin, akhirnya aku
menyerah, menghambur ke pelukan mama dalam keadaan basah kuyup.
“Kamu orang gilakah?”
mama menepuk pantatku kemudian melucuti
seluruh pakaian yang basah kuyup, mengganti dengan pakaian baru. Sehelai
pakaian tua yang cukup kiranya untuk melawan dingin. Mama memeras pakaianku
yang basah kuyup kemudian menjemurnya di teras bevak, esok pakaian itu akan kering sebagai pengganti.
Di dalam bevak api tungku telah menyala, asapnya
mengepul, meliuk-liuk seakan ular patola, beranjak menuju atap kemudian
menembus celah-celahnya. Mama kini membakar sagu bola serta ikan yang berhasil
ditangkap di sungai, menu makanan sehari-hari yang nyaris tak berubah. Bapa
tengah asyik menghisak rokok lampion, rokok kelinting yang beraroma tajam
menusuk, anak-anak selalu melihat orang tuanya menghisap rokok kemudian
menirunya. Sering tampak anak-anak usia belia telah pandai mengisap rokok serta
mengunyah pinang. Akan tetapi, dalam hal ini mama dan bapa selalu memberikan
teguran kepada anak-anak.
Aku meringkuk dalam
pelukan bapa, bila hati tengah senang bapa suka bercerita, sebuah dongeng yang
memicu pikiranku untuk menatap semakin jauh tanpa batas. “Bapa ayo cerita ….”
Aku mulai merengek.
Bapak tak segera
menjawab, ia masih sibuk menikmati rokok linting, seolah tak ada yang lebih menarik
dalam hidupnya kecuali memainkan asap dari mulutnya. “Bapa …. Ayo….” Aku terus
merengek, maka mulailah terdengar sebuah cerita , asal mula Kali Yombot, adalah
kali yang terletak di kampung Yombot di tepi sungai setelah mendayung menyusur
pantai dari tempat tinggalku.
“Syahdan, pada masa yang
sangat lampau di Kampung Yombot tersebutlah seorang mama beserta anak gadisnya
yang cantik. Suatu sore tanpa sepengetahuannya kedua mama dan anak itu menebang
pucuk sagu, kemudian tertegun ketika seorang mengingatkan, bahwa pucuk sagu itu
adalah tempat tinggal ular bindiw. Sang ular akan marah, karena tempat
tinggalnya terusik. Benar, kemarahan si bindiw, karena pada malam hari ular itu
mendatangi rumahnya menuntut bayar, supaya sang ibu menyerahkan anak gadisnya sebagai
istri ….”
“Hihh menjadi istri ular?” sepasang mataku
terbelalak lebar, betapa menakutkan.
“Iya, tetapi mama mana
yang mengijinkan anaknya menikah dengan ular? Sang ibu dan anak menolak, maka
ular bindiw menggigitnya kemudian pergi. Malam berikut bindiw kembali datang
untuk menuntut perkawinan, sang mama terus menolaknya. Bindiw pun kembali
menggigitnya, sang mama dan anak ketakutan kemudian mencari akal. Pada malam
berikut ketika ular bindiw datang sang mama menerima lamaran itu dengan syarat
meminta mas kawin seekor babi. Bindiw mengikutinya, maka iapun pergi ke hutan
untuk mencari seekor babi …..” sesaat bapa terdiam.
“Terus ….” Aku sungguh
penasaran dengan dongeng itu.
“Sementara ular bindiw
pergi mencari babi, sang mama membakar sebutir batu di dalam tungku. Malam
berikutnya ketika bindiw datang dengan seekor babi. Sang mama meminta bindiw
membuka mulut supaya ia melihat taringnya yang tajam. Bindiw yang tak pernah
tahu maksud hati seorang mama membuka mulutnya. Secepat kilat sang mama
memungut batu yang telah panas bagai bara kemudian memasukkan batu itu ke mulut
bindiw, maka sang ular kesakitan berlari meninggalkan rumah sambil menjerit di
sepanjang jalan. Jalan yang dilaluinya
menjadi jejak yang terus memanjang hingga ke muara. Kemudian hujan turun dengan
lebat, maka jejak ular bindiw menjadi sungai yang disebut dengan sungai
Yombot….” Bapa mengakhiri cerita, kemudian sepasang mataku menjadi merah.
Tanpa bertanya kembali,
aku langsung rebah tertidur.
Kami masih melakukan hal serupa di dalam bevak di tengah hutan selama beberapa
hari hingga bevak ini penuh dengan
bernoken-noken sagu, kemampuan perahu untuk memuat seluruh sagu terbatas.
Akhirnya bapa memutuskan untuk kembali ke kampung, kembali menjadi kepala
kampung dengan segala rencana bagi anak-anaknya. Aku menikmati perjalanan pulang dengan
melewati Kali Fambrep, melintasi batang-batang pohon yang menjulang tinggi
menggapai langit, hijau daun yang melingkupi seluruh tepian sungai serta suara
marga satwa yang merdu bagai lembut nyanyian sorga.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar