BAB
VII
YOGYAKARTA
Malam ini bulan
hanya sepenggal menyerupai sabit yang
berkilau di antara pudar cahaya bintang dan mendung yang menggumpal. Angin
berkesiur dingin seakan melukai pori-pori, di teras rumah atau dari dalam rumah
cahaya temaram berpijar lemah tak mampu menembus gelap. Suara tifa bergaung
dari dalam jew seakan memanggil roh
leluhur di alam kematian, menimbulkan suasana mistis, suasana yang selalu dan
akan selalu mengikat batin sesiapapun yang pernah terlahir kemudian dibesarkan
di kampung ini. Seberapa jauh aku akan pergi? Dan kapan akan kembali? Adalah
pertanyaan yang sangat tidak mudah dijawab. Tak seorang pun tahu hari esok,
tidak juga aku –Teweraut yang kali ini cuma
seorang gadis dusun sagu terduduk menata harapan, di seputar adalah
hutan luas membentang tiada bertepi serta Laut Arafura dengan ombak berdebur memburu pesisir.
Sedang apa Fransis?
Tak semenit pun
bayang wajah itu menghilang. Bapa telah membelikanku HP kecil sebatas untuk
menelephone dan sms, tetapi aku membatasi pemakaian. Fransis tidak selalu bisa
dihubungi, setiap hari aku menunggu dering, sms atau panggilan. Sering kehampaan ini menyergap demikian kuat, dalam
hal ini aku hanya seorang yang tak berdaya menunggu takdir dan jodoh. Lambat
laun aku terbiasa dengan kehampaan, Fransis lebih tepat menyerupai bayangan
yang jauh dari ada untuk sekedar bersandar pada bahunya. Aku mulai ikhlas
menerima segala kepahitan, mendapatkan ternyata harus mampu menanggung akibat
paling buruk, yaitu merelakan. Keduanya hanya dua hal berlawanan, tetapi tidak
bertentangan. Sesaat suasana hati terlonjak demikian mengejutkan ketika HP
berdering untuk sebuah pesan singkat atau panggilan, kemudian segalanya kembali
diam. Jarak ternyata mutlak mengubah pandangan serta emosi, meski tak ada
seorang pun mampu menggantikan Fransis jauh di relung hati.
Sesaat ketika
tiba-tiba HP berdering, suasana hati kembali terlonjak, terlebih ketika muncul
nama Fransis di layar. “Halo ….” Tak dapat kusembunyikan nada gembira.
“Tewerauta …. Apa
kabar?” suara Fransis mengobati seluruh kerinduan.
“Baik, besok saya
berangkat ke Timika dengan pesawat terus lanjut ke Yogya untuk kuliah. Fransis
baik-baik saja?”
“Ah, engkau kuliah
ke Yogya? Luar biasa, tapi jauh sekali ….”
“Iya, jauh sekali.
Bapa dan Ibu Guru mengharap saya berangkat, kita bisa tetap kontak dengan HP.
Pada waktunya pasti kita bertemu ….” Tiba-tiba suaraku serak, tiba-tiba gerimis
menitik, jarak ini semakin meregang tak terukur, menyakiti sekaligus membuatku
tidak berdaya. Setelah itu aku terlupa apa yang telah kukatakan, yang tak dapat
kulupakan adalah isak tangis. Entah apa yang sebenarnya kutangisi.
“Tewerautat, besok
saya berangkat ke Oksibil menjalankan perintah tugas….” Suara Fransis
menyebabkan tenggorokanku tercekik. Oksibil, Okbibab, Kiwirok tiga wilayah di
Pegunungan Bintang perbatasan PNG. Posisi
yang demikian jauh nyaris tak terjangkau kecuali dengan penerbangan
pesawat perintis dari Bandara Sentani Jayapura yang selalu terhalang kabut dan
beberapa kecelakaan maut yang menewaskan seluruh kru dan penumpang. Udara
membeku dan berubah menjadi embun es, dan entah kesulitan apa lagi. Aku tahu
arti penugasan ini, mungkin aku tengah menunggu suatu hari yang tidak akan
pernah tiba. Kemudian segalanya diam, dingin dan hitam, aku tak tahu pukul
berapa menempatkan diri di atas kasur tipis menatap langit-langit dengan pikiran mengambang. Serasa berbaring di antara es dan
api, keduanya memberikan pengaruh yang berbeda, tetapi sama menyakitkan, beku dan panas membara. Aku akan
memenuhi segala harapan untuk kesetaraan gender sekaligus masa depan, merelakan
jarak yang meregang, menimbulkan rasa gamang. Adakah pilihan lain?
Lalu tampak ribuan
kunang-kunang terbang berseliweran, langit berubah menjadi selimut maha hitam
menyeret kesadaran menuju entah, akal sehatku tak mampu lagi menyusun
perhitungan, kecuali menyadari, tak seorang pun tahu segala yang bakal terjadi
esok hari. Apa yang mau terjadi, terjadilah. Maka hitam langit meregang menjadi
halimun, semakin putih, semakin putih,
menari-nari menjadi ribuan bangau kertas yang riuh terbang memburu
langit lepas. Akupun terlena dengan sejumput kesadaran ketika esok terjaga
segalanya tak akan lagi sama.
Keesokan harinya sesisi
kampung dikepung kabut embun, sinar matahari padam di balik warna putih, tak
mampu menembus celah dinding papan, suara anjing melolong serta kucing mengeong,
kesibukan mama di depan tungku api, menyebabkan aku tahu harus segera terbangun
untuk menuju Bandara Ewer. Segalanya berlalu cengan cepat, aku sarapan sagu
bola, mandi air dingin, berpakaian lengkap dengan jaket tipis kemudian mengepak perbekalan, travelling bag
serta tas punggung. Hanya ini yang kumiliki untuk memulai kehidupan baru.
Ketika berdiri di depan pintu memastikan keberangkatan, maka aku bertatapan
dengan wajah itu, wajah sendu yang tengah berperang antara harapan dan
perpisahan.
“Engkau memerlukan
ini ….” Mama meraih tanganku menggenggamkan sejumlah uang cukup besar yang
tidak pernah kumiliki selama ini. Sepasang matanya berembun, isak tangisnya
tertahan ketika memelukku, ia tidak seperti ibu tiri, ia seakan ibu kandung
yang menyayangi. Mama telah mengumpulkan uang kecil dari hasil menjaring untuk bekal pada masa
pendidikan yang sangat panjang. “Mama akan kirim bila cukup uang ….”
“Mama terimakasih,
tolong jaga bapa ….” Aku tak ingin menangis, aku ingin menghadapi perpisahan
ini dengan berani tanpa setetes pun air mata. Bukankah hari ini aku telah
memastikan dengan segenap keyakinan.
Wajah Hengki dan
Marius, peminum itu tak kalah sendu, aku tak menyangka pada suatu hari kedua saudara yang sering menindas, karena
aku seorang anak perempuan berubah menjadi sedemikian rapuh seolah petarung
yang kalah telak pada arena pertunjukkan tanpa lawan harus mengayunkan
tendangan maut. Aku tahu tentang kehilangan itu, aku memilih diam, kata-kata
hanya akan memancing tangis, suatu hal yang tak pernah aku inginkan pada hari
ini. Di tepi kali bapa telah menyiapkan long
boat, kami berjalan beriringan satu kerabat masih dengan wajah sendu, tanpa
sepatah kata.
“Tewerauta ……
Tewerauta ….. kamu orang jalan iyo …..?” dari teras-teras rumah terdengar suara
orang mengucap selamat jalan. Kulambaikan tangan, duka hati perpisahan seakan
sekarat pohon tercabut dari akar. Aku masih dapat membendung air mata, juga
ketika terduduk di long boat dalam pelukan mama, aku tahu mengapa seorang
harus merantau, adalah supaya yang bersangkutan tahu arti rindu akan kampung
halaman. Dusun sagu yang selalu kukenang sepanjang waktu, sejauh apa pun pergi
menuju.
Bapa menstater motor
temple mengendalikan long boat tanpa banyak berucap, tatapan matanya yang tua
cukup membahasakan, ia teramat kehilangan, tetapi tak berdaya untuk sebuah masa
yang bernama hari esok. Bapa mendukung pesan mama almarhum supaya anak
perempuannya sekolah setinggi mungkin, bahkan bila mesti pergi ke tempat yang
sangat jauh. Angin menampar cukup keras ketika long boat melaju. Di tepi sungai tampak tangan-tangan melambai, aku
balas melambai, long boat terus
melaju meninggalkan muara. Permukaan air Sungai Aswets tampak tenang
berselubung kabut embun, ketika membalikan muka tampak Kampung Syuru seakan
kabur dikepung halimun. Adalah atap-atap rumah yang mencuat di antara hijau
pohon bakau dan pohon kelapa, selebihnya kabut embun yang menyebabkan kampung
itu tampak seakan lukisan alam yang maha sempurna.
Kami menuju muara,
ombak beralun kemudian bergelombang, jauh di depan mata adalah batas alam yang
menyatukan langit dan laut serta lampu suar penunjuk arah yang berdiri kukuh
sepanjang tahun. Long boat seakan
terpelanting, tetapi bapa terlalu ahli mengemudikan perahu fiber ini, sehingga
guncangan ombak di muara dilalui dengan selamat, selanjutnya kami terus melaju
menyusuri anak sungai, pada dua tepinya adalah rimbun pohon bakau, menggigil
dalam dingin embun. Akhirnya tampaklah tambatan perahu Bandara Ewer, Ibu Guru
Ambar, Nurul, dan Yodi tampak telah menunggu. Yodi mengubah arah, dari rencana
kuliah di Jayapura menjadi ke Yogya, aku tak peduli dengan bayangan nyong yang
satu itu. Tatapan Yodi selalu sedalam lautan, tetapi apa bedanya? Tatapan itu
tak mampu mengubah pendirianku, tak mampu menyingkirkan bayangan Fransis,
betapapun jauh langkah itu menuju.
“Magdalena …. Saya
kira engkau batal hadir ….” Ibu Guru Ambar tersenyum nakal, ia tampak lega
dengan kehadiranku dan seluruh anggota keluarga, Nurul tampak pula tersenyum,
ia didampingi ibunda. Yodi mulai sibuk membantuku memikul tavel bag, kali ini
aku tak dapat mengelak kebaikannya. Kami menunggu beberapa jam, harap-harap
cemas, karena pesawat sering batal, harus menunggu penerbangan esok hari.
Tak berapa lama
kemudian dari SSB diterima kabar, penumpang di Bandara Moses Kilangin Timika
siap boarding, hal itu berarti
penumpang Ewer- Timika bersiap timbang, menunggu sekitar 45 menit hingga
pesawat landing. Ibu Guru Ambar telah menangani seluruh biaya penerbangan dari
Ewer – Timika dan Timika-Yogya. Kini aku terduduk antara mama dan bapa,
merelakan menit-menit terakhir sebelum perpisahan yang panjang ini pasti
terjadi. Aku masih dapat menahan isak tangis, sementara wajah bapa demikian
pucat, ia masih berusaha keras menghadapi perpisahan ini dengan kuat.
“Jaga kau punya diri baik-baik Tewerauta …. Nanti
pulanglah dengan ijazah di tangan, bukan dengan menggendong anak. Ada saatnya
nanti seorang perempuan akan menggendong anak dengan paitua di sampingnya ….” Suara bapa demikian halus menyerupai
rintihan, aku tahu adalah permintaan yang tak dapat tidak dikabulkan, aku harus
menyanggupinya.
“Baik bapa, saya
berjanji untuk itu ….”
Lalu dari kejauhan
terdengar dengung pesawat jenis twin
otter dengan kapasitas 18 penumpang termasuk kru. Menit-menit penghabisan tak
dapat terelakkan, sesaat twin otter
memutar, menempatkan diri pada ujung landasan pacu, lalu burung besi itupun
menukik dengan cantik dan suara mesin yang bergemuruh, roda-rodanya melindas
tikar baja, menerbangkan debu kemudian berhenti pada hitungan yang pasti. Diperlukan
beberapa menit sebelum pintu terbuka, penumpang turun, bagasi dibongkar, dimuat
dalam gerobak, diganti dengan bagasi berikut. Suasana diam sehari-hari berubah
menjadi sibuk.
Akhirnya mama dan
bapa memelukku erat seolah tak ingin melepaskan, bahkan seorang kepala suku tak
dapat menahan tangisan, terlebih mama. Keduanya tak pernah tahu dimana
Yogyakarta berada, mungkin tak akan pernah sampai kesana, kini harus melepas
anak perempuan satu-satunya. Marius dan Hengki serta kedua ipar telah berlinang
air mata, kupeluk satu demi satu tanpa setetes pun air mata. Perpisahan ini benar terjadi, ketika
akhirnya sepasang kakiku melangkah menjauh, menjauh dari pelukan mama dan bapa,
dari air mata Hengki dana Marius. Adakah aku masih membenci kedua saudaraku?
Sebuah pengalaman
baru dimulai ketika aku menginjak tangga pesawat untuk yang pertama kali dalam
hidup, di depanku adalah ruangan terbatas dengan dua baris jok kiri kanan.
Kutempatkan diriku di samping Ibu Guru Ambar dan Nurul, Yodi terdiam tepat di
jok sebelah belakang, kali ini tak banyak berucap. Mungkin, karena ia juga
tengah terpuruk dalam sendu yang sama, karena perpisahan dengan keluarga.
Beberapa menit kemudian pintu dikatupkan rapat-rapat, seluruh kru, penumpang,
pilot, dan copilot telah bersiap pada jok masing-masing. Suara mesin semakin
tinggi, semakin tinggi hingga sampai pada desibel penghabisan, kemudian aku menahan napas, mengendalikan
rasa takut ketika pesawat mulai melaju
di atas landasan pacu, mengudara, mengapung di angkasa dan terus melaju dengan
kecepatan konstan. Langit antara warna biru dan gumpalan mega seputih kapas,
ketika menatap keluar jendela tampaklah hutan luas seakan tanpa tepi dengan
ratusan, mungkin ribuan anak sungai yang saling memotong dengan air coklat
seakan kopi susu. Kali ini aku benar-benar takjub, melihat dunia dari sisi
berbeda, jauh dari kampung lebih tujuh belas tahun dibesarkan. Setelah tahun
tahun yang panjang di dusun sagu tanpa melihat dunia luar, kini aku mulai
menjenguk kehidupan luas yang seharusnya. Aku Teweraut ternyata hanya titik
kecil di antara semesta yang luas tak bertepi.
Tiba-tiba wajah
mama, bapa, Hengki, dan Marius, juga Jan terbayang. Aku terjepit antara dua
hal, kerinduan yang teramat dalam akan kehadiran keluarga, sekaligus rasa ingin
tahu untuk menatap seisi dunia kemudian menjadi bagian pasti di dalamnya.
Pesawat terus meraung menembus biru langit serta mega-mega, di bawahnya hutan
tetap membentang tanpa akhir. Sesaat sepasang mataku memejam, sebelum akhirnya
mengaku kalah, kali ini aku tak dapat dapat membendung air mata.
Ketika roda twin otter menyentuh landasan pacu
Bandara Moses Kilangin Timika, aku kembali merasa takjub. Tak tampak tikar baja
atau rumah lapuk berdinding kayu beratap daun nipah, yang terlihat adalah aspal
yang licin dan berkilau, karena fatamorgana, megah bangunan kedatangan, riuh
manusia dengan aneka penampilan berbeda. Selebihnya kendaraan beroda empat,
lalu lintas serta jalan beraspal yang licin dengan pertokoan pada dua tepi
jalan. Saya seakan tersedot ke dalam mimpi tiga dimensi kemudian menjadi bagian
yang hidup di dalamnya. Dan ini baru
untuk permulaan.
Ibu Guru Ambar telah
memesan tiket Garuda Timika Denpasar Yogya telah pula memilih penginapan yang
cukup bersih untuk menunggu penerbangan esok hari. Kami makan siang di kaki
lima, menikmati suasana kota, juga kota administrasi PT. Freeport Indonesia,
Kuala Kencana. Sebuah tata kota yang membuatku terpana sekaligus mengerti,
dunia tak seluas dusun sagu, tetapi jauh lebih
besar dari itu. Sebuah taman kota, jalan-jalan nan licin menyibak hijau
pepohonan, bangunan yang teratur rapi, lapangan hijau, aneka warna bunga, udara
segar serta jauh dari hingar binger deru pesawat terbang. Kusaksikan segalanya
dalam diam, pergi kuliah ternyata merangkum beragam pengalaman, dan saat ini
belum apa-apa, belum lagi duduk di bangku yang sesungguhnya.
“Magda, mengapa
terdiam seribu Bahasa?” Yodi mulai membuat ulah, ia duduk di jok depan mobil
Avansa, di samping driver. Saya, Ibu Guru Ambar, dan Nurul di jok belakang.
Sesaat tampak senyum nakal Yodi serta lirikan matanya yang tak kenal takut.
“Magda masih
teringat rumah di dusun sagu,” senyum Nurul tak kalah nakal, ia mengerling
penuh arti, nyaris membuatku terpingkal-pingkal. Untunglah aku masih bisa
menahan diri, meski jauh di dalam hati terasa gerah.
Kami masih berputar
mengelilingi kota hingga rembang petang, gelap tiba. Ibu Guru Ambar tampak
lelah, maka kami memutuskan kembali ke penginapan, makan malam di resto
kemudian berbaring di kasur masing-masing untuk penerbangan esok hari. Kali ini
aku mengalami malam berbeda, bukan di dusun sagu atau di dalam bevak,
tetapi di dalam relung bangunan batu dengan terang cahaya lampu, air
mandi sejernih embun serta sebuah harap akan waktu yang sangat panjang.
Malam panjang seakan
cepat berlalu dengan beragam mimpi yang tak mampu diingat satu demi satu, kecuali rasa ingin tahu, apa yang akan
terjadi esok? Pagi berembun dalam gerimis dan udara dingin, kami segera
berkemas, bergantian mandi, berpakaian, duduk menghadap meja makan dengan
masing-masing menu, menyantap dengan lahap kemudian menuju ke bandara.
Suasana sungguh
berbeda, para penumpang nampak bergerak dengan cermat mengukur waktu supaya
tidak terlambat boarding, lebih baik menunggu dari pada kehilangan. Kami
mengikuti prosedur keamanan, melapor tiket untuk mendapatkan boarding pass,
kemudian duduk menunggu. Udara seakan terjatuh ke titik beku, jaketku terlalu
tipis untuk menolak hasil kerja mesin pendingin.
Satu jam lebih
menunggu akhirnya pesawat Garuda dari Jayapura landing dengan suara bergemuruh,
kami masih menunggu hingga terdengar suara memanggil bagi penumpang Timika,
Denpasar, Yogyakarta. Seluruh penumpang berdiri, memegang masing-masing
boarding pass, mengantri secara teratur kemudian menempatkan diri di atas bus menuju ke bada
npesawat yang tampak kuat dan perkasa. Kali ini benar penerbangan jauh yang
pertama meninggalkan Papua, diam-diam hatiku bergetar, dusun sagu terasa
semakin tak terjangkau, tergulung kabut,
perlahan menghilang dari tujuan, karena
aku terikat pada tujuan yang lain.
Sesaat ketika menginjak tangga pesawat langkahku
seakan mengambang, burung besi akan membawaku terbang jauh menuju masa depan,
untuk hari-hari yang panjang, yang tidak akan pernah berubah kecuali si-aku
berusaha mengubahnya. Dan aku sudah siap untuk itu. Seorang pramugari dan
pramugara menyambut kedatangan penumpang dengan ramah. Sejenak langkahku
terhenti, pramugara itu mengenakan jas berwarna gelap, gagah, tampan, mempesona
dengan senyum menawan, menenangkan bagi sebuah penerbangan yang cukup panjang,
sekitar tiga jam, tiga puluh menit ke Denpasar. Di sampingnya adalah pramugari
mengenakan kain kebaya, busana
tradisionil yang menonjolkan ramping tubuhnya, dan wajah anggun itu dinaungi
sanggul indah, make up minimalis serta senyum santun yang mengesankan. Ternyata
dalam hidup ada manusia setampan dan secantik ini. Tiba-tiba aku merasa diriku
sedemikian kecil, di dusun sagu, tentulah aku anak gadis seorang kepala suku.
Bahkan Fransis yang kini telah menjadi polisi pun masih menaruh rasa segan
serta rasa cinta tanpa batas. Akan tetapi, pada dunia yang ternyata tak seluas
daun kelor, aku bukan apa-apa, hanya titik kecil yang amat berkesan dengan
penampilan pegawai Garuda Indonesia.
Aku menempatkan diri
di samping jendela, di sebelahku Nurul,
Ibu Guru Ambar, Yodi di jok belakang, ia tak memiliki kesempatan melirik, aku
merasa diriku cukup aman. Cukup lama sekitar serratus lima puluh penumpang menempatkan diri pada jok masing-masing,
mengencangkan sabuk pengaman, membuka-buka majalah dengan fotografi yang
menakjubkan, sebelum akhirnya pesawat take off melambung ke angkasa dengan
kecepatan konstan kemudian melaju dalam satu garis lurus tanpa guncangan.
Langit biru seakan helai kain sutera yang dibentangkan, kemudian mega seputih
kapas, pramugari berjalan lalu lalang dengan langkah meyakinkan. Aku benar
terpesona dengan penampilan itu, suatu penampilan atas nama ikon kecantikan
yang benar menawan. Apakah aku, Teweraut, penghuni dusun sagu bisa secantik
itu?
Beberapa kali
pesawat mengalami turbulensi, karena cuaca berubah buruk kemudian kembali
normal. Ketika dengan senyum ramah pramugari menyajikan hidangan, aku melahapnya
tanpa sisa, selebihnya aku tak dapat menahan kantuk, tertidur lelap,
menunggu jam terakhir sebelum burung besi landing di landasan pacu Bandara
Ngurah Rai, Denpasar. Kali ini sepasang
mataku membelalak, landasan pacu demikian luas, beragam pesawat parkir serta
landing dan take off dalam ritme teratur, dijadwal dengan tertib. Cuaca cerah,
kami harus menunggu lima jam di kedatangan yang dibangun dengan megah dan mengagumkan. Inikah NKRI? Atau
bagian kecil di samping bagian-bagian yang lain.
Ibu Guru Ambar
tampak geli melihat keherananku dengan suasana sekitar, lebih-lebih ketika kami
menyempatkan diri ke Pantai Kuta serta Pasar Seni. “Mengapa ada laut sebiru
ini?” aku bergumam lirih, tapi cukup terdengar di telinga Ibu Guru Ambar.
“Pantai Kuta berbeda
dengan Laut Arafura yang berwarna cokelat, karena endapan lumpur dari tanah
berawa. Bagus bukan?” senyum Ibu Guru Ambar demikian lembut, ia memahami
ketololanku.
Kami makan sate
dengan segelas es jeruk di kaki lima dinaungi tenda, hidangan ini terasa lezat
sekali. Turis-turis tampak leluasa menikmati wisata tanpa kecemasan. Alangkah
berbeda Asmat, Timika, dan Denpasar? Bagaimana dengan Jayapura dan Oksibil,
tiba-tiba aku teringat Fransis, kutunggu nada dering, tetapi HP terdiam.
Sejenak rasa rindu menekan pikiran menjadi gamang, menjadi hampa, sedih, dan
menyakitkan. Entahlah, apa yang mau terjadi setelah ini?
“Ayo kembali ke
bandara, jangan sampai terlambat, pesawat tidak menunggu penumpang ….” Ibu Guru
Ambar membatasi waktu, penerbangan benar tidak bisa dianggap mudah, harus tepat
waktu. Setelah membayar harga makanan kami bergegas menuju keberangkatan
mengendarai taksi.
Sekejab kemudian aku
telah kembali takjub di tengah kemegahan keberangkatan Bandara Ngurah Rai.
Etalase demikian riuh memajang aneka benda seni, makanan, minuman, pakaian,
cafe-cafe yang elegan serta taman di dalam ruangan dengan aneka warna bunga
yang menyegarkan. Aku melupakan segala kesedihan dan kehilangan, saatnya
menikmati perjalanan. Ketika tiba saat boarding, aku benar merasa lelah, kami
dijemput sepasang pramugari dan pramugara yang berbeda dengan keramahan sama.
Keduanya seakan sepasang kekasih yang saling menyayangi dengan senyum santun
bagi penumpang yang kelelahan. Setelah menempatkan diri di atas jok,
mengencangkan sabuk pengaman, aku tak mengingat apa-apa. Rasa mengantuk
membawaku pada sebuah tidur dan mimpi yang melenakan, ketika terjaga di bawah
jendela Yogyakarta tampak sebagai lampu-lampu yang indah berpijar seakan batu
permata berserakan. Suara mesin menurun, pesawat memutar, mendapatkan posisi
yang pasti untuk mencapai landasan pacu, tak berapa lama kemudian burung besi ini benar mendarat di
landasan pacu Bandara Adisucipto, terguncang beberapa tabuh sebelum akhirnya
berbelok menuju tempat parkir. Pintu terbuka, penumpang beriringan turun
diiringi senyum manis pramugari. Sesaat kemudian aku telah menginjakkan kaki di
atas tanah Yogya, kota yang akan menjadi tempat tinggal sampai masa kuliah
selesai.
Setelah mengamankan
masing-masing bagasi, kami berpisah, Yodi telah dijemput saudara tua yang
terlebih dahulu telah meneruskan di kota yang sama. Nurul dijemput kerabat yang
menetap di Yogya, budhe dan sepupunya. “Magda, kita pasti akan selalu bersama
….” Nurul memelukku dengan tulus, aku tak pernah ragu kerelaan hatinya.
“Magda, nanti saya
pasti menelepon.” Aku tak mampu mengelak ketika Yodi juga memelukku, ia tak
pernah tahu bagaimana isi hatiku. Adakah Yodi berhak tahu?
Kami saling
melambai, aku mengikuti langkah Ibu Guru Ambar hingga terpesona ketika Ibu Guru
tampak memeluk seorang pemuda tampan dengan model rambut pendek seakan tentara,
sikap santun serta senyum yang ramah. “Magda, ini kakakmu Tara ….” Ibu Guru
memberikan sikap bijak memperkenalkan pemuda tampan itu.
“Magda ….” Tanganku
nyaris gemetar ketika bersentuhan dengan tangan Tara, senyumnya menyebabkan
bayangan Fransis melesat, tetapi aku segera menguasai diri. Tara pasti
menganggapku sebagai adik, tak lebih dari itu, ia memiliki kelas sendiri untuk
menjadi teramat dekat dengan siapa?
Kami berjalan
beriringan ke tempat parkir, melewati driver yang menawarkan jasa taksi angkutan,
café, lorong, escalator, jalan berasapal hingga akhirnya sampai pada sebuah
Yaris warna tinta. Tara membuka pintu bagasi, meletakkan kopor dan travel bag,
membuka pintu mobil bagi Ibu Guru, mempersilakan aku duduk di jok belakang
kemudian menempatkan diri di belakang kemudi. Dengan deru yang lembut Yaris
bergerak menuju jalan raya, melewati parkir. Aku kembali takjub dengan lalu
lintas di sepanjang Jalan Adisucipto
hingga menuju rumah tinggal ibu guru yang mungil yang terletak di lingkungan
Bulaksumur. Sebuah rumah minimalis kontemporer seputih gading, tiga kamar, tiga
kamar mandi, teras mungil dipenuhi tanaman serta disain interiar yang artistic.
Aku tak menyangka suatu saat akan hadir
pada sebuah rumah mungil yang sedamai ini. Kami menempati kamar masing-masing,
membersihkan diri di kamar mandi,
menghadap meja makan dengan satu piring mie goreng yang ditawarkan pedagang
keliling kemudian berbaring di balik selimut tebal melawan udara dingin. Aku
melewatkan malam pertama di Yogya dengan damai, terbangun ketika matahari
nyaris mencapai pucuk pohon tertinggi. Penerbangan ini ternyata sangat
melelahkan hingga aku terbangun kesiangan, Tara tertawa nakal, menganggapku
perempuan pemalas, karena bangun kesiangan. Aku hanya tersipu, terjaga secara
memalukan di rumah ibu guru dengan seorang nyong ganteng sebagai penghuni.
Hari ini aku
benar-benar beristirahat di rumah, menikmati tata ruang yang indah, namun
bersahaja, aneka tanaman hias di teras yang terawat dengan baik –kiranya tidak
ada yang lebih indah, kecuali warna bunga serta hijau daun. Acara televisi
menayangkan aneka film serta travelling, membantu Ibu Guru Ambar memasak
kemudian berjalan di sekitar perumahan, menikmati rindang pepohonan serta
beragam tanaman liar.
Keesokan hari kami
bertiga mencari rumah kost dekat kampus,
mendaftar ulang ke Fakultas Ilmu Budaya, memastikan kehadiran serta
kesediaan mengikuti perkuliahan dengan segala kesanggupan serta perjanjian.
Kemudian masih bertiga kami pergi ke swalayan di dekat kampus untuk melengkapi
isi kamar kost, pulang dalam keadaan lelah. Masih sekitar tiga hari kami
bekerja keras mempersiapkan kehidupanku sebagai anak kost, setelah semua beres,
maka bertiga kami pergi ke Kaliurang, menikmati suasana dingin serta hijau daun
yang dililit kabut, mengadapi sepiring sate yang masih hangat pada sebuah
kantin.
“Harap Magda senang
tinggal di Yogya sampai kuliah selesai, kembali ke Papua dengan menggendong
ijazah, bukan menggendong anak ….” Ibu Guru Ambar membuka pembicaraan,
senyumnya lembut, tetapi dari balik kelembutan itu tersembunyi kekuatan serta
harapan yang sangat dalam.
“Saya akan selalu
berusaha ibu ….” Aku harus menjawab
pasti, aku tak mau membuat Ibu Guru kecewa setelah sejauh ini, membimbingku
seolah aku adalah anak kandung tanpa sepeser pun insentif, kecuali harapan.
Kerja kerasnya di Asmat tidak berakhir sia-sia, karena aku seorang anak
didiknya akan berhasil menjadi manusia.
“Nanti pulang Papua
menggendong boneka saja ….” Tara berseloroh sambal tersenyum nakal, hati nyong
yang satu ini demikian tulus menganggapku adik.
“Boneka itu akan
dipanggil Kakak Tara ….” Aku tak mau diam mengalah, karena Tara akan selalu
memilih kata-kata paling tepat membuat “ulah”.
Kali ini Tara
tergelak menampakkan giginya yang putih, rapi, dan terawat dengan baik. Ibu dan
anak itu duduk demikian dekat seakan kembar, tanpa kehadiran seorang ayah keduanya tampak saling mengisi
tanpa berusaha menghadirkan ayah yang lain. Kiranya Tara adalah segala kekuatan
serta harapan bagi ibunda tanpa kecuali. Kenangan indah akan kehadiran seorang
ayah terpatri dalam sosok serta pribadi Tara yang mempesona.
Saat-saat mengesankan
ini berlalu dengan cepat, kami bertiga masih sempat menuju batas kota paling
selatan di Parang Tritis, menjadi galau oleh debur ombak yang tidak pernah
henti, merelakan kaki dihinggapi butiran
pasir putih yang teramat lembut, menatap bukit karang yang tegak di kejauhan,
makan hidangan sederhana di bawah tenda. Dan akhirnya takjub oleh matahari
tenggelam yang berwarna semerah bara, suasana temaram, rembang petang, dan
akhirnya memucat ditelan segala warna hitam. Kami berjalan beriringan, Ibu Guru
Ambar selalu menggandeng tangan Tara, ia berusaha mendapatkan kembali kekuatan
setelah lama ketiadaan. Kami duduk di jok masing-masing dalam diam, aku tak
henti menatap dua tepi jalan yang bermuatan aneka warna kehidupan. Tak mudah
memulai kehidupan di tempat baru yang teramat luas, tetapi harus. Atau, aku tak
pernah mengenakan toga.
Ketika akhirnya Ibu
Guru Ambar dan Tara mengantarku menetap di rumah kost yang terletak tepat di
tepi selokan, tiba-tiba aku merasa demikian sunyi. Masihkah ada kesempatan
pergi bertiga ke Kaliurang atau ke Parang Tritis, Ibu Guru Ambar akan sibuk
dengan Tara pada hari libur kemudian kembali ke Asmat untuk meneruskan tugas
sebagai ibu guru. Tara akan sibuk di Fakultas Teknik Bulaksumur, masihkan ada
celah waktu untuk sekedar menelepon dan memanggilku “adik”. Aku seakan pohon
yang tercabut dari akar. Malu untuk mengakui sepasang mata berkaca-kaca seakan
cermin retak, aku hanya diam.
“Jaga ditrimu
baik-baik, jangan pernah ijazah tidak sampai di tangan, engkau kembali ke Papua
bukan mengendong ijazah, tapi menggendong anak ….” Suara Ibu Guru Ambar lembut,
ia telah sampai pada suatu masa ketika perkuliahan berlalu, terbebas dari
segala beban tentang kemungkinan mendapatkan ijazah.
“Simpan nomor HPku
….” Tara memberikan nomor Hp dan segera kusimpan. “Kalau ada kesulitan, telepon
….” Tara masih sangat muda, tetapi ia selalu bijak menentukan sikap di dalam
segala situasi.
Aku hanya
mengangguk, kupeluk Ibu Guru Ambar seolah ia seorang mama kandung, masih dapat
kutahan isak tangis. Akan tetapi, ketika mobil kecil itu menderu dengan keempat roda terus
berputar semakin menjauh –semakin menjauh, air mataku terjatuh. Tiba-tiba aku
merasa tercampakkan, sebatang kara, seakan helai daun kering yang gugur di
penghujung musim. Angin terasa semakin dingin, beberapa detik aku bahkan
terlupa dimana sebenarnya aku berdiri. Siapa yang kukenal di tempat kost baru
ini? Tak seorangpun, diamana Nurul? Ah, dan dimana pula Yodi? Tak seorang pun
menelepon selama aku tinggal bersama Ibu Guru, Fransis sudah pasti menghilang
tanpa kabar. Ia berada pada suat tempat yang sangat jauh dan tidak mudah
dijangkau, hanya mukzijat dan keajaiban yang dapat menautkan. Lidah terasa
getir ketika akhirnya menyadari, benar kini aku seorang diri.
Dengan lunglai aku
membalikkan badan, aku ingin segera mengunci diri di dalam kamar,
menelungkupkan diri di atas kasur, membiarkan air mata membanjir, membiarkan
diri menjadi cengeng. Akan tetapi, tiba-tiba langkahku terhenti. Beberapa depa
di hadapanku berdiri dua orang gadis sebaya dengan wajah sama manisnya,
tersenyum polos. “Dirimu dari Papua?” suara itu sedemikian merdu, terucap dari
seorang gadis berambut panjang tergerai dengan wajah ayu tanpa make up,
tangannya yang sekuning buah langsat terulur.
“Iya, saya Teweraut
….. ah Magdalena ….” Kujabat erat tangan itu sambil memaksa tersenyum, mengapa
ada gadis yang merelakan diri mengulurkan tangan dengan seorang tak dikenal?
“Siapa namanya ….
Telelaut?” gadis yang satu dengan rambut legam hingga batas batu mengerutkan
alisnya yang indah, ia pasti asing dengan nama Asmat, susunan aksara yang tak
pernah tereja.
“Ah tidak …. Saya
biasa dipanggil Magda …. Magdalena….” Aku harus cepat mengambil sikap.
“O ya, aku Sagung
Ayu dari Bali ….” Gadis berambut panjang itu menyebutkan namanya.
“Aku Vida dari
Bandung, aku ulang tahun mau pergi makan bakso di simpang jalan. Harap tidak
berkeberatan ikut bergabung,” gadis berambut pendek itu tersenyum manis,
perlahan membuatku sadar, tak pernah sendiri di tempat ini.
“Kami mahasiswa
baru, aku di Fisipol Sosiologi, Vida di Psikologi. Magda Fakultas apa?”
percakapan berlanjut.
“Saya di FIB, Sastra
Indonesia ….” Kujawab singkat.
“Ayo bersiap, udap
lapar ni ….” Sagung menepuk perutnya, aku tahu apa yang harus kukerjakan,
bergegas merapikan penampilan, mengunci pintu kemudian berjalan bertiga menuju
warung bakso yang terletak tak jauh dari rumah kost.
Kami baru mengenal,
tetapi telah duduk satu meja menikmati masing-masing satu mangkok bakso yang
lezat serta segelas es jeruk. Hidangan ulang tahun yang sangat sederhana,
tetapi menggores kebersamaan yang dalam atas nama sesama mahasiswa baru di
rumah kost yang sama. Kiranya tak ada
mahasiswa perantau jauh keluarga yang benar seorang diri, kecuali yang
bersangkutan enggan bergaul. “Magda dari Papua mana?” Vida membuka pembicaraan.
“Saya dari Asmat.”
“Asmat? Dimana itu?”
Sagung mengerutkan keningnya.
“Dua belas jam
pelayaran dari Timika atau empat puluh lima menit penerbangan dengan twin
otter.”
“Twin Otter apa
itu?” kali ini dahi Visa sama kerutnya.
“Pesawat perintis,
delapan belas penumpang dengan kru.”
“Apa?!” sepasang
mata Vida dan Sagung membelalak lebar seakan hendak meloncat dari kelopak,
menatapku seolah mahluk asing dari dunia lain.
“Dari Timika ke
Yogya?” Vida belum berhenti bertanya.
“Dengan Garuda tiga
jam tigapuluh menit transit Denpasar, tunggu lima jam terus ke Yogya satu jam
tiga puluh menit.
“Perjalanan panjang
….” Tiba-tiba sepasang mata Sagung meredup, menerawang jauh seolah menembus
hutan hujan tropis yang mengungkung wilayah Asmat. Sementara sepasang mata jeli
Vida masih menatapku.
“Dengan siapa engkau
datang?” Vida masih bertanya.
“Ibu Guru Ambar.”
Jawabku singkat.
“Dimana mama?”
“Mama sudah tiada
….” Kali ini aku nyaris tersedak, ingatanku kembali pada masa kecil yang jauh
ketika mama setiap hari selama satu tahun selalu mengawasi awal mula mengenal
bangku sekolah hingga akhirnya aku berkesempatan menjadi seorang mahasiswa.
Wajah Sagung dan
Vida berubah sendu, keduanya tak banyak bertanya lagi, kecuali menganggapku
berasal dari kebudayaan yang sangat jauh dan asing, aku adalah seorang anak
yatim yang sendiri, sunyi, dan entah apa yang akan terjadi nanti. Akan tetapi,
kebersamaan ini menimbulkan suasana hangat. Suasana ulang tahun yang bersahaja
dan akan diingat selamanya, kiranya persahabatan dimulai dari hal-hal yang
sederhana.
Keesokan harinya
adalah kuliah yang pertama, kami bersinggungan dengan wajah-wajah baru dari
segala suku, ras, dan golongan, saling membaur dan bertegur sapa. Sementara
suasana kampus yang rindang oleh hijau daun serta raut wajah ramah menyebabkan
sesiapapun menjadi nyaman. Kampus adalah rumah tinggal semasa kuliah hingga
tiba saat akhirnya, ketika sarjana baru berwenang mengenakan toga.
“Hai engkau pasti dari Papua ….. aku Tambunan dari Medan ….” Seorang nyong berbadan tegap dan familiar berjalan mendekat kemudian memulai percakapan.
“Hai engkau pasti dari Papua ….. aku Tambunan dari Medan ….” Seorang nyong berbadan tegap dan familiar berjalan mendekat kemudian memulai percakapan.
“Saya Magdalena, iya
saya dari Papua …..” kuperhatikan di sekitar. Mahasiswa asal Papua hanya satu orang,
yang lain dari NTT, Malaysia, Toraja, Maluku, paling banyak dari Jawa.
Telingaku terasa asing ketika mendengar percakapan dalam Bahasa Jawa dengan
logat yang kuat.
“Eh Magda engkau
Papua mana?” gadis itu amat mungil dengan penampilan bersahaja, bertanya dengan
polos. Nama gadis itu Wina.
“Saya Asmat.”
“Dimana itu?”
seorang mahasiswi lain mengenakan kerudung, dipanggil Lila kembali bertanya.
“Dua belas jam
pelayaran dari Timika.”
“Kalau dari Asmat ke
Jayapura naik kereta api berapa jam?” Wina kembali bertanya tanpa rasa
bersalah.
“Kereta api? Apa
itu?” aku menjadi bingung, menatap Wina dengan linglung.
Sesaat suasana
hening hingga tiba-tiba terdengar suara tergelak Tambunan membelah udara. “Hei
Wina …. Kalau dari Asmat ke Jayapura naik kereta api mah tiga bulan. Kereta
putar-putar dulu di Wamena, melanglang buana ke Sorong baru sembilan puluh hari
kemudian sampai Jayapura. Ha …. Ha …. Ha …. Ha ….”
“Hahh …. Yang benar
saja?” sepasang mata Wina melolot seakan ikan koki, ia tengah membayangkan
perjalanan konyol yang tidak masuk akal tiga bulan mengendarai kereta api.
“Hei …. Kereta api
mah cuma di Tanah Jawa atuh …. Papua medan berat mana ada kereta api …. Makanya
pikniklah sedikit membuka wawasan ….” Tambunan masih juga tergelak. Suasana
menjadi hangat, kiranya informasi tentang Papua masih amat terbatas, seorang
mahasiswi bahkan mengira di pulau raksasa dengan posisi serta kondisi geografis
yang ganas memungkinkan dibangun rel kereta api.
Kami tak bercakap
lebih lama, karena harus menghadap dosen pembimbing untuk persetujuan KRS.
Menjelang siang kami kembali bertemu di kantin, menikmati hidangan murah
meriah. “Eh, kita ke Gembiro Loka yuk ….” Lila menawarkan wisata kecil ke kebun
binatang.
“Ngapain ke kebun
binatang? Kunjungi saudara tua?” Tambunan nyaris terbahak.
“Kita jalan-jalanlah
sebelum sibuk urusan tugas.
“Ayo ….” Wina
menyetujui.
“Ayo ….” Aku
tertarik juga pergi ke kebun binatang.
“Ayo Tambunan ….”
Lila nyaris merengek beberapa saat hingga Tambuna mengerjabkan mata tanda
setuju. Maka berempat kami meluncur bergoncengan sepeda motor menuju kebun
binatang untuk wisata kecil yang menyenangkan.
Seterusnya kami
sering bersama untuk mengerjakan tugas atau sekedar jalan-jalan di hari libur.
Tak mudah mendapatkan sahabat. Demikian
pula ketika waktu terus berjalan hingga sampai pada batas akhirnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar