Jumat, 01 November 2019

Bab VII: MENGGAMBAR BINTANG --Kisah Seorang Anak Asmat--


BAB VII
YOGYAKARTA

Malam ini bulan hanya sepenggal  menyerupai sabit yang berkilau di antara pudar cahaya bintang dan mendung yang menggumpal. Angin berkesiur dingin seakan melukai pori-pori, di teras rumah atau dari dalam rumah cahaya temaram berpijar lemah tak mampu menembus gelap. Suara tifa bergaung dari  dalam jew  seakan memanggil roh leluhur di alam kematian, menimbulkan suasana mistis, suasana yang selalu dan akan selalu mengikat batin sesiapapun yang pernah terlahir kemudian dibesarkan di kampung ini. Seberapa jauh aku akan pergi? Dan kapan akan kembali? Adalah pertanyaan yang sangat tidak mudah dijawab. Tak seorang pun tahu hari esok, tidak juga aku –Teweraut yang kali ini cuma  seorang gadis dusun sagu terduduk menata harapan, di seputar adalah hutan luas membentang tiada bertepi serta Laut Arafura dengan ombak  berdebur memburu pesisir.
Sedang apa Fransis?
Tak semenit pun bayang wajah itu menghilang. Bapa telah membelikanku HP kecil sebatas untuk menelephone dan sms, tetapi aku membatasi pemakaian. Fransis tidak selalu bisa dihubungi, setiap hari aku menunggu dering, sms atau panggilan. Sering  kehampaan ini menyergap demikian kuat, dalam hal ini aku hanya seorang yang tak berdaya menunggu takdir dan jodoh. Lambat laun aku terbiasa dengan kehampaan, Fransis lebih tepat menyerupai bayangan yang jauh dari ada untuk sekedar bersandar pada bahunya. Aku mulai ikhlas menerima segala kepahitan, mendapatkan ternyata harus mampu menanggung akibat paling buruk, yaitu merelakan. Keduanya hanya dua hal berlawanan, tetapi tidak bertentangan. Sesaat suasana hati terlonjak demikian mengejutkan ketika HP berdering untuk sebuah pesan singkat atau panggilan, kemudian segalanya kembali diam. Jarak ternyata mutlak mengubah pandangan serta emosi, meski tak ada seorang pun mampu menggantikan Fransis jauh di relung hati.
Sesaat ketika tiba-tiba HP berdering, suasana hati kembali terlonjak, terlebih ketika muncul nama Fransis di layar. “Halo ….” Tak dapat kusembunyikan nada gembira.
“Tewerauta …. Apa kabar?” suara Fransis mengobati seluruh kerinduan.
“Baik, besok saya berangkat ke Timika dengan pesawat terus lanjut ke Yogya untuk kuliah. Fransis baik-baik saja?”
“Ah, engkau kuliah ke Yogya? Luar biasa, tapi jauh sekali ….”
“Iya, jauh sekali. Bapa dan Ibu Guru mengharap saya berangkat, kita bisa tetap kontak dengan HP. Pada waktunya pasti kita bertemu ….” Tiba-tiba suaraku serak, tiba-tiba gerimis menitik, jarak ini semakin meregang tak terukur, menyakiti sekaligus membuatku tidak berdaya. Setelah itu aku terlupa apa yang telah kukatakan, yang tak dapat kulupakan adalah isak tangis. Entah apa yang sebenarnya kutangisi.
“Tewerautat, besok saya berangkat ke Oksibil menjalankan perintah tugas….” Suara Fransis menyebabkan tenggorokanku tercekik. Oksibil, Okbibab, Kiwirok tiga wilayah di Pegunungan Bintang perbatasan PNG. Posisi  yang demikian jauh nyaris tak terjangkau kecuali dengan penerbangan pesawat perintis dari Bandara Sentani Jayapura yang selalu terhalang kabut dan beberapa kecelakaan maut yang menewaskan seluruh kru dan penumpang. Udara membeku dan berubah menjadi embun es, dan entah kesulitan apa lagi. Aku tahu arti penugasan ini, mungkin aku tengah menunggu suatu hari yang tidak akan pernah tiba. Kemudian segalanya diam, dingin dan hitam, aku tak tahu pukul berapa menempatkan diri di atas kasur tipis menatap langit-langit dengan pikiran  mengambang. Serasa berbaring di antara es dan api, keduanya memberikan pengaruh yang berbeda, tetapi sama  menyakitkan, beku dan panas membara. Aku akan memenuhi segala harapan untuk kesetaraan gender sekaligus masa depan, merelakan jarak yang meregang, menimbulkan rasa gamang. Adakah pilihan lain?
Lalu tampak ribuan kunang-kunang terbang berseliweran, langit berubah menjadi selimut maha hitam menyeret kesadaran menuju entah, akal sehatku tak mampu lagi menyusun perhitungan, kecuali menyadari, tak seorang pun tahu segala yang bakal terjadi esok hari. Apa yang mau terjadi, terjadilah. Maka hitam langit meregang menjadi halimun, semakin putih, semakin putih,  menari-nari menjadi ribuan bangau kertas yang riuh terbang memburu langit lepas. Akupun terlena dengan sejumput kesadaran ketika esok terjaga segalanya tak akan lagi sama.
Keesokan harinya sesisi kampung dikepung kabut embun, sinar matahari padam di balik warna putih, tak mampu menembus celah dinding papan, suara anjing melolong serta kucing mengeong, kesibukan mama di depan tungku api, menyebabkan aku tahu harus segera terbangun untuk menuju Bandara Ewer. Segalanya berlalu cengan cepat, aku sarapan sagu bola, mandi air dingin, berpakaian lengkap dengan jaket tipis  kemudian mengepak perbekalan, travelling bag serta tas punggung. Hanya ini yang kumiliki untuk memulai kehidupan baru. Ketika berdiri di depan pintu memastikan keberangkatan, maka aku bertatapan dengan wajah itu, wajah sendu yang tengah berperang antara harapan dan perpisahan.
“Engkau memerlukan ini ….” Mama meraih tanganku menggenggamkan sejumlah uang cukup besar yang tidak pernah kumiliki selama ini. Sepasang matanya berembun, isak tangisnya tertahan ketika memelukku, ia tidak seperti ibu tiri, ia seakan ibu kandung yang menyayangi. Mama telah mengumpulkan uang kecil dari  hasil menjaring untuk bekal pada masa pendidikan yang sangat panjang. “Mama akan kirim bila cukup uang ….”
“Mama terimakasih, tolong jaga bapa ….” Aku tak ingin menangis, aku ingin menghadapi perpisahan ini dengan berani tanpa setetes pun air mata. Bukankah hari ini aku telah memastikan dengan segenap keyakinan.
Wajah Hengki dan Marius, peminum itu tak kalah sendu, aku tak menyangka pada suatu hari  kedua saudara yang sering menindas, karena aku seorang anak perempuan berubah menjadi sedemikian rapuh seolah petarung yang kalah telak pada arena pertunjukkan tanpa lawan harus mengayunkan tendangan maut. Aku tahu tentang kehilangan itu, aku memilih diam, kata-kata hanya akan memancing tangis, suatu hal yang tak pernah aku inginkan pada hari ini. Di tepi kali bapa telah menyiapkan long boat, kami berjalan beriringan satu kerabat masih dengan wajah sendu, tanpa sepatah kata.
“Tewerauta …… Tewerauta ….. kamu orang jalan iyo …..?” dari teras-teras rumah terdengar suara orang mengucap selamat jalan. Kulambaikan tangan, duka hati perpisahan seakan sekarat pohon tercabut dari akar. Aku masih dapat membendung air mata, juga ketika terduduk di long boat  dalam pelukan mama, aku tahu mengapa seorang harus merantau, adalah supaya yang bersangkutan tahu arti rindu akan kampung halaman. Dusun sagu yang selalu kukenang sepanjang waktu, sejauh apa pun pergi menuju.
Bapa menstater motor temple mengendalikan long boat tanpa banyak berucap, tatapan matanya yang tua cukup membahasakan, ia teramat kehilangan, tetapi tak berdaya untuk sebuah masa yang bernama hari esok. Bapa mendukung pesan mama almarhum supaya anak perempuannya sekolah setinggi mungkin, bahkan bila mesti pergi ke tempat yang sangat jauh. Angin menampar cukup keras ketika long boat melaju. Di tepi sungai tampak tangan-tangan melambai, aku balas melambai, long boat terus melaju meninggalkan muara. Permukaan air Sungai Aswets tampak tenang berselubung kabut embun, ketika membalikan muka tampak Kampung Syuru seakan kabur dikepung halimun. Adalah atap-atap rumah yang mencuat di antara hijau pohon bakau dan pohon kelapa, selebihnya kabut embun yang menyebabkan kampung itu tampak seakan lukisan alam yang maha sempurna.
Kami menuju muara, ombak beralun kemudian bergelombang, jauh di depan mata adalah batas alam yang menyatukan langit dan laut serta lampu suar penunjuk arah yang berdiri kukuh sepanjang tahun. Long boat seakan terpelanting, tetapi bapa terlalu ahli mengemudikan perahu fiber ini, sehingga guncangan ombak di muara dilalui dengan selamat, selanjutnya kami terus melaju menyusuri anak sungai, pada dua tepinya adalah rimbun pohon bakau, menggigil dalam dingin embun. Akhirnya tampaklah tambatan perahu Bandara Ewer, Ibu Guru Ambar, Nurul, dan Yodi tampak telah menunggu. Yodi mengubah arah, dari rencana kuliah di Jayapura menjadi ke Yogya, aku tak peduli dengan bayangan nyong yang satu itu. Tatapan Yodi selalu sedalam lautan, tetapi apa bedanya? Tatapan itu tak mampu mengubah pendirianku, tak mampu menyingkirkan bayangan Fransis, betapapun jauh langkah itu menuju.
“Magdalena …. Saya kira engkau batal hadir ….” Ibu Guru Ambar tersenyum nakal, ia tampak lega dengan kehadiranku dan seluruh anggota keluarga, Nurul tampak pula tersenyum, ia didampingi ibunda. Yodi mulai sibuk membantuku memikul tavel bag, kali ini aku tak dapat mengelak kebaikannya. Kami menunggu beberapa jam, harap-harap cemas, karena pesawat sering batal, harus menunggu penerbangan esok hari.
Tak berapa lama kemudian dari SSB diterima kabar, penumpang di Bandara Moses Kilangin Timika siap boarding, hal itu berarti penumpang Ewer- Timika bersiap timbang, menunggu sekitar 45 menit hingga pesawat landing. Ibu Guru Ambar telah menangani seluruh biaya penerbangan dari Ewer – Timika dan Timika-Yogya. Kini aku terduduk antara mama dan bapa, merelakan menit-menit terakhir sebelum perpisahan yang panjang ini pasti terjadi. Aku masih dapat menahan isak tangis, sementara wajah bapa demikian pucat, ia masih berusaha keras menghadapi perpisahan ini dengan kuat.
“Jaga kau  punya diri baik-baik Tewerauta …. Nanti pulanglah dengan ijazah di tangan, bukan dengan menggendong anak. Ada saatnya nanti seorang perempuan akan menggendong anak dengan paitua di sampingnya ….” Suara bapa demikian halus menyerupai rintihan, aku tahu adalah permintaan yang tak dapat tidak dikabulkan, aku harus menyanggupinya.
“Baik bapa, saya berjanji untuk itu ….”
Lalu dari kejauhan terdengar dengung pesawat jenis twin otter dengan kapasitas 18 penumpang termasuk kru. Menit-menit penghabisan tak dapat terelakkan, sesaat twin otter memutar, menempatkan diri pada ujung landasan pacu, lalu burung besi itupun menukik dengan cantik dan suara mesin yang bergemuruh, roda-rodanya melindas tikar baja, menerbangkan debu kemudian berhenti pada hitungan yang pasti. Diperlukan beberapa menit sebelum pintu terbuka, penumpang turun, bagasi dibongkar, dimuat dalam gerobak, diganti dengan bagasi berikut. Suasana diam sehari-hari berubah menjadi sibuk.
Akhirnya mama dan bapa memelukku erat seolah tak ingin melepaskan, bahkan seorang kepala suku tak dapat menahan tangisan, terlebih mama. Keduanya tak pernah tahu dimana Yogyakarta berada, mungkin tak akan pernah sampai kesana, kini harus melepas anak perempuan satu-satunya. Marius dan Hengki serta kedua ipar telah berlinang air mata, kupeluk satu demi satu tanpa setetes pun air  mata. Perpisahan ini benar terjadi, ketika akhirnya sepasang kakiku melangkah menjauh, menjauh dari pelukan mama dan bapa, dari air mata Hengki dana Marius. Adakah aku masih membenci kedua saudaraku?
Sebuah pengalaman baru dimulai ketika aku menginjak tangga pesawat untuk yang pertama kali dalam hidup, di depanku adalah ruangan terbatas dengan dua baris jok kiri kanan. Kutempatkan diriku di samping Ibu Guru Ambar dan Nurul, Yodi terdiam tepat di jok sebelah belakang, kali ini tak banyak berucap. Mungkin, karena ia juga tengah terpuruk dalam sendu yang sama, karena perpisahan dengan keluarga. Beberapa menit kemudian pintu dikatupkan rapat-rapat, seluruh kru, penumpang, pilot, dan copilot telah bersiap pada jok masing-masing. Suara mesin semakin tinggi, semakin tinggi hingga sampai pada desibel penghabisan,  kemudian aku menahan napas, mengendalikan rasa takut ketika pesawat  mulai melaju di atas landasan pacu, mengudara, mengapung di angkasa dan terus melaju dengan kecepatan konstan. Langit antara warna biru dan gumpalan mega seputih kapas, ketika menatap keluar jendela tampaklah hutan luas seakan tanpa tepi dengan ratusan, mungkin ribuan anak sungai yang saling memotong dengan air coklat seakan kopi susu. Kali ini aku benar-benar takjub, melihat dunia dari sisi berbeda, jauh dari kampung lebih tujuh belas tahun dibesarkan. Setelah tahun tahun yang panjang di dusun sagu tanpa melihat dunia luar, kini aku mulai menjenguk kehidupan luas yang seharusnya. Aku Teweraut ternyata hanya titik kecil di antara semesta yang luas tak bertepi.
Tiba-tiba wajah mama, bapa, Hengki, dan Marius, juga Jan terbayang. Aku terjepit antara dua hal, kerinduan yang teramat dalam akan kehadiran keluarga, sekaligus rasa ingin tahu untuk menatap seisi dunia kemudian menjadi bagian pasti di dalamnya. Pesawat terus meraung menembus biru langit serta mega-mega, di bawahnya hutan tetap membentang tanpa akhir. Sesaat sepasang mataku memejam, sebelum akhirnya mengaku kalah, kali ini aku tak dapat dapat membendung air mata.
Ketika roda twin otter menyentuh landasan pacu Bandara Moses Kilangin Timika, aku kembali merasa takjub. Tak tampak tikar baja atau rumah lapuk berdinding kayu beratap daun nipah, yang terlihat adalah aspal yang licin dan berkilau, karena fatamorgana, megah bangunan kedatangan, riuh manusia dengan aneka penampilan berbeda. Selebihnya kendaraan beroda empat, lalu lintas serta jalan beraspal yang licin dengan pertokoan pada dua tepi jalan. Saya seakan tersedot ke dalam mimpi tiga dimensi kemudian menjadi bagian yang  hidup di dalamnya. Dan ini baru untuk permulaan.
Ibu Guru Ambar telah memesan tiket Garuda Timika Denpasar Yogya telah pula memilih penginapan yang cukup bersih untuk menunggu penerbangan esok hari. Kami makan siang di kaki lima, menikmati suasana kota, juga kota administrasi PT. Freeport Indonesia, Kuala Kencana. Sebuah tata kota yang membuatku terpana sekaligus mengerti, dunia tak seluas dusun sagu, tetapi jauh lebih  besar dari itu. Sebuah taman kota, jalan-jalan nan licin menyibak hijau pepohonan, bangunan yang teratur rapi, lapangan hijau, aneka warna bunga, udara segar serta jauh dari hingar binger deru pesawat terbang. Kusaksikan segalanya dalam diam, pergi kuliah ternyata merangkum beragam pengalaman, dan saat ini belum apa-apa, belum lagi duduk di bangku yang sesungguhnya.
“Magda, mengapa terdiam seribu Bahasa?” Yodi mulai membuat ulah, ia duduk di jok depan mobil Avansa, di samping driver. Saya, Ibu Guru Ambar, dan Nurul di jok belakang. Sesaat tampak senyum nakal Yodi serta lirikan matanya yang tak kenal takut.
“Magda masih teringat rumah di dusun sagu,” senyum Nurul tak kalah nakal, ia mengerling penuh arti, nyaris membuatku terpingkal-pingkal. Untunglah aku masih bisa menahan diri, meski jauh di dalam hati terasa gerah.
Kami masih berputar mengelilingi kota hingga rembang petang, gelap tiba. Ibu Guru Ambar tampak lelah, maka kami memutuskan kembali ke penginapan, makan malam di resto kemudian berbaring di kasur masing-masing untuk penerbangan esok hari. Kali ini aku mengalami malam berbeda, bukan di dusun sagu atau di dalam bevak,  tetapi di dalam relung bangunan batu dengan terang cahaya lampu, air mandi sejernih embun serta sebuah harap akan waktu yang sangat panjang.
Malam panjang seakan cepat berlalu dengan beragam mimpi yang tak mampu diingat satu demi satu,  kecuali rasa ingin tahu, apa yang akan terjadi esok? Pagi berembun dalam gerimis dan udara dingin, kami segera berkemas, bergantian mandi, berpakaian, duduk menghadap meja makan dengan masing-masing menu, menyantap dengan lahap kemudian menuju ke bandara.
Suasana sungguh berbeda, para penumpang nampak bergerak dengan cermat mengukur waktu supaya tidak terlambat boarding, lebih baik menunggu dari pada kehilangan. Kami mengikuti prosedur keamanan, melapor tiket untuk mendapatkan boarding pass, kemudian duduk menunggu. Udara seakan terjatuh ke titik beku, jaketku terlalu tipis untuk menolak hasil kerja mesin pendingin.
Satu jam lebih menunggu akhirnya pesawat Garuda dari Jayapura landing dengan suara bergemuruh, kami masih menunggu hingga terdengar suara memanggil bagi penumpang Timika, Denpasar, Yogyakarta. Seluruh penumpang berdiri, memegang masing-masing boarding pass, mengantri secara teratur kemudian  menempatkan diri di atas bus menuju ke bada npesawat yang tampak kuat dan perkasa. Kali ini benar penerbangan jauh yang pertama meninggalkan Papua, diam-diam hatiku bergetar, dusun sagu terasa semakin  tak terjangkau, tergulung kabut, perlahan menghilang dari  tujuan, karena aku terikat pada tujuan yang lain.
Sesaat  ketika menginjak tangga pesawat langkahku seakan mengambang, burung besi akan membawaku terbang jauh menuju masa depan, untuk hari-hari yang panjang, yang tidak akan pernah berubah kecuali si-aku berusaha mengubahnya. Dan aku sudah siap untuk itu. Seorang pramugari dan pramugara menyambut kedatangan penumpang dengan ramah. Sejenak langkahku terhenti, pramugara itu mengenakan jas berwarna gelap, gagah, tampan, mempesona dengan senyum menawan, menenangkan bagi sebuah penerbangan yang cukup panjang, sekitar tiga jam, tiga puluh menit ke Denpasar. Di sampingnya adalah pramugari mengenakan kain  kebaya, busana tradisionil yang menonjolkan ramping tubuhnya, dan wajah anggun itu dinaungi sanggul indah, make up minimalis serta senyum santun yang mengesankan. Ternyata dalam hidup ada manusia setampan dan secantik ini. Tiba-tiba aku merasa diriku sedemikian kecil, di dusun sagu, tentulah aku anak gadis seorang kepala suku. Bahkan Fransis yang kini telah menjadi polisi pun masih menaruh rasa segan serta rasa cinta tanpa batas. Akan tetapi, pada dunia yang ternyata tak seluas daun kelor, aku bukan apa-apa, hanya titik kecil yang amat berkesan dengan penampilan pegawai Garuda Indonesia.
Aku menempatkan diri di samping  jendela, di sebelahku Nurul, Ibu Guru Ambar, Yodi di jok belakang, ia tak memiliki kesempatan melirik, aku merasa diriku cukup aman. Cukup lama sekitar serratus lima puluh  penumpang menempatkan diri pada jok masing-masing, mengencangkan sabuk pengaman, membuka-buka majalah dengan fotografi yang menakjubkan, sebelum akhirnya pesawat take off melambung ke angkasa dengan kecepatan konstan kemudian melaju dalam satu garis lurus tanpa guncangan. Langit biru seakan helai kain sutera yang dibentangkan, kemudian mega seputih kapas, pramugari berjalan lalu lalang dengan langkah meyakinkan. Aku benar terpesona dengan penampilan itu, suatu penampilan atas nama ikon kecantikan yang benar menawan. Apakah aku, Teweraut, penghuni dusun sagu bisa secantik itu?
Beberapa kali pesawat mengalami turbulensi, karena cuaca berubah buruk kemudian kembali normal. Ketika dengan senyum ramah pramugari menyajikan hidangan, aku  melahapnya  tanpa sisa, selebihnya aku tak dapat menahan kantuk, tertidur lelap, menunggu jam terakhir sebelum burung besi landing di landasan pacu Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Kali  ini sepasang mataku membelalak, landasan pacu demikian luas, beragam pesawat parkir serta landing dan take off dalam ritme teratur, dijadwal dengan tertib. Cuaca cerah, kami harus menunggu lima jam di kedatangan yang dibangun dengan  megah dan mengagumkan. Inikah NKRI? Atau bagian kecil di samping bagian-bagian yang lain.
Ibu Guru Ambar tampak geli melihat keherananku dengan suasana sekitar, lebih-lebih ketika kami menyempatkan diri ke Pantai Kuta serta Pasar Seni. “Mengapa ada laut sebiru ini?” aku bergumam lirih, tapi cukup terdengar di telinga Ibu Guru Ambar.
“Pantai Kuta berbeda dengan Laut Arafura yang berwarna cokelat, karena endapan lumpur dari tanah berawa. Bagus bukan?” senyum Ibu Guru Ambar demikian lembut, ia memahami ketololanku.
Kami makan sate dengan segelas es jeruk di kaki lima dinaungi tenda, hidangan ini terasa lezat sekali. Turis-turis tampak leluasa menikmati wisata tanpa kecemasan. Alangkah berbeda Asmat, Timika, dan Denpasar? Bagaimana dengan Jayapura dan Oksibil, tiba-tiba aku teringat Fransis, kutunggu nada dering, tetapi HP terdiam. Sejenak rasa rindu menekan pikiran menjadi gamang, menjadi hampa, sedih, dan menyakitkan. Entahlah, apa yang mau terjadi setelah ini?
“Ayo kembali ke bandara, jangan sampai terlambat, pesawat tidak menunggu penumpang ….” Ibu Guru Ambar membatasi waktu, penerbangan benar tidak bisa dianggap mudah, harus tepat waktu. Setelah membayar harga makanan kami bergegas menuju keberangkatan mengendarai taksi.
Sekejab kemudian aku telah kembali takjub di tengah kemegahan keberangkatan Bandara Ngurah Rai. Etalase demikian riuh memajang aneka benda seni, makanan, minuman, pakaian, cafe-cafe yang elegan serta taman di dalam ruangan dengan aneka warna bunga yang menyegarkan. Aku melupakan segala kesedihan dan kehilangan, saatnya menikmati perjalanan. Ketika tiba saat boarding, aku benar merasa lelah, kami dijemput sepasang pramugari dan pramugara yang berbeda dengan keramahan sama. Keduanya seakan sepasang kekasih yang saling menyayangi dengan senyum santun bagi penumpang yang kelelahan. Setelah menempatkan diri di atas jok, mengencangkan sabuk pengaman, aku tak mengingat apa-apa. Rasa mengantuk membawaku pada sebuah tidur dan mimpi yang melenakan, ketika terjaga di bawah jendela Yogyakarta tampak sebagai lampu-lampu yang indah berpijar seakan batu permata berserakan. Suara mesin menurun, pesawat memutar, mendapatkan posisi yang pasti untuk mencapai landasan pacu, tak berapa lama  kemudian burung besi ini benar mendarat di landasan pacu Bandara Adisucipto, terguncang beberapa tabuh sebelum akhirnya berbelok menuju tempat parkir. Pintu terbuka, penumpang beriringan turun diiringi senyum manis pramugari. Sesaat kemudian aku telah menginjakkan kaki di atas tanah Yogya, kota yang akan menjadi tempat tinggal sampai masa kuliah selesai.
Setelah mengamankan masing-masing bagasi, kami berpisah, Yodi telah dijemput saudara tua yang terlebih dahulu telah meneruskan di kota yang sama. Nurul dijemput kerabat yang menetap di Yogya, budhe dan sepupunya. “Magda, kita pasti akan selalu bersama ….” Nurul memelukku dengan tulus, aku tak pernah ragu kerelaan  hatinya.
“Magda, nanti saya pasti menelepon.” Aku tak mampu mengelak ketika Yodi juga memelukku, ia tak pernah tahu bagaimana isi hatiku. Adakah Yodi berhak tahu?
Kami saling melambai, aku mengikuti langkah Ibu Guru Ambar hingga terpesona ketika Ibu Guru tampak memeluk seorang pemuda tampan dengan model rambut pendek seakan tentara, sikap santun serta senyum yang ramah. “Magda, ini kakakmu Tara ….” Ibu Guru memberikan sikap bijak memperkenalkan pemuda tampan itu.
“Magda ….” Tanganku nyaris gemetar ketika bersentuhan dengan tangan Tara, senyumnya menyebabkan bayangan Fransis melesat, tetapi aku segera menguasai diri. Tara pasti menganggapku sebagai adik, tak lebih dari itu, ia memiliki kelas sendiri untuk menjadi teramat dekat dengan siapa?
Kami berjalan beriringan ke tempat parkir, melewati driver yang menawarkan jasa taksi angkutan, café, lorong, escalator, jalan berasapal hingga akhirnya sampai pada sebuah Yaris warna tinta. Tara membuka pintu bagasi, meletakkan kopor dan travel bag, membuka pintu mobil bagi Ibu Guru, mempersilakan aku duduk di jok belakang kemudian menempatkan diri di belakang kemudi. Dengan deru yang lembut Yaris bergerak menuju jalan raya, melewati parkir. Aku kembali takjub dengan lalu lintas  di sepanjang Jalan Adisucipto hingga menuju rumah tinggal ibu guru yang mungil yang terletak di lingkungan Bulaksumur. Sebuah rumah minimalis kontemporer seputih gading, tiga kamar, tiga kamar mandi, teras mungil dipenuhi tanaman serta disain interiar yang artistic. Aku tak  menyangka suatu saat akan hadir pada sebuah rumah mungil yang sedamai ini. Kami menempati kamar masing-masing, membersihkan diri di  kamar mandi, menghadap meja makan dengan satu piring mie goreng yang ditawarkan pedagang keliling kemudian berbaring di balik selimut tebal melawan udara dingin. Aku melewatkan malam pertama di Yogya dengan damai, terbangun ketika matahari nyaris mencapai pucuk pohon tertinggi. Penerbangan ini ternyata sangat melelahkan hingga aku terbangun kesiangan, Tara tertawa nakal, menganggapku perempuan pemalas, karena bangun kesiangan. Aku hanya tersipu, terjaga secara memalukan di rumah ibu guru dengan seorang nyong ganteng sebagai penghuni.
Hari ini aku benar-benar beristirahat di rumah, menikmati tata ruang yang indah, namun bersahaja, aneka tanaman hias di teras yang terawat dengan baik –kiranya tidak ada yang lebih indah, kecuali warna bunga serta hijau daun. Acara televisi menayangkan aneka film serta travelling, membantu Ibu Guru Ambar memasak kemudian berjalan di sekitar perumahan, menikmati rindang pepohonan serta beragam tanaman liar.
Keesokan hari kami bertiga mencari rumah kost dekat kampus,  mendaftar ulang ke Fakultas Ilmu Budaya, memastikan kehadiran serta kesediaan mengikuti perkuliahan dengan segala kesanggupan serta perjanjian. Kemudian masih bertiga kami pergi ke swalayan di dekat kampus untuk melengkapi isi kamar kost, pulang dalam keadaan lelah. Masih sekitar tiga hari kami bekerja keras mempersiapkan kehidupanku sebagai anak kost, setelah semua beres, maka bertiga kami pergi ke Kaliurang, menikmati suasana dingin serta hijau daun yang dililit kabut, mengadapi sepiring sate yang masih hangat pada sebuah kantin.
“Harap Magda senang tinggal di Yogya sampai kuliah selesai, kembali ke Papua dengan menggendong ijazah, bukan menggendong anak ….” Ibu Guru Ambar membuka pembicaraan, senyumnya lembut, tetapi dari balik kelembutan itu tersembunyi kekuatan serta harapan yang sangat dalam.
“Saya akan selalu berusaha ibu ….” Aku harus  menjawab pasti, aku tak mau membuat Ibu Guru kecewa setelah sejauh ini, membimbingku seolah aku adalah anak kandung tanpa sepeser pun insentif, kecuali harapan. Kerja kerasnya di Asmat tidak berakhir sia-sia, karena aku seorang anak didiknya akan berhasil menjadi manusia.
“Nanti pulang Papua menggendong boneka saja ….” Tara berseloroh sambal tersenyum nakal, hati nyong yang satu ini demikian tulus menganggapku adik.
“Boneka itu akan dipanggil Kakak Tara ….” Aku tak mau diam mengalah, karena Tara akan selalu memilih kata-kata paling tepat membuat “ulah”.
Kali ini Tara tergelak menampakkan giginya yang putih, rapi, dan terawat dengan baik. Ibu dan anak itu duduk demikian dekat seakan kembar, tanpa kehadiran  seorang ayah keduanya tampak saling mengisi tanpa berusaha menghadirkan ayah yang lain. Kiranya Tara adalah segala kekuatan serta harapan bagi ibunda tanpa kecuali. Kenangan indah akan kehadiran seorang ayah terpatri dalam sosok serta pribadi Tara yang mempesona.
Saat-saat mengesankan ini berlalu dengan cepat, kami bertiga masih sempat menuju batas kota paling selatan di Parang Tritis, menjadi galau oleh debur ombak yang tidak pernah henti,  merelakan kaki dihinggapi butiran pasir putih yang teramat lembut, menatap bukit karang yang tegak di kejauhan, makan hidangan sederhana di bawah tenda. Dan akhirnya takjub oleh matahari tenggelam yang berwarna semerah bara, suasana temaram, rembang petang, dan akhirnya memucat ditelan segala warna hitam. Kami berjalan beriringan, Ibu Guru Ambar selalu menggandeng tangan Tara, ia berusaha mendapatkan kembali kekuatan setelah lama ketiadaan. Kami duduk di jok masing-masing dalam diam, aku tak henti menatap dua tepi jalan yang bermuatan aneka warna kehidupan. Tak mudah memulai kehidupan di tempat baru yang teramat luas, tetapi harus. Atau, aku tak pernah mengenakan toga.
Ketika akhirnya Ibu Guru Ambar dan Tara mengantarku menetap di rumah kost yang terletak tepat di tepi selokan, tiba-tiba aku merasa demikian sunyi. Masihkah ada kesempatan pergi bertiga ke Kaliurang atau ke Parang Tritis, Ibu Guru Ambar akan sibuk dengan Tara pada hari libur kemudian kembali ke Asmat untuk meneruskan tugas sebagai ibu guru. Tara akan sibuk di Fakultas Teknik Bulaksumur, masihkan ada celah waktu untuk sekedar menelepon dan memanggilku “adik”. Aku seakan pohon yang tercabut dari akar. Malu untuk mengakui sepasang mata berkaca-kaca seakan cermin retak, aku hanya diam.
“Jaga ditrimu baik-baik, jangan pernah ijazah tidak sampai di tangan, engkau kembali ke Papua bukan mengendong ijazah, tapi menggendong anak ….” Suara Ibu Guru Ambar lembut, ia telah sampai pada suatu masa ketika perkuliahan berlalu, terbebas dari segala beban tentang kemungkinan mendapatkan ijazah.
“Simpan nomor HPku ….” Tara memberikan nomor Hp dan segera kusimpan. “Kalau ada kesulitan, telepon ….” Tara masih sangat muda, tetapi ia selalu bijak menentukan sikap di dalam segala situasi.
Aku hanya mengangguk, kupeluk Ibu Guru Ambar seolah ia seorang mama kandung, masih dapat kutahan isak tangis. Akan tetapi, ketika mobil kecil  itu menderu dengan keempat roda terus berputar semakin menjauh –semakin menjauh, air mataku terjatuh. Tiba-tiba aku merasa tercampakkan, sebatang kara, seakan helai daun kering yang gugur di penghujung musim. Angin terasa semakin dingin, beberapa detik aku bahkan terlupa dimana sebenarnya aku berdiri. Siapa yang kukenal di tempat kost baru ini? Tak seorangpun, diamana Nurul? Ah, dan dimana pula Yodi? Tak seorang pun menelepon selama aku tinggal bersama Ibu Guru, Fransis sudah pasti menghilang tanpa kabar. Ia berada pada suat tempat yang sangat jauh dan tidak mudah dijangkau, hanya mukzijat dan keajaiban yang dapat menautkan. Lidah terasa getir ketika akhirnya menyadari, benar kini aku seorang diri.
Dengan lunglai aku membalikkan badan, aku ingin segera mengunci diri di dalam kamar, menelungkupkan diri di atas kasur, membiarkan air mata membanjir, membiarkan diri menjadi cengeng. Akan tetapi, tiba-tiba langkahku terhenti. Beberapa depa di hadapanku berdiri dua orang gadis sebaya dengan wajah sama manisnya, tersenyum polos. “Dirimu dari Papua?” suara itu sedemikian merdu, terucap dari seorang gadis berambut panjang tergerai dengan wajah ayu tanpa make up, tangannya yang sekuning buah langsat terulur.
“Iya, saya Teweraut ….. ah Magdalena ….” Kujabat erat tangan itu sambil memaksa tersenyum, mengapa ada gadis yang merelakan diri mengulurkan tangan dengan seorang tak dikenal?
“Siapa namanya …. Telelaut?” gadis yang satu dengan rambut legam hingga batas batu mengerutkan alisnya yang indah, ia pasti asing dengan nama Asmat, susunan aksara yang tak pernah tereja.
“Ah tidak …. Saya biasa dipanggil Magda …. Magdalena….” Aku harus cepat mengambil sikap.
“O ya, aku Sagung Ayu dari Bali ….” Gadis berambut panjang itu menyebutkan namanya.
“Aku Vida dari Bandung, aku ulang tahun mau pergi makan bakso di simpang jalan. Harap tidak berkeberatan ikut bergabung,” gadis berambut pendek itu tersenyum manis, perlahan membuatku sadar, tak pernah sendiri di tempat ini.
“Kami mahasiswa baru, aku di Fisipol Sosiologi, Vida di Psikologi. Magda Fakultas apa?” percakapan berlanjut.
“Saya di FIB, Sastra Indonesia ….” Kujawab singkat.
“Ayo bersiap, udap lapar ni ….” Sagung menepuk perutnya, aku tahu apa yang harus kukerjakan, bergegas merapikan penampilan, mengunci pintu kemudian berjalan bertiga menuju warung bakso yang terletak tak jauh dari rumah kost.
Kami baru mengenal, tetapi telah duduk satu meja menikmati masing-masing satu mangkok bakso yang lezat serta segelas es jeruk. Hidangan ulang tahun yang sangat sederhana, tetapi menggores kebersamaan yang dalam atas nama sesama mahasiswa baru di rumah kost  yang sama. Kiranya tak ada mahasiswa perantau jauh keluarga yang benar seorang diri, kecuali yang bersangkutan enggan bergaul. “Magda dari Papua mana?” Vida membuka pembicaraan.
“Saya dari Asmat.”
“Asmat? Dimana itu?” Sagung mengerutkan keningnya.
“Dua belas jam pelayaran dari Timika atau empat puluh lima menit penerbangan dengan twin otter.”
“Twin Otter apa itu?” kali ini dahi Visa sama kerutnya.
“Pesawat perintis, delapan belas penumpang dengan kru.”
“Apa?!” sepasang mata Vida dan Sagung membelalak lebar seakan hendak meloncat dari kelopak, menatapku seolah mahluk asing dari dunia lain.
“Dari Timika ke Yogya?” Vida belum berhenti bertanya.
“Dengan Garuda tiga jam tigapuluh menit transit Denpasar, tunggu lima jam terus ke Yogya satu jam tiga puluh menit.
“Perjalanan panjang ….” Tiba-tiba sepasang mata Sagung meredup, menerawang jauh seolah menembus hutan hujan tropis yang mengungkung wilayah Asmat. Sementara sepasang mata jeli Vida masih menatapku.
“Dengan siapa engkau datang?” Vida masih bertanya.
“Ibu Guru Ambar.” Jawabku singkat.
“Dimana mama?”
“Mama sudah tiada ….” Kali ini aku nyaris tersedak, ingatanku kembali pada masa kecil yang jauh ketika mama setiap hari selama satu tahun selalu mengawasi awal mula mengenal bangku sekolah hingga akhirnya aku berkesempatan menjadi seorang mahasiswa.
Wajah Sagung dan Vida berubah sendu, keduanya tak banyak bertanya lagi, kecuali menganggapku berasal dari kebudayaan yang sangat jauh dan asing, aku adalah seorang anak yatim yang sendiri, sunyi, dan entah apa yang akan terjadi nanti. Akan tetapi, kebersamaan ini menimbulkan suasana hangat. Suasana ulang tahun yang bersahaja dan akan diingat selamanya, kiranya persahabatan dimulai dari hal-hal yang sederhana.
Keesokan harinya adalah kuliah yang pertama, kami bersinggungan dengan wajah-wajah baru dari segala suku, ras, dan golongan, saling membaur dan bertegur sapa. Sementara suasana kampus yang rindang oleh hijau daun serta raut wajah ramah menyebabkan sesiapapun menjadi nyaman. Kampus adalah rumah tinggal semasa kuliah hingga tiba saat akhirnya, ketika sarjana baru berwenang mengenakan toga.
“Hai engkau  pasti dari Papua ….. aku Tambunan dari Medan ….” Seorang nyong berbadan tegap dan familiar berjalan mendekat kemudian memulai percakapan.
“Saya Magdalena, iya saya dari Papua …..” kuperhatikan di sekitar. Mahasiswa asal Papua hanya satu orang, yang lain dari NTT, Malaysia, Toraja, Maluku, paling banyak dari Jawa. Telingaku terasa asing ketika mendengar percakapan dalam Bahasa Jawa dengan logat yang kuat.
“Eh Magda engkau Papua mana?” gadis itu amat mungil dengan penampilan bersahaja, bertanya dengan polos. Nama gadis itu Wina.
“Saya Asmat.”
“Dimana itu?” seorang mahasiswi lain mengenakan kerudung, dipanggil Lila kembali bertanya.
“Dua belas jam pelayaran dari Timika.”
“Kalau dari Asmat ke Jayapura naik kereta api berapa jam?” Wina kembali bertanya tanpa rasa bersalah.
“Kereta api? Apa itu?” aku menjadi bingung, menatap Wina dengan linglung.
Sesaat suasana hening hingga tiba-tiba terdengar suara tergelak Tambunan membelah udara. “Hei Wina …. Kalau dari Asmat ke Jayapura naik kereta api mah tiga bulan. Kereta putar-putar dulu di Wamena, melanglang buana ke Sorong baru sembilan puluh hari kemudian sampai Jayapura. Ha …. Ha …. Ha …. Ha ….”
“Hahh …. Yang benar saja?” sepasang mata Wina melolot seakan ikan koki, ia tengah membayangkan perjalanan konyol yang tidak masuk akal tiga bulan mengendarai kereta api.
“Hei …. Kereta api mah cuma di Tanah Jawa atuh …. Papua medan berat mana ada kereta api …. Makanya pikniklah sedikit membuka wawasan ….” Tambunan masih juga tergelak. Suasana menjadi hangat, kiranya informasi tentang Papua masih amat terbatas, seorang mahasiswi bahkan mengira di pulau raksasa dengan posisi serta kondisi geografis yang ganas memungkinkan dibangun rel kereta api.
Kami tak bercakap lebih lama, karena harus menghadap dosen pembimbing untuk persetujuan KRS. Menjelang siang kami kembali bertemu di kantin, menikmati hidangan murah meriah. “Eh, kita ke Gembiro Loka yuk ….” Lila menawarkan wisata kecil ke kebun binatang.
“Ngapain ke kebun binatang? Kunjungi saudara tua?” Tambunan nyaris terbahak.
“Kita jalan-jalanlah sebelum sibuk urusan tugas.
“Ayo ….” Wina menyetujui.
“Ayo ….” Aku tertarik juga pergi ke kebun binatang.
“Ayo Tambunan ….” Lila nyaris merengek beberapa saat hingga Tambuna mengerjabkan mata tanda setuju. Maka berempat kami meluncur bergoncengan sepeda motor menuju kebun binatang untuk wisata kecil yang menyenangkan.
Seterusnya kami sering bersama untuk mengerjakan tugas atau sekedar jalan-jalan di hari libur. Tak mudah  mendapatkan sahabat. Demikian pula ketika waktu terus berjalan hingga sampai pada batas akhirnya.

                                                                ***










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...