Bab
II
Ke
Sekolah
Mama menghempaskan seluruh tubuh ke atas papan
lantai, kini baru terasa betapa pergi memangur sagu ke hutan adalah pekerjaan
yang mendatangkan susah sungguh. Keringat seakan tuntas menetes, ia tak
memiliki pilihan lain kecuali mencambuk diri seakan kuda-kuda perang, atau
anak-anaknya akan mati kelaparan. Jan yang bertumbuh menjadi remaja berperilaku
baik, Marius dan Hengki yang menunjukkan tanda-tanda kenakalan dan enggan pergi ke sekolah serta aku
--Teweraut, satu-satunya anak perempuan yang harus dipersiapkan belajar membaca
dan menulis sebelum terseret ke dalam kehidupan yang jauh dari segala harapan.
Beberapa orang di kampung ini telah berhasil
menjadi mantri, bidan, perawat, guru, polisi, diakon. Sebagian yang
lain, entahlah.
Mama tak pernah ingin
anak-anaknya menjadi bagian dari kelompok kedua –bagian entahlah. Ia akan
meninggalkan kehidupan dengan tenang andai aku dapat berdiri di depan kelas
menjadi ibu guru. Magdalena, Si Teweraut, gadis kecil yang “cantik” itu kini
tengah meringkuk di dekat tungku api, merasakan kelelahan serupa setelah
berhari-hari tinggal di hutan. Aku tahu mama mengasihiku lebih dari apapun,
suatu perhitungan yang tak akan dapat dibayangkan seorang bocah. Mama telah melihat nasib gadis belia
yang tak mendapat perhatian penuh dari orang tua, atau mendapat perhatian, akan
tetapi gadis-gadis itu terseret pada pergaulan di tempat yang kelam. “Lari” tinggal
dengan pemuda pujaan hati, tanpa ijin dari orang tua pada usia muda, tanpa
pekerjaan, penghasilan, dan kekuatan untuk melawan kekerasan di dalam keluarga
menjadi, beranak pinak dengan pinang tidak pernah lepas dari mulut, atau asap
rokok yang terus mengepul. Ibu-ibu muda menjadi terlalu cepat tua sebelum
waktunya.
“Mama…. Sa lapar ini?”
Marius dan Hengki berteriak bersama-sama.
“Bukankah engkau dapat
membakar sagu sendiri?” mama menatap kedua anaknya dengan pertanyaan, tak susah
membakar sagu setelah ia bersimbah menokoknya di tengah hutan.
Percakapan tak
berlangsung lama, dengan wajah bersungut Marius dan Hengki membakar sagu. Tak
lama kemudian kerabat dekat yang menetap di kampung ini berdatangan satu demi
satu. Kedatangan seorang kerabat dari bevak
dengan bernoken-noken sagu adalah sumber bahan makanan bagi kerabat yang
lain. Setiap kerabat dapat meminta sagu, membakar pada tungku api yang sama
ketika salah seorang memiliki kelebihan sagu. Demikian sebaliknya, pada waktu
yang berbeda ketika kerabat yang memiliki banyak sagu akhirnya kekurangan, maka
yang bersangkutan dapat meminta sagu kepada kerabat yang lain. Akan tetapi, mama
telah menyembunyikan beberapa noken sagu yang dipesan Suster Theresia, seorang
biarawati. Ia akan pergi ke biara esok hari, aku ikut serta.
Keesokan harinya, pada
pagi sebelum matahari melambung tinggi mama telah memikul sagu di punggung, aku
mengekor di belakangnya. Kami menapaki jembatan papan yang sudah mulai lapuk, sejengkal demi
sejengkal hingga sampai di biara, diterima Suster Theresia dengan ramah. “Mama
Ursula, akhirnya datang juga sagu yang ditunggu. Ini mama punya anak gadis?”
Suster Theresia menatap ke arahku, wajah itu tampak bersahaja dengan senyum
tulus mengembang.
“Iya, ini saya punya anak
yang paling kecil,” Mama menyeka peluh, terduduk di atas lantai.
“Sudah sekolah belum?”
“Besok saya akan
mengantarnya ke sekolah,” jawab mama.
Sekolah?
Aku terpaku bagai patung
yang selesai diukir tanpa napas
kehidupan, kepalaku tiba-tiba terputar seakan gasing, kutatap mama
dengan gamang. Akan tetapi, mama tak peduli dengan kegamanganku. “Kelak, Tewe
akan menjadi ibu guru, mengajar di depan
kelas,” ucapan mama sepenuh keyakinan.
“Ah, luar biasa,” Suster
Theresia tertawa berderai, ia tampak kagum dengan jawaban mama. Seterusnya
keduanya saling bercakap.
Tanpa sengaja kulihat
buku cerita bergambar, aku tak tahu dari mana datangnya kekuatan, tiba-tiba
tanganku bergerak meraih buku tipis itu, membuka lembaran demi lembaran, menakjubkan. Aku melihat
gambar-gambar indah yang tidak pernah kulihat selama ini, deretan huruf yang
belum mampu kueja, entah apa artinya, karena aku memang belum pernah belajar
aksara. Aku merasa senang, seakan ingin menjadi
bagian dari gambar itu, menjadi salah satu corak warna yang mendebarkan.
“Engkau senang dengan
buku cerita ini?” suara Suster Theresia mengejutkan. Aku terdiam tanpa kata,
hari ini untuk yang pertama kali aku menyentuh buku cerita, aku bahkan tak tahu
apa isinya kecuali gambar yang indah. “Ambilah, calon ibu guru harus rajin
membaca …." Senyum di bibir Suter Theresia mengambang.
Aku tak mampu menjawab,
takut dan malu, meski jauh dalam hati bersorak gembira. Telah kudapatkan
sesuatu yang tak pernah kubayangkan, tak
kuketahui apa isinya, tetapi menyenangkan. “Ucapkan terima kasih,” mama
berbisik tepat di telingaku.
“Terima kasih suster,”
suaraku nyaris tak terdengar, kugenggam buku itu erat. Kami berpamit, kukira
mama akan terus kembali ke rumah, akan tetapi langkahnya berubah menuju ke
pasar, dengan sejumlah uang tergenggam di tangan mama membeli pakaian seragam,
tas serta buku tulis, dan pensil.
Untuk apa semua itu?
Pertanyaan itu terjawab
keesokan hari ketika pagi-pagi sekali mama telah membangunkanku, memandingan
dengan seember air hujan yang dingin membeku, mengenakan pakaian seragam merah
putih seakan warna bendera yang berkibar
pada keinggian tiang, memberikan tas berisi pensil dan buku tulis kemudian
menggandengku ke sekolah. Aku ingin memberontak, bergabung dengan teman-teman
bermain lompat tali kemudian terjun ke dalam air sungai, tetapi tangan kekar
mama mencengkeram tanpa kenal ampun. Aku merasa demikian asing ketika memasuki
halaman sekolah, mengekor di belakang mama menuju ruang kepala sekolah. Mama
tampak bercakap-cakap dengan sikap merendah, tersenyum, mengangguk kemudian
menuntunku menuju ruangan kelas.
Berpasang-pasang mata
menatap seakan aku mahluk aneh dari negeri antah berantah, aku ingin menjerit.
Air mata nyaris gugur pecah menjadi debur ombak, ketakutan menyergap. Aku telah
melihat kesibukan pelajar pulang pergi ke sekolah, akan tetapi ketika memasuki
ruang kelas, segalanya menakutkan.
“Belajarlah baik-baik,
jangan berkelahi, jangan melawan ibu guru. Pulang sekolah segera kembali ke
rumah,” mama menatapku kemudian pergi berlalu, meninggalkanku sendiri pada
sebuah bangku. Sementara wajah-wajah aneh kembali menatap, siswa laki-laki
tampak berkejaran dengan suara gaduh seakan berniat menelanku dengan geram,
mengingatkan akan wajah Hengki dan Marius. Demikiankah dunia di luar bevak? Diam-diam aku mengeluh.
Ketika terdengar suara
lonceng berbunyi secara tiba-tiba seluruh siswa memasuki ruangan, duduk di
bangku masing-masing. Ibu guru berdiri mengajarkan menulis, membaca,
menggambar, dan menyanyi, aku tak tahu arti semua itu. Mengapa seorang Teweraut
harus belajar duduk di atas bangku? Tak pernah dalam hidup aku merasa bosan
seperti ini, aku tak tahu apa yang diajarkan ibu guru, aku tak perlu tahu. Aku
hanya ingin pulang, bermain lumpur, lompat tali kemudian berenang. Bukankah
teman-teman sepermainan, Anjela, Aleksis, Mori, dan Sandra tak juga pergi ke
sekolah. Apa sebenarnya maunya mama?
Ketika lonceng istirahat
berbunyi, diam-diam aku menyelinap meninggalkan ruang kelas kemudian pulang ke
kampung bergabung dengan Anjela dan Mori yang sementara tengah berenang di tepi
kali. Kutanggalkan seluruh pakaian seragam yang terasa berat, sungguh menyenangkan terjun ke dalam sungai,
kulupakan seluruh ketakutan serta galau ketika harus duduk di bangku kelas.
Kini, aku kembali bebas. Aku benar-benar bebas sampai akhirnya terasa tangan
kekar mama mencengkeram lengan, menuntun pulang.
“Engkau membolos Tewe?”
suara mama menahan amarah, ia kecewa, karena gadis kecilnya tidak menyudahi
hari pertama di sekolah dengan baik.
Aku terdiam tak menjawab
hingga keesokan hari, ketika mama kembali melakukan hal yang sama membimbingku
pergi ke sekolah. Di dalam kelas aku
kembali merasa tersesat ke negeri yang jauh, sungguh tak menarik mendengarkan
seorang guru mengajar, aku tak tahu mengapa seorang harus bisa menulis,
membaca, dan menggambar? Aku ingin
keluar dari siksaan ini. Ketika lonceng istirahat berbunyi aku kembali
menyelinap meninggalkan kelas, bergabung dengan Anjela, Mori, dan Aleksis
bermain pasar-pasaran serta berenang di tepi sungai. Mama kembali menangkapku,
memberi nasehat, mengomel serta menegur.
Kejadian yang sama
berulang hingga hampir satu tahun lamanya. Mama tak pernah bosan mengantarku
pergi ke sekolah, menangkap di tepi sungai, memberi teguran, dan harapan. Aku
tak pernah jera, belajar di sekolah sangat tidak menarik. Aku akan pergi
meninggalkan bangku sekolah untuk selama-lamanya, tetapi ….
***
Kali ini aku menyelinap
meninggalkan ruang kelas pada jam isirahat untuk yang terakhir, ketika aku
tengah bergembira bersama teman-teman di tepi kali pada sebuah perahu,
tiba-tiba terasa tangan mama mencengkeramku. Untuk yang ke sekian kali aku tak
berdaya, kutinggalkan permainan yang mengasyikan ini, kembali ke rumah. Mulut
mama membungkam tanpa sepatah kata, sampai di depan tungku api, tubuhku yang
kecil terhempas nyaris mencium kelam lantai. Sepasang mata mama berubah menjadi
bola api yang siap berkobar membakar seisi rumah, wajahnya merah seakan darah,
diam-diam lututku menggigil, aku telah bersiap untuk menerima pukulan serta
caci maki, karena kenakalan ini. Mama pasti akan bersuara keras, sehingga seisi
kampung mendengar, pohon-pohon bergetar
daun-daun gugur.
Ternyata dugaanku keliru,
sepasang bola mata mama bukan berkobar menjadi api, sebaliknya meredup
–-meredup, kemudian memejam. Tiba-tiba pipi itu basah air mata, semakin deras
mengucur dibarengi isak tangis, sepasang Sungai Fambrep seakan mengalir dari
sumber duka cita terdalam, karena kenakalanku. Air sungai itu terus mengalir,
terengah menuju muara, memecah menjadi ombak. “Tewerauta …. Setahun sudah mama
yang semakin tua ini mengantar ke sekolah supaya engkau bisa baca tulis,
menjadi ibu guru, tak perlu pangur sagu
ke bevak seperti ko pu orang tua,
tapi engkau melawan. Kau kira mama akan hidup selamanya? Memberi makan minum
sampai engkau menjadi perempuan tua? Marius dan Hengki tidak bisa diatur, kini
engkau lagi. Engkau ingin menjadi buta
huruf, sedikit lagi lari ikut laki-laki pilihan, membakar sagu di rumahnya,
menjadi suami istri, beranak pinak tidak punya kerja. Masih baik kalau paitua
–suami orang baik-baik, kalau tidak engkau harus memberi makan seisi rumah,
membelah kayu bakar, tidak ada makanan, tidak ada rokok paitua akan pukul koe,
kemungkinan sampai mati. Bukankah engkau telah tahu kekerasan itu?” suara mama
diikuti isak tangis ia tampak sedemikian cemas dengan nasib seorang anak perempuan
ke depan. Mama tak tahu pula baca tulis, tetapi ia telah melihat nasib
perempuan yang terjadi di kampung ini. Nasib perempuan yang bukan terlahir dari
anak kepala suku yang hampir setiap hari berkelahi dengan paitua, karena urusan
sagu, ikan, dan rokok. Aku memang anak perempuan seorang kepala suku, akan
tetapi ketika zaman terus berubah, apa bedanya? Mama nyaris tak pernah mendapat
kekerasan dari bapa, tetapi ia tak akan pernah dapat menjadi ibu guru, mama
harus memangur sagu untuk memberi makan seisi rumah.
“Selagi mama masih hidup
dan menuntun ke sekolah, pergilah ke sekolah. Kalau mama mati, siapa akan
menuntunmu pergi ke sekolah ….” Suara mama amat lirih seakan berasal dari
lorong waktu, dari tempat yang sangat jauh tak dapat dikunjungi, dari alam kematian.
Seluruh tubuhku
menggigil, keringat dingin mengucur, aku tersadar akan seluruh kesalahan, aku
menjadi mengerti akan kecemasan mama, mengapa ia berusaha keras mengantarku ke
sekolah. Bagaimana kalau mama benar meninggal, karena kenakalan ini? Rasa takut
menyergap, aku tak bisa kehilangan mama, aku tak bisa membiarkan sepasang pipi
mama menjadi aliran Sungai Fambrep kemudian berdebur menjadi ombak lautan. Aku
akan melakukan segala-galanya supaya mama tetap hidup, aku bahkan akan bersedia
menjadi ibu guru. “Mama …..” aku menghambur ke dalam pelukan mama. Kudekap mama
erat-erat, tangisku pecah, “Saya akan sekolah mama…. Saya akan sekolah….”
Akhirnya tangan mama membelai rambutku, kurasakan kasih sayang teramat dalam,
harapan, juga kecemasan. Benar, aku berjanji tak akan lari meninggalkan bangku
sekolah pada jam istirahat.
Keesokan hari ketika
terbangun, segalanya tak lagi sama. Aku tak perlu lagi mendapat pengawasan
untuk pergi ke sekolah, aku membasuh tubuh dengan secukup air hujan yang
tertuang di ember, mengenakan seragam merah putih, menyambar buku tulis serta
pensil. Pada tungku api masih tersisa hangat sagu bola, cukup sudah untuk pagi
ini, kuraih sagu enak itu. Sambil melangkah ke sekolah kukunyah sagu itu,
kulambaikan tangan pada mama. Wajah mama tampak cerah diliputi harapan, langkah
kakiku terasa ringan. Beberapa anak tampak mengenakan seragam sekolah pergi
menuntut ilmu, yang lain entahlah. Tampak anak-anak usia sekolah riuh bermain
kelereng, berenang di sungai atau bermain lompat tali aku terus melangkah.
Lonceng berbunyi saat aku
sampai pada halaman sekolah, aku mempercepat langkah supaya bisa duduk di
bangku sebelum ibu guru mengajar. Tampak wajah-wajah baru di kelas satu,
wajah-wajah lain telah naik ke kelas dua, ada pula yang tetap tinggal. Kiranya
aku tinggal kelas, karena raport yang merah, karena setiap hari selama satu
tahun terus kembali ke rumah pada jam istirahat. Aku tak peduli, terduduk diam
mengikuti seluruh pelajaran, menulis, dan membaca. Pada jam istirahat aku tetap
duduk di kelas tak ada lagi niat keluar
bermain air di sungai atau bermain lompat tali. Aku tak mau lagi melihat air
mata mengalir deras pada pipi mama, aku tak ingin membuatnya kecewa.
“Hai…. Engkau mau kue?”
seorang siswa baru berambut lurus, berkulit terang menawarkan sepotong kue
dalam kotak. Wajah gadis kecil itu sedemikian lembut dan manis, ia bukan
seorang yang tinggal di kampungku, ia anak pendatang, anak pertama ibu guru.
Aku ragu menerima
tawarannya, baru kali ini ada seorang yang demikian murah hati menawariku kue.
Aku terdiam dengan tatapan aneh, malu, dan heran. “Namaku Nurul…. Ambilah,”
tangan Nurul yang mungil mengulurkan sepotong kue yang ternyata lezat rasanya,
di kampungku tidak ada yang dapat membuat kue seperti ini. Ketika menguyah kue
yang sama, aku mulai merasa hangat, aku mulai merasa menjadi bagian siswa yang
lain di kelas ini.
“Namaku Teweraut….”
Kupernalkan diri.
“Mau gula-gula ….?” Nurul
kembali menawarkan gula-gula yang manis bercampur asam rasanya. Kali ini aku
tersenyum, sekolah ternyata bukan hanya belajar menulis, membaca, menyanyi, dan
menggambar. Akan tetapi, belajar bersahabat, menjadi bagian antara yang satu
dengan yang lain. Nurul sahabat pertamaku demikian lembut, satu hal yang
menambah keyakinanku untuk tetap hadir di kelas. Seterusnya kami berteman,
belajar bersama, bermain bersama. Ketika siswa laki-laki mulai mengganggu,
membuat kenakalan, Nurul akan membelaku, ia anak ibu guru, siswa yang lain tak
berani melawan, tak berani mengganggu. Seterusnya Maria, Mira, dan Sela juga
bergabung menjadi teman baik, bahkan Ucok. Bersekolah ternyata menyenangkan.
Aku tak pernah lagi
membolos, setiap pelajaran kuikuti dengan tekun, hingga akhirya aku dapat
menulis dan membaca. Buku cerita yang diberikan Suster Theresia akhirnya dapat
pula kupahami isinya, adalah kisah Putri Salju, putri yang terbuang, karena iri
dengki ibu tiri. Sang Putri yang tertidur lelap dalam jangka waktu panjang dan
akhirnya kembali terbangun, karena cinta sejati seorang pangeran. Ajaib!
Akan tetapi, dimana itu
istana tempat Sang Putri tinggal? Suatu tempat yang menjadi putih serta membeku
saat musim dingin, salju luruh dari langit seakan kapas nan lembut menakjubkan.
Dimana? Aku hanya dapat memendam pertanyaan jauh di relung hati, tanpa
keberanian untuk bertanya kepada siapapun. Mungkinkah seorang gadis kecil Suku
Asmat bertanya tentang negeri dongeng tempat seorang putri nyaris terbunuh?
Negeri yang diliputi salju.
Kisah itu tetap melekat
dalam ingatan, kusimpan buku cerita Putri Salju bersama impian dan rasa ingin
tahu yang belum mampu kuterjemahkan. Kemana impian serta rasa ingin tahu ini
mesti kubawa? Buku cerita Putri Salju tetap kusimpan di dalam tromol, jauh dari
jangkauan tangan usil Marius dan Hengki. Seterusnya aku tetap pergi ke sekolah
bermain bersama Nurul, Maria, Sela, Mira, dan Ucok. Di rumah Nurul kiranya ada
pula buku cerita anak-anak yang lain, ibu guru senang ketika kami bermain di
rumah bersama Nurul, terlebih membaca cerita anak-anak. Ada kalanya ibu guru
membawakan pula cerita itu, membaca cerita serta mendengarkan ternyata
menyenangkan. Dunia bukan hanya seisi kampung yang kecil serta Agats, ibu kota
distrik. Akan tetapi, lebih luas –jauh lebih luas dari itu.
Tiap tahun aku naik
kelas, bahkan masuk ke sepuluh besar. Kegiatan di luar sekolah kuikuti pula,
sehingga aku menjadi sibuk. Ketika mama pergi ke bevak aku akan tinggal bersama mama adik atau mama tua untuk
mendapatkan perlindungan serta sagu dan ikan. Pada hari libur aku tetap
menyertai mama ke bevak menyatu
dengan alam, menikmati hijau daun, suara merdu marga satwa. Pada hari-hari biasa aku tetap berseteru dengan
Marius dan Hengki.
***
Hari itu mama
membelikanku baju kaos berwarna pink, aku sungguh gembira, kaos ini akan kupakai
nanti pada saat kerja bakti di sekolah. Akan tetapi, kegembiraan itu tak
berlangsung lama. Marius menatapku dengan geram, ia tak senang aku memiliki
baju baru, ketika kaos itu kulipat di dalam tromol, dengan sombong ia merampas
kemudian mengenakannya. Tubuhku lebih gemuk bila dibandingkan dengan sosoknya
yang kurus kering seperti lidi. Ukurannya baju ini cukup untuk usia Marius yang
empat tahun lebih tua tanpa kemampuan membaca atau menulis. Seketika darahku
mendidih, “Lepaskan, kembalikan!” suaraku lebih menyerupai jeritan.
Marius tak peduli,
senyumnya mengerikan, ia merasa menang, kata-katanya tak kalah menakutkan,
“Engkau perempuan mengalah sudah, engkau akan berulang kali menjerit kesakitan,
karena melahirkan. Aku tidak!” wajah Marius sedemikian pongah, aku benar ingin
menggamparnya. Dendamku menyala, aku tahu api akan terus berkobar dan tak akan
pernah dapat dipadamkan. Aku tak ingin lagi berkata-kata, kusambar kayu bakar,
kulempar hingga nyaris mengenai mulutnya yang lebar. Pipi Marius sedikit tergores
berdarah. Kukira ia akan menyambar kayu bakar itu untuk menyerangkau.
Dugaanku keliru, Marius
menatapku tak percaya, bahkan gentar. Aku telah bersiap dengan kayu bakar
berikutnya, kalau ia anak seorang kepala suku, demikian juga aku. Seorang anak
perempuan tidak harus mengalah dengan anak laki-laki, tidak ada cerita. “Kenapa
kau tak mati saja? Engkau akan menderita selama-lamanya, sampai datang hari
terakhir!” aku tak tahu dari mana kata-kata ini bersumber, mungkin dari rasa
sakit, karena Marius tak pernah berlaku layaknya seorang saudara, lebih tepat
musuh dalam selimut.
Perlahan-lahan wajah
Marius menunduk, ia membalikkan tubuhnya yang setipis lidi kemudian berlalu
pergi. Ia telah kalah atau pura-pura kalah, ia tak pernah mengembalikan baju
kaos warna pink hingga kelak baju kaos itu menjadi kain lap, aku tak pernah
mengenakannya. Ia benar merampas pemberian mama yang istimewa kepadaku.
Ketika aku duduk
bersandar dengan air mata berlinang, Jan
tergesa datang. Mendadak Jan menjadi sangat sibuk, aku tak tahu apa yang tengah
dikerjakan pada remaja usia. Akan tetapi, ia masih sempat membagi waktu dengan
air mataku yang terus berlinang. “Tewerauta…..kenapa?” Jan bertanya.
“Marius ambil de pu baju
kaos….” Mama menjawab, ia telah tahu tentang kenakalan Marius tetapi tidak
berdaya.
Sejenak Jan menghela
napas panjang kemudian berucap, “Ayo kita ke pasar, kakak belikan engkau baju
kaos yang baru”.
Kutatap wajah Jan
dalam-dalam, betapa berbeda watak Jan dengan Marius, aku nyaris tak percaya
kata-katanya. Dari mana Jan mendapatkan uang? Ia hanya seorang pelajar SMA.
“Aku mendapat hadiah dari lomba poster….” Jan menyadari keraguanku.
Tanpa sadar aku
mengangguk, kususut air mata, kemudian kami berjalan beriringan melintasi
jembatan papan yang mulai lapuk menuju ke pasar. Baju kaos serupa berwarna pink
kini tak lagi bersisa, aku memilih baju kaos warna kuning --secerah matahari
terbit. Aku masih bisa tersenyum, namun pemberian baju kaos ini tak menyurutkan
dendamku terhadap Marius. Aku tahu apa sesungguhnya yang disebut dengan
kebencian –ketidakmampuan memaafkan.
***
Siang itu sepulang
sekolah Jan tampak sibuk mengemas perlengkapan serta pakaian ke dalam tas yang
cukup besar. Mama dan Bapa diam menatap, ada rasa bangga sekaligus kehilangan
yang dalam pada wajah yang mulai menua
itu. Wajah Jan tampak sendu, ia tak memiliki lagi pilihan, ia harus mengemasi
seluruh pakaian serta perlengkapan atau tak akan mampu menatap masa depan.
“Kakak mau kemana?” suaraku tiba-tiba serak.
Diam.
Tak ada jawaban, dinding
rumah pun membisu, angin seakan letih berhembus, suara daun gugur terdengar
seakan rintihan, “Kakak Jan ….” kata-kataku tak berlanjut.
“Kakakmu akan pergi untuk
Pendidikan Catam.” Bapa menjawab dengan suara parau.
“Pendidikan apa itu?” aku
bertanya.
“Jan mau menjadi Tamtama,
menjadi tantara. Jam dua pagi kapal masuk, Jan akan berangkat,” Mama menjawab.
Aku tahu arti jawaban
ini. Jan akan mengejar cita-cita menjadi tantara, hal itu berarti ia akan menumpang kapal putih ke Merauke kemudian
mengapung di udara dari Merauke ke Jayapura selama kurang lebih satu jam dengan
pesawat Merpati. Sampai kapan Pendidikan itu? Akankah Jan kembali ke kampung
yang sama tempat ia dilahirkan usai pendidikan? Atau kami akan berpisah
selamanya? Aku terduduk di samping Bapa menyandarkan tubuhku yang tiba-tiba
serasa lemah. Bila Jan pergi, siapa yang akan membela bila aku berkelahi dengan
Marius atau Hengki? Aku harus menghadapi bedebah itu seorang diri.
Waktu seakan melayang
seringan kapas ketika aku menunggu dini hari hingga kapal putih masuk, kami
sekeluarga mengantar Jan ke dermaga. Seluruh kampung telah tertidur, kecuali
bintang-bintang di langit malam yang tersisa hanya cahaya senter. Di sepanjang
jalan tampak penumpang yang hendak pula berangkat, menitip barang, atau
menjemput keluarga yang datang. Seorang berseragam loreng telah menunggu Jan di
dermaga, ia akan membimbing Jan mengikuti tes hingga lulus untuk mengikuti
Pendidikan Tamtama. Ada pula dua orang kawan Jan yang mengikuti tes serupa,
kakakku tidak sendiri di dalam 36 jam pelayaran dengan kecepatan kapal 15 knot,
15 mil per jam.
Suasana benar gelap,
kapal belum lagi sandar, kami menunggu pada udara yang semakin dingin,
kurapatkan sehelai kain tua hingga tiba-tiba terdegar suara stom yang
memekakkan telinga. Malam seakan terjagaa. Dari kejauahan tampak cahaya
berkilau dari Kapal Pangrango, satu-satunya kapal yang menjadi sarana
transportasi regular untuk datang atau pergi meninggalkan Wilayah Asmat.
Sebelum kehadiran Pangrango yang mendatangi wilayah ini adalah kapal perintis,
kapal karat yang telah siap tenggelam. Menjelang pergantian millennium ketika
Kapal Bimas Raya II tenggelam di Kepulauan Habe menewaskan sekitar 500
penumpang termasuk orang-orang Asmat. Terjadi demonstrasi yang disertai
kekerasan serta pengrusakan dengan tuntutan, hadirkan kapal penumpang yang
layak ke wilayah pedalaman. Kapal penumpang yang layak itu kini telah menjadi
bagian transportasi di Wilayah Asmat. Kapal yang akan membawa Jan pergi menuju
masa depan.
“Tetaplah pergi ke
sekolah supaya engkau menjadi ibu guru
seperti kata mama,” demikian Jan berpesan sebelum melangkah pergi, kupeluk
tubuh tegap itu, untuk sekali dalam hidup aku merasa amat kehilangan. Bila
terus kubiarkan air mataku akan berubah
menjadi kubangan danau, kutahan isak tangis, kulambaikan tangan dengan ucapan selamat jalan. Kami masih tetap
berdiri di dermaga hingga kapal bergerak menuju muara, aku masih terus melambai
hingga cahaya Pangrango semakin jauh, semakin redup kemudian menghilang pada
gelap. Dengan langkah gontai aku kembali ke rumah, sepasang mataku masih basah,
demikian pula sepasang mata mama. Ia merasakan kehilangan yang sama untuk
sebuah cita-cita.
Sore hari aku kembali
berkelahi, kali ini dengan Hengki. Aku sungguh tak senang ketika bocah itu
memamerkan jaket baru dengan keangkuhan, ia merasa dirinya lebih penting,
karena dibelikan jaket sedangkan aku tidak. Ia melambai-lambaikan jaket dari
hasil susah payah mama menjaring ikan, giginya tampak seakan taring, wajahnya
kelam menyeramkan. “Sa pu jaket baru, ko tra punya apa-apa….” Berulang kali
Hengki mengatakan hal yang sama, ia tak beda dengan sang kakak Marius yang usil
dan jail.
Di tanganku adalah
segelas teh panas, tanpa ragu kulemparkan isi gelas, tepat mengenai jaket baru
Hengki hingga jaket baru itu basah kuyup. Anak itu tampak kalap, wajahnya merah
padam, tetapi aku tak kalah marah. Andai ia memukul, aku pasti akan melawannya.
Tangan Hengki berhenti di udara tertahan tangan kekar Bapa, ketika ia berniat
memukulku. “Tak usah engkau pamer barang baru, jaket bodok itu….”
“Setan kecil itu
membasahi jaketku!” Hengki memeberontak.
“Karena engkau
mengejeknya,” suara Bapa dingin. Jan tengah berlayar mungkin dihantam gelombang
di lautan, ia tak lagi beramaku untuk mengadapi kejailan Hengki dan Marinus
tapi Bapa tetap ada.
Wajah Hengki masih
semerah bara api, seakan ia berkuasa untuk melahapku. Kutantang tatapan matanya
yang nyalang, tak sedikit pun tersisa rasa gentar, aku memiliki lebih dari
sekedar keberanian untuk meghadapi Hengki yang tak juga tahu tentang membaca
dan menulis, terlebih cerita tentang Putri Salju. “Sa lebih senang kalau engkau
mati….” Andai tiada Bapa pasti aku sudah meludah, tetapi aku masih menghargai
orang tua. Ludahku kusimpan jauh di balik bara api kesumat dendam, menunggu
waktu yang tepat untuk melontarkan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar