Jumat, 01 November 2019

Bab II: MENGGAMBAR BINTANG --Kisah Seorang Anak Asmat--


Bab II
Ke Sekolah

Mama  menghempaskan seluruh tubuh ke atas papan lantai, kini baru terasa betapa pergi memangur sagu ke hutan adalah pekerjaan yang mendatangkan susah sungguh. Keringat seakan tuntas menetes, ia tak memiliki pilihan lain kecuali mencambuk diri seakan kuda-kuda perang, atau anak-anaknya akan mati kelaparan. Jan yang bertumbuh menjadi remaja berperilaku baik, Marius dan Hengki yang menunjukkan tanda-tanda  kenakalan dan enggan pergi ke sekolah serta aku --Teweraut, satu-satunya anak perempuan yang harus dipersiapkan belajar membaca dan menulis sebelum terseret ke dalam kehidupan yang jauh dari segala harapan. Beberapa orang di kampung ini telah berhasil  menjadi mantri, bidan, perawat, guru, polisi, diakon. Sebagian yang lain, entahlah.
Mama tak pernah ingin anak-anaknya menjadi bagian dari kelompok kedua –bagian entahlah. Ia akan meninggalkan kehidupan dengan tenang andai aku dapat berdiri di depan kelas menjadi ibu guru. Magdalena, Si Teweraut, gadis kecil yang “cantik” itu kini tengah meringkuk di dekat tungku api, merasakan kelelahan serupa setelah berhari-hari tinggal di hutan. Aku tahu mama mengasihiku lebih dari apapun, suatu perhitungan yang tak akan dapat dibayangkan seorang  bocah. Mama telah melihat nasib gadis belia yang tak mendapat perhatian penuh dari orang tua, atau mendapat perhatian, akan tetapi gadis-gadis itu terseret pada pergaulan di tempat yang  kelam. “Lari” tinggal dengan pemuda pujaan hati, tanpa ijin dari orang tua pada usia muda, tanpa pekerjaan, penghasilan, dan kekuatan untuk melawan kekerasan di dalam keluarga menjadi, beranak pinak dengan pinang tidak pernah lepas dari mulut, atau asap rokok yang terus mengepul. Ibu-ibu muda menjadi terlalu cepat tua sebelum waktunya.
“Mama…. Sa lapar ini?” Marius dan Hengki berteriak bersama-sama.
“Bukankah engkau dapat membakar sagu sendiri?” mama menatap kedua anaknya dengan pertanyaan, tak susah membakar sagu setelah ia bersimbah menokoknya di tengah hutan.
Percakapan tak berlangsung lama, dengan wajah bersungut Marius dan Hengki membakar sagu. Tak lama kemudian kerabat dekat yang menetap di kampung ini berdatangan satu demi satu. Kedatangan seorang kerabat dari bevak dengan bernoken-noken sagu adalah sumber bahan makanan bagi kerabat yang lain. Setiap kerabat dapat meminta sagu, membakar pada tungku api yang sama ketika salah seorang memiliki kelebihan sagu. Demikian sebaliknya, pada waktu yang berbeda ketika kerabat yang memiliki banyak sagu akhirnya kekurangan, maka yang bersangkutan dapat meminta sagu kepada kerabat yang lain. Akan tetapi, mama telah menyembunyikan beberapa noken sagu yang dipesan Suster Theresia, seorang biarawati. Ia akan pergi ke biara esok hari, aku ikut serta.  
Keesokan harinya, pada pagi sebelum matahari melambung tinggi mama telah memikul sagu di punggung, aku mengekor di belakangnya. Kami menapaki jembatan papan  yang sudah mulai lapuk, sejengkal demi sejengkal hingga sampai di biara, diterima Suster Theresia dengan ramah. “Mama Ursula, akhirnya datang juga sagu yang ditunggu. Ini mama punya anak gadis?” Suster Theresia menatap ke arahku, wajah itu tampak bersahaja dengan senyum tulus mengembang.
“Iya, ini saya punya anak yang paling kecil,” Mama menyeka peluh, terduduk di atas lantai.
“Sudah sekolah belum?”
“Besok saya akan mengantarnya ke sekolah,” jawab mama.
Sekolah?
Aku terpaku bagai patung yang selesai diukir tanpa napas  kehidupan, kepalaku tiba-tiba terputar seakan gasing, kutatap mama dengan gamang. Akan tetapi, mama tak peduli dengan kegamanganku. “Kelak, Tewe akan menjadi ibu guru,  mengajar di depan kelas,” ucapan mama sepenuh keyakinan.
“Ah, luar biasa,” Suster Theresia tertawa berderai, ia tampak kagum dengan jawaban mama. Seterusnya keduanya saling bercakap.
Tanpa sengaja kulihat buku cerita bergambar, aku tak tahu dari mana datangnya kekuatan, tiba-tiba tanganku bergerak meraih buku tipis itu, membuka lembaran demi  lembaran, menakjubkan. Aku melihat gambar-gambar indah yang tidak pernah kulihat selama ini, deretan huruf yang belum mampu kueja, entah apa artinya, karena aku memang belum pernah belajar aksara. Aku merasa senang, seakan ingin menjadi  bagian dari gambar itu, menjadi salah satu corak warna yang mendebarkan.
“Engkau senang dengan buku cerita ini?” suara Suster Theresia mengejutkan. Aku terdiam tanpa kata, hari ini untuk yang pertama kali aku menyentuh buku cerita, aku bahkan tak tahu apa isinya kecuali gambar yang indah. “Ambilah, calon ibu guru harus rajin membaca …." Senyum di bibir Suter Theresia mengambang.
Aku tak mampu menjawab, takut dan malu, meski jauh dalam hati bersorak gembira. Telah kudapatkan sesuatu yang  tak pernah kubayangkan, tak kuketahui apa isinya, tetapi menyenangkan. “Ucapkan terima kasih,” mama berbisik tepat di telingaku.
“Terima kasih suster,” suaraku nyaris tak terdengar, kugenggam buku itu erat. Kami berpamit, kukira mama akan terus kembali ke rumah, akan tetapi langkahnya berubah menuju ke pasar, dengan sejumlah uang tergenggam di tangan mama membeli pakaian seragam, tas serta buku tulis, dan pensil.
Untuk apa semua itu?
Pertanyaan itu terjawab keesokan hari ketika pagi-pagi sekali mama telah membangunkanku, memandingan dengan seember air hujan yang dingin membeku, mengenakan pakaian seragam merah putih seakan warna  bendera yang berkibar pada keinggian tiang, memberikan tas berisi pensil dan buku tulis kemudian menggandengku ke sekolah. Aku ingin memberontak, bergabung dengan teman-teman bermain lompat tali kemudian terjun ke dalam air sungai, tetapi tangan kekar mama mencengkeram tanpa kenal ampun. Aku merasa demikian asing ketika memasuki halaman sekolah, mengekor di belakang mama menuju ruang kepala sekolah. Mama tampak bercakap-cakap dengan sikap merendah, tersenyum, mengangguk kemudian menuntunku menuju ruangan kelas.
Berpasang-pasang mata menatap seakan aku mahluk aneh dari negeri antah berantah, aku ingin menjerit. Air mata nyaris gugur pecah menjadi debur ombak, ketakutan menyergap. Aku telah melihat kesibukan pelajar pulang pergi ke sekolah, akan tetapi ketika memasuki ruang kelas, segalanya menakutkan.
“Belajarlah baik-baik, jangan berkelahi, jangan melawan ibu guru. Pulang sekolah segera kembali ke rumah,” mama menatapku kemudian pergi berlalu, meninggalkanku sendiri pada sebuah bangku. Sementara wajah-wajah aneh kembali menatap, siswa laki-laki tampak berkejaran dengan suara gaduh seakan berniat menelanku dengan geram, mengingatkan akan wajah Hengki dan Marius. Demikiankah dunia di luar bevak? Diam-diam aku mengeluh.
Ketika terdengar suara lonceng berbunyi secara tiba-tiba seluruh siswa memasuki ruangan, duduk di bangku masing-masing. Ibu guru berdiri mengajarkan menulis, membaca, menggambar, dan menyanyi, aku tak tahu arti semua itu. Mengapa seorang Teweraut harus belajar duduk di atas bangku? Tak pernah dalam hidup aku merasa bosan seperti ini, aku tak tahu apa yang diajarkan ibu guru, aku tak perlu tahu. Aku hanya ingin pulang, bermain lumpur, lompat tali kemudian berenang. Bukankah teman-teman sepermainan, Anjela, Aleksis, Mori, dan Sandra tak juga pergi ke sekolah. Apa sebenarnya maunya mama?
Ketika lonceng istirahat berbunyi, diam-diam aku menyelinap meninggalkan ruang kelas kemudian pulang ke kampung bergabung dengan Anjela dan Mori yang sementara tengah berenang di tepi kali. Kutanggalkan seluruh pakaian seragam yang terasa berat, sungguh  menyenangkan terjun ke dalam sungai, kulupakan seluruh ketakutan serta galau ketika harus duduk di bangku kelas. Kini, aku kembali bebas. Aku benar-benar bebas sampai akhirnya terasa tangan kekar mama mencengkeram lengan, menuntun pulang.
“Engkau membolos Tewe?” suara mama menahan amarah, ia kecewa, karena gadis kecilnya tidak menyudahi hari pertama di sekolah dengan baik.
Aku terdiam tak menjawab hingga keesokan hari, ketika mama kembali melakukan hal yang sama membimbingku pergi ke sekolah. Di dalam  kelas aku kembali merasa tersesat ke negeri yang jauh, sungguh tak menarik mendengarkan seorang guru mengajar, aku tak tahu mengapa seorang harus bisa menulis, membaca, dan  menggambar? Aku ingin keluar dari siksaan ini. Ketika lonceng istirahat berbunyi aku kembali menyelinap meninggalkan kelas, bergabung dengan Anjela, Mori, dan Aleksis bermain pasar-pasaran serta berenang di tepi sungai. Mama kembali menangkapku, memberi nasehat,  mengomel serta menegur.
Kejadian yang sama berulang hingga hampir satu tahun lamanya. Mama tak pernah bosan mengantarku pergi ke sekolah, menangkap di tepi sungai, memberi teguran, dan harapan. Aku tak pernah jera, belajar di sekolah sangat tidak menarik. Aku akan pergi meninggalkan bangku sekolah untuk selama-lamanya, tetapi ….
                                                                     ***
Kali ini aku menyelinap meninggalkan ruang kelas pada jam isirahat untuk yang terakhir, ketika aku tengah bergembira bersama teman-teman di tepi kali pada sebuah perahu, tiba-tiba terasa tangan mama mencengkeramku. Untuk yang ke sekian kali aku tak berdaya, kutinggalkan permainan yang mengasyikan ini, kembali ke rumah. Mulut mama membungkam tanpa sepatah kata, sampai di depan tungku api, tubuhku yang kecil terhempas nyaris mencium kelam lantai. Sepasang mata mama berubah menjadi bola api yang siap berkobar membakar seisi rumah, wajahnya merah seakan darah, diam-diam lututku menggigil, aku telah bersiap untuk menerima pukulan serta caci maki, karena kenakalan ini. Mama pasti akan bersuara keras, sehingga seisi kampung mendengar, pohon-pohon  bergetar daun-daun gugur.
Ternyata dugaanku keliru, sepasang bola mata mama bukan berkobar menjadi api, sebaliknya meredup –-meredup, kemudian memejam. Tiba-tiba pipi itu basah air mata, semakin deras mengucur dibarengi isak tangis, sepasang Sungai Fambrep seakan mengalir dari sumber duka cita terdalam, karena kenakalanku. Air sungai itu terus mengalir, terengah menuju muara, memecah menjadi ombak. “Tewerauta …. Setahun sudah mama yang semakin tua ini mengantar ke sekolah supaya engkau bisa baca tulis, menjadi ibu  guru, tak perlu pangur sagu ke bevak seperti ko pu orang tua, tapi engkau melawan. Kau kira mama akan hidup selamanya? Memberi makan minum sampai engkau menjadi perempuan tua? Marius dan Hengki tidak bisa diatur, kini engkau lagi. Engkau ingin  menjadi buta huruf, sedikit lagi lari ikut laki-laki pilihan, membakar sagu di rumahnya, menjadi suami istri, beranak pinak tidak punya kerja. Masih baik kalau paitua –suami orang baik-baik, kalau tidak engkau harus memberi makan seisi rumah, membelah kayu bakar, tidak ada makanan, tidak ada rokok paitua akan pukul koe, kemungkinan sampai mati. Bukankah engkau telah tahu kekerasan itu?” suara mama diikuti isak tangis ia tampak sedemikian cemas dengan nasib seorang anak perempuan ke depan. Mama tak tahu pula baca tulis, tetapi ia telah melihat nasib perempuan yang terjadi di kampung ini. Nasib perempuan yang bukan terlahir dari anak kepala suku yang hampir setiap hari berkelahi dengan paitua, karena urusan sagu, ikan, dan rokok. Aku memang anak perempuan seorang kepala suku, akan tetapi ketika zaman terus berubah, apa bedanya? Mama nyaris tak pernah mendapat kekerasan dari bapa, tetapi ia tak akan pernah dapat menjadi ibu guru, mama harus memangur sagu untuk memberi makan seisi rumah.
“Selagi mama masih hidup dan menuntun ke sekolah, pergilah ke sekolah. Kalau mama mati, siapa akan menuntunmu pergi ke sekolah ….” Suara mama amat lirih seakan berasal dari lorong waktu, dari tempat yang sangat jauh tak dapat dikunjungi, dari alam  kematian.
Seluruh tubuhku menggigil, keringat dingin mengucur, aku tersadar akan seluruh kesalahan, aku menjadi mengerti akan kecemasan mama, mengapa ia berusaha keras mengantarku ke sekolah. Bagaimana kalau mama benar meninggal, karena kenakalan ini? Rasa takut menyergap, aku tak bisa kehilangan mama, aku tak bisa membiarkan sepasang pipi mama menjadi aliran Sungai Fambrep kemudian berdebur menjadi ombak lautan. Aku akan melakukan segala-galanya supaya mama tetap hidup, aku bahkan akan bersedia menjadi ibu guru. “Mama …..” aku menghambur ke dalam pelukan mama. Kudekap mama erat-erat, tangisku pecah, “Saya akan sekolah mama…. Saya akan sekolah….” Akhirnya tangan mama membelai rambutku, kurasakan kasih sayang teramat dalam, harapan, juga kecemasan. Benar, aku berjanji tak akan lari meninggalkan bangku sekolah pada jam istirahat.  
Keesokan hari ketika terbangun, segalanya tak lagi sama. Aku tak perlu lagi mendapat pengawasan untuk pergi ke sekolah, aku membasuh tubuh dengan secukup air hujan yang tertuang di ember, mengenakan seragam merah putih, menyambar buku tulis serta pensil. Pada tungku api masih tersisa hangat sagu bola, cukup sudah untuk pagi ini, kuraih sagu enak itu. Sambil melangkah ke sekolah kukunyah sagu itu, kulambaikan tangan pada mama. Wajah mama tampak cerah diliputi harapan, langkah kakiku terasa ringan. Beberapa anak tampak mengenakan seragam sekolah pergi menuntut ilmu, yang lain entahlah. Tampak anak-anak usia sekolah riuh bermain kelereng, berenang di sungai atau bermain lompat tali aku terus melangkah.
Lonceng berbunyi saat aku sampai pada halaman sekolah, aku mempercepat langkah supaya bisa duduk di bangku sebelum ibu guru mengajar. Tampak wajah-wajah baru di kelas satu, wajah-wajah lain telah naik ke kelas dua, ada pula yang tetap tinggal. Kiranya aku tinggal kelas, karena raport yang merah, karena setiap hari selama satu tahun terus kembali ke rumah pada jam istirahat. Aku tak peduli, terduduk diam mengikuti seluruh pelajaran, menulis, dan membaca. Pada jam istirahat aku tetap duduk di kelas tak  ada lagi niat keluar bermain air di sungai atau bermain lompat tali. Aku tak mau lagi melihat air mata mengalir deras pada pipi mama, aku tak ingin membuatnya kecewa.
“Hai…. Engkau mau kue?” seorang siswa baru berambut lurus, berkulit terang menawarkan sepotong kue dalam kotak. Wajah gadis kecil itu sedemikian lembut dan manis, ia bukan seorang yang tinggal di kampungku, ia anak pendatang, anak pertama ibu guru.
Aku ragu menerima tawarannya, baru kali ini ada seorang yang demikian murah hati menawariku kue. Aku terdiam dengan tatapan aneh, malu, dan heran. “Namaku Nurul…. Ambilah,” tangan Nurul yang mungil mengulurkan sepotong kue yang ternyata lezat rasanya, di kampungku tidak ada yang dapat membuat kue seperti ini. Ketika menguyah kue yang sama, aku mulai merasa hangat, aku mulai merasa menjadi bagian siswa yang lain di kelas ini.
“Namaku Teweraut….” Kupernalkan diri.
“Mau gula-gula ….?” Nurul kembali menawarkan gula-gula yang manis bercampur asam rasanya. Kali ini aku tersenyum, sekolah ternyata bukan hanya belajar menulis, membaca, menyanyi, dan menggambar. Akan tetapi, belajar bersahabat, menjadi bagian antara yang satu dengan yang lain. Nurul sahabat pertamaku demikian lembut, satu hal yang menambah keyakinanku untuk tetap hadir di kelas. Seterusnya kami berteman, belajar bersama, bermain bersama. Ketika siswa laki-laki mulai mengganggu, membuat kenakalan, Nurul akan membelaku, ia anak ibu guru, siswa yang lain tak berani melawan, tak berani mengganggu. Seterusnya Maria, Mira, dan Sela juga bergabung menjadi teman baik, bahkan Ucok. Bersekolah ternyata menyenangkan.
Aku tak pernah lagi membolos, setiap pelajaran kuikuti dengan tekun, hingga akhirya aku dapat menulis dan membaca. Buku cerita yang diberikan Suster Theresia akhirnya dapat pula kupahami isinya, adalah kisah Putri Salju, putri yang terbuang, karena iri dengki ibu tiri. Sang Putri yang tertidur lelap dalam jangka waktu panjang dan akhirnya kembali terbangun, karena cinta sejati seorang pangeran. Ajaib!
Akan tetapi, dimana itu istana tempat Sang Putri tinggal? Suatu tempat yang menjadi putih serta membeku saat musim dingin, salju luruh dari langit seakan kapas nan lembut menakjubkan. Dimana? Aku hanya dapat memendam pertanyaan jauh di relung hati, tanpa keberanian untuk bertanya kepada siapapun. Mungkinkah seorang gadis kecil Suku Asmat bertanya tentang negeri dongeng tempat seorang putri nyaris terbunuh? Negeri yang diliputi salju.
Kisah itu tetap melekat dalam ingatan, kusimpan buku cerita Putri Salju bersama impian dan rasa ingin tahu yang belum mampu kuterjemahkan. Kemana impian serta rasa ingin tahu ini mesti kubawa? Buku cerita Putri Salju tetap kusimpan di dalam tromol, jauh dari jangkauan tangan usil Marius dan Hengki. Seterusnya aku tetap pergi ke sekolah bermain bersama Nurul, Maria, Sela, Mira, dan Ucok. Di rumah Nurul kiranya ada pula buku cerita anak-anak yang lain, ibu guru senang ketika kami bermain di rumah bersama Nurul, terlebih membaca cerita anak-anak. Ada kalanya ibu guru membawakan pula cerita itu, membaca cerita serta mendengarkan ternyata menyenangkan. Dunia bukan hanya seisi kampung yang kecil serta Agats, ibu kota distrik. Akan tetapi, lebih luas –jauh lebih luas dari itu.
Tiap tahun aku naik kelas, bahkan masuk ke sepuluh besar. Kegiatan di luar sekolah kuikuti pula, sehingga aku menjadi sibuk. Ketika mama pergi ke bevak aku akan tinggal bersama mama adik atau mama tua untuk mendapatkan perlindungan serta sagu dan ikan. Pada hari libur aku tetap menyertai mama ke bevak menyatu dengan alam, menikmati hijau daun, suara merdu marga satwa. Pada  hari-hari biasa aku tetap berseteru dengan Marius dan Hengki.

                                                                        ***
Hari itu mama membelikanku baju kaos berwarna pink, aku sungguh gembira, kaos ini akan kupakai nanti pada saat kerja bakti di sekolah. Akan tetapi, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Marius menatapku dengan geram, ia tak senang aku memiliki baju baru, ketika kaos itu kulipat di dalam tromol, dengan sombong ia merampas kemudian mengenakannya. Tubuhku lebih gemuk bila dibandingkan dengan sosoknya yang kurus kering seperti lidi. Ukurannya baju ini cukup untuk usia Marius yang empat tahun lebih tua tanpa kemampuan membaca atau menulis. Seketika darahku mendidih, “Lepaskan, kembalikan!” suaraku lebih menyerupai jeritan.
Marius tak peduli, senyumnya mengerikan, ia merasa menang, kata-katanya tak kalah menakutkan, “Engkau perempuan mengalah sudah, engkau akan berulang kali menjerit kesakitan, karena melahirkan. Aku tidak!” wajah Marius sedemikian pongah, aku benar ingin menggamparnya. Dendamku menyala, aku tahu api akan terus berkobar dan tak akan pernah dapat dipadamkan. Aku tak ingin lagi berkata-kata, kusambar kayu bakar, kulempar hingga nyaris mengenai mulutnya yang lebar. Pipi Marius sedikit tergores berdarah. Kukira ia akan menyambar kayu bakar itu untuk menyerangkau.
Dugaanku keliru, Marius menatapku tak percaya, bahkan gentar. Aku telah bersiap dengan kayu bakar berikutnya, kalau ia anak seorang kepala suku, demikian juga aku. Seorang anak perempuan tidak harus mengalah dengan anak laki-laki, tidak ada cerita. “Kenapa kau tak mati saja? Engkau akan menderita selama-lamanya, sampai datang hari terakhir!” aku tak tahu dari mana kata-kata ini bersumber, mungkin dari rasa sakit, karena Marius tak pernah berlaku layaknya seorang saudara, lebih tepat musuh dalam selimut.
Perlahan-lahan wajah Marius menunduk, ia membalikkan tubuhnya yang setipis lidi kemudian berlalu pergi. Ia telah kalah atau pura-pura kalah, ia tak pernah mengembalikan baju kaos warna pink hingga kelak baju kaos itu menjadi kain lap, aku tak pernah mengenakannya. Ia benar merampas pemberian mama yang istimewa kepadaku.
Ketika aku duduk bersandar dengan air  mata berlinang, Jan tergesa datang. Mendadak Jan menjadi sangat sibuk, aku tak tahu apa yang tengah dikerjakan pada remaja usia. Akan tetapi, ia masih sempat membagi waktu dengan air mataku yang terus berlinang. “Tewerauta…..kenapa?” Jan bertanya.
“Marius ambil de pu baju kaos….” Mama menjawab, ia telah tahu tentang kenakalan Marius tetapi tidak berdaya.
Sejenak Jan menghela napas panjang kemudian berucap, “Ayo kita ke pasar, kakak belikan engkau baju kaos yang baru”.
Kutatap wajah Jan dalam-dalam, betapa berbeda watak Jan dengan Marius, aku nyaris tak percaya kata-katanya. Dari mana Jan mendapatkan uang? Ia hanya seorang pelajar SMA. “Aku mendapat hadiah dari lomba poster….” Jan menyadari keraguanku.
Tanpa sadar aku mengangguk, kususut air mata, kemudian kami berjalan beriringan melintasi jembatan papan yang mulai lapuk menuju ke pasar. Baju kaos serupa berwarna pink kini tak lagi bersisa, aku memilih baju kaos warna kuning --secerah matahari terbit. Aku masih bisa tersenyum, namun pemberian baju kaos ini tak menyurutkan dendamku terhadap Marius. Aku tahu apa sesungguhnya yang disebut dengan kebencian –ketidakmampuan memaafkan.

                                                                ***
Siang itu sepulang sekolah Jan tampak sibuk mengemas perlengkapan serta pakaian ke dalam tas yang cukup besar. Mama dan Bapa diam menatap, ada rasa bangga sekaligus kehilangan yang dalam pada wajah  yang mulai menua itu. Wajah Jan tampak sendu, ia tak memiliki lagi pilihan, ia harus mengemasi seluruh pakaian serta perlengkapan atau tak akan mampu menatap masa depan. “Kakak mau kemana?” suaraku tiba-tiba serak.
Diam.
Tak ada jawaban, dinding rumah pun membisu, angin seakan letih berhembus, suara daun gugur terdengar seakan rintihan, “Kakak Jan ….” kata-kataku tak berlanjut.
“Kakakmu akan pergi untuk Pendidikan Catam.” Bapa menjawab dengan suara parau.
“Pendidikan apa itu?” aku bertanya.
“Jan mau menjadi Tamtama, menjadi tantara. Jam dua pagi kapal masuk, Jan akan berangkat,” Mama menjawab.
Aku tahu arti jawaban ini. Jan akan mengejar cita-cita menjadi tantara, hal itu berarti ia akan  menumpang kapal putih ke Merauke kemudian mengapung di udara dari Merauke ke Jayapura selama kurang lebih satu jam dengan pesawat Merpati. Sampai kapan Pendidikan itu? Akankah Jan kembali ke kampung yang sama tempat ia dilahirkan usai pendidikan? Atau kami akan berpisah selamanya? Aku terduduk di samping Bapa menyandarkan tubuhku yang tiba-tiba serasa lemah. Bila Jan pergi, siapa yang akan membela bila aku berkelahi dengan Marius atau Hengki? Aku harus menghadapi bedebah itu seorang diri.
Waktu seakan melayang seringan kapas ketika aku menunggu dini hari hingga kapal putih masuk, kami sekeluarga mengantar Jan ke dermaga. Seluruh kampung telah tertidur, kecuali bintang-bintang di langit malam yang tersisa hanya cahaya senter. Di sepanjang jalan tampak penumpang yang hendak pula berangkat, menitip barang, atau menjemput keluarga yang datang. Seorang berseragam loreng telah menunggu Jan di dermaga, ia akan membimbing Jan mengikuti tes hingga lulus untuk mengikuti Pendidikan Tamtama. Ada pula dua orang kawan Jan yang mengikuti tes serupa, kakakku tidak sendiri di dalam 36 jam pelayaran dengan kecepatan kapal 15 knot, 15 mil per jam.
Suasana benar gelap, kapal belum lagi sandar, kami menunggu pada udara yang semakin dingin, kurapatkan sehelai kain tua hingga tiba-tiba terdegar suara stom yang memekakkan telinga. Malam seakan terjagaa. Dari kejauahan tampak cahaya berkilau dari Kapal Pangrango, satu-satunya kapal yang menjadi sarana transportasi regular untuk datang atau pergi meninggalkan Wilayah Asmat. Sebelum kehadiran Pangrango yang mendatangi wilayah ini adalah kapal perintis, kapal karat yang telah siap tenggelam. Menjelang pergantian millennium ketika Kapal Bimas Raya II tenggelam di Kepulauan Habe menewaskan sekitar 500 penumpang termasuk orang-orang Asmat. Terjadi demonstrasi yang disertai kekerasan serta pengrusakan dengan tuntutan, hadirkan kapal penumpang yang layak ke wilayah pedalaman. Kapal penumpang yang layak itu kini telah menjadi bagian transportasi di Wilayah Asmat. Kapal yang akan membawa Jan pergi menuju masa depan.
“Tetaplah pergi ke sekolah supaya engkau menjadi  ibu guru seperti kata mama,” demikian Jan berpesan sebelum melangkah pergi, kupeluk tubuh tegap itu, untuk sekali dalam hidup aku merasa amat kehilangan. Bila terus kubiarkan air  mataku akan berubah menjadi kubangan danau, kutahan isak tangis, kulambaikan tangan dengan  ucapan selamat jalan. Kami masih tetap berdiri di dermaga hingga kapal bergerak menuju muara, aku masih terus melambai hingga cahaya Pangrango semakin jauh, semakin redup kemudian menghilang pada gelap. Dengan langkah gontai aku kembali ke rumah, sepasang mataku masih basah, demikian pula sepasang mata mama. Ia merasakan kehilangan yang sama untuk sebuah cita-cita.
Sore hari aku kembali berkelahi, kali ini dengan Hengki. Aku sungguh tak senang ketika bocah itu memamerkan jaket baru dengan keangkuhan, ia merasa dirinya lebih penting, karena dibelikan jaket sedangkan aku tidak. Ia melambai-lambaikan jaket dari hasil susah payah mama menjaring ikan, giginya tampak seakan taring, wajahnya kelam menyeramkan. “Sa pu jaket baru, ko tra punya apa-apa….” Berulang kali Hengki mengatakan hal yang sama, ia tak beda dengan sang kakak Marius yang usil dan jail.
Di tanganku adalah segelas teh panas, tanpa ragu kulemparkan isi gelas, tepat mengenai jaket baru Hengki hingga jaket baru itu basah kuyup. Anak itu tampak kalap, wajahnya merah padam, tetapi aku tak kalah marah. Andai ia memukul, aku pasti akan melawannya. Tangan Hengki berhenti di udara tertahan tangan kekar Bapa, ketika ia berniat memukulku. “Tak usah engkau pamer barang baru, jaket bodok itu….”
“Setan kecil itu membasahi jaketku!” Hengki memeberontak.
“Karena engkau mengejeknya,” suara Bapa dingin. Jan tengah berlayar mungkin dihantam gelombang di lautan, ia tak lagi beramaku untuk mengadapi kejailan Hengki dan Marinus tapi Bapa tetap ada.
Wajah Hengki masih semerah bara api, seakan ia berkuasa untuk melahapku. Kutantang tatapan matanya yang nyalang, tak sedikit pun tersisa rasa gentar, aku memiliki lebih dari sekedar keberanian untuk meghadapi Hengki yang tak juga tahu tentang membaca dan menulis, terlebih cerita tentang Putri Salju. “Sa lebih senang kalau engkau mati….” Andai tiada Bapa pasti aku sudah meludah, tetapi aku masih menghargai orang tua. Ludahku kusimpan jauh di balik bara api kesumat dendam, menunggu waktu yang tepat untuk melontarkan.


                                                                  ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...