BAB
III
Pesta
Perahu
Tanpa terasa waktu terus
berpacu, seakan sekawanan kuda perang yang berderap mengepulkan lautan debu.
Susah sungguh selama pendidikan dasar membuahkan hasil ketika akhirnya aku
masuk sepuluh besar kemudian meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
di tingkat SLTP, masih satu sekolah dengan Nurul, Mira, Sela, dan Ucok. Kami
tak terpisahkan, kami selalu mengerjakan tugas bersama, mengikuti latihan
menari bersama, serta bermain bersama. Bersahabat berarti menerima antara yang
satu dengan yang lain. Libur kali ini Nurul dan Ucok pergi ke kampung
mengunjungi keluarga. Aku, Mira, dan Sela dalam
kesibukan yang berbeda, setelah menyertai mama dan bapa ke bevak untuk memangur sagu dan menuai
hasil alam. Hari ini kami satu kampung melebur dalam satu kegembiraan.
Kaum laki-laki dari
kampung ini telah beramai-ramai mendayung perahu ke hutan dalam tata rias adat
untuk menebang batang pohon, menempatkan pada halaman Jew, membentuknya sedemikian rupa hingga menjadi ci --perahu lesung. Ada empat perahu
yang dikerjakan bersama-sama dalam waktu hampir dua minggu, mama-mama
bergantian menghidangkan jamuan adat,
sagu bakar, ulat sagu, ikan, karaka, udang, kelapa muda. Tifa bergantian
ditabuh oleh tua-tua adat yang berhak memukul alat musik ini, suaranya bergaung
melambung ke batas langit, memanggil roh leluhur yang telah berpulang untuk
hadir kembali pada kehidupan hari ini. Ketika tubuh perahu telah menampakkan
bentuk yang sesungguhnya, api dinyalakan untuk mendatangkan asap. Asap
mengeringkan seluruh tubuh perahu dan membuatnya seimbang tetap mengapung di
atas permukaan air. Hari ini perahu itu telah selesai dikerjakan, dengan ukiran
roh leluhur pada kepala, ekor serta dinding, ci cesaipak
–hiasan perahu adalah warna merah, hitam dan putih serta janur kuning. Warna merah disebut juga wasa, terbuat dari tanah merah melalui proses pembakaran sedemikian
rupa hingga mendapat warna yang sesuai
kehendak. Warna putih disebut bii,
terbuat dari pembakaran kulit kerang --siput yang ditumbuk-halus hingga menjadi
bubuk putih. Sementara warna hitam –sosok
atau jak, terbuat dari pembakaran
gabah pelepah sagu atau sayatan ranting
kayu tertentu sesuai tradisi setempat. Warna merah mencerminkan ungkapan sikap
keberanian dan rela berkorban dalam segala hal untuk mencapai suatu tujuan. Warna hitam
berarti mengobarkan tantangan kepada pihak lain. Sebaliknya warna putih
mencerminkan persahabatan, ketulusan, keihlasan, kedamain dengan pihak lain.
Tiga warna dasar selalu hadir dalam riuh suasana pesta yang digelar untuk
kebersamaan. Dengan tata rias tiga warna maka perahu menjadi kendaraan air yang
indah dan menakjubkan, hanya yang berhak pula yang bisa mendapatkan.
Sesisi kampung kini
berkumpul dalam pakaian adat, setiap kepala dihias bacin –bulu kus-kus yang dilengkapi pula dengan bulu burung pombo.
Lengan-lengan kekar beorpit –laki-laki
gagah tampak perkasa dengan hiasan gelang serta tulang kasuari. Setiap pinggang
dilingkari awer –pakaian adat yang
terbuat dari pucuk sagu menyerupai rumai-rumbai. Warna hitam, merah, dan putih
digores secara dramatis pada permukaan wajah, kaki, dan tangan. Pesta perahu
serta pesta-pesta yang lain --pemberkatan jew,
pesta patung mbis, bahkan pesta
setan, ketika istri-istri yang mengalami tindak kekerasan di dalam keluarga
berhak menuntut balas kepada suami tanpa perlawanan. Adalah suatu kebersamaan
untuk mengukuhkan setiap anggota puak sebagai bagian dari yang lain, pesta adat
adalah kegembiraan. Adapun jew merupakan rumah bersama tempat
segala pesta adat diselenggarakan.
Pada masa lampau jew --atau yang biasa disebut dengan
rumah bujang adalah rumah bersama bagi seisi kampung untuk berlatih perang,
membuat tombak, anak panah, serta kapak. Jew
terlarang bagi perempuan yang tidak berkewajiban dalam peperangan atau
pengayauan. Akan tetapi zaman berubah, perang serta pengayauan tak lagi
dimaklumkan, kehadiran missionaris pada 4 Februari 1954 dalam rangka
menyebarkan injil serta pemerintah daerah pada sekitar tahun 1963 dalam rangka
pembangunan yang berkelanjutan membawa kehidupan Suku Asmat menuju hari-hari
yang lebih baik tanpa peperangan. Kini jew lebih bermanfaat sebagai rumah adat untuk membina kehidupan
bersama baik laki-laki maupun perempuan, menyelenggarakan pesta adat, bahkan
kunjungan-kunjungan dari Pemerintah Distrik. Hari ini jew menjadi pusat keramaian ketika seisi kampung berpesta bagi
sebuah penghormatan.
Ketika suara tifa
bergaung, melayang menuju biru langit, membelah udara, maka seluruh tubuh
menari-nari di halaman jew. Suatu
gerakan yang bersumber dari laku penghuni semesta dan alam raya, adalah gerakan
ombak, kupu-kupu, kepak sayap burung atau lebah. Alam adalah sumber dari segala
pikiran serta kreasi, aku ikut pula menari, menggerakkan seluruh tubuh
mengikuti irama pukulan tifa. Tak jauh dari sampingku mama serta berpuluh mama
yang lain, kami melambung dalam kegembiraan tiada tara. Kebersamaan dalam pesta
perahu adalah kekuatan suatu puak yang tidak dimiliki puak yang lain.
“Tewerauta…. Ko pu kalung
jatuh….” Tiba-tiba terdengar suara seorang biorpit,
tangannya yang kekar mengulurkan kalung dari untaian kulit bia, kiranya
kalungku terjatuh.
“Terima kasih….” Sekilas
aku menatap wajah remaja itu, seorang dengan kulit kelam, rambut ikal, badan
tegap seakan siaga pasukan tempur, serta tatapan mata yang dalam. Wajah itu
tampil dengan senyum, wajah anak laki-laki pak guru, bernama Fransiskus, biasa
dipanggil Fransis. Fransis hanya mengulurkan kalungku yang terjatuh, sekilas
aku masih sempat melihat ia mencuri pandang sebelum bayangannya berkelebat
menyatu dengan sekalian penari untuk bergoyang mengikuti irama pukulan tifa. Tak
ada lagi kata terucap.
Ketika matahari beranjak
tinggi, seluruh embun yang menggumpal pada ujung daun telah gugur kemudian
menguap tanpa jejak. Tibalah saat perahu itu diberikan kepada yang berhak,
ialah tua-tua adat, kepala perang atau kepala kampung. Aku melihat wajah bapa
berbinar ketika dipikul beramai-ramai kemudian didudukkan ke dalam perahu.
Selanjutnya tangan-tangan kekar dari seisi kampung memikul perahu itu
beramai-ramai menuju ke tepi kali, sekilas bapa menatap ke arahku, tersenyum
nakal kemudian melambai. Ia menikmati hari kemenangan sebagai orang terpandang
di kampung ini yang layak mendapatkan penghormatan menerima perahu adat. Empat
perahu yang dihias indah dengan masing-masing tua-tua adat di atasnya dipikul
berurutan menjadi iring-iringan menuju ke tepi sungai. Aku, Mira, dan Sela
mengikuti dari belakang, kami berjalan bergandeng tangan. Andai Ucok dan Nurul
dapat hadir pula sebagai pemirsa dalam pesta kali ini, akan tetapi keduanya
kini berada di ujung jauh.
Sampai di sungai perahu
mengapung, bapa tetap duduk, sementara para pendayung berdiri mengerahkan
tenaga hingga perahu berhias indah itu melaju dengan damai di atas permukaan
air. Kami masih bergembira menikmati hari yang penuh kemuliaan hingga matahari
beranjak tinggi, udara menyengat, bahkan menyebabkan kulit seakan melepuh. Aku
kembali ke rumah, meninggalkan riuh rendah suasana, tiba-tiba aku ingin
sendiri, berbaring di dalam bilik yang sempit.
Tidak seperti anak gadis
lain yang tidak memiliki bilik, bapa membuatkanku bilik untuk tidur serta
menyimpan barang-barang pribadi. Sementara gadis-gadis akan tidur bersama
seluruh anggota keluarga dalam satu ruang tunggal dengan tungku api di
tengah-tengah. Bila dalam satu rumah terdapat satu tungku, berarti hanya ada
satu keluarga di rumah itu. Bila dalam satu rumah terdapat dua atau tiga tungku
api, berarti dalam rumah itu tinggal dua atau tiga keluarga, dengan keseluruhan
jumlah anggota belasan atau puluhan.
Aku hanya sesaat
berbaring, karena terdengar mama sibuk bekerja di dapur, mencuci piring,
membersihkan sesisi rumah kemudian mencuci pakaian kotor. Aku tak pernah tega
membiarkan mama bekerja seorang diri, di hari libur ini aku membantu pula
mencuci piring, menyapu lantai, membakar sagu dan ikan. Mama telah pandai pula
memasak ikan kuah dengan aneka bumbu, bawang merah, bawang putih, tomat,
kunyit, rica, garam, vetsin serta
daun sere. Akan tetapi, rempah-rempah itu diperoleh dengan amat susah, karena
harga yang mahal. Tanah rawa berlumpur tak dapat menghasilkan rempah-rempah
sebagai penyedap masakan. Maka, kami lebih sering membakar ikan atau menggoreng
bila mampu pula membeli minyak goreng.
“Tewerauta …. Bantu mama
petik ricaooo….” Mama ada pula membuat kebun, menanam rica –lombok rawit, jeruk wangi,
singkong, keladi, kelapa, dan kemangi. Kami memiliki kebun yang dirawat mama
dengan baik serta kolam untuk berjaga-jaga bila hujan tidak turun. Air kolam sama
coklatnya dengan air sungai, tapi cukuplah sebagai air untuk menyiram tanaman
bila dalam tiga minggu hujan tidak turun, udara terbakar. Air kolam cukup
sebagai penyelamat.
Aku bergegas menuruni
tangga untuk memetik rica –lombok di
kebun, rica itu telah bertumbuh dengan subur, hijau, kuning, orange
serta merah. Kupetik pula daun kemangi yang menebarkan bau harum. Mama hendak
memasak ikan kuah dan papeda –sagu
dijerang dengan air mendidih, diaduk berubah menyerupai perekat. Amat lezat
dikunyah dengan ikan kuah kuning. Rupanya hari ini istimewa, karena bapa
mendapatkan kehormatan pesta perahu di lingkungan kampung. Mama dapat pula
menyediakan pula papeda serta ikan kuah dari api tungku. Aku membantu mama
memasak ikan serta papeda, membersihkan dan memotong ikan, mengiris
rempah-rempah. Ketika ikan kuah dan papeda sudah siap, bapa tampak di depan
pintu, ia baru saja selesai merayakan hari kemenangan. Beberapa orang mengekor
di belakang, maka ramailah rumah panggung ini dengan pesta kecil hingga seluruh
papeda serta ikan kuah licin tandas tanpa sisa. Makan bersama selalu
menyenangkan, ketika satu sama lain terikat benang halus kebersamaan, tak
terpisahkan.
Aku membantu mama
membersihkan perlengkapan makan, hingga kurasakan kemarahan kembali membakar,
ketika dengan kasar Marius melempar mangkuk plastik serta sendok ke arahku yang
tengah bersusah payah mencuci piring kotor. “Cuci yang bersih ….” Marius
bersikap seolah-olah ia adalah seorang juragan yang berwenang penuh memerintah tukang.
“Ko cuci sendiri….”
Kulempar kembali mangkuk kotor itu ke arah Marius, tetapi jahanam itu telah
pergi. Sejak kejadian itu aku tahu, bahwa aku tak akan dapat berdamai dengan
Marius, aku tak hendak melawan atau memulai pertikaian dengan kata-kata, maka
kuputuskan diam. Kuanggap ia tak pernah ada --tak pernah ada.
Keesokan harinya sebelum
matahari benar beranjak tinggi, aku menyertai mama dan bapa mendayung perahu
baru peri ke bevak. Kembali kurasakan
suka cita di tengah kesunyian alam setelah hari-hari sekolah yang panjang.
Suatu kebanggaan memiliki perahu baru
yang dihias indah atas persembahan satu kampung. Dua tepi Sungai Fambrep selalu
ramah menyambut kehadiran sekalian pendayung, hijau daun masih serupa, seakan
disepuh warna emas saat sinar matahari berpijar dari langit sebelah timur. Sinar
yang menghalau kabut embun, menyibak redup suasana. Suara satwa liar
bersahut-sahutan membelah hening, membawa khayalan ke tempat yang sangat jauh,
tempat yang tak dapat dirusak oleh kenakalan Marius atau Hengki. Sungguh suatu
hal yang nyaman kedua orang itu tak ikut
serta. Seakan menjadi anak tunggal hanya
bertiga dengan orang tua, tanpa kehadiran dua orang yang terlalu sering berbuat semaunya. Pun air sungai mericik
lembut seakan nyanyian pengantar tidur, aku selalu merindukan sudut sungai ini
dan akan selalu merindukan.
Kami tak berlama-lama di bevak, hanya semalam untuk memetik hasil
kebun, satu noken sagu serta seonggok kayu bakar. Bapa ada pertemuan di kantor
distrik, ia tak dapat lama-lama meninggalkan kampung. Kami kembali mendayung perahu yang sama
menjelang senja saat matahari berubah menjadi bola raksasa merah tembaga yang
terhuyung dari ketinggian angkasa bersiap menghilang di dasar samudera. Sungai
Fambrep sama ramahnya dengan suasana pagi
hari, seakan aku tak hendak meninggalkan tempat yang hijau ini dan
berniat menetap selamanya. Sejenak bapa dan mama menghentikan dayung untuk
sejenak menghela napas ketika tiba-tiba dari arah yang sama terdengar suara.
“Tewerauta…. Ada punya
airkah?” Suara Francis mengejutkanku, kiranya ia baru pulang menjaring dan
kehabisan air, ia berada dalam perahu berbeda bersama keluarga.
“Ada sedikit ini….”
Kuulurkan air hujan dalam botol aqua tanpa sepatah kata. Tak pernah
kuperhatikan raut wajahnya.
“Terima kasih….” Fransis
langsung menenggak air itu seolah ia telah puasa satu hari satu malam lamanya.
Senja makin surut menjadi
temaram, sesaat akan segera berubah
menjadi gelap, kami harus bergegas kembali ke rumah sebelum malam benar
turun, langit hitam membentang tanpa garis tepi. Sewaktu-waktu hujan dapat pula
turun, karena tiba-tiba angin berhembus kencang, hijau dedaunan seakan risau.
Fransis membantuku memikul setandan pisang hingga sampai di rumah, rumah kami
tak benar berjauhan. Aku tak pernah mengucap terima kasih untuk itu, seakan tak ada celah waktu.
***
Hari sekolah pertama di
SMP akhirnya tiba, mama bersusah payah membelikanku seragam biru putih serta
sepatu kets dan tas punggung, dengan satu harapan kelak aku akan menjadi ibu
guru. Bangun pagi, bersiap diri sudah menjadi kebiasaan, aku tak ragu lagi.
Kutinggalkan rumah panggung dengan langkah pasti, aku akan berjumpa dengan
teman-teman baru, pengalaman baru serta segala harap. “Magda….!” Suara Nurul
nyaris menjerit, seolah telah seribu tahun kami berpisah.
“Nurul ….” Kami
berpelukan, libur panjang terlalu lama memisahkan hingga perjumpaan di hari
pertama.
“Kita satu kelas ….”
Nurul tak dapat menyembunyikan kegembiraan.
“Mana Mira, Sela, dan
Ucok?” kucari-cari bayangan mereka, hingga terdengar jeritan di belakangku.
“Magda ….” Suara Ucok
tiba-tiba berubah menjadi seorang dewasa.
“Hai Mira…. Sela….” Kami
berangkulan, tertawa tergelak. Sungguh menyenangkan memulai hari baru bersama
sahabat. Aku, Ucok, dan Nurul satu kelas, tetapi Mira dan Sela di kelas lain. Akan tetapi, kami tetap seia dan
sehati. Kami tak berlama-lama tergelak karena masa orientasi segera
berlangsung, sebagai siswa baru kami harus mulai menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekolah yang baru, dewan guru, tata tertib serta kawan-kawan yang
baru.
Hari berikut kami seluruh
siswa berkumpul di aula duduk di lantai, ada penyuluhan HIV/AIDS. Apakah
HIV/AIDS? Aku tak tahu, kecuali harus mengikuti penyuluhan ini sampai selesai.
Sesisi aula terdiam ketika seorang dokter bersama satu staf berdiri di depan
aula dengan meyakinkan membagikan brosur berisi sebab-sebab, bahaya serta cara
menghindari HIV/AIDS. Ketika di depan layar tampil gambar gambar penderita
HIV/AIDS, adalah sosok yang kurus kering, nyaris seonggok tulang belulang,
dengan luka tak tersembuhkan, tatapan mata kosong seakan jenazah. Satu aula
nyaris menjerit, bergidik ngeri.
“Ada yang mau seperti
ini?” ibu dokter bertanya.
“Tidaaakkk….!!” Terdengar
koor dari seisi aula.
“HIV/AIDS berasal dari
Afrika, satu benua yang sangat jauh dari Papua pada tahun 1982, satu tahun
kemudian penyakit ini sudah ditemukan di Denpasar, Bali pada wisatawan asing.
Tahun 1992 sampai di Merauke pada wanita penghibur serta nelayan Thailand.
Tahun 1996, tepat pada satu Desember, hari AIDS sedunia, seorang pelajar di
Asmat meninggal, karena HIV. Sementara belum ada bukti fisik yang menyatakan
berapa jumlah penderita HIV di Wilayah Asmat. Akan tetapi, sedini mungkin kita
harus mencegah dengan tidak berganti-ganti pasangan. Kita semua sudah tahu,
bahwa penyebab utama penyebaran HIV/AIDS di Papua adalah dengan berganti-ganti
pasangan. Akan tetapi, manusia tidak jera. Mengapa?”
Diam.
Beberapa saat suasana
hening, hingga ibu dokter kembali bertanya, “Ada yang bisa menjawab, HIV/AIDS
menyebar, karena berganti-ganti pasangan, manusia tahu akan hal ini, tetapi
tidak bisa menghentikan. Mengapa?” tatapan jeli ibu dokter menyapu seisi
ruangan seolah ingin menjenguk isi hati terdalam seluruh siswa.
“Enak sih ….” Terdengar
jawaban singkat yang menyebabkan seisi ruangan tergelak dan ibu dokter
tersenyum lebar.
“Berganti-ganti pasangan
seringkali menimbulkan perasaan sensational. Enak sih…. Akan tetapi ingat,
bahwa akibat yang harus ditanggung mengerikan, kematian. Tidak ada obat
HIV/AIDS sampai saat ini. HIV/AIDS adalah penyakit yang berhubungan dengan
perilaku, bila dari masa puber, masa SMP sudah terbiasa berganti-ganti pasangan
tanpa ada teguran. Maka perilaku tersebut akan terus terbawa hingga dewasa. Ada
yang senang berganti-ganti pasangan, kecil-kecil sudah pacar-pacaran? Atau
pelajar SMP di sekolah, tetapi di rumah sudah punya istri?” ibu dokter kembali
menatap seisi aula.
Seisi ruangan kembali
diam, masing-masing siswa seakan menatap diri pribadi, apa yang pernah terjadi
selama kurun waktu yang cukup panjang ini? Diam-diam darahku tersirap,
dihadapkan pada hal baru yang secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi seluruh hidup. Pergi ke sekolah kiranya berperanan menguak misteri
kehidupan, dari tidak tahu menjadi tahu. Betapa penting pengetahuan.
“Ada yang suka memukul
saudara perempuan atau siswi di sekolah?” bu dokter masih terus bertanya,
sepasang mata itu menggambarkan kecerdasan yang luar biasa. Seakan tahu benar
segala yang terjadi sehari-hari pada sisi kehidupan, meski baru hari ini
pertemuan.
Beberapa siswa menunjuk
pada seorang siswa berbadan besar yang duduk pada deretan paling depan,
sehingga siswa itu tertunduk. “Saat ini adalah era kesetaraan gender, era ketika seorang dibedakan bukan, karena
laki-laki atau perempuan, tetapi kemampuan berprestasi dan bersikap baik.
Hentikan kekerasan terhadap perempuan, hentikan budaya patriakhal. Budaya yang
menempatkan laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek, sehingga
mudah menjadi korban kekerasan. Termasuk kekerasan psikis yang berujung
kematian, tertular HIV/AIDS dari pihak suami. Perempuan adalah kelompok pasif
yang dapat tertular HIV/AIDS dari pasangan hidup, seorang ibu tidak pernah
berganti-ganti pasangan, akan tetapi karena sang suami telah terbiasa
berganti-ganti pasangan sejak remaja. Telah memiliki karakter yang tidak adil,
maka seorang istri dapat tertular, setiap tahun sekitar satu jiwa melayang,
karena HIV. Ada yang mau menyusul?”
“Tidaaaak…..!”
“Ada yang mau bertanya?”
“Mengapa penyuluhan
diberikan kepada pelajar?” seorang siswi bertanya.
“Pertanyaan yang baik
sekali. Pelajar adalah mutiara hati bangsa ini, calon bapak dan ibu, adalah
generasi yang akan meneruskan kerja keras suatu bangsa menuju masyarakat
sejahtera. Para pelajar adalah calon pemimpin bangsa, pemimpin yang adil dan
bijaksana serta mampu memahami bahaya HIV/AIDS sedini mungkin. AIDS kartu mati.
Setiap orang berharap akan usia yang panjang, perjalanan hidup yang jauh hingga
hari tua. Maka sejak usia belia ibu dokter menyarankan untuk tidak
berganti-ganti pasangan, menikah setelah selesai sekolah, memiliki pekerjaan
dan mampu bertanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga. Untuk siswi-siswi khususnya,
tak ada pihak lain yang lebih berperan dalam rangka menuju kesetaraan gender,
kecuali siswi itu sendiri ….”
Kutatap lekat-lekat wajah
cantik ibu dokter yang tidak pernah ragu dengan setiap kata serta ucapan, tak
kulewatkan penyuluhan ini. Satu pertemuan yang berakibat amat dalam terhadap
pola berpikir dan menentukan sikap. Saat aku berpaling dari wajah cantik
seorang dokter, menoleh ke arah lain, tampak Fransis tengah berbalik menatapku.
Aku tak tahu arti di balik tatapan itu, dan aku tak perlu untuk tahu.
Penyuluhan berlangsung
hampir dua jam. Akan tetapi dua jam itu telah mampu mengawali tahun-tahun
panjang yang harus kutempuh dengan sungguh-sungguh. Aku tahu, mengapa Marius
dan Hengki suka menyerangku, ia menganggap diri subyek, dan aku anak perempuan
hanya obyek yang dapat diperlakukan sesuka hati, karena kami terjebak dalam
budaya patriakhal. Suatu budaya yang akan membenamkan seorang perempuan
selamanya, kecuali perempuan bersangkutan membebaskan diri dengan kemampuan
berprestasi dan bersikap baik. Aku, Teweraut tak akan pernah terjebak, terlebih
terbenam untuk selamanya.
Hari-hari aktif sekolah
menjadi utama, aku hanya mengikuti mama dan bapa ke bevak pada hari libur tanpa ada sedikitpun keinginan untuk
membolos. Kini aku mengerti, mengapa mama berkeras mendudukkan tubuhku yang
kecil di bangku sekolah, satu tahun tak lelah menuntun ke sekolah, setelah aku
membolos pada hari kemarin. Pendidikan adalah proses panjang berjenjang yang
akan mengubah takdir hidup manusia, belajar membuka cakrawala pengetahuan, yang
dilegalisasi dengan sehelai ijazah. Tanpa kemampuan untuk tekun sebagai pelajar
dan harapan akan esok yang lebih Marius dan Hengki akan terus berbuat aniaya
atas nama saudara, atas nama gender, karena mereka laki-laki dan saya adalah
perempuan.
Adapun waktu terus
berpacu, seakan anak panah terlepas dari gendewa yang terentang, tak dapat
dihentikan. Suatu perubahan mendasar terjadi di Wilayah Asmat, perubahan yang
akan membawa kehidupan masyarakat di tempat ini menjadi lebih baik. Setelah melalui
tahun-tahun panjang dan sulit, harapan yang nyaris kandas. Kini harapan ini
muncul sebagai berkas cahaya yang semakin terang –semakin terang. Akan tetapi,
patutlah aku menengok kembali sejarah
Asmat berpuluh tahun ke belakang.
***
Syahdan, tersebutlah
seorang beorpit --pemuda gagah perkasa--
bernama Fumiripits yang menetap seorang diri dalam suatu rumah tinggal di
tengah hutan. Suatu hari Fumiripits
melakukan perjalanan ke hilir sungai menuju muara Sungai Sirets. Di muara
sungai pemuda itu bertemu dengan sekelompok gadis yang semuanya berparas
cantik. Fumiripits jatuh cinta kepada salah seorang gadis yang cantik rupawan
itu, demikian pula sang gadis rupawan
tersebut. Sang gadis pun memutuskan membungkus Fumiripis dengan selembar tikar
daun dan membaringkanya di dalam perahu lesung agar dapat menyembunyikan dari
pandangan saudara perempuan yang lain .
Dalam perjalanan pulang melewati Sungai Sirets
ombak mulai mengguncang, semakin lama
semakin kencang. Tak ayal lagi, Fumiripits terjatuh ke sungai dalam keadaan
terbungkus tikar daun, terhanyut ke laut dan terdampar di tepi Sungai Momats.
Fumiripits amat kesakitan hingga ia tak dapat lagi merasakan apa-apa, ia
meregang nyawa dan akhirnya meninggal. Tak lama kemudian datanglah sekawan
burung, mendapatkan Fumiripits dalam keadaan terkapar. Kawanan burung itu
akhirnya meminta bantuan kepada Kidukunmsi
--burung elang ajaib yang dapat menghidupkan kembali Fumiripits, sehingga sang
Beorpit mendapatkan kembali kehidupan,
tetapi ia terpisah dengan gadis yang dicintainya.
Fumiripits membangun
rumah panjang sebagai tempat tinggal, tetapi ia tetap marasa kesepian. Dalam
kesendirianya Fumiripits berkeinginan untuk mengukir patung dari kayu. Ia pun
menebang pohon, memotongnya, dan mulai membentuk kepala, badan, tangan, dan
kaki sehingga ujud itu betul menyerupai manusia. Di antara patung-patung itu
ada yang menyerupai laki-laki dan ada pula yang menyerupai perempuan.
Patung-patung itu sangat halus dan indah, Fumiripits mengatur patung-patung
tadi di sekeliling rumahnya ia merasa sangat senang dan bangga dengan hasil
ciptaanya. Akan tetapi patung tetapalah benda mati tidak bisa bergerak atau
bicara.
Fumiripits akhirnya
membuat tifa, ia menebang sebatang pohon dan melubangi bagian tengahnya.
Fumiripits menangkap pula seekor kadal, mengupas kulitnya, kemudian menutup
salah satu bagian lubang kayu itu dengan kulit kadal dan mengikatnya dengan
rotan yang telah dilumuri dengan darahnya sendiri serta limau putih. Setelah
tifa itu jadi, ia pun menabuhnya. Suara tifa yang merdu membuat patung
tersentak, patung-patung itu mulai bergerak dan menyentak-nyentak mengikuti
irama pukulan tifa. Ketika Fumiripits mempercepat irama tabuhannya, maka gerak
patung-patung itu semakin cepat dan lincah. Akhirnya patung-patung itu bernapas
dan hidup selayaknya manusia. Mereka adalah orang-orang pertama yang mengawali
kehidupan di Asmat.
Legenda Fumiripits adalah
mitos yang dapat menguak asal mula keberadaan Suku Asmat lengkap dengan
keahliannya mengukir untuk hadir pada alam kehidupan sebelum bersentuhan secara
langsung maupun tidak langsung dengan dunia luar. Jauh hari ke depan setelah
patung-patung yang diukir Sang Legenda bernapas kemudian bergerak dan
menari-nari mengikuti irama pukulan tifa, maka Suku Asmat bertahan hidup dengan
menggantungkan diri terhadap kekayaan
hutan dan laut. Mengayau adalah suatu ritual untuk mempertahankan diri terhadap
intervensi dari kelompok etnis di seputarnya. Menurut catatan Verlag (2002:
49), kontak pertama Suku Asmat secara sporadic dengan dunia luar terjadi pada
awal abad ke-17. Tanggal 12 Juli 1607, Win Vaes de Torres dari kapal San Pedro
menulis sepucuk surat untuk Raja Spanyol yang mengabarkan eksplorasinya di
pantai selatan New Guinea dan menyatakan bahwa kawasan itu menjadi milik Raja
Spanyol. Suratnya lebih lanjut menggambarkan wajah orang asing yang pertama
dijumpainya sebagai orang-orang hitam yang berbeda dari orang-orang lain, yang
berhias lebih bagus, menggunakan anak panah dan perisai besar, serta beberapa
cabang bambu berisi kapur yang membutakan musuh bila mereka melemparnya.
Pada 12 Oktober 1770
Kapten James Cook dan awak kapalnya menyatakan bertemu dengan orang Asmat.
Mereka berlabuh di Pirimapun dan menyebut tempat termaksud sebagai Teluk Cook.
Kurang dari satu abad kemudian, tepatnya pada tahun 1828 Pemerintah Belanda
menghaki Pantai Barat Daya New Guinea, kemudian menghaki pantai utara pulau
atas nama Sultan Tidore pada tahun 1848. Selama awal tahun 1900-an Pemerintah
Belanda mengirim ekspedisi ke New Guinea untuk menentukan batas-batas tanah
yang telah mereka haki sebelumnya. Kontak sporadis ini tidak memberikan
pengaruh apa pun bagi kehidupan Suku Asmat.
Mansoeben (1995: 128 –
130) mengemukakan kronologis kontak orang Asmat dengan dunia luar yang dimulai
pada tahun 1904. Kontak itu terjadi, karena ekspedisi-ekpspedisi yang dilakukan
orang Eropa di wilayah Pasifik. Ekspedisi berikutnya terjadi pada tahun 1907,
1909-1910 dan 1912 -1913. Ekspedisi pertama pertama dan kedua dipimpin Lorentz
dan terakhir Franssen Herderschee. Dua ekspedisi berikutnya terjadipada tahun
1922 dan 1923, keseluruhan ekspedisi tersebut adalah dalam rangka ekspedisi
ilmiah. Kunjungan lain berasal dari pihak Pemerintah Belanda yang terjadi pada
tahun 1904 disusul kunjungan-kunjungan berikut.
Tahun 1936 Pemerintah
Belanda membangun Pos Pemerintahan untuk kepentingan keamanan. Felix Maturbongs
diangkat menjadi Bestir Assistant di Agats untuk masa tugas 1938 – 1943 kemudian
mendatangkan tukang-tukang dari Kei untuk membangun Kompleks Pos Pemerintahan
di Agats. Orang Asmat Pos Pemerintahan itu disebut Akat --yang berarti “baik”
atau “ bagus”. Lidah orang Belanda ternyata sulit untuk mengatakan “Akat”, yang
terucap ialah “Agats”, maka daerah sekitar Pos Pemerintahan hingga kini disebut
dengan Agats. Selanjutnya Agats menjadi nama ibu kota wilayah Asmat.
Pada tahun yang sama
dengan tahun pembangunan Pos Pemerintahan --1936, P. Herman Tillemans, MSC
mengunjungi daerah Asmat bagian utara dengan perahu dayung dari Pusat Misi MSC
di Mimika dalam rangka pewartaan Injil. Tahun 1938 P. Hendrikus Cornelisse, MSC
mengunjungi Asmat dari Langgur, Kei, dari kunjungan itu dua gereja dibangun di
Syuru dan Ayam. Tahun 1943 tentara Jepang memasuki daerah Mimika. Bestir Felix
Maturbongs mendapat telegram dari Resident Merauke supaya penduduk Agats segera
diungsikan ke Merauke dan Pos Pemerintahan Agats dimusnahkan. Pada tanggal 26
Januari 1943 Bestir dan semua pendatang di Agats berangkat ke Merauke dengan
menumpang KM. Herman, sementara semua bangunan Pos Pemerintahan Agats telah
hangus dibakar. Sampai pada tahun ini segala upaya pewartaan dan pembangunan di
wilayah Asmat terhenti, Perang Dunia ke II yang terus berkecamuk tak
memungkinkan adanya upaya termaksud.
Pada kurun waktu
termaksud Suku Asmat terikat pada kepercayaan, bahwa alam semesta dihuni oleh
roh serta makhluk halus, yang semuanya disebut dengan setan dan digolongkan ke
dalam dua kategori : Pertama, Osbopan,
setan yang membahayakan hidup, ialah
setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan
perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin,
roh yang membawa penyakit dan bencana. Kedua, Setan yang tidak membahayakan
hidup, nyawa dan jiwa seseorang, hanya
menakut-nakuti dan mengganggu. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh
yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya, yang berasal dari roh nenek
moyang dan disebut yi-ow.
Suku Asmat juga percaya
akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang menyebabkan setiap orang terlarang
melakukan melakukan hal-hal tertentu, tabu. Banyak hal -hal yang pantang
dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan
bahan makanan sagu, penangkapan ikan, dan pemburuan binatang. Kekuatan
magis dapat digunakan untuk menemukan
barang yang hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang
tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam
dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan. Kepercayaan akan kekuatan
gaib dan roh halus termanifestasi dalam ritus yang berlangsung sehari-hari
menjadi adat isti adat.
Tahun 1950 ketika situasi
kembali damai Pastor Gerald Zegwaard,
MSC mengunjungi Asmat dan berusaha memulangkan kembali penduduk Asmat yang
semula mengungsi ke Kamoro. Pastor Zegwaard menempatkan lima orang Katekis di
Kampung Ao, Kapi, As-Atat, dan Nakai yang sekarang berkembang menjadi Paroki
Yamas. Tahun 1951, dr. Fisher, seorang tenaga medis dari WHO bertandang ke
Asmat an diterima masyarakat dengan
baik. Wabah frambusia menyebar, pengobatan yang dilakukan dr. Fisher
menyebabkan kehadiran dokter termaksud memberikan sumbangan positif bagi
kesehatan masyarakat. Pada Januari 1953 Pastor Zegwaard , MSC mulai menetap di
Agats dan pada 4 Februari 1953 orang
Asmat pertama --seorang ibu dibabtis.
Satu tahun kemudian, pada
1954 Indonesia sudah mengusahakan upaya diplomatik untuk mendapatkan Papua
--Irian-- dalam Konferensi Meja Bundar. Akan tetapi perundingan diplomatik
tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1956 Pemerintah Belanda menolak menyerahkan
Irian kepada Indonesia. Enam tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 15 Agustus
1962 perundingan mencapai titik terang, karena keterlibatan Amerika Serikat
dengan John F. Kennedy sebagai presiden. Belanda menyerahkan Irian kepada
pemerintah sementara PBB pada tanggal 1 Oktober 1962, selanjutnya pada tanggal
1 Mei 1963 Irian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.
Sejak saat itu maka
wilayah Asmat dipimpin oleh seorang KPS –Kepala Pejabat Setempat—setara dengan
kedudukan Kepala Distrik saat ini. Kehadiran missionaries serta jajaran
pemerintah, meski berusia sangat muda perlahan-lahan mulai mengubah kehidupan
masyarakat dari system berperang menjadi kehidupan yang lebih damai, praktis
adat mengayau perlahan memudar kemudian hilang sama sekali. Akan tetapi system
kepercayaan yang mendasar akan relasi dengan roh leluhur tetap bertahan dan
menjadi dasar dari perilaku masyarakat, terutama dalam hal seni ukir.
Kemasyuran seni ukir
Asmat merupakan salah satu faktor yang mengundang kehadiran pendatang dari
segala pihak untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di wilayah ini.
Sosok-sosok manusia yang berdikasi bermunculan, termasuk satu sosok tokoh
pejuang pendidikan di wilayah Asmat yang
diabadikan dalam bentuk monumen untuk mengenang kerja`keras yang telah tersurat
pada catatan sejarah. Pada Tanggal 17 Agustus 1951 Pastor Yan Smith masuk Orde Salib Suci, Pada Tanggal 25 Juli
1957 ditahbiskan menjadi imam, tahun
1958-1959 Pastor Yan Smit pergi ke Amerika Serikat untuk mengambil studi
theologi di Fort Wayne dan Hastings. Tanggal 24 Oktober 1959 Pastor Yan Smit
tiba di Asmat. Lima tahun lebih setelah kerja keras memulai sebuah proses
pendidikan bagi anak-anak Asmat, terjadi konflik dengan KPS --Kepala Pejabat
Setempat dan berakhir dengan tragis. Tanggal 28 Januari 1965 bertempat tak jauh
dari ikon pastor didirikan, perselisihan terjadi KPS mengacungkan senjata ke
arah Pastor Yan Smtih, menarik pelatuknya, pada tembakan pertama pastor masih
berdiri, demikian pula pada tembakan kedua. Pada tembakan ketiga Pastor Yan
Smith roboh berlumuran darah, dan tak pernah bangkit lagi. Pastor Yan Smith
berpulang dengan memilukan pada usia 34
Tahun, status waktu itu sebagai Pastor
Paroki Yamas-Yeni dan Pemilik
Sekolah Daerah untuk seluruh
Persekolahan Khatolik di wilayah Asmat.
Pada hari kematian itu
muncul mitos, beberapa detik sebelum tembakan menyalak, sukma terlepas dari
badan, Pastor Yan Smith sempat berucap, “Bila badanku rusak, maka tanah di
tempat ini akan rusak pula”. Hujan turun teramat deras tercurah dari langit
selama berhari-hari, setelah penembakan itu, seakan menangisi kematian seorang
pengabdi kemanusiaan, nyawa manusia tak berdosa yang direnggut dengan
semena-mena. Bertepatan dengan kejadian tragis penembakan seorang pastor, maka
wilayah Asmat semakin dikenal oleh kalangan luas. Para pendatang perlahan-lahan
hadir untuk menetap di wilayah Asmat, membangun situs ekonomi. Kebutuhan akan
kayu sebagai prasarana tempat tinggal, jembatan, perahu, dan kayu bakar terus
meningkat tak terbilang. Pohon-pohon yang menjulang di seputar Agats ditebang
dan terus ditebang. Air laut pasang sepajang tahun, maka erosi mulai terjadi
tak bisa dihentikan dari waktu ke waktu. Agats yang semula berupa daratan tanah
gambut akhirnya hancur menjadi tanah rawa yang tak bisa lagi dipijak. Kerusakan
tanah di kota Agats, seakan membenarkan ucapan Pastor Yan Smtih, sebelum ia
roboh berlumuran darah, “Bila badanku rusak, maka tanah di tempat ini akan
rusak”.
Sementara Suku Asmat
tetap bertahan hidup dengan strategi berburu dan meramu serta keahlian
mengukir, kontak sporadis serta kontak yang berkelanjutan terus terjadi, maka
perubahan terus bergulir. Kehadiran missionaris serta pemerintah mendorong
fasilitas social termasuk klinik dan sekolah dibangun. Kesehatan dan pendidikan
merupakan proses utama yang harus dilampaui sebagai pembangunan sumber daya
manusia. Tahun 1983 kantor Pembantu Bupati didirikan dengan seluruh perangkat
kerja di dalamnya, sebagai rencana pemula untuk memekarkan wilayah Asmat
menjadi Kabupaten. Puskesmas Agats dengan fasilitas rawat inap didirikan
sebagai sarana pengobatan masyarakat. Saat itu wilayah Asmat terbagi menjadi
tujuh kecamatan, ialah Agats sebagai ibu kota wilayah Asmat, Sawa Erma, Akat,
Atsj, Suator, Fayit, dan Pantai Kasuari. Satu orang dokter ditempatkan di
Puskesmas Agats sebagai kepala sekaligus membawahi enam distrik yang lain.
Dua dekade setelah
pendirian Kantor Pembantu Bupati Asmat, berdasarkan Undang-undang Nomor 26
Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten
Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten
Yahokimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana, Kabupaten
Boven Digul, Kabupaten Mapi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Teluk Bintuni, dan
Kabupaten Teluk Wondama. Maka wilayah Asmat memasuki babak sejarah baru dalam
rangka pembangunan wilayah dalam tatanan pemerintah kabupaten. Tanggal 12 April
2003, 12 Pejabat Bupati Kabupaten Pemekaran di seluruh Provinsi Papua dilantik
di Jayapura. Sabtu, 31 Mei 2003 Bupati Merauke, John Gluba Gebze didampingi
Wakil Bupati, Benyamin Simatupang dan seluruh jajaran pejabat daerah serta
masyarakat Merauke menyelenggarakan upacara adat, secara simbolis pejabat
bupati diserahkan kepada masyarakat yang akan dipimpinnya. Drs. David Tuok
diserahkan kepada masyarakat Boven Digul, Muyu, dan Mandobo. Drs. John Rumlus
diserahkan kepada masyarakat Mapi, dan Drs. Yosef Wiro Watken diserahkan kepada
masyarakat Asmat.
Pemekaran Kabupaten Asmat
dengan perlahan namun pasti memberikan arah perubahan dalam kehidupan
masyarakat dalam satu dekade terakhir. Distrik dimekarkan dari tujuh, menjadi
sepuluh, dan akhirnya menjadi sembilan belas, bahkan 23 distrik. Telkomsel
berdiri, penduduk meledak di wilayah kota dari sekitar 6.000 jiwa menjadi lebih
20.000 jiwa. Wilayah kota mengalami pemekaran, sehingga berjalan kaki menjadi
suatu hal berat dalam rangka mobilitas di wilayah kota. Muncul sepeda mini,
sepeda federal, dan akhirnya motor listrik sebagai sarana mobilitas utama di
dalam kota. Jalan komposit dibangun sebagai prasarana jalan raya yang solid di
dalam kota, lampu mercuri menyala di malam hari.
Aku, Teweraut hanya
menjadi bagian kecil dari segala perubahan itu. Demikian pula ketika aneka
warna bendera partai politik mulai berkibar di sepanjang jalan. Aku tak
sepenuhnya tahu arti perubahan itu, suatu saat aku akan tahu.
Hari ini kami pulang
sekolah bersama-sama, Nurul merayakan ulang tahun ke-13, ia bermaksud
menyelenggarkan syukuran, acara makan siang. Suatu hal yang menyenangkan, Nurul
punya mama pandai memasak, ia pasti telah menyediakan hidangan yang lezat di
atas meja. Kami akan melahap sekenyang-kenyangnya. Kami meninggalkan halaman
sekolah beriringan dengan senyum mengembang, aku nyaris menjerit ketika tanpa sengaja
menabrak satu sosok yang tengah menatap diam-diam, “Maaf, tidak sengaja ….” Aku
benar merasa bersalah telah menabrak orang tak bersalah. Orang itu Fransis,
yang kini menjadi kakak kelas.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar