Jumat, 01 November 2019

Bab III: MENGGAMBAR BINTANG --Kisah Seorang Anak Asmat--


BAB III
Pesta Perahu


Tanpa terasa waktu terus berpacu, seakan sekawanan kuda perang yang berderap mengepulkan lautan debu. Susah sungguh selama pendidikan dasar membuahkan hasil ketika akhirnya aku masuk sepuluh besar kemudian meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di tingkat SLTP, masih satu sekolah dengan Nurul, Mira, Sela, dan Ucok. Kami tak terpisahkan, kami selalu mengerjakan tugas bersama, mengikuti latihan menari bersama, serta bermain bersama. Bersahabat berarti menerima antara yang satu dengan yang lain. Libur kali ini Nurul dan Ucok pergi ke kampung mengunjungi keluarga. Aku, Mira, dan Sela dalam  kesibukan yang berbeda, setelah menyertai mama dan bapa ke bevak untuk memangur sagu dan menuai hasil alam. Hari ini kami satu kampung melebur dalam satu kegembiraan.
Kaum laki-laki dari kampung ini telah beramai-ramai mendayung perahu ke hutan dalam tata rias adat untuk menebang batang pohon, menempatkan pada halaman Jew, membentuknya sedemikian rupa hingga menjadi ci --perahu lesung. Ada empat perahu yang dikerjakan bersama-sama dalam waktu hampir dua minggu, mama-mama bergantian menghidangkan  jamuan adat, sagu bakar, ulat sagu, ikan, karaka, udang, kelapa muda. Tifa bergantian ditabuh oleh tua-tua adat yang berhak memukul alat musik ini, suaranya bergaung melambung ke batas langit, memanggil roh leluhur yang telah berpulang untuk hadir kembali pada kehidupan hari ini. Ketika tubuh perahu telah menampakkan bentuk yang sesungguhnya, api dinyalakan untuk mendatangkan asap. Asap mengeringkan seluruh tubuh perahu dan membuatnya seimbang tetap mengapung di atas permukaan air. Hari ini perahu itu telah selesai dikerjakan, dengan ukiran roh leluhur pada kepala, ekor serta dinding,  ci cesaipak –hiasan perahu adalah warna merah, hitam  dan putih serta janur kuning. Warna  merah disebut juga wasa, terbuat dari tanah merah melalui proses pembakaran sedemikian rupa hingga mendapat warna yang sesuai  kehendak. Warna putih disebut bii, terbuat dari pembakaran kulit kerang --siput yang ditumbuk-halus hingga menjadi bubuk putih. Sementara warna hitam –sosok atau jak, terbuat dari pembakaran gabah pelepah sagu atau sayatan  ranting kayu tertentu sesuai tradisi setempat. Warna merah mencerminkan ungkapan sikap keberanian dan rela berkorban dalam segala hal untuk mencapai suatu tujuan.  Warna hitam  berarti mengobarkan tantangan kepada pihak lain. Sebaliknya warna putih mencerminkan persahabatan, ketulusan, keihlasan, kedamain dengan pihak lain. Tiga warna dasar selalu hadir dalam riuh suasana pesta yang digelar untuk kebersamaan. Dengan tata rias tiga warna maka perahu menjadi kendaraan air yang indah dan menakjubkan, hanya yang berhak pula yang bisa mendapatkan.
Sesisi kampung kini berkumpul dalam pakaian adat, setiap kepala dihias bacin –bulu kus-kus yang dilengkapi pula dengan bulu burung pombo. Lengan-lengan kekar beorpit –laki-laki gagah tampak perkasa dengan hiasan gelang serta tulang kasuari. Setiap pinggang dilingkari awer –pakaian adat yang terbuat dari pucuk sagu menyerupai rumai-rumbai. Warna hitam, merah, dan putih digores secara dramatis pada permukaan wajah, kaki, dan tangan. Pesta perahu serta pesta-pesta yang lain --pemberkatan jew, pesta patung mbis, bahkan pesta setan, ketika istri-istri yang mengalami tindak kekerasan di dalam keluarga berhak menuntut balas kepada suami tanpa perlawanan. Adalah suatu kebersamaan untuk mengukuhkan setiap anggota puak sebagai bagian dari yang lain, pesta adat adalah  kegembiraan. Adapun jew merupakan rumah bersama tempat segala pesta  adat diselenggarakan.
Pada masa lampau jew --atau yang biasa disebut dengan rumah bujang adalah rumah bersama bagi seisi kampung untuk berlatih perang, membuat tombak, anak panah, serta kapak. Jew terlarang bagi perempuan yang tidak berkewajiban dalam peperangan atau pengayauan. Akan tetapi zaman berubah, perang serta pengayauan tak lagi dimaklumkan, kehadiran missionaris pada 4 Februari 1954 dalam rangka menyebarkan injil serta pemerintah daerah pada sekitar tahun 1963 dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan membawa kehidupan Suku Asmat menuju hari-hari yang  lebih baik tanpa  peperangan. Kini jew lebih bermanfaat sebagai rumah adat untuk membina kehidupan bersama baik laki-laki maupun perempuan, menyelenggarakan pesta adat, bahkan kunjungan-kunjungan dari Pemerintah Distrik. Hari ini jew menjadi pusat keramaian ketika seisi kampung berpesta bagi sebuah penghormatan.
Ketika suara tifa bergaung, melayang menuju biru langit, membelah udara, maka seluruh tubuh menari-nari di halaman jew. Suatu gerakan yang bersumber dari laku penghuni semesta dan alam raya, adalah gerakan ombak, kupu-kupu, kepak sayap burung atau lebah. Alam adalah sumber dari segala pikiran serta kreasi, aku ikut pula menari, menggerakkan seluruh tubuh mengikuti irama pukulan tifa. Tak jauh dari sampingku mama serta berpuluh mama yang lain, kami melambung dalam kegembiraan tiada tara. Kebersamaan dalam pesta perahu adalah kekuatan suatu puak yang tidak dimiliki puak yang lain.
“Tewerauta…. Ko pu kalung jatuh….” Tiba-tiba terdengar suara seorang biorpit, tangannya yang kekar mengulurkan kalung dari untaian kulit bia, kiranya kalungku terjatuh.
“Terima kasih….” Sekilas aku menatap wajah remaja itu, seorang dengan kulit kelam, rambut ikal, badan tegap seakan siaga pasukan tempur, serta tatapan mata yang dalam. Wajah itu tampil dengan senyum, wajah anak laki-laki pak guru, bernama Fransiskus, biasa dipanggil Fransis. Fransis hanya mengulurkan kalungku yang terjatuh, sekilas aku masih sempat melihat ia mencuri pandang sebelum bayangannya berkelebat menyatu dengan sekalian penari untuk bergoyang mengikuti irama pukulan tifa. Tak ada lagi kata terucap.
Ketika matahari beranjak tinggi, seluruh embun yang menggumpal pada ujung daun telah gugur kemudian menguap tanpa jejak. Tibalah saat perahu itu diberikan kepada yang berhak, ialah tua-tua adat, kepala perang atau kepala kampung. Aku melihat wajah bapa berbinar ketika dipikul beramai-ramai kemudian didudukkan ke dalam perahu. Selanjutnya tangan-tangan kekar dari seisi kampung memikul perahu itu beramai-ramai menuju ke tepi kali, sekilas bapa menatap ke arahku, tersenyum nakal kemudian melambai. Ia menikmati hari kemenangan sebagai orang terpandang di kampung ini yang layak mendapatkan penghormatan menerima perahu adat. Empat perahu yang dihias indah dengan masing-masing tua-tua adat di atasnya dipikul berurutan menjadi iring-iringan menuju ke tepi sungai. Aku, Mira, dan Sela mengikuti dari belakang, kami berjalan bergandeng tangan. Andai Ucok dan Nurul dapat hadir pula sebagai pemirsa dalam pesta kali ini, akan tetapi keduanya kini berada di ujung jauh.

Sampai di sungai perahu mengapung, bapa tetap duduk, sementara para pendayung berdiri mengerahkan tenaga hingga perahu berhias indah itu melaju dengan damai di atas permukaan air. Kami masih bergembira menikmati hari yang penuh kemuliaan hingga matahari beranjak tinggi, udara menyengat, bahkan menyebabkan kulit seakan melepuh. Aku kembali ke rumah, meninggalkan riuh rendah suasana, tiba-tiba aku ingin sendiri, berbaring di dalam bilik yang sempit.
Tidak seperti anak gadis lain yang tidak memiliki bilik, bapa membuatkanku bilik untuk tidur serta menyimpan barang-barang pribadi. Sementara gadis-gadis akan tidur bersama seluruh anggota keluarga dalam satu ruang tunggal dengan tungku api di tengah-tengah. Bila dalam satu rumah terdapat satu tungku, berarti hanya ada satu keluarga di rumah itu. Bila dalam satu rumah terdapat dua atau tiga tungku api, berarti dalam rumah itu tinggal dua atau tiga keluarga, dengan keseluruhan jumlah anggota belasan atau puluhan.
Aku hanya sesaat berbaring, karena terdengar mama sibuk bekerja di dapur, mencuci piring, membersihkan sesisi rumah kemudian mencuci pakaian kotor. Aku tak pernah tega membiarkan mama bekerja seorang diri, di hari libur ini aku membantu pula mencuci piring, menyapu lantai, membakar sagu dan ikan. Mama telah pandai pula memasak ikan kuah dengan aneka bumbu, bawang merah, bawang putih, tomat, kunyit, rica, garam, vetsin serta daun sere. Akan tetapi, rempah-rempah itu diperoleh dengan amat susah, karena harga yang mahal. Tanah rawa berlumpur tak dapat menghasilkan rempah-rempah sebagai penyedap masakan. Maka, kami lebih sering membakar ikan atau menggoreng bila mampu pula membeli minyak goreng.
“Tewerauta …. Bantu mama petik ricaooo….”  Mama ada pula membuat kebun, menanam rica –lombok rawit, jeruk wangi, singkong, keladi, kelapa, dan kemangi. Kami memiliki kebun yang dirawat mama dengan baik serta kolam untuk berjaga-jaga bila hujan tidak turun. Air kolam sama coklatnya dengan air sungai, tapi cukuplah sebagai air untuk menyiram tanaman bila dalam tiga minggu hujan tidak turun, udara terbakar. Air kolam cukup sebagai penyelamat.
Aku bergegas menuruni tangga untuk memetik rica –lombok di kebun, rica itu telah  bertumbuh dengan subur, hijau, kuning, orange serta merah. Kupetik pula daun kemangi yang menebarkan bau harum. Mama hendak memasak ikan kuah dan papeda –sagu dijerang dengan air mendidih, diaduk berubah menyerupai perekat. Amat lezat dikunyah dengan ikan kuah kuning. Rupanya hari ini istimewa, karena bapa mendapatkan kehormatan pesta perahu di lingkungan kampung. Mama dapat pula menyediakan pula papeda serta ikan kuah dari api tungku. Aku membantu mama memasak ikan serta papeda, membersihkan dan memotong ikan, mengiris rempah-rempah. Ketika ikan kuah dan papeda sudah siap, bapa tampak di depan pintu, ia baru saja selesai merayakan hari kemenangan. Beberapa orang mengekor di belakang, maka ramailah rumah panggung ini dengan pesta kecil hingga seluruh papeda serta ikan kuah licin tandas tanpa sisa. Makan bersama selalu menyenangkan, ketika satu sama lain terikat benang halus kebersamaan, tak terpisahkan.
Aku membantu mama membersihkan perlengkapan makan, hingga kurasakan kemarahan kembali membakar, ketika dengan kasar Marius melempar mangkuk plastik serta sendok ke arahku yang tengah bersusah payah mencuci piring kotor. “Cuci yang bersih ….” Marius bersikap seolah-olah ia adalah seorang juragan yang  berwenang penuh memerintah tukang.
“Ko cuci sendiri….” Kulempar kembali mangkuk kotor itu ke arah Marius, tetapi jahanam itu telah pergi. Sejak kejadian itu aku tahu, bahwa aku tak akan dapat berdamai dengan Marius, aku tak hendak melawan atau memulai pertikaian dengan kata-kata, maka kuputuskan diam. Kuanggap ia tak pernah ada --tak pernah ada. 
Keesokan harinya sebelum matahari benar beranjak tinggi, aku menyertai mama dan bapa mendayung perahu baru peri ke bevak. Kembali kurasakan suka cita di tengah kesunyian alam setelah hari-hari sekolah yang panjang. Suatu kebanggaan  memiliki perahu baru yang dihias indah atas persembahan satu kampung. Dua tepi Sungai Fambrep selalu ramah menyambut kehadiran sekalian pendayung, hijau daun masih serupa, seakan disepuh warna emas saat sinar matahari berpijar dari langit sebelah timur. Sinar yang menghalau kabut embun, menyibak redup suasana. Suara satwa liar bersahut-sahutan membelah hening, membawa khayalan ke tempat yang sangat jauh, tempat yang tak dapat dirusak oleh kenakalan Marius atau Hengki. Sungguh suatu hal yang nyaman kedua  orang itu tak ikut serta. Seakan  menjadi anak tunggal hanya bertiga dengan orang tua, tanpa kehadiran dua orang yang terlalu sering  berbuat semaunya. Pun air sungai mericik lembut seakan nyanyian pengantar tidur, aku selalu merindukan sudut sungai ini dan akan selalu merindukan.
Kami tak berlama-lama di bevak, hanya semalam untuk memetik hasil kebun, satu noken sagu serta seonggok kayu bakar. Bapa ada pertemuan di kantor distrik, ia tak dapat lama-lama meninggalkan kampung.  Kami kembali mendayung perahu yang sama menjelang senja saat matahari berubah menjadi bola raksasa merah tembaga yang terhuyung dari ketinggian angkasa bersiap menghilang di dasar samudera. Sungai Fambrep sama ramahnya dengan suasana pagi  hari, seakan aku tak hendak meninggalkan tempat yang hijau ini dan berniat menetap selamanya. Sejenak bapa dan mama menghentikan dayung untuk sejenak menghela napas ketika tiba-tiba dari arah yang sama terdengar suara.
“Tewerauta…. Ada punya airkah?” Suara Francis mengejutkanku, kiranya ia baru pulang menjaring dan kehabisan air, ia berada dalam perahu berbeda bersama keluarga.
“Ada sedikit ini….” Kuulurkan air hujan dalam botol aqua tanpa sepatah kata. Tak pernah kuperhatikan raut wajahnya.
“Terima kasih….” Fransis langsung menenggak air itu seolah ia telah puasa satu hari satu malam lamanya.
Senja makin surut menjadi temaram, sesaat akan segera berubah  menjadi gelap, kami harus bergegas kembali ke rumah sebelum malam benar turun, langit hitam membentang tanpa garis tepi. Sewaktu-waktu hujan dapat pula turun, karena tiba-tiba angin berhembus kencang, hijau dedaunan seakan risau. Fransis membantuku memikul setandan pisang hingga sampai di rumah, rumah kami tak benar berjauhan. Aku tak pernah mengucap terima  kasih untuk itu, seakan tak ada celah waktu.

                                                                ***
Hari sekolah pertama di SMP akhirnya tiba, mama bersusah payah membelikanku seragam biru putih serta sepatu kets dan tas punggung, dengan satu harapan kelak aku akan menjadi ibu guru. Bangun pagi, bersiap diri sudah menjadi kebiasaan, aku tak ragu lagi. Kutinggalkan rumah panggung dengan langkah pasti, aku akan berjumpa dengan teman-teman baru, pengalaman baru serta segala harap. “Magda….!” Suara Nurul nyaris menjerit, seolah telah seribu tahun kami berpisah.
“Nurul ….” Kami berpelukan, libur panjang terlalu lama memisahkan hingga perjumpaan di hari pertama.
“Kita satu kelas ….” Nurul tak dapat menyembunyikan kegembiraan.
“Mana Mira, Sela, dan Ucok?” kucari-cari bayangan mereka, hingga terdengar jeritan di belakangku.
“Magda ….” Suara Ucok tiba-tiba berubah menjadi seorang dewasa.
“Hai Mira…. Sela….” Kami berangkulan, tertawa tergelak. Sungguh menyenangkan memulai hari baru bersama sahabat. Aku, Ucok, dan Nurul satu kelas, tetapi Mira dan Sela di  kelas lain. Akan tetapi, kami tetap seia dan sehati. Kami tak berlama-lama tergelak karena masa orientasi segera berlangsung, sebagai siswa baru kami harus mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah yang baru, dewan guru, tata tertib serta kawan-kawan yang baru.
Hari berikut kami seluruh siswa berkumpul di aula duduk di lantai, ada penyuluhan HIV/AIDS. Apakah HIV/AIDS? Aku tak tahu, kecuali harus mengikuti penyuluhan ini sampai selesai. Sesisi aula terdiam ketika seorang dokter bersama satu staf berdiri di depan aula dengan meyakinkan membagikan brosur berisi sebab-sebab, bahaya serta cara menghindari HIV/AIDS. Ketika di depan layar tampil gambar gambar penderita HIV/AIDS, adalah sosok yang kurus kering, nyaris seonggok tulang belulang, dengan luka tak tersembuhkan, tatapan mata kosong seakan jenazah. Satu aula nyaris menjerit, bergidik ngeri.
“Ada yang mau seperti ini?” ibu dokter bertanya.
“Tidaaakkk….!!” Terdengar koor dari seisi aula.
“HIV/AIDS berasal dari Afrika, satu benua yang sangat jauh dari Papua pada tahun 1982, satu tahun kemudian penyakit ini sudah ditemukan di Denpasar, Bali pada wisatawan asing. Tahun 1992 sampai di Merauke pada wanita penghibur serta nelayan Thailand. Tahun 1996, tepat pada satu Desember, hari AIDS sedunia, seorang pelajar di Asmat meninggal, karena HIV. Sementara belum ada bukti fisik yang menyatakan berapa jumlah penderita HIV di Wilayah Asmat. Akan tetapi, sedini mungkin kita harus mencegah dengan tidak berganti-ganti pasangan. Kita semua sudah tahu, bahwa penyebab utama penyebaran HIV/AIDS di Papua adalah dengan berganti-ganti pasangan. Akan tetapi, manusia tidak jera. Mengapa?”  
Diam.
Beberapa saat suasana hening, hingga ibu dokter kembali bertanya, “Ada yang bisa menjawab, HIV/AIDS menyebar, karena berganti-ganti pasangan, manusia tahu akan hal ini, tetapi tidak bisa menghentikan. Mengapa?” tatapan jeli ibu dokter menyapu seisi ruangan seolah ingin menjenguk isi hati terdalam seluruh siswa.
“Enak sih ….” Terdengar jawaban singkat yang menyebabkan seisi ruangan tergelak dan ibu dokter tersenyum lebar.
“Berganti-ganti pasangan seringkali menimbulkan perasaan sensational. Enak sih…. Akan tetapi ingat, bahwa akibat yang harus ditanggung mengerikan, kematian. Tidak ada obat HIV/AIDS sampai saat ini. HIV/AIDS adalah penyakit yang berhubungan dengan perilaku, bila dari masa puber, masa SMP sudah terbiasa berganti-ganti pasangan tanpa ada teguran. Maka perilaku tersebut akan terus terbawa hingga dewasa. Ada yang senang berganti-ganti pasangan, kecil-kecil sudah pacar-pacaran? Atau pelajar SMP di sekolah, tetapi di rumah sudah punya istri?” ibu dokter kembali menatap seisi aula.
Seisi ruangan kembali diam, masing-masing siswa seakan menatap diri pribadi, apa yang pernah terjadi selama kurun waktu yang cukup panjang ini? Diam-diam darahku tersirap, dihadapkan pada hal baru yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi seluruh hidup. Pergi ke sekolah kiranya berperanan menguak misteri kehidupan, dari tidak tahu menjadi tahu. Betapa penting pengetahuan.
“Ada yang suka memukul saudara perempuan atau siswi di sekolah?” bu dokter masih terus bertanya, sepasang mata itu menggambarkan kecerdasan yang luar biasa. Seakan tahu benar segala yang terjadi sehari-hari pada sisi kehidupan, meski baru hari ini pertemuan.
Beberapa siswa menunjuk pada seorang siswa berbadan besar yang duduk pada deretan paling depan, sehingga siswa itu tertunduk. “Saat ini adalah era kesetaraan gender, era  ketika seorang dibedakan bukan, karena laki-laki atau perempuan, tetapi kemampuan berprestasi dan bersikap baik. Hentikan kekerasan terhadap perempuan, hentikan budaya patriakhal. Budaya yang menempatkan laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek, sehingga mudah menjadi korban kekerasan. Termasuk kekerasan psikis yang berujung kematian, tertular HIV/AIDS dari pihak suami. Perempuan adalah kelompok pasif yang dapat tertular HIV/AIDS dari pasangan hidup, seorang ibu tidak pernah berganti-ganti pasangan, akan tetapi karena sang suami telah terbiasa berganti-ganti pasangan sejak remaja. Telah memiliki karakter yang tidak adil, maka seorang istri dapat tertular, setiap tahun sekitar satu jiwa melayang, karena HIV. Ada yang mau menyusul?”
“Tidaaaak…..!”
“Ada yang mau bertanya?”
“Mengapa penyuluhan diberikan kepada pelajar?” seorang siswi bertanya.
“Pertanyaan yang baik sekali. Pelajar adalah mutiara hati bangsa ini, calon bapak dan ibu, adalah generasi yang akan meneruskan kerja keras suatu bangsa menuju masyarakat sejahtera. Para pelajar adalah calon pemimpin bangsa, pemimpin yang adil dan bijaksana serta mampu memahami bahaya HIV/AIDS sedini mungkin. AIDS kartu mati. Setiap orang berharap akan usia yang panjang, perjalanan hidup yang jauh hingga hari tua. Maka sejak usia belia ibu dokter menyarankan untuk tidak berganti-ganti pasangan, menikah setelah selesai sekolah, memiliki pekerjaan dan mampu bertanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga. Untuk siswi-siswi khususnya, tak ada pihak lain yang lebih berperan dalam rangka menuju kesetaraan gender, kecuali siswi itu sendiri ….”
Kutatap lekat-lekat wajah cantik ibu dokter yang tidak pernah ragu dengan setiap kata serta ucapan, tak kulewatkan penyuluhan ini. Satu pertemuan yang berakibat amat dalam terhadap pola berpikir dan menentukan sikap. Saat aku berpaling dari wajah cantik seorang dokter, menoleh ke arah lain, tampak Fransis tengah berbalik menatapku. Aku tak tahu arti di balik tatapan itu, dan aku tak perlu untuk tahu.
Penyuluhan berlangsung hampir dua jam. Akan tetapi dua jam itu telah mampu mengawali tahun-tahun panjang yang harus kutempuh dengan sungguh-sungguh. Aku tahu, mengapa Marius dan Hengki suka menyerangku, ia menganggap diri subyek, dan aku anak perempuan hanya obyek yang dapat diperlakukan sesuka hati, karena kami terjebak dalam budaya patriakhal. Suatu budaya yang akan membenamkan seorang perempuan selamanya, kecuali perempuan bersangkutan membebaskan diri dengan kemampuan berprestasi dan bersikap baik. Aku, Teweraut tak akan pernah terjebak, terlebih terbenam untuk selamanya.
Hari-hari aktif sekolah menjadi utama, aku hanya mengikuti mama dan bapa ke bevak pada hari libur tanpa ada sedikitpun keinginan untuk membolos. Kini aku mengerti, mengapa mama berkeras mendudukkan tubuhku yang kecil di bangku sekolah, satu tahun tak lelah menuntun ke sekolah, setelah aku membolos pada hari kemarin. Pendidikan adalah proses panjang berjenjang yang akan mengubah takdir hidup manusia, belajar membuka cakrawala pengetahuan, yang dilegalisasi dengan sehelai ijazah. Tanpa kemampuan untuk tekun sebagai pelajar dan harapan akan esok yang lebih Marius dan Hengki akan terus berbuat aniaya atas nama saudara, atas nama gender, karena mereka laki-laki dan saya adalah perempuan.
Adapun waktu terus berpacu, seakan anak panah terlepas dari gendewa yang terentang, tak dapat dihentikan. Suatu perubahan mendasar terjadi di Wilayah Asmat, perubahan yang akan membawa kehidupan masyarakat di tempat ini menjadi lebih baik. Setelah melalui tahun-tahun panjang dan sulit, harapan yang nyaris kandas. Kini harapan ini muncul sebagai berkas cahaya yang semakin terang –semakin terang. Akan tetapi, patutlah aku menengok  kembali sejarah Asmat berpuluh tahun ke belakang.

                                                                            ***

Syahdan, tersebutlah seorang beorpit --pemuda gagah perkasa--  bernama Fumiripits yang menetap seorang diri dalam suatu rumah tinggal di tengah hutan.  Suatu hari Fumiripits melakukan perjalanan ke hilir sungai menuju muara Sungai Sirets. Di muara sungai pemuda itu bertemu dengan sekelompok gadis yang semuanya berparas cantik. Fumiripits jatuh cinta kepada salah seorang gadis yang cantik rupawan itu, demikian pula  sang gadis rupawan tersebut. Sang gadis pun memutuskan membungkus Fumiripis dengan selembar tikar daun dan membaringkanya di dalam perahu lesung agar dapat menyembunyikan dari pandangan saudara perempuan yang lain .
 Dalam perjalanan pulang melewati Sungai Sirets ombak mulai mengguncang,  semakin lama semakin kencang. Tak ayal lagi, Fumiripits terjatuh ke sungai dalam keadaan terbungkus tikar daun, terhanyut ke laut dan terdampar di tepi Sungai Momats. Fumiripits amat kesakitan hingga ia tak dapat lagi merasakan apa-apa, ia meregang nyawa dan akhirnya meninggal. Tak lama kemudian datanglah sekawan burung, mendapatkan Fumiripits dalam keadaan terkapar. Kawanan burung itu akhirnya meminta bantuan kepada Kidukunmsi --burung elang ajaib yang dapat menghidupkan kembali Fumiripits, sehingga sang Beorpit  mendapatkan kembali kehidupan, tetapi ia terpisah dengan gadis yang dicintainya.
Fumiripits membangun rumah panjang sebagai tempat tinggal, tetapi ia tetap marasa kesepian. Dalam kesendirianya Fumiripits berkeinginan untuk mengukir patung dari kayu. Ia pun menebang pohon, memotongnya, dan mulai membentuk kepala, badan, tangan, dan kaki sehingga ujud itu betul menyerupai manusia. Di antara patung-patung itu ada yang menyerupai laki-laki dan ada pula yang menyerupai perempuan. Patung-patung itu sangat halus dan indah, Fumiripits mengatur patung-patung tadi di sekeliling rumahnya ia merasa sangat senang dan bangga dengan hasil ciptaanya. Akan tetapi patung tetapalah benda mati tidak bisa bergerak atau bicara.
Fumiripits akhirnya membuat tifa, ia menebang sebatang pohon dan melubangi bagian tengahnya. Fumiripits menangkap pula seekor kadal, mengupas kulitnya, kemudian menutup salah satu bagian lubang kayu itu dengan kulit kadal dan mengikatnya dengan rotan yang telah dilumuri dengan darahnya sendiri serta limau putih. Setelah tifa itu jadi, ia pun menabuhnya. Suara tifa yang merdu membuat patung tersentak, patung-patung itu mulai bergerak dan menyentak-nyentak mengikuti irama pukulan tifa. Ketika Fumiripits mempercepat irama tabuhannya, maka gerak patung-patung itu semakin cepat dan lincah. Akhirnya patung-patung itu bernapas dan hidup selayaknya manusia. Mereka adalah orang-orang pertama yang mengawali kehidupan di Asmat. 
Legenda Fumiripits adalah mitos yang dapat menguak asal mula keberadaan Suku Asmat lengkap dengan keahliannya mengukir untuk hadir pada alam kehidupan sebelum bersentuhan secara langsung maupun tidak langsung dengan dunia luar. Jauh hari ke depan setelah patung-patung yang diukir Sang Legenda bernapas kemudian bergerak dan menari-nari mengikuti irama pukulan tifa, maka Suku Asmat bertahan hidup dengan menggantungkan diri terhadap  kekayaan hutan dan laut. Mengayau adalah suatu ritual untuk mempertahankan diri terhadap intervensi dari kelompok etnis di seputarnya. Menurut catatan Verlag (2002: 49), kontak pertama Suku Asmat secara sporadic dengan dunia luar terjadi pada awal abad ke-17. Tanggal 12 Juli 1607, Win Vaes de Torres dari kapal San Pedro menulis sepucuk surat untuk Raja Spanyol yang mengabarkan eksplorasinya di pantai selatan New Guinea dan menyatakan bahwa kawasan itu menjadi milik Raja Spanyol. Suratnya lebih lanjut menggambarkan wajah orang asing yang pertama dijumpainya sebagai orang-orang hitam yang berbeda dari orang-orang lain, yang berhias lebih bagus, menggunakan anak panah dan perisai besar, serta beberapa cabang bambu berisi kapur yang membutakan musuh bila mereka melemparnya.
Pada 12 Oktober 1770 Kapten James Cook dan awak kapalnya menyatakan bertemu dengan orang Asmat. Mereka berlabuh di Pirimapun dan menyebut tempat termaksud sebagai Teluk Cook. Kurang dari satu abad kemudian, tepatnya pada tahun 1828 Pemerintah Belanda menghaki Pantai Barat Daya New Guinea, kemudian menghaki pantai utara pulau atas nama Sultan Tidore pada tahun 1848. Selama awal tahun 1900-an Pemerintah Belanda mengirim ekspedisi ke New Guinea untuk menentukan batas-batas tanah yang telah mereka haki sebelumnya. Kontak sporadis ini tidak memberikan pengaruh apa pun bagi kehidupan Suku Asmat.
Mansoeben (1995: 128 – 130) mengemukakan kronologis kontak orang Asmat dengan dunia luar yang dimulai pada tahun 1904. Kontak itu terjadi, karena ekspedisi-ekpspedisi yang dilakukan orang Eropa di wilayah Pasifik. Ekspedisi berikutnya terjadi pada tahun 1907, 1909-1910 dan 1912 -1913. Ekspedisi pertama pertama dan kedua dipimpin Lorentz dan terakhir Franssen Herderschee. Dua ekspedisi berikutnya terjadipada tahun 1922 dan 1923, keseluruhan ekspedisi tersebut adalah dalam rangka ekspedisi ilmiah. Kunjungan lain berasal dari pihak Pemerintah Belanda yang terjadi pada tahun 1904 disusul kunjungan-kunjungan berikut.
Tahun 1936 Pemerintah Belanda membangun Pos Pemerintahan untuk kepentingan keamanan. Felix Maturbongs diangkat menjadi Bestir Assistant di Agats untuk masa tugas 1938 – 1943 kemudian mendatangkan tukang-tukang dari Kei untuk membangun Kompleks Pos Pemerintahan di Agats. Orang Asmat Pos Pemerintahan itu disebut Akat --yang berarti “baik” atau “ bagus”. Lidah orang Belanda ternyata sulit untuk mengatakan “Akat”, yang terucap ialah “Agats”, maka daerah sekitar Pos Pemerintahan hingga kini disebut dengan Agats. Selanjutnya Agats menjadi nama ibu kota wilayah Asmat.
Pada tahun yang sama dengan tahun pembangunan Pos Pemerintahan --1936, P. Herman Tillemans, MSC mengunjungi daerah Asmat bagian utara dengan perahu dayung dari Pusat Misi MSC di Mimika dalam rangka pewartaan Injil. Tahun 1938 P. Hendrikus Cornelisse, MSC mengunjungi Asmat dari Langgur, Kei, dari kunjungan itu dua gereja dibangun di Syuru dan Ayam. Tahun 1943 tentara Jepang memasuki daerah Mimika. Bestir Felix Maturbongs mendapat telegram dari Resident Merauke supaya penduduk Agats segera diungsikan ke Merauke dan Pos Pemerintahan Agats dimusnahkan. Pada tanggal 26 Januari 1943 Bestir dan semua pendatang di Agats berangkat ke Merauke dengan menumpang KM. Herman, sementara semua bangunan Pos Pemerintahan Agats telah hangus dibakar. Sampai pada tahun ini segala upaya pewartaan dan pembangunan di wilayah Asmat terhenti, Perang Dunia ke II yang terus berkecamuk tak memungkinkan adanya upaya termaksud.
Pada kurun waktu termaksud Suku Asmat terikat pada kepercayaan, bahwa alam semesta dihuni oleh roh serta makhluk halus, yang semuanya disebut dengan setan dan digolongkan ke dalam dua kategori : Pertama, Osbopan,  setan yang membahayakan hidup, ialah  setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana. Kedua, Setan yang tidak membahayakan hidup, nyawa dan jiwa seseorang, hanya  menakut-nakuti dan mengganggu. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya, yang berasal dari roh nenek moyang dan disebut yi-ow.
Suku Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang menyebabkan setiap orang terlarang melakukan melakukan hal-hal tertentu, tabu. Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan sagu, penangkapan ikan, dan pemburuan binatang. Kekuatan magis  dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan. Kepercayaan akan kekuatan gaib dan roh halus termanifestasi dalam ritus yang berlangsung sehari-hari menjadi adat isti adat.
Tahun 1950 ketika situasi kembali damai Pastor  Gerald Zegwaard, MSC mengunjungi Asmat dan berusaha memulangkan kembali penduduk Asmat yang semula mengungsi ke Kamoro. Pastor Zegwaard menempatkan lima orang Katekis di Kampung Ao, Kapi, As-Atat, dan Nakai yang sekarang berkembang menjadi Paroki Yamas. Tahun 1951, dr. Fisher, seorang tenaga medis dari WHO bertandang ke Asmat an diterima  masyarakat dengan baik. Wabah frambusia menyebar, pengobatan yang dilakukan dr. Fisher menyebabkan kehadiran dokter termaksud memberikan sumbangan positif bagi kesehatan masyarakat. Pada Januari 1953 Pastor Zegwaard , MSC mulai menetap di Agats dan pada  4 Februari 1953 orang Asmat pertama --seorang ibu dibabtis.
Satu tahun kemudian, pada 1954 Indonesia sudah mengusahakan upaya diplomatik untuk mendapatkan Papua --Irian-- dalam Konferensi Meja Bundar. Akan tetapi perundingan diplomatik tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1956 Pemerintah Belanda menolak menyerahkan Irian kepada Indonesia. Enam tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 1962 perundingan mencapai titik terang, karena keterlibatan Amerika Serikat dengan John F. Kennedy sebagai presiden. Belanda menyerahkan Irian kepada pemerintah sementara PBB pada tanggal 1 Oktober 1962, selanjutnya pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.
Sejak saat itu maka wilayah Asmat dipimpin oleh seorang KPS –Kepala Pejabat Setempat—setara dengan kedudukan Kepala Distrik saat ini. Kehadiran missionaries serta jajaran pemerintah, meski berusia sangat muda perlahan-lahan mulai mengubah kehidupan masyarakat dari system berperang menjadi kehidupan yang lebih damai, praktis adat mengayau perlahan memudar kemudian hilang sama sekali. Akan tetapi system kepercayaan yang mendasar akan relasi dengan roh leluhur tetap bertahan dan menjadi dasar dari perilaku masyarakat, terutama dalam hal seni ukir.
Kemasyuran seni ukir Asmat merupakan salah satu faktor yang mengundang kehadiran pendatang dari segala pihak untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di wilayah ini. Sosok-sosok manusia yang berdikasi bermunculan, termasuk satu sosok tokoh pejuang  pendidikan di wilayah Asmat yang diabadikan dalam bentuk monumen untuk mengenang kerja`keras yang telah tersurat pada catatan sejarah. Pada Tanggal 17 Agustus 1951 Pastor Yan Smith  masuk Orde Salib Suci, Pada Tanggal 25 Juli 1957  ditahbiskan menjadi imam, tahun 1958-1959 Pastor Yan Smit pergi ke Amerika Serikat untuk mengambil studi theologi di Fort Wayne dan Hastings. Tanggal 24 Oktober 1959 Pastor Yan Smit tiba di Asmat. Lima tahun lebih setelah kerja keras memulai sebuah proses pendidikan bagi anak-anak Asmat, terjadi konflik dengan KPS --Kepala Pejabat Setempat dan berakhir dengan tragis. Tanggal 28 Januari 1965 bertempat tak jauh dari ikon pastor didirikan, perselisihan terjadi KPS mengacungkan senjata ke arah Pastor Yan Smtih, menarik pelatuknya, pada tembakan pertama pastor masih berdiri, demikian pula pada tembakan kedua. Pada tembakan ketiga Pastor Yan Smith  roboh berlumuran darah,  dan tak pernah bangkit lagi. Pastor Yan Smith berpulang dengan memilukan   pada usia 34 Tahun, status waktu itu  sebagai Pastor Paroki Yamas-Yeni dan  Pemilik Sekolah  Daerah untuk seluruh Persekolahan Khatolik di wilayah Asmat.
Pada hari kematian itu muncul mitos, beberapa detik sebelum tembakan menyalak, sukma terlepas dari badan, Pastor Yan Smith sempat berucap, “Bila badanku rusak, maka tanah di tempat ini akan rusak pula”. Hujan turun teramat deras tercurah dari langit selama berhari-hari, setelah penembakan itu, seakan menangisi kematian seorang pengabdi kemanusiaan, nyawa manusia tak berdosa yang direnggut dengan semena-mena. Bertepatan dengan kejadian tragis penembakan seorang pastor, maka wilayah Asmat semakin dikenal oleh kalangan luas. Para pendatang perlahan-lahan hadir untuk menetap di wilayah Asmat, membangun situs ekonomi. Kebutuhan akan kayu sebagai prasarana tempat tinggal, jembatan, perahu, dan kayu bakar terus meningkat tak terbilang. Pohon-pohon yang menjulang di seputar Agats ditebang dan terus ditebang. Air laut pasang sepajang tahun, maka erosi mulai terjadi tak bisa dihentikan dari waktu ke waktu. Agats yang semula berupa daratan tanah gambut akhirnya hancur menjadi tanah rawa yang tak bisa lagi dipijak. Kerusakan tanah di kota Agats, seakan membenarkan ucapan Pastor Yan Smtih, sebelum ia roboh berlumuran darah, “Bila badanku rusak, maka tanah di tempat ini akan rusak”.
Sementara Suku Asmat tetap bertahan hidup dengan strategi berburu dan meramu serta keahlian mengukir, kontak sporadis serta kontak yang berkelanjutan terus terjadi, maka perubahan terus bergulir. Kehadiran missionaris serta pemerintah mendorong fasilitas social termasuk klinik dan sekolah dibangun. Kesehatan dan pendidikan merupakan proses utama yang harus dilampaui sebagai pembangunan sumber daya manusia. Tahun 1983 kantor Pembantu Bupati didirikan dengan seluruh perangkat kerja di dalamnya, sebagai rencana pemula untuk memekarkan wilayah Asmat menjadi Kabupaten. Puskesmas Agats dengan fasilitas rawat inap didirikan sebagai sarana pengobatan masyarakat. Saat itu wilayah Asmat terbagi menjadi tujuh kecamatan, ialah Agats sebagai ibu kota wilayah Asmat, Sawa Erma, Akat, Atsj, Suator, Fayit, dan Pantai Kasuari. Satu orang dokter ditempatkan di Puskesmas Agats sebagai kepala sekaligus membawahi enam distrik yang lain.
Dua dekade setelah pendirian Kantor Pembantu Bupati Asmat, berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahokimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Boven Digul, Kabupaten Mapi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Teluk Wondama. Maka wilayah Asmat memasuki babak sejarah baru dalam rangka pembangunan wilayah dalam tatanan pemerintah kabupaten. Tanggal 12 April 2003, 12 Pejabat Bupati Kabupaten Pemekaran di seluruh Provinsi Papua dilantik di Jayapura. Sabtu, 31 Mei 2003 Bupati Merauke, John Gluba Gebze didampingi Wakil Bupati, Benyamin Simatupang dan seluruh jajaran pejabat daerah serta masyarakat Merauke menyelenggarakan upacara adat, secara simbolis pejabat bupati diserahkan kepada masyarakat yang akan dipimpinnya. Drs. David Tuok diserahkan kepada masyarakat Boven Digul, Muyu, dan Mandobo. Drs. John Rumlus diserahkan kepada masyarakat Mapi, dan Drs. Yosef Wiro Watken diserahkan kepada masyarakat Asmat.
Pemekaran Kabupaten Asmat dengan perlahan namun pasti memberikan arah perubahan dalam kehidupan masyarakat dalam satu dekade terakhir. Distrik dimekarkan dari tujuh, menjadi sepuluh, dan akhirnya menjadi sembilan belas, bahkan 23 distrik. Telkomsel berdiri, penduduk meledak di wilayah kota dari sekitar 6.000 jiwa menjadi lebih 20.000 jiwa. Wilayah kota mengalami pemekaran, sehingga berjalan kaki menjadi suatu hal berat dalam rangka mobilitas di wilayah kota. Muncul sepeda mini, sepeda federal, dan akhirnya motor listrik sebagai sarana mobilitas utama di dalam kota. Jalan komposit dibangun sebagai prasarana jalan raya yang solid di dalam kota, lampu mercuri menyala di malam hari.
Aku, Teweraut hanya menjadi bagian kecil dari segala perubahan itu. Demikian pula ketika aneka warna bendera partai politik mulai berkibar di sepanjang jalan. Aku tak sepenuhnya tahu arti perubahan itu, suatu saat aku akan tahu.
Hari ini kami pulang sekolah bersama-sama, Nurul merayakan ulang tahun ke-13, ia bermaksud menyelenggarkan syukuran, acara makan siang. Suatu hal yang menyenangkan, Nurul punya mama pandai memasak, ia pasti telah menyediakan hidangan yang lezat di atas meja. Kami akan melahap sekenyang-kenyangnya. Kami meninggalkan halaman sekolah beriringan dengan senyum mengembang, aku nyaris menjerit ketika tanpa sengaja menabrak satu sosok yang tengah menatap diam-diam, “Maaf, tidak sengaja ….” Aku benar merasa bersalah telah menabrak orang tak bersalah. Orang itu Fransis, yang kini menjadi kakak kelas. 

                                                                           ***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...