Syahdan, Raja
Brihadratha memerintah Kerajaan Magadha yang masyur, disertai pasukan tempur yang terkenal gagah berani.
Sang Raja menikah dengan putri kembar Raja Kasi dan bersumpah untuk selalu
berlaku adil. Lama setelah perkawinan berlangsung kedua permaisuri tak juga
melahirkan seorang putera, hingga usia beranjak senja dan menjadi tua. Pada
saatnya Raja Brihadratha menyerahka tahta kepada para menteri, mengakhiri
kehidupan sebagai raja, pergi ke hutan didampingi dua istri untuk bertapa.
Sebelum sampai di
pertapaan sang raja terlebih dahulu singgah bertemu dengan Resi Kausika,
keturunan Gautama, berkeluh kesah,
karena sedih hati. “Yang mulia Resi, telah tua usia perkawinan ini, akan
tetapi dua orang istri belum juga melahirkan seorang putra. Kerajaan telah
kuberikan kepada para menteri. Adakah sebuah cara?” suara Brihadratha lemah,
kerinduan seorang putra benar-benar menyiksa.
Sejenak suasana
hening, sang resi yang telah lanjut usia memahami benar kerinduan ini, sejenak
ia menghela napas sebelum akhirnya berucap. Saat sebutir manga tiba-tiba jatuh di pangkuannya Resi
Kausika segera mengerti, “Berikan manga ini kepada dua orang istrimu, semoga
permohonan itu dikabulkan ….”
Raja Brihadratha
kembali memiliki harapan, ia yakin akan kesaktian seorang resi. Ia membelah
butir manga itu menjadi dua kemudian membagi adil kepada kedua istri. Selang
beberapa waktu kedua istri Brihadratha mengandung, melahirkan pula sembilan
bulan kemudian. Semula harapan itu melambung tinggi, akan tetapi segera
hancur berserakan. Masing-masing istri
bukan melahirkan seorang bayi yang sehat serta menjadi seluruh tumpuan. Adalah mahluk
menyeramkan dengan satu kaki, satu telinga, setengah badan, setengah muka, dan
setengah kepala. Satu kehadiran mahluk yang tidak pernah diharapkan dalam mimpi
sekalipun.
“Bungkus kedua bayi
itu dengan helai kain, buang jauh-jauh. Aku tak memiliki anak seram seperti
itu”, lidah Brihadratha terasa getir, setelah menunggu hingga usia tua, yang
hadir bukanlah bayi mungil yang lembut dan
manis, namun sosok menakutkan. Mampukah ia bertatapan dengan hantu
hingga maut menjemput?
Kedua orang istri
Brihadratha memenuhi perintah itu, membungkus kedua bayi malang dengan sehelai
kain kemudian melangkah ke pinggir kota. Langkah itu tertatih dan mengambang,
adakah seorang ibu yang rela membuang bayi, seburuk apa pun penampilannya?
Masing-masing tangan itu gemetar ketika
membuang mahluk tak bersalah ke dalam tumpukan sampah. Tak ada pilihan lain,
perasaan seorang ibu harus mati, atau ia harus membesarkan mahluk yang
menyeramkan?
Saat sendyakala
hadir dalam cahaya kuning keemasan, seorang raksasa perempuan melintas di
seputar gundukan sampah, hidungnya yang tajam
mencium bau manusia. Tangan
raksasa itu mengaduk-ngaduk gundukan sampah kemudian kemudian menemukan dua
bungkusan kain yang berisi potongan manusia. Sepasang matanya yang tajam terus
mengamati kemudian ia menyambung potongan tubuh itu hingga menjadi seorang bayi
manusia yang utuh. Tak lama ketika mahluk kecil itu berdenyut memberikan tanda
kehidupan, wajah sang raksasa tampak berseri. Ia tahu kemana langkah membawa
bayi tak bersalah itu.
Brihadratha tak
mengenal seorang perempuan tua, yang sesungguhnya adalah raksasa yang tengah
menyamar, ia menerima kehadiran itu dengan tangan terbuika. “Bayi ini putra
tuanku, terimalah dan rawatlah sepenuh hati”, tangan perempuan tua itu terulur.
Dadanya terasa lapang ketika bayi di tangan itu diterima dengan sepenuh hati.
Kali ini Brihadratha
beserta kedua orang istri berhak merasa bahagia, bertiga tidak merasa perlu bertanya dan waspada.
Bukankah ketiganya tengah menunggu
kehadiran seorang bayi yang akan menjadi
segala tumpahan kasih saying sekaligus
harapan. Penantian akan kehadiran
seorang anak berakhir pada hari ini, ketiganya memberi nama bayi itu
Jarasandha. Seorang anak yang beruntung, karena dibesarkan dengan segala
perhatian, bertumbuh dewasa dalam pembinaan dan harapan, sehingga dewasa
sebagai pemudaa gagah perkasa, sakti mandraguna.
Jarasandha akhirnya
bertahta sebagai raja yang berkuasa, kuat, dan semena-mena.
***
Adapun Pandawa
meneruskan pembangunan Indraprastha setelah peletakan batu pertama, mereka
menerima segala hak selaku putra seorang raja dengan segala tanggung jawab yang
harus dipikul dalam mengembangkan kerajaan. Kurawa telah berada dalam jarak
yang sungguh jauh, akan tetapi, benarkah api kesumat dendam itu telah padam?
Kelima Pandawa tak kehilangan waspada.
Segala hal yang
berkaitan dengan usulan para penasehat layak kiranya dipertimbangkan. Demikian
pula ketika seorang penasehat kerajaan mewakili suara-suara berucap, “Sebaiknya
Yang Mulia menyelenggarakan upacara rajasurya demi gelar Maharajadiradja
Sesembahan Agung”.
Yudhistira tahu apa
yang harus dilakukan, “Saya harus segera bertemu dengan Krishna untuk sebuah
nasehat”, sang raja menjawab usulan itu. Seorang kurir segera mendapat perintah
untuk pergi menemui Krishna
Tak memerlukan
tenggang waktu yang lama bagi Krishna untuk mendengar kabar itu, ia segera
mengatur waktu, menyiapkan kereta serta pengawal untuk menuju ke Indraprastha.
Pertemuan harus diselenggarakan. Ia menghadirinya dengan segala senang hati, ia
adalah sahabat Pandawa.
“Saudara-saudara dan
para penasehat menyampaikan usulan supaya saya menyelenggarakan upacara raja
surya. Akan tetapi, semua orang tahu, bahwa hanya raja yang dihormati dan dicintai
rakyatnya dapat menyelenggarakan serta berhak menyandang gelar termaksud. Yang
Mulia Krishna kiranya dapat memberikan masukan untuk penyelenggaraan upacara
itu”, Yudhistira membuka pertemuan, ia merasa tersanjung dengan kehadiran
Krishna.
“Benar, Yudhistira
tidak bisa menjadi Maharajadiradja selama Jarasandha penguasa Magadha masih
berwenang atas kerajaan lain dan belum juga ditaklukkan. Jarasandha telah
menundukkan banyak raja kemudian melakukan penjajahan. Semua kesatria, bahkan
Raja Sisupala yang disegani takut serta takluk kepada Jarasandha”, Krishna
menanggapi pernyataan Yudhistira. Ia tahu siapa di antara para raja yang
terkuat, yang lalim serta bijaksana. Jarasandha adalah yang terkuat, akan
tetapi apakah ia bijaksana? Sejenak raja yang bijak itu terdiam sebelum kembali
berucap.
“Pernah mendengar
tentang Kangsa? Putra Raja Ugrasena? Setelah menjadi menantu dan sekutu, maka
kekuatan Jarasandha berlipat ganda. Setelah bertempuh selama tiga tahun,
terpaksa saya menyerah, Jarasandra terlalu tangguh. Saya tinggalkan Madhura,
pindah ke Dwaraka, membangun kota baru untuk kehidupan yang lebih damai.
Duryudhana, Karna, dan semua raja tak mungkin keberatan dengan upacara Raja
Surya, akan tetapi Jaransandra akan memberi penolakan. Satu-satunya jalan
adalah menaklukkannya, sekaligus membebaskan raja yang menjadi tawanan serta
negeri yang dijajah. Kita harus bersatu dan bersekutu”, Krishna menatap seluruh
yang hadir di balairung, meminta persetujuan akan pendapatnya.
“Benar, sebagai Raja
Amarta saya sangat tidak menyetujui
kekerasan serta penindasan atas raja-raja yang lain. Tugas seorang raja
adalah membawa masyarakat menuju kehidupan damai serta kesejahteraan. Sesungguhnya saya tak
menginginkan gelar Maharajadiradja, kalau semua raja merasa gentar terhadap
Jarasandra, demikian pula Yudhistira. Apa yang harus kita lakukan?” Yudhistira
harus mengakui kekuatan Jarasandra, ia tak akan mampu menghadapi keserakahan
itu seorang diri. Ia harus memiliki sekutu. Sesaat Yudhistira melirik ke arah
Bhima, kemudian terus menatap ketika Pandawa kedua berpendapat.
“Seorang raja tidak
sedang melakukan kesalahan ketika memiliki cita-cita tinggi, ketika memiliki
kekuatan serta sadar akan kekuatan itu. Ia tidak sedang pula melakukan
kesalahan ketika menyadari ada kekuatan lain yang berbahaya bagi raja-raja di
sekitarnya, dan harus bersekutu untuk
menentukan sikap. Bila kebaikan terdiam, kejahatan akan menang, kita bisa
bersekutu untuk melawan Jarasandra. Aku Bhima dengan segala kemampuan di medan
perang, Arjuna yang tangguh dengan bidikan anak panah, Krishna yang bijak. Apa
lagi? Adakah ketakutan dalam menghadapi Jarasandra?” suara Bhima menggelegar,
ia telah pula mendengar akan kekuatan serta kesewenangan Jarasndra.
“Benar, kita tidak
bisa selamanya diam dengan kesewenangan Jarasandra, harus bersekutu untuk
menumbangkan penguasa yang lalim. Delapan puluh enam raja telah ditawan, ia
berencana mengorbankan seratus raja bagi persembahan, empat belas raja yang
lain akan ditangkap. Kita harus bertindak ….” Suara Krishna lebih terkendali
dari pada Bhima.
“Akan tetapi,
berarti kita mengorbankan Bhima dan Arjuna, dua adik kesayanganku demi gelar
Maharajadiraja. Ribuan pertimbangan diperlukan demi pengorbanan ini,”
Yudhistira mengerutkan keningnya, mampukah ia mempertaruhkan nasib dua orang
adinda.
“Benarkah kita akan
diam selamanya? Apa arti hari lahir seorang kesatria? Apa arti kemasyuran,
tanpa kemampuan menanggung akibat melawan kejahatan? Dengan kemampuan mengukur
kekuatan tidak mustahil kita akan menang,” Bhima mengabaikan pendapat
Yudhistira.
“Benar, mengapa pula kita harus merasa tidak mampu,
sekarang adalah saat bagi pertempuran. Kelak akan tiba waktu mengenakan jubah
suci, meninggalkan arena peperangan, pergi bertapa ke hutan serta berpuasa
untuk tujuan keagamaan. Kita masih bertanggungjawab dengan tindakan perwira
sesuai dengan kebiasaan yang telah turun temurun,” Arjuna berpendapat pula.
Senyum di bibir
Krishna mengembang mendengar kata-kata Arjuna, “Sependapat dengan kata-kata
Arjuna Putra Kunthi keturunan Wangsa Bharata. Cepat atau lambat kematian akan tiba
bagi setiap manusia, entah yang bersangkutan pahlawan atau lawan, satu hal yang
tak akan pernah berubah kewajiban satria adalah mengabdi kepada bangsa serta
keyakinan, menaklukkan musuh dalam setiap peperangan demi kebenaran,” tak ragu
sedikitpun Krishna dalam mengucapkan kata.
Beberapa tabuh
Yudhistira terdiam, ia perlu menimbang, memikirkan, memperhitungkan segala
akibat, baik dan buruk sebelum benar memutuskan. “Baiklah, lakukan pertarungan
secara kesatria untuk memenangkan yang benar dan mengalahkan yang salah ….”
“Hidimba, Hamsa,
Kangsa, dan sekutu Jarasandha yang lain telah tiada. Saatnya menghadapi raksasa
itu satu lawan satu, dengan atau tanpa senjata ….” Krishna benar telah yakin
untuk menumpas Jarasandha sebelum korban yang lain berjatuhan.
Sebagai siasat
pertarungan Krishna, Bhima, dan Arjuna menyamar selaku pertapa yang mengembara
mengenakan jubah kulit kayu. Rumput darbha
di tangan sesuai kebiasaan yang
telah lama mengakar. Sampai pada tempat tujuan, Magadha keduanya segera
menuju Istana Jarasandha. Raksasa yang dituju kiranya telah mendapatkan firasat
buruk. Jarasandha merasa gelisah, ada yang tidak nyaman pada suasana hati
seakan butir kerikil yang terinjak di telapak kaki. Dalam hal ini Jarasandha
cukup tahu apa yang harus dilakukan, ia meminta para pendeta berdoa bagi
ketenangan serta keselamatannya kemudian berpuasa, bersemedi.
Sementara Krishna, Bhima,
dan Arjuna yang menyamar sebagai pendeta memasuki istana tanpa bersenjata.
Jarasandha menerima dengan tangan terbuka, sikap serta tutur kata tiga orang
tamu tak dikenal menunjukkan mereka berasal dari kalangan terhormat. Bhima dan
Arjuna lebih memilih diam, keduanya lebih baik diam dari pada mengatakan kebohongan.
“Kedua pendeta
sementara tengah bertapa brata dan tapa bisu, tengah malam baru mendapat
ijin untuk kembali berbicara ….” Demikian penjelasan Krishna terhadap
Jalasandha tentang kebungkaman Bhima danArjuna.
Jalasandha terdiam,
memperhatikan ketiga tamu, orang asing dengan tatapan sedalam lautan, ia selalu
waspada, tidak mudah percaya, namun tidak juga bertindak gegabah. Beberapa saat
kemudian Jalasandha undur diri, ia perlu beristirahat, demikian juga ketiga
orang tamu yang datang dari jauh. Lewat tengah malam Jalasandha kembali datang,
ia perlu mengenal lebih dekat ketiga orang tamu yang datang ke istana. Apa
sesungguhnya keinginan mereka? Sepasang mata tajam Jalasandha kembali menatap,
dahinya berkerut ketika mendapati lecet tali busur pada ketiga tangan tamu di
hadapannya. Semakin tajam mata Jalasandha menatap, semakin ia waspada, ketiga
orang tamu itu tidak menunjukkan sikap layaknya pendeta. Wajah rupawan, tatapan
mata yang tajam, perawakan tegap, gerak laku yang terlatih serta hati-hati
cukup menunjukkan ketiga orang itu adalah kesatria.
Jalasandha menghela
napas panjang, kegelisahan kembali muncul. Benar ia memiliki kekuatan raga
nyaris tapa tanding, tetapi ia terlahir dengan badan terpisah. Seorang satria
yang mampu memisahkan kedua badan Jalasandha sudah pasti akan mengalahkannya.
Seperti memisahkan lidi dari ikatannya, tercerai berai tanpa kekuatan apa-apa,
tanpa sisa. Jantung Jalasandha bergemuruh, ia telah lalai, disusupi musuh
sedemikian dekat hingga jauh ke dalam dinding istana. Ternyata ia tak
benar-benar tangguh seperti persangkaan setiap orang, kali ini ia tidak lagi
waspada. Masihkah ia harus berpura-pura tidak tahu?
“Siapa sesungguhnya
kalian bertiga? Musuh yang menyamar
sebagai pendeta?” tak dapat disangkal lidah Jalasandha getir mengatakannya.
Kegelisahan memuncak, ubun ubunnya seakan digenangi air mendidih, sesal dan
amarah bergulung menjadi satu seakan ombak lautan.
Di tempatnya berdiri
Krishna tak lagi memiliki alasan mengelak, ia tak perlu lagi bersembunyi untuk
apa kedatangan ini? “Siapa kami bertiga? Adalah orang yang merasa tidak bisa
tetap diam dengan kesewenanganmu Jalasandha. Andai engkau bisa berdamai dengan
setiap manusia yang hidup, tetapi langkahmu terlalu jauh, sudah di luar batas
kemanusiaan. Tugas kami menghentikan …. “ tak ragu Krishna mengatakan, ia tak
perlu lagi menyamar.
Jalasandha terus
menatap, hingga ia tahu siapa sesungguhnya satria yang berdiri di depannya, ia
telah diperdaya, napasnya memburu, dadanya terasa sesak. “Krishna, engkau cuma
seorang pengecut! Arjuna hanya seorang bocah, tapi engkau Bhima, seorang satria
yang gagah perkasa. Kuterima tantanganmu ….!” Suara Jalasandha menggelegar,
antara marah dan geram, karena telah diperdaya di istana tempat tinggalnya.
“Kuterima
tantanganmu Jalasandha dengan tangan kosong tanpa senjata,” Bhima menerima
tantangan itu.
“Aku pun tidak akan
menggunakan senjata,” Jalasandha tahu benar aturan pertarungan, ketika lawan
tidak menggunakan senjata, demikian pula keduatangannya.
Kedua petarung itu
sama-sama kuat, sama-sama tangguh, tak mudah menjatuhkan antara yang satu
dengan yang lain. Sehari dua hari tak cukup untuk menentukan pemenang, bahkan
seminggu pun pertarungan belum sampai pada babak penentuan. Pada hari ke empat
belas Jalasandha mulai tampak lelah, ia tak memenangkan kekuatan tenaga dari
Bhima yang memang perkasa. Wajah raksasa itu tampak memucat, napasnya memburu,
beberapa kali ia terpelanting seakan daun kering dicampakkan ranting, keringat
dingin mulai mengucur.
Krishna tahu apa
yang harus dilakukan, ia memberi isyarat supaya Bhima membanting Jarasandha ke
atas tanah. Bhima menangkap isyarat itu, Pandawa kedua itu memusatkan
tenaganya, menyambar satu kali kaki Jalasandha ke tanah, mengangkat lawan itu
tinggi-tinggi, memutarnya seakan gasing, kemudian menghempaskan ke atas tanah
sekuat tenaga hingga tubuh raksasa itu terbelah menjadi dua. Napas raksasa itu
pun terputus, tak menyisakan tanda kehidupan pada darah yang mengalir membasahi
tanah. Bhima menarik napas lega, pertarungan hidup dan mati itu selesai.
Akan tetapi,
tiba-tiba kedua badan Jalasandha kembali menyatu, utuh dan perkasa, kemudian
bangkit menyerang Bhima. Pandawa kedua nyaris lengah, akan tetapi dengan gesit
ia mengelak, menyelamatkan diri. Tak pernah disangka, badan terpisah itu akan
kembali tersambung hidup seperti semula. Satria itu terpana, beberapa saat tak
pernah tahu apa yang harus dilakukan untuk memenangkan pertarungan ini. Ketika
menatap Krishna, akhirnya ia mengerti.
Krishna mengacungkan
sebatang jerami, dibelah menjadi dua. Masing-masing belahan dilontarkan pada
dua arah yang berbeda. Bhima menganggukkan kepala. Sekali lagi ia mempersiapkan
diri, mengerahkan tenaga, menyambar kedua kaki Jalasandha, mengangkatnya
tinggi-tinggi, memutarnya seperti baling-baling kemudian membantingnya keras-keras.
Untuk yang kedua kali tubuh Jalasandha terbelah dua, Bhima tak membuang waktu. Masing-masing bagian tubuh
itu digenggam pada tangan kiri dan kanan kemudian dilempar sejauh mungkin pada
dua arah yang berlawanan. Kali ini kedua badan Jalasandha tak dapat kembali
menyatu. Raksasa jahat itu menemui ajalnya.
Sejenak Bhima
menghela napas panjang, ia telah memenangkan pertarungan panjang yang
melelahkan. Ketiga satria itu tak perlu membuang waktu, mereka harus
membebaskan sekalian raja yang ditahan, memulangkan ke istana masing-masing.
Satu hal terpenting yang harus dilakukan sebelum kembali ke Indraprasta adalah
menobatkan Putra Jalasandha sebagai Raja Magadha.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar