Senin, 15 Juli 2019

Desing Peluru dalam Senyap --Gati Andoko


DESING PELURU DALAM SENYAP
Oleh: Gati Andoko







Apakah sejarah harus selalu berlumuran darah?”

Satu malam di bulan Juli saya surprise ketika seorang rekan, Atut Dwi Nugroho singgah beberapa menit di rumah untuk mengantar buku –-kumpulan cerita pendek bermuatan sejarah-- berjudul Desing Peluru dalam Senyap, penulis Gati Andoko. Sahabat satu geng di Jurusan Antropologi UGM. Dua judul cerita pendek Jurang Kubang 1 dan Jurang Kubang 2 pernah saya baca di WA group Antropologi 86, kisah mengesankan pada masa kemerdekaan yang digenangi nestapa serta berleleran darah, kehilangan, dan kematian. Secara piawai penulis mampu  menghidupkan sosok wong cilik yang tak berdaya, bahkan untuk menyelamatkan anak tunggalnya, Caswari yang menjadi korban keganasan perang di ujung bayonet tantara Jepang yang tengah bersembunyi. Almarhum Caswari yang telah berpulang pasti berurusan dengan Tuhannya, Sang Maha Pencipta Langit dan Bumi beserta segala isinya. Akan tetapi, Draji, ayahanda yang hidup berduka, karena ditinggalkan selama-lamanya. Tak ada seorangun mampu meggantikan posisi anak kandung.
Tiga puluh enam judul cerita pendek yang lain: Gembala di Tengah Pertempuran, Alu dan Garam, Bunga di Medan Perang, Cinta dan Peluru I, II, Jaran Sungsang I, II, III, IV, Bunga di Medan Perang I, II, June dan Sanah: Legenda Cinta yang Terlupa. Satu judul yang demikian menikam, Lasmini: Ronggeng Lebakbarang serta judul berikutnya. Adalah  jeritan hati dari liang kubur, korban berlumuran darah pada masa kemerdekaan. Tigaratus limapuluh tahun penjajahan Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang menghancurkan seluruh tatanan social ekonomi Nusantara, sehingga wong cilik   yang bertahan hidup di garis depan menjadi korban kejahatan perang yang paling tragis dan mengerikan, bahka antar sesama bangsa merasa berkewenangan untuk membunuh, karena alasan iri hati dan harga diri.
Fiksi bukan semata-mata cerita khayal tanpa logika setting sejarah, geografis, waktu, dan penokohan. Setting cerita selalu nyata, demikian pula setting Desing Peluru dalam Senyap, segalanya nyata, bahkan tokoh-tokoh  yang benar ada, namun terlupakan ketika sejarah terus melesat terus ke depan bergandengan secara parallel dengan rotasi waktu. Dalam kumpulan cerita pendek ini Andoko  bekerja keras menyampaikan pesan moral pada kurun waktu kisah-kisah itu terjadi. Bahwa sejarah tercatat dengan berlumuran darah dari orang-orang tak bersalah –-korban perang. Ketika satu bangsa dengan sombongnya merasa dirinya berwenang akan takdir bangsa lain atas nama kemenangan dan loyalitas. Pembela NKRI adalah “pemberontak” dinyatakan berhak untuk mati dengan banyak cara, yang mengenaskan sekalipun.
Apakah sejarah harus selalu berlumuran darah?
Tragedi dalam kumpulan cerita pendek serupa, kiranya bukan hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi di seluruh negara terjajah, Cina, Korea, Vietnam, Kamboja, bahkan Amerika sebelum George Washington menyatakan kemerdekaan pada 4 Juli 1776. Sejarah selalu digenangi darah serta sosok pahlawan tak dikenal. Dalam kumpulan cerita penulis menegaskan kembali betapa arogan, kejam, dan sia-sianya perang, satu pendudukan atas satu bangsa terhadap bangsa lain yang hanya memanggil datang kematian dan penyesalan. Apakah kejadian serupa mesti terulang?
Jawabnya pasti, “Tidak!”




Penerbit Interlude 2019, Yogyakarta
Cetakan I, April 2019
ISBN:978-602-5873-53-9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...