DESING
PELURU DALAM SENYAP
Oleh:
Gati Andoko
“Apakah sejarah harus selalu berlumuran
darah?”
Satu malam di bulan
Juli saya surprise ketika seorang rekan, Atut Dwi Nugroho singgah beberapa
menit di rumah untuk mengantar buku –-kumpulan cerita pendek bermuatan
sejarah-- berjudul Desing Peluru dalam Senyap, penulis Gati Andoko. Sahabat
satu geng di Jurusan Antropologi UGM. Dua judul cerita pendek Jurang Kubang 1
dan Jurang Kubang 2 pernah saya baca di WA group Antropologi 86, kisah
mengesankan pada masa kemerdekaan yang digenangi nestapa serta berleleran
darah, kehilangan, dan kematian. Secara piawai penulis mampu menghidupkan sosok wong cilik yang tak berdaya, bahkan untuk menyelamatkan anak
tunggalnya, Caswari yang menjadi korban keganasan perang di ujung bayonet
tantara Jepang yang tengah bersembunyi. Almarhum Caswari yang telah berpulang
pasti berurusan dengan Tuhannya, Sang Maha Pencipta Langit dan Bumi beserta
segala isinya. Akan tetapi, Draji, ayahanda yang hidup berduka, karena
ditinggalkan selama-lamanya. Tak ada seorangun mampu meggantikan posisi anak
kandung.
Tiga puluh enam
judul cerita pendek yang lain: Gembala di Tengah Pertempuran, Alu dan Garam,
Bunga di Medan Perang, Cinta dan Peluru I, II, Jaran Sungsang I, II, III, IV,
Bunga di Medan Perang I, II, June dan Sanah: Legenda Cinta yang Terlupa. Satu
judul yang demikian menikam, Lasmini: Ronggeng Lebakbarang serta judul
berikutnya. Adalah jeritan hati dari
liang kubur, korban berlumuran darah pada masa kemerdekaan. Tigaratus limapuluh
tahun penjajahan Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang menghancurkan seluruh
tatanan social ekonomi Nusantara, sehingga wong
cilik yang bertahan hidup di garis
depan menjadi korban kejahatan perang yang paling tragis dan mengerikan, bahka
antar sesama bangsa merasa berkewenangan untuk membunuh, karena alasan iri hati
dan harga diri.
Fiksi bukan
semata-mata cerita khayal tanpa logika setting sejarah, geografis, waktu, dan
penokohan. Setting cerita selalu nyata, demikian pula setting Desing Peluru
dalam Senyap, segalanya nyata, bahkan tokoh-tokoh yang benar ada, namun terlupakan ketika
sejarah terus melesat terus ke depan bergandengan secara parallel dengan rotasi
waktu. Dalam kumpulan cerita pendek ini Andoko
bekerja keras menyampaikan pesan moral pada kurun waktu kisah-kisah itu
terjadi. Bahwa sejarah tercatat dengan berlumuran darah dari orang-orang tak
bersalah –-korban perang. Ketika satu bangsa dengan sombongnya merasa dirinya
berwenang akan takdir bangsa lain atas nama kemenangan dan loyalitas. Pembela
NKRI adalah “pemberontak” dinyatakan berhak untuk mati dengan banyak cara, yang
mengenaskan sekalipun.
Apakah sejarah harus
selalu berlumuran darah?
Tragedi dalam
kumpulan cerita pendek serupa, kiranya bukan hanya terjadi di Indonesia, akan
tetapi di seluruh negara terjajah, Cina, Korea, Vietnam, Kamboja, bahkan
Amerika sebelum George Washington menyatakan kemerdekaan pada 4 Juli 1776.
Sejarah selalu digenangi darah serta sosok pahlawan tak dikenal. Dalam kumpulan
cerita penulis menegaskan kembali betapa arogan, kejam, dan sia-sianya perang,
satu pendudukan atas satu bangsa terhadap bangsa lain yang hanya memanggil datang
kematian dan penyesalan. Apakah kejadian serupa mesti terulang?
Jawabnya pasti,
“Tidak!”
Penerbit
Interlude 2019, Yogyakarta
Cetakan I, April
2019
ISBN:978-602-5873-53-9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar