Rabu, 17 Juli 2019

MELAMPAUI GELOMBANG PASANG






Saya tahu, bahwa pada awal tahun Laut Arafura mendidih, gelombang berubah seakan lidah ombak yang marah. Akan tetapi, saya sudah alpa pada dua payment sebelumnya, sebagai anggota Sekretariat Bersama Bangga Papua –Bangun Generasi Keluarga Sejahtera Papua saya malu alpa yang ketiga kali. Resiko menempuh gelombang Laut Arafura Agats – Fayit adalah langkah menebus dua kali alpa. Di pagi mendung bulan Januari 2019 setelah berkumpul untuk arahan serta doa di Dermaga Feri, akhirnya Tim Sekber Bangga Papua berpencar ke tempat tujuan masing-masing.
Saya bersama sembilan anggota Bangga Papua yang lain serta tim keamanan menempatkan diri pada masing-masing speed boat, memulai sekitar dua jam perjalanan ke Basim, Ibu Kota Distrik Fayit dalam cuaca yang sudah pasti tak bersahabat. Lepas dari muara gelombang belum lagi menakutkan. Akan tetapi, tak lama kemudian ombak mengamuk setinggi gunung. Sejauh mata memandang air laut cokelat bagai kopi susu, bergemuruh pada gelombang yang berlarian. Empat speed boat terpelanting seakan daun kering. Aneh, tak seorang pun dari penumpang tampak ketakutan, ada yang tersenyum, melambai, mengambil gambar tanpa perlu mengenakan pelampung. Sementara saya punya jantung berdetak lebih kencang, karena gentar, melindungi diri dengan pelampung, mencengkeram tas ransel yang berisi dua botol aqua kosong. Air laut melambung, membasahi pakaian. Saat itu saya tersadar, betapa dekat jarak antara kehidupan dan kematian, saya  menahan air mata, karena Yuli Maniagasi -–gadis pemberani yang duduk di samping saya masih mampu menguasai rasa takut. Ia tampak tenang seakan gelombang adalah sensasional permainan di arung jeram.
Puji syukur, perjalanan yang sulit ini akhirnya terlampaui ketika speed boat akhirnya menuju muara sungai,  mendekati Basim, Ibu Kota Distrik Fayit. Tegur sapa serta cerita seru dari anggota Sekber menyebabkan semua tahu, tak seorang pun melewati  bahaya seorang diri. Setelah sarapan bersama di rumah Kapolsek Fayit, kami harus mencari tempat tinggal untuk sepuluh orang selama payment Bangga Papua. Puskesmas Fayit yang baru selesai dibangun dengan konstruksi beton, megah,  meyakinkan, dan lantai putih berkilau menjadi alternative setelah berkoordinasi via seluler dengan Kadinkes.  Kami lima orang perempuan dan lima orang laki-laki memilih masing-masing kamar yang layak untuk tinggal.
Keesokan hari setelah mempersiapkan tempat verifikasi –di halaman Polsek, swalayan, menyesuaikan diri dengan posisi Bank Papua, berkoordinasi dengan PLN supaya tetap menyala. Kami mulai duduk di belakang meja masing-masing, penerima manfaat dikelompokkan pada setiap kampung. Saya duduk di belakang meja, memanggil satu demi satu penerima manfaat, Ibu Ety, Manduli, Miss bertugas memverifikasi data, Yuli duduk di balik meja pengaduan. Empi, Paulus, Kepala Kampung bertugas mengkoordinasikan peserta yang dipanggil. Bapak Jitmau serta Bapak Fabi memantau keseluruhan proses pembayaran, sehingga 1700 penerima manfaat Bangga Papua dapat memperoleh haknya. Semula nama-nama yang dipanggil tidak mengalami kendala –every thing is okey-- Akan tetapi, nama ibu yang dipanggil kemudian tidak sesuai dengan daftar, tidak sesuai dengan kartu keluara. Tim verifikasi bekerja ekstra ketat. Ternyata seorang ibu berganti  nama sesuai marga suami setelah perkawinan terjadi, hal ini membingungkan petugas verifikasi.
Hari pertama terus berlalu, kami bergantian istirahat makan nasi bungkus sebagai menu makan sehari-hari. Pelayanan terus berlanjut dari satu kampung ke kampung berikut, ada satu kampung telah memiliki KTP Elektronik, ada yang menyertakan surat keterangan identitas pada Pemilu Gubernur, ada yang semuanya memiliki Kartu Keluarga, ada pula yang tidak memiliki kartu indentias, sehingga harus disesuaikan identitas yang bersangkutan dengan Kartu Keluarga yang ada pada kami. Setelah dipanggil sesuai daftar, maka satu ibu dengan satu anak akan menerima uang cash sebesar Rp. 200,000,00 per bulan kali satu tahun, total Rp. 2,400,000,00. Seorang ibu dengan dua anak di bawah empat tahun menerima Rp. 4,800,000,00, dengan tiga anak di bawah umur yang sama menerima Rp. 7,200,000,00, dikurangi saldo di buku tabungan.
Hari pertama berlangsung hingga tengah malam. Kami kembali ke “hotel”, Puskesmas Fayit dalam keadaan lelah dan mengantuk, bersiap untuk tidur. Keesokan hari pelayanan kembali berlangsung, satu demi satu peserta dipanggil sesuai daftar. Suasana Basim yang semula lengang, kali ini menjadi riuh rendah oleh kehadiran penerima manfaat Bangga Papua dari tiga distrik, Fayit, Safan, dan Aswi disertai dengan seluruh anggota keluarga. Ibu-ibu yang telah menerima pembayaran dari Bank Papua diarahkan pergi ke swalayan untuk membeli bahan makanan  yang memiliki kandungan gizi bagi anak di bawah empat tahun serta pakaian bayi.
Pembayaran sengaja diserahkan atas nama ibu untuk menguatkan peranan di dalam keluarga –dukungan bagi kesetaraan gender. Sementara ibu ada yang merontak, karena nama tidak tertulis di dalam daftar penerima manfaat. Jawaban tim Sekber adalah, “Silakan mendaftar pada kepala kampung untuk pembayaran tahun berikut ….”
“Saya istri kepala kampung ….!” Sang  ibu menjerit marah.
“Daftar sama paitua ….” Jawab seorang anggota Tim  Sekber.
Pelayanan terus berlangsung mengikuti rotasi matahari dari suhu terendah, terik hingga pakaian basah kuyup, hingga kering menjelang sore hari. Suasana Basim kian ramai dan hidup. Kunjungan Bupati Asmat, Kapolres, dan Ketua Sekber Bangga Papua benar menghibur. Setelah hari-hari yang sibuk, interaksi social adalah suatu hal yang  menyenangkan. Seperti halnya kami yang pernah melampaui gelombang pasang, maka rombongan Bupati Asmat telah melewati lidah ombak yang sama dan segera kembali menjelang sore melewati bahaya serupa.
Pada hari berikut persoalan muncul, karena ibu penerima manfaat dikabarkan meninggal. Pihak Bank Papua meminta surat keterangan kematian sebagai legalitas hikum bagi penerima peangganti. Semula saya koordinasikan surat keterangan kematian ke dinas via WA. Akan tetapi, seorang bapak marah besar, karena menunggu terlalu lama. Saya teringat, selaku sekdis Dukcapil sawa berwenang pula menandatangani surat keterangan kematian atas pernyataan dari kepala kampung. Persyaratan surat keterangan kematian teratasi.
Hari berikut berlanjut, kami mengira pelayanan akan selesai dalam lima hari. Ternyata sampai hari Sabtu baru separuh pelayanan, kami pulang larut malam ke Puskesmas dalam keadaan lelah sungguh, kaki Ibu Ety bengkak, karena gangguan empedu, perlu dipijit secara khusus bagi perawatan. Dan tiba-tiba air semakin mengecil dari setiap keran, semakin mengecil hingga akhirnya habis sama sekali. Kiranya hujan telah cukup lama tidak juga turun, kami beramah tamah dengan tukang yang membangun Puskesmas supaya dapat mandi sekaligus memenuhi kebutuhan air di tempat penampungan yang terletak persis di seberang Puskesmas. Kemudian hari-hari seakan berjalan lamban, menu nasi bungkus sungguh membosankan, satu kali Yuli memasak super mie kuah campur rica, telur, dan sawi di dapur Polsek. Kami makan bergantian sambil meneruskan pelayanan, pada situasi tertentu bahkan sepiring super mie terasa lezat dari pada nasi bungkus.
Pelayanan terus berjalan, mulai tampak hal-hal janggal dan lucu, beberapa anak tampak tidak nyaman dalam pangkuan mamanda. Kiranya anak tersebut bukan anak kandung, tetapi anak “pinjaman”, entah apa sebenarnya yang telah berlaku? Bila dana tidak dibayarkan, akan terjadi keributan, karena yang bersangkutan sudah berharap dan terdaftar. Satu hal yang aneh adalah ketika seorang bapak kelahiran tahun 1996, tetapi memiliki istri seorang nenek yang telah melewati masa reproduksi sehat. Nama suami sama dengan nama di Kartu Keluarga, tanpa KTP kami tidak bisa memastikan siapa sebenarnya nama nenek. Ternyata sang nenek adalah “istri pinjaman” dari pihak suami, karena pasangan suami istri tersebut telah berpisah, hak asuh anak jatuh pada suami, karena anak dibesarkan ayah.
Hari yang melelahkan belum juga berakhir, kami masih bertahan dengan fasilitas yang sederhana, tikar alas tidur, menu nasi bungkus tanpa variasi, dan akhirnya hujan benar tidaak turun. Tukang yang  mengerjakan bangunan Puskesmas berpamit kembali ke Agats, menempuh gelombang Laut Arafura yang mendidih. Tanpa penjaga masyarakat berduyun-duyun menimba air hingga satu bak habis tanpa sisa, bak kedua kembali dikuras. Saya cemas bila air benar-benar habis, meminta seorang warga untuk memberikan teguran, akan tetapi teguran tak diindahkan. Akhirnya datang seorang yang biasa membantu di Puskesmas. “Kalau kamu orang tidak stop ambil air, saya palang pintu dari luar supaya  kamu orang terkurung di dalam!!!” suara itu demikian keras dan  menakutkan. Maka seluruh aktivitas timba air berhenti. Terakhir saya tergelak, di wilayah hutan hujan tropis dan tanah rawa berlumpur ketika sumber air bersih hanya tercurah dari langit, air selalu menjadi persoalan. Saya meminta tenaga  bantuan mengisi air di bak mandi untuk antisipasi kebutuhan air esok hari.
Hari terakhir menjelang penjemputan, kami masih ragu dengan dengan ombak yang mengamuk dan angin kencang. Apakah speed boat  dapat melampaui gelombang pasang Arafura? Sementara kami dikejutkan dengan biaya konsumsi yang tinggi Rp. 40,000,00 per bungkus, total harga yang fantastis. Bagaimana harus melapor pada ketua Sekber? Ups ….
Pagi terakhir suasana di Basim mulai tampak lengang, keluarga penerima manfaat dari tiga distrik telah menerima hak, keluarga dari kampung jauh menyusul,  karena ketiadaan BBM. Sekitar 1.200 penerima manfaat sudah terlayani, 500 keluarga akan diselesaikan pada hari berikut. Ketika akhirnya empat speed boat  sandar di dermaga dengan selamat, tergagap kami mengepak barang, bersiap kembali ke Agats, mengukur keberanian melampaui gelombang pasang Arafura –air laut yang masih mendidih. Kami berpamit, bertatapan dengan anggota Sekber, ketika berangkat kami tim, ketika kembali kami adalah keluarga yang saling membantu memahami kesulitan masing-masing, sehingga hak masyarakat dalam rangka Pembangunan Generasi Keluarga Sejahtera Papua dapat diselesaikan dengan baik. Bantuan berupa uang cash bagi pemenuhan gizi serta pakaian, dokumen kependudukan sebagai persyaratan, keterlibatan dengan BPD, peran kuat seorang ibu dalam pengelolaan bantuan dana adalah bagian proses panjang dalam rangka pembangunan generasi.

                                                                                  ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...