Saya tahu, bahwa
pada awal tahun Laut Arafura mendidih, gelombang berubah seakan lidah ombak
yang marah. Akan tetapi, saya sudah alpa pada dua payment sebelumnya, sebagai anggota Sekretariat Bersama Bangga
Papua –Bangun Generasi Keluarga Sejahtera Papua saya malu alpa yang ketiga
kali. Resiko menempuh gelombang Laut Arafura Agats – Fayit adalah langkah
menebus dua kali alpa. Di pagi mendung bulan Januari 2019 setelah berkumpul
untuk arahan serta doa di Dermaga Feri, akhirnya Tim Sekber Bangga Papua
berpencar ke tempat tujuan masing-masing.
Saya bersama
sembilan anggota Bangga Papua yang lain serta tim keamanan menempatkan diri
pada masing-masing speed boat,
memulai sekitar dua jam perjalanan ke Basim, Ibu Kota Distrik Fayit dalam cuaca
yang sudah pasti tak bersahabat. Lepas dari muara gelombang belum lagi
menakutkan. Akan tetapi, tak lama kemudian ombak mengamuk setinggi gunung.
Sejauh mata memandang air laut cokelat bagai kopi susu, bergemuruh pada
gelombang yang berlarian. Empat speed
boat terpelanting seakan daun kering. Aneh, tak seorang pun dari penumpang
tampak ketakutan, ada yang tersenyum, melambai, mengambil gambar tanpa perlu
mengenakan pelampung. Sementara saya punya jantung berdetak lebih kencang,
karena gentar, melindungi diri dengan pelampung, mencengkeram tas ransel yang
berisi dua botol aqua kosong. Air laut melambung, membasahi pakaian. Saat itu
saya tersadar, betapa dekat jarak antara kehidupan dan kematian, saya menahan air mata, karena Yuli Maniagasi
-–gadis pemberani yang duduk di samping saya masih mampu menguasai rasa takut.
Ia tampak tenang seakan gelombang adalah sensasional permainan di arung jeram.
Puji syukur,
perjalanan yang sulit ini akhirnya terlampaui ketika speed boat akhirnya menuju muara sungai, mendekati Basim, Ibu Kota Distrik Fayit.
Tegur sapa serta cerita seru dari anggota Sekber menyebabkan semua tahu, tak
seorang pun melewati bahaya seorang
diri. Setelah sarapan bersama di rumah Kapolsek Fayit, kami harus mencari
tempat tinggal untuk sepuluh orang selama payment
Bangga Papua. Puskesmas Fayit yang baru selesai dibangun dengan konstruksi
beton, megah, meyakinkan, dan lantai
putih berkilau menjadi alternative setelah berkoordinasi via seluler dengan
Kadinkes. Kami lima orang perempuan dan
lima orang laki-laki memilih masing-masing kamar yang layak untuk tinggal.
Keesokan hari
setelah mempersiapkan tempat verifikasi –di halaman Polsek, swalayan,
menyesuaikan diri dengan posisi Bank Papua, berkoordinasi dengan PLN supaya
tetap menyala. Kami mulai duduk di belakang meja masing-masing, penerima
manfaat dikelompokkan pada setiap kampung. Saya duduk di belakang meja,
memanggil satu demi satu penerima manfaat, Ibu Ety, Manduli, Miss bertugas
memverifikasi data, Yuli duduk di balik meja pengaduan. Empi, Paulus, Kepala
Kampung bertugas mengkoordinasikan peserta yang dipanggil. Bapak Jitmau serta
Bapak Fabi memantau keseluruhan proses pembayaran, sehingga 1700 penerima
manfaat Bangga Papua dapat memperoleh haknya. Semula nama-nama yang dipanggil
tidak mengalami kendala –every thing is
okey-- Akan tetapi, nama ibu yang dipanggil kemudian tidak sesuai dengan
daftar, tidak sesuai dengan kartu keluara. Tim verifikasi bekerja ekstra ketat.
Ternyata seorang ibu berganti nama
sesuai marga suami setelah perkawinan terjadi, hal ini membingungkan petugas
verifikasi.
Hari pertama terus
berlalu, kami bergantian istirahat makan nasi bungkus sebagai menu makan
sehari-hari. Pelayanan terus berlanjut dari satu kampung ke kampung berikut,
ada satu kampung telah memiliki KTP Elektronik, ada yang menyertakan surat
keterangan identitas pada Pemilu Gubernur, ada yang semuanya memiliki Kartu
Keluarga, ada pula yang tidak memiliki kartu indentias, sehingga harus
disesuaikan identitas yang bersangkutan dengan Kartu Keluarga yang ada pada
kami. Setelah dipanggil sesuai daftar, maka satu ibu dengan satu anak akan
menerima uang cash sebesar Rp. 200,000,00 per bulan kali satu tahun, total Rp.
2,400,000,00. Seorang ibu dengan dua anak di bawah empat tahun menerima Rp.
4,800,000,00, dengan tiga anak di bawah umur yang sama menerima Rp.
7,200,000,00, dikurangi saldo di buku tabungan.
Hari pertama
berlangsung hingga tengah malam. Kami kembali ke “hotel”, Puskesmas Fayit dalam
keadaan lelah dan mengantuk, bersiap untuk tidur. Keesokan hari pelayanan
kembali berlangsung, satu demi satu peserta dipanggil sesuai daftar. Suasana
Basim yang semula lengang, kali ini menjadi riuh rendah oleh kehadiran penerima
manfaat Bangga Papua dari tiga distrik, Fayit, Safan, dan Aswi disertai dengan
seluruh anggota keluarga. Ibu-ibu yang telah menerima pembayaran dari Bank
Papua diarahkan pergi ke swalayan untuk membeli bahan makanan yang memiliki kandungan gizi bagi anak di
bawah empat tahun serta pakaian bayi.
Pembayaran sengaja
diserahkan atas nama ibu untuk menguatkan peranan di dalam keluarga –dukungan
bagi kesetaraan gender. Sementara ibu ada yang merontak, karena nama tidak
tertulis di dalam daftar penerima manfaat. Jawaban tim Sekber adalah, “Silakan
mendaftar pada kepala kampung untuk pembayaran tahun berikut ….”
“Saya istri kepala
kampung ….!” Sang ibu menjerit marah.
“Daftar sama paitua ….” Jawab seorang anggota
Tim Sekber.
Pelayanan terus
berlangsung mengikuti rotasi matahari dari suhu terendah, terik hingga pakaian
basah kuyup, hingga kering menjelang sore hari. Suasana Basim kian ramai dan
hidup. Kunjungan Bupati Asmat, Kapolres, dan Ketua Sekber Bangga Papua benar
menghibur. Setelah hari-hari yang sibuk, interaksi social adalah suatu hal
yang menyenangkan. Seperti halnya kami
yang pernah melampaui gelombang pasang, maka rombongan Bupati Asmat telah
melewati lidah ombak yang sama dan segera kembali menjelang sore melewati
bahaya serupa.
Pada hari berikut
persoalan muncul, karena ibu penerima manfaat dikabarkan meninggal. Pihak Bank
Papua meminta surat keterangan kematian sebagai legalitas hikum bagi penerima
peangganti. Semula saya koordinasikan surat keterangan kematian ke dinas via
WA. Akan tetapi, seorang bapak marah besar, karena menunggu terlalu lama. Saya
teringat, selaku sekdis Dukcapil sawa berwenang pula menandatangani surat
keterangan kematian atas pernyataan dari kepala kampung. Persyaratan surat
keterangan kematian teratasi.
Hari berikut
berlanjut, kami mengira pelayanan akan selesai dalam lima hari. Ternyata sampai
hari Sabtu baru separuh pelayanan, kami pulang larut malam ke Puskesmas dalam
keadaan lelah sungguh, kaki Ibu Ety bengkak, karena gangguan empedu, perlu
dipijit secara khusus bagi perawatan. Dan tiba-tiba air semakin mengecil dari
setiap keran, semakin mengecil hingga akhirnya habis sama sekali. Kiranya hujan
telah cukup lama tidak juga turun, kami beramah tamah dengan tukang yang
membangun Puskesmas supaya dapat mandi sekaligus memenuhi kebutuhan air di
tempat penampungan yang terletak persis di seberang Puskesmas. Kemudian
hari-hari seakan berjalan lamban, menu nasi bungkus sungguh membosankan, satu
kali Yuli memasak super mie kuah campur rica, telur, dan sawi di dapur Polsek.
Kami makan bergantian sambil meneruskan pelayanan, pada situasi tertentu bahkan
sepiring super mie terasa lezat dari pada nasi bungkus.
Pelayanan terus
berjalan, mulai tampak hal-hal janggal dan lucu, beberapa anak tampak tidak
nyaman dalam pangkuan mamanda. Kiranya anak tersebut bukan anak kandung, tetapi
anak “pinjaman”, entah apa sebenarnya yang telah berlaku? Bila dana tidak
dibayarkan, akan terjadi keributan, karena yang bersangkutan sudah berharap dan
terdaftar. Satu hal yang aneh adalah ketika seorang bapak kelahiran tahun 1996,
tetapi memiliki istri seorang nenek yang telah melewati masa reproduksi sehat.
Nama suami sama dengan nama di Kartu Keluarga, tanpa KTP kami tidak bisa
memastikan siapa sebenarnya nama nenek. Ternyata sang nenek adalah “istri
pinjaman” dari pihak suami, karena pasangan suami istri tersebut telah
berpisah, hak asuh anak jatuh pada suami, karena anak dibesarkan ayah.
Hari yang melelahkan
belum juga berakhir, kami masih bertahan dengan fasilitas yang sederhana, tikar
alas tidur, menu nasi bungkus tanpa variasi, dan akhirnya hujan benar tidaak
turun. Tukang yang mengerjakan bangunan
Puskesmas berpamit kembali ke Agats, menempuh gelombang Laut Arafura yang
mendidih. Tanpa penjaga masyarakat berduyun-duyun menimba air hingga satu bak
habis tanpa sisa, bak kedua kembali dikuras. Saya cemas bila air benar-benar
habis, meminta seorang warga untuk memberikan teguran, akan tetapi teguran tak
diindahkan. Akhirnya datang seorang yang biasa membantu di Puskesmas. “Kalau
kamu orang tidak stop ambil air, saya palang pintu dari luar supaya kamu orang terkurung di dalam!!!” suara itu
demikian keras dan menakutkan. Maka
seluruh aktivitas timba air berhenti. Terakhir saya tergelak, di wilayah hutan
hujan tropis dan tanah rawa berlumpur ketika sumber air bersih hanya tercurah
dari langit, air selalu menjadi persoalan. Saya meminta tenaga bantuan mengisi air di bak mandi untuk
antisipasi kebutuhan air esok hari.
Hari terakhir
menjelang penjemputan, kami masih ragu dengan dengan ombak yang mengamuk dan
angin kencang. Apakah speed boat dapat melampaui gelombang pasang Arafura?
Sementara kami dikejutkan dengan biaya konsumsi yang tinggi Rp. 40,000,00 per
bungkus, total harga yang fantastis. Bagaimana harus melapor pada ketua Sekber?
Ups ….
Pagi terakhir
suasana di Basim mulai tampak lengang, keluarga penerima manfaat dari tiga
distrik telah menerima hak, keluarga dari kampung jauh menyusul, karena ketiadaan BBM. Sekitar 1.200 penerima
manfaat sudah terlayani, 500 keluarga akan diselesaikan pada hari berikut. Ketika
akhirnya empat speed boat sandar di dermaga dengan selamat, tergagap
kami mengepak barang, bersiap kembali ke Agats, mengukur keberanian melampaui
gelombang pasang Arafura –air laut yang masih mendidih. Kami berpamit, bertatapan
dengan anggota Sekber, ketika berangkat kami tim, ketika kembali kami adalah
keluarga yang saling membantu memahami kesulitan masing-masing, sehingga hak
masyarakat dalam rangka Pembangunan Generasi Keluarga Sejahtera Papua dapat
diselesaikan dengan baik. Bantuan berupa uang cash bagi pemenuhan gizi serta pakaian,
dokumen kependudukan sebagai persyaratan, keterlibatan dengan BPD, peran kuat
seorang ibu dalam pengelolaan bantuan dana adalah bagian proses panjang dalam
rangka pembangunan generasi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar