Kamis, 24 April 2003, suasana di ibu kota Agats,
sebagai pusat pemerintahan di Wilayah Asmat tampak berbeda dari
hari-hari biasa. jajaran Pemerintah Distrik dengan seluruh dinas serta
instansi terkait di dalamnya serta masyarakat adat Asmat telah bersiap
bagi sebuah penjemputan. Penjemputan ini sebenarnya telah dipersiapkan
pada 4 Februari 2003, bertepatan dengan tahun emas masuknya Injil di
Wilayah Asmat. Akan tetapi, kedatangan itu tertunda, sehingga masyarakat
harus menunggu hingga April hari ke-24 itu.
Ketika pada sekitar pukul 14.30 Waktu Indonesia Bagian Timur
pesawaat Twin Otter Mimika Airlines berputar di atas Kota Agats, maka
masyarakat mengerti sudah, tamu yang ditunggu telah sampai. Penantian
masih berlangsung lebih satu jam, karena masyarakat Ewer melakukan
penjemputan dengan gegap gempita kemudian melepas keberangkatan
rombongan hingga ke dermaga. Sementara di muara Sungai Fambrep,
masyarakat Kampung Syuru telah menunggu dalam pakaian adat dan ci – perahu
lesung. Dari kejauhan tampak beberapa speed boat melaju dalam kecepatan
tinggi, memecah gelombang air di belakangnya. Satu di antara empat
speed boat itu berhenti di antara perahu-perahu lesung, memindahkan
penumpang. Dengan suara gegap gempita rombongan perahu itu bergerak
maju, menuju ke jew -- rumah bujang.
Jembatan panjang yang melintang dari Kampung Syuru hingga
Sekolah Menengah Negeri 2 Agats adalah deretan papan yang telah lapuk
dan berantakan. Untuk itu masyarakat telah mensejajarkan dua lembar
papan dan memakunya kuat-kuat sebagai jembatan darurat, sehingga
rombongan tamu dapat berjalan beriringan dalam irama pukulan tifa.
Pada sekitar pukul 16.00 Waktu Indonesia Bagian Timur Lapangan
Yos Sudarso telah dipadati sekalian masyarakat dalam tata rias adat
Asmat, mereka mengenakan awer, bacin -- topi bulu kuskus,
tulang kasuari, dan rias wajah tiga warna, merah, putih, hitam. Irama
pukulan tifa serta hentakan kaki seakan kekuatan alam yang akan
merobohkan papan-papan jembatan, maka datanglah rombongan dalam
iring-iringan yang sangat panjang. Di bagian terdepan, tampaklah sosok
yang telah ditunggu masyarakat sebagai tokoh sentral pemekaran wilayah.
Ia adalah Wiro Yosef Watken.
Perjalanan panjang dari Jayapura hingga Agats dengan menumpang
berupa kendaraan amatlah melelahkan, tetapi kelelahan itu tak pernah
tampak. Wiro Yosef Watken mengenakan seragam keki dengan topi bulu
kuskus dan noken – tas tradisionil di dada. Senyumnya merebak,
ia telah menjadi bagian dari kehidupan Asmat, bagian yang sangat
penting. Pada 12 April 2003 setelah dilantik sebagai Penjabat Bupati
Kabupaten Asmat di Jayapura, maka dalam proses pemekaran wilayah Wiro
Yosef Watken telah menjadi orang pertama di
Asmat yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pengembangan Asmat ke depan.
Asmat yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pengembangan Asmat ke depan.
Di samping Bupati Wiro Watken tampak Nyonnya Walboga Bernadheta
Moperteyao – Ibu Wiro Watken, satu-satu wanita yang pernah dikenal
dalam hidupnya. Dua anak laki-laki Bupati Wiro Watken, Marselinus Watken
dan Amatus William Watken bersama rombongan, yaitu anak menantu,
ajudan, dan reporter Rajawali Citra Televisi Indonesia ada pula
menyertai. Suasana di Lapangan Yos Sudarso menjadi gegap gempita oleh
irama pukulan tifa, suara pekikan, dan hentakan kaki yang menari-nari.
Seorang penjemput menjadi begitu cemas apabila papan jembatan menjadi
roboh, akan tetapi kecemasan itu tak terbukti.
Suara gegap gempita itu terhenti, ketika Bupati Wiro Watken
memegang gagang pengeras suara kemudian menyammpaikan sambutan. Bahwa ia
sangat berbahagia dan berterima kasih terhadap sambutan masyarakat yang
sangat meriah. Bahwa noken yang dikalungkan di leher dalam keadaan
kosong merupakan suatu symbol terhadap segala tugas dan tangyung jawab
yang harus dipenuhi dalam rangka pembangunan Asmat. Pernyataan Wiro
Watken segera disambut dengan sorak sorai dari sekalian masyarakat
sebagai suatu sikap yang membenarkan pernyataan itu.
Pertemuan dan kunjungan Bupati Wiro Watken ke Asmat merupakan
untuk yang pertama kali. Wiro Watken adalah nama yang tiba-tiba muncul
menjelang hari pelantikan Bupati Kabupaten Asmat, menggeser nama-nama
yang lain. Dari sekalian masyarakat Asmat hanya sedikit yang mengenal
Bupati Wiro Watken secara dekat. Selebihnya bertanya-tanya, siapakah
Wiro Yosef Watken?
***
Wiro Yosef Watken lahir di Waropko, 25 Februari 1949. Watken
merupakan nama ayahanda, ibunda bernama Ambrasi Ambop. Wiro anak ketiga
dari empat bersaudara. Saudara pertama meninggal setelah perkawinan,
saudara kedua diculik Organisasi Papua Merdeka pada tahun 1979, ia pergi
tak pernah kembali lagi. Saudara keempat meninggal karena sakit,
sampai saat ini dari keempat orang Watken yang dilahirkan Ambrasi Ambop,
hanya Wiro Yosef Watken yang masih ada.
Sejak kecil Wiro menjalani kehidupan secara apa adanya, seperti
halnya air yang mengalir. Air bergerak, karena kekuatan alam yang tidak
dapat dilihat, yaitu gravitasi. Lingkungan seputar Wiro adalah hutan
lebat, tanah keras yang memungkinkan berjenis-jenis tanaman tumbuh dan
berbuah sebagai bahan konsumsi sehari-hari dan manusia bertahan hidup
atasnya. System perladangan berpindah menjadi suatu strategi adaptasi
masyarakat setempat dan Wiro kecil menjadi bagian pula di dalamnya. Masa
kanak-kanak masih lekat dalam ingatan, ketika Wiro pergi dengan
teman-temannya membakar sukun di hutan, menyelam bersama ikan-ikan di
sungai atau beramai-ramai memetik pisang dan segala jenis buah-buahan.
Tahun 1958 Wiro harus berhadapan dengan kenyataan pahit yang
sulit diyakini, umurnya belum genap 10 tahun. Watken senior, ayahanda
meninggal dunia, menghadap Sang Pencipta. Wiro tak dapat mengerti,
mengapa kematian itu harus terjadi? Ia masih seorang anak, ia harus
berfikir keras dan menguatkan hati untuk menghadapi kenyataan, bahwa
sosok yang menjadi asal mula kehidupannya telah pergi untuk
selama-lamanya. Wiro duduk bersimpuh di pemakaman dengan suatu perasaan
terguncang yang sedemikian dalam, sehingga ia tidak dapat melukiskan
perasaan, bahkan setelah berpuluh tahun kematian itu berlalu.
Wiro kembali dari pemakaman dalam suasana hati yang limbung, ia
ingin kembali mendapatkan kehidupan bersama orang yang dicintai, tapi
ia sadar, ia tak pernah berkuasa untuk melakukannya. Kematian itu harus
diterima sebagai takdir, kehendak Yang Maha Kuasa yang pasti terjadi
pada setiap insane. Ia masih memiliki seorang wanita, ibu yang dapat
melindungi dan membesarkannya. Kepada ibunda Wiro menggantungkan hidup.
Ia tinggal bersama ibunda di dusun, berpindah dari satu ladang ke
ladang yang lain supaya dapat memetik hasil bumi. Paman Wiro ingin
menjadi pelindung dan berniat mengambil ambrasi Ambop sebagai istri,
tetapi wanita itu keberatan. Suami memang telah tiada, tetapi kengan
atas dirinya tetap hidup, menjadi suatu kekuatan untuk membesarkan
anak-anaknya. Ambrosi tak pernah ragu akan hal itu.
Wiro kecilpun bertahan pada kehidupan yang sudah menjadi suratan, ia tak menolak ketika harus beradaptasi dengan bangku Voor Class –
Sekolah Rakyat, setara dengan Sekolah Dasar saat itu. Meskipun proses
adaptasi dengan bangku sekolah bukanlah suatu hal yang mudah bagi Wiro.
Selama tiga tahun pertama duduk di bangku Voor Class, Wiro
lebih banyak meninggalkan kelas, “lari” dengan teman-temannya untuk
membakar sukun di hutan, memetik pisang atau meramah sagu kemudian
menyelam bersama ikan-ikan kecil di sungai. Pakaian yang dikenakan pada
saat itu adalah buah luayu, pakaian tradisional yang dikenakan
masyarakat pada umumnya. Wiro tak pernah merasa asing dengan jenis
pakaian itu, karena teman-teman mengenakan pakaian serupa. Maka, bersuka
rialah anak-anak itu di tengah hutan pada jam sekolah.
Tahun 1961 ketika usia Wiro menjelgn 12 tahun, ia harus ke Mindiptana untuk meneruskan sekolah VVS – Ver Volk School, Sekolah
Rakyat Lanjutan, setara dengan Sekolah Dasar. Pada saat itu Wiro mulai
mengenakan pakaian seragam, sama seperti teman-teman yang lain. Ia
tinggal di asrama yang dikelola Pemerintah Belanda dengan disiplin yang
tinggi. Wiro tak ingat berapa banyak siswa yang tinggal di asrama, tapi
rasanya banyak sekali, sekitar ratusan, semua berasal dari Waropko dan
Mindiptana. Kehidupan di asrama telah memisahkan Wiro dari ibunya, tapi
Wiro tak merasa aneh dengan perpisahan itu. Ia harus sekolah, jarak dari
rumah ke bangku sekolah amatlah jauh. Ibunda harus bertahan di dusun,
perpisahan terjadi, Wiro menjalani perpisahan itu dengan wajar pada usia
sangat belia.
Sampai di asrama kebiasan lari bagi Wiro tak pernah berubah,
terlebih karena peraturan yang sangat ketat, tak pernah dimengerti
sebelumnya. Sementara teman-teman seangkatan mengalami hal yang sama. Di
saat-saat yang membosankan, Wiro dan kawan-kawan meninggalkan tembok
asrama untuk sekedar bermain-main di luar. Anak-anak yang jejak kakinya
lebih kecil meninggalkan asrama secara diam-diam terlebih dahulu,
kemudian yang lain menyusul, menginjak jejak kaki di depannya secara
rapi. Demikian seterusnya, siswa dengan telapak kaki terbesar akan
menginjak seluruh telapak kaki yang ada. Ketika pengawas datang
memeriksa situasi asrama, ia akan mengira hanya satu orang yang
meninggalkan asrama dengan jejak kaki yang besar, meski kenyataannya ada
banyak siswa yang lari, termasuk Wiro.
Wiro terbiasa dengan kenakalan, sampai suatu ketika seorang
pengawas, Broeder Paulus menjadi sedemikian marah, memukulnya
keras-keras, sehingga pendengaranya terganggu. Rasa sakit membuat Wiro
menjadi m engerti, ia tak bisa berlarut-larut dengan kenakalan. Disiplin
sangatlah penting, ia harus memulai prose situ. Suatu ketika seorang
kerabat jauh yang telah menjadi bestir – camat berkunjung ke kampung
untuk mengadakan syukuran. Ia mengenakan seragam yang rapi dan gaya.
Wiro tertegun, kedatangan itu telah membuka mata hati Wiro, tentang
suatu kehidupan lain. Kehidupanyang lebih terarah, rapi, bergaya,
diliputi tanggung jawab sekaligus rasa hirmat. Dalam diri Wiro mulai
berpikir, adakah suatu saat ia bisa menjadi seorang bestir? Suatu sosok
yang menjadi tokoh sentral pada sebuah pertemuan, seorang pemimpin, dan
sejumlah predikat lain.
Wiro memendam tanda Tanya itu, sebuah keinginan yang tak mudah
untuk dijawab, waktu yang ditempuh masih panjang. Akan tetapi, bukankah
setiap orang berhak akan cita-cita? Mungkin Wiro tak benar-benar
menyadari keinginan itu, tetapi ia mulai dapat memahami arti
kesungguhan. Bahwa dalam menjalani hidup manusia pasti memiliki tujuan.
Bahwa untuk mencapai tujuan manusia harus bekerja keras, kenakalan itu
cukuplah sudah. Ia harus menjalani hidup dengan segala kesungguhan hati.
Peruabahan perilaku Wiro telah menimbulkan rasa simpati, sehingga
akhirnya ia menjadi anak emas penjaga asrama. Ia bisa leluasa keluar
masuk pada setiap ruangan, membersihkan kamar kerja petugas
berkebangsaan Belanda, menyalakan disel. Siswa-siswa lain tak pernah
mendapatkan kesempatan seperti itu. Wiro layak berbangga diri.
Pemerintah Belanda sebagai pengelola asrama, mendidik setiap
siswa secara professional. Anak-anak bukan hanya dijejali materi
pendidikan, tetapi ditelusuri bakat dan kemampuannya, sehingga siswa
yang bersangkutan dapat menerima materi dengan rasa senang. Bersekolah
akhirnya menjadi hal yang menyenangkan, bukan proses yang lelah dan
membosankan, Wiro terbawa arus di dalamnya. Iapun menyadari, bahwa
belajar merupakan bagian dari hidup – bagian yang sangat menentukan.
Proses adaptasi terhadap system pendidikan bagi Wiro, terlewat sudah..
Tak ada lagi kenakalan atau kebiasaan lari. Pada libur semester Wiro
kembali ke Waropko untuk mengunjungi ibunda. Selesai liburan Wiro
kembali ke Mindiptana, meneruskan sekolah, menjelang hari-hari dengan
wajar. Ia dan semua penghuni asrama mendapatkan segala fasilitas hidup
dengan lengkap, konsumsi sehari-hari, pakaian, dan alat tulis, beban
hidup karena berpisah dengan orang tua banyak berkurang. Bahkan seakan
tak terasa lagi.
Tahun 1962 Irian Jaya berintegrasi ke Indonesia. System kerja
Pemerintah Belanda bergoyang. Tahun 1963 Wiro menyelesaikan pendidikan
VVS. Ia dan Dominikus Ukai – Akhirnya menjadi Sekretaris Daerah pertama
Kabupaten Boven Digul dinyatakan sebagai lulusan terbaik. Pada tahun itu
juga Wiro meneruskan sekolah lanjutan di Merauke. Bersama 60 rombongan
Wiro berjalan kaki ke Tanah Merah selama dua hari satu malam, kemudian
terbang ke Merauke menumpang Pesawat Dakota. Penerbangan itu berarti,
bahwa jarak dengan orang tua semakin jauh. Wiro bahkan taka mampu lagi
berpikir, bagaimana ia dapat mengunjungi ibunda suatu hari nanti. Ia
telah menjadi bagian dari suatu system dengan jaringan yang semakin
melebar dan terus bergerak. Seperti halnya buih-buih air, Wiro terbawa
serta arus sungai yang semakin lama semakin deras untuk mencapai tujuan.
Tahun 1964 Wiro masuk ke asrama Sekolah Mengah Pertama milik
missionaries. Di dalam asrama tinggal seluruh siswa dari seluruh distrik
di Merauke. Pemerintah Belanda masih memberikan subsidi untuk konsumsi
sehari-hari, pakaian, dan perlengkapan sekolah, sehingga siswa-siswa tak
mengalami kesulitan dalam proses belajar. Sementara situasi Kota
Merauke membuat Wiro menjadi heran. Ia harus melihat, berhadapan
langsung, bahkan menjadi bagian hidup di dalamnya.
Merauke adalah jalanan panjang beraspal dengan aneka k endaraan
bermotor meluncur di atasnya, sepeda, motor, dan mobil. Rumah penduduk
dan gedung-gedung juga tampak sedemikian besar. Sementara penduduk yang
menetap di Merauke terdiri atas bermacam-macam suku, suatu hal yang tak
terjadi di tempat kelahirannya. Wiro harus beradaptasi dengan
lingkungan tempat tinggalnya, sehingga ia dapat diterima di dalamnya.
Di antara teman-temannya Wiro termasuk yang paling kecil, iapun
dianggap kecil di lingkungan bermain. Wiro tak dapat melupakan, betapa
ia sering diejek dan dipukuli teman-temannya, ia merasa sakit dan sakit
hati. Setiap pembagian rokok pada hari Minggu, senior pasti mencuri
rokok itu, Wiro selalu kehilangan jatah rokok. Sampai akhirnya Wiro
sengaja mengisi ampas kikisan pensil di dalam lintingan rokok kemudian
meletakkan begitu saja. Ketika senior bersemangat mencuri rokok yang
diperoleh hanya kikisan pensil, bukan rokok. Mula-mula senior sangat
marah, karena merasa dipermainkan, tetapi setelah menyadari
kesalahannya, mereka menjadi malu, tak pernah mencuri lagi.
Sementara prestasi Wiro di sekolah termasuk biasa-biasa saja, ia tak pernah menonjol. Ia mulai bertanya-tanya dalam hati, apa kesalahannya?
Dalam suasana hati yang gamang Wiro berdoa di depan patung Bunda Maria ,
memohon jawaban. Ia pun berdoa bagi ibunda, seorang wanita yang
bertahan, menetap nun jauh di dusun sana. Di dalam doa ini Wiro kembali
mendapatkan kedamaian. Ia mulai memikirkan rencana hidup ke depan, ia
sadar sepenunnya harus bersungguh-sungguh.
Tahun 1966 ketika meletus peristiwa Gerakan 30 September/
Partai Komunis Indonesia, Wiro benar-benar merasakan kesulitan hidup. Ia
dan kawan-kawan sekolah belum cukup untuk sekedar memahami, mengapa
peristiwa mengerikan itu terjadi, sehingga mereka harus berhadapan
dengan situasi yang sedemikian sulit? Keadaan sulit menyebabkan asrama
bergabung dengan siswa Sekolah Menengah Pertama Michael. Sembilan bahan
kebutuhan pokok tiba-tiba menghilang dari pasaran, masyarakat harus
menunggu dalam antrian panjang untuk mendapatkan. Subsidi dari asrama
dicabut, kecuali konsumsi tiga kali sehari, kesulitan hidup kian
menekan. Menjelang upacara di sekolah, Kepala Sekolah menceritakan
situasi yang terjadi di Obu Kota Jakarta. Wiro tak punya pilihan lain
kecuali beradaptasi dengan situasi yang terus memburuk untuk bertahan
hidup.
Wiro pernah memasukkan kain seragam Praja Muda Karana kepada
seorang penjahit dengan harapan, ia akan dapat memperoleh uang untuk
membayar harga jahitan. Akan tetapi, sampai enam bulan kemudian uang itu
tak pernah tergenggam di tangan, akhirnya penjahit itu memberikan
sergam tanpa memungut biaya. Sementara di sekolah Wiro memiliki
kebiasaan menyambar lenso – sapu tangan siswi-siswi sebagai suatu permainan yang menggelikan. Suatu ketika dari sehelai lenso
yang disambar tersimpan uang Rp. 60,00. Wiro terbelalak dengan uang
itu, ia tak pernah berniat mencuri, ia hanya sekedar bermain. Kini ia
mendapatkan Rp. 60,00 di dalam lenso, ia dapat membeli dua
belas batang sabun, kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi, baik untuk
mandi maupun mencuci. Wiro tak perlu berpikir panjang untuk mengambil
keputusan. Ketika siswi yang kehilangan mulai sibuk mencari-cari, Wiro
memilih diam, ia bersikap seolah-olah tak pernah menemukan Rp. 60,00
pada selembar lenso. Sampai pelajaran usai Wiro tetap berdiam
diri, uang itu menjadi hak miliknya. Dengaan perhitungan yang cermat
Wiro memanfaatkan Rp. 60,00 untuk membeli sabun mandi, sabun cuci, buku
tulis, dan kue. Dengan demikian, maka kesulitan hidup Wiro dalam
beberapa hari teratasi sudah.
Wiro menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama pada
tahun 1966, ia telah tiga tahun berpisah dengan ibunda. Tiba-tiba Wiro
merasakan rindu sedemikian dalam, hal serupa dirasakan pula oleh
teman-teman lainnya. Mereka ingin sekedar berlibur ke kampung, tetapi
jarak antara Merauke Waropko amatlah jauh. Sementara keadaan sulit telah
menghentikan jadwal penerbangan pesawat. Meski demikian keinginan untuk
berlibur mengunjungi orang tua tak terbendung lagi. Bersama 13 orang
kawan Wiro bersepakat untuk berjalan kaki dari Merauke ke Mindiptana.
Kesepakatan ini disetujui pihak Missionaris yang terus memantau
perjalanan ke kampung via radio.
Pada bulan Oktober 1966, saat kemarau sampai di akhir musim
Wiro bersama kawan-kawan satu kampung, semua berjumlah 14 orang memulai
perjalanan. Abraham Kuruwaip – kelak menjadi Kurator Museum Kemajuan
dan Pengembangan Asmat kemudian menjadi Ketua Dewan Perkawilan Rakyar
Propinsi Irian Jaya, bertindak selaku ketua rombongan. Perjalanan
dimulai dengan menumpang Kapal Motor Maro milik Missionaris dari Merauke
hingga ke Kampung Po, sebuah k ampung yang menjadi tempat libur umum.
Setelah itu perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki dari Po hingga ke
Kuwei selama satu hari satu malam. Rombongan kecil itu menyusuri jalan
setapak di tengah hutan. Pada malam hari bersama-sama mereka membuat bevak
– pondok sederhana, menyalakan api unggun untuk menghalau berbagai
jenis serangga dan binatang jahat. Pada siang hari ketika matahari panas
membakar dan persediaan air habis, ketua rombongan Abraham Kuruwaip
kehausan. Ia hamper menyerah dengan perjalanan ini. sebagai jalan keluar
terpaksa mereka membuka kaleng sarden, memberikan kepada Abraham.
Abraham perlu istirahat beberapa lama sebelum akhirnya rombongan itu
terus berjalan menuju ke Kampung Kuwel dan kebutuhan akan air dapat
terpenuhi dengan baik.
Sampai di Kuwel seorang anggota rombongan mengundurkan diri,
tersisa 13 orang. Di antara seluruh anggota rombongan Wiro adalah yang
paling kecil dan mudah diatur. Rombongan itu selanjutnya meneruskana
perjalanan menuju ke Bupul dan Muting. Sampai di Muting seorang anggota
rombongan kembali mengundurkan diri, jumlah tersisa 12 orang. Pihak
Missionaris terus memonitor perjalanan itu via radio dari kampung ke
kampung. Wiro meneruskan perjalanan tanpa keluh kesah. Ia tak menyesali,
Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia telah meletus, bahwa
gerakan itu telah menghancurkan seluruh system kehidupan masyarakat,
pesawat Dakota tak lagi terbang, ia harus merambah hutan berhari-hari
lamanya untuk mengunjungi orang tua. Perjalanan ini ditempuh dengan
kerelaan hati.
Setelah satu orang menyerah di Muting, rombongan terus berjalan
menuju Sklil – Terek -- Nanggo. Sampai di Getentiri perahu motor milik
Missionaris menunggu. Perjalanan diteruskan dengan kendaraan air hingga
ke Tanah Merah. Setelah 14 hari perjalanan, maka rombongan sampaidi
Waropko. Wiro bertemu dengan ibunda, wanita itu masih tetap berkebun
untuk bertahan hidup. Kunjungan Wiro Watken setelah tiga bulan masa
pendidikan merupakan suatu hal yang lebih dari sekedar menyenangkan.
Ananda telah remaja dan bersiap menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
Kelak, ia akan memiliki kehidupan lain dari pendidikan yang telah
diperoleh, bukan lagi ketergantunag terhadap hutan atau lading. Akan
tetapi, terhadap suatu system, kemungkinan-kemungkinan untuk merubah
nasib sendiri serta nasib orang-orang disekitarnya.
Kurang tiga bulan lamanya Wiro menetap dengan ibunda, ia seakan
kemebali pada kehidupan masa lampau sebelum menjadi bagian hidup di
tempat yang lebih ramai dengan system pendidikan yang lebih teratur.
Kehidupan di kota amatlah berbeda dengan kehidupan di dusun. Kehidupan
Wiro telah berubah menjadi sedemikian jauh, ia telah menyelesaikan
pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan berniat meneruskan ke Sekolah
Menengah Atas. Ibunda tetapsebagai sosok yang mulia. Wiro tak pernah
menyadari, bahwa pertemuan itu merupakan pertemuan untuk yang terakhir
kali.
Pada Januari 1967 Wiro berpamit kepada ibunda, ia harus kembali
ke Merauke, Wiro tak punya firasat atau perasan apapun, kecuali
keinginan untuk kembali mengunjungi ibunda pada libur sekolah
berikutnya. Wiro berangkat bersama rombongan, ada tiga orang anak
perempuan yang telah lulus Sekolah Dasar ikut serta untuk meneruskan
sekolah ke Merauke, jumlah rombongan itu menjadi 15 orang. Saat itu
musim hujan, jalan-jalan yang ditempuh basah dan berlumpur, tergenang
air atau banjir. Rombongan it uterus menuju Nanggo - Terek – Seklil, dan
Muting dengan bekal sagu lempeng dan kenari. Mereka singgah di
kampung-kampung atau bermalam di bevak di tengah hutan dengan
nyamuk, lintah, dan lalat babi berkeliaran. Semua mengikuti perjalanan
tanpa keluh kesah. Demikian pula dengan tiga anak perempuan yang ikut
serta, tidak ada yang menangis atau rewel. Hambatan yang ada ialah
situasi banjir.
Sesampai di Po rombongan telah dijemput Kapal Motor Maro, maka
keseluruhan rombongan itu tiba kembali di Merauke dengan selamat. Tak
seorangpun sakit, hanya merasa sedemikian lelah, sehingga perlu
berisitirahat. Kemudian Wiro melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah
Atas, masih tetap tinggal di asrama. Keadaan hidup masih tetap sulit,
kecuali konsumsi tiga kali sehari tak ada lagi subsidi. Wiro tak lagi
mendapatkan uang saku untuk mencukupi kebutuhan sekolah. Ia tak mau
menyerah, harus mendapatkan jalan keluar. Teman-teman Wiro sering
menangkap ayam yang berkeliaran di halaman asrama, memelihara di tempat
tersembunyi hingga besar kemudian menjual kepada pak guru seharga Rp.
20,00 hingga Rp. 30,00. Uang sebesar itu digunakan untuk membeli
pakaian, buku, pensil, odol serta sabun. Akhirnya Wiro melakukan hal
yang sama untuk bertahan hidup. Ia tak berniat melakukan kesalahan,
tetapi dalam situasi seperti ini tak banyak yang dapat dilakukan. Ia
melakukan hal serupa dengan teman-temannya, semata-mata untuk mensiasati
keadaan sulit. Di samping itu Wiro berkebun, menanam bermacam jenis
sayur kemudian menjual kepada pak guru.
Wiro melampaui keadaan sulit secara apa adanya, ia tidak
pernah merasa menyesal atau tertekan. Demikian pula ketika ia harus
pintar merawat satu-satunya pakaian yang dapat dikenakan ke sekolah.
Siang hari setelah pulang sekolah Wiro akan segera mencuci pakaian itu
kemudian menjemurnya di bawah terik. Pagi hari bila pakaian itu masih
basah, Wiro mengeringkan dengan setrika arang, sehingga ia dapat pergi
ke sekolah dengan pakaian rapi. Teman-teman Wiro mengalami hal serupa,
masing-masing hanya memiliki satu stel pakaian ke sekolah dan merawatnya
setiap hari dengan sebaik-baiknya. Teman-teman putrid hafal pemilik
masing-masing pakaian yang sedang dijemur. Pada hari Natal Wiro dan
teman-temannya perlu mengubah penampilan, mereka saling bertukar pakaian
untuk beribadah.
Pada hari Natal pihak asrama menyediakan menu tambahan, Wiro
dan teman-teman dapat bergembira, melupakan hari-hari sulit. Seorang
kakak Wiro, Yan Renwarin yang kini menjadi Doktor dan mengajar di
Fakultas Pertanian Universitas Papua sering membantu Wiro dalam keadaan
sulit dengan memberikan sepatu, celana, dan pakaian, sehingga Wiro dapat
bertahan, karena kebaikan itu. Untuk semua kebaikan itu Wiro tak pernah
melupakan. Wiro juga masih ingat, bila malam Minggu tiba, ia dan
teman-teman akan pergi secara sembunyi di kebun memetik kelapa dan
mangga milik suster. Hidangan tambahan yang diperoleh dengan sembunyi
dan hati-hati itu sungguh merupakan suatu hal yang menyenangkan,
sehingga Wiro dapat sedikit menghibur diri ketika dalam ujian ia m
endapatkan nilai empat.
Sementara prestasi Wiro di sekolah termasuk kategori rata-rata. Ia cenderung menekuni kegiatan ibadah, sehingga dapat menjadi koster –pelayan Gereja selama empat tahun sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Mengah Atas. Selama menjadi koster
wiro bertugas membantu Pastor menyiapkan ibadah di Katedral kemudian
membereskan Gereja selesai misa. Wiro tiba kembali di asrama dalam
keadaan terlambat, makanan sisa sedikit. Sementara dampak peristiwa
Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia terus berlarut-larut dan
situasi asrama terus memburuk. Konsumsi sehari-hari seakan tak pernah
terpenuhi. Ayam-ayam yang berkeliaran di asrama seringkali menghilang
tanpa dapat dilacak jejaknya.
Satu kali Wiro mengajak dua orang teman yang lain mencari jalan
keluar untuk mensiasati kesulitan konsumsi. Mereka menjebak ayam yang
berkeliaran di asrama dengan memancingn masuk ke dalam dapur, sampai di
dapur ayam itu dipukul keras-keras sampai mati kemudian dipotong,
dimasak, kemudian dimakan bersama-sama. Wiro terus berupaya untuk
mensiasati keadaan sulit. Salah satu hiburan dalam keadaan seperti ini
adalah menjadi anggota drum band, sebagai peniup terompet dengan nada
do mi sol. Pada hari-hari besar Wiro akan bergabung dengan barisan drum
band dengan pakaian seragam lengkap dan rasa bangga.
Tahun 1969 Wiro menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas,
saat itu ia merasa dirinya sudah cukup dewasa, memutuskan bekerja di
kantor Imigrasi. Wiro diterima sebagai pegawai kemudian mulai aktif.
Ketika ada pengumuman testing Akademi Pemerintahan Dalam Negeri, Wiro
ikut serta sambil meneruskan pekerjaan di kantor Imigrasi. Akan tetapi,
ketika baru dua minggu bekerja baru dua minggu bekerja Wiro mendapat
kabar, bahwa mama telah meninggal dunia. Wiro merasa seluruh rencana
kerja berantakan. Ia tak p ernah ingin mendengar kabar itu, tapi tak
kuasa menolaknya. Wiro mencari uang untuk pulang. Ia menumpang pesawat
ke Tanah Merah dan meneruskan perjalanan ke Waropko.
Sampai di Waropko Wiro terduduk di depan makam ibunda dengan
hati lebam. Sulit untuk meyakini, bahwa orang yang telah melahirkan
kemudian membesarkan telah berpulang, pergi untuk selama-lamanya. Wiro
teringat tiga tahun lalu, ketika ia memutuskan pergi berjalan kaki dalam
sebuah rombongan dari Merauke untuk mengunjungi ibunda. Ia tak pernah
mengira, pertemuan saat itu ternyata untuk yang terakhir kalinya.
Setelah itu, maka ia tak akan pernah bertemu lagi. Wiro seakan mengapung
di atas ruangan kosong. Ayahanda telah meninggal saat ia masih
kanak-kanak, kini menyusul ibunda. Bukan suatu hal yang mudah untuk
meyakini, bahwa ia telah kehilangan dua orang yang dicintai, ayah dan
ibu. Ia memerlukan waktu y ang cukup panjang untuk beradaptasi dengan
keadaan sulit. Kedua orang tuanya memang telah tiada, tetapi ia masih
sangat muda dan harus tetap hidup. Perjalanan yang harus ditempuh belum
berakhir sampai di sini. Wiro harus kembali ke Merauke setelah hari-hari
berkabung.
Bersama kakak Wiro pergi ke Mindiptana terus ke Tanah Merah.
Pada Februari 1970 Wiro menerima panggilan dari Jayapura untuk mengikuti
pendidikan Akademi Pemerintah Dalam Negeri. Kepala Pemerintah Setempat
segera memberikan prioritas kepada Wiro supaya dapat menumpang pesawat
AMA ke Merauke. Sehari setelah sampai di Merauke, Wiro segera meneruskan
penerbangan ke Jayapura dengan pesawat yang sama, seorang diri. Wiro
mendarat di Bandara Sentani dengan segala rasa heran, ia telah menjadi
bagian kehidupan dari Ibu Kota Provinsi, bukan hanya kabupaten. Di atas
segala rasa heran akhirnya Wiro kebingungan. Ia diterbangkan ke Jayapura
tanpa sepeserpun uang di saku. Ia memutuskan untuk menemui senior yang
tinggal di Hamadi. Senior segera mengantar ke tempat pendafataran.
Wiropun diterima, ia tinggal di asrama. Bergabung dengan mahasiswa lain
dari bermacam suku dan m enjadi bagian hidup di dalamnya.
Wiro termasuk angkatan ke III di akademi, ia mahasiswa tugas
belajar dengan masa kerja 0 tahun 0 bulan, sekaligus sebagai Calon
Pegawai Negeri Sipil dengan gaji Rp. 512,00 per bulan. Jumlah itu
amatlah besar, Wiro dapat leluasa membeli keperluan sehari-hari, seperti
sabun, odol, dan makanan. Selebihnya, Wiro banyak memberikan bantuan
kepada adik-adik di Asrama Muyu untuk mengatasi kesulitan belajar. Wiro
selalu ingat, bahwa ia sering dibantu senior dalam keadaan sulit, kini
ia melakukan hal yang sama.
Setiap hari Wiro pergi ke kampus, mendengar, membaca, menulis,
dan bersuara. Kemudian aktivitas berjalan seperti biasa. akan tetapi,
pada malam hari ketika telah bersiap untuk tidur tiba-tiba Wiro teringat
akan ibunda, wanita itu meninggal dalam usia muda, 40 tahun. Ia telah
berjuang demi kelangsungan hidup ananda. Kini setelah anak yang
dilahirkan mendapatkan kehidupan yang layak sebagai anak bangsa, wanita
itu tak dapat lagi melihatnya. Wiro merasa seakan ditekan beban yang
sangat berat, penyesalan, rasa kecewa, dan rindu tak berujung. Ia
kehilangan motivasi untuk mencapai sebuah tujuan, hatinay terasa kosong.
Berjam-jam lamanya Wiro terjaga dalam rasa gelisah, ia tak dapat
membendung air mata. Berbulan lamanya Wiro tersiksa dalam keadaan
seperti ini sampai akhirnya ia bertemu dengan Pastor Theo Yasan. Wiro
menyampaikan segala kegundahan hati, berkaitan dengan kematian ibunda.
Mereka berbicara selama kurang lebih tiga jam dengan satu nasehat dari
Pastor Theo, “Rubahlah kasihmu kepada setiap orang yang engkau temui, sebenarnya mama selalu berada di tempat itu”. Nasehat
itu menjadi suatu dorongan bagi Wiro untuk mendapatkan kembali kekuatan
hati, sehingga akhirnya ia dapat mengendalikan emosi dan dapat kembali
menguasai diri.
Wiro kembali menekuni mata kuliah di kampus, ia tak terlalu
dominan dalam mengejar nilai dari 14 mata kuliah yang ditempuh, 12 di
antaranya harus diulang dengan her. Demikianlah kemampuan Wiro tanpa
rekayasa. Tahun 1971 Wiro bersama teman seangkatan pindah ke Yaka –
Sentani. Ia sudah bertekad menyelesaikan kuliah dengan sebaik-baiknya.
Pada Oktober 1073 Wiro kembali ke Mindiptana untuk penelitian dalam
rangka penulisan skripsi. Saat itu Pak Samosir menjabat sebagai Kepela
Pejabat Setempat di Mindiptana. Wiro mendapat tugas untuk mengadakan
pemilihan kepala desa di Sesuruk, di hulu Sungai Muyu sebagai praktek
lapangan. Wiro tinggal di rumah Pak Samosir atas kebaikan hatinya. Pada
waktu senggang Wiro bermain-main dengan Irma, anak pertama Pak Samosir
yang masih kecil, kelahiran Mindiptana. Sampai akhirnya Wiro dapat
menyusun skripsi dengan judul: Beberapa Catatan Tentang Pembentukan Pemerintah Desa. Mengenai
kemampuan mengetik, Wiro memperoleh pelajaran dari Tejo Suprapto,
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat di Jayapura, sehingga Wiro dapat
menyelesaikan skripsi dengan baik.
Pada tingkat III Wiro mengenal Walboga Bernadet Moperteyao
sebagai perawat di Rumah Sakit Dok II melalui salah seorang kerabat.
Selama perkenalan itu kuliah Wiro terus berjalan, pada Oktober 1973 Wiro
Yosef Watken dinyatakan lulus dari Akademi Pemerintah Dalam Negeri.
Satu bulan kemudian, tepatnya pada November 1973 Wiro mendapatkan Surat
Keputusan untuk bertugas di Kantor Bupati Wamena. Bulan Februari tahun
berikutnya Wiro ditempatkan sebagai Seksi Pemilihan Umum Bagian
Pemerintahan.
Ketika menjabat sebagai kepala seksi Pemilihan Umum Wiro
berkeputusan untuk menikah dengan Walboga Berandeta Moperteyao pada
tanggal 12 Juni 1974. Pernikahan itu adalah satu langkah yang diliputi
tanggung jawab. Ketika salah seorang kerabat Wiro Watken berkata, “Adik, engkau berani sekali mengambil orang punya anak sebagai istri”. Tak
terasa air mata Wiro nyaris gugur. Benar, ia telah memutuskan untuk
memulai tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga. Tiga bulan
setelah pernikahan itu, paada 1 September 1974 Wiro mendapat tugas di
Oksibil sebagai Camat. Oksibil adalah salah satu kecamatan timur di
Kabupaten Jayawijaya yang hanya dapat dijangkau dari Jayapura dengan
pesawat AMA, setiap minggu bila tidak ada kendala cuaca. Dengan
menumpang pesawat itu Wiro mengawali tugas di tempat terpencil. Walboga
Bernadet Moperteyao yang telah menjadi Nyonya Wiro Watken ikut pula
mendam[ingi, dengan Surat Keputusan MUtasi ke Pusat Kesehatan Masyarakat
Oksibil tanpa banyak berkeluh kesah. Anak pertama dari perkawinan itu
terlahir di Jayapura dengan nama Marselinus Watken. Anak kedua Amatus
William Watken terlahir tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1977 di
Absinibil – Ibu Kota Oksibil.
Oksibil adalah pegunungan dengan ketinggian 2.600 meter di atas
permukaan laut. Suhu pada siang hari sekitar 16 derajat celsius – 18
derajat Celsius, sedangkan pada malam hari turun hingga 4 derajat
Celsius. Selebihnya medan yang sangat berat dan hanya dapat ditempuh
dengan berjalan kaki. Sembilan bahan kebutuhan pokok adalah barang yang
tidak mudah untuk didapat, karena hanya bisa diangkut dengan pesawat.
Konsumsi yang tinggi menyebabkan barang-barang cepat habis. Adapun
penduduk Oksibil adalah masyarakat tradisionil dengan pakaian koteka – buah labu kering atau cawat dari rumput tikar. Wiro benar-benar ditantang menjadi pemimpin dalam situasi seperti ini.
Pada bulan Juni 1976 ketika istri sedang berada di Jayapura,
Camat Wiro Watken beserta tim harus mengadakan kunjungan ke desa-desa
untuk membagikan brosur Pemilihan Umum. Musibah terjadi, gempa bumi
tektonik berpusat di Bime, sebelah barat Oksibil, dengan jarak sekitar
empat hingga lima hari berjalan kaki menyebabkan tanah longsor di
Oksibil. Camat Wiro Watken sedang berada dalam perjalanan ke
kampung-kampung ketika tanah terus berguguran di jalan-jalan yang telah
dilalui. Rombongan terus melanjutkan perjalanan hingga ke tepi sungai
dan jembatan ternyata sudah rubuh. Rombongan itu berusaha untuk membuat
jembatan rotan, tetapi tidak berhasil. Akhirnya mereka mendaki ke
puncak bukit dalam keadaan lapar untuk meyelamatkan diri. Bahan makanan
diperoleh dengan masuk ke kampung. Jalan utama telah rusak sama sekali,
rombongan harus masuk ke dalam hutan untuk mencapai kampung kemudian
mendapatkan umbi-umbian.
Sementara masyarakat telah mengasosiasikan bencana tanah
longsor dengan budaya setempat, dunia mau kiamat, mereka memutuskan
berdiam diri di dalam rumah menunggu kematian. Wiro Watken harus
mengunjungi masyarakat untuk menanamkan suatu pengertian, bahwa
kepercayaan itu keliru. Apabila masyarakat tetap bertahan di dalam rumah
tanpa bekerja untuk mendapatkan umbi-umbian, mereka akan kelaparan dan
pasti akan mati. Akan tetapi, bila mereka bertahan dalam situasi sulit
dan tetap bekerja untuk konsumsi sehari-hari, maka mereka akan tetap
hidup. Tanah longsor adalah bencana alam biasa bukan saat dating hari
kiamat.
Setelah bencana itu reda, Wiro Watken kembali bekerja seperti
sediakala. Tiap tiga bulan sekali Wiro menerima Rp. 34,000,00 sebagai
biaya hidup, harga beras saat itu Rp. 110,00 per kilogram. Dengan uang
sebesar Rp. 34,000,00 Wiro bisa membeli sekitar 390 kilogram beras. Tak
ada biaya operasional uang dikirim untuk kelancaran tugas-tugas kantor,
Wiro tak pernah mempersoalkan. Tiap kali patrol ke desa-desa dengan
berjalan kaki Wiro akan kembali dengan ayam, babi, dan bermacam hasil
kebun. Segala macam jenis pemberian itu merupakan bukti dari rasa hormat
masyarakat.
Sementara tempat tinggal Wiro hanyalah ruangan 3 x 3 meter pada
salah satu ruangan poliklinik swasta. CamatWiro Watken menjadikan
ruangan mungil itu sebagai kantor, ruang keluarga, dan ruang makan,
kamar tidur ada di loteng. Kantor dan staf camat tak pernah tersedia,
Wiro menjalankan tugas-tugas kantor seorang diri di rumah tinggalnya.
Pada tahun yang sama Camat Wiro Watken harus berhadapan dengan
keadaan bahaya. Hal ini terjadi ketika aparat Negara yang melakukan
patrol secara tidak sengaja maupun tidak sengaja telah memetik tanaman
masyarakat yang dirawat dengan susah payah. Masyarakat menjadi marah
dengan adanya pengrusakan itu. Selama ini mereka berpedoman pada suatu
filosofi, bahwa bibit tanaman adalah sangat berharga, demikian pula
dengan jerih payah petani ketika harus menanam, merawat, sebelum
akhirnya menuai. Apabila ada seorang yang berkepentingan memetik hasil
kebun, maka ia harus terlebih dahulu menanam dan merawatnya. Dengan
filosofi tersebut, maka pengrusakan tanaman oleh aparat tersebut membuat
masyarakat menjadi marah. Teguran yang diberikan, karena pengrusakan
itu menyebabkan aparat yang bersangkutan melakukan perlawanan dengan
mencabut tiang bendera sebagai kayu bakar.
Camat Wiro Watken segera melaporkan tindakan ini kepada pejabat
yang berwenang di tingkat kabupaten, sehingga aparat yang melakukan
pengrusakan tanaman dan tiang bendera mendapat teguran keras. Kasus ini
ternyata tidak langsung berhenti dengan teguran. Hari berikut ketika
Wiro Watken mengadakan rapat di Gereja Oksibil, sore hari setelah rapat
itu Wiro bermain volley dengan aparat yang melakukan pengrusakan itu.
Tiba-tiba Wiro merasa gelisah, ia tak dapat bertahan lebih lama
di lapangan volley, karena gelagat yang kurang baik, ia segera
mengundurkan diri. Akhirnya ada informasi yang menyatakan, bahwa
sebenarnya telah direncanakan penembakan atas dirinya oleh aparat
termaksud. Esok hari Wiro segera terbang ke Jayapura melaporkan rencana
penembakan itu. Seminggu kemudian aparat keamanan yang bersangkutan
segera ditarik dari Oksibil. Bahaya berlalu.
Tahun 1977 ketika Pemilihan Umum harus diselenggarakan, terjadi
gejolak social di Wamena. Gejolak terjadi, karena persoalan panjang
dalam birokrasi pemerintahan. Dalam proses birokrasi sering terjadi
ketidakjujuran, kolusi, penipuan, bahkan pemerkosaan. Masyarakat Bakiem
bukanlah komunitas yang mudah memaafkan, sementara adat kebiasaan
berperang masih melekat dalam keseharian, dan korgoisme – kargo cold
sebagai salah satu alairan kepercayaan masih dianut masyarakat setempat.
Kemudian salah satu partai peserta Pemilihan Umum menjanjikan, bahwa
apabila partai yang bersangkutan menang, maka Papua akan merdeka.
Situasi Wamena ibarat gumpalan kapas kering yang telah disiram
dengan minyak. Ketika masyarakat mengadakan pesta adat dan mengundang
serta enam orang aparat keamanan, kemudian mereka bersuka ria,makan
minum hingga sekenyang kenyangnya. Kemudian enam orang aparat itu
terlena, dan masyarakatpun menombaknya, pembantaian tak bisa
dihindarkan. Kekerasan itu ibarat pijar api yang yang menyambar gumpalan
kapas, Wamena pun menyala. Seluruh pasukan ditarik untuk mengamankan
Wamena, menuntut keadilan bagi pembantaian itu. Di Oksibil tak ada
tersisa satu pun aparat keamanan. Pemilihan Umum harus diselenggarakan.
Wiro Watken terpaksa melaksanakan Pemilihan Umum dengan bantuan
Peratahann Sipil. Selesai Pemilihan Umum Wiro Watken membuka pos baru di
lingkungan Kampung Aboi, sebelah utara Abnisibil, perbatasan Kabupaten
Kerom yang sekarang. Dengan pertimbangan, bahwa kampung itu sudah
dikehendaki menjadi desa. Setelah tugas itu Wiro kembali kepada
rutinitas dengan berbagai persoalan yang muncul.
Pada msyarakat Ngalum dan Kupel muncul moety – paruh
masyarakat, yaitu BAsen dan Tukon. Paruh Tukon terdiri atas tiga marga,
Mangki, Awalka, Dan BAyuka. Paruh Basen terdiri atas fam Mabin.
Sementara fam Ningpada terdiam sebagai penonton. Dalam kehidupan
sehari-hari paruh masyarakat tersebut hidup bersama-sama, tetapi tidak
dalam adat dan pemujaan. Atanke – Tuhan, perang dingin pun
terjadi. Wiro Watken harus turun tangan untuk mendamaikan kelompok yang
berperang itu dengan menanamkan suatu pengertian, bahwa Tuhan hanya
satu, kitab hanya satu, sungguh pun gereja sebagai tempat ibadah
berbeda. Perselisihan atau perang dingin tidak perlu terjadi.
Kemudian persoalan lain muncul berkaitan dengan keberadaan IIM,
sekte King Me yang berasal dari Amerika dan bertugas dengan Gereja
Katolik. Bentrok antara King Me dan masyarakat Kiwipin terjadi.
Pertengkaran antara umat tak bisa dicegah, mereka saling curiga, saling
menuduh, berselisih, dan tak pernah saling mengunjungi sebagai jemaat
Katolik. Wiro watken bahkan dianggap sebagai Camat Setan, karena ia
menganut Agama Katolik.
Wiro Watken pun turun ke lapangan, menangkap pengacau untuk
diamankan kemudian diberi pembinaan, bahwa sikap itu keliru. Pihak
keluarga pengacau berdatangan membawa babi sebagai tebusan, tetapi
tebusan itu tidak diterima. Orang-orang yang mengacau tetap diamankan
untuk pembinaan. Selesai pembinaan mereka dipulangkan, permusuhan tidak
lagi terjadi.
Kemudian Wiro Watken harus berhadapan dengan situasi sebagai
resiko penugasan di wilayah pedalaman. Saat itu Watken baru kembali dari
Jayapura menumpang pesawat Cessna dengan pilot Albar Sulaiman, duduk di
sebelah kiri pilot, mengencangkan sabuk pengaman. Ketika mendarat di
landasan pacu b andara perintis ekor pesawat menghantam ujung lapangan.
Wiro tak merasakan apa-apa, tetapi orang-orang yang berada di bandara,
termasuk Pastor Pit Vandestap mengira, pesawat pasti celaka dengan
jumlah korban jiwa. Sementara pilot Albar Sulaiman bersikap tenang
seolah dalam pesawat tak terjadi bahaya yang mengancam. Setelah berhasil
menguasai keadaan, Albar berkata, “Kita hampir celaka”.
Kata-kata itu membuat Wiro tersadar, ia baru terbebas dari
maut. Ketika turun dari pesawat, menjumpai wajah Pastor Pit Vanderstap
dengan muka merah padam, karena kecelakaan itu. Wiro kembali tersadar,
ia merasa takut. Kuasa Tuhan telah menyelamatkan pesawat dan lima
penumpang di dalamnya. Wiro mengerti, betapa amat mahal kehidupan,
betapa ia harus bersyukur terhadap perlindungan Yang Maha Kuasa.
Tahun 1983 terdapat sebuah kampung yang pada mulanya masih
menampakkan kehidupan setiap kali Wiro melakukan patrol. Akan tetapi,
semakin hari kehidupan di kampung itu semakin sunyi, akhirnya kehidupan
di kampung itu berakhir sama sekali. Sesuatu telah terjadi.
Penyebaran keyakinan di wilayah ini agaknya telah diterapkan
tanpa menyesuaikan diri dengan budaya local. Adat pemujaan masyarakat
setempat dimusnahkan, diganti dengan keyakinan baru. Persoalan yang
muncul adalah, tingkat pemahaman masyarakat belum mencapai untuk
memahami keyakinan yang baru. Setelah budaya setempat hancur, keyakinan
baru sulit difahami, manusia yang berada di dalamnya mengalami
kekosongan jiwa. Mereka kehilangan kekuatan mendasar untuk memahami
hidup, mentalnya menjadi sangat lemah. Mereka menderita penyakit batin
yang tidak bisa disembuhkan, kematian dating secara perlahan-lahan.
Manusia tak lagi tersisa, kehidupan di kampung itu hanya tinggal
kenangan.
Kasus itu menutup seluruh tugas Wiro Watken di Oksibil, ia
mutasi ke Wamena sebagai Kepala Sub Bagian Pemerintahan Desa. Satu hal
yang dilakukan Wiro Watken dalam status itu adalah memekarkan Desa
Vandikma, Pass Valley. Setelah itu Wiro Watken bersama istri dan empat
orang anaknya, Marselimus Watken, Amatus Watken, Susana Ani Maria, dan
TArsis Eric Watken berangkat ke Jakarta. Wiro Watken menerima tugas
belajar di Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta. Perjalanan ini merupakan
yang pertama kali bagi Wiro Watken, bahwa ia dapat melihat kehidupan di
luar Papua, di ibu kota Negara.
Empat orang anak Wiro Watken sekolah di Jakarta. Anak pertama,
Marselinus Watken menyelsaikan pendidikan di Sekolah Dasar 67 PAgi Jeruk
Purut Jakarta. Sementara Bernadet mengambil cuti di luar tanggungan
Negara dengan resiko gaji dicabut, setiap bulan Wiro sekeluarga harus
menghemat dengan Rp. 85,000,00 dari gaji dan tunjangan tugas belajar.
Biaya sewa rumah selama tiga tahun sebesar Rp. 450,000,00 telah dibayar
di muka, Wiro tak perlu memikirkan pembayaran rumah untuk tahun-tahun
berikut. Tiap bulan ketika tiba saatnya menerima gaji, ia harus menutup
seluruh pengeluaran rumah tangga.
Satu kali setelah pemotongan, dari seluruh gaji yang diterima
hanya tersisa Rp. 1,000,00. Hari itu Berandet hanya menghidangkan nasi
putih tanpa lauk pauk. Marselinus mengeluh, “Hari ini bapa terima gaji,
mengapa kita makan nasi tanpa lauk?” kata-kata itu membuat Wiro terdiam.
Ia harus menyadari betapa tidak mudah kehidupan yang dijalani. Tanpa
terasa air mata Wiro Watken terjatuh. Kata-kata itu seakan cambuk yang
melecut, ia harus berkeras menyelesaikan tugas belajar.
Pada malam hari di bulan Oktober 1984, musibah itu terjadi.
Sebuah ledakan memporak porandakan gudang senjata mariner Cilandak
hingga radius tiga kilometer. Ledakan itu sunggug-sungguh menakutkan,
Wiro mengajak keluarganya mengungsi ke kampus. Aula kampus segera
dipenuhi pengungsi. Sementara pengungsi terdiam dalam rasa takut,
ledakan berikut terjadi, sedemikian keras ledakan itu, sehingga
kaca-kaca aula pecah berkeping-keping. Untuk yang kedua kali Wiro
mengajak keluarganya ke tempat yang lebih aman sambil membawa beban dan
seluruh surat-surat penting. Pengungsi lain melakukan hal yang sama,
rombongan pengungsi tampak sebagai barisan panjang yang
berbondong-bondong dengan segala beban di tangan. Sampai di suatu tempat
yang disebut Warung Buncit rombongan pengungsi berhenti. Kendaraan
penjemput telah menunggu, membawa rombongan pengungsi ke tempat yang
lebih aman di Kuningan. Keluarga Wiro Wtaken tinggal selama seminggu di
Kuningan dan kembali ke rumah setelah keadaan aman.
Tahun 1985 Wiro Watken kembali ke Papua untuk mengumpulkan data
bagi penulisan skripsi. Wiro merasa sulit, ia tak memiliki persediaan
uang untuk membeli tiket. Kesulitan itu terjawab ketika pemilik rumah
sewa, Pak Saturi menawarkan 10 gram emas sebagai biaya perjalanan. Ibu
Saturi dan Ibu Watken segera pergi ke pasar untuk menjual emas, kembali
dengan Rp. 120,000,00 di tangan. Dengan uang itu Wiro pulang menumpang
kapal ke Jayapura dan segera menstransfer uang ke Jakarta untuk
mengganti 10 gram emas yang telah dijual.
Wiro Watken melanjutkan penelitian ke Mindiptana untuk
penulisan skripsi. Ia mulai mengintropeksi diri, berkaitan dengan mata
kuliah kepemimpinan yang diperoleh di bangku kuliah. Iapun mengerti,
betapa mahal nilai kejujuran bagi seorang pemimpin. Ia mulai
membandingkan tugas-tugas camat dengan teori yang diperoleh di Institut
dan menjadi sadar tentang kekurangan dalam keterbukaan, administrasi,
dan komunikasi. Untuk itu Wiro Watken berkeras memperbaiki diri.
Pada Desember 1986 Wiro Watken menyelesaikan pendidikan
Institut Ilmu Pemerintahan, menunda keberangkatan ke Papua, MArselinus
mesti menyelesaikan ujian Sekolah Dasar. Selama enam bulan Wiro Watken
memanfaatkan waktu dengan bekerja di Yayasan Beriten Busi yang bergerak
di bidang pendidikan. Mekanisme kerja yayasan memberikan pengalaman
berharga, yaitu disiplin, kerja keras, mengatur waktu, dan menghemat
tenaga. Setiap pegawai yang bekerja di yayasan harus membuat laporan
harian dan baru diijinkan pulang. Honor yang diterima Wiro per bulan Rp.
100,000,00 ditambah Rp. 20,000,00 untuk transportasi.
Tahun 1987 bulan Juni Wiro Watken kembali memboyong keluarga
kembali ke Wamena. Bupati JB. Wenas menempatkan di bagian secretariat
Kabupaten Jayawijaya. Setahu kemudian Wiro pindah ke bagian pemerintahan
dengan tugas baru yang tidak mudah, menilai perilaku pegawai. Wiro
Watken mencoba menerapkan mekanisme kerja di Yayasan Beriten Busi,
tetapi tidak pernah berhasil. Situasi Wamena berbeda dengan Jakarta.
Dua tahun kemudian pada bulan November 1989 Wiro Watken
mendapat Surat Keputusan sebagai Camat Tiom. Secara resmi pelantikan
diselenggarakan di gereja oleh Bupati JB. Wenas dengan khidmad. Akan
tetapi, setelah naskah pelantikan ditanda tangani keributan terjadi,
sekelompok masyarakat menyatakan penolakan. Mereka telah dikondisikan
oleh seorang yang berkepentingan dengan jabatan camat, yang
berkepentingan perlu meminjam tangan masyarakat untuk menyingkirkan Wiro
Watken dari kursinya.
Wiro Watken terpaksa menyingkir, ia bermaksud mengembalikan
Surat Keputusan Camat. Akan tetapi, BUpati JB Wenas tetap berpegang pada
pendirian, laksanakan tugas. Enam bulan kemudian Wiro Watken kembali ke
Tiom dengan acara serah terima berlangsung dengan aman. Kurun waktu
enam bulan kiranya telah meredakan gejolak masyarakat, mereka tidak lagi
membuat keributan bagi penolakan. Wiro Watken memboyong keluarga ke
Tiom. Seorang anak meneruskan pendidikan di Jayapura, seorang lagi
bertahan di Wamena. Tiga bulan setelah acara serah terima, Camat Wiro
Watken menerima surat penolakan dari beberapa kepala desa yang didalangi
oleh seorang staf secretariat, berinisial YL. Surat penolakan itu
ditulis dengan menggunakan mesin ketik kantor, dengan pernyataan
keberatan supaya Wiro Watken menyingkir dan camat laij bisa duduk di
kursinya. Tanggapan BUpati JB Wenas terhadap surat penolakan itu adalah,
“Tidak!” TUgas Wiro Watken sebagai camat harus tetap dilaksanakan. Wiro
kembali bekerja, ia harus beranggapan surat itu tak pernah ada.
Situasi yang tidak mendukung ini menyebabkan Wiro Watken
terpacu untuk mengoreksi diri. Ia m engingat kembali masa tugas di
Absinibil, menata ulang kepemimpinan serta manajemen. Wiro member
kepercayaan kepada staf, Lefteren Jikibalon, Martinus Rumboi, dan Samuel
Tandilolo dalam pembagian tugas. Staf yang bersangkutan dimotivasi
sedemikian rupa, sehingga mereka berebut satu-satunya mesin ketik supaya
cepat menyelesaikan pekerjaan. Hal yang sangat menarik adalah, bahwa
masyarakat Tiom sangat fanatic beragama, pembinaan masyarakat
diterapkan dengan berpedoman pada Injil.
Matius berbicara tentang talenta, bahwa dalam hidup ada orang
yang meiliki satu talenta, karena takut talenta itu dikubur ke dalam
tanah. Ada yang menerima dua talenta, kemudian dikembangkan menjadi
empat. Ada yang terima talenta dikembangkan menjadi sepuluh. Orang yang
menerima satu talenta kemudian menguburnya adalah orang yang malas,
orang yang bersangkutan bicara politik praktis, menghasut, melakukan
tindakan negative. Orang yang menerima dua dan lima talenta kemudian
mengembangkan adalah orang yang dapat menerima saran, mau bekerja keras
dan berupaya untuk maju.
Selama satu bulan penuh Wiro Watken berkeliling ke-15 desa di
Kecamatan Tiom untuk menyampaikan hal ini. dengan satu tujuan,
masyarakat harus bekerja keras memanfaatkan segala yang dimiliki untuk
mencapai keadaan yang lebih baik. Tangan masyarakat mulai terbuka, Wiro
Warken segera menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Tiom dengan
segala tanggung jawab yang harus dipikul.
Ketika dana Bantuan Desa sebesar Rp. 10,000,000,00 dicairkan,
dana itu diletakkan di atas meja. Pendidikan Kesejahteraan Keluarga
mendapatkan Rp. 1,000,000,00, sedangkan yang Rp. 9,000,000,00 dibagikan
kepada kepala desa. Arahan diberikan, masing-masing desa membuat
kelompok, dengan syarat kelompok yang bersangkutan harus membuat
konservasi alam, terasering, membentuk pengurus kelompok tani.
Masing-masing kelompok tani harus membuat skala prioritas, kolam ikan,
ternak kelinci, bawang putih, dan kopi. Dengan perhitungan apabila
program yang satu gagal program yang lain dapat menutup kegagalan itu.
Setelah program diterapkan, Wiro Watken membentuk tim gabungan
yang terdiri atas Unsur Pimpinan Setempat, pertanian, kesehatan,
pendidikan, dan Badan Pengkajian Pengembangan Teknologi untuk melakukan
evaluasi. Tim gabungan tersebut kemudian berkeliling ke desa-desa untuk
mengevaluasi hasil kerja dari kelompok-kelompok petani, kemudian diberi
penjelasan, mengapa suatu program dapat gagal sedangkan yang lain
berhasil. Dievaluasi pula kepengurusan dalam organisasi dengan
menanyakan kepada kepala desa, bagaimana kinerja Petugas Penyuluh
Lapangan dan kelompok organisasi. Pertanyaan juga diajukan kepada ketua
kelompok sebagai cek cross, apakah dana Pembanguna Desa yang disampaikan
kepada Kepala Desa telah diteruskan kepada kelompok? Dengan demikian,
maka masing-masing pihak, baik kepala desa maupun ketua kelompok tidak
saling menipu, sehingga sebagian besar program yang diterapkan dapat
dinyatakan berhasil.
Keberhasilan itu tampak sudah, pada acara pangan sedunia yang
diselenggarakan pada tanggal 16 Oktober 1990 – 1991 – 1992. Pada
kesempatan itu telah dipamerkan ubi terbesar, tomat terbesar, ayam
terbesar, ikan terbesar, kelinci terbesar, sapi terbesar, babi terbesar,
kelompok tani yang memiliki terasering terbanyak, anggota koperasi
terbanyak, jalan kelompok terbanyak. Para pemenang dalam lomba ini
mendapat hadiah parang, sekop, dan kawat ram untuk kandang kelinci. Satu
h al yang dapat dipelajari sekaligus dimanfaatkan oleh peserta adalah
menciptakan persaingan yang sehat antar kelompok.
Pada pameran tahun 1991 Bupati JB. Wenas berkunjung ke Tiom
untuk menyaksikan pameran, berkomentar, “Luar biasa!” Camat Wiro Watken
teringat pada saat pertama ketika masyarakat terprovokasi untuk menolak
kedatangannya sebagai camat menggantikan Jikibalon. Waktu itu ia merasa
begitu kalah. Kini, setelah ia mampu mengakumulasi seluruh kekuatan masa
dalam pameran tahunan dan mendapat perhatian khusus dari Bupati, Wiro
menyadari, sebenarnya ia tidak pernah kalah. Atau, ia telah menebus
kekalahan itu. Camat Wiro Watken juga teringat pada masa kanak-kanak,
ketika untuk yang pertama kali ia pernah bercita-cita untuk menjadi
seorang bestir. Setelah berpuluh tahun rentang waktu dan kerja keras,
akhirnya ia dapat mencapai cita-cita itu. Kini ia adalah seorang bestir –
seorang camat.
Kemudian Wiro meneruskan tugas-tugas rutin yang tak bisa
dilepaskan. Tiom adalah wilayah yang dapat dicapai dalam 20 menit
penerbangan, enam jam kendaraan kendaraan bermotor, dan dua h ari dua
malam berjalan kaki. Wiro pernah menempuh ketiga cara itu sebagai suatu
hal yang biasa. Sementara Bernadet bekerja di Pusat Kesehatan Masyarakat
dan anak-anak tetap pergi ke sekolah. Tahun 1992 ketika pameran pangan
kembali diselenggarakan, maka Profesor Satari dari Badan Pengkajian
Pengembangan Teknologi memberi nilai A bagi hasil kelompok tani. Wiro
Watken mengerti, ia telah menuai jerih payah selama ini. perjuangan
hidup yang telah dilalui bertahun-tahun tidak membuatnay gagal, meski
Tiom bukanlah wilayah dengan kondisi geografis yang menguntungkan. Hujan
es dapat turun sewaktu-waktu. Setahun sekali kabut putih turun
bertepatan dengan saat bulan terang. Kemudian udara menjadi dingin,
semakin dingin seakan membeku. Seluruh keluarga harus berdiang di depan
tungku untuk menghalau udara beku. Pagi-pagi ketika matahari bersinar
cerah dan semakin lama semakin panas itu menyengat, maka semua tanaman
rusak. Dalam situasi seperti ini, maka pemerintah kabupaten sudah siap
dengan bahan makanan untuk konsumsi masyarakat.
Untuk mengantisipasi kerusakan tanah Camat Wiro Watken
menerapkan suatu teknis menyiapkan lahan bagi masyarakat supaya erosi
tidak terjadi, yaitu system terasering. Dengan filosofi, kemiringan
tanah, masyarakat lading berpindah, sementara tanah kekurangan zat
nitrogen. Untuk menutup kekurangan itu dibuatlah peternakan kelinci.
Kelinsis memiliki tiga fungsi sekaligus, untuk konsumsi sehari-hari,
disamak kulitnya, kotoran dibuat pupuk kompos. Dengan cara seperti ini
maka keseimbangan ekosistem dapat terpelihara. Sementara sumbangan Badan
Pengkajian Pengembangan Teknologi dalam bidang pertanian amatlah besar.
Bermacam upaya telah diterapkan untuk menutup kegagalan. Pohon kasuari
ditanam untuk membangkitkan nitrogen, setelah itu ditanam ubi, ditanam
pula cemara. Ketika ubi dipanen, cemara sudah tinggi, kemudian ditanam
kopi setelah kopi tumbuh subur ditanam markisah. Selebihnya adalah kotak
l ebah yang disimpan di bawah pohon cemara.
Tahun1993 Wakil Ketua Badan Perencana Daerah Tingkat I Provinsi
Irian Jaya beserta rombongan dating ke Tiom mengunjungi
kelompok-kelompok tani dan menjadi heran dengan segala kemajuan yang
bisa dicapai. Pak Rince mengusulkan presentasi ke Jayaapura, tetapi
rencana itu tidak terselenggara, karena pada tahun itu pula Camat Wiro
Watken dimutasikan ke Wamena sebagai kepala Inspektorat. Wiro Watken
kembali ke Wamena dengan meninggalkan 36.000 ekor kelinci sebagai
hewanternak. Kelinci menjadi hewan ternak secara istimewa dengan
pertimbangan, untuk mencukupi kebutuhan protein hewan dan masa kembang
biak yang relative lebih cepat, sekitar enam bulan.
Mutasi itu mengalihkan konsentrasi kerja Wiro Watken. Ia tidak
lagi membentuk kelompok-kelompok tani kemudian melakukan pengawasan,
sehingga setiap program dapat mencapai keberhasilan. Tugas utama sebagai
kepala inspektorat adalah menjadi mata dan telinga pemimpin dengan
bekal kewenangan untuk mengawasi seluruh kegiatan pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan kepada seluruh masyarakat Jayawijaya. Wiro
Watken harus memahamitugas pokok sebagai kepala inspektorat, menyalahkan
orang bukan suatu hal yang mudah. Ia harus mempertimbangkan beberapa
aspek dalam bertindak, aspek material, aspek managemen, manusia, barang,
dan keuangan. Wiro Watken juga harus lebih peka terhadap beragam
masalah yang terjadi. Dari kesepakatan itu, maka Watken dapat melihat
bagaimana orang melakukan kesalahan atau penyimpangan.
Dalam hal kebocoran, maka masing-masing orang melakukan dengan
lagak dan cara yang berbeda. Ada orang yang menutupi kesalahan dengan
menyusun sepuluh kalimat, ketika baru ditegur dengan satu kata. Ada
orang yang menyisakan hidangan di dalam piring pada sebuah perjamuan,
ada yang melahap hidangan itu sampai habis sekalian dengan piring
kotornya, ada pula yang terus mengunyah makanan tanpa memperhitungkan
bagian orang lain tanpa merasa bersalah sama sekali.
Seluruh kesalahan dan kebocoran itu diteruskan kepada Bupati
selaku kepala pemerintahan, selanjutnya Bupati member teguran kepada
pihak yang melakukan kesalahan. Dengan demikian, maka inspektorat
merupakan pihak yang secara tidak langsung meluruskan jalannya
pemerintahan. Kebocoran merupakan keslahan yang terjadi pada rata-rata
lembaga pemerintahan, karena managemen yang lemah. Seorang kepala
lembaga mungkin memerlukan sekitar Rp. 10,000,00 untuk biaya perjalanan
dinas ke Jakarta. Akan tetapi, kebutuhan itu tidak disesuaikan dengan
Daftar Isian Proyek dan situasi keuangan. Sementara bendahara selalu
pada posisi yang lemah untuk tidak membayarkan. Pengeluaran menjadi
tidak terkontrol, bendahara hancur, laporan tidak dapat tersusun
sebagaimana mestinya.
Tahun 1994 dengan pangkat IIIC, jabatan eselon IIIA Wiro Watken
lulus tes Spadya. Satu hal yang dapat dipelajari dari pendidikan ini
adalah mengevaluasi diri untuk menenpa bakat, menambah wawasan, dan
merubah perilaku. Setahun kemudian Wiro Watken diberi kepercayaan untuk
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional di Wamena dengan jumlah
peserta 319 orang. Lokasi Wamena merupakan kebijakan khusus dari Menteri
Dalam Negeri dengan pertimbangan, bahwa masing-masing perwakilan dari
seluruh Kabupaten Indonesia dapat m enyaksikan secara langsung situasi
Wamena sebagai pelaksana dan Papua sebagai tuan rumah.
Rapat kerja berlangsung selama tiga hari, koordinasi dilakukan
dengan sangat baik melibatkan seluruh system dan komponen yang ada,
Pendidikan dan Kesejahteraan Keluarga, Dharma Wanita, Merapti Arlines,
Airfast, Trigana, dan Fokker 27. Koordinasi yang sangat baik ini
menyebabkan dalam sehari terjadi 20 kali penerbangan, sehingga seluruh
kegiatan dapat berjalan dengan baik. Komentar yang muncul dari seluruh
kegiatan adalah, “Wamena Okey!” Wiro Watken sadar siapa yang telah
memberi kepercayaan, sehingga ia dapat mencapai prestasi ini. ia adalah
JB. Wenas –Bupati JB. Wenas. Satu kali BUpati JB. Wenas pernah
mengatakan, bahwa dengan segala prestasi yang pernah dicapai, maka
dapatlah kiranya ia “menjual” – mempromosikan Wiro Watken ke kabupaten
lain untuk jabatan yang lebih baik. Wiro watken selalu menyelsaikan
tugas tanpa memperhitungkan berapa banyak anggaran yang diterima, dan
JB. Wenas menunjukkan budi baiknya.
Suatu hari pukul 06.30 Bupati JB. Wenas menelepon Wiro Watken
supaya segera dating ke rumahnya. Wiro Watken tergagap, ia segera
berpakaian, menyiapkan segala arsip kemudian m eluncur menuju kediaman
Bupati yang megah. Sampai ke tempat tujuan Wiro Watken sudah benar-benar
siap dengan perintah dan pertanyaan. Ternyata JB. Wenas tidak
memberikan perintah atau pertanyaan. Wenas memberikan Wiro Watken sebuah
jam tangan Perancis merek Jean Claud. Wiro tertegun, ia cukup mengerti
arti pemberian itu. Orang tak akan memberikan sesuatu yang berharga,
kecuali ia harus m enyatakan terima kasih, memuji, sekaligus memacu bagi
tugas yang lebih berat. Wiro Watken sadar terhadap pemberian itu dan ia
harus bertanggung jawab atasnya.
Pada hari lain ketika Wiro Watken tengah disibukkan dengan
tugas-tugas di lapangan, Bupati Wenas k embali mencarinya, memanggil via
radio ke seluruh Wamena. Wiro pun tergesa menuju kediaman bupati, siap
dengan perintah. Ketika sampai di kediaman, perintah itu ternyata tak
ada. BUpati JB. Wenas memeprsilakan Wiro Watken bergabung makan siang
untuk merayakan ulang tahun Ibu Wenas – seorang wanita yang cantik
parasnya dan cantik pula hatinya.
Makan bersama dalam sebuah perayaan bukan semata-mata suatu
mekanisme biologis yang member kemungkinan seseorang untuk memperoleh
gizi dan kalori dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup. Akan
tetapi, lebih dari itu, karena makan juga merupakan suatu perilaku sosio
cultural, dalam arti, bahwa seseorang akan mengundang orang lain makan
bersama di dalam suatu perjamuan, apabila di antara mereka terdapat
ikatan psikologis yang cukup kuat. Iakatan psikologis dapat terjadi,
karena hubungan baik, loyalitas, dan persamaan persepsi. Wiro Watken
memahami arti undangan itu, dengan segala kerja keras yang dilakukan
selama ini, maka ia bukan orang lain bagi JB. Wenas. Wiro harus mengakui
siapa sebenarnya yang telah “membesarkannya”.
Tahun 1999 Wiro Watken menapaki jenjang karir yang lebih
tinggi, sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Fak-fak. Hari pertama tiba
di Fak-fak pesawat telepon bordering dengan kata-kata ancaman, bahwa
Surat Keputusan Sekretaris Daerah Kabupaten Fak-fak adalah tidak syah.
Wiro Watken menjawab ancaman itu dengan tegas, “Saya diperintah dating
untuk bertugas!” Teror itu pun selesai, hari pelantikan dating, terlewat
dengan wajar.
Sekitar seminggu setelah hari pelantikan, Wiro Watken dan
Bernadet berkunjung ke Desa Andors dalam rangka meresmikan gereja. Di
tengah perjalanan stir speed boat mendadak patah, mesin tetap bekerja.
Akibatnya speed boat tetap berputar-putar dan penumpang di atasnya
berotasi dengan cepat. Setelah mesin dimatikan, putaran berhenti, stir
dibetulkan, perjalanan diteruskan dengan kesadaran yang terlambat
sampai, bahwa kejadian tersebut amatlah berbahaya, dapat merenggut
nyawa. Sekali lagi Wiro Watken bersyukur, bahwa jiwa seluruh penumpang
speed biat dapat diselamatkan. Meskipun bahaya tak selesai sampai di
sini, karena perjalanan pulang, speed boat kembali diahantam ombak besar
dan angin kencang. Wiro Watken dan rombongan meneruskan perjalanan itu,
tidak mengerti akan ancaman bahaya telah menghilangkan segala rasa
takut. Ketakutan baru muncul setelah perjalanan berakhir dan bahaya pun
lewat.
Setelah bahaya itu, maka terjadi unjuk rasa di gedung Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan tuntutan reformasi. Kantor Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dirusak. Saat itu Bupati Fak-fak sedang berada
di l uar daerah, Sekretaris daerah bertanggung jawab terhadap segala
keributan yang ada. Wiro Watken menerima telepon dari kepala suku
Bahamata untuk sebuah pertemuan pada sore hari. Kepala Suku Bahamata
minta dijemput di rumahnya untuk selanjutnya diteruskan dengan acara
minum kopi di rumah adat. Pada saat minum kopi itulah kepala suku mulai
bercerita tentang segala persoalan, mulai dari masalah pemerintahan,
politik, ekonomi, dan social budaya dengan satu kesimpulan, bahwa
pelayanan pemerintah tidak mampu menyentuh kehidupan masyarakat kecil,
sehingga akhirnya demonstrasi terjadi.
Ketika demonstrasi telah mereda, masyarakat kembali melakukan
unjuk rasa di kantor BUpati dengan memalang pintu ruang kerja.
“Pencemaran terhadap rumah adat telah terjadi”, masyarakat menuntut
pejabat yang terlibat dalam pencemaran rumah adat untuk tidak aktif di
tempatnya bekerja. Tanggal 2 Nopember 1999 Wiro Watken diundang oleh
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk bertemu dengan Konrad Bao
didampingi oleh Mawil Hansip untuk memberikan himabauan, jangan sampai
masyarakat melakukan unjuk rasa. Akan tetapi, masa tidak bisa dibendung,
tuntutan terhadap “pencemaran rumah adat” merebak menjadi
tuntutan-tuntutan lain. Masa berkelompok di dermaga menuntut diantar
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menuju ke Kantor BUpati. Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat meluluskan permintaan dengan syarat, segala
perlengkapan perang harus ditinggalkan. Masa berjalan sejauh dua
setengah kilo meter tanpa ada pengrusakan. Sampai di kantor Bupati, Wiro
Watken bertemu dengan staf, berucap, “Kalau ada staf yang merasa
berbuat kurang baik dengan masyarakat, jangan tunjuk muka, sementara
bagi yang tinggal jangan nonton dan tertawa. Kunci yang masih tergantung
di pintu jangan disentuh, biarkan masyarakat mengambilnya sendiri”.
Ketika rombongan demonstrasi masuk, Wiro Watken membuka
pembicaraan: “Kantor BUpati ini adalah kantor kalian juga, harus dijaga
bersama”. Masyarakat yang memalang pintu mengajukan empat tuntutan,
supaya pintu bisa dibuka k embali. Pertama, dalam rangka pencemarana
rumah adat, pejabat yang bersangkutan harus mengundurkan diri dalam
waktu tiga hari. Kedua, Papua Merdeka. Ketiga, perbaiki kinerja
birokrasi pemerintah. Keempat, utamakan kesejahteraan rakyat.
Kemudian Kodrad Bao dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dating bersama 500 orang dalam pakaian sehari-hari, segera mengadakan
dialog. Wiro Watken menyatakan, “Dalam melayani masyarakat, pemerintah
memang telah melakukan kekeliruan. Mengenai empat tuntutan masyarakat,
Sekretaris Daerah tidak berwenang secara langsung dalam menjawab, hal
ini perlu dikonsultasikan kepada GUbernur, sementara pemerintah daerah
akan lebih pro aktif dalam menata kehidupan masyarakat”.
Sementara di luar Kantor Bupati massa terlalu banyak,
berdesakan menghalangi petugas yang akan membeliair minum. Konflik
horisaontal terjadi, masa terpecah menjadi dua, serah – kaum muslim dan
gury – kaum Nasrani, suasana semakin tegang. Kelompok Bahamata tiba-tiba
berbalik hendak menjaga Kantor Bupati dengan mematahkan palang besi.
Pukul 18.00 Waktu Indonesia Bagian Timur setelah para demonstran lelah
dan lapar, masa pun bubar dijaga ketat aparat keamanan.
Wiro Watken kembali ke rumah kemudianmenelepon Wakil Gubernur
Jaupari dan mendapat jawaban, “Atasi keadaan dengan jalan yang terbaik,
berdasarkan kemampuan yang ada”. Esok hari Wiro Watken segera mengadakan
rapat dengan Musyawarah Pimpinan Daerah, keputusan rapat adalah
mebgunjungi kediaman Wakil Ketua I Dewan Perwakailan Rakyat Daerah,
Ismail Somali Bao. Sebagai Wakil Ketua Dewan sekaligus Raja, merasa
sangat marah, karena hari lalu ketika terjadi konflik antar warga
masyarakat rumahnya telah dilempari batu, meski tanpa kerusakan yang
parah. Kunjungan tiga jam itu sudah cukup untuk meredakan amarah, dengan
satu kesimpulan: kunci kantor Bupati harus diambil kembali.
Sore hari Wiro Watken bersama Musyawarah Pimpinan Daerah dan
Ketua Dewan mendatangi kelompok yang mengambil kunci. Di kediaman Wakil
Ketua II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Fak-fak keributan hamper
terjadi, dalam persoalan ini seolah terjadi konflik antara umat Islam
dan umat Kristen, kunci Kantor Bupati tetap harus diperoleh kembali.
Rombongan segera menuju kediaman Konradus Bao bagi sebuah negoisasi. Di
tempat tujuan pembicaraan kembali diteruskan, “Kakak minta maaf, tetapi
kalau satu gedung dipalang, pemerintah tidak bisa meneruskan tugas,,
harus tutup kantor. Hal itu berarti, bahwa nasib masyarakat semakin
tidak bisa ditentukan, karena aparat pemerintah tidak dapat bekerja”,
demikian Wiro Watken melakukan negoisasi. Konradus Bao segera m engambil
tindakan secara tegas, “Siapapun yang mempersoalkan kunci harus
terlebih dahulu melewati mayat saya”. Kunci Kantor Bupati dikembalikan.
Menjelang magrib segala persoalan telah dapat diselesaikan.
Pagi hari, 4 Oktober 1999 Kantor Bupati telah terbuka,
tetelgram ke Wakil Gubernur Jaupari segera dikirim dengan pernyataan,
“Kami sudah menguasai keadaan”. Tuntutan masyarakat terhadap “pencemaran
rumah adat”, supaya pejabat yang bersangkutan mengundurkan diri
diterima. Situasi sulit yang menyusul setelah kasus ini adalah gelombang
reformasi, yang menyulut gaung Papua Merdeka dengan Otonomi Wilayah
sebagai jalan damai. Selama kurun waktu itu Fak-fak tak pernah diam.
Pada Februari 2000 Wiro Watken mempersiapkan situasi dan
kondisi yang kondusif bagi pemilihan BUpati dan Wakil BUpati di era
reformasi. Pasangan yang terpilih adalah Wahidi Poarada dan Frans
Nambore. Pada acara lepas sambut Bupati yang lama beserta ibu hadir
pula. Segala hak yang belum diterima segera diberikan usai lepas sambut.
Sebulan kemudian, tepatnya pada Maret 2000 Wiro Watken ikut
pula pencalonan BUpati di Kabupaten Merauke, berpasangan dengan John
Kamarla, kepala Dinas Kehutanan. Pencalonan ini berdasarkan fakta, Wiro
Watken telah mememenuhi persyaratan dari segi pangkat, pendidikan,
pengalaman, dan penjenjangan. Dua kandidat BUpati yang lain adalah Max
Mahuze berpasangan dengan John Rumlus dan John Gluba Gebze berpasangan
dengan Benyamin Simatupang. Setelah visi dan misi disampaikan hari “H”
tiba.
Undangan telah ditetapkan pada pukul 09.00 Waktu Indonesia
Timur, tetapi mundur hingga pukul 09.15. Ketika salah satu dan Wiro
Watken sadar akan 15 menit kelambatan, ia segera menyadari akan
kekalahannya. Dari lima orang anggota partai yang mendukung empat yang
lain membelot, sementara seorang legislative dari partai lain berbalik
menyumbangkan suaranya. Pada akhir perhitungan Wiro Watken hanya
mendapatkan dua suara. Max Mahuze 15 suara, John Gluba Gebze 17 suara.
Wiro Watken merasa sedemikian sakit hati bukan, karena ia kalah, tetapi
karena dikhianati oleh fraksi yang mencalonkannya.
Untuk menghibur diri Wiro Watken mengajak para pendukungnya
makan siang di Panorama. Saat itu seorang legislative dating, dan
bertanya, “Anak, bagaimana?” seorang pendukung Wiro Watken merasa
kemarahanya memuncak, berniat mengangkat kursi kemudian membantingnya,
tetapi Wiro Watken mencegah. Untuk menghindari konflik Wiro Watken
mengajak pendukungnya meninggalkan rumah makan, mengakhiri persoalan
sampai di sini. Segala pendanaan dan biaya dalam rangka pencalonan
adalah konsekuensi dari resiko politis yang tidak bsia ditarik. Wiro tak
menunggu lebih lama, ia segera kembali ke Fak-fak meneruskan tugas
sebagai Sekretaris Daerah.
Pada November 2000 Pemerintah Kabupaten Fak-fak mengumumkan
penerimaan Pegawai Negeri Sipil dengan melalui jalur testing. Reaksi
yang muncul dari pengumuman penerimaan adalah pemasangan pamphlet yang
berisi penolakan terhadap isi pengumuman itu. Bersamaan dengan
pemasaangan pamphlet, kapal perintis masuk ke pelabuhan membawa serta
konflik dari Ambon. Bersama Ketua Dewan Wiro Watken segera menuju ke
pelabuhan, tetapi ditahan mahasiswa di tengah jalan. Mahasiswa
mengajukan tuntutan, “Batalkan pengumuman penerimaan Calon Pegawai
Negeri Sipil, karena yang diterima sedikit. Jumlah penerimaan seharusnya
ditambah”. Mahasiswa menuntut Wiro Watken menandatangani surat
pernyataan, perjalanan ke pelabuhan ditangguhkan. Wiro Watken memutuskan
kembali ke kantor untuk melakukan pembicaraan dengan mahasiswa. Sikap
Wiro Watken terhadap tuntutan mahasiswa adalah: “Penerimaan pegawai
bukanlah persoalan yang bisa diatur semudah itu, saya harus melaksanakan
perintah dari pusat!” dengan pernyataan itu Wiro Watken mengakhiri
pembicaraan dan segera mengunjungi tempat-tempat yang dilanda kerusuhan
kemudian mengadakan rapat kilat dengan Musyawarah Pimpinan Daerah.
Keputusan rapat adalah, kumpulkan dan benahi mahasiswa yang menjadi
otak. Apabila kasus semacam ini terulang kembali, tidak ada lagi
toleransi, masa telah merusak fasilitas umum.
Sore hari ketika kembali ke rumah, ke -20 orang mahasiswa sudah
menunggu, mereka mengadu, dan terakhir meminta uang untuk membayar
taksi. Ketika Wiro Watken bertanya, “Kamu mahasiswa dari mana?” ternyata
semua telah drop out. Wiro Watken menyatakan, bahwa semua tindakan itu
adalah memalukan. Menunjukkan mental dan nyali kerdil. Setelah
pembicaraan itu, “mahasiswa” bubar, Faf-fak kembali aman.
Menjelang 1 Desember 2000, maka sebagian masyarakat telah
mempersiapkan pengibaran bendera fajar timur. Situasi keamanan terus
berada dalam pemantauan pemerintah setempat. Saat itu Bupati tidak
berada di tempat, segala wewenang ada di tangan Sekretaris Daerah,
Bupati menelepon untuk memantau proyek yang dikerjakan di atas rumah
tua, bangunan sejarah tempat tinggal pastor yang datang untuk pertama
kali dan tetap dipertahnkan masyarakat. Sore hari Wiro watken mengantar
anak seorang teman dekat untuk melihat-lihat kota sambil memantau
situasi keamanan menjelang 1 Desember 2000. Wiro Watken kembali ke rumah
dalam keadaan aman, tetapi pada malam hari seorang anggota dewan
menelepon, mengkonfirmasikaan telah terjadi penembakan oleh aparat
keamanan, dua orang meninggal. Jenazah dikuburkan tanpa ada tuntutan
masyarakat, Wiro Watken tak pernah mendapatkan laporan terinci, tak
pernah tahu kasus apa yang sebenarnya telah memicu penembakan itu?
Waktu terus berjalan melewati hari, minggu, dan bulan, hingga
hari duka itu datang tak bisa dihindarkan. Wiro Watken memenuhi tugas
terbang ke Jakarta kemudian ke Jayapura, Bernadet di Jayapura untuk
menyelesaikan administrasi kepegawaian. Pada 5 Mei 2001 ketika Wiro
watken tengah mengantar salah seorang staf ke Sentani, dalam perjalanan –
sampai di stasiun TVRI, Grace Renwarin – pegawai yang tinggl di rumah m
ennelepon dari Fak-fak, mengabarkan bahwa Tarsisius tengah beradan
dalamm keadaan darurat. Tarsisius Eric Watken adalah anak yang ke-empat
dalam usia 20 tahun, menempuh pendidikan Sekolah Tinggi Filsafat Dasar
Timur, ia tengah mempersiapkan diri sebagai seorang pastor.
Wiro Watken menghentikan seluruh tugas pada hari itu,
mengalihkan konsentrasi kepada anak bungsu. Ketika Amatus Watken mencari
informasi ke Unit Gawat Darurat Fak-fak tentang kondisi erik, pasien
bersangkutan ternyata telah meninggalkan ruangan. Wiro Watken menyadari,
kemungkinan buruk telah terjadi. Dengan limbung Wiro Watken beserta
seluruh anggota keluarga segera bersiap bagi sebuah penjemputan. Hari i
tu, 6 Mei 2001 Wiro Watken menerima jenazah Tarsisius Eric Watken di
dalam keranda. Eric telah menempuh perjalanan panjang dari Fak-fak ke
Biak dengan mencarter pesawat Twin Otter. Dari Biak ke Jayapura
penerbangan diteruskan dengan pesawat Boing. Wiro Watken seakan tak
percaya, bahwa anaknya yang paling kecil, yang telah diserahkan kepada
Tuhan sebagai gembala telah berpulang dalam usia muda. Kabar terakhir,
Eric minta disiapkan makan, selesai makan ia tertidur dengan pulas,
sangat pulas, tak pernah bangun lagi selama-lamanya. Eric memang pernah
sakit jantung, tapi Watken tak pernah menyangka, anaknya akan pergi,
ketika mempersiapkan diri menjadi pastor. Upacara pemakaman
diselenggarakan, Wiro Watken merekan Eric kepada alam, lebur sebagai
tanah. Seluruh kerabat dan handai tolan berdatangan, ikur serta dalam
pemakaman. Wiro Watken tak sendri ketika ditibggalkan, ketika tanah
telah menerima Eric kmebali, ia tak akan pernah melihatnya lagi.
Tapi, benarkah Eric telah pergi? Di hati yang mencintai, tak
seorang un akan pergi berlalu, sungguhpun kematian telah datang
merenggut. Bagi Wiro Watken sekeluarga, Tarsisius Eric Watken masih
tetap hidup. Ia selalu hadir pada pagi hari ketika keluarganya
terbangun, duduk di meja makan, kemudian menyelesaikan segala aktivitas
hingga gelap datang.. Eric tak pernah “meninggal”, ia hanya berpindah,
meneruskan kehidupan di alam lain. Ia selalu datang dalam bentuk suara
dan isyarat. Wiro Watken yakin, ia tetap memiliki empat orang anak.
Setelah hari duka itu Wiro Watken ditawari pindah ke Jayapura
untuk menggantikan posisi Kepala Badan Pengawasan Daerah yang akan
segera mengakhiri masa tugas. Wiro Watken perlu memikirkan terlebih
dahulu terhadap penawaran itu. Tiga kali setelah pembicaraan perihal
penawaran, akhirnya Wiro Watken menjawab “ya”. Pada tanggal 26 Juni 2001
Wiro Watken dilantik sebagai Kepala Badan Pengawas Daerah Provinsi di
Jayapura. Setelah acara serah terima Wiro Watken kembali ke Fak-fak
untuk menyelesaikan administrasi kemudian meneruskan tugas-tugas yang
baru. Ia telah memenuhi persyaratan, pernah duduk di Kabupaten sebagai
Inspektorat, memiliki reputasi yag baik, pangkat IV/a, melampaui
pendidikan bagi penjenjangan karir dan memiliki kredibilitas.
Jabatan Kepala Badan Pengawas Daerah adalah suatu masa ketika
reformasi tengah bergulir. Penyimpangan muncul dalam berbagai bentuk
sesuai dengan situasi yang merebak. Masyarakat Papua pernah sedemikian
tertindas pada masa-masa sebelumnya. Reformasi menjadi situasi bagi
masyarakat Papua untuk mendapatkan kembali segala hak yang telah
terampas. Namun ada kalanya, pihak-pihak yang berwenang mengelola
anggaran telah “mengambilnya” secara berlebihan, tanpa merasa bakwa
sikap tersebut sebenarnya keliru. Dalam dialog interaktif di Hotel Matoa
bersama Badan Perencana Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat, Wiro Watken
pernah menyatakan dengan keras, orang Papua terlalu berlebihan dalam
membalas sakit hati, karena ketidak adilan di masa lalu. Pernyataan itu
tidak mendapatkan sanggahan hingga hari ini, hal itu berarti Wiro Watken
telah menyatakan yang sebenarnya.
Sementara tugas sehari-hari sebagai pengawas bukanlah pekerjaan
mudah. Mata seorang pengawas selalu melihat, siapapun bisa saling
merampas untuk menjadi pimpinan proyek, karena anggapan dirinya tuan
tanah. Ketika menjadi pimpinan proyek awalnya yang bersangkutan bersikap
dengan baik, tetapi dana sebesar Rp. 250,000,000,00 menghilang tanpa
jejak. Dalam menguji kemampuan seseorang menjalankan tugas, yang
bersangkutan sengaja diberikan dana serta kepercayaan untuk
menyelesaikan tugas-tugas itu. Ketika hari p emeriksaan tiba, ternyata
dari seluruh dana dan kepercayaan yang diberikan tidak membuahkan
apa-apa. Satu kesimpulan dapat ditarik, kolusi telah terjadi.
Dari seluruh kasusu yang ada 80% selesai, 20% dievaluasi tahun
depan. Semu laporan pengawasan ditujukan kepada Gubernur, hubungan
Kepala Badan Pengawas dan Gubernur amatlah dekat, khususnya dalam hal
birokrasi. Dalam rangka kelancaran tugas Kantor Badan Pengawas Daerah
mendapat fasilitas enam mobil dinas serta dua kendaraan roda dua.
Satu prestasi yang dapat dicapai selama menjabat Kepala Badan
Pengawas daerah adalah bekerja sama dengan BPKN untuk menekan Hak
Pengelola Hutan supaya membayar Rp. 11,000,000,000,00 dari jumlah total
sebesar Rp. 150,000,000,000,00 untuk dibayarkan ke Dinas Pendapatan
Daerah. Keberhasilan itu bisa dicapai, karena kerja sama dengan seluruh
staf bukan kerja individu.
Pada bulan Januari 2003 Gubernur Yap Salosa memanggil Kepala
Biro Pemerintahan, Kepala Dinas Sosial, Kepala Dinas Perdagangan dan
Koperasi serta Kepala Badan Pengawas Daerah secara terpisaah. Inti
pembicaraan dalam setiap pertemuan itu adalah permintaan atas kesediaan
memangku jabatan Bupati di Kabupaten Pemekaran dengan satu konsekuensi
jabatan di Provinsi dilepaskan. Jawaban Wiro watken terhadap penawaran
itu adalah, “Apabila Bapak erintahkan berangkat, saya akan berangkat.
Apabila Bapak perintah tinggal, saya akan tinggal, selama saya tidak
pulang ke kampung halaman”, saat itu Wiro Watken tidak pernah tahu,
bahwa ia akan ditmpatkan di Asmat. Wiro Watken akhirnya menerima tawaran
itu, karena Gubernur meneruskan untuk berangkat.
Tanggal 12 April 2003 Wiro Yosef Watken bersama 11 rekan yang
lain – dua orang dari Sorong dan Teminabuan datang terlambat, sehingga
pada hari itu hanya 12 orang yang dilantik sebagai Pejabat Bupati.
Perasaan Wiro Watken pada saat itu adalah, bahwa ia telah berada di
puncak karir sebagai pamong praja. Hasil dari kerja keras yang telah
ditempuh bertahun-tahun. Seluruh keluarga hadir untuk menyertai. Bahwa
ia telah dilantik pada suatu wilayah yang belum pernah dikunjungi,
bukanlah persoalan. Kehadiran di Asmat adalah dalam rangka melaksanakan
tugas.
Saat itu Agats masih dalam situasi distrik dengan papan
jembatan yang telah lapuk dan berantakan, setiap pejalan kaki harus
melangkah dengan hati-hati supaya tidak jatuh terjerembab ke dalam
lumpur. Listrik hanya menyala pada pukul 18.00 – 24.00, selebihnya
padam. Segala prasarana bagi kelangsungan mekanisme pemerintahan
kabupaten sama sekali tidak ada. Bupati Wiro Watken kembali ke Jayapura
lima hari kemudian dengan satu kesimpulan, ia harus menanggung beban
hidup sangat berat dalam memulai pemerintahan Kabupaten.
Tanggal 31 Mei 2003, hari Sabtu, Bupati John Gluba Gebze
didampingi Wakil Bupati Benyamin Simatupang beserta seluruh ejabaat dan
segenap lapisan masyarakat Merauke menyelenggarakan upacara adat untuk
menyerahkan tiga Pejabat Bupati secara simbolis kepada masyarakat adat
pemekaran. Drs. Dvid Tuok selaku Bupati Boven Digul diserahkan kepada
Suku Muyu Mandobo, Drs. John Rumlus selaku Bupati Mapi diserahkan kepada
masyarakat Mapi, dan Drs. Wiro Yosef Watken selaku Bupati Asmat
diserahkan kepada msyarakat Asmat. Tujuh belas hari kemudian, Rabu, 18
Juni 2003 Bupati Merauke, Drs.John Gluba Gebze beserta rombongan
menyerahkan Drs. Wiro Watken selaku Bupati Asmat dalam suatu upacara
protokoler di Lapangan Yos Sudarso, Agats.
Setelah upacara penyerahan itu Wiro Watken segera memulai
tugas. Sebagai rumah tinggal dan kantor dua rumah mungil yang terletak
di lingkungan Missionaris telah disewa dan diperbaiki. Dalam hal ini
Pemerintah Distrik sementara memberikan bantuan dalam hal persiapan.
Dengan adanya tempat tinggal dan kantor dalam kondisi yang sangat
sederhana, Wiro Watken mengawali tugas utama, mempersiapkan kelembagaan,
membangun infrastruktur, dan menyelenggarakan Pemilihan Umum 2004.
Pada hari Selasa, 12 Agustus 2003 Bupati Wiro Watken melantik
Drs. Sefnath Meokbun sebagai sekretaris daerah Kabupaten Asmat dengan
Surat Keputusan Gubernur Papua No.821.2-2338 tanggal 10 Juli 2003. Dalam
sambutannya Bupati Wiro Watken menyatakan, bahwa maksud dan tujuan
pemekaran di seluruh wilayah Papua, termasuk Asmat adalah untuk
memperpendek tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan
masyarakat, sehingga dapat menjawab kesulitan yang selama ini dialami
oleh Merauke sebagai Kabupaten Induk. Pada bulan Oktober, sat haru
sebelum perayaan Idhul Fitri, 1 Syawal 1424 Hijriah Bupati Wiro Watken
melantik pejabat Eselon II, III, dan IV di lingkungan Pemerintah Daerah
Kabupaten Asmat. Tugas utama dalam menyusun kelembagaan telah terjawab
untuk tahap awaal. Kepala Dinas yang dilantik anatar lain Kepala Dinas
Pekerjaan Umum, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan, Kepala Badan Perencana Daerah, Kepala Kantor Kesatuan
Bangsa, Sekretaris Dewan, Kepala Bagian Keuangan, Kepala Perekonomian
Daerah, Kepala Badan Pengawas Daerah, dan Kepala Dinas Pendapatan
Daerah. Kepala Dinas yang telah dilantik itu kemudian menjalankan tugas
dengan memanfaatkan bangunan yang ada, termasuk dengan menyewa rumah
masyarakat yang telah direhab. Sementara restorasi lima bangunan tua
segera dikerjakan, sehingga bangunan tersebut dapat digunakan sebagai
kediaman Sekretaris Daerah, Kantor Bupati, Kantor Badan Pengawas Daerah
bersebelahan dengan mess pegawai, kantor Pekerjaan Umum, dan Kediaman
Kepala Bagian Keuangan. Pembangunan jembatan sebagai jalan utama di ibu
kota diteruskan, akhirnya tak ada lagi jembatan yang tak bisa dilalui,
karena kondisi yang rusak terpatah-patah. Sementara Wiro Watken aktif
menghadiri undngan dan menyampaikan sambutan dalam bermacam acara
protokoler, demikian pula dengan kunjungan ke distrik-distrik. Pada
bulan Mei 2003 Bupati Watken menyatakan ketegasan, bahwa seluruh Pegawai
Negeri Spil yang telah bertugas di Kabupaten Asmat harus berdomisili di
Wilayah Asmat. gaji hanya bisa diterima melalui Bank Papua yang
berkedudukan di Agats. Apabila pegawai bersangkutan tidak menjalankan
tugas di tempat yang telah ditetapkan, maka ia tidak berhak mendapatkan
gaji. Ketegasan itu menyebabkan kantor-kantor yang semula sunyi
perlahan-lahan menjadi ramai, pegawai segera berdatangan menjalankan
tugas di kantor masing-masing.
Pada hari Rabu 12 Mei 2004 Bupati Wiro Watken menandatangani
berita acara pelepasan tanah adat seluas 23 hektar bagi kepentingan
pengembangan tata kota sekaligus menyerahkan uang sebesar Rp.
1,150,000,00 secara simbolis. Uang sebesar itu akan dibagi kepada 30
bokot – dusun atas permintaan masyarakat syuru, tiap bokot memperoleh
sekitar Rp. 38,000,000,00. Tiga kali berturut-turut setelah uang
pembayaran diserahkan. Maka suasana Agats segera meriah oleh masyarakat
yang berbelanja dari uang hasil ganti rugi pembayaran tanah.
Barang-barang yang dibeli adalah bahan konsumsi sehari-hari serta
perlengkapan rumah tangga. Setelah tiga hari yang meriah oleh pembeli
yang belebihan, suasana pasar kembali seperti semula. Segenap pihak
menyesalkan tuntutan masyarakat yang tidak mau menerima ganti rugi dalam
bentuk apapun kecuali uang, uang sebesar itu akhirya tidak meninggalkan
bekas apa-apa kecuali tiga hari yang meriah di pasar, karena kesibukan
berbelanja. Di atas tanah seluas 23 hektar tata kota yag baru
direncanakan kemudian dibangun kantor dan rumah dinas. Persoalan dalam
menyelesaikan seluruh konstruksi bangunan adalah, karena jembatan
sebagai sarana utama mobilitas belum dibangun, sehingga kontraktor
mengalami kesulitan pengangkutan material sekaligus pembengkakan
anggaran.
Pada tanggal 19 Agustus 2004 Bupati Wiro watken membebaskan
satu hektar tanah di seputar Cemnes dengan pembayaran ganti rugi seesar
Rp. 50,000,000,00 untuk kepentingan pembangunan 30 unit rumah rakyat.
Sekali lagi masyarakat tidak bersedia menerima ganti rugi dalam bentuk
apa pun kecuali uang. Dalam sambutannya Wiro Watken menyatakan, bahwa
pembangunan 30 unit rumah rakyat tersebut merupakan suatu upaya
pemenuhan kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat Asmat, khususnya
masyarakat Yufri-Yaun yang menetap di seputar dermaga Feri dalam keadaan
tidak layak huni. Dikatakan pula, bahwa dana pembangunan 30 unit rumah
rakyat diperoleh dari dana Otonomi Khusus sebesar Rp. 15,000,000,00 per
unit. Untuk memenuhi kekuragan dana Pemerintah Kabupaten Asmat menambah
dana sebesar Rp. 10,000,000,00 per unit, total dan yang akan dikeluarkan
bagi pembangunan 30 unit rumah rakyat adalah Rp. 750,000,000,00. Areal
yang berada di seputar Dermaga Feri direncanakan akan dijadikan kawasan
mangrove. Kondisi tanah di seputar Kota Agats, khususnya di wilayah
garis pantai amatlah rawan erosi, karena air pasang sepanjang tahun.
Penanaman hutan mangrove merupakan suatu upaya bagi penanggulangan
masalah erosi yang mengancam kelestarian Kota Agats.
Sementara kondisi tanah di wilayah pasar – konsentrasi kios
semakin hari semakin memburuk, mengalami erosi, karena gemburan arus.
Tiang-tiang rumah roboh, keluarga yang bermukim di tempat itu harus
kehilangan sebagian dari rumah tinggal, ruangan di dalamnya semakin hari
menjadi semakin sempit. Untuk menanggulangi erosi lebih lanjut Wiro
Watken mengatur suatu rencana untuk memindahkan lokasi pasar di tempat
yang lebih jauh dari garis pantai, tetapi masih dapat dijangkau dengan
long boat, karena terdapat aliran sungai. Lokasi pasar lama akan ditanam
hutan mangrove sebagai upaya penanggulangan erosi. Sebuah komitmen dn
kerja keras diperlukan untuk merealisasi gagasan itu.
Setelah menyiapkan kelembagaan dan membangun infrastruktur, ada
satu hal lagi yang harus dikerjakan Wiro Watken, menyelenggarakan
Pemilihan Umum Legisaltif 2004 dan Pemilihan Presiden secara langsung.
Posisi Wiro Watken dalam Pemilihan Umum adalah sebagai pembina politik,
bertanggung jawab secara langsung dalam memantau sekaligus menyelesaikan
segala persoalan yang ada, sehingga Pemilihan Umum dapat mencapai
tujuan yang sebenarnya. Terhadap keseluruhan proses Pemilihan Uum 2004
wiro Watken terus memantau dari awal hingga akhir, Asmat tercatat
sebagai 15 Kabupaten yang sukses dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Dengan berakhirnya Pemilihan Umum 2004 Wiro Yosef Watken telah
menyelesaikan penting dalam posisinya sebagai orang pertama di Kabupaten
Asmat. tanggal 24 Desember 2004, satu hari sebelum perayaan Natal, atas
nama Pemerintah Daerah Kabupaten Asmat Bupati Wiro Watken menyerahkan
uang ganti rugi kepada masyarakatyang bermukim di Ibu Kota Agats sebesr
Rp. 400,000,000,00 atas 10 hektar tanah yang terletak di seputar Dolog.
Tanah seluas 10 hektar tersebt akan dijadikan sebagai pengembangan Rumah
Toko untuk mengantisipasi erosi padaa tanah di bagian pasar yang
sekarang.
Sat tugas lagi yang harus diselesaikan Bupati Wiro Watken,
ialah menempatkan 667 Pegawai Negeri Sipil relokasi dari Kabupaten
Merauke. Ratusan pegawai ni harus ditugaskan pada tempatnya
masing-masing sesuai dengan pangkat, golongan, dan keahlian. Beberapa
bulan diperlukan sambil menunggu kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten
Asmat dalam menempatkan pegawai relokasi pada instansi yang memerlukan.
Dari keseluruhan tugas yang dipikul Bupati Watken tak pernah
merasa berat, kecuali ada suara sumbang yang menuduh ia telah melakukan
kesalahan yang tak pernah ia lakukan. Suara itu tak mampu menjatuhkan
hingga Wiro terlibat sebagai calon Bupati Asmat periode 2005 – 2010
berpasangan dengan Kasim SP. Wiro watken tak memenangkan pemilihan itu,
tetapi ia tak berhenti berkarya, ia terlibat sebagai anggota Majelis
Rakyat Papua yang berkedudukan di Jayapura. Setiap tahun hingga 2016
Wiro Watken tetap berkunjung ke Wilayah Asmat. Ia tak dapat melupakan
masa-masa ketika menjabat Bupati di wilayah ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar