Rabu, 17 Juli 2019

PADA SEHELAI GAMBAR --Perempuan Asmat--






*Musuh perempuan bahkan bersembunyi di balik  kelambu, di dalam selimut ….

Pada sehelai gambar –pada satu foto terekam beribu makna, bahkan melebihi panjang rangkaian kata. Dalam makna yang disampaikan, sehelai foto bukan sekedar karya rekaan, akan tetapi memenuhi kebutuhan manusia akan kebutuhan rohani yang bersifat prafan –menghibur. Ketika sepasang mata menatap sehelai foto, maka akan muncul imajinasi tak berbatas yang berdasar kepada punctum dan stadium, proses menghubungkan antara pengalaman dengan akal berlangsung kemudian direfleksikan dalam pemahaman diri, helai foto bagaikan kemilau kepingan cermin --maka sang individu dapat pula berkaca.
Menurut Roland Brathers punctum adalah detail dari suatu foto yang memberikan kesan mendalam seakan mata pisau berkelebat  menikam emosi. Kekuatan punctum demikian besar, mengalahkan gambar rata-rata, ketika punctum berdaya upaya, maka sepasang mata yang menatap akan tetap terbayang, meski telah berulang terpejam. Seorang dapat tersenyum, tertawa, terdiam, marah, bahkan berlinang air mata ketika menatap sehelai foto. Tentu punctum tak dapat terlepas dari studium --kemampuan seseorang berdasarkan  pengalaman dalam berdialek dengan helai foto. Seorang yang pernah  mengenal tata rias penari Asmat  akan segera tahu bahwa penari yang tampil dalam foto adalah penari Suku Asmat. Akan tetapi orang yang tidak pernah mengenal tata rias adat Asmat, akan bertanya, “Penari siapakah itu?” Kemampuan seseorang sangat menentukan dalam berdialog dengan sehelai foto atau gambar --foto menghadirkan makna.
Baskoro, (2013) menyatakan, suatu citra visual dapat menimbulkan signifikasi atau pemaknaan. Makna-makna yang muncul sebenarnya tidak berasal dari foto atau gambar itu sendiri tetapi muncul pada otak atau imajinasi orang yang melihat foto. Beretnofotografi memposisikan fotografi bukan hanya sebagai rekaman peristiwa tapi sebagai citra tanpa kata di mana sebuah foto bukan bukti realita tapi realita baru.
Realita baru yang “dibaca” dalam foto merupakan sebuah “permainan tafsir” yang rasional dan masuk akal karena dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang reflektif karena pengalaman bukan suatu yang terisolasi. Pengalaman bukan tersusun oleh kesendirian tetapi dari relasi-relasi dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya. Pembacaan ini bukanlah untuk menduplikasi citra melainkan untuk mengeksplisitkan atau menegaskan seperangkat konotasi dalam citra --foto-- yang sebelumnya sudah ada --implisit.
Asmat adalah suatu realita teramat luas, sekitar 23.000 ha tanah berawa  yang berbatasan dengan garis pantai. Terhitung pada tahun 2013 jumlah distrik terus  mekar dari tujuh menjadi 19, menjadi 23 distrik dengan 224 kampung yang seluruhnya berkembang di sepanjang aliran sungai. Sejumlah rumpun dengan spesifikasi kehidupan mendiami kampung termaksud dan bertahan dari waktu ke waktu menjadi catatan sejarah yang berbeda dengan kehidupan suku-suku bangsa lainnya. Bahwa Suku Asmat menjadi amat tersohor, karena seni ukir, sudah diketahui khalayak luas. Akan tetapi, bagaimana kehidupan perempuan Asmat dalam rangka menuju kesetaraan gender. Benarkah jarum waktu telah berhenti bagi  perempuan setempat? Atau, masih terkuak beragam kemungkinan untuk jangka waktu yang relativ panjang bagi kesetaraan?

Reportase Fotografi dengan judul PADA SEHELAI GAMBAR --Perempuan Asmat--merupakan suatu upaya untuk menjawab pertanyaan termaksud. Terlepas dari seni ukir serta adat isti adat yang berbasis terhadap kepercayaan akan keabadian roh nenek moyang di alam safar --sorga-- maka kehidupan perempuan menjadi satu sisi yang tidak bisa disisihkan, bahkan layak dicermati. Posisi geografis yang tidak mudah dicapai serta kondisi geografis yang berupa tanah berlumpur merupakan setting kehidupan yang sangat berat serta memerlukan proses adaptasi luar biasa dalam strategi pertahanan hidup. Dari udara wilayah Asmat akan tampak sebagai rindang hijau pepohonan, ialah hutan hujan yang berpotensi mencurahkan air sepanjang tahun, pemukiman penduduk hanya tampak seakan titik yang teramat kecil di sepanjang aliran sungai maha panjang yang meliuk-liuk dalam air kecoklatan.
Adapun perempuan berasal dari kata --empu, berarti sang pemilik yang berwenang akan segala sesuatu termasuk dalam relasi gender. Kewenangan dalam relasi gender akan membawa perempuan pada peta yang mana pun untuk tetap eksis mendapatkan hak dalam segala hal, sehingga ia tidak akan pernah tertinggal.  Akan tetapi, apa kemudian yang berlaku? Duka cerita kisah perempuan seakan tak berkesudahan, bahkan ketika waktu terus berotasi membawa sejarah melewati lebih satu dekade pergantian millennium. Peta kehidupan perempuan teramat luas, sama luasnya dengan jumlah daratan yang tak terendam permukaan air laut. Akan tetapi kemajuan daratan yang satu tak berjalan paralel dengan daratan yang lain. Ketika di Benua Eropa seorang anak perempuan dari  keturunan raja, mutlak berhak akan tahta tanpa intrik, maka di belahan bumi yang lain kemampuan seorang perempuan dalam memimpin kerajaan dan negara masih dipertanyakan. Sementara perempuan masih terbelit dengan tugas-tugas domestik --melahirkan, menyusui serta mengerjakan beban rumah tangga yang tak memberikan imbalan finansial dan   yang membuat sosoknya tak pernah eksis dalam statusnya sebagai bagian dari komunitas setempat.  Kekerasan di dalam rumah tangga, baik, fisik, psikologis, maupun ekonomi menjadi buah mulut sehari-hari yang berakibat pada trauma, luka berdarah, bahkan kematiannya.
Dari mana sebenarnya kekerasan itu berasal?
Dahulu kala, jauh hari sebelum sejarah tercatat, pada  tahap kehidupan masyarakat sederhana, setiap komunitas mengatur strategi pertahanan hidup dari berburu dan meramu. Masing-masing kelompok mengkristalkan diri dalam  bentuk band, seorang laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan serta mampu mendapatkan lebih banyak binatang buruan akan dinyatakan sebagai kepala suku atau pemimpin kelompok. Ada pun perempuan, terlebih ketika berada dalam keadaan hamil, melahirkan, dan menyusui selalu berada dalam kondisi fisik yang lemah dan semakin lemah. Pekerjaan yang bisa diselesaikan antara lain bertanam. Perempuan tak memiliki kodrat untuk menjadi seorang pemburu sekaligus kepala suku, karena kekuatan fisiknya. Superioritas mulai muncul yang akhirnya berakibat fatal pada ketidaksetaraan gender. Bibit budaya patriakhal mulai ditebar.
Ketika sejarah terus tercatat dengan bermacam perubahan dan kemajuan yang terjadi, perempuan tetap menjadi warga komunitas kelas dua dengan akibat tragis dari kecenderungan poligami, kekerasan, dan penelantaran. Kisah perempuan di Tepi Barat, Palestina adalah tragedi bagi seorang gadis yang dibakar keluarga, karena mengandung di luar perkawinannya, ada pun si pemuda, selamat, karena ia terlahir sebagai laki-laki. Perempuan di Timur Tengah membungkan dalam duka lara, karena pembenaran dalam poligami. Sementara Kaisar Cina --Sang Putera Langit, konon memiliki 3.000 selir. Perempuan termaksud semula adalah gadis-gadis yang berasal dari keluarga tidak mampu tanpa jaminan hidup dari kedua orang tuanya. Atas nama perbaikan taraf hidup bagi seluruh anggota keluarga, maka mereka didorong untuk memasuki intrik dalam rumah tangga kekaisaran yang diliputi iri dengki dari 2.999 selir yang lain dan seorang permaisuri. Intrik di dalam istana sering kali berlumuran darah bahkan berakibat pada kematiaanya. Kasus serupa terjadi pula pada kehidupan Kesultanan Turki yang didampingi terlalu banyak selir, hingga terpecah perselisihan yang mengerikan di antara mereka.
Perempuan Nusantara baru dapat ikut serta dalam proses pendidikan setelah perjuangan emansipasi oleh Ibu Kartini yang terlahir pada 21 April 1879 dan hidup 25 tahun setelah hari kelahiran itu. Kurang lebih satu abad kemudian, setelah melewati pergantian millennium, maka seorang perempuan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, beberapa menduduki kursi menteri, kursi wakil rakyat, juga posisi struktural, dan fungsional. Pada sejarah Singasari,  sekitar 1.000 tahun yang lalu, di Tanah Jawa pernah terlahir Ken Dedes –Ardanareswari, ialah seorang perempuan yang telah ditakdirkan untuk melahirkan raja-raja di Tanah Jawa. Kecantikan dan ambisi telah mendorong untuk  melakukan tindakan paling kejam bagi suami pertama dan kedua dengan sikap dingin, ia meminjam tangan orang lain. Sehingga kesepuluh jarinya tetap bersih, tiada berlepotan darah, ada pun tahta jatuh ke tangan anak kandungnya. Takdirnya untuk menurunkan raja Tanah Jawa telah berbicara.
Sejarah pasti tercatat, akan tetapi tidak semua perempuan memiliki peluang yang sama. Sementara pada satu belahan bumi seorang perempuan telah duduk berkuasa mengenakan mahkota, maka di belahan bumi yang lain, perempuan masih terbelenggu pada tugas-tugas domestik yang tak mampu mengubah nasib diri serta generasi penerusnya. Kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan penelantaran membawa kehidupan rumah tangga sampai pada titik terendah yang berakibat pada hancur mentalitas dan kemampuan fisik generasi penerus. Sebuah mata rantai persoalan terus melingkar, tidak ada satu cara pun untuk mendapatkan jalan keluar, kecuali dengan mematahkan.
Perkawinan dini pada prinsipnya  memicu awal mula persoalan yang terlalu rumit untuk ditelusuri kemudian diperoleh solusi. Pun sikap keluarga dalam memperlakukan sosok pribadi --antara laki-laki dan perempuan. Bahwa anak-anak perempuan ditekan untuk mengerjakan urusan rumah tangga --pergi ke pasar, memasak, mencuci piring, lantai pakaian, merawat tanaman, menjaga adik --tanpa ucapan terima kasih, anak laki-laki terbebas dari segala hal termaksud. Sementara lingkungan sosial dan sekolah melakukan tekanan serupa. Lembaga pendidikan dan jaringan birokrasi akhirnya terbuka bagi proses pendidikan dan karir, akan tetapi betapa tidak proposional jumlah kursi yang diduduki perempuan dibanding laki-laki. Berapa jumlah kursi menteri? Berapa banyak yang diduduki perempuan? Atau berapa banyak perempuan yang mampu menempati kursi DPR?
Dalam budaya patriakhal, secara kultural perempuan dikondisikan sebagai penyerta, bukan subyek, membangkang dianggap sebagai suatu kesalahan atau amoral. Kondisi semacam ini secara  permanen menghambat seorang perempuan untuk bertindak sebagai pelaku. Maka ketika perkawinan dimulai, terlebih dalam usia yang sangat dini tanpa kesiapan mental, fisik, dan finansial, kekerasan di dalam rumah tangga kembali terjadi. Pihak perempuan ditekan untuk mengalah --mengalah bahkan ketika darah mulai mengucur, kekerasan tak juga berhenti hingga kematian datang mengakhiri.
Bagaimana kondisi kesetaraan gender bagi perempuan Asmat hari ini? Adalah sebuah pertanyaan yang tak mudah terjawab. Suatu peta persoalan perlu dibentangkan untuk menjawab pertanyaan termaksud. Seorang harus berfikir sekaligus bekerja keras, mencurahkan seluruh kemampuan membangun keyakinan serta potensi diri, sehingga mata rantai persoalan dapat dipatahkan. Keluarga sebagai unit satuan terkecil dalam kehidupan masyarakat merupakan pihak yang paling berwenang dalam mematahkan mata rantai, sehingga kesetaraan gender bisa tercapai dengan cara menerapkan beban serta tanggung jawab yang adil dan bijak terhadap anak laki-laki dan perempuan. Apabila anak perempuan harus mengerjalan segala urusan rumah tangga, maka anak laki-laki harus melakukan hal yang sama, tanpa kecuali. Demikian pula dalam hal pendidikan, proses yang harus ditempuah serta biaya yang harus dibayarkan antara anak- laki-laki dan perempuan sama. Masyarakat sering kali sulit menerima perubahan, karena terikat dengan adat dan pandangan sosial yang telah mengakar. Akan tetapi suatu perubahan apa pun bentuknya bila berdampak positif lambat laun akan diterima dengan senang hati.
BKKBN pernah memiliki program permanen, ialah pendewasaan usia perkawinan, suatu strategi yang berfungsi ganda dalam membangun kehidupan keluarga dan kesetaraan gender. Sungguh pun badan termaksud sudah tidak nampak di tingkat daerah, akan tetapi program dapat  diteruskan, mengingat fungsinya yang sangat penting dalam pengembanngan masyarakat.   Jangan pernah tergesa menjelang pernikahan, sebelum suatu akibat yang teramat buruk dan tak pernah dapat dibayangkan. Ikon perkawinan adalah “selamat berbahagia”, dalam banyak kasus yang terjadi justru sebaliknya. Kesiapan fisik, psikis, dan finansial amat mendukung untuk mencapai suatu masa yang disebut dengan kebahagiaan sekaligus mengantisipasi kekerasan di dalam rumah tangga.
Bahwa ada empat hal yang dapat mendukung seorang perempuan dalam mencapai kesetaraan gender, pertama dorongan dari pihak keluarga, kedua budaya masyarakat setempat, ketiga  kebijakan pemerintah, dan keempat kemampuan dari perempuan itu sendiri. Bahkan Tuhan pun tak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum tersebut tak bermaksud mengubah nasibnya sendiri. Demikian pula, Tuhan tak akan pernah mengubah takdir seorang perempuan kecuali perempuan mengubah nasibnya sendiri. 

Asmat: Perkampungan di Atas Jembatan 





Kabupaten Asmat sebagai lokasi perempuan Asmat menetap  terletak di antara dua kabupaten, Merauke dan Mimika. Secara geografis posisi Wilayah Asmat lebih mudah dicapai dari Kabupaten Mimika, sekitar 12 jam pelayaran atau 45 penerbangan. Sedangkan dari Kabupaten Merauke diperlukan sekitar 36 jam pelayaran atau 1 jam 30 menit penerbangan. Posisi Dermaga Pomako, Timika adalah sekitar satu jam perjalanan melalui jalan licin beraspal, tanpa hambatan kemacetan. Jadwal kapal Putih, Tatamalau, Leuser, Sirimau atau kapal putih yang lain tidak dapat ditentukan. Kecepatan kapal sangat tergantung dengan keadaan laut serta cuaca, bila gelombang besar menghantam disertai angin kencang, praktis kecepatan kapal melambat. Penumpang atau wisatawan dalam rangka kunjungan atau mobilitas harus pandai mengatur waktu, sehingga tidak terlambat mencapai tangga kapal. Bila kapal putih sandar di dermaga pada pukul 02.00, maka tepat pukul 12.00 yang bersangkutan sudah bersiap meninggalkan hotel, menumpang  taksi, menyusuri jalan yang sunyi, melewati pemukiman yang tertidur serta rimbun hutan yang teramat luas. Kepercayaan terhadap driver sangat diperlukan  bagi perjalanan singkat yang aman dan nyaman.
Di dalam kapal penumpang tersedia kamar dengan harga yang relativ tinggi, sekitar Rp. 1,000,000,00 hingga tiba di dermaga baru Agats, atau tiket ekonomi Rp. 100,000,00. Kantin yang menyediakan minuman panas, nasi dengan ayam goreng, pop mie serta makanan ringan yang lain tersedia bagi seluruh penumpang. Sekitar 12 jam kemudian kapal akan berbelok ke arah kiri mengikuti posisi lampu suar yang berdiri tegak mengukuhkan jalur yang harus ditempuh. Kapal putih adalah sarana perjalanan laut yang tepat waktu dan aman.
Pada situasi mendesak perjalanan Agats – Timika dapat pula ditempuh dengan menggunakan speed boat menyusuri sepanjang garis tepi Laut Arafura. Keberanian dan perhitungan yang cermat amat diperlukan dalam menempuh perjalanan ini, akan lebih nyaman bila perjalanan dimulai pada pagi hari sebelum ombak bergelombang serta angin kencang menghantam.
Jalur lain yang dapat ditempuh untuk mencapai wilayah Asmat adalah penerbangan pesawat perintis. Jumlah serta kapasitas pesawat sangat terbatas, adalah sebuah keberuntungan bila seorang penumpang dapat memperoleh tiket penerbangan Bandara Moses Kilangin, Timika menuju Bandara Ewer - Agats atau dari Bandara Mopah, Merauke - Ewer. Sementara landasan pacu Bandara Ewer telah selesai, tes landing telah dilakukan. Ke depan diharapkan pesawat jenis ATR atau Fokker dapat landing secara rutin di atas landasan pacu Bandara Ewer, sehingga mobilitas wisatawan dapat ditangani dengan baik. Sarana transportasi yang tersedia saat ini dari Ewer ke Timika adalah pesawat Dimonim, jenis Twin Otter dengan kapasitas 18 penumpang, harga tiket berkisar antara Rp. 335,000,00, jadwal penerbangan hari Senin dan Sabtu. Pesawat Skycab Aviation jenis Twin Otter pula terbang setiap hari Sabtu, dengan harga tiket Rp. 1,980,000,00 untuk rute penerbangan Ewer-Merauke-Ewer. Pesawat yang sama  menempuh rute Ewer-Timika-Ewer setiap Senin, Kamis, Sabtu dengan harga tiket Rp.1,430,000. Sedangkam pesawat MAF jenis Pilatus terbang dari Timika ke Ewer sesuai dengan jadwal penerbangan yang diperlukan pihak Missionaris dengan  harga tiket Rp. 1,400,000,00. Penerbangan pesawat yang sama rute Merauke –Ewer setiap hari Jumat dengan harga tiket Rp. 2,600,000,00. Pesawat Susi Air terbang Merauke- Ewer lima hari dalam satu minggu, dengan harga tiket Rp. 260,000,00. Susi Air menempuh pula penerbangan Merauke-Kamur Setiap tahun jenis serta jadwal pesawat berubah sesuai dengan situasi serta kondisi yang berubah pula.Rute berikut Susi Air adalah Ewer- Kamur dan Ewer – Suru-Suru dengan harga tiket subsidi berkisar antara Rp. 260,000,00. Adapun pesawat AMA menempuh rute penerbangan Timika-Ewer dengan harga tiket Rp. 1,700,000,00 setiap hari Selasa dan Jumat.Sementara landasan pacu bandara Ewer telah siap untuk 
Penerbangan Timika – Ewer selama kurang lebih 45 menit adalah pengalaman khusus yang sensasional. Beberapa saat setelah pesawat jenis Twin Otter, Pilatus atau Cessna mengudara, Kota Timika akan tampak sebagai konsentrasi pemukiman yang semakin lama tampak semakin mengecil dengan atap berkilau ditimpa cahaya matahari. Limbah beracun PT. Freeport Indonesia sesungguhnya adalah “sungai” raksasa yang berhulu pada tempat yang sangat jauh sulit dikunjungi, lebar hilir “sungai” bahkan melebihi lebar tata kota Timika.
Pesawat terus meraung, limbah beracun PT. Freeport Indonesia tak tampak lebih lama, dari balik  jendela kaca terlihat rimbunan hutan hujan yang menghijau dialiri sungai-sungai kecoklatan yang saling memotong, meliuk-liuk. Tak tampak konsentrasi pemukiman selama penerbangan. Sementara biru langit dapat sekejab berubah menjadi mendung, bahkan hujan. Akan tetapi pesawat terus melaju menembus mendung, biru langit kembali tampil dalam warna yang cerah, mega-mega mengapung berarak dalam tiupan angin, seputih kapas. Jauh di bawah jendela pesawat, tepi pantai tampak sebiru batu safir. Pesawat terus meraung sesekali berguncang kemudian kembali tenang. Sekitar 45 menit kemudian landasan pacu Bandara Ewer mulai terlihat dari ketinggian, pesawat memutar, menempatkan diri pada posisi yang tepat sebelum meluncur turun, mendarat di atas landasan pacu dengan sedikit guncangan.
Di Kampung Ewer, tak jauh dari landasan pacu berdiri jew –rumah bujang, sebagai bangunan tradisionil terbesar di kampung ini. Pada tiang jew terukir roh leluhur, di teras jew yang panjang tanpa sekat, di atas lantai dari kulit kayu, tampak beberapa orang tengah mengukir dengan tekun atau sekedar duduk melewatkan waktu. Jew adalah rumah adat tempat seluruh anggota komunal berkumpul di bawah kendali pemimpin adat. Jumlah pintu di dalam jew menandakan jumlah fam yang tinggal di kampung termaksud. Lurus dari pintu masuk tanpa daun adalah tungku, tempat masing-masing fam dapat membakar sagu atau ikan. Jew tak pernah sunyi, setiap hari selalu ada kehadiran anggota komunal di dalamnya, terlebih ketika musyawarah bagi pesta adat dan pesta termaksud diselenggarakan. Jew berfungsi untuk memelihara struktur sosial budaya pada kehidupan komunal, sehingga satu individu tetap menjadi bagian individu yang lain, tak terpisahkan.
Ewer dan kampung pemekaran di seberang landasan pacu, Sau adalah kampung pertama di Kabupaten Asmat yang memiliki fasilitas solar sell, sehingga listrik dapat menyala selama 24 jam sehari. Listrik telah menyala pula di rumah bujang, malam tak lagi bersuasana gelap, sementara aktivitas dengan menggunakan peralatan elektronik dapat digunakan dengan baik. Tak jauh dari perkampungan, setelah melewati jembatan kayu, tiba-tiba berdiri pula jembatan beton menyebrangi Sungai Kamborep.
Tak jauh dari aliran Sungai Kamborep rumah panggung masyarakat berdiri, sebagian adalah rumah tradisionil berdinding gaba-gaba, beratap ilalang, sebagian yang lain rumah rakyat, rumah permanen bantuan dari Pemerintah Daerah. Di seputar rumah tumbuh tanaman pangan, umbi-umbian, rica –lombok rawit, sayur mayur, rimbun daun kelapa meneduhi pemukiman dari terik matahari. Sehari-hari suasana lengang, gemuruh mesin pesawat serta mobilitas penumpang yang menyebabkan Ewer sebagai gerbang wilayah Asmat menjadi hidup.
Dari dermaga Ewer selalu bersiap speed boat ojek dengan biaya Rp. 100,000,00 per orang hingga sampai di dermaga Agats. Sekitar 15 menit perjalanan ditempuh dengan menyusuri sungai, pada dua tepinya adalah rimbun hutan bakau. Lepas muara wisatawan harus memiliki keberanian, speed boat demikian kecil, adapun lautan amat  luas berbatas cakrawala. Driver telah berpengalaman melewati tempat ini dengan baik, maka speed boat dapat terus meraung mencapai dermaga feri. Di lingkungan dermaga feri telah dikukuhkan Patung Pastor Yan Smith pada pergantian tahun 2012 menuju 2013.

Legenda dan Catatan Sejarah 

Syahdan, tersebutlah seorang beorpit --pemuda gagah perkasa--  bernama Fumiripits yang menetap seorang diri dalam suatu rumah tinggal di tengah hutan.  Suatu hari Fumeripits melakukan perjalanan ke hilir sungai menuju muara Sungai Sirets. Di muara sungai pemuda itu bertemu dengan sekelompok gadis yang semuanya berparas cantik. Fumiripits jatuh cinta kepada salah seorang gadis yang cantik rupawan itu, demikian pula  sang gadis rupawan tersebut. Keduanya terlibat hubungan rahasia di tengah hutan, untuk menyembunyikan rahasia termaksud sang gadis memutuskan membungkus Fumiripis dengan selembar tikar daun dan membaringkanya di dalam perahu lesung agar dapat menyembunyikan dari pandangan saudara perempuan yang lain .
Dalam perjalanan pulang melewati Sungai Sirets ombak mulai mengguncang,  semakin lama semakin kencang. Tak ayal lagi, Fumiripits terjatuh ke sungai dalam keadaan terbungkus tikar daun, terhanyut ke laut dan terdampar di tepi Sungai Momats. Fumiripits amat kesakitan hingga ia tak dapat lagi merasakan apa-apa, ia meregang nyawa dan akhirnya meninggal. Tak lama kemudian datanglah sekawan burung, mendapatkan Fumiripits dalam keadaan terkapar. Kawanan burung itu akhirnya meminta bantuan kepada Kidukunmsi --burung elang ajaib yang dapat menghidupkan kembali Fumiripits, sehingga sang Beorpit  mendapatkan kembali kehidupan, tetapi ia terpisah dengan gadis yang dicintainya.
Fumiripits membangun rumah panjang sebagai tempat tinggal, tetapi ia tetap marasa kesepian. Dalam kesendirianya Fumiripits berkeinginan untuk mengukir patung dari kayu. Ia pun menebang pohon, memotongnya, dan mulai membentuk kepala, badan, tangan, dan kaki sehingga ujud itu betul menyerupai manusia. Di antara patung-patung itu ada yang menyerupai laki-laki dan ada pula yang menyerupai perempuan. Patung-patung itu sangat halus dan indah, Fumiripits mengatur patung-patung tadi di sekeliling rumahnya ia merasa sangat senang dan bangga dengan hasil ciptaanya. Akan tetapi patung tetaplah benda mati tidak bisa bergerak atau bicara.
Fumiripits akhirnya membuat tifa, ia menebang sebatang pohon dan melubangi bagian tengannya. Fumiripits menangkap pula seekor kadal, mengupas kulitnya, kemudian menutup salah satu bagian lubang kayu itu dengan kulit kadal dan mengikatnya dengan rotan yang telah dilumuri dengan darahnya sendiri serta limau putih. Setelah tifa itu jadi, ia pun menabuhnya. Suara tifa yang merdu membuat patung tersentak, patung-patung itu mulai bergerak dan menyentak-nyentak mengikuti irama pukulan tifa. Ketika Fumiripits mempercepat irama tabuhannya, maka gerak patung-patung itu semakin cepat dan lincah. Akhirnya patung-patung itu bernapas dan hidup selayaknya manusia. Mereka adalah orang-orang pertama yang mengawali kehidupan di Asmat. 
Legenda Fumiripits adalah mitos yang dapat menguak asal mula keberadaan Suku Asmat lengkap dengan keahliannya mengukir untuk hadir pada alam kehidupan sebelum bersentuhan secara langsung maupun tidak langsung dengan dunia luar. Jauh hari ke depan setelah patung-patung yang diukir Sang Legenda bernapas kemudian bergerak dan menari-nari mengikuti irama pukulan tifa, maka Suku Asmat bertahan hidup dengan menggantungkan diri terhadap  kekayaan hutan dan laut. Mengayau adalah suatu ritual untuk mempertahankan diri terhadap intervensi dari kelompok etnis di seputarnya. Pada masa itu posisi perempuan Asmat hanya sebatas pada rutinitas tugas domestik. Perempuan Asmat tak memiliki kemampuan berperang sekaligus mengayau. Tatanan adat berpihak pada laki-laki. Hutan dan laut menyediakan kekayaan alam sebagai bahan dasar konsumsi harian, maka tugas perempuan adalah memangur sagu, menjaring ikan sebagai sumber gizi  keluarga. Perempuan  Asmat tak pernah menempati posisi sebagai kepala suku.
Menurut catatan Verlag (2002: 49), kontak pertama Suku Asmat secara sporadis dengan dunia luar terjadi pada awal abad ke-17. Tanggal 12 Juli 1607, Win Vaes de Torres dari kapal San Pedro menulis sepucuk surat untuk raja Spanyol yang mengabarkan eksplorasinya di pantai selatan New Guinea dan menyatakan bahwa kawasan itu menjadi milik raja Spanyol. Suratnya lebih lanjut menggambarkan wajah orang asing yang pertama dijumpainya sebagai orang-orang hitam yang berbeda dari orang-orang lain, yang berhias lebih bagus, menggunakan anak panah dan perisai besar, serta beberapa cabang bambu berisi kapur yang membutakan musuh bila mereka melemparnya.
Pada 12 Oktober 1770 Kapten James Cook dan awak kapalnya menyatakan bertemu dengan orang Asmat. Mereka berlabuh di Pirimapun dan menyebut tempat termaksud sebagai Teluk Cook. Kurang dari satu abad kemudian, tepatnya pada tahun 1828 Pemerintah Belanda menghaki Pantai Barat Daya New Guinea, kemudian menghaki pantai utara pulau atas nama Sultan Tidore pada tahun 1848. Selama awal tahun 1900-an Pemerintah Belanda mengirim ekspedisi ke New Guinea untuk menentukan batas-batas tanah yang telah mereka haki sebelumnya. Kontak sporadis ini tidak memberikan pengaruh apa pun bagi kehidupan Suku Asmat.
Mansoeben (1995: 128 – 130) mengemukakan kronologis kontak orang Asmat dengan dunia luar yang dimulai pada tahun 1904. Kontak itu terjadi, karena ekspedisi-ekpspedisi yang dilakukan orang Eropa di wilayah Pasifik. Ekspedisi berikutnya terjadi pada tahun 1907, 1909-1910 dan 1912 -1913. Ekspedisi pertama pertama dan kedua dipimpin Lorentz dan terakhir Franssen Herderschee. Dua ekspedisi berikutnya terjadi pada tahun 1922 dan 1923, keseluruhan ekspedisi tersebut adalah dalam rangka ekspedisi ilmiah. Kunjungan lain berasal dari pihak Pemerintah Belanda yang terjadi pada tahun 1904 disusul kunjungan-kunjungan berikut.
Selama kurun waktu kontak sporadis dengan dunia luar, nyaris tak ada catatan mendalam tentang kehidupan perempuan Asmat. Kecuali jejak yang tersisa, bahwa budaya patriakhal masih menjadi bagian tak terpisahkan dalam relasi gender antara laki-laki dan perempuan. Potret kehidupan perempuan secara mendetail tak pernah terbaca.
Tahun 1936 Pemerintah Belanda membangun Pos Pemerintahan untuk kepentingan keamanan. Felix Maturbongs diangkat menjadi Bestir Assistant di Agats untuk masa tugas 1938 – 1943 kemudian mendatangkan tukang-tukang dari Kei untuk membangun Kompleks Pos Pemerintahan di Agats. Orang Asmat Pos Pemerintahan itu disebut Akat --yang berarti “baik” atau “ bagus”. Lidah orang Belanda ternyata sulit untuk mengatakan “Akat”, yang terucap ialah “Agats”, maka daerah sekitar Pos Pemerintahan hingga kini disebut dengan Agats. Selanjutnya Agats menjadi nama ibu kota wilayah Asmat.
Pada tahun yang sama dengan tahun pembangunan Pos Pemerintahan --1936, P. Herman Tillemans, MSC mengunjungi daerah Asmat bagian utara dengan perahu dayung dari Pusat Misi MSC di Mimika dalam rangka pewartaan Injil. Tahun 1938 P. Hendrikus Cornelisse, MSC mengunjungi Asmat dari Langgur, Kei, dari kunjungan itu dua gereja dibangun di Syuru dan Ayam. Tahun 1943 tentara Jepang memasuki daerah Mimika. Bestir Felix Maturbongs mendapat telegram dari Resident Merauke supaya penduduk Agats segera diungsikan ke Merauke dan Pos Pemerintahan Agats dimusnahkan. Pada tanggal 26 Januari 1943 Bestir dan semua pendatang di Agats berangkat ke Merauke dengan menumpang KM. Herman, sementara semua bangunan Pos Pemerintahan Agats telah hangus dibakar. Sampai pada tahun ini segala upaya pewartaan dan pembangunan di wilayah Asmat terhenti, Perang Dunia ke II yang terus berkecamuk tak memungkinkan adanya upaya termaksud.
Tahun 1950 ketika situasi kembali damai Pastor  Gerald Zegwaard, MSC mengunjungi Asmat dan berusaha memulangkan kembali penduduk Asmat yang semula mengungsi ke Kamoro. Pastor Zegwaard menempatkan lima orang Katekis di Kampung Ao, Kapi, As-Atat, dan Nakai yang sekarang berkembang menjadi Paroki Yamas. Tahun 1951, dr. Fisher, seorang tenaga medis dari WHO bertandang ke Asmat an diterima  masyarakat dengan baik. Wabah frambusia menyebar, pengobatan yang dilakukan dr. Fisher menyebabkan kehadiran dokter termaksud memberikan sumbangan positif bagi kesehatan masyarakat. Pada Januari 1953 Pastor Zegwaard , MSC mulai menetap di Agats dan pada 3 Februari 1953 orang Asmat pertama --seorang ibu dibabtis.
Satu tahun kemudian, pada 1954 Indonesia sudah mengusahakan upaya diplomatik untuk mendapatkan Papua --Irian-- dalam Konferensi Meja Bundar. Akan tetapi perundingan diplomatik tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1956 Pemerintah Belanda menolak menyerahkan Irian kepada Indonesia. Enam tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 1962 perundingan mencapai titik terang, karena keterlibatan Amerika Serikat dengan John F. Kennedy sebagai presiden. Belanda menyerahkan Irian kepada pemerintah sementara PBB pada tanggal 1 Oktober 1962, selanjutnya pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.
Sejak saat itu maka wilayah Asmat dipimpin oleh seorang KPS –Kepala Pejabat Setempat—setara dengan kedudukan Kepala Distrik saat ini. Kehadiran missionaries serta jajaran pemerintah, meski berusia sangat muda perlahan-lahan mulai mengubah kehidupan masyarakat dari system berperang menjadi kehidupan yang lebih damai, praktis adat mengayau perlahan memudar kemudian hilang sama sekali. Akan tetapi system kepercayaan yang mendasar akan relasi dengan roh leluhur tetap bertahan dan menjadi dasar dari perilaku masyarakat, terutama dalam hal seni ukir. Suku Asmat memandang kehidupan menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah dunia hidup atau Asmat ow capinmi, bagian kedua adalah tempat persinggahan orang-orang yang sudah  meninggal dan belum memasuki tempat istirahat kekal di safar --surga—yang disebut dampu ow capinmi. Roh-roh yang tinggal di dampu ow capinmi adalah penyebab penyakit, penderitaan, gempa bumi, dan peperangan. Orang-orang yang masih hidup harus menebus roh-roh ini dengan membuat pesta-pesta dan ukiran serta memberinya nama agar mereka dapat masuk ke alam safar --yang merupakan tujuan akhir, bagian ketiga dari kehidupan orang Asmat.
Selain sebagai tujuan akhir dari kehidupan orang Asmat, safar juga diyakini sebagai tempat asal roh-roh bayi. Bayi-bayi tersebut pada mulanya masuk melalui jiwi jof, yaitu pintu tempat mereka masuk ke dunia ini. Setelah dewasa dan kemudian meninggal, maka mereka akan melaui jamir jof , yang merupakan jalan menuju dunia akhir. Anak-anak yang lahir melalui jiwi jof merupakan penjelmaan orang-orang yang sudah meninggal. Mereka adalah pribadi baru yang bernama yuwus, yang berarti “nama” yang bagi orang Asmat adalah roh dari pribadinya. Dengan memberi nama pada sebuah ukiran, berarti roh dan pribadi tersebut masuk ke dalam ukiran itu. Dengan demikian, ukiran tersebut merupakan pribadi itu sendiri. Atas dasar kepercayaan terhadap roh leluhur yang telah menetap di dampu ow capinmi, maka tangan sang wowipits --pengukir-- bergerak mengikuti naluri untuk menciptakan maha karya yang menyebabkan seni ukir Asmat menjadi amat masyur.
Kemasyuran seni ukir Asmat merupakan salah satu faktor yang mengundang kehadiran pendatang dari segala pihak untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di wilayah ini. Sosok-sosok manusia yang berdikasi bermunculan, termasuk satu sosok tokoh pejuang  pendidikan di wilayah Asmat yang diabadikan dalam bentuk monumen untuk mengenang kerja`keras yang telah tersurat pada catatan sejarah. Pada Tanggal 17 Agustus 1951 Pastor Yan Smith  masuk Orde Salib Suci, Pada Tanggal 25 Juli 1957  ditahbiskan menjadi imam, tahun 1958-1959 Pastor Yan Smit pergi ke Amerika Serikat untuk mengambil studi theologi di Fort Wayne dan Hastings. Tanggal 24 Oktober 1959 Pastor Yan Smit tiba di Asmat. Lima tahun lebih setelah kerja keras memulai sebuah proses pendidikan bagi anak-anak Asmat, terjadi konflik dengan KPS --Kepala Pejabat Setempat dan berakhir dengan tragis. Tanggal 28 Januari 1965 bertempat tak jauh dari ikon pastor didirikan, perselisihan terjadi KPS mengacungkan senjata ke arah Pastor Yan Smtih, menarik pelatuknya, pada tembakan pertama pastor masih berdiri, demikian pula pada tembakan kedua. Pada tembakan ketiga Pastor Yan Smith  roboh berlumuran darah,  dan tak pernah bangkit lagi. Pastor Yan Smith berpulang dengan memilukan   pada usia 34 Tahun, status waktu itu  sebagai Pastor Paroki Yamas-Yeni dan  Pemilik Sekolah  Daerah untuk seluruh Persekolahan Khatolik di wilayah Asmat.
Pada hari kematian itu muncul mitos, beberapa detik sebelum tembakan menyalak, sukma terlepas dari badan, Pastor Yan Smith sempat berucap, “Bila badanku rusak, maka tanah di tempat ini akan rusak pula”. Hujan turun teramat deras tercurah dari langit selama berhari-hari, setelah penembakan itu, seakan menangisi kematian seorang pengabdi kemanusiaan, nyawa manusia tak berdosa yang direnggut dengan semena-mena. Bertepatan dengan kejadian tragis penembakan seorang pastor, maka wilayah Asmat semakin dikenal oleh kalangan luas. Para pendatang perlahan-lahan hadir untuk menetap di wilayah Asmat, membangun situs ekonomi. Kebutuhan akan kayu sebagai prasarana tempat tinggal, jembatan, perahu, dan kayu bakar terus meningkat tak terbilang. Pohon-pohon yang menjulang di seputar Agats ditebang dan terus ditebang. Air laut pasang sepajang tahun, maka erosi mulai terjadi tak bisa dihentikan dari waktu ke waktu. Agats yang semula berupa daratan tanah gambut akhirnya hancur menjadi tanah rawa yang tak bisa lagi dipijak. Kerusakan tanah di kota Agats, seakan membenarkan ucapan Pastor Yan Smtih, sebelum ia roboh berlumuran darah, “Bila badanku rusak, maka tanah di tempat ini akan rusak”.
Sementara Suku Asmat tetap bertahan hidup dengan strategi berburu dan meramu serta keahlian mengukir, kontak sporadik serta kontak yang berkelanjutan terus terjadi, maka perubahan terus bergulir. Kehadiran missionaris serta pemerintah mendorong fasilitas social termasuk klinik dan sekolah dibangun. Kesehatan dan pendidikan merupakan proses utama yang harus dilampaui sebagai pembangunan sumber daya manusia.
Kontak permanen Suku Asmat dengan dunia luar, terlebih kehadiran Missionaris serta pemerintah setempat secara perlahan, namun pasti mulai mengubah kehidupan masyarakat setempat. Proses pendidikan mengubah takdir manusia, termasuk nasib perempuan di dalamnya. Pada tahun 1980-an, seorang ayah bersiteguh melarang anak gadisnya menikah dini, dengan alasan harus terlebih dewasa dalam proses pendidikan --menuntun anak gadis termaksud menuju landasan pacu bandara Ewer, mendudukan di atas jok pesawat Cessna, menuju ke Jayapura, dengan satu pesan, “Pergilah menuntut ilmu untuk hari esok yang lebih baik ….” 
Tahun 1983 kantor Pembantu Bupati didirikan dengan seluruh perangkat kerja di dalamnya, sebagai rencana pemula untuk memekarkan wilayah Asmat menjadi Kabupaten. Puskesmas Agats dengan fasilitas rawat inap didirikan sebagai sarana pengobatan masyarakat. Saat itu wilayah Asmat terbagi menjadi tujuh kecamatan, ialah Agats sebagai ibu kota wilayah Asmat, Sawa Erma, Akat, Atsj, Suator, Fayit, dan Pantai Kasuari. Satu orang dokter ditempatkan di Puskesmas Agats sebagai kepala sekaligus membawahi enam distrik yang lain. Sementara proses pendidikan terus berjalan dengan keterlibatan siswi masyarakat setempat.
Dua dekade setelah pendirian Kantor Pembantu Bupati Asmat, berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahokimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Boven Digul, Kabupaten Mapi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Teluk Wondama. Maka wilayah Asmat memasuki babak sejarah baru dalam rangka pembangunan wilayah dalam tatanan pemerintah kabupaten. Tanggal 12 April 2003, 12 Pejabat Bupati Kabupaten Pemekaran di seluruh Provinsi Papua dilantik di Jayapura. Sabtu, 31 Mei 2003 Bupati Merauke, John Gluba Gebze didampingi Wakil Bupati, Benyamin Simatupang dan seluruh jajaran pejabat daerah serta masyarakat Merauke menyelenggarakan upacara adat, secara simbolis pejabat bupati diserahkan kepada masyarakat yang akan dipimpinnya. Drs. David Tuok diserahkan kepada masyarakat Boven Digul, Muyu, dan Mandobo. Drs. John Rumlus diserahkan kepada masyarakat Mapi, dan Drs. Yosef Wiro Watken diserahkan kepada masyarakat Asmat.
Pelajar puteri yang pernah dituntut ayahanda ke landasan pacu bandara Ewer telah menyelesaikan pendidikan dan menjadi seorang guru. Bukan sekedar ibu rumah tangga yang menggantungkan nasib secara mutlak di tangan suami, tetapi telah mampu bergantung kepada diri sendiri. Satu sosok yang telah bekerja keras melampui tahun-tahun panjang menuju kesetaraan.
Pemekaran Kabupaten Asmat dengan perlahan namun pasti memberikan arah perubahan dalam kehidupan masyarakat dalam hampir dua dekade terakhir. Distrik dimekarkan dari tujuh, menjadi sepuluh, dan akhirnya menjadi sembilan belas, bahkan 23 distrik. Telkomsel berdiri, penduduk meledak di wilayah kota dari sekitar 6.000 jiwa menjadi lebih 29.000 jiwa. Wilayah kota mengalami pemekaran, sehingga berjalan kaki menjadi suatu hal berat dalam rangka mobilitas di wilayah kota. Muncul sepeda mini, sepeda federal, dan akhirnya motor listrik sebagai sarana mobilitas utama di dalam kota. Jalan komposit dibangun sebagai prasarana jalan raya yang solid di dalam kota, lampu mercuri menyala di malam hari. Terhitung sejak 2017, khusus di ibu kota Agats listrik menyala selama 24 jam per hari.  Fasilitas listrik mutlak diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa daya listrik, maka aktivitas kehidupan dapat dinyatakan berhenti. Fasilitas sosial bermunculan foto copi, rumah makan, salon, warnet, hotel, wisata di seputar dermaga baru, rumah ibadah, dan apotek. Jalan komposit yang memanjang ke arah bagian dalam kota, memberi fasilitas bagi sekalian masyarakat untuk berolah raga, bermain sepatu roda, jalan santai atau berlari.
Sementara fasilitas penyediaan air bersih telah dialirkan pada sementara rumah tangga di ibu kota kabupaten dari air yang berasal dari Kampung Yepem. Akan tetapi, hujan tetap menjadi sumber utama terhadap pemenuhan kebutuhan akan air jernih. Alam telah berlaku demikian arif dengan mencurahkan hujan sepanjang tahun setiap bulan. Setiap rumah tangga menampung di dalam blong atau drum untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Seorang yang belum pernah berkunjung ke wilayah Asmat pernah tidak percaya terhadap keberadaan sumber air bersih di tempat ini. Akan tetapi demikian kenyataan yang terjadi, bahwa sumber air bersih berasal dari langit.
Pemekaran Asmat menjadi kabupaten yang telah berlangsung dalam dua decade, secara perlahan namun pasti memberikan dukungan langsung dan tidak langsung pihak perempuan menuju kesetaraan gender. Pembangunan Kantor Pemberdayaan Perempuan adalah upaya nyata pemerintah setempat dalam mendorong perempuan Asmat menuju kesetaraan secara sistematis. Pelajar putri yang menindaklanujuti petunjuk ayahanda untuk melanjutkan pendidikan ke Jayapura dengan menumpang pesawat Cessna –adalah Hermina Ewenkos. Kini menjabat sebagai kepala dinas Pemberdayaan Perempuan dan KB Kabupaten Asmat. Satu dari ribuan perempuan Asmat yang membuktikan dirinya mampu menjadi bagian dari kesetaraan.

Perempuan Asmat: Menuju Kesetaraan Gender

Perjalanan perempuan Asmat menuju kesetaraan gender sama panjang dengan sejarah yang mulai tercatat sejak kontak secara sporadis dengan dunia luar, kehadiran para penjelajah. Saat itu seni ukir yang masyur bahkan belum tersurat di atas peta. Kontak secara masyarakat permanen dengan dunia luar pada tahun 1936 hingga 1 Mei 1963 memperkenalkan Asmat kepada dunia luar, perempuan adalah bagian hidup yang tak terbaca dalam relasi gender.
Kontak Suku Asmat dengan Pemerintah Belanda, Missionaris serta Pemerintah Republik secara perlahan namun pasti mengubah tatanan hidup masyarakat serta relasi gender melalui ibadah gereja serta proses pendidikan di  bangku sekolah. Proses teramat panjang diperlukan dalam satu  generasi, sehingga seorang perempuan yang tidak dapat menjadi kepala perang, akhirnya dapat berdiri mengajar di depan kelas,  menempuh proses yang lebih panjang dari sekedar mengajar kemudian menduduki kursi yang menentukan dalam birokrasi serta menentukan takdir hidup serta takdir orang-orang di sekitarnya.
Terdapat 23 distrik serta 224 kampung yang terletak di sepanjang aliran sungai, yang hanya dapat dicapai dengan kendaraan air, pada lebih dua ratus kampung ini perempuan Asmat bermukim,  menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya komunitas di dalamnya. Tentu saja kesetaraan gender pada masing-masing perempuan beragam, tergantung kepada lingkungan keluarga perempuan dibesarkan. Beruntunglah perempuan yang memiliki orang tua dengan kesadaran tinggi akan perlunya proses pendidikan yang berpengaruh secara pasti terhadap takdir hidup ke depan. Kemampuan membaca, berhitung, menulis, berprestasi yang dilegetimasi dengan selembar ijazah akan membawa takdir seorang perempuan duduk dalam jajaran birokrasi sesuai dengan fungsinya. Sementara perempuan Asmat telah sampai pada posisi termaksud.
Akan tetapi, foto-foto secara nyata tetap menunjukkan perempuan yang masih terpaku pada kehidupan domestik, melahirkan, menyusui, membesarkan anak, menyediakan konsumsi harian termasuk membelah serta memikul kayu bakar. Setiap hari selalu tampak sosok perempuan memikul kayu bakar di sepanjang jalan. Peluh yang menitik bagai suatu harapan yang lebih baik bagi generasi perempuan berikutnya. Cepat atau lambat keadaan pasti akan berubah.
Pada pesta adat tugas kaum perempuan adalah menari diiringi irama pukulan tifa dengan tata rias adat. Bertelanjang dada adalah suatu bahasa kembali kepada alam sesuai dengan kodrat  manusia manakala terlahir ke dunia. Adapun menganyam –menghadirkan kerajinan tangan dengan nilai seni yang tinggi adalah keahlian berbeda dari perempuan Asmat yang didukung pula kehadirannya pada Pesta Budaya. Ritual tahunan bagi para seniman –wowipits, pengukir dan pengayam untuk melelang hasil karyanya.
Suasana pasar selalu diramaikan dengan kehadiran ibu-ibu, menjual hasil bumi atau hasil laut adalah mata pencaharian pokok dalam menopang ekonomi keluarga. Perempuan Asmat sesungguhnya adalah tulang punggung keluarga yang menghidupi seluruh anggota, bahkan kepalanya dengan kerja keras dan cucuran keringat akan harapan yang lebih baik untuk esok hari. Andai di sepanjang aliran sungai tampak sekalian perempuan merengkuh dayung, hal itu adalah salah satu perjuangan berat demi memenuhi kebutuhan konsumsi  hari ini --hari ini.
Bahwa bangku-bangku sekolah telah menjadi tempat duduk pelajar putri Asmat pada jam belajar adalah suatu harapan yang tak bisa dipungkiri akan kesetaraan gender pada masa mendatang. Andai ada bangku yang kemudian kosong, karena satu dan lain hal, akan ada sosok pelajar putri lain yang menggantikan. Harapan tak boleh pupus. Satu pelajar putri telah menyelesaikan pendidikan tinggi kemudian meneruskan ke  jenjang yang lebih tinggi ke Australia. Sosok yang dapat menjadi panutan sekaligus menginspirasi pelajar putri yang lain untuk melangkah pada jejak yang sama.
Sementara remaja putri Asmat telah memahami pentingnya proses panjang pendidikan sekaligus berjuang melampaui untuk sebuah hari yang disebut masa depan sekaligus kesetaraan gender, maka generasi tua telah terlanjur terpaku pada kehidupan domestik yang tak dapat berubah, kecuali bagi generasi berikut. Kesetaraan gender berjalan perlahan menyesuaikan diri dengan ruang, waktu serta keadaan. Waktu masih terentang dengan jauh tak  berbatas, kerja keras menuju kesetaraan gender tak akan pernah sampai pada tujuan kecuali dukungan mutlak dari pihak keluarga, kebijakan pemerintah, dan terutama kemauan perempuan bersangkutan untuk mengejar ketertinggalan. Tak ada satu pihakpun yang dapat mengubah  nasib seorang perempuan, kecuali perempuan itu sendiri.





  






























 










 






























***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...