*Musuh perempuan bahkan
bersembunyi di balik kelambu, di dalam
selimut ….
Pada sehelai gambar –pada satu
foto terekam beribu makna, bahkan melebihi panjang rangkaian kata. Dalam makna
yang disampaikan, sehelai foto bukan sekedar karya rekaan, akan tetapi memenuhi
kebutuhan manusia akan kebutuhan rohani yang bersifat prafan –menghibur. Ketika
sepasang mata menatap sehelai foto, maka akan muncul imajinasi tak berbatas
yang berdasar kepada punctum dan stadium, proses menghubungkan antara
pengalaman dengan akal berlangsung kemudian direfleksikan dalam pemahaman diri,
helai foto bagaikan kemilau kepingan cermin --maka sang individu dapat pula
berkaca.
Menurut Roland Brathers
punctum adalah detail dari suatu foto yang memberikan kesan mendalam seakan
mata pisau berkelebat menikam emosi.
Kekuatan punctum demikian besar, mengalahkan gambar rata-rata, ketika punctum berdaya
upaya, maka sepasang mata yang menatap akan tetap terbayang, meski telah
berulang terpejam. Seorang dapat tersenyum, tertawa, terdiam, marah, bahkan
berlinang air mata ketika menatap sehelai foto. Tentu punctum tak dapat
terlepas dari studium --kemampuan seseorang berdasarkan pengalaman dalam berdialek dengan helai foto.
Seorang yang pernah mengenal tata rias
penari Asmat akan segera tahu bahwa penari
yang tampil dalam foto adalah penari Suku Asmat. Akan tetapi orang yang tidak
pernah mengenal tata rias adat Asmat, akan bertanya, “Penari siapakah itu?”
Kemampuan seseorang sangat menentukan dalam berdialog dengan sehelai foto atau
gambar --foto menghadirkan makna.
Baskoro, (2013) menyatakan,
suatu citra visual dapat menimbulkan signifikasi atau pemaknaan. Makna-makna
yang muncul sebenarnya tidak berasal dari foto atau gambar itu sendiri tetapi
muncul pada otak atau imajinasi orang yang melihat foto. Beretnofotografi
memposisikan fotografi bukan hanya sebagai rekaman peristiwa tapi sebagai citra
tanpa kata di mana sebuah foto bukan bukti realita tapi realita baru.
Realita baru yang “dibaca”
dalam foto merupakan sebuah “permainan tafsir” yang rasional dan masuk akal
karena dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang reflektif karena pengalaman
bukan suatu yang terisolasi. Pengalaman bukan tersusun oleh kesendirian tetapi
dari relasi-relasi dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya. Pembacaan ini
bukanlah untuk menduplikasi citra melainkan untuk mengeksplisitkan atau
menegaskan seperangkat konotasi dalam citra --foto-- yang sebelumnya sudah ada
--implisit.
Asmat adalah suatu realita
teramat luas, sekitar 23.000 ha tanah berawa
yang berbatasan dengan garis pantai. Terhitung pada tahun 2013 jumlah
distrik terus mekar dari tujuh menjadi
19, menjadi 23 distrik dengan 224 kampung yang seluruhnya berkembang di
sepanjang aliran sungai. Sejumlah rumpun dengan spesifikasi kehidupan mendiami
kampung termaksud dan bertahan dari waktu ke waktu menjadi catatan sejarah yang
berbeda dengan kehidupan suku-suku bangsa lainnya. Bahwa Suku Asmat menjadi
amat tersohor, karena seni ukir, sudah diketahui khalayak luas. Akan tetapi,
bagaimana kehidupan perempuan Asmat dalam rangka menuju kesetaraan gender.
Benarkah jarum waktu telah berhenti bagi
perempuan setempat? Atau, masih terkuak beragam kemungkinan untuk jangka
waktu yang relativ panjang bagi kesetaraan?
Reportase Fotografi dengan
judul PADA SEHELAI GAMBAR --Perempuan
Asmat--merupakan suatu upaya untuk menjawab pertanyaan termaksud. Terlepas
dari seni ukir serta adat isti adat yang berbasis terhadap kepercayaan akan
keabadian roh nenek moyang di alam safar --sorga-- maka kehidupan perempuan
menjadi satu sisi yang tidak bisa disisihkan, bahkan layak dicermati. Posisi
geografis yang tidak mudah dicapai serta kondisi geografis yang berupa tanah
berlumpur merupakan setting kehidupan yang sangat berat serta memerlukan proses
adaptasi luar biasa dalam strategi pertahanan hidup. Dari udara wilayah Asmat
akan tampak sebagai rindang hijau pepohonan, ialah hutan hujan yang berpotensi
mencurahkan air sepanjang tahun, pemukiman penduduk hanya tampak seakan titik
yang teramat kecil di sepanjang aliran sungai maha panjang yang meliuk-liuk
dalam air kecoklatan.
Adapun perempuan berasal
dari kata --empu, berarti sang pemilik yang berwenang akan segala sesuatu
termasuk dalam relasi gender. Kewenangan dalam relasi gender akan membawa
perempuan pada peta yang mana pun untuk tetap eksis mendapatkan hak dalam
segala hal, sehingga ia tidak akan pernah tertinggal. Akan tetapi, apa kemudian yang berlaku? Duka
cerita kisah perempuan seakan tak berkesudahan, bahkan ketika waktu terus
berotasi membawa sejarah melewati lebih satu dekade pergantian millennium. Peta
kehidupan perempuan teramat luas, sama luasnya dengan jumlah daratan yang tak
terendam permukaan air laut. Akan tetapi kemajuan daratan yang satu tak
berjalan paralel dengan daratan yang lain. Ketika di Benua Eropa seorang anak
perempuan dari keturunan raja, mutlak
berhak akan tahta tanpa intrik, maka di belahan bumi yang lain kemampuan
seorang perempuan dalam memimpin kerajaan dan negara masih dipertanyakan.
Sementara perempuan masih terbelit dengan tugas-tugas domestik --melahirkan,
menyusui serta mengerjakan beban rumah tangga yang tak memberikan imbalan
finansial dan yang membuat sosoknya tak pernah eksis dalam
statusnya sebagai bagian dari komunitas setempat. Kekerasan di dalam rumah tangga, baik, fisik,
psikologis, maupun ekonomi menjadi buah mulut sehari-hari yang berakibat pada
trauma, luka berdarah, bahkan kematiannya.
Dari mana sebenarnya
kekerasan itu berasal?
Dahulu kala, jauh hari
sebelum sejarah tercatat, pada tahap
kehidupan masyarakat sederhana, setiap komunitas mengatur strategi pertahanan
hidup dari berburu dan meramu. Masing-masing kelompok mengkristalkan diri
dalam bentuk band, seorang laki-laki
yang memiliki keberanian dan kekuatan serta mampu mendapatkan lebih banyak
binatang buruan akan dinyatakan sebagai kepala suku atau pemimpin kelompok. Ada
pun perempuan, terlebih ketika berada dalam keadaan hamil, melahirkan, dan
menyusui selalu berada dalam kondisi fisik yang lemah dan semakin lemah.
Pekerjaan yang bisa diselesaikan antara lain bertanam. Perempuan tak memiliki
kodrat untuk menjadi seorang pemburu sekaligus kepala suku, karena kekuatan
fisiknya. Superioritas mulai muncul yang akhirnya berakibat fatal pada
ketidaksetaraan gender. Bibit budaya patriakhal mulai ditebar.
Ketika sejarah terus
tercatat dengan bermacam perubahan dan kemajuan yang terjadi, perempuan tetap
menjadi warga komunitas kelas dua dengan akibat tragis dari kecenderungan
poligami, kekerasan, dan penelantaran. Kisah perempuan di Tepi Barat, Palestina
adalah tragedi bagi seorang gadis yang dibakar keluarga, karena mengandung di
luar perkawinannya, ada pun si pemuda, selamat, karena ia terlahir sebagai
laki-laki. Perempuan di Timur Tengah membungkan dalam duka lara, karena
pembenaran dalam poligami. Sementara Kaisar Cina --Sang Putera Langit, konon
memiliki 3.000 selir. Perempuan termaksud semula adalah gadis-gadis yang
berasal dari keluarga tidak mampu tanpa jaminan hidup dari kedua orang tuanya.
Atas nama perbaikan taraf hidup bagi seluruh anggota keluarga, maka mereka
didorong untuk memasuki intrik dalam rumah tangga kekaisaran yang diliputi iri
dengki dari 2.999 selir yang lain dan seorang permaisuri. Intrik di dalam
istana sering kali berlumuran darah bahkan berakibat pada kematiaanya. Kasus
serupa terjadi pula pada kehidupan Kesultanan Turki yang didampingi terlalu
banyak selir, hingga terpecah perselisihan yang mengerikan di antara mereka.
Perempuan Nusantara baru
dapat ikut serta dalam proses pendidikan setelah perjuangan emansipasi oleh Ibu
Kartini yang terlahir pada 21 April 1879 dan hidup 25 tahun setelah hari
kelahiran itu. Kurang lebih satu abad kemudian, setelah melewati pergantian
millennium, maka seorang perempuan dilantik sebagai Presiden Republik
Indonesia, beberapa menduduki kursi menteri, kursi wakil rakyat, juga posisi
struktural, dan fungsional. Pada sejarah Singasari, sekitar 1.000 tahun yang lalu, di Tanah Jawa
pernah terlahir Ken Dedes –Ardanareswari, ialah seorang perempuan yang telah
ditakdirkan untuk melahirkan raja-raja di Tanah Jawa. Kecantikan dan ambisi
telah mendorong untuk melakukan tindakan
paling kejam bagi suami pertama dan kedua dengan sikap dingin, ia meminjam
tangan orang lain. Sehingga kesepuluh jarinya tetap bersih, tiada berlepotan
darah, ada pun tahta jatuh ke tangan anak kandungnya. Takdirnya untuk menurunkan
raja Tanah Jawa telah berbicara.
Sejarah pasti tercatat,
akan tetapi tidak semua perempuan memiliki peluang yang sama. Sementara pada
satu belahan bumi seorang perempuan telah duduk berkuasa mengenakan mahkota,
maka di belahan bumi yang lain, perempuan masih terbelenggu pada tugas-tugas
domestik yang tak mampu mengubah nasib diri serta generasi penerusnya.
Kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan penelantaran membawa kehidupan rumah
tangga sampai pada titik terendah yang berakibat pada hancur mentalitas dan
kemampuan fisik generasi penerus. Sebuah mata rantai persoalan terus melingkar,
tidak ada satu cara pun untuk mendapatkan jalan keluar, kecuali dengan
mematahkan.
Perkawinan dini pada
prinsipnya memicu awal mula persoalan
yang terlalu rumit untuk ditelusuri kemudian diperoleh solusi. Pun sikap
keluarga dalam memperlakukan sosok pribadi --antara laki-laki dan perempuan.
Bahwa anak-anak perempuan ditekan untuk mengerjakan urusan rumah tangga --pergi
ke pasar, memasak, mencuci piring, lantai pakaian, merawat tanaman, menjaga
adik --tanpa ucapan terima kasih, anak laki-laki terbebas dari segala hal
termaksud. Sementara lingkungan sosial dan sekolah melakukan tekanan serupa.
Lembaga pendidikan dan jaringan birokrasi akhirnya terbuka bagi proses
pendidikan dan karir, akan tetapi betapa tidak proposional jumlah kursi yang
diduduki perempuan dibanding laki-laki. Berapa jumlah kursi menteri? Berapa
banyak yang diduduki perempuan? Atau berapa banyak perempuan yang mampu
menempati kursi DPR?
Dalam budaya patriakhal,
secara kultural perempuan dikondisikan sebagai penyerta, bukan subyek,
membangkang dianggap sebagai suatu kesalahan atau amoral. Kondisi semacam ini
secara permanen menghambat seorang
perempuan untuk bertindak sebagai pelaku. Maka ketika perkawinan dimulai,
terlebih dalam usia yang sangat dini tanpa kesiapan mental, fisik, dan finansial,
kekerasan di dalam rumah tangga kembali terjadi. Pihak perempuan ditekan untuk
mengalah --mengalah bahkan ketika darah mulai mengucur, kekerasan tak juga
berhenti hingga kematian datang mengakhiri.
Bagaimana kondisi
kesetaraan gender bagi perempuan Asmat hari ini? Adalah sebuah pertanyaan yang
tak mudah terjawab. Suatu peta persoalan perlu dibentangkan untuk menjawab pertanyaan
termaksud. Seorang harus berfikir sekaligus bekerja keras, mencurahkan seluruh
kemampuan membangun keyakinan serta potensi diri, sehingga mata rantai
persoalan dapat dipatahkan. Keluarga sebagai unit satuan terkecil dalam
kehidupan masyarakat merupakan pihak yang paling berwenang dalam mematahkan
mata rantai, sehingga kesetaraan gender bisa tercapai dengan cara menerapkan
beban serta tanggung jawab yang adil dan bijak terhadap anak laki-laki dan
perempuan. Apabila anak perempuan harus mengerjalan segala urusan rumah tangga,
maka anak laki-laki harus melakukan hal yang sama, tanpa kecuali. Demikian pula
dalam hal pendidikan, proses yang harus ditempuah serta biaya yang harus dibayarkan
antara anak- laki-laki dan perempuan sama. Masyarakat sering kali sulit
menerima perubahan, karena terikat dengan adat dan pandangan sosial yang telah
mengakar. Akan tetapi suatu perubahan apa pun bentuknya bila berdampak positif
lambat laun akan diterima dengan senang hati.
BKKBN pernah memiliki
program permanen, ialah pendewasaan usia perkawinan, suatu strategi yang
berfungsi ganda dalam membangun kehidupan keluarga dan kesetaraan gender.
Sungguh pun badan termaksud sudah tidak nampak di tingkat daerah, akan tetapi
program dapat diteruskan, mengingat
fungsinya yang sangat penting dalam pengembanngan masyarakat. Jangan pernah tergesa menjelang pernikahan,
sebelum suatu akibat yang teramat buruk dan tak pernah dapat dibayangkan. Ikon
perkawinan adalah “selamat berbahagia”, dalam banyak kasus yang terjadi justru
sebaliknya. Kesiapan fisik, psikis, dan finansial amat mendukung untuk mencapai
suatu masa yang disebut dengan kebahagiaan sekaligus mengantisipasi kekerasan
di dalam rumah tangga.
Bahwa ada empat hal yang
dapat mendukung seorang perempuan dalam mencapai kesetaraan gender, pertama
dorongan dari pihak keluarga, kedua budaya masyarakat setempat, ketiga kebijakan pemerintah, dan keempat kemampuan
dari perempuan itu sendiri. Bahkan Tuhan pun tak akan mengubah nasib suatu kaum
bila kaum tersebut tak bermaksud mengubah nasibnya sendiri. Demikian pula,
Tuhan tak akan pernah mengubah takdir seorang perempuan kecuali perempuan
mengubah nasibnya sendiri.
Asmat:
Perkampungan di Atas Jembatan
Kabupaten Asmat sebagai
lokasi perempuan Asmat menetap terletak
di antara dua kabupaten, Merauke dan Mimika. Secara geografis posisi Wilayah
Asmat lebih mudah dicapai dari Kabupaten Mimika, sekitar 12 jam pelayaran atau
45 penerbangan. Sedangkan dari Kabupaten Merauke diperlukan sekitar 36 jam
pelayaran atau 1 jam 30 menit penerbangan. Posisi Dermaga Pomako, Timika adalah
sekitar satu jam perjalanan melalui jalan licin beraspal, tanpa hambatan
kemacetan. Jadwal kapal Putih, Tatamalau, Leuser, Sirimau atau kapal putih yang
lain tidak dapat ditentukan. Kecepatan kapal sangat tergantung dengan keadaan
laut serta cuaca, bila gelombang besar menghantam disertai angin kencang,
praktis kecepatan kapal melambat. Penumpang atau wisatawan dalam rangka
kunjungan atau mobilitas harus pandai mengatur waktu, sehingga tidak terlambat
mencapai tangga kapal. Bila kapal putih sandar di dermaga pada pukul 02.00,
maka tepat pukul 12.00 yang bersangkutan sudah bersiap meninggalkan hotel,
menumpang taksi, menyusuri jalan yang
sunyi, melewati pemukiman yang tertidur serta rimbun hutan yang teramat luas.
Kepercayaan terhadap driver sangat diperlukan
bagi perjalanan singkat yang aman dan nyaman.
Di dalam kapal penumpang
tersedia kamar dengan harga yang relativ tinggi, sekitar Rp. 1,000,000,00
hingga tiba di dermaga baru Agats, atau tiket ekonomi Rp. 100,000,00. Kantin
yang menyediakan minuman panas, nasi dengan ayam goreng, pop mie serta makanan
ringan yang lain tersedia bagi seluruh penumpang. Sekitar 12 jam kemudian kapal
akan berbelok ke arah kiri mengikuti posisi lampu suar yang berdiri tegak
mengukuhkan jalur yang harus ditempuh. Kapal putih adalah sarana perjalanan
laut yang tepat waktu dan aman.
Pada situasi mendesak
perjalanan Agats – Timika dapat pula ditempuh dengan menggunakan speed boat
menyusuri sepanjang garis tepi Laut Arafura. Keberanian dan perhitungan yang
cermat amat diperlukan dalam menempuh perjalanan ini, akan lebih nyaman bila
perjalanan dimulai pada pagi hari sebelum ombak bergelombang serta angin
kencang menghantam.
Jalur lain yang dapat
ditempuh untuk mencapai wilayah Asmat adalah penerbangan pesawat perintis.
Jumlah serta kapasitas pesawat sangat terbatas, adalah sebuah keberuntungan
bila seorang penumpang dapat memperoleh tiket penerbangan Bandara Moses Kilangin,
Timika menuju Bandara Ewer - Agats atau dari Bandara Mopah, Merauke - Ewer.
Sementara landasan pacu Bandara Ewer telah selesai, tes landing telah
dilakukan. Ke depan diharapkan pesawat jenis ATR atau Fokker dapat landing
secara rutin di atas landasan pacu Bandara Ewer, sehingga mobilitas wisatawan
dapat ditangani dengan baik. Sarana transportasi yang tersedia saat ini dari
Ewer ke Timika adalah pesawat Dimonim, jenis Twin Otter dengan kapasitas 18
penumpang, harga tiket berkisar antara Rp. 335,000,00, jadwal penerbangan hari
Senin dan Sabtu. Pesawat Skycab Aviation jenis Twin Otter pula terbang setiap
hari Sabtu, dengan harga tiket Rp. 1,980,000,00 untuk rute penerbangan
Ewer-Merauke-Ewer. Pesawat yang sama
menempuh rute Ewer-Timika-Ewer setiap Senin, Kamis, Sabtu dengan harga
tiket Rp.1,430,000. Sedangkam pesawat MAF jenis Pilatus terbang dari Timika ke
Ewer sesuai dengan jadwal penerbangan yang diperlukan pihak Missionaris
dengan harga tiket Rp. 1,400,000,00.
Penerbangan pesawat yang sama rute Merauke –Ewer setiap hari Jumat dengan harga
tiket Rp. 2,600,000,00. Pesawat Susi Air terbang Merauke- Ewer lima hari dalam
satu minggu, dengan harga tiket Rp. 260,000,00. Susi Air menempuh pula
penerbangan Merauke-Kamur Setiap tahun jenis serta jadwal pesawat berubah
sesuai dengan situasi serta kondisi yang berubah pula.Rute berikut Susi Air
adalah Ewer- Kamur dan Ewer – Suru-Suru dengan harga tiket subsidi berkisar
antara Rp. 260,000,00. Adapun pesawat AMA menempuh rute penerbangan Timika-Ewer
dengan harga tiket Rp. 1,700,000,00 setiap hari Selasa dan Jumat.Sementara
landasan pacu bandara Ewer telah siap untuk
Penerbangan Timika – Ewer
selama kurang lebih 45 menit adalah pengalaman khusus yang sensasional.
Beberapa saat setelah pesawat jenis Twin Otter, Pilatus atau Cessna mengudara,
Kota Timika akan tampak sebagai konsentrasi pemukiman yang semakin lama tampak
semakin mengecil dengan atap berkilau ditimpa cahaya matahari. Limbah beracun
PT. Freeport Indonesia sesungguhnya adalah “sungai” raksasa yang berhulu pada
tempat yang sangat jauh sulit dikunjungi, lebar hilir “sungai” bahkan melebihi
lebar tata kota Timika.
Pesawat terus meraung,
limbah beracun PT. Freeport Indonesia tak tampak lebih lama, dari balik jendela kaca terlihat rimbunan hutan hujan
yang menghijau dialiri sungai-sungai kecoklatan yang saling memotong, meliuk-liuk.
Tak tampak konsentrasi pemukiman selama penerbangan. Sementara biru langit
dapat sekejab berubah menjadi mendung, bahkan hujan. Akan tetapi pesawat terus
melaju menembus mendung, biru langit kembali tampil dalam warna yang cerah,
mega-mega mengapung berarak dalam tiupan angin, seputih kapas. Jauh di bawah
jendela pesawat, tepi pantai tampak sebiru batu safir. Pesawat terus meraung
sesekali berguncang kemudian kembali tenang. Sekitar 45 menit kemudian landasan
pacu Bandara Ewer mulai terlihat dari ketinggian, pesawat memutar, menempatkan
diri pada posisi yang tepat sebelum meluncur turun, mendarat di atas landasan
pacu dengan sedikit guncangan.
Di Kampung Ewer, tak jauh
dari landasan pacu berdiri jew –rumah bujang, sebagai bangunan tradisionil
terbesar di kampung ini. Pada tiang jew terukir roh leluhur, di teras jew yang panjang tanpa sekat, di atas
lantai dari kulit kayu, tampak beberapa orang tengah mengukir dengan tekun atau
sekedar duduk melewatkan waktu. Jew adalah rumah adat tempat seluruh anggota
komunal berkumpul di bawah kendali pemimpin adat. Jumlah pintu di dalam jew menandakan jumlah fam yang tinggal
di kampung termaksud. Lurus dari pintu masuk tanpa daun adalah tungku, tempat
masing-masing fam dapat membakar sagu atau ikan. Jew tak pernah sunyi, setiap hari selalu ada kehadiran anggota
komunal di dalamnya, terlebih ketika musyawarah bagi pesta adat dan pesta
termaksud diselenggarakan. Jew
berfungsi untuk memelihara struktur sosial budaya pada kehidupan komunal,
sehingga satu individu tetap menjadi bagian individu yang lain, tak
terpisahkan.
Ewer dan kampung pemekaran
di seberang landasan pacu, Sau adalah kampung pertama di Kabupaten Asmat yang
memiliki fasilitas solar sell, sehingga listrik dapat menyala selama 24 jam
sehari. Listrik telah menyala pula di rumah bujang, malam tak lagi bersuasana
gelap, sementara aktivitas dengan menggunakan peralatan elektronik dapat
digunakan dengan baik. Tak jauh dari perkampungan, setelah melewati jembatan
kayu, tiba-tiba berdiri pula jembatan beton menyebrangi Sungai Kamborep.
Tak jauh dari aliran Sungai
Kamborep rumah panggung masyarakat berdiri, sebagian adalah rumah tradisionil
berdinding gaba-gaba, beratap ilalang, sebagian yang lain rumah rakyat, rumah
permanen bantuan dari Pemerintah Daerah. Di seputar rumah tumbuh tanaman
pangan, umbi-umbian, rica –lombok rawit, sayur mayur, rimbun daun kelapa
meneduhi pemukiman dari terik matahari. Sehari-hari suasana lengang, gemuruh
mesin pesawat serta mobilitas penumpang yang menyebabkan Ewer sebagai gerbang
wilayah Asmat menjadi hidup.
Dari dermaga Ewer selalu
bersiap speed boat ojek dengan biaya Rp. 100,000,00 per orang hingga sampai di
dermaga Agats. Sekitar 15 menit perjalanan ditempuh dengan menyusuri sungai,
pada dua tepinya adalah rimbun hutan bakau. Lepas muara wisatawan harus
memiliki keberanian, speed boat demikian kecil, adapun lautan amat luas berbatas cakrawala. Driver telah
berpengalaman melewati tempat ini dengan baik, maka speed boat dapat terus meraung
mencapai dermaga feri. Di lingkungan dermaga feri telah dikukuhkan Patung
Pastor Yan Smith pada pergantian tahun 2012 menuju 2013.
Legenda
dan Catatan Sejarah
Syahdan, tersebutlah
seorang beorpit --pemuda gagah perkasa--
bernama Fumiripits yang menetap seorang diri dalam suatu rumah tinggal
di tengah hutan. Suatu hari Fumeripits
melakukan perjalanan ke hilir sungai menuju muara Sungai Sirets. Di muara
sungai pemuda itu bertemu dengan sekelompok gadis yang semuanya berparas
cantik. Fumiripits jatuh cinta kepada salah seorang gadis yang cantik rupawan
itu, demikian pula sang gadis rupawan
tersebut. Keduanya terlibat hubungan rahasia di tengah hutan, untuk
menyembunyikan rahasia termaksud sang gadis memutuskan membungkus Fumiripis
dengan selembar tikar daun dan membaringkanya di dalam perahu lesung agar dapat
menyembunyikan dari pandangan saudara perempuan yang lain .
Dalam perjalanan pulang
melewati Sungai Sirets ombak mulai mengguncang,
semakin lama semakin kencang. Tak ayal lagi, Fumiripits terjatuh ke
sungai dalam keadaan terbungkus tikar daun, terhanyut ke laut dan terdampar di
tepi Sungai Momats. Fumiripits amat kesakitan hingga ia tak dapat lagi
merasakan apa-apa, ia meregang nyawa dan akhirnya meninggal. Tak lama kemudian
datanglah sekawan burung, mendapatkan Fumiripits dalam keadaan terkapar.
Kawanan burung itu akhirnya meminta bantuan kepada Kidukunmsi --burung elang ajaib yang dapat menghidupkan kembali
Fumiripits, sehingga sang Beorpit
mendapatkan kembali kehidupan, tetapi ia terpisah dengan gadis yang
dicintainya.
Fumiripits membangun rumah
panjang sebagai tempat tinggal, tetapi ia tetap marasa kesepian. Dalam
kesendirianya Fumiripits berkeinginan untuk mengukir patung dari kayu. Ia pun
menebang pohon, memotongnya, dan mulai membentuk kepala, badan, tangan, dan
kaki sehingga ujud itu betul menyerupai manusia. Di antara patung-patung itu
ada yang menyerupai laki-laki dan ada pula yang menyerupai perempuan.
Patung-patung itu sangat halus dan indah, Fumiripits mengatur patung-patung
tadi di sekeliling rumahnya ia merasa sangat senang dan bangga dengan hasil
ciptaanya. Akan tetapi patung tetaplah benda mati tidak bisa bergerak atau
bicara.
Fumiripits akhirnya membuat
tifa, ia menebang sebatang pohon dan melubangi bagian tengannya. Fumiripits
menangkap pula seekor kadal, mengupas kulitnya, kemudian menutup salah satu
bagian lubang kayu itu dengan kulit kadal dan mengikatnya dengan rotan yang
telah dilumuri dengan darahnya sendiri serta limau putih. Setelah tifa itu
jadi, ia pun menabuhnya. Suara tifa yang merdu membuat patung tersentak,
patung-patung itu mulai bergerak dan menyentak-nyentak mengikuti irama pukulan
tifa. Ketika Fumiripits mempercepat irama tabuhannya, maka gerak patung-patung
itu semakin cepat dan lincah. Akhirnya patung-patung itu bernapas dan hidup
selayaknya manusia. Mereka adalah orang-orang pertama yang mengawali kehidupan
di Asmat.
Legenda Fumiripits adalah
mitos yang dapat menguak asal mula keberadaan Suku Asmat lengkap dengan
keahliannya mengukir untuk hadir pada alam kehidupan sebelum bersentuhan secara
langsung maupun tidak langsung dengan dunia luar. Jauh hari ke depan setelah patung-patung
yang diukir Sang Legenda bernapas kemudian bergerak dan menari-nari mengikuti
irama pukulan tifa, maka Suku Asmat bertahan hidup dengan menggantungkan diri
terhadap kekayaan hutan dan laut.
Mengayau adalah suatu ritual untuk mempertahankan diri terhadap intervensi dari
kelompok etnis di seputarnya. Pada masa itu posisi perempuan Asmat hanya
sebatas pada rutinitas tugas domestik. Perempuan Asmat tak memiliki kemampuan
berperang sekaligus mengayau. Tatanan adat berpihak pada laki-laki. Hutan dan
laut menyediakan kekayaan alam sebagai bahan dasar konsumsi harian, maka tugas
perempuan adalah memangur sagu, menjaring ikan sebagai sumber gizi keluarga. Perempuan Asmat tak pernah menempati posisi sebagai
kepala suku.
Menurut catatan Verlag
(2002: 49), kontak pertama Suku Asmat secara sporadis dengan dunia luar terjadi
pada awal abad ke-17. Tanggal 12 Juli 1607, Win Vaes de Torres dari kapal San
Pedro menulis sepucuk surat untuk raja Spanyol yang mengabarkan eksplorasinya
di pantai selatan New Guinea dan menyatakan bahwa kawasan itu menjadi milik
raja Spanyol. Suratnya lebih lanjut menggambarkan wajah orang asing yang
pertama dijumpainya sebagai orang-orang hitam yang berbeda dari orang-orang
lain, yang berhias lebih bagus, menggunakan anak panah dan perisai besar, serta
beberapa cabang bambu berisi kapur yang membutakan musuh bila mereka
melemparnya.
Pada 12 Oktober 1770 Kapten
James Cook dan awak kapalnya menyatakan bertemu dengan orang Asmat. Mereka
berlabuh di Pirimapun dan menyebut tempat termaksud sebagai Teluk Cook. Kurang
dari satu abad kemudian, tepatnya pada tahun 1828 Pemerintah Belanda menghaki
Pantai Barat Daya New Guinea, kemudian menghaki pantai utara pulau atas nama
Sultan Tidore pada tahun 1848. Selama awal tahun 1900-an Pemerintah Belanda
mengirim ekspedisi ke New Guinea untuk menentukan batas-batas tanah yang telah
mereka haki sebelumnya. Kontak sporadis ini tidak memberikan pengaruh apa pun
bagi kehidupan Suku Asmat.
Mansoeben (1995: 128 – 130)
mengemukakan kronologis kontak orang Asmat dengan dunia luar yang dimulai pada
tahun 1904. Kontak itu terjadi, karena ekspedisi-ekpspedisi yang dilakukan
orang Eropa di wilayah Pasifik. Ekspedisi berikutnya terjadi pada tahun 1907,
1909-1910 dan 1912 -1913. Ekspedisi pertama pertama dan kedua dipimpin Lorentz
dan terakhir Franssen Herderschee. Dua ekspedisi berikutnya terjadi pada tahun
1922 dan 1923, keseluruhan ekspedisi tersebut adalah dalam rangka ekspedisi
ilmiah. Kunjungan lain berasal dari pihak Pemerintah Belanda yang terjadi pada
tahun 1904 disusul kunjungan-kunjungan berikut.
Selama kurun waktu kontak
sporadis dengan dunia luar, nyaris tak ada catatan mendalam tentang kehidupan perempuan
Asmat. Kecuali jejak yang tersisa, bahwa budaya patriakhal masih menjadi bagian
tak terpisahkan dalam relasi gender antara laki-laki dan perempuan. Potret
kehidupan perempuan secara mendetail tak pernah terbaca.
Tahun 1936 Pemerintah
Belanda membangun Pos Pemerintahan untuk kepentingan keamanan. Felix Maturbongs
diangkat menjadi Bestir Assistant di Agats untuk masa tugas 1938 – 1943
kemudian mendatangkan tukang-tukang dari Kei untuk membangun Kompleks Pos
Pemerintahan di Agats. Orang Asmat Pos Pemerintahan itu disebut Akat --yang
berarti “baik” atau “ bagus”. Lidah orang Belanda ternyata sulit untuk mengatakan
“Akat”, yang terucap ialah “Agats”, maka daerah sekitar Pos Pemerintahan hingga
kini disebut dengan Agats. Selanjutnya Agats menjadi nama ibu kota wilayah
Asmat.
Pada tahun yang sama dengan
tahun pembangunan Pos Pemerintahan --1936, P. Herman Tillemans, MSC mengunjungi
daerah Asmat bagian utara dengan perahu dayung dari Pusat Misi MSC di Mimika
dalam rangka pewartaan Injil. Tahun 1938 P. Hendrikus Cornelisse, MSC
mengunjungi Asmat dari Langgur, Kei, dari kunjungan itu dua gereja dibangun di
Syuru dan Ayam. Tahun 1943 tentara Jepang memasuki daerah Mimika. Bestir Felix
Maturbongs mendapat telegram dari Resident Merauke supaya penduduk Agats segera
diungsikan ke Merauke dan Pos Pemerintahan Agats dimusnahkan. Pada tanggal 26
Januari 1943 Bestir dan semua pendatang di Agats berangkat ke Merauke dengan
menumpang KM. Herman, sementara semua bangunan Pos Pemerintahan Agats telah
hangus dibakar. Sampai pada tahun ini segala upaya pewartaan dan pembangunan di
wilayah Asmat terhenti, Perang Dunia ke II yang terus berkecamuk tak
memungkinkan adanya upaya termaksud.
Tahun 1950 ketika situasi
kembali damai Pastor Gerald Zegwaard,
MSC mengunjungi Asmat dan berusaha memulangkan kembali penduduk Asmat yang
semula mengungsi ke Kamoro. Pastor Zegwaard menempatkan lima orang Katekis di
Kampung Ao, Kapi, As-Atat, dan Nakai yang sekarang berkembang menjadi Paroki
Yamas. Tahun 1951, dr. Fisher, seorang tenaga medis dari WHO bertandang ke
Asmat an diterima masyarakat dengan
baik. Wabah frambusia menyebar, pengobatan yang dilakukan dr. Fisher
menyebabkan kehadiran dokter termaksud memberikan sumbangan positif bagi
kesehatan masyarakat. Pada Januari 1953 Pastor Zegwaard , MSC mulai menetap di
Agats dan pada 3 Februari 1953 orang Asmat pertama --seorang ibu dibabtis.
Satu tahun kemudian, pada
1954 Indonesia sudah mengusahakan upaya diplomatik untuk mendapatkan Papua
--Irian-- dalam Konferensi Meja Bundar. Akan tetapi perundingan diplomatik
tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1956 Pemerintah Belanda menolak menyerahkan
Irian kepada Indonesia. Enam tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 15 Agustus
1962 perundingan mencapai titik terang, karena keterlibatan Amerika Serikat
dengan John F. Kennedy sebagai presiden. Belanda menyerahkan Irian kepada
pemerintah sementara PBB pada tanggal 1 Oktober 1962, selanjutnya pada tanggal
1 Mei 1963 Irian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.
Sejak saat itu maka wilayah
Asmat dipimpin oleh seorang KPS –Kepala Pejabat Setempat—setara dengan
kedudukan Kepala Distrik saat ini. Kehadiran missionaries serta jajaran
pemerintah, meski berusia sangat muda perlahan-lahan mulai mengubah kehidupan
masyarakat dari system berperang menjadi kehidupan yang lebih damai, praktis
adat mengayau perlahan memudar kemudian hilang sama sekali. Akan tetapi system
kepercayaan yang mendasar akan relasi dengan roh leluhur tetap bertahan dan
menjadi dasar dari perilaku masyarakat, terutama dalam hal seni ukir. Suku
Asmat memandang kehidupan menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah dunia
hidup atau Asmat ow capinmi, bagian kedua adalah tempat persinggahan
orang-orang yang sudah meninggal dan
belum memasuki tempat istirahat kekal di safar --surga—yang disebut dampu ow
capinmi. Roh-roh yang tinggal di dampu ow capinmi adalah penyebab penyakit,
penderitaan, gempa bumi, dan peperangan. Orang-orang yang masih hidup harus
menebus roh-roh ini dengan membuat pesta-pesta dan ukiran serta memberinya nama
agar mereka dapat masuk ke alam safar --yang merupakan tujuan akhir, bagian
ketiga dari kehidupan orang Asmat.
Selain sebagai tujuan akhir
dari kehidupan orang Asmat, safar juga diyakini sebagai tempat asal roh-roh
bayi. Bayi-bayi tersebut pada mulanya masuk melalui jiwi jof, yaitu pintu
tempat mereka masuk ke dunia ini. Setelah dewasa dan kemudian meninggal, maka
mereka akan melaui jamir jof , yang merupakan jalan menuju dunia akhir.
Anak-anak yang lahir melalui jiwi jof merupakan penjelmaan orang-orang yang
sudah meninggal. Mereka adalah pribadi baru yang bernama yuwus, yang berarti
“nama” yang bagi orang Asmat adalah roh dari pribadinya. Dengan memberi nama
pada sebuah ukiran, berarti roh dan pribadi tersebut masuk ke dalam ukiran itu.
Dengan demikian, ukiran tersebut merupakan pribadi itu sendiri. Atas dasar
kepercayaan terhadap roh leluhur yang telah menetap di dampu ow capinmi, maka tangan
sang wowipits --pengukir-- bergerak mengikuti naluri untuk menciptakan maha
karya yang menyebabkan seni ukir Asmat menjadi amat masyur.
Kemasyuran seni ukir Asmat
merupakan salah satu faktor yang mengundang kehadiran pendatang dari segala
pihak untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di wilayah ini. Sosok-sosok
manusia yang berdikasi bermunculan, termasuk satu sosok tokoh pejuang pendidikan di wilayah Asmat yang diabadikan
dalam bentuk monumen untuk mengenang kerja`keras yang telah tersurat pada
catatan sejarah. Pada Tanggal 17 Agustus 1951 Pastor Yan Smith masuk Orde Salib Suci, Pada Tanggal 25 Juli
1957 ditahbiskan menjadi imam, tahun
1958-1959 Pastor Yan Smit pergi ke Amerika Serikat untuk mengambil studi
theologi di Fort Wayne dan Hastings. Tanggal 24 Oktober 1959 Pastor Yan Smit
tiba di Asmat. Lima tahun lebih setelah kerja keras memulai sebuah proses
pendidikan bagi anak-anak Asmat, terjadi konflik dengan KPS --Kepala Pejabat
Setempat dan berakhir dengan tragis. Tanggal 28 Januari 1965 bertempat tak jauh
dari ikon pastor didirikan, perselisihan terjadi KPS mengacungkan senjata ke
arah Pastor Yan Smtih, menarik pelatuknya, pada tembakan pertama pastor masih
berdiri, demikian pula pada tembakan kedua. Pada tembakan ketiga Pastor Yan
Smith roboh berlumuran darah, dan tak pernah bangkit lagi. Pastor Yan Smith
berpulang dengan memilukan pada usia 34
Tahun, status waktu itu sebagai Pastor
Paroki Yamas-Yeni dan Pemilik
Sekolah Daerah untuk seluruh
Persekolahan Khatolik di wilayah Asmat.
Pada hari kematian itu
muncul mitos, beberapa detik sebelum tembakan menyalak, sukma terlepas dari
badan, Pastor Yan Smith sempat berucap, “Bila badanku rusak, maka tanah di
tempat ini akan rusak pula”. Hujan turun teramat deras tercurah dari langit
selama berhari-hari, setelah penembakan itu, seakan menangisi kematian seorang
pengabdi kemanusiaan, nyawa manusia tak berdosa yang direnggut dengan
semena-mena. Bertepatan dengan kejadian tragis penembakan seorang pastor, maka
wilayah Asmat semakin dikenal oleh kalangan luas. Para pendatang perlahan-lahan
hadir untuk menetap di wilayah Asmat, membangun situs ekonomi. Kebutuhan akan
kayu sebagai prasarana tempat tinggal, jembatan, perahu, dan kayu bakar terus
meningkat tak terbilang. Pohon-pohon yang menjulang di seputar Agats ditebang
dan terus ditebang. Air laut pasang sepajang tahun, maka erosi mulai terjadi
tak bisa dihentikan dari waktu ke waktu. Agats yang semula berupa daratan tanah
gambut akhirnya hancur menjadi tanah rawa yang tak bisa lagi dipijak. Kerusakan
tanah di kota Agats, seakan membenarkan ucapan Pastor Yan Smtih, sebelum ia
roboh berlumuran darah, “Bila badanku rusak, maka tanah di tempat ini akan
rusak”.
Sementara Suku Asmat tetap
bertahan hidup dengan strategi berburu dan meramu serta keahlian mengukir,
kontak sporadik serta kontak yang berkelanjutan terus terjadi, maka perubahan
terus bergulir. Kehadiran missionaris serta pemerintah mendorong fasilitas
social termasuk klinik dan sekolah dibangun. Kesehatan dan pendidikan merupakan
proses utama yang harus dilampaui sebagai pembangunan sumber daya manusia.
Kontak permanen Suku Asmat
dengan dunia luar, terlebih kehadiran Missionaris serta pemerintah setempat
secara perlahan, namun pasti mulai mengubah kehidupan masyarakat setempat.
Proses pendidikan mengubah takdir manusia, termasuk nasib perempuan di
dalamnya. Pada tahun 1980-an, seorang ayah bersiteguh melarang anak gadisnya
menikah dini, dengan alasan harus terlebih dewasa dalam proses pendidikan --menuntun
anak gadis termaksud menuju landasan pacu bandara Ewer, mendudukan di atas jok
pesawat Cessna, menuju ke Jayapura, dengan satu pesan, “Pergilah menuntut ilmu untuk hari esok yang lebih baik ….”
Tahun 1983 kantor Pembantu
Bupati didirikan dengan seluruh perangkat kerja di dalamnya, sebagai rencana
pemula untuk memekarkan wilayah Asmat menjadi Kabupaten. Puskesmas Agats dengan
fasilitas rawat inap didirikan sebagai sarana pengobatan masyarakat. Saat itu
wilayah Asmat terbagi menjadi tujuh kecamatan, ialah Agats sebagai ibu kota
wilayah Asmat, Sawa Erma, Akat, Atsj, Suator, Fayit, dan Pantai Kasuari. Satu
orang dokter ditempatkan di Puskesmas Agats sebagai kepala sekaligus membawahi
enam distrik yang lain. Sementara proses pendidikan terus berjalan dengan
keterlibatan siswi masyarakat setempat.
Dua dekade setelah
pendirian Kantor Pembantu Bupati Asmat, berdasarkan Undang-undang Nomor 26
Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten
Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten
Yahokimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana, Kabupaten
Boven Digul, Kabupaten Mapi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Teluk Bintuni, dan
Kabupaten Teluk Wondama. Maka wilayah Asmat memasuki babak sejarah baru dalam
rangka pembangunan wilayah dalam tatanan pemerintah kabupaten. Tanggal 12 April
2003, 12 Pejabat Bupati Kabupaten Pemekaran di seluruh Provinsi Papua dilantik
di Jayapura. Sabtu, 31 Mei 2003 Bupati Merauke, John Gluba Gebze didampingi
Wakil Bupati, Benyamin Simatupang dan seluruh jajaran pejabat daerah serta
masyarakat Merauke menyelenggarakan upacara adat, secara simbolis pejabat
bupati diserahkan kepada masyarakat yang akan dipimpinnya. Drs. David Tuok
diserahkan kepada masyarakat Boven Digul, Muyu, dan Mandobo. Drs. John Rumlus
diserahkan kepada masyarakat Mapi, dan Drs. Yosef Wiro Watken diserahkan kepada
masyarakat Asmat.
Pelajar puteri yang pernah
dituntut ayahanda ke landasan pacu bandara Ewer telah menyelesaikan pendidikan
dan menjadi seorang guru. Bukan sekedar ibu rumah tangga yang menggantungkan
nasib secara mutlak di tangan suami, tetapi telah mampu bergantung kepada diri
sendiri. Satu sosok yang telah bekerja keras melampui tahun-tahun panjang
menuju kesetaraan.
Pemekaran Kabupaten Asmat
dengan perlahan namun pasti memberikan arah perubahan dalam kehidupan
masyarakat dalam hampir dua dekade terakhir. Distrik dimekarkan dari tujuh,
menjadi sepuluh, dan akhirnya menjadi sembilan belas, bahkan 23 distrik.
Telkomsel berdiri, penduduk meledak di wilayah kota dari sekitar 6.000 jiwa
menjadi lebih 29.000 jiwa. Wilayah kota mengalami pemekaran, sehingga berjalan
kaki menjadi suatu hal berat dalam rangka mobilitas di wilayah kota. Muncul
sepeda mini, sepeda federal, dan akhirnya motor listrik sebagai sarana
mobilitas utama di dalam kota. Jalan komposit dibangun sebagai prasarana jalan
raya yang solid di dalam kota, lampu mercuri menyala di malam hari. Terhitung
sejak 2017, khusus di ibu kota Agats listrik menyala selama 24 jam per
hari. Fasilitas listrik mutlak
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa daya listrik, maka aktivitas
kehidupan dapat dinyatakan berhenti. Fasilitas sosial bermunculan foto copi,
rumah makan, salon, warnet, hotel, wisata di seputar dermaga baru, rumah
ibadah, dan apotek. Jalan komposit yang memanjang ke arah bagian dalam kota,
memberi fasilitas bagi sekalian masyarakat untuk berolah raga, bermain sepatu
roda, jalan santai atau berlari.
Sementara fasilitas
penyediaan air bersih telah dialirkan pada sementara rumah tangga di ibu kota
kabupaten dari air yang berasal dari Kampung Yepem. Akan tetapi, hujan tetap
menjadi sumber utama terhadap pemenuhan kebutuhan akan air jernih. Alam telah
berlaku demikian arif dengan mencurahkan hujan sepanjang tahun setiap bulan.
Setiap rumah tangga menampung di dalam blong atau drum untuk memenuhi kebutuhan
air sehari-hari. Seorang yang belum pernah berkunjung ke wilayah Asmat pernah
tidak percaya terhadap keberadaan sumber air bersih di tempat ini. Akan tetapi
demikian kenyataan yang terjadi, bahwa sumber air bersih berasal dari langit.
Pemekaran Asmat menjadi
kabupaten yang telah berlangsung dalam dua decade, secara perlahan namun pasti
memberikan dukungan langsung dan tidak langsung pihak perempuan menuju
kesetaraan gender. Pembangunan Kantor Pemberdayaan Perempuan adalah upaya nyata
pemerintah setempat dalam mendorong perempuan Asmat menuju kesetaraan secara
sistematis. Pelajar putri yang menindaklanujuti petunjuk ayahanda untuk
melanjutkan pendidikan ke Jayapura dengan menumpang pesawat Cessna –adalah
Hermina Ewenkos. Kini menjabat sebagai kepala dinas Pemberdayaan Perempuan dan
KB Kabupaten Asmat. Satu dari ribuan perempuan Asmat yang membuktikan dirinya
mampu menjadi bagian dari kesetaraan.
Perempuan
Asmat: Menuju Kesetaraan Gender
Perjalanan perempuan Asmat menuju
kesetaraan gender sama panjang dengan sejarah yang mulai tercatat sejak kontak
secara sporadis dengan dunia luar, kehadiran para penjelajah. Saat itu seni ukir
yang masyur bahkan belum tersurat di atas peta. Kontak secara masyarakat permanen
dengan dunia luar pada tahun 1936 hingga 1 Mei 1963 memperkenalkan Asmat kepada
dunia luar, perempuan adalah bagian hidup yang tak terbaca dalam relasi gender.
Kontak Suku Asmat dengan
Pemerintah Belanda, Missionaris serta Pemerintah Republik secara perlahan namun
pasti mengubah tatanan hidup masyarakat serta relasi gender melalui ibadah
gereja serta proses pendidikan di bangku
sekolah. Proses teramat panjang diperlukan dalam satu generasi, sehingga seorang perempuan yang
tidak dapat menjadi kepala perang, akhirnya dapat berdiri mengajar di depan
kelas, menempuh proses yang lebih
panjang dari sekedar mengajar kemudian menduduki kursi yang menentukan dalam
birokrasi serta menentukan takdir hidup serta takdir orang-orang di sekitarnya.
Terdapat 23 distrik serta
224 kampung yang terletak di sepanjang aliran sungai, yang hanya dapat dicapai
dengan kendaraan air, pada lebih dua ratus kampung ini perempuan Asmat
bermukim, menjadi bagian tak terpisahkan
dari kehidupan sosial budaya komunitas di dalamnya. Tentu saja kesetaraan
gender pada masing-masing perempuan beragam, tergantung kepada lingkungan
keluarga perempuan dibesarkan. Beruntunglah perempuan yang memiliki orang tua
dengan kesadaran tinggi akan perlunya proses pendidikan yang berpengaruh secara
pasti terhadap takdir hidup ke depan. Kemampuan membaca, berhitung, menulis,
berprestasi yang dilegetimasi dengan selembar ijazah akan membawa takdir
seorang perempuan duduk dalam jajaran birokrasi sesuai dengan fungsinya.
Sementara perempuan Asmat telah sampai pada posisi termaksud.
Akan tetapi, foto-foto
secara nyata tetap menunjukkan perempuan yang masih terpaku pada kehidupan
domestik, melahirkan, menyusui, membesarkan anak, menyediakan konsumsi harian
termasuk membelah serta memikul kayu bakar. Setiap hari selalu tampak sosok
perempuan memikul kayu bakar di sepanjang jalan. Peluh yang menitik bagai suatu
harapan yang lebih baik bagi generasi perempuan berikutnya. Cepat atau lambat
keadaan pasti akan berubah.
Pada pesta adat tugas kaum
perempuan adalah menari diiringi irama pukulan tifa dengan tata rias adat.
Bertelanjang dada adalah suatu bahasa kembali kepada alam sesuai dengan
kodrat manusia manakala terlahir ke
dunia. Adapun menganyam –menghadirkan kerajinan tangan dengan nilai seni yang
tinggi adalah keahlian berbeda dari perempuan Asmat yang didukung pula
kehadirannya pada Pesta Budaya. Ritual tahunan bagi para seniman –wowipits, pengukir dan pengayam untuk
melelang hasil karyanya.
Suasana pasar selalu
diramaikan dengan kehadiran ibu-ibu, menjual hasil bumi atau hasil laut adalah
mata pencaharian pokok dalam menopang ekonomi keluarga. Perempuan Asmat
sesungguhnya adalah tulang punggung keluarga yang menghidupi seluruh anggota, bahkan
kepalanya dengan kerja keras dan cucuran keringat akan harapan yang lebih baik
untuk esok hari. Andai di sepanjang aliran sungai tampak sekalian perempuan
merengkuh dayung, hal itu adalah salah satu perjuangan berat demi memenuhi
kebutuhan konsumsi hari ini --hari ini.
Bahwa bangku-bangku sekolah
telah menjadi tempat duduk pelajar putri Asmat pada jam belajar adalah suatu
harapan yang tak bisa dipungkiri akan kesetaraan gender pada masa mendatang.
Andai ada bangku yang kemudian kosong, karena satu dan lain hal, akan ada sosok
pelajar putri lain yang menggantikan. Harapan tak boleh pupus. Satu pelajar
putri telah menyelesaikan pendidikan tinggi kemudian meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi ke Australia. Sosok
yang dapat menjadi panutan sekaligus menginspirasi pelajar putri yang lain
untuk melangkah pada jejak yang sama.
Sementara remaja putri
Asmat telah memahami pentingnya proses panjang pendidikan sekaligus berjuang
melampaui untuk sebuah hari yang disebut masa depan sekaligus kesetaraan
gender, maka generasi tua telah terlanjur terpaku pada kehidupan domestik yang
tak dapat berubah, kecuali bagi generasi berikut. Kesetaraan gender berjalan
perlahan menyesuaikan diri dengan ruang, waktu serta keadaan. Waktu masih
terentang dengan jauh tak berbatas,
kerja keras menuju kesetaraan gender tak akan pernah sampai pada tujuan kecuali
dukungan mutlak dari pihak keluarga, kebijakan pemerintah, dan terutama kemauan
perempuan bersangkutan untuk mengejar ketertinggalan. Tak ada satu pihakpun
yang dapat mengubah nasib seorang
perempuan, kecuali perempuan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar