Rabu, 29 Mei 2019

ISTANA PASIR --Kisah Seorang Penderita HIV/AIDS, TIGA







Perkampungan transmigrasi itu terletak di tengah-tengah
hutan rimba, hutan dengan pohon-pohon lebat dan usia sangat tua.
Sebatang jalan pengerasan membelah perkampungan menjadi dua,
jalanan itu menjadi becek ketika hujan turun dan segera berubah
 menjadi debu-debu kering saat kemarau datang melanda. Di kampung
itu terdapat sebuah pasar kaget yang muncul pada setiap pagi
 dan menghilang ketika matahari tinggi. Sekolah Dasar, SLTP Perintis,
dan SLTA Perintis. Sederet kios, warung kopi, penjahit, klinik, dan
 lapangan sepak bola seakan menjadi jantung dari kehidupan masyarakat
di dalamnya.
Sebatang anak sungai dengan air laksana kopi susu mengaliri
berhektar-hektar sawah yang menghijau subur dan menghidupi sesisi
kampung. Kelak wilayah ini akan menjadi lumbung padi bagi kebutuhan
konsumsi seisi kabupaten, kemudian presiden beserta ibu dan rombongan
akan datang meramaikan panen raya. Di samping padi, maka palawija,
 hortikultura tumbuh subur sekaligus menjadi sebuah penampakan yang
mengubah kehidupan pasar di ibu kota. Sebelum kehadiran para transmigran,
 pasar kota tak memiliki keanekaragaman hasil bumi untuk dijual,
akan tetapi para transmrgran yang bertangan dingin dalam berkebun
telah meramaikan suasana pasar dengan aneka sayur dan buahan.
Sementara tahu, tempe, nasi kuning, dan martabak telah menjadi
tambahan menu makanan sehari-hari.
Para transmigran yang berhasil akhirnya dapat membesarkan
anak-anaknya menjadi birokrat, menjadi guru, tenaga medis,
 pedagang, pengusaha, dan bermacam jenjang karir lainnya.
Para transmigran juga membina karakter masyarakat setempat
yang semula adalah masyarakat berburu dan meramu, menjadi
masyarakat petani. Di samping transmigrasi bedhol desa ada
pula transmigrasi spontan yang diikuti oleh masyarakat lokal.
 Mereka hidup berdampingan, bertetangga. Adapun usaha peternakan
sama laju perkembangannya dengan usaha pertanian. Hasil dari usaha
itu telah mengubah sepeda kayuh menjadi kendaraan bermotor, mengubah
rumah-rumah kayu menjadi rumah batu dengan lantai ubi mengkilat,
mengubah keputusasaan menjadi harapan. Rumah-rumah transmigrasi
berdiri saling berhadapan dengan jarak yang jauh antara satu
dengan yang lain. Di antara rumah-rumah batu tetap bertahan pula
 rumah kayu dengan lantai dari tanah keras. Kehidupan para
transmigran tentu beraneka rupa seperti halnya warna warni alam semesta.
Aneka ragam rumah itu terletak pada posisi cukup jauh dari
ibu kota kabupaten. Jarak dari ibu kota kabupaten dapat
ditempuh dengan menggunakan angkutan umum, kendaraan itu
berhenti di tepi sungai selebar satu kilometer dengan arus
 sungai yang sangat deras. Selajutnya perjalanan diteruskn
dengan menggunakan perahu yang disebut belang, setelaah itu
diperlukan sekitar seperempat jam sebelum akhirnya sampai ke pasar.
Suatu saat nanti, para sopir belang harus beralih ke usaha lain,
karena sebuah jembatan batu berkerangka besi akhirnya dibangun
menghubungkan ibu kota kabupaten dengan lokasi transmigrasi.
Dengan demikian maka mobilitas penduduk dalam rangka interaksi
sosial dan berdagang menjadi lebih cepat dan dinamis. Jembatan
itu sekaligus menjadi aset daerah sebagai  bangunan megah di
lingkungan kabupaten setelah Kathredal yang menjadi kebanggaan umat Nasrani.
Kehadiran transmigran juga menambah keanekaragaman warga masyarakat.
Penduduk setempat mmiliki postur tubuh yang tinggi tegap dengan kulit
 gelap, rambut ikal, dan logat bahasa Indonesia yang terdengar aneh
 bagi telinga para transmigran. Kata pergi disingkat dengan “pi”,
engkau menjadi “ko”, saya menjadi “sa”. Kalau  mereka bertanya,
“Engakau pergi kemana?” maka kata-kata itu berubah menjadi “Ko pi mana?”
Kalau yang ditanya ternyata pergi ke pasar, maka yang bersangkutan akan
 menjawab, “Sa pi pasar”. Ada bermacam kata yang disingkat-singkat,
sehingga kehilangan arti  yang sebenarnya. Sementara penduduk setempat
sering merasa heran  bila mendengar transmigran bertanya,
“Mangan iwake apa?” yang artinya, “Makan ikannya apa?”
 Jawaban dari pertanyaan itu adalah, “Mangan iwak tahu”,
atau “Makan lauknya tahu”. Mengapa tahu disebut dengan
ikan? Pengertian masyarakat Jawa yng diamksud dengan
ikan tentu saja lauk, bukn jeis ikan seperti mujair,
 kakap, teri, gurame, cakalang, dan yang lainnya.
Sementara para transmigrasi tidak seluruhnya mampu
 berbahasa Indonesia, mereka dapat  mengerti arti
 kata bahasa Indonesia, tetapi tidak mampu
menyatakan. Ketika petugas lapangan BKKBN
turun dari rumah ke rumah untuk melakukan
pendataan, maka setiap pertanyaan dalam bahasa
Indonesia selalu dijawab dengan bahasa Jawa.
Petugas tersebut menjadi bingung sekaligus merasa
 lucu, supaya dapat membangun komunikasi
akhirnya petugas bersangkutan harus belajar
 bahasa Jawa, sehingga dapat berinteraksi
 dengan masyarakat setempat sekaligus menjalankan
tugasnya dengan baik. Dari sisi kuantitatif,
maka jumlah transmigran mendominasi populasi
penduduk kabupaten ini. Suatu saat calon
pejabat politik harus berpasangan dengan
orang Jawa dalam pencalonan supaya dapat
meraup perolehan suara.
Kehadiran transmigrasi yang sudah diawali pada
sekitar tahun 50-an, di bawah kewenangan pemerintah
Belanda menggores peta sosial ekonomi tersendiri di
lingkungan kabupaten ini. Peta positif telah tampak nyata,
akan tetapi sebuah manuver atau kebijakan dalam bentuk apapun
selalu dalam bentuk pisau bermata dua dengan dampak yang berlawanan,
positif dan negatif, karena karakter manusia yang terlibat
serta beragam adanya.
Para transmigran yang berhasil menjadi bagian tulang punggung
dari beragam komunitas dalam melangsungkan hidup bersama.
 Mereka sekaligus menjadi pagar betis untuk mengamankan wilayah
dari serangan “si pembuat kekacauan”. Akan tetapi, transmigran
yang gagal berdaptasi akhirnya menjadi sebuah catatan kelam,
sebuah catatan ketika si lemah dilindas roda kehidupan dengan
amat nista dan tak mengenal belas kasihan.
Siang itu, jalan pegerasan yang merupakan prasarana transportasi
utama di kampung transmigrasi menjadi kabur oleh debu yang ditiup
angin kering musim kemarau. Telah hampir enam bulan mendung di
 langit tak pernah jenuh dan turun di bumi sebagai hujan,
gerimis hanya gugur sesaat bagai air mata
perawan kemudian terhenti tanpa bekas
sama sekali. Sinar matahari membakar
layak bara api yang bersiap menghanguskan
daging unggas di perapian. Daun-daun
mengering, ranting-ranting meranggas,
udara gerah. Beberapa kendaraan yang
melintas kembali menerbangkan debu jalanan,
 pedih di mata.
Dari gerbang sebuah seklah SLTA menghambur
 anak-anak pelajar berseragam abu-abu putih.
Di antara mereka ada yang bersepeda ada
 pula yang berjalan kaki, sedikit
 pelajar yang mengendarai kendaraan
bermotor. Wajah-wajah itu tampak semringah
 setelah enam har bergulat dengan bermacam
mata pelajaran yang melelahkan, maka akhir
pekan tiba. Sabtu sore hingga malam Minggu
kemudian sehari setelah itu mereka terbebas
dari rutinitas yang sarat dengan disiplin,
tata tertib, dan tanggung jawab. Akhir pekan
 menjadi celah untuk bersenang-senang,
melupakan segala beban. Di belakang sekalian
pelajar gedung sekolah berdiri kukuh diliputi debu,
 beberapa bagian dari gedung itu mulai tampak rapuh
dan menunggu perbaikan. Angin musim kering menyebabkan
gedung itu sama merana dengan daun-daun yang
 mulai gugur diterbangkan angin.
Tak lama kemudian suasana di sekolah menjadi
sunyi, para pelajar telah kembali ke rumah
 masing-masing dengan rencana yang berbeda.
 Di antara mereka tampak dua orang gadis
 naik sepeda bergoncengan, wajah gadis
itu sama cerah dengan pelajar yang lain.
Mereka telah menempuh hari keenam   dalam
satu minggu yang benar-benar melelahkan.
 Dua jam pertama adalah pelajaran Matematika
disambung dengan Bahasa Inggris, setelah
istirahat mereka mesti berpanas-panas di
lapangan bagi mata pelajaran olah raga
kemudian mereka harus bersitegang mengikuti
pelajaran Bahasa Indonesia. Ibu Tri,
guru Bahasa Indonesia yang terkenal
killer, tak seorangpun pelajar
atau alumni dari sekolah ini yang
 dapat melupakan metode Ibu Tri
dalam menyampaikan materi. Ibu
Tri berwajah cantik, tetapi tak
 pernah memasuki jenjang perkawinan,
ia mengabdika hidup sepenuhnya
bagi pendidikan. Tak ada yang
lebih penting bagi Ibu Tri
kecuali mengajar, menerapkan disiplin,
tata tertib, sopan santun, dan moral
pada setiap jam pelajaran di setiap kelas.
Alhasil, setiap pelajar tak ada yang
berani bermain-main, lupa mengerjakan
R atau mencla mencle –berbuat sesuka
hati selama pelajaran berlangsung.
Kelak, setiap  pelajar akan menyadari,
 bahwa metode pendidikan Ibu Tri
ampuh dalam mencetak siswa yang pintar.
“Aku merasa geli waktu Ibu Tri
menyuruh Jiman membaca puisi ,
anak itu tegang sampai bisu mendadak,
untung engkau menyediakan diri
membacakannya Anita, sehingga
seisi kelas dapat diselamatkan.
Kalau tidak kita akan mendapatkan
kemarahan kolektif”, gadis yang
memegang stang sepeda sepeda membuka
pembicaraan, gadis itu melawan terik
 matahari dengan topi berwarna hitam
di kepalanya. Di bawah topi tampak seraut
wajah bundar dengan sepasang mata jernih
memancarkan ketulusan. Gadis itu tampak gembira,
 sepasang kakinya mengayuh sepeda dengan riang,
ia akan berakhir pekan dengan acara khusus berbeda
dengan hari-hari sekolah.
“Aku memang suka membaca puisi, aku
suka pelajaran bahasa, sayang kita
tidak bisa medapatkan kumpulan puisi
Chairil Anwar serta sastrawan yang
lain, kalaulah hidup di kota pasti
 kita bisa memperoleh segalanya.
Besok engkau jadi ke kota Maret?”
gadis yang dipanggil dengan nama
Anita bertanya, gadis itu memiliki
wajah  manis dengan rambut legam sebatas
bahu, kulitnya kuning terpanggang matahari,
 udara terik membuat sepasang pipi gadis
itu menjadi kemerah merahan.
“Kuharap demikian, o ya, emak ada memasak
nasi jagung, engkau singgah dulu di rumah,
 kalau besok mau ikut ke kota sebaiknya bilang
sama emak, kurasa bapak dan emak tidak keberatan.
Engkau sudah seperti keponakan bagi mereka”.
“Aku ingin sekali melihat-lihat keramaian kota,
etiap pergi emak tidak pernah membawaku,
ia terlalu sibuk dengan suami dan
adik-adikku, sering aku merasa seperti
 orang lain di rumahku sendiri.
Kalau bapak masih hidup pasti
nasibku tidak akan seperti ini”,
 Anita mengeluh.
“Sudahlah, tak usah engkau sesali,
 engkau bisa pergi ke kota dengan banyak cara”,
 Maret menghibur.
Sepeda kumbang itupun terus melaju,
beberapa pelajar tampak berlomba adu cepat
tergesa pulang ke rumah, terik matahari
memang menyengserakan. “Anita, Maret,
daaa.... Selamat berhari Minggu”, mereka
saling melambai.
“Hai Maret titip salam untuk emak, tapi
tolong jangan bilang bapakmu!” seorang
pelajar berseloroh dengan senyum nakal.
Maret sudah hapal kebiasaan kawan laki-
laki setiap hari Sabtu, mereka suka bercanda
dengan kata-kata yang aneh, iapun tak mau
pula ketinggalan.
“Baik akan kusampaikan, aku titip pula
salam untuk bapakmu dan jangan pernah
bilang sama emakmu” jawab Maret, setelah
itu merekapun tertawa berderai.
Semakin lama Maret mengayuh sepeda,
maka mereka semakin jauh dari kawan-
kawan, hingga akhirnya mereka sampai
di tempat tujuan. Maret memiliki rumah
batu bercat putih, daun pintu yang lebar
dan jendela yang tinggi dengan pengaman
dari terali besi. Halaman depan rumah
itu dipenuhi dengan bunga-bunga tasbih,
sebatang pohon mangga tampak rindang
melindungi halaman dari terik matahari.
Di bagian samping rumah terdapat kolam
ikan, sementara di bagian belakang terdapat
kandang bagi ternak dan unggas serta kebun
sayur. Keluarga Maret tak kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari,
mereka dapat memetik bahan mentah dari
segala yang dimiliki, sementara berhektar-
hektar sawah, pohon kelapa yang dapat
menghasilkan pula gula merah membuat
pundi-pundi keluarga ini tak pernah kosong.
Keluarga ini memiliki segala hal yang
layak dimiliki termasuk sebuah motor
bebek yang menjadi pelengkap bagi segala
“kekayaannya”.
Tentu orang tua Maret tidak mendapatkan
semua ini dengan mudah, setelah bedol
desa sepuluh tahun yang lalu mereka harus
beradaptasi dengan lingkungan yang sangat
sulit bahkan ganas. Hutan belantara dan
segala hal asing di dalamnya adalah sebuah
tantangan yang tak mudah diatasi. Akan
tetapi, keluarga ini tak mau kalah, mereka
berjuang dengan bekal yang sengaja dibawa
dari tanah Jawa, bekal yang jumlahnya lebih
dari cukup, karena di tempat asalnya mereka
adalah petani kaya. Adapun perasaan
kasih bagi Maret sekaligus sebuah harapan
untuk membawa gadis itu supaya menjadi
“manusia” membuat kedua orang tuanya
mampu berbuat apa saja, termasuk bersimbah
peluh di bawah terik dan berjuang melawan
malaria sebagai penyakit paling berbahaya
di tempat ini.
Maret mengerem sepeda menyandarkannya
pada dinding rumah kemudian kedua
gadis itu berjalan beriringan memasuki
pintu samping. Bapak tengah sibuk dengan
ternak di kandang belakang rumah, emak
tengah membuat telur asin. Bebek-bebek itu
dipelihara sedemikian rupa, sehingga lebih
berhasil guna. Beberapa orang pekerja sibuk
membantu kedua orang tua Maret, demikian
pula dengan kedua saudara laki-laki Maret.
Di meja makan telah terhidang sebakul nasi
jagung yang masih panas mengepulkan,
menebarkan aroma harum mewangi, semangkuk
sayur terong, dan ikan gurame
bakar yang menerbitkan selera. Kedua gadis
itu segera mendengar perutnya berkeruyuk,
mereka mencuci tangan, menuang air putih
dari dalam kendi –poci dari tanah liat—ke
dalam gelas belimbing dan segera meneguknya
hingga tandas. “Mak aku sudah
pulang”, Maret menegur emaknya ketika
melihat wanita berhati mulia itu tergopoh
masuk ke dalam rumah untuk mengambil
rokok bagi bapaknya.
“O iya nduk, kalian makan sudah. Eh Anita,
kau tampak makin cantik saja”, emak tak banyak
bicara, ia harus segera kembali ke kandang
unggas untuk meneruskan pekerjaannya. Ia
dapat melihat wajah Anita yang menjadi merah
tersipu-sipu dengan pujianya.
Tak lama kemudian kedua gadis itu telah
menjadi lahap dengan hidangan di atas meja.
Lama Anita tak pernah merasakan kelezatan
nasi jagung. Dahulu, saat ia masih tinggal
di tanah Jawa, di kampungnya yang subur
dan permai, nasi jagung adalah menu utama
sehari-hari. Kini, nasi itu semakin jarang
dijumpai, sehari-hari ia makan nasi putih
dari hasil padi yang dituai di sawah. “Maret,
kalau melihat kehidupan keluargamu,
sebenarnya aku merasa iri, engkau masih
memiliki keduanya, bapak dan emak, dan
tampak benar bahwa mereka menyayangimu.
Sedangkan aku, aku telah kehilangan bapak
yang tak dapat bertahan hidup dari penyakit
malaria. Sering aku bermimpi bertemu
dengan bapak, ah andai saja ia masih hidup”,
Anita membuka pembicaraan.
“Tak perlu engkau merasa iri, bukankah
sekarang engkau juga mempunyai seorang
bapak yang membuatmu dapat hidup
berkecukupan?” jawab Maret.
“Ia hanya seorang bapak tiri, aku kasihan
juga pada emak, ia tak mampu bertahan
hidup setelah bapak tiada, sehingga dengan
mudah ia segera menerima lamaran seorang
duda. Kalaulah duda itu sebaik almarhum
bapakku”, nada suara Anita melemah
sementara wajahnya segera berubah menjadi
sendu.
“Mengapa sebenarnya dengan ayah
tirimu? tampaknya ia sangat menyayangimu,
demikian pula dengan ibu dan kedua
adik tirimu”, Maret menatap wajah Anita
dalam-dalam, mulutnya sibuk mengunyah
makanan, ia menikmati menu kesukaannya
hari ini. Maret selalu terpesona menatap
wajah Anita, sahabatnya itu memiliki kulit
yang jernih tanpa cacat, wajahnya berbentuk
bujur sirih dengan sepasang mata bening
dinaungi bulu mata yang lentik, hindungnya
bangir, dan bibirnya adalah bentuk yang
cantik dari segala yang tampak pada garis
wajah itu. Anita termasuk murid yang pintar
di sekolah, ketika murid yang lain mendapat
kemarahan dari ibu Tri, karena ketotolannya,
maka Anita dapat tertawa-tawa. Ia murid
kesayangan ibu Tri, karena kepintarannya.
“Bagiku bapak tiri tak lebih dari seekor
ular, ia berpura-pura santun di depan sekalian
tamu, akan tetapi ketika tengah seorang diri,
ia segera menunjukkan wujudnya yang asli.
Engkau tahu apa yang dimaksud dengan ular?
Kalaulah mungkin aku ingin segera pergi dari
rumah, emak juga lebih menyayangi adik
tiriku, sikapnya banyak berubah. Mungkin
aku salah menilai, tetapi kukira emak tak
sepenuhnya menyayangiku. Itu sebabnya
aku sering iri melihat kebahagiaanmu”,
Anita tersedak kemudian terbatuk-batuk,
mestinya ia tak perlu menceritakan hal
semacam ini kepada Maret, tetapi ia tak
mampu lagi menyimpan persoalan seorang
diri, apa salahnya berbagi dengan Maret,
bukankah mereka telah berkawan sejak masa
kecil, sebelum mereka harus bedol desa dan
meneruskan hidup sebagai transmigran di
tempat yang asing?
“Setelah lulus SMA apa rencanamu
Anita?” Maret mengalihkan pembicaraan.
“Aku pernah ingin menjadi dokter, tetapi
kalau melihat keadaan seperti yang sekarang
ini, menjadi pelayan toko cukuplah. Emak tak
pernah mengerti keinginanku, apa lagi bapak
tiriku. Dia bilang aku cuma anak perempuan,
sekolah sampai sepintar apapun dan setinggi
apapun akhirnya harus tetap kembali
mengurus dapur. Mereka masih berpikiran
kuno atau sebenarnya bapak mengelak dari
biaya kuliah yang sangat mahal, tentu ia
lebih memikirkan anak kandung dari pada
anak tiri. Bagaimana dengan rencanamu?
Ujian hanya tinggal tiga bulan lagi, engkau
sudah siap?” Anita balik bertanya.
“Aku tak sepintar dirimu, aku bersiap
dengan kemampuanku, tapi emak bilang, aku
harus kuliah, aku akan tinggal di tempat kost
di kota, setiap haru Sabtu aku harus pulang.
Setelah kuliah dan mendapatkan pekerjaan
baru aku boleh memikirkan perkawinan.
Emak selalu bilang, bahwa perkawinan
bukan hal yang mudah terlebih bagi anak
perempuan yang akhirnya akan mengandung
dan melahirkan. Emak banyak melihat
perkawinan yang berantakan sementara
perempuan dan anak-anak selalu menjadi
korban, ia tak ingin meliat nasibku seperti
itu”, kata-kata Maret kembali membuat Anita
tersedak, ia berada pada jarak yang amat
dekat dengan Maret, tetapi betapa jauh nasib
membedakan keduanya. Maret menjadi
simbol kasih sayang dan tanggung jawab
dari sebuah keluarga. Sedangkan dirinya
adalah sebuah kebalikan. Tiba-tiba Anita
merasa demikian kecil berhadapan dengan
sahabatnya, ia berniat berlama-lama tinggal
di rumah ini. Selesai makan siang biasanya
Anita akan berbaring-baring di kamar Maret
yang bersih dan sejuk, akan tetapi mendadak
keinginan itu musnah. Ia merasakan suasana
asing menyeruak menyeretnya ke sebuah
tempat yang jauh dan tak dapat dimengerti.
Anita merasa ia harus segera berpamit.
“Baiklah Maret, terima kasih untuk nasi
jagung dan lauk pauk yang enak ini, aku
harus segera pulang, rumahku pasti sudah
berantakan, tugasku membersihkannya
kembali”, Anita berdiri, mengemai piring
kotor, mencucinya dengan sabun kemudian
meletakkannya kembali di atas rak kayu.
Di luar terik semakin menyengat, Anita
melindungi kepalanya dengan topi, ia
berpamit pada emak Maret kemudian
melambai pulang.
Jarak dari rumah Maret ke tempat tinggal
Anita tidaklah jauh, gadis itu menempuhnya
setiap pagi dalam sepuluh menit supaya ia
dapat bergoncengan dengan sepeda menuju
ke sekolah. Akan tetapi, siang ini Anita
merasakan hal yang aneh, setiap langkah
yang ditempuh tidak membuat dirinya
semakin mendekati rumah, tetapi semakin
menjauh. Sinar matahari yang membakar
telah menciptakan kilauan laksana air dan
cermin di kejauhan, Anita ingin mengejar,
tetapi ia tak pernah mendapatkan apa-apa,
karena kilauan itu hanyalah fatamorgana.
Langkah gadis itu seakan mengambang
ketika ia menjejakkan kaki di teras rumah.
Kediamannya adalah sebuah rumah batu
berukuran lebih kecil dari rumah Maret.
Rumah itu memiliki halaman yang ditanami
palawija, teras dengan seperangkat kursi
plastik, ruang tamu sekaligus ruang keluarga,
tiga buah kamar tidur, dapur merangkap
ruang makan, kamar mandi, dan halaman
belakang yang menjadi ramai oleh suara
unggas di dalam kandang. Sesisi rumah
telah menjadi berantakan ketika Anita
memasuki relung di dalamnya, gadis itu
biasa pergi ke sekolah setelah semua barang
teratur rapi pada tempatnya, lantai rumah
licin dan mengkilat setelah dicuci bersih.
Akan tetapi, sepulang sekolah kedua adik
tirinya pasti bermain sesuka hati, rumah
ini adalah istana bagi mereka, sedang ia
hanyalah dayang yang harus membersihkan
seluruh isinya. Anita tiba-tiba merasa amat
letih, ia perlu berbaring mengendurkan otot
sebelum harus bergulat dengan tugas rutin
yang melelahkan. Dan apapun yang telah ia
kerjakan demi kebaikan di rumah ini, maka
tak sekalipun emak memuji. Emak bahkan
sering menimbunnya dengan segunung
pakaian kotor ketika ia tengah mencuci
seragam yang harus dikenakan untuk pergi
ke sekolah esok hari, dengan alasan, ia
harus menjadi anak yang berbakti. Ia harus
mencuci piring kotor pada pagi dan sore hari,
selebihnya ketabahan menerima “dakwah”
ketika ia harus membantu emak memasak di
dapur. Sementara kedua adik yang berjenis
kelamin laki-laki, mereka terbebas dari
segala macam urusan rumah tangga dengan
alasan, bahwa mengurusi rumah mutlak
menjadi tugas perempuan. Diam-diam Anita
merasa kalah, ia ingin melawan, akan tetapi
ketika mengajukan protes, maka emak akan
mengubah wajahnya menjadi topeng dengan
axpresi kemarahan paling mengerikan.
Anak-anak dilarang berpendapat di dalam
kehidupan keluarga, mereka adalah bayi
yang pernah dilahirkan kemudian dibesarkan
dan berhutang budi selamanya.
Akhirnya Anita memilih sikap diam, ia
harus mengubah sepasang telinga menjadi
alat pendengaran yang telah tuli ketika
emak mengomel pagi, siang, dan malam.
Setelah semua pekerjaan rumah selesai
Anita akan mengunci diri di dalam kamar,
ia akan membaca buku pelajaran berulang-
ulang hingga ia hapal seluruh isinya. Anita
menghitung hari, bila pendidikannya telah
usai dan ia berhak akan selembar ijasah, ia
akan membawa ijasah itu pergi meninggalkan
rumah untuk mengadu nasib. Keinginan
Anita untuk meninggalkan rumah ini
semakin berkobar, karena sikap kurang ajar
bapak tiri, terlebih ketika emak tak berada
di dalam rumah. Sang bapak memang benar
telah berubah menjadi seekor ular.
Anita tengah merebahkan diri di atas
dipan dengan kasur yang mulai menipis
ketika tiba-tiba sang ular telah berdiri di
depan pintu dengan tatapan mata licik,
lapar, dan buas. Emak dan adik-adiknya
tak ada, mereka pasti tengah sibuk memetik
cabe di kebun. Hal itu berarti, bahwa ia
hanya tinggal berdua dengan sang ular.
Pelan-pelan ular itu mulai mendesis dengan
suara menakutkan, Anita merasa darahnya
tersirap. Ketika sang ular bergerak mendekat
dengan lidah terjulur dan bau amis menusuk
hidung Anita menggigil, telah berulang kali
ia diperlakukan seperti ini, ia berontak. Akan
tetapi, hari ini menjadi hari yang naas bagi
gadis yang malang itu. Tiba-tiba keberanian
Anita tak lagi bersisa, ular itu tampak lebih
besar dan lebih buas dari hari-hari biasa,
mungkin, karena keinginan yang telah
terpendam bertahun-tahun hari ini sampai
pada pertahanan yang bobol.
Wajah cantik Anita beserta tubuh
ranumnya adalah gambaran persis emak
di masa muda. Sang ular baru mengenal
emak ketika wanita itu telah menjadi janda
dengan seorang bocah kecil yang harus
diberi makan setiap hari. Sang ular tak
mendapatkan apa yang disebut dengan
darah perawan, sedangkan ia selalu haus
akan hal itu. Sang ular mulai merayap,
binatang itu telah menunggu bertahun-tahun
bagi hari yang satu ini, sudah pasti Anita
akan bergerak ketakutan, menggigil dan
memohon dengan memelas bagi sebuah
pembebasan. Akan tetapi pembebasan itu
akhirnya tak pernah ada. Sang ular terus
menjalar dengan sepasang mata buas dan
liar, adapun lidahnya bercabang, mendesis-
desis, kepalanya siap mematuk. Anita merasa
seluruh tubuhnya gemetar.
Ketika akhirnya sang ular benar-
benar mematuk dengan ganas, Anita tak
mendapatkan seluruh kesadarannya. Ia
tak ingat bahwa kalender telah tertanggal
bagi datangnya hari ini, ia terlupa bahwa
jarum jam akan selalu berputar dengan
kecepatan sama dan waktu seakan berpacu
berlomba dengan kecepatan cahaya. Anita
terperosok ke dalam kubangan lumpur
paling hitam, ia terjerembab dengan luka
yang dalam, sakit, dan duka nestapa. Ia
bukan lagi siswa SLTA berotak cerdas dan
menjadi murid kesayangan ibu guru Bahasa
Indonesia, ia telah tersungkur menjadi
seonggok daging tanpa jiwa. Anita menjerit,
merintih, mengerang, dan mengutuk hingga
suaranya menghilang sebagai gaung yang
tenggelam dalam sepi. Ia mengalami tragedi
paling mengerikan ketika maratabat sebagai
perempuan dilanggar dengan teramat kejam.
Kemudian sang ular membelit seluruh
tubuhnya, mendesis dan terus mendesis.
Dan tiba-tiba daun pintu kamar terbuka
lebar, baik Anita maupun sang ular bagai
dihentakkan dalam sebuah kesadaran yang
lebih menakutkan.
Emak telah berdiri di muka pintu dengan
wajah seakan topeng terpulas warna semerah
darah, sepasang matanya adalah bara yang
menyala-nyala. Napas perempuan itu
memburu dengan kencang seperti angin
puting beliung yang berpusing dan bersiap
menghancurkan ladang-ladang petani.
Sejenak perempuan itu berdiri kaku dengan
darah mendidih, lidahnya kelu, matanya
melolot sebesar bola dan nyaris meloncat
dari kelopaknya. Ia telah menyaksikan
sebuah panggung tragedi yang paling
mengguncang dan memalukan, kalaulah ia
memutar rotasi waktu untuk kembali undur
ke belakang, tetapi....
Kemudian segalanya berjalan dengan
cepat, suara lolongan srigala dari mulut
perempuan yang kalap, sumpah serapah, dan
pukulan bertubi-tubi yang menghajar tubuh
lunglai Anita membuat gadis itu seakan
telah terbenam sebagian tubuhnya pada
dingin tanah pekuburan. Ia telah menjadi
korban kesewenangan dari seorang bapak
tiri, mestinya sang emak melindungi. Akan
tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya, dalam
pandangan emak, pasti yang terjadi adalah
sebaliknya. Emak mengira dirinya wanita
teramat malang, membesarkan seorang
anak durhaka yang berani merampas suami
dari sang istri. Emak benar –benar telah
kalap, ia mengamuk bagai seekor banteng
terluka, emak merusak dan melempar
segala benda yang berada di sekitarnya.
Seketika seisi rumah benar telah berubah
menjadi kapal yang telah pecah, emak terus
melolong-lolong, ia tak sadar tubuh Anita
hanya tinggal seonggok daging yang telah
babak belur dan dilumuri darah. Lolongan
itu akhirnya terhenti ketika dengan segala
keyakinan bapak mengangkat tangan tinggi-
tinggi kemudian mengayunkannya keras-
keras. Emak tersungkur dengan rambut
tercerai berai tak ubahnya memedi wewe.
Seketika suasana menjadi diam, dari balik
korden kedua adik tiri Anita mengintip
kejadian di kamar itu dalam ketakutan tiada
tara, mereka tak dapat memahami apa yang
sebenarnya telah terjadi. Mereka hanya dapat
menangkap sebuah akhir cerita ketika emak
melolong, berteriak, mencaci, mengutuk, dan
kerasukan setan. Emak memukuli Anita di
luar batas kewajarannya, kemudian bapak
menggamparnya. Apa yang telah berlaku?
Kedua bocah itu terkejut dan menjadi pucat
pasi ketika tiba-tiba bapak telah muncul dari
balik pintu dengan pakaian acak-acakan dan
raut wajah sulit dilukiskan, antara marah,
malu, kacau, dendam, dan perasaan puas.
Kedua bocah itu segera membuang pandang,
mereka menangkap sesuatu yang tak wajar
dan menggores nalar kebocahannya.
Adapun Anita masih tersungkur, ia
merasakan duri ekor ikan pari mencambuknya
beribu kali bagai cemeti. Tak ada yang dapat
dirasakan kecuali pedih tak terperi, Anita
dapat melihat tubuh emaknya terkapar,
ia tahu, ia tak akan dapat menyentuh
emaknya lagi dan itu untuk selama-
lamanya. Ia telah kehilangan bapak, kini
selagi masih hidup emakpun sudah pasti
telah mencampakkannya. Adakah yang
lebih kelam dari hari ini? Atau ia harus
beranggapan, bahwa hari ini tak pernah
terjadi, tak pernah ada dalam hidupnya.
Masih dengan air mata dan sisa tenaga Anita
merayap, bangkit, melawan segala rasa
sakit. Ada satu hal yang harus dilakukan,
yaitu pergi menjauh dari rumah ini, tak ada
sejengkalpun tempat baginya untuk tetap
berpijak. Anita membenahi pakaiannya, ia
meraih tas, mengambil beberapa barang
yang ia anggap perlu. Tertatih langkah
gadis itu ketika ia berlalu meninggalkan
kamar, kedua adik tiri, bocah itu hampir
tak mengenali. Akan tetapi, ketika mereka
bertatapan serentak bocah itu menghambur
ke dalam pelukan Anita, mereka tak tahu
mengapa harus memeluk kakak tirinya
kecuali naluri telah mendorongnya.
Saat ini baru Anita tersadar, bahwa
saudara lain ayah itu ternyata mengasihi
dirinya. Anita tak berlarut terlalu lama,
ia harus pergi sebelum emak tersadar
dan terus memukuli hingga datang maut
baginya. Masih ada hal terpenting yang
dapat dilakukan, yaitu menyelamatkan
hidup. Anita tak sepenuhnya sadar kemana
arah yang mesti dituju ketika ia mulai
bergerak menjauh dari rumah, langkah kaki
seakan mengambang ketika ia berjalan.
Gadis itu melangkah-melangkah, menempuh
debu yang beterbangan dan menjadi ramai
seakan kabut. Dengan sisa kesadaran Anita
memasuki pintu pagar sebuah rumah, ia
tak benar tahu milik siapa rumah itu, tetapi
ia telah mengenal pada alam bawah sadar.
Ketika ia bersimpuh mengetuk pintu, wajah
Maret muncul dari balik daun pintu dengan
sepasang mata mengantuk, maka Anita
segera terkulai pingsan.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...