Rabu, 29 Mei 2019

ISTANA PASIR --Kisah Seorang Penderita HIV/AIDS, KETUJUH


 

Talitha menuang sari buah ke dalam
gelas kristal bertangkai yang telah
dipenuhi es batu, minuman itu terasa
dingin di tenggorokan. Ia hendak menjelang
senja yang indah di bagian belakang rumah
yang telah disulap menjadi taman dengan
kolam ikan dan lampu-lampu hias yang
cantik.Cindera tengah pergi bermain basket,
Titan memantau cabang rumah makan
di luar kota. Laki-laki yang telah dipilih
menjadi suaminya itu memang mempunyai
banyak alasan pergi meninggalkan rumah,
ia mengurusi rumah tangga ini --hingga
Cindera beranjak remaja-- nyaris seorang
diri. Cindera sangat menyayanginya,
ia seakan tahu kesulitan hidup ibunya.
Perkawinan ini telah berjalan seumur hidup
anak tunggalnya, diam-diam Talitha menjadi
tidak tergantung kepada Titan, kehadiran
sang suami hanyalah bayang-bayang, ia
terbiasa sendiri dalam menyelesaikan segala
sesuatu, ia tak kekurangan apa-apa. Lambat
laun ia menyukai kesendirian dan menjadi
tidak nyaman dengan kehadiran Titan.
Mengapa?
Betapa sulit menyatakan, bahwa rasa
cinta dalam perkawinan itu tak lagi bersisa,
yang ada hanyalah tanggung jawab. Sebuah
dorongan moral yang memaksanya untuk
bersandiwara seolah-olah ia menjalani
kehidupan yang bahagia. Talitha memikirkan
berulang kali perihal perceraian, akan tetapi
Cindera belum cukup dewasa, perceraian
akan membuat jiwa anak-anak terguncang.
Talitha amat menyayangi anak tunggalnya
dan ia dapat berbuat apa saja, termasuk
berpura-pura merasa bahagia dengan
perkawinannya. Bukankah dunia ini benar
sebuah panggung sandiwara?
Talitha cukup tabah bertahan dari
amukan badai, Titan tak pernah tahu, bahwa
kekasihnya yang gagal menggapainya
dalam perkawinan masih setia menunggu
hingga usianya beranjak menuju senja.
Cinta tak mengenal batas waktu dan mampu
menembus dinding perkawinan yang
paling tebal sekalipun. Talitha pernah
bersumpah tak akan pernah membiarkan
seorang laki-lakipun menyentuh setelah
perkawinannya. Sebuah sumpah yang terlalu
murni dan tampaknya sia-sia, karena Titan
tak membayar sumpah itu dengan harga
yang sebanding. Talitha tahu ada bagian
dalam hidup yang tak pernah tergapai, tetapi
untuk apa ia terus menerus menangisi, terlalu
banyak hal harus dikerjakan dan untuk itu
air mata harus dikeringkan.
Ada kalanya sang kekasih di masa
muda datang berkunjung ke rumah makan,
mereka bertegur sapa, tetapi Talitha tak
memberikan reaksi apapun kecuali hubungan
pertemanan. Satu hal yang membuat sang
mantan dihantam rindu dendam. Talitha
tak mau menanggung resiko berhubungan
dengan seorang pria beristri, sejauh mana ia
melangkah -- seburuk apapun perkawinan
itu-- maka suami-suami yang berselingkuh
akan tetap kembali kepada sang istri. Talitha
tak mau dirinya dikunyah-kunyah kemudian
dicampakkan layaknya gula-gula karet yang
telah kehilangan rasa manis. Wanita itu lebih
menikmati kesendirian dan tanggung jawab
dalam membesarkan Cindera.
Senja perlahan jatuh dalam warna
emas, Talitha meneguk sari buah dengan
nikmat, ia tengah menyaksikan saat-saat
menakjubkan ketika keseimbangan alam
berguncang dengan amat perlahan, berubah
dari terang menuju padam. Tiba-tiba
ponselnya berdering, Talitha menyambar
alat komunikasi itu, sebuah nomor tak
dikenal tertera pada monitor, wanita itu tak
pernah menolak nonor asing. Ia menekan
tombol menjawab dan bersuara, “Halo,
selamat sore, maaf dengan siapa saya bicara”,
suara talitha halus dan merdu.
“Maaf ibu, ini dengan Filesia. Sekali
lagi saya mohon maaf, tetapi saya harus
menyampaikan suatu hal yang sangat tidak
menyenangkan, saya harap ibu tidak menjadi
marah”, sebuah suara tak dikenal bergaung
di dalam pesawat telepon.
“O ya Filesia, bagaimana? Ada yang bisa
dibantu?”
“Maaf ibu, bapak ada di rumah?”
“Bapak ada pergi keluar kota”.
“Saya kasihan sama ibu, sekali lagi ibu
jangan marah, tetapi bapak ada piara istri
muda, namanya Anita, perempuan itu ada
tinggal disewakan rumah di belakang kantor
daerah di dekat rumah makan padang”, suara
itu kembali bergaung dengan perlahan, tapi
pasti. Bagi Talitha gaung itu sudah cukup
buat meruntuhkan langit di atasnya, leher
wanita itu seakan tercekik, tenggorokannya
tersumbat, tetapi ia tak mau kehilangan
kontrol diri.
Suara Talitha masih amat tenang, seolah
di sekitarnya tak ada kejadian apa-apa, “Dari
mana Felisia tahu semua itu? Dari mana pula
kau tahun nomor teleponku?”
“Ada foto bapak dengan Anita di ruang
tamu, nomor HP ibu saya tanya ke teman,
ada banyak orang yang mengenal ibu”.
“Siapa Anita?”
“Dulu ia bekerja di bar, tetapi bapak
mengambilnya dan menempatkan di rumah
sewa”.
“Baik, terima kasih informasinya. Felisia
tinggal dimana?”
“Saya tinggal di jalan Tentara Pelajar,
selamat sore ibu”.
Sambungan telepon terputus, Talitha
terduduk dengan wajah sekeras batu selokan,
matanya setengah berkunang-kunang.
Waktu seakan terjerembab ke liang yang
paling dingin dan menyesakkan, matahari
tergelincir dengan tergesa mengemasi sisa
cahaya. Suasana menjadi rembang petang,
menjadi gelap, kemudian padam, sebagai
cahaya pengganti lampu-lampu berpendar
menelan kehitaman. Talitha masih terduduk,
tak setitik air mata menetes. Apa yang harus
ditangisi? Seorang tak dikenal meneleponnya
menyampaingkan hal terpahit di dalam
perkawinan tentang kehadiran pihak ketiga,
karena alasan belas kasihan. Dan nama itu
Anita, serasa tak asing.
Pikiran Talitha yang kusut bersliweran
ia harus kembali memutar arah jarum
jam, berusaha mengingat dan mengingat.
Sepasang mata wanita itu terpejam, ia
merasa ada benda tajam mencabik-cabik
ulu hati, menimbulkan pedih tak terperi.
Dalam gelap ia kembali mendapatkan raut
muka itu, raut muka seorang karyawan
teramat cantik yang telah dipecat kemudian
menggertaknya dengan sebuah ancaman.
Gertakan itu terbukti sekarang, perempuan
jalang itu menikamnya diam-diam dari
belakang, kecemburuan terhadap Anita
benar adanya. Sepasang mata Talitha
semakin rapat terpejam, ia dapat melihat
ribuan kunang-kunang bersliweran, angin
puting beliung berpusing bagai ratusan
gasing bertabrakan, dan wajah-wajah
perempuan jalang terkekeh-kekeh mengejek
ketololannya. Kepala Talitha terasa pening,
perutnya mual, terhuyung-huyung wanita
itu menuju ke kamar tidur, membanting
diri ke pembaringan, membiarkan dirinya
terlelap –terlelap-- menuju alam khayali.
Dengan cara seperti inilah Talitha berusaha
menguasai gejolak emosi.
Keesokan harinya Talitha terbangun
dengan lunglai, tetapi ia harus melakukan
rutinitas bagi Cindera, menyiapkan sarapan
dan uang saku serta melepas anak remaja itu
pergi ke sekolah. Talitha melakukan semua
itu seperti apa adanya bersama seorang
pembantu yang telah belasan tahun bekerja
di rumahnya. Cindera mengunyah sarapan
dengan lahap, anak itu bertumbuh menjadi
seorang pemuda tampan yang banyak
dikejar gadis-gadis cantik. Ia mencium
sepasang pipi ibunya kemudian berlari
seakan terbang menuju garasi memburu
motor kesayangannya, bergabung dengan
teman-teman yang telah ramai menunggu.
Ada satu hal yang harus dikerjakan
Talitha setelah Cindera berangkat ke sekolah,
menjelang dunianya yang ceria. Ia harus
mengawasi tempat tinggal Anita untuk
menguji kebenaran telepon seorang yang
mengaku bernama Felisia. Dua puluh menit
kemudian Talitha telah terduduk di jok
mobil di belakang kemudi, matanya terus
mengawasi sebuah rumah mungil yang
tampak sepi seolah tak tampak ada tanda
kehidupan. Pintu gerbang itu terkunci
demikian pula dengan gorden dan jendela,
lampu di ruang tamu masih menyala,
matahari telah beranjak menuju pucuk
pohon cemara, tetapi sang penghuni belum
juga terbangun. Apa yang dilakukan pelacur
itu ketika Titan tak datang berkunjung?
Satu jam, dua jam berlalu Talitha
mulai gerah dan bosan, ia membuka segel
minuman ringan dan mulai menyesap
isinya pelan-pelan. Tape recoderder tidak
mengeluarkan suara apapun, pikiran Talitha
tengah buntu, ia tak mau mendengar suara
apapun. Ia hanya ingin membuktikan, bahwa
rumah itu benar tempat tinggal si jalang
Anita. Menjelang tiga jam setelah dilanda
kebosanan usaha Talitha menuai hasil, tanda-
tanda kehidupan mulai menampak, gorden
perlahan tersingkap. Seorang laki-laki muda
keluar dari balik pintu tergesa membuka
pintu mobil kemudian menyalakan mesin.
Dan perempuan itu hanya mengenakan
pakaian tidur yang tembus pandang, ia
menguak pintu gerbang melepas mobil itu
berlalu dengan deru perlahan menerbangkan
debu jalanan. Mata Talitha terbelalak nyaris
hampir meloncat dari kelopak, perempuan
itu benar Anita, entah berapa lama ia tak
pernah bersua, tetapi wajah dan postur tubuh
itu tak berubah. Perempuan itu masih seperti
dulu ketika ia bekerja sebagai karyawan,
Talitha tak dapat menyangkal betapapun
kusut penampilan Anita, penampilannya
selalu diliputi daya rangsang alamiah, satu
hal yang membuat setiap laki-laki merasa
lemah.
Akan tetapi, siapa laki-laki yang tergesa
berpamit di pagi hari ketika matahari
sementara beranjak tinggi? Laki-laki itu
jelas bukan Titan, jadi Anita juga menerima
tamu lain? Dasar pelacur! Apa yang harus
dilakukan? Memburu dan mencekik Anita?
Tidak!
Iapun tidak perlu menuntut pengakuan
Anita dan merampas kembali Titan dari
pelukan perempuan jalanan itu. Nasi telah
menjadi bubur, semua sudah terlanjur,
kesalahan tak bisa dirtarik kembali dan
tak bisa pula dimaafkan. Ia hanya perlu
melakukan satu hal, menunggu kedatangan
Titan. Keputusan wanita itu sudah bulat!
***
Titan menenggak brendy terakhir,
pikirannya mulai mengawang, di pelukannya
seorang perempuan muda dengan pakaian
paling merangsang tengah bermanja-manja.
Pada hari-hari biasa Titan akan merasa
sangat nyaman pada suasana seperti ini,
tapi kali ini ia merasa aneh. Napasnya mulai
sesak, perempuan bayaran yang biasa ia
perlakukan sekehendaknya mendadak
kehilangan daya tarik. Tanpa sadar Titan
menolak perempuan itu, ia mulai terbatuk-
batuk, napasnya memburu. Apa yang terjadi
dengan diriku? Titan masih berjuang bagi
pertahanan diri, besok ia harus kembali
ke rumah pada penerbangan pertama di
pagi hari, tiketnya telah siap. Ia ingin cepat
kembali. Oh, ia sangat rindu pada Anita!
Satu jam kemudian Titan telah tenang
kembali, perempuan bayaran itu memijit-
mijit dan menggosoknya dengan minyak
angin. Titan menyelipkan beberapa lembar
rupiah kemudian berpamit dengan sebuah
ciuman kilat, ia harus memanfaatkan
sisa waktu untuk berisitrahat sebelum
penerbangan esok hari. Seluruh badan tiba-
tiba terasa penat, ia tak pernah merasa seperti
ini. Dan penerbangannya menjadi perjalanan
pulang ke rumah yang tidak menyenangkan,
hembusan AC yang dingin membuatnya
menggigil, napasnya tersumbat. Titan
memejamkan mata, alangkah senang bila
saat ini Anita ada di sampingnya, si cantik
itu pasti akan melakukan apa saja bagi
kesembuhannya. Akan tetapi saat ini Titan
hanya dapat berkhayal, wajah Anita tetap
menampak bahkan ketika sepasang matanya
terpejam. Wajah itu muncul pula secara diam-
diam dari deretan jok penumpang, dari balik
mega-mega, dari seluruh penjuru, karena
Titan tak pernah henti memikirkannya.
Laki-laki itu masih memiliki sisa tenaga
untuk mengemasi kopor di kedatangan,
ia mengira Talitha telah menjemputnya.
Perkiraan itu keliru, bayangan Talitha tak
pernah berkelebat, ia sengaja tak mengijinkan
Anita menampakkan diri di bandara, Titan
memiliki sebuah kejutan. Laki-laki itu
menggapai driver taksi bandara, ia segera
menyandarkan punggung pada jok mobil,
mengecilkan AC dan membuka sedikit kaca
jendela membiarkan udara segar berputar
di dalam mobil. Wajah Anita kembali
menampak dari mulus aspal jalanan. Oh,
Anita!
Dua puluh menit kemudian mobil
berhenti di depan rumah, Titan membayar
harga taksi dan membuka pintu dengan
lunglai. Ia masih berharap Talitha akan
menyambutnya dengan pelukan dan kecupan
lembut di pipi, tetapi harapannya kandas.
Laki-laki itu segera bertautan dengan tatapan
dingin Talitha, wanita yang dianggapnya
sangat disiplin dan mandiri. Talitha tak
pernah merengek-rengek memohon kasih
sayang, terlebih mengemis cinta, harga diri
wanita itu terlalu tinggi, ia pandai mengatur
posisi, ia tak pernah menakutkan apapun.
Talitha pintar mencari solusi, ia sadar arti
kemandirian, karena pada kenyataannya
tak seorangpun yang dapat dijadikan
tempat bergantung kecuali keyakinan diri.
Usia Talitha hampir menjelang kepala
empat, adakah ia kehilangan daya tarik?
Wanita muda menjadi mempesona karena
kemudaannya dan wanita tua menjadi lebih
menarik, karena kematangannya.
Titan melangkah mendekati Talitha
mengembangkan tangan, tapi langkahnya
mendadak terhenti, dengan sinis sang istri
membuang pandang. Suara wanita itu
berubah seperti desis seekor ular beracun
ketika mulai berucap, “Aku lelah bermain
sandiwara, kuharap semua berakhir sampai
di sini. Aku tak akan pernah memintamu
pergi dari Anita atau pelacur yang manapun,
karena aku tahu engkau tak akan pernah
pergi dari mereka. Perempuan jalanan itu
sudah menjadi bagian dari kehidupanmu.
Aku pernah berharap sebuah perkawinan
yang bahagia, karena tujuan orang menikah
adalah untuk berbahagia, tetapi yang
kudapatkan justru sebaliknya. Harapan
dan kesabaranku akhirnya kandas, aku tak
mendapatkan apapun dari perkawanan
ini kecuali pengkhianatan. Kesempatanmu
habis, aku akan membayar seorang pengacara
untuk mengurus perceraian, harta kita bagi
dua, Cindera berhak memilih dengan siapa
ia mau tinggal, tetapi aku yakin ia pasti lebih
senang tinggal dengan ibu kandung dari
pada beribu tiri seorang pelacur!”
“Talitha apa maksudmu?” suara Titan
terpatah-patah, guruh seakan menggelegar
tepat di atap rumahnya, napas laki-laki itu
tersengal.
“Maksudku sudah jelas, aku menuntut
cerai dan memberimu kebebasan untuk
hidup dengan pelacur yang manapun,
karena itu memang pilihanmu. Dugaanku
benar, engkau memiliki hubungan khusus
dengan Anita sewaktu ia menjadi karyawan.
Beruntung aku cepat memecatnya!”
“Kalau engkau tidak memecatnya, ia
akan tetap mempunyai kesempatan hidup
sebagai wanita baik-baik”.
“Menjadi wanita baik-baik sekaligus
menikamku dari belakang? Kau berlagak
menjadi pahlawan kesiangan. Apapun
yang pernah kulakukan engkau akan tetap
mencomotnya sebagai anjing piara. Belasan
tahun aku berusaha menunda perceraian,
sekarang telah tiba saatnya!”
“Talitha berpikirlah dengan akal
sehatmu, kita masih bisa perbaiki semuanya.
Cindera perlu ibu dan bapak”, suara Titan
setengah meratap, kini ia hanyalah seorang
pencuri yang tertangkap basah. Dapatkah
ia mengelak? Sikap Talitha sudah cukup
membuatnya kehilangan nyali, wanita itu
bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Ia lebih memilih menjadi seorang janda cerai
dari pada bersandiwara sebagai Nyonya
Titan. Salahkah keputusan wanita itu?
Titan merasa kepalanya berdenyut-denyut,
badannya menggigil, keringat dingin mulai
mengucur.
“Benar, Cindera memerlukan bapak dan
ibu, sayapun tahu, tetapi seorang anak tak
pernah berharap bapaknya menyembunyikan
istri piara. Engkau mengira aku takut
menjadi janda cerai, engkau mengira aku
masih memimpikan perkawinan? Aku tak
mengingnkan apapun kecuali membesarkan
anakku. Cindera sudah cukup dewasa untuk
memahami kesulitan ibunya. Kalau sekarang
engkau tidak segera meninggalkan rumah
ini, aku yang akan berkemas pergi, jangan
pernah menghalangiku. Kalau engkau berani
memukulku aku akan menuntutmu atas
nama hukum. Kesempatanmu habis Titan,
aku muak dengan perkawinan ini!” Talitha
mengucapkan seluruh kata-katanya dengan
pasti, dadanya terasa lega, ia telah berhasil
melampaui suatu hal yang paling berat
dalam perkawinan, yaitu pernyataan cerai.
Ia sangat lelah berpura-pura, ia tak perlu
lagi bersandiwara, meski harus menyandang
predikat yang mengerikan, seorang janda.
Adapun sang suami telah tersuruk ke dalam
pelukan seorang wanita tuna susila.
Apakah predikat seorang janda benar
mengerikan?
Ia mempunyai pekerjaan dan harta benda
yang cukup untuk bertahan hidup secara
layak, Cindera tak akan terlantar. Apapun
yang akan terjadi setelah perceraian itu,
ia telah bersiap bagi segala kemungkinan,
hidup dan pilihan selalu penuh dengan
resiko. Ia telah menghadapi situasi yang
paling buruk.
Atau ada lagi yang lebih buruk?
“Okey, kalau engkau yang memilih
tinggal di rumah ini, berarti aku yang harus
pergi!” Talitha mengambil langkah sigap, ia
masuk ke dalam kamar, mengambil kopor
dan mulai mengemasi pakaian dan seluruh
barang pribadi, ia mengemasi pula seluruh
barang-barang Cindera. Dimana ia harus
tinggal? Itu urusan mudah. Tangan Talitha
terus bergerak, perasaannya terasa hambar,
ia telah mantap untuk mengakhiri semua
ini. Ia tengah mereka-reka untuk menjalani
kehidupan baru tanpa beban, tanpa tekanan.
Ah, indahnya! Mimpi buruk ini akan segera
berlalu, satu hal yang masih harus dikerjakan
adalah menyewa seorang pengacara untuk
menyelesaikan kesulitan ini.
Titan merasa seakan terlempar di
antara kepingan waktu, ia tidak sedang
bermimpi, ia tengah berhadapan dengan
situasi yang paling buruk ketika wanita
yang dinikahi sekaligus memberikan status
terhormat di dalam hidup bermayarakat.
Kini menjatuhkan vonis tanpa memberinya
kesempatan untuk membela diri –adakah
ia masih mempunyai hak untuk membela
diri? Akan tetapi surat cerai yang bakal
diterimanya—Titan merasa langit menjadi
gelap dengan seketika, bintang-bintang
berjatuhan menyulutnya dengan panas bara
api. Terhuyung langkah laki-laki itu ketika ia
bermaksud menggapai Talitha, gerak tubuh
wanita yang tengah mengemasi barang-
barang itu mendadak berubah menjadi film
hitam putih, menjadi siluet, dan akhirnya
kabur sama sekali. Titan mengembangkan
tangan, sisa kesadaran membaw a pada
suatu pengertian ia tak akan mampu lagi
menopang keseimbangan. Ribuan semut
api seakan menggerogoti seluruh tubuhnya,
menimbulkan sakit yang berkepanjangan,
terus berkepanjangan, terakhir Titan tak lagi
merasakan apa-apa. Tubuh laki-laki malang
itu tersungkur di depan pintu membentur
dinding, membentur keramik dengan
suara ribut benda pecah dan darah segar
mengucur menggenangi lantai. Pertengkaran
dengan Talitha selalu membuat laki-laki itu
terjerembab, ia sungguh merasa malang.
Atas nama kemanusiaan Talitha
menelepon ambulans bagi sebuah
pertolongan, atas nama kemanusiaan pula
wanita itu masih meluangkan waktu, tenaga,
dan pikiran untuk merawat Titan. Akan
tetapi hati Talitha telah menjadi tawar, ia
bertindak dan bergerak tanpa perasaan,
susah atau senang, ia telah berubah menjadi
mesin. Dengan perawatan VIP di rumah
sakit Talitha mengira kondisi Titan akan
segera membaik, sehingga ia dapat berperan
dengan skenario semula, menerbitkan surat
cerai. Akan tetapi, sang maha sutradara
menghendaki cerita yang berbeda dengan
akhir tak disangka-sangka.
Satu minggu setelah menjalani perawatan
intensif kondisi Titan bahkan semakin
memburuk, laki-laki itu telah mendapatkan
kembali kesadarannya, akan tetapi tenaga
seakan tak lagi bersisa. Titan tampak
semakin lemah –semakin lemah—berat
tubuhnya merosot dalam waktu satu
minggu kemudian, kelopak matanya cekung,
tatapannya tanpa cahaya. Ia menatap sayu
ke arah Talitha mengharap setitik cinta,
harapan itu seketika musnah, Talitha benar
telah berubah menjadi sebongkah mesin.
Sorot matanya diliputi kebencian dan sesal
tak termaafkan, wanita itu hanya duduk,
membisu seribu bahasa. Cindera yang
banyak berperan menyuap bubur atau
susu hangat bagi ayahnya, seharusnya
Titan cukup merasa terhibur dengan sikap
laku Cindera, namun kesehatannya terus
memburuk. Luka menganga di bagian
kepala yang mengucurkan darah berubah
menjadi borok tak menjadi sembuh dengan
pengobatan yang cermat. Lidahnya mulai
terkena sariawan, terakhir ia menderita diare
berkepanjangan.
Entah berapa lama perawatan itu telah
berjalan, akan tetapi tanda-tanda menuju
kesembuhan sepertinya tak ada, untuk
bernapaspun Titan harus berjuang dengan
susah payah. Pemenuhan kebutuhan udara
agaknya menjadi hal yang sangat mahal,
Titan pasrah, ia tak mengerti apa yang
sebenarnya yang telah terjadi pada dirinya
sampai suatu hari seorang perawat atas
persetujuan Talitha mengambil sempel
darah untuk memeriksanya di laboratorium
khusus.
Dan hari itu, setelah berbulan-bulan
Titan mengalami perawatan, Talitha
terduduk dengan wajah beku berhadapan
dengan dokter Dewanti. Penampilan dan
profesioanlisme dokter itu membuat Talitha
dapat merasakan hembusan angin sejuk,
ia tak menanggung beban seorang diri.
Talitha tahu ia sedang berhadapan dengan
saat-saat yang paling sulit dan merisaukan,
seprofesional apapun dokter itu ia tetap
dapat membaca kegelisahan dari sinar
matanya. Doker Dewanti menaruh simpati
pada dirinya.
“Bagaimana dokter? Apa sebenarnya
penyakit Titan, mengapa ia tak kunjung
sembuh?” suara Talitha lemah dan perlahan,
di seberang meja dokter Dewanti seakan
memahami duka hati keluarga pasien, ia
tersenyum lembut. Istri mana tak menjadi
resah denga penyakit sang suami? Bukankah
suami istri adalah belahan jiwa yang
menyatu?
“Baik ibu, kami telah memeriksa darah
bapak. Ibu telah melihat sendiri kondisi
kesehatan bapak terus memburuk meskipun
kami telah memberikan perawatan intensif,
seharusnya ia telah sehat dan beraktivitas
seperti sediakala. Ashma hanya pemicu,
persoalah pokoknya adalah bahwa kekebalan
tubuh bapak telah lenyap, tak ada daya
tahan yang dapat melindungi suami ibu
dari penyakit yang paling ringan sekalipun.
Maaf, ibu pernah mendengar kasus-kasus
semacam ini?” suara dokter Dewanti amat
perlahan, ia memang selalu berhati-hati. Ia
tengah menjalankan tugas yang paling sulit,
sama sulitnya dengan tugas seorang algojo
dalam menjalankan hukuman pancung.
“Maksud dokter?” Talitha merasa
jantungnya berpacu lebih cepat dari biasa,
ia tidak sedang bermain sandiwara, ia tengah
memainkan lakon yang sesungguhnya,
sebuah peranan yang menakutkan. Ia tahu
perihal penyakit maut yang merenggut
kekebalan tubuh manusia. Akan tetapi, untuk
lebih pasti ia harus mendengar langsung dari
pernyataan sang dokter.
“Maaf ibu, dengan sangat menyesal harus
saya sampaikan, darah bapak terinfeksi HIV,
penyakit ashma, luka di kepala, dan kondisi
tubuhnya yang memburuk, mungkin juga
tekanan hidup menyebabkan ia terkena
AIDS. Suami ibu terlambat memeriksakan
diri, tak ada lagi obat yang dapat diberikan
kecuali menunggu waktu. Berikan kesan
yang baik dalam sisa hidupnya”, suara
dokter itu masih pelan, akan tetapi di telinga
Talitha kata-kata itu tak ubahnya dentuman
senjata yang menggelegar. Napas wanita
itu seketika memburu, wajahnya memucat,
dadanya terasa sesak, Talitha berjuang
dengan susah payah untuk membendung
tangis, tetapi tak urung matanya basah.
Inikah akhir dari perkawinan, mahligai
kebahagiaan yang pernah diidam-idamkan?
Siapa pernah menyangka pesta perkawinan
yang dilumuri madu ternyata berakhir
dengan mengerikan.
Talitha menyandarkan punggung,
memejamkan mata, ia kembali harus berjuang
untuk meredam guncangan dasyat yang
menghantam tanpa ampun. Titan telah
menerima vonis mati, tak akan lama lagi,
ia tak perlu membayar pengacara untuk
menerbitkan surat cerai, karena sebentar
lagi maut akan segera memisahkan. Ia akan
menjadi janda terhormat, karena diceraikan
oleh kematian, ia tidak perlu bersitegang
di meja hijau untuk selembar surat cerai.
Sandiwara hidupnya akan segera berakhir,
Titan hanya memerlukan keranda dan
penghormatan terakhir, pengkhianat itu kini
tak berdaya apa-apa. Tapi bagaimana dengan
nasibnya? Bukankah HIV/AIDS menular
dengan cara berganti-ganti pasangan? Kapan
Titan mulai terinfeksi? Dengan pelacur yang
mana? Apakah ia akan mengalami nasib
sama dengan Titan sungguhkan tak pernah
berganti-ganti pasangan? Kaum ibu adalah
kelompok pasif yang dapat tertular, karena
ulah pasangan hidupnya. Tuhanku!
“Bukankah HIV/AIDS menular dokter?”
suara Talitha terbata-bata.
“Saya memohon ijin, apabila ibu dan anak
tidak berkeberatan, kami akan memeriksa
pula darahnya, supaya kita dapat segera
mengambil langkah pencegahan”.
“Saya ijinkan dokter”.
***
 Setelah hantaman itu, maka Talitha
harus menderita hal yang sama untuk
yang kedua kali. Hantaman ini jauh lebih
dasyat, karena pernyataan dokter sekaligus
menyangkut kelangsungan hidupnya.
Talitha kembali duduk membeku, garis
wajahnya sama dingin dengan gundukan
salju wilayah kutub, iapun harus bersiap
menerima vonis bagi kematiannya. Talitha
merasa jarum jam bergerak dengan resah,
detiknya menimbulkan rasa takut, sekali
lagi ia tidak sedang bersandiwara, ia
sedang berhadapan dengan kenyataan yang
sesungguhnya. “Bagaimana dokter?” suara
Talitha meragu.
Di seberang meja dokter Dewanti
terdiam, ia memang sudah sangat ahli untuk
menyatakan hal yang satu ini, tetapi wajah
pias wanita di depannya telah membuat
hatinya bergetar. Begitu banyak cerita
menghujam dari rumah sakit tempatnya
berkerja, ia telah menyaksikan tragedy demi
tragedy, dan kini, untuk yang kesekian kali.
Dokter itu merasa keringat dinginnya mulai
mengucur, ia menarik napas berulang kali,
merasakan pula suara detik jam dinding yang
menakutkan dan akhirnya berujar. “Baik
ibu, kami telah memeriksa sampel darah
ibu dan Cindera, anak ibu sehat, ia tidak
terinfeksi HIV. Akan tetapi dengan sangat
menyesal saya harus sampaikan, ibu telah
ikut pula terinfeksi, belum terkena AIDS.
Selama ibu memiliki kesehatan yang prima
ibu masih memiliki harapan hidup yang
sangat panjang. Ada penderita HIV yang
dapat bertahan hingga 18 tahun, ia menjaga
kesehatan, gizi, dan menjalani hidup secara
apa adanya”, sampai di sini kata-kata dikter
Dewanti terhenti.
Dokter itu menyaksikan perubahan
mimik muka yang menyakitkan, ketika
orang yang tak pernah bersalah harus
ikut pula mendapatkan vonis kematian.
Wajah Talitha semakin memucat –semakin
memucat—ia terbatuk-batuk, karena
tersedak oleh tarikan napasnya sendiri, sedu
sedannya tertahan, sepasang mata wanita itu
terpejam, air matanya gugur menetes dari
bulu mata yang lentik. Adegan semacam
ini berlangsung beberapa lama dalam
suasana hening dan menegangkan, hingga
akhirnya waktu membatasi segalanya. Talitha
berpamit, kepala wanita itu tertunduk ketika
meninggalkan ruang kerja sang dokter.
Kepada siapa ia hendak mengutuk? Titan
hanya tinggal seonggok daging yang terkapar
bersiap menjemput kematian, ia telah
pasti pula menyusulnya. Titan memungut
penyakit di luar, membawanya pulang ke
rumah, menyeretnya pula ke dalam kubur
kematian. Inikah akhir hidupnya?
***
Anita menyusuri hari demi hari dalam
sepi memagut, ia tak benar-benar tahu apa
sebenarnya yang masih berhak diharapkan.
Rasa rindu terhadap Titan telah berubah
menjadi pisau yang melukai, “suaminya” itu
tak pernah datang, tak ada kabar berita, ia
tidak diijinkan menghubungi via HP selama
Titan “menghilang”. Anita tak harus merasa
bersalah ketika ia menerima kehadiran tamu
demi tamu, tak ada yang dapat dilakukan
dalam mengisi hari kecuali menerima tamu.
Ia selalu berusaha mendapatkan bayang-
bayang Titan dalam setiap tamu yang
berkunjung, tetapi usaha itu sia-sia. Tak
ada seorangpun yang mewakili citra diri
seorang Titan, tamu-tamu itu adalah orang
“asing” berapapun mahal bayaran yang telah
diberikan.
Satu kali Anita mencoba tampil dengan
gaya berbeda, ia mengenakan rambut
palsu panjang terurai, mengenakan kaca
mata hitam dan topi serta pakaian serba
gelap. Ia memesan makanan di rumah
makan tempatnya dulu bekerja, matanya
menangkap setiap gerakan untuk melihat
bayang-bayang Titan atau Talitha, tetapi
pasangan suami istri tak ada menampakkan
batang hidungnya. Anita mencari-cari
pelayan yang tidak dikenalnya kemudian
bertanya, “Nona, saya tak melihat tuang dan
nyonya, kemana mereka?”
“Tuan dirawat di rumah sakit, nyonya
menunggui”.
Jawaban itu membuat Anita terdiam,
ia mengerti mengapa Titan menghilang
sekian lama. Dan malam itu ketika Anita
terpuruk seorang diri di sudut rumah dengan
segelas minuman beralkohol di tangan, nada
pengingat pesan pada ponselnya berbunyi.
Hati Anita nyaris bersorak ketika ia melihat
nama Titan pada layar monitor, akan tetapi
kata-kata yang tertulis kemudian membuat
wajahya membeku:
Anita, betapa ingin aku menjumpaimu,
tetapi aku tengah menjelang saat terakhir.
Tak perlu lagi engkau menunggu atau
membalas setiap pesanku. Aku terkena
AIDS, lakukan langkah penyelamatan untuk
sisa hidupmu....
Anita membaca pesan itu berulang kali
seakan tak percaya, ia dalam keadaan terjaga,
pesan itu nyata adanya. Dengan tergesa
Anita mencoba menghubungi nomor Titan,
tetapi ponsel itu tidak aktif, seketika wanita
itu dilanda kepanikan. Ia selalu menunggu
saat-saat sensasional dan mengesankan
bersama Titan, adakah situasi yang lebih
menyenangkan kecuali berada dalam jarak
teramat dekat dengan orang yang dicintai?
Apa yang akan terjadi pada hari-hari setelah
ini, ia akan segera menjadi selembar daun
kering yang terhempas dan terjungkal
entah kemana. Pesan singkat itu sudah
mengakhiri seluruh impiannya akan Titan,
ia akan terjepit di antara jeruji waktu tanpa
mampu berteriak. Anita kembali memahami
arti kesakitan, wanita itu membenturkan
kepalanya ke dinding, tangisnya meledak,
meraung, menyayat, melemah hingga yang
tersisa adalah isak tangis. Tenaga wanita itu
terkuras habis.
Sementara di ruang isolasi Titan tengah
berjuang bagi detik-detik terakhir, tubuh
laki-laki itu hanya tinggal selaput kulit
membungkus tulang belulang. Pipinya
menonjol, kelopak matanya cekung,
napasnya amat lemah, lidah dan rongga
mulutnya dipenuhi sariawan, ia mengunyah
makanan, menelan minuman, dan berkata
dengan susah payah. Tak ada lagi harapan
untuk hidup, Titan menyadari saat-saat
terakhirnya, seluruh tubuhnya tak lagi
memiliki daya. Titan masih menyadari
keberadaan Cindera, betapa tampan anak
tunggalnya, andai ia dapat tetap menjaganya
ia bertumbuh dewasa, meraih gelar sarjana,
mendapatkan pekerjaan yang baik kemudian
menggelar sebuah pesta perakwinan yang
menakjubkan. Ah, Titan memejamkan mata,
hatinya ngilu membayangkan ia akan segera
meninggalkan anaknya. Ia tahu Talitha akan
berbuat apa saja untuk membahagiakan
Cindera, ia yakin terhadap kemampuan
sang istri dalam meneruskan tanggung
jawab sebagai seorang ibu. Titan masih
berusaha melakukan kontak batin dengan
Talitha, tetapi sikap dingin wanita itu telah
menghukumnya. Talitha telah berubah
menjadi robot yang setia menjaganya atas
dasar rasa belas kasihan, bukan karena
ingin selalu berdekatan, pandang mata
wanita itu membahasakan kebencian. Titan
maklum, Talitha pasti tak akan pernah
memaafkannya, ia telah mengkhianati
perkawinannya. Seandainya waktu bisa
ditarik undur ke belakang? Penyesalam
selalu datang terlambat dan tak dapat
mengubah apapun, kecuali memperburuk
keadaan. Perlahan-lahan muncul kembali
wajah Anita, betapa sulit melupakan wanita
yang satu ini, bahkan di saat ketika ia tak
akan mampu lagi mengunjungi. Ia menulis
pesan terakhir bagi Anita dengan sisa tenaga
dan segera menghapus pesan itu kemudian
mematikan ponsel. Talitha tak harus tahu
isi pesan itu.
Di sudut ruangan Talitha terduduk
dalam diam, pikiran wanita itu berkecamuk
seakan ribuan anak panah terlepas dari
gendewa, bersilweran. Ia telah menguras
seluruh air mata saat terdiam sendiri di
kamarnya. Cindera tak berhak tahu apa yang
telah terjadi pada kedua orang tuanya, Titan
pasti telah menyadari apa yang sekiranya
telah terjadi, maut tengah menjemput.
Kapan ia akan menyusul dengan penyakit
yang sama? Ia telah terinfeksi HIV, tetapi
ia memiliki kesehatan yang mengagumkan,
Talitha tak pernah menderita sakit kecuali
rasa lelah, ia dapat mengobatinya dengan
istirahat total, mengkonsumsi multy vitamin
dan jasa pijat tradisionil. Dengan pola hidup
sehat dan tanggung jawab terhadap Cindera,
ia akan berusaha tetap sehat supaya dapat
memperpanjang usia. Ia akan berjuang
menggapai kehidupan. Setidaknya hingga
Cindera menjadi dewasa dan mampu
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri,
sehingga suatu saat apabila AIDS menjemput
sebagai malaikat maut ia akan meninggalkan
dunia ini dengan tenang.
Talitha menghindari tatapan mata Titan,
ia masih harus bersandiwara memainkan
peranan sebagai istri yang baik dan “setia”
hingga datang hari yang paling akhir.
Perasaannya telah menjadi hambar, ia
berlagak tegar di depan Titan, ia memilih
menangis ketika seorang diri, karena tak
ada manfaat lagi membagi tangis dengan
orang yang sebentar lagi akan menjadi
jenazah. Talitha memahami keadaan yang
disebut dengan mati rasa. Wanita itu tengah
membuang pandang ke luar jendela menatap
aneka warna bunga sepatu yang tengah
bermekaran ketika tiba-tiba terdengar
keluhan dengan raungan yang tidak jelas.
Talitha mencari muasal suara dan ia segera
mendapatkan Titan dalam keadaan yang
paling memilukan.
Napas Titan memburu, tersengal-
sengal, tangan kurus laki-laki itu mencoba
menggapai, menggapai. Talitha memandang
terpaku, ia tahu Titan tengah berjuang
bagi detik terakhirnya, pikiran wanita itu
menjadi sedemikian gamang, sehingga ia
tak mampu berbuat apa-apa. Demikian
pula ketika tangan Titan terus bergerak
buat menggapainya, pandangan mata
Titan demikian hampa, ia tampak tengah
mengemis sekerat cinta. Talitha masih tetap
terpaku, ia membisu melewati detik-detik
yang menakutkan.
Wanita itu masih tetap membisu ketika
pandangan Titan semakin hampa, napasnya
terputus, kepalanya terkulai, lengannya
yang tipis terjatuh. Atas nama Tuhan Talitha
menutup mata yang menatap kosong
itu, ia tahu sandiwaranya telah usai. Ia
tinggal berkemas meninggalkan panggung,
mengganti busana dan tata rias kemudian
tampil sebagai jati diri yang sebenarnya.
Talitha, wanita itu tak perlu meneteskan
air mata, ia memberi teladan yang baik bagi
Cindera dan bagi calon janda yang lain.
Bagaimana harus bersikap menghadapi
kematian? Ia merahasiakan kepada Cindera
perihal penyakit ayahnya, biarlah rahasia
itu terbenam di dasar liang kubur. Akhirnya
Talita menyelesaikan kewajiban terakhir,
menyelenggarakan upacara pemakaman.
Siapa tak mengenal Titan di kota ini?
Kediamannya segera ramai dibanjiri para
pelayat, tetangga, kerabat, sahabat, handai
tolan, dan rekan kerja. Prosesi pemakaman
tak mengalami banyak hambatan, karena
Talitha tak banyak berulah dengan merengek-
rengek.
Wanita itu mengenakan pakaian serba
hitam, berdiri saling berpegang tangan dengan
Cindera. Ia berdiri anggun ketika ibadah
dimulai di dalam gereja sehingga segala doa
dapat dipanjatkan dengan semestinya. Maka
waktupun bergerak dengan semestinya
dalam hitungan yang sangat tepat. Talitha
masih cukup tegar membendung air mata,
ia berdiri tak bergeming ketika keranda itu
diturunkan ke ling lahat dan seterusnya
ditimbun kembali dengan tanah dan akhirnya
menyerupai sebuah gundukan . Bunga-bunga
bertaburan, doa-doa kembali dipanjatkan,
begitu ada banyak manusia berwajah duka
di seputar pemakaman, namun tak ada
tangisan melolong atau tubuh pingsan
jatuh terkapar. Talitha bersikap layaknya
seorang artis yang telah siap bagi adegan
memilukan, mengantar sang belahan jiwa
menuju tempat istirahat terakhir, bahkan
tanpa sedu sedan. Ia telah menunjukkan
ketabahan di hadapatan sekalian pelayat. Ia
tetap santun menyalami satu demi satu orang
yang berlalu pergi, bukankah pada akhirnya
manusia benar akan sendiri?
Talitha tak menyadari ada seorang
pelayat yang terus mengamatinya dari
kejauhan, pelayat itu mengenakan pakaian
serba hitam dengan kerudung dan kaca
mata hitam, wajahnya yang cantik nyata-
nyata ditelan kesedihan. Wanita itu tak
mengenakan sedikitpun tata rias, akan tetapi
garis wajahnya yang sendu dan pias, tak dapat
menilap sebuah daya tarik dan pesona yang
memakbukkan. Ia seorang diri tak mengenal
siapa-siapa di tempat ini, ia semakin merasa
sendiri di antara sekian banyak pelayat. Tak
seorangpun merasa berkabung bagi dirinya,
setiap pelayat hanya memberi ucapan bela
sungkawa dan simpati bagi Talitha dan
Cindera. Tak ada yang meneteskan air
mata bagi kedukaannya, kini iapun seorang
“janda”. Titan tak akan pernah datang lagi
untuk melewatkan waktu, berasyik masyuk
di dalam keheningan kamar, ia hanya dapat
mengingat dan mengenang kehangatan
tubuhnya di dalam rasa kehilangan yang
menyakitkan. Apa yang harus dilakukan
dalam menyambung hidup tanpa seorang
Titan? Ia kehilangan tumpuan hidup, ia
kehilangan gairah, dorongan, dan mimpi-
mimpi yang membawanya terbang menuju
lapisan langit demi langit. Di dalam sendiri
yang lengkap wanita itu mulai terisak-isak.
Akhirnya seluruh prosesi pemakaman
selesai, para pelayat telah menyelesaikan
tugas kemanusiaan, melaksanakan kewajiban
terakhir bagi seorang yang telah tiada.
Talitha merasakan pedih menggigit ketika
ia harus menyadari kesendiriannya, ia
menjalani peranan dalam sebuah lakon
sandiwara dengan sangat baik. Ia berpisah
dengan Titan, karena sebab kematian, bukan
perceraian, perjuangan melawan isak tangis
membuat tenaganya terkuras, wanita itu
mulai merasa lemah. Sungguhpun telah
bersiap bagi sebuah perceraian, tetapi janda
manakah yang tidak merasa terpukul dengan
kematian sang suami, bapak dari seorang
anak yang dicintainya?
Dengan langkah berat Talitha mulai
bergerak meninggalkan area pemakaman
jiwanya terasa hampa, ulu hatinya tercabik-
cabik, ia merasa bingung terhadap dirinya
sendiri. Ia pasti memerlukan waktu yang
sangat panjang untuk mengendapkan
seluruh persoalan dan kembali pada sebuah
keseimbangan. Bukankah susah senang akan
datang silih berganti seperti halnya siang
dan malam sebagai ketetapan sebuah hukum
alam? Cindera memerlukan tanggung jawab
ibunya, Talitha sadar akan hal itu. Cindera
mendadak berubah menjadi seorang laki-laki
dewasa, ia menunjukkan ketabahan dalam
melepas ayahanda pergi, ia seorang laki-laki
sejati, ia tidak menangis. Ia merangkul sang
ibu dalam segala rasa cinta, Cindera tahu
jiwa ibunya tengah terguncang, ia harus
bertindak menggantikan posisi sang ayah
dalam keadaan sulit seperti ini. Cindera tak
melepaskan genggangan pada Talitha barang
sedikitpun, ketika ibunda menghentikan
langkah, Cinderapun tetap mendampingi.
Entah dari mana tiba-tiba di hadapan
mereka telah berdiri seorang perempuan
muda dalam sikap dan pakaian berkabung.
Siapakah dia?
“Maaf nyonya, saya memohon
pengampunan apabila di dalam hidup
pernah mengambil sesuatu dari nyonya.
Apapun yang pernah saya dapat, akhirnya
tak ada seorangpun yang perlu berduka
untuk saya, karena kematian ini. Saya cuma
seorang yang harus selalu bersembunyi,
sekali lagi ampuni saya”, air mata wanita
itu menetes.
Talitha tertegun, ia bagai disentakkan
dari mimpi buruk, ia masih dapat mengenali
Anita dalam suasana paling duka sekalipun.
Talitha menatap wajah cantik di depannya,
wajah yang kini diliputi kekalahan, wajah
yang sama sekali tidak menunjukkan rasa
benci, wajah seorang wanita playahan
yang lugu dan dungu. Wanita ini bukan
saingannya! Sepeninggal Titan, Anita akan
kembali terpuruk ke dalam kubangan
yang paling hitam supaya dapat bertahan
hidup. Sementara ia telah mewarisi seluruh
kekayaan, martabat, dan terutama seorang
anak --Cindera-- kebenciannya terhadap
Anita hanya akan menguras tenaga.
Tanpa sadar Talitha mengangguk,
langkahnya seakan mengambang ketika
ia berlalu pergi meninggalkan Anita, isak
tangis pelacur itu terdengar seperti jeritan
srigala kelaparan. Talitha memejamkan
mata, ia akan membuang semua bagian cerita
yang telah menguilitinya, ia masih harus
berjuang memperpanjang usia, melawan
HIV, sehingga ia akan mati karena usia tua,
sementara Cindera telah bertumbuh menjadi
laki-laki dewasa. Apa lagi yang harus
disesali, bukankah lakon hidup ini hanya
sekedar dijalani?
Di langit sebelah barat matahari
segera padam, angin berkesiur lembut
menggugurkan bunga kamboja, perlahan-
lahan udara menjadi dingin. Semburat aurora
dengan absurd akan segera memunguti sisa
cahaya, area pekuburan itu akan segera gelap
ditelan kehitaman . Talitha mempertahankan
sisa tenaga sebelum ia mencapai pintu mobil,
gemetar seluruh tubuh wanita itu ketika
meletakkan seluruh bobot tubuh di atas jok
mobil. Sesaat kemudian wanita itupun jatuh
terguling.
***

Anita terbangun dari tidur dengan letih,
seisi kamarnya berantakan, suasana hatinya
lebih parah dari kondisi kamar tidurnya. Ia
telah menjadi seorang “janda” tanpa warisan
dan peninggalan kecuali sepenggal kenangan
yang harus dikubur dalam-dalam. Apa yang
dapat dilakukan tanpa uang bulanan dari
Titan? Pernah ia berniat mengikuti kursus
kecantikan, mendapat selembar sertifikat
kemudian membuka usaha salon dengan
sejumlah uang tabungan yang dimilikinya.
Dunia kelampun akan menjadi masa lampau,
tetapi kini ia berada dalam kondisi kejiwaan
yang paling buruk, niat baik itu seakan ikut
terbenam ke dalam liang lahat. Ia bahkan
kehilangan sekedar keinginan untuk bertahan
hidup hari ini, ia terpuruk ke dalam nestapa
dengan sempurna. Selama ini ia hanya
mampu mengandalkan daya rangsang tubuh
untuk menggapai kehidupan yang layak dan
menyenangkan, ia membiarkan dirinya jatuh
ke dalam pelukan satu laki-laki ke laki-laki
yang lain. Ia mendapatkan kekayaan, tetapi
sering kali juga penghinaan, posisi paling
rendah di dalam kehidupan masyarakat, dan
yang terakhir sebuah ancaman mematikan.
Titan mati, karena AIDS, penyakit itu jelas
menular, apakah ia juga telah terinfeksi?
Apakah ia juga akan mati dengan cara yang
sama seperti Titan?
Anita kembali tersedu-sedu, ketakutan
menerkam, ia kini benar sendiri dan
sebatang kara, betapa tidak mudahnya
menjalani lakon hidup. Seandainya bapak
tidak meninggal, seandainya ia tidak harus
ikut serta transmigrasi, seandainya mama
tidak menikah lagi, seandainya kejadian
terkutuk itu tidak menimpanya, sehingga
ia harus terusir dari rumahnya sendiri.
Seandainya.... ah! Ada seribu seandainya
dan semua itu mustahil. Anita kembali
terbenam dalam tangis, ia membiarkan rasa
sakit menggerogotinya sedemikian rupa, ia
membiarkan air mata terus mengalir sampai
akhirnya ia sadar, bahwa masa perkabungan
itupun suatu saat harus berakhir. Ia harus
berjuang untuk kelangsungan hidup, berapa
lama ia dapat tinggal di rumah sewa ini
dengan seluruh biaya hidup yang harus
ditanggung? Para tetangga mengucilkannya,
karena mereka tahu ia bukan seorang
perempuan yang hidup baik-baik. Ia tak
pernah menjadi bagian dari kehidupan
di sekitar tempat tinggalnya. Ketika Titan
masih hidup, ia masih dapat berlindung di
dalam pelukan laki-laki itu untuk sekedar
mendapat keyakinan, bahwa kehidupan
ini tak sepenuhnya kejam. Kini, ia tak
memiliki tempat berlindung, keinginan
untuk membuka usaha salon telah berkeping
menjadi cita-cita yang menggelikan, ia tak
punya bakat dan keahlian bagi ketrampilan
itu. Anita menimbang dan menimbang
sampai akhirnya ia sampai pada keputusan
untuk kembali datang kepada mami, ia akan
kembali meramaikan suasana bar, meskipun
bukan lagi sebagai primadona.
***
 Duhai dunia hitam, kehidupan itu
seperti lumpur maut yang menyedot semakin
kuat manakala sang korban memberontak
bagi kebebasan. Alkohol, gemerlap lampu
di ruang dansa, seks bebas, dan mata
uang sama jahatnya dengan ganja yang
membuat siapapun kecanduan, terjabak
–terjebak—tanpa dapat membesabaskan
diri keculai mati. Binar-binar lampu yang
berpendar laksana langit berbintang-bintang
menyembunyikan suasana hati yang paling
kelam, para pekerja seks berhias dalam
penampilan paling erotis, tertawa, dan
menari –mengejar fatamorgana—Tak ada
kisah berakhir dengan tawa, kehidupan
malam adalah sandiwara paling sempurna
bagi setiap wanita penghibur dan tamu-tamu
pemburu kesenangan, dengan ending isak
tangis dan yang paling tragis adalah mati,
karena AIDS.
“Mati karena AIDS itu resiko”, Rima
berujar dengan ringan, saat itu mereka
tengah duduk di teras kamar saling melulur
badan, malam ini akan ada tamu istimewa.
Nova, sang primadona tengah pelesir ke
luar kota bersama pengusaha kaya. Mami
mempercayakan Anita dam Rima yang
tergolong cantik untuk menemani tamu
malam nanti, mereka harus berhias secantik
mungkin.
“Kau siap mati muda Rima?” Anita
bertanya.
“Semua orang akan mati dengan banyak
cara, nasi sudah menjadi bubur, atau kau
mempunyai niat untuk pergi ke tanah suci,
bertaubat bagi semua ini?” Rima berucap
dengan mudah, ia telah terbiasa dengan
kepahitan hidup. Sebagai anak tiri yang
diterima dari sang ibu hanyalah caci maki
dan pukulan bertubi-tubi, tubuhnya sama
persis seperti tambur yang dihantap berkali-
kali sehingga ratapannya terus meraung
hingga ke ujung kampung. Semakin dewasa
tekanan dari sang ibu tiri semakin kuat,
Rima menimbang, berpikir, dan mereka-
reka akhirnya ia memilih menikah dengan
seorang duda yang memiliki mulut manis bak
gula jawa dan terakhir ia tega menjualnya.
Maka jadilah ia penghuni tetap bar hingga
saat ini. Rima terlupa menghitung waktu,
atau ia memang sengaja melupakan, ia
tak peduli pada cibiran orang-orang yang
biasa dijumpai di tempat-tempat umum.
Orang-orang itu tak memahami kesulitan
hidupnya, mereka hanya dapat menghujat,
tetapi tak dapat membantunya keluar dari
persoalan. Dan istri-istri yang terhormat
itu terus menerus mengutuknya, mereka
tak tahu sebab apa sang suami lebih senang
menghamburkan uang di tempat-tempat
hiburan dari pada membangun keutuhan
rumah tangga. Suami-suami itu memilih
hidup bersama dengan perempuan yang
santun, tetapi dungu, mereka tak mengerti
hal terpenting yang diperlukan seorang
laki-laki. Untuk hal yang satu ini Rima bisa
tertawa-tawa, ia telah mengerti, sangat
mengerti.
“Ah Rima, pertanyaanmu jauh dari
sasaran, mendirikan sholatpun aku tak tahu,
apa lagi pergi ke tanah suci. Seperti apa
rasanya mati?” Anita menghentikan gerakan
tangannya, ia tak dapat menyangkal, betapa
gamang hidupnya tanpa Titan. Ia hanya
berpra-pura jatuh cinta dengan setiap laki-
laki yang menjadi tamunya, dan berpura-
pura ternyata bukan pekerjaan mudah. Ia
telah menipu hati nurani, ia menjalani lakon
sandiwara paling kelam dengan imbalan
sesuap nasi.
“Apa yang kau pikirkan sebenarnya
Anita?”
“Kau tak ingin melakukan sesuatu untuk
melakukan hal baru, kita bisa mengikuti
kursus kecantikan, mendapatkan sertifikat
dan membuka usaha salon?”
Pertanyaan ini membuat Rima seketika
terbahak-bahak, mulutnya menganga lebar,
mendadak perempuan itu telah berubah
mirip hantu kuntilanak. “Sejak kapan engkau
punya cita-cita mulia seperti itu, kau kira
saya punya bakat Anita? Sayangku, aku
bahagia dengan cita-cita, kalau benar engkau
dapat mencapainya, aku akan menjadi
pelanggan pertama dan pasti yang paling
setia. Hik... hik... hik...!!!” Rima kembali
tertawa mengikik, ia benar-benar tertawa
sama persis seperti kuntilanak.
“Rima! Hentikan tawamu!!” Anita
menjadi naik darah, ia ingin menggampar
Rima, tetapi melihat ekspresi wajah rekan
sejawatnya tangannya batal melayang.
Rima memang tertawa berkepanjangan,
tetapi air matanya bercucuraan, wajah itu
tidak menggambarkan wajah gembira,
tetapi sebaliknya. Rima menutup tawa
dengan wajah duka, ia menghapus air mata
kemudian kembali melulur badan seperti
Anita tak pernah mengucap apa-apa.
“Bagaimana aku akan dapat membiayai
kursus, setiap bulan aku harus mengirim
uang sekolah untuk adik-adikku, setiap tahun
jumlah itu selalu bertambah. Mereka tak
tahu apa pekerjaanku, tetapi dari manapun
sumbernya mata uang dan gunanya selalu
sama. Aku tak mampu berpikir Anita,
sebenarnya aku ingin istirahat malam ini,
tetapi apa boleh buat? Aku harus kembali
mengirimkan uang”, wajah Rima berubah
menjadi sekelam malam, Anitapun terdiam,
tiba-tiba ia kehilangan gairah untuk melayani
tamu bersenang-senang. Ketika mengguyur
badan dengan air mandi, mendadak
badan Anita gemetar, ia menjelang malam
dengan separuh hati, ada yang salah dalam
dirinya.
Sementara Rima pulang pagi dengan
badan tehuyung-huyung, ia mengalami
memar pada beberapa bagian badan. Sang
pelanggan menghujani dengan hantaman
di kamar hotel, ia tak punya identitas
dan menderita kelainan seksual. Rima
benar-benar mengalami malam yang paling
mengerikan dalam catatannya sebagai PSK,
ia semakin mengerti, betapa tak mudah
kehidupan yang harus dijalani. Ketika
memar di badan mulai menghilang, maka
Rima kembali dihadapkan pada persoalan
yang kalah serius, ia menderita penyakit
kelamin, ia harus beristirahat dan berobat,
kemudian berharap pada kesembuhan.
Anita menemani Rima, ia mengerti
susah hati gadis itu. Akan tetapi betapapun
rajin Rima berobat, betapapun tulus Anita
menemani. Penyakit Rima ternyata tak dapat
disembuhkan, bahkan semakin parah. Anita
teringat akan Novi teringat pula akan Titan,
teringat pula kata-kata Rima, “Mati AIDS
itu resiko....”
Resiko itu akhirnya terbukti, hari itu
Rima menghembuskan napas terakhir di
pangkuan Anita, setelah dokter menyatakan
ia mengidap AIDS. Dada Anita mengombak,
alangkah dekat dirinya dengan kematian,
sikap dan perilakunya secara sengaja
mengundang maut datang. Ia memilih
pekerjaan yang penuh resiko. Sejak kematian
Rima, Anita merasa semakin sendiri, tak ada
lagi saat-saat bercengkerama sambil melulur
badan atau pergi berbelanja ke super market
menikmati sebagian dari hasil susah payah
yang mereka miliki. Di bar ini masih ada
lebih dua lusin perempuan penghibur, akan
tetapi kematian demi kematian membuat
Anita merasa tersisih. Apa yang menarik
dari permainan yang selalu berdekatan
dengan maut? Setelah kematian Risma, Anita
menjadi semakin mengerti betapa berharga
kehidupan. Ia masih memiliki cukup
tabungan untuk memulai kehidupan baru,
mengapa ia tak mencoba selagi kesempatan
itu masih ada?
Anita berpikir dan berpikir dan tiba-tiba
ia dirasuki kelelahan yang amat sangat,
ia tak menikmati kencan dengan seorang
pengusaha muda yang memiliki kantung
tebal, tetapi bersikap layaknya bocah
ingusan. Laki-laki itu terlalu manja dan
menyebalkan, seandainya ia tak memerlukan
lembaran rupiah, ia tak perlu berpura-pura
menguras tenaga, memasang sikap manis.
Ah! Seandainya Titas masih hidup? Anita
menyelesaikan pekerjaan malam ini dengan
sikap enggan, ia menolak booking luar, hal
yang sangat berperan dalam menentukan
pendapatan setiap bulan dari mami. Wanita
itu merebahkan diri di atas pembaringan,
sepasang matanya terpejam.
Di dalam gelap sekalipun bermacam
wajah muncul berganti-ganti, pertama
adalah wajah bapa almarhum, kemudian
wajah emak, wajah sang ayah tiri, wajah
Maret, wajah Talitha, wajah Titan, Novi, dan
yang terakhir adalah wajah Risma. Wanita
itu meninggal dalam keadaan resah, karena
ia tak dapat lagi mengirim uang bulanan
bagi adik-adiknya. Kecantikannya nyaris
tak bersisa digerogoti penyakit, Risma tak
banyak berkata-kata, karena tenaganya
tak lagi tersisa, tetapi sorot matanya yang
sayu telah membahasakan segalanya. Iapun
takut akan kematian, ia akan memasuki
sebuah dunia yang lain sama sekali, dunia
yang belum pernah dikunjungi, ia tak
dapat menolak karena malaikat maut telah
mendekat dan melakukan tugas dengan
sangat baik. Anita tak dapat melupakan
tatapan mata Risma untuk yang terakhir kali,
ia wanita yang tak dapat melawan nasib,
terlebih menjadi pemenang, Risma mati
dalam kekalahan telak. Akhir hidup seorang
pelacur yang tragis, dicengkeram AIDS
Anita berusaha tertidur, ia ingin esok
bangun dalam keadaan segar, akan tetapi
bermacam pikiran berkecamuk seakan
pergolakan perang, ia bisa memaksa otot mata
terpejam, tetapi tak dapat membawa seluruh
badan besarnya terlelap. Dalam situasi
tertentu tidur bahkan menjadikeadaan yang
tidak mudah. Ketika akhirnya ia terbenam
dalam mimpi yang serba kacau, ayam jantan
telah berkokok, ia hanya dapat beberapa jam
tertidur. Seluruh badan terasa letih, semakin
lebih dari hari ke hari, ia perlu istirahat total.
Mami mengijinkan. Akan tetapi setelah
istirahat beberapa hari letih di badannya
tak juga berkurang, Anita pergi ke tukang
pijit, pergi ke dokter untuk mendapatkan
kesembuhan. Ia berharap kondisi badannya
akan membaik, harapannya mengendap,
karena ia tak pernah mendapatkan keadaan
sehat seperti sedia kala. Ada yang salah pada
dirinya, Anita mulai dihantui rasa takut.
Hari itu serombongan tim medis dipimpin
dokter wanita yang cantik memperoleh
tugas untuk mengadakan tes HIV/AIDS
di kalangan pekerja seks. Mami harus
mengijinkan demi kebaikan seluruh pihak,
maka setiap pekerja bar diambil sampel
darahnya satu-satu. Anita dikuasai perasaan
gelisah – ia telah dijangkiti penyakit aneh- rasa
lelah berkepanjangan yang tidak diketahui
dimana ujung pangkalnya. Dengan bermodal
sisa keberanian Anita mendekati dokter
wanita itu, ”Maaf dokter, bisa meminta
waktu sebentar?”
”O nona bagaimana? Ada yang bisa
dibantu?” Dokter itu tersenyum lembut,
wajahnya demikian bersih, ia pasti tahu
kalau dirinya tak lebih dari seorang wanita
penghibur, akan tetapi sikapnya demikian
penuh hormat. Ia menghadapi setiap pasien
sebagai manusia yang layak dihormati,
apapun predikatnya. Tiba-tiba Anita merasa
ada air sejuk membasahi kegelisahannya, ia
menemukan tempat untuk berbicara.
”Saya Anita”, Anita mengulurkan tangan,
ia segara merasakan jabat tangan selembut
kapas ketika telapak tangan dokter itu
menggenggamnya. ”Terus terang tes darah
ini membuat saya ketakutan, tetapi saya
harus merelakan lengkap dengan identitas
otentik.
Akhir-akhir ini saya merasa cepat lelah,
saya sudah berobat tetapi tak ada perubahan,
apapun yang terjadi pada diri saya boleh
saya minta satu permintaan?”
”Apa permintaanmu?”
”Saya ingin tahu apa hasil tes darah saya,
positif atau negatif, saya ingin mendengar
langsung dari dokter. Boleh saya datang ke
tempat dokter bekerja?”
”Kenapa tidak? Sehari-hari saya stand by
di klinik reproduksi sehat, nona boleh datang
dua minggi setelah hari ini”, Dokter Dewanti
menatap wajah manis di depannya, ia tahu
sosok seorang PSK pasti menyimpan seribu
satu cerita. Dewanti ingin tahu apa yang
pernah terjadi pada diri gadis ini, sehingga
ia berkeputusan langsung mendengar hasil
tes darah dari sang dokter, tetapi waktu
habis dan tempat ini tidak sesuai untuk
mendengarkan sebuah cerita. ”Kutunggu
kedatanganmu Anita”, sekilas Dewanti
tersenyum, ia mencoba mengenal wajah
Anita, sehingga suatu saat bila bertemu ia tak
akan menjadi asing dengan wajah itu.
***
PENUTUP
Anita mengakhiri ceritanya.
Di luar matahari beranjak naik, wanita
itu meneguk segelas air putih di dalam gelas
hingga tandas tanpa sisa, ia telah menguras
seluruh energi untuk membeberkan seluruh
riwayat hidup, tenggorokannya terasa kering.
Tak ada seorangpun yang secara sadar ingin
mati, karena HIV/AIDS, namun betapa
rumitnya jalan hidup, betapa tidak mudah
ke luar sebagai pemenang dalam setiap
persoalan. Apapun yang akan terjadi pada
sisa hidup setidaknya ia telah memberikan
cermin bagi setiap keluarga yang bersedia
berkaca dari pengalamannya, sehingga nasib
anak-anak keturunan tidak akan terjerumus
ke dalam kubangan lumpur seperti dirinya.
Anak-anak memerlukan keluarga, ayah dan
ibu yang melindungi, sehingga mereka dapat
dewasa secara wajar seperti halnya tanaman
yang tumbuh berkembang, karena tanah
yang subur dan curahan air segar. Anita
merasa beban di dadanya mulai berkurang,
napasnya lega, ia bersyukur, bahwa di saat
yang paling genting masih ada seorang
dokter yang berkenan mendengar riwayat
hidupnya. Apa menariknya kisah seorang
pelacur, kecuali sebuah catatan yang sangat kelan
dan memalukan?
“Terima kasih dokter, Anda telah
berkenan mendengar keluh kesah saya,
baik buruknya semoga akan ada gunanya.
Maaf saya meminta waktu terlalu banyak,
tentu dokter mempunyai banyak kesibukan”,
Anita menyusut air mata, kini ia telah
benar-benar pasrah, mengapa harus takut
menjemput maut? Ia masih mempunyai sisa
waktu, mungkin ia masih dapat bertaubat
atau sebaliknya ia akan semakin dalam
membenamkan diri menjadi lumpur hidup.
Di Sebarang meja dokter Dewanti terdian,
ia tersedot ke dalam rangkaian kisah yang
mengguncang hati, kalbu dokter wanita itu
tersodok. Dewanti itu berjuang membendung
air mata -ada saatnya menangis, tetapi bukan
dihadapan pasien- ia harus memahami,
mengapa seorang menjadi PSK? mereka
tak punya pilihan. Mereka harus memapas
kematian secara perlahan sebagai suatu
resiko atau dijemput maut hari ini. Betapa
tiap jengkal hidup harus dibayar dengan
amat mahal!
“Aku dapat kumengerti, aku tak menyia-
nyiakan waktu dengan mendengarkan
ceritamu, aku akan mencoba membagikan
kepada orang lain supaya kasus semacam
ini tidak terulang pada anak-anak yang lain.
Engkau masih memiliki sisa waktu, kuharap
manfaatkan sebaik mungkin”.
“Baik dokter, saya permisi. Sekal lagi
terima kasih untuk waktunya”, Anita
mengulurkan tangan, mencium tangan
dokter itu, sekali lagi ia mengeringkan air
mata kemudian undur ke pintu, ia harus
kembali ke tempat semula dengan kepala
secara kosong seakan ruangan hampa.
Tenggorokan gadis itu kembali terasa kering,
bahkan terbakar, Anitapun membelokkan
langkah menuju cafetaria yang berada di
lingkungan rumah sakit. Ia tengah meneguk
segelas teh panas ketika tiba-tiba sebuah
suara menergurnya.
“Anita, kaukah itu?” suara itu tak asing
di telinga Anita, ketika gadis itu menoleh
ke arah sumber suara, sepasang matanya
segera terbelalak, “Maret!” tanpa sadar
Anita berdiri memeluk Maret, seakan telah
setengah abad mereka tak pernah bertemu.
Maret memeluk Anita dengan keheranan,
sejak sahabatnya berpamit, maka mereka
tak pernah lagi bersua, Anita menghilang
entah kemana. Kini, mereka bertemu tanpa
disangka-sangka, akan tetapi betapa amat
berbeda penampilan Anita, Maret tak lagi
mengenali sahabatnya sebagai gadis desa
yang lugu.
“Benar ini saya Maret, tapi Anita yang
kau lihat sekarang bukan lagi Anita yang
dulu. Aku bahkan tengah menjemput hari
kematianku”, mereka duduk berhadapan,
Anita merasa dirinya semakin kecil duduk
semeja dengan Maret. Sahabatnya tengah
bergaya dengan seragam PNS, tata rias wajah
bersahaja, sepatu kulit berwarna hitam, dan
tas kerja yang ringkas. Maret telah mampu
menggapai derajat dan martabat hidup,
sedang ia hanyalah seonggok sampah yang
tak lagi akan menjadi jenazah.
“Apa yang telah terjadi denganmu, aku
selalu mencari-carimu, tetapi tampaknya
engkau sengaja menghilang”, Maret
menggenggam tangan Anita dengan tulus,
penampilan gadis itu memang telah berubah,
tetapi persahabatan yang di dasari ketulusan
bersifat kekal.
“Kukira aku tak perlu bercerita,
engkaupun telah tahu siapa Anita yang
sekarang. Hidupku tak lama lagi karena
pekerjaan aku terkena HIV, hanya tinggal
menunggu beberapa saat untuk menjadi
AIDS. Setiap orang takut mati bukan
Maret?”
“Anita?!! sepasang mata Maret mulai
tergenang, tragedi apa yang telah menimpa
Anita? Penampilan sahabatnya tak berbeda
dengan seorang sundal, orang butapun dapat
mengerti dengan mencium bau tubuhnya.
“Kalau ini menjadi pertemuan kita yang
terakhir, berarti memang sudah ada yang
mengaturnya. Aku berterima kasih untuk
semua ketulusanmu, sampaikan salamku
untuk emak, kau tahu bagaimana kabar
mereka?”
“Emakmu masih hidup, demikian juga
dengan bapak dan adik-adikmu, emak
menanyakanmu”.
“Kalau nanti emak bertanya, sampaikan
tak usah lagi memikirkanku, aku akan pergi
selamanya dari kehidupannya”.
“Anita?”
“Kalau masih ada rasa sayangmu, tolong
kau panjatkan doa untuk pengampunan
bagi bosa-dosaku”, air mata Anita menetes,
sosok Maret mengingatkan seluruh kejadian
dalam hidupnya, sejak ia masih kanak-
kanak kemudian bedhol desa di wilayah
transmigrasi dan tragedi demi tragedi terus
mencerca seakan badai sepanjang masa.
Anita mengira sikap Maret akan berubah,
karena penampilannya, tetapi gadis itu
memiliki ketulusan abadi yang tak tergoyah
oleh perubahan dan situasi, bahkan ketika
mereka memiliki sisi hidup yang benar-benar
berbeda. “Aku bahagia, di akhir hidup yang
singkat masih ada orang yang mengasihiku,
kuminta doamu Maret”, Anita tak mampu
berlama-lama dengan Maret meskipun sikap
gadis itu tak pernah berubah, ia merasa tak
pantas.
Anita membayar harga minuman
kemudian segera berlalu pergi, langkahnya
tergesa, ia tak ingin didampingi siapa-siapa,
meski jauh dalam hati sangat merindukan
kehadiran Maret. Akan tetapi, akan sehat
menolaknya, ia tidak harus membiarkan
seorang wanita baik-baik mendekat dan
melekat pada tempat hidupnya. Ia harus
kembali pada lingkungan semula, kehidupan
kumuh, terjal, dan penuh kepura-puraan,
terlarang bagi seorang wanita baik-baik.
Anita tak tahu persis bagaimana ia bisa
kembali ke tempat tinggalnya kecuali kata
hati menuntunnya. Kesadaran gadis itu
separuhnya telah melayang ketika tubuhnya
terhuyung kemudian terhempas di atas
pembaringan.
Apa cita-cita yang layak dikejar oleh seorang
tuna susila?
****
Dokter Dewanti tengah memeriksa konsep
surat undangan yang harus diserahkan
kepada ketua harian untuk ditanda tangani
dalam rangka memperingati Hari AIDS
Sedunia ketika seorang pegawai mengetuh
pintu ruangan kerja, masuk beberapa detik
kemudian sambil membawa sehelai surat.
“Selamat siang dokter, ada surap pribadi
ditujukan atas nama dokter”, sehelai surat di
dalam amplop putih dengan perangko yang
telah ditempel diserahkan dengan santun.
Dewanti membalik amplop itu, di bagian
belakang amplop tertulis nama pengirim:
Anita.
Bagaimana kabar gadis itu? Rupanya ia dapat
pula menulis surat? Hampir tujuh bulan Anita
tak muncul tak ada pul kabar beritanya.
“Baik, terima kasih”, Dewanti membuka
laci meja, meraih gunting merobek salah
satu sisi amplop, tak sabar ia membaca isi
surat. Ia sungguh ingin mengetahui keadaan
Anita, surat itu hanya terdiri atas selembar
kertas tipis dengan deretan tulisan yang
rapi. Dokter itu mulai membaca, sekejab
kemudian ulu hatinya kembali tersodok!.
Dokter,
Bila dokter membaca surat ini, maka saya
sudah berada di alam lain, alam yang dapat
dikunjungi setelah manusia meninggalkan
dunia fana. Tak seorangpun dapat
menghindari kematian, maut akan datang
cepat atau lambat dengan banyak cara.
Kalaulah dapat, saya ingin mati dengan cara
yang lebih baik, seperti daun kering yang
luruh dari tangkai pada akhir musim gugur.
Akan tetapi, maut datang terlalu cepat pada
usia muda, karena saya tak mampu lagi
melindungi diri.
Andai saya mempunyai keluarga seperti
dokter, mungkin kita dapat menjadi teman
sejawat untuk bersama memerangi penyakit
mematikan ini. Akan tetapi, takdir yang harus
saya jalani memaksa saya untuk menjadi
seonggok sampah. Tak ada yang lebih hitam
dari kehidupan yang mesti saya jalani.
Ketika telah tertular HIV, maka saya pernah
berhubungan dengan lebih lima puluh orang
yang memiliki posisi menentukan di kota
tempat dokter bertugas. Saya yakin, di antara
lima puluh orang tersebut, pasti akan ada
yang tertular kemudian menyusul menuju
ke alam kematian, meninggalkan segala yang
dicintai.Saya sadar dengan segala yang saya
kerjakan, saya tidak ingin mati tertimbun
musibah seorang diri. Sayapun tertular
penyakit dari orang lain yang membayar jasa
pelayanan saya.

Maafkan saya dokter, akan sulit bagi dokter
untuk memahami isi hati saya. Masyarakat
melihat saya sebagai kupu-kupu malam,
sebagai perempuan genit ber make up
tebal, sebagai perusak rumah tangga orang,
sebagai barang bekas atau rombengan,
dan sebagai segala sesuatu yang buruk
sekaligus mengerikan. Saya cuma debu di
tengah kehidupan yang luas ini, saya ingin
mengubah suratan takdir, tetapi apalah arti
sejumput debu. Betapa ingin hati membangun
rumah megah berdinding batu yang dapat
melindungi diri dari hembusan badai dan
taufan yang datang menerpa. Akan tetapi,
jalan terjal berliku hanya memungkinkan
untuk membangun rumah boneka --sebuah
istana pasir-- bangunan yang tampak “cantik”,
namun sama rapuhnya dengan rumah
kardus, sehingga jilatan lidah ombak yang
paling kecil sekalipun sudah cukup untuk
merobohkannya!
Salam
Anita
Dewanti terpengarah, kertas surat itu
digenggamnya erat-erat, ia membacanya
berulang kali berusaha untuk meyakini
kebenaran isinya. Tujuh bulan yang lalu Anita
menceritakan tragedi hidup sambil berurai
air mata, ia masih berharap bahwa gadis itu
akan mengakhiri hidup dalam taubat. Waktu
yang teramat singkat ini ternyata menyerat
akhir hidup Anita pada lumpur maut yang
paling hitam. Gadis itu tak punya pilihan!
Dokter itu merasa beban berat mengendap
di kepala, ia dan jajaran pemerintahan serta
rekan sejawat tengah berjuang memerangi
HIV/AIDS, menyelamatkan seisi kota dari
infeksi penyakit mematikan ini. Ternyata tak
dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan
seorang Anita, PSK itu telah pergi. Pergi
dengan pernyataan yang meliputi ulu hati.
Adakah ia terlambat?
Dokter itu membuang pandang ke luar
jendela, musim panas sampai pada batas
penghujung, cahaya matahari terik dan
membakar. Lapisan tanah mengaduh, kering
kerontang, hembusan angin menggugurkan
daun-daun kering. sepasang kupu-kupu
seakan resah terbang, gelisah mencari
titik air. Dewanti menghembuskan napas
panjang, ia teringat akan sorot mata sayu
Anita, tatapan itu kembali menikamnya.
Ia memang telah sangat terlambat
menyelamatkan Anita, tetapi masih ada
banyak kesempatan untuk mengulurkan bagi
Anita-Anita yang lain. Sebatang ranting yang
patah secara alami akan segera digantikan
oleh tunas yang kuncup kemudian mekar.
Dokter itu memejamkan mata, mulutnya
berbisik, “Selamat jalan Anita......”



S E L E S A I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...