Rabu, 29 Mei 2019

ISTANA PASIR --Kisah Seorang Penderita HIV/AIDS, KEEMPAT




 
Maret tengah tertidur lelap di
kamarnya yang sejuk, ia membiarkan
kesadarannya melayang
pada alam tanpa kendali sehingga segalanya
menjadi kabur kehilangan bentuk. Ada satu
hal yang mengakar kuat di dalam diri, ia
memiliki kedua orang tua yang mengasihi,
ia memiliki pelindung untuk membentengi
diri dari ganas kehidupan. Sungguhpun
dibesarkan di tengah hutan belantara, di
tempat yang asing, dicabut dari akar kehidupan
dalam sebuah kisah yang disebut
dengan bedhol desa, Maret tak mengenal
suatu ancaman yang disebut dengan kecemasan.
Mimpi-mimpinya selalu indah dan
menentramkan.
Akan tetapi, kali ini mimpi itu terusik oleh
sebuah suara, bunyi berulang yang menyusup
ke dalam gendang telinga kemudian melarut
pula di dalam impian. Maret terjaga, ia perlu
beberapa detik untuk mendapatkan kembali
kesadaran, di mana kini posisinya, apa yang
telah dan harus dikerjakan.Kemudian iapun
segera memburu sumber suara yang berasal
dari daun pintu. Beberapa saat setelah
pintu terkuak, Maret terkesima, ia bahkan
kehilangan kesadaran, pada lantai yang
mana ia tengah berpijak kini? Ia mencoba
menyangkal kenyataan yang terpampang di
depan mata, tetapi ia harus kembali kepada
realitas, gadis itu menjerit. “Anita!”
Baru beberapa saat ia melepas Anita pergi
dalam keadaan segar bugar tak kekurangan
suatu apa, Anita tengah bersiap menghadapi
ujian akhir untuk mendapatkan selembar
ijasah bagi nasib yang lebih baik. Dapatkah
gadis itu bersiap menempuh ujian, karena
sosoknya kini hanya tinggal seonggok daging
berleleran darah, tubuh memar biru, wajah
pucat lesi, rambut awut-awutan seakan
semak belukar dikacau badai lautan. Anita
tak lebih dari sebentuk jiwa yang remuk
redam di dalam sebuah penistaan
“Anita! Mak tolong Anita mak!” Maret
berteriak kalap, jeritan itu segera memanggil
seisi rumah berdatangan. Tubuh Anita
digotong beramai-ramai, dibaringkan di atas
balai-balai, emak mengompres luka-luka
Anita dengan air hangat. Maret merangsang
penciuman Anita dengan minyak angin,
bapak memijit-mijit telapak kakinya yang
seakan beku bagai udara malam di musim
dingin. Seorang memanggil mantri yang
biasa bertugas melayani pasien di Puskesmas,
tak lama kemudian Anita siuman.
Gadis itu semula merasa ringan dan tanpa
bobot, ia seakan melayang di antara kabut
dan mega-mega, melupakan kekejaman
dunia. Kini, ketika ia mendapatkan kembali
kesadarannya rasa sakit itu kembali meranjam
bagai ribuan jarum berkarat membenam di
kedalaman. Sementara kenyataan, bahwa ia
telah kehilangan emak, bapak, dan adik-adik
membawa Anita ke sebuah pengertian pahit,
ia tak punya keluarga, tak punya pelindung
yang dapat melindungi diri dari kelam dunia.
Anita mengeluh, air matanya tergenang,
sesaat kemudian ia kembali terkulai, Maret
kembali menjerit, ia mencucurkan air mata
bagi sahabatnya, “Anita, bangun Anita!”
Suara itu tak dapat didengar oleh Anita,
gadis itu tengah berada pada sebuah alam
yang sangat jauh, kehidupan yang mengubah
dinding, bebatuan, tanah keras, dan pohon-
pohon menjadi benda lembut dan lunak tanpa
bentuk. Kehidupan yang mengantar Anita
menuju terowongan waktu dan mengubah
segalanya menjadi maya, bila tak ada tangan
yang menolong gadis itu, maka langkah
kakinya akan terus bergerak melewati
terowongan itu, sehingga segala sesuatunya
akan segera berakhir dengan napas terputus.
Akan tetapi, kehidupan masih berpihak. Pak
mantri segera memasang jarum infus, cairan
glukosa itupun mulai menitik bagai embun
pagi menyelamatkan hidup Anita.
Adapun Anita, ia tak dapat terus berlari
meninggalkan kehidupan nyata, ia harus
melewati saat-saat kritis yang menyakitkan,
ia memang bisa, tetapi dunia telah berubah
menjadi kehidupan yang pahit. Maret dan
emak bersabar merawat luka-luka, adapun
bubur dan teh manis yang disuapkan
setiap hari telah menumbuhkan kembali
kekuatannya. Ketika akhirnya telah mampu
kembali bicara, maka Anita tetap menutup
mulut terhadap perlakuan sang bapak tiri
yang telah mengubah dirinya menjadi ular,
ia bahkan menjadi malu untuk menatap
cermin, karena tak mampu melihat dirinya
sendiri. Ia telah kehilangan terlalu banyak
hal dalam tempo tak kurang dari setengah
hari, segalanya berubah dengan cepat seakan
guncangan gempa maha dasyat yang dapat
memporak porandakan permukaan dan
kulit bumi.
Kawan-kawan sekolah mulai berdatangan
menjenguk, tetapi Anita memilih
bersembunyi di dalam bilik, ia tak ingin
bertemu dengan siapapun, ia telah tahu
apa artinya kehilangan muka. Ia memilih
sendiri hingga suatu perasaan yang disebut
dengan kebencian mulai tumbuh, membesar,
dan berakar. Anita mengira perasaan itu
akan membunuhnya pelan-pelan, ternyata
tidak, kebencian membuat Anita mengerti
bagaimana ia harus melindungi diri
sekaligus memandang hidup. Kebenciaan
itu perlahan-lahan berubah menjadi dinding
tebal yang melindungi diri dari hiruk pikuk
kehidupan.
Ketika akhirnya ibu Tri datang berkunjung,
Anita tak dapat lagi bersembunyi, ibu guru
itu datang sore hari. Ia berhias dengan tata
rias yang lembut seperti pada hari biasa ia
mengajar, pakaian yang dikenakan sederhana,
namun halus, dan aroma wewangian itu,
mengingatkan Anita akan kasih seorang
emak. Anita tak dapat menguasai diri,
ia berlutut menangis di pangkuan ibu
Tri. Tangan wanita itu mengelus rambut
Anita yang kusut masai, Anita tak pernah
bercerita, namun ibu Tri telah tahu apa yang
sebenarnya telah berlaku. Iapun seorang
perempuan.
Anita sangat berharap, bahwa emak
akan datang, menangis dalam penyesalan,
dan membujuknya kembali ke rumah,
meski ia tak akan pernah tergoyah dengan
bujukan itu. Ia telah berkeputusan untuk
pergi selamanya, untuk menjadi yatim piatu.
Akan tetapi harapan Anita musnah, ia telah
benar-benar dicampakkan dari ibu yang
pernah melahirkan. Emak memang datang,
tetapi dengan sebilah kayu bakar di tangan,
matanya merah, wajah dan rambutnya
telah berubah seakan medusa denga ular-
ular mendesis di kepalanya. Emak berniat
akan menghajar kembali Anita, tetapi gerak
tangan wanita itu segera berhenti di udara
ketika ia bertatapan dengan mata dingin ibu
Tri. Kata-kata ibu guru itu pelan, tetapi sudah
cukup membuat wanita yang tengah kalap
itu terguncang dan menundukkan kepala
lengkap dengan segala rasa malu. “Engkau
adalah seorang ibu, lazimnya seorang ibu
menjadi pelindung bagi anak-anak, terlebih
bila ia seorang anak perempuan, sebab apa
engkau bernapsu menistakannya? Anak-
anak tidak menjadi bocah selamanya,
orang mudapun akhirnya menjadi tua,
adapun bocah-bocah akan menjadi dewasa.
Mereka dapat menentukan hidupnya sendiri
termasuk menghakimi orang-orang yang
pernah berbuat nista. Apa salah Anita?”
“Dia anak durhaka, dia berbuat tidak
senonoh dengan bapaknya!”
“Pernah engkau bertanya dengan kepala
dingin, apa yang sebenarnya terjadi dengan
Anita sebelum tanganmu menghukumnya?”
tatapan ibu Tri setajam mata pedang. “Siapa
sebenarnya Anita dan siapa sebenarnya
bapaknya? Tidakkah engkau sengaja mencari
kambing hitam untuk menyelamatkan
perkawinan dan juga dirimu sendiri supaya
hidup ini lebih mudah bagimu? Engkau
sudah berbuat aniaya terhadap anak tak
bersalah, kalau masih juga berbuat kekerasan,
maka aku akan mengadukan perbuatanmu
kepada pihak yang berwenang, biar aku yang
akan menjadi orang tua asuh bagi Anita”.
Ibu Tri masih menatap emak, sikapnya pasti,
keberaniannya tak diragukan, keyakinannya
tak tergoyahkan, ia harus melakukan sesuatu
sebelum kekerasan kembali terjadi dan
berakibat jatuhnya korban.
Di lain pihak emak menjadi pucat pasi,
ia tak pernah menduga akan berhadapan
dengan ibu Tri dalam keadaan seperti ini.
Hati kecilnya menyatakan kata-kata itu benar,
ia dibakar cemburu, ia dibakar kekecewaan,
ketakutan, dan entah setan mana lagi
yang menghembus-hembuskan bara api,
sehingga kemarahannya berkobar-kobar
menghanguskan kesadaran. Langkah emak
surut ke belakang, kemarahannya mereda
secara tiba-tiba, sejak Anita mulai tumbuh
sebagai gadis remaja, sikap sang suami
menjadi berubah. Ia memang tak banyak
berkata-kata, tetapi ulah dan tatapannya
terhadap Anita membuat siapapun terlalu
cemburu. Kasih sayang terhadap anak tirinya
terlalu berlebihan dan akhirnya berubah
menjadi napsu, emak berada di simpang
jalan, ia tak bisa memilih antara keduanya,
anak atau suami. Emak melampiaskan
kejengkelan dengan melakukan tekanan
secara rutin terhadap Anita setiap hari
hingga bertahun-tahun lamanya. Anita
sadar akan hal ini, seringkali ia ingin waktu
secepatnya berlalu ia menjadi dewasa,
dapat menghidupi diri dan segera pergi
meninggalkan kehidupan di rumah ini. Emak
tahu, Anita tak menyukai kehadiran sang
bapak tiri, terlebih dengan tatapannya yang
seliar mata ular. Jadi, kejadian memalukan di
hari itu, pasti lebih sebagai kasus perkosaan,
bukan karena keinginan dari kedua belah
pihak, suka sama suka. Emak tak bisa
menyalahkan bapak, karena ia sadar terlalu
bergantung terhadap laki-laki itu. Apa yang
akan terjadi andai ia kehilangannya? Adapun
Anita, sungguhpun anak itu terlahir dari
rahimnya, ia telah menjadi duri di dalam
daging, ia telah menjadi ancaman yang harus
disingkirkan. Emak menjadi gagu, ia cuma
seorang wanita malang yang melahirkan
seorang anak perempuan bernasib malang
pula.
“Masihkah engkau berniat memukul
anakmu?” kata-kata ibu Tri menyadarkan
emak. Perempuan itu menatap ibu Tri dan
Anita berganti-ganti dengan pandangan
nanar, perlahan-lahan mata itu menjadi
basah. Isak tangis emak mulai terdengar
ketika kakinya melangkah pergi membawa
sosok tubuhnya berlalu dalam kalah.
Di atas pembaringan Anita terdiam, ia
memandang ibu Tri dengan tatapan penuh
terima kasih, apa yang akan terjadi andai
emak datang tanpa adanya kehadiran ibu
guru yang budiman itu. Mungkin ibu Tri
tak akan dapat lagi berbuat apa-apa kecuali
menyiapkan keranda baginya. “Terima kasih
ibu”, Anita berujar lemah.
Ibu Tri tersenyum, ia duduk di dekat
pembaringan, “Kau harus cepat sembuh
dan kembali ke sekolah, dokter, mantri,
dan kapsul atau tablet hanya membantu
si sakit, obat yang paling mujarab adalah
keinginan untuk sembuh. Bangku di kelasmu
telah menanti”, kata-kata ibu Tri terdengar
sungguh merdu.
Anita hanya dapat menagguk lemah,
ia memerlukan waktu yang panjang untuk
membangun kekuatan supaya bisa kembali
ke sekolah. Akan tetapi, ternyata ia tak pernah
dapat memiliki waktu yang lebih panjang
untuk memperoleh kembali kekuatan supaya
dapat kembalu duduk di bangku sekolah.
Hari pertama ketika dapat menjejakkan kaki
di atas lantai, gadis itu dicekam ketakutan
luar biasa, ia telah kehilangan seluruh dari
rasa percaya diri. Luka dan memar di badan
telah sembuh, akan tetapi luka hati tetap
berdarah. Anita telah kehilangan segala-
galanya, keluarga, ayah, ibu, kasih sayang,
dan yang paling penting adalah, sebuah
bangunan kuat yang berguna secara total
untuk melindungi diri dari segala ancaman
dan mara bahaya. Betapapun baiknya
sikap orang tua dan uluran persahabatan
Maret, akan tetapi mereka bukan sebuah
keluarga tempatnya berasal kemudian
dibesarkan. Anita mengerti betapa tidak
mudah menjadi sebatang kara, dan agaknya
ia harus menjalani.
Anita tak bisa menghitung lagi hari, ia
membiarkan matahari terbit dan terbenam
tanpa perlu mengingat hari apa atau tanggal
berapa sekarang. Ia bahkan terlupa akan
ujian akhir sekolah sekaligus selembar
ijasah yang dapat digapai untuk merubah
nasibnya kelak. Anita hanya tahu bangun,
membersihkan diri, makan, minum, tidur,
dan mengerjakan tugas-tugas kecil di
dalam rumah. Sejauh ini keluarga Maret
selalu bersikap baik, mereka mengerti akan
kesulitan Anita, adapun keberadaan gadis itu
di rumah ini tak merugikan apa-apa. Akan
tetapi ketika telah mendapatkan kembali
kesadaran Anita menjadi tahu diri.
Maret telah tinggal di kota, kost
pada sebuah rumah pemondokan untuk
meneruskan pendidikan di Universitas
perintis yang didirikan Pemerintah Daerah.
Gadis itu tinggal menunggu beberapa tahun
untuk merubah nasibnya, hari Sabtu ketika
pulang mengunjungi orang tua, Anita
dapat melihat perubahan mencolok yang
tampak pada diri Maret. Gadis itu tampak
lebih cantik, terpelajar, rapi, dan berlaku
seakan seorang priyayi. Anita tinggal di
kamar Maret, gadis itu tak memasalahkan
keberadaannya, akan tetapi perbedaan
status antara mahasiswa dan penganggur,
membuat Anita merasa tak layak lagi untuk
bersahabat dengan Maret, sungguhpun
ketulusan hati gadis itu tak pernah berubah.
Anita tahu, ia harus melakukan sesuatu.
Kampung tempatnya tinggal telah
membuatnya ketakutan, Anita harus lebih
berhati-hati ketika pergi meninggalkan
rumah. Suatu kali Anita berpapasan dengan
sang bapak tiri dan ia segera terhuyung-
huyung, nyaris pingsan. Anita mulai berpikit
untuk pergi meninggalkan kampung ini.
Suatu kali ketika tengah duduk berdua
dengan emaknya Maret di depan api tungku,
Anita membuka pembicaraan, “Mak, saya
ingin pergi bekerja di kota, kalau emak punya
kenalan atau keluarga yang dapat memberi
saya pekerjaan meski hanya menjaga warung
saya bersedia”.
“Mengapa harus bersusah-susah ke kota,
engkau tak betah tinggal denganku?” emak
tampak heran dengan keinginan Anita.
“Saya ingin mendapatkan pengalaman,
saya berterima kasih atas kebaikan emak
sekeluarga, saya tak ragu akan semua
keikhlasan itu, tetapi bukankah setiap orang
boleh punya keinginan”.
“Baiklah, emak memang ada kenal
seorang yang mempunyai usaha rumah
makan di kota, biasa emak memasok unggas,
telur, sayur, dan daging ke sana. Besok
hari Jumat emak akan ke sana sekalian
menjemput Maret pulang untuk hari libur
di rumah, engkau ikut?”
“Saya ikut mak”, Anita menjawab singkat
dengan mata berbinar, ia akan segera
membuka lembaran baru, meninggalkan
desa dan bekerja di kota.
Esok hari emak menepati janji, mereka
menyewa taksi ke kota untuk mengantarkan
unggas, telur, sayur, ikan, dan hasil kebun
lain untuk dijual pada seorang yang memiliki
usaha rumah makan. Setelah menyeberangi
sungai, melanjutkan perjalanan dalam
beberapa menit akhirnya mereka sampai di
tempat yang dituju. Emak membawa Anita
masuk ke dalam sebuah banguna megah
dengan tempat parkir yang luas melalui
pintu samping. “Selamat siang tuan”, emak
memberi salam kepada seorang laki-laki
berkulit putih, berambut lurus dengan postur
tubuh tinggi tegap bak seorang prajurit.
“Saya datang membawa barang –barang
yang tuan perlukan”, emak meletakkan
seluruh barang yang dibawa di atas lantai.
“O ibu, aduh banyak sekali barang-
barang ini, kita punya stok memang sudah
habis, terima kasih ibu datang pada waktu
yang tepat”, pengusaha itu tampak senang,
ia segera menerima sekaligus menghitung
seluruh barang bawaan emak. “Ini ibu
punya anak perempuan?”, pengusaha itu
mengalihkan perhatian pada Anita, laki-
laki itu tidak dapat menyembunyikan
keheranannya. Mengapa dari rahim seorang
wanita yang tidak menarik bisa terlahir
seorang gadis cantik?
“Ini keponakan saya tuan, namanya Anita
ia sengaja ikut kemari untuk mencari kerja,
jadi pelayan toko atau rumah makanpun
boleh, maklum anak muda, masih haus
pengalaman”, emak menjawab dengan
harap-harap cemas, bahwa “sang tuan” akan
memberikan peluang kerja bagi Anita.
Beberapa saat suasana diam, tapi “sang
tuan” segera tertawa lebar, “O begitu,
maksudnya ibu mau mencarikan pekerjaan
buat Anita di sini?”
“Begitulah tuan, saya ditangisi keponakan
untuk mencarikan pekerjaan di kota, kalau
bisa tolonglah keponakan saya ini”, emak
menghiba-hiba.
Pengusaha itu tak segera menjawab,
tampak ia berpikir-pikir. Seminggu yang
lalu dua orang pelayan memang undur diri,
karena melahirkan dan pindah ke pedalaman
di tempat bekas pembuangan Soekarno. Kini,
seorang gadis belia dengan wajah cantik dan
polos datang melamar pekerjaan. Pucuk
dicinta ulam tiba, sekilas pengusaha itu
melirik wajah dan keseluruhan penampilan
Anita, mendadak hatinya berbunga. Entah
mengapa, tiba-tiba ia merasa bahagia, “Baik
ibu, nanti saya bicarakan dengan istri saya, dan
besok Anita coba datang kemari”, pengusaha
itu memberikan jawaban kemudian ia
mulai sibuk menyiapkan nota serta uang
pembayaran. Setelah transaksi selesai mereka
berpamit, sekali lagi pengusaha itu menatap
Anita, iapun tersenyum dengan dirinya
sendiri.
Emak membawa Anita pergi menuju ke
rumah kost Maret yang terletak di pinggir
kota. Rumah itu adalah kediaman mini
dengan sebuah kamar, ruang tamu, dapur,
dan kamar mandi. Keseluruhan bangunan
terdiri atas enam rumah, Maret menempati
salah satu di antara rumah itu dengan sewa
yang dibayar tiap tiga bulan sekali. Maret
menyambut kedatangan emak dengan
gembira, ketika ia tahu bahwa Anita akan
bekerja pada sebuah rumah makan di kota
dan untuk sementara mesti menumpang
tinggal di rumahnya, maka gadis itu tidak
menunjukkan expresi apa-apa. Ia tak tampak
senang, tak tampak keberatan atau enggan,
Maret memandang hidup ini apa adanya,
seperti air yang akan selalu bergerak dan
mencari bentuk sesuai dengan wadah yang
digenanginya
“Maafkan Maret, aku kembali
merepotkanmu, untuk sementara aku minta
ijin menumpang di rumahmu, nanti setelah
mendapatkan upah pekerjaan aku akan
berusaha mencari tempat tinggal sendiri. Dan
sebelumnya terima kasih”, Anita membuka
pembicaraan.
“Engkau tidak perlu meminta maaf,
tidak ada kesalahanmu. Kita telah saling
mengenal sejak kecil dan manusia menjalani
takdirnya masing-masing, suatu hal yang tak
dapat ditolak manusia. Segala yang dapat
kita miliki harus disyukuri, segala yang bisa
didapatkan harus kita cari, yang tak mungkin
tergapai lepaskan. Ada Tangan Maha Kuasa
yang selalu mengatur, kita hanya menjalani”,
Maret menjawab tenang, ia sungguh merasa
kasihan terhadap nasib yang menimpa Anita.
Ia memiliki keluarga, emak dan bapak yang
bertangung jawab atas segala nasibnya,
semenara Anita tak memiliki siapa-siapa,
kecuali mungkin ia sebagai sahabatnya.
“Terima kasih Maret, syukurlah aku
masih memiliki seorang sahabat yang dapat
mengerti keadaanku, semoga kelak Tuhan
akan membalas semua kebaikanmu”.
***
Titan duduk menghadap meja di dalam
sebuah ruangan berukuran 4 x 4 meter. Di
ruangan itu terdapat pula seperangkat kursi
untuk menerima tamu, rak arsip, lemari
besi, brankas, dan benda seni termasuk
patung Asmat. Ia harus memulai hari yang
sibuk sebagai pemilik sekaligus manager
rumah makan ekslusif yang menjadi tempat
perjamuan istimewa bagi seisi kota. Pada
hari-hari biasa tempat ini selalu dikunjungi
tamu yang bermaksud memenuhi kebutuhan
makan sekaligus berekreasi. Pada hari-hari
tertentu tempat ini akan disewa untuk
menyelenggarakan pesta perkawinan, ulang
tahun, perjamuan bagi tamu daerah atau
perjamuan khusus bagi kalangan bisnis
atau LSM. Titan menyajikan hidangan
khusus dengan resep dirahasiakan yang
tidak akan bisa ditiru oleh pengusaha rumah
makan yang lain. Ia menciptakan suasana
elegan, menata perlengkapan makan dengan
ornamen tradisionil di atas meja, lengkap
dengan kotak tisu, bunga hias, dan tusuk gigi.
Tirai yang lembut serta berkelas membawa
pikiran siapapun seakan melayang. Ruang
makan dilengkapi pula dengan westafel,
minibar dengan bermacam minuman import
dan gelas kristal yang bening serta sebuah
panggung mini bagi orkestra kecil yang biasa
dipertunjukkan pada perjamuan istimewa.
Adapun sinar lampu jernih dan temaram
berpendar pada setiap sudut ruangan.
Selusin pelayan, empat orang koki, tiga
orang pencuci piring sekaligus cleaning
sevice bekerja dengan jadwal dan disiplin
yang ketat, sehingga para tamu tak pernah
kecewa dengan setiap pelayanan. Para
pelayan mengenakan pakaian seragam
dengan model dan warna yang telah datur
jadwal, mereka mendapatkan gaji bulanan
dengan standart UMR serta komisi atau tip
sesuai dengan jasa yang telah diberikan.
Setiap tamu yang datang berkunjung akan
menikmati hidangan dengan bangga, karena
mereka mampu membayar harga makanan di
dalam sebuah rumah makanyang berkelas.
Setiap penduduk kota mengenal rumah
makan elegan ini, meskipun tak semuanya
mengenal Titan, sosok paling menentukan
yang membuat siapapun orangnya merasa
bangga ketika duduk menghadapi aneka
menu di tempat ini. Titan telah memasuki
usia kepala empat, beberapa tahun lagi,
tepatnya pada pergantian milenium nanti ia
akan merayakan ulang tahunnya yang ke-50.
Akan tetapi, ia adalah seorang pengusaha
sukses, Titan tak pernah mengenal bangku
kuliah, tetapi ia mengenal dunia bisnis mulai
dari menawarkan ice cream bagi anak-anak
sekolah. Sedemikian tekun dan berbakat,
sehingga ia dapat mengelola jumlah uang
yang kecil menjadi besar semakin besar,
akhirnya ia dapat pula membuka coffee
shop. Sebuah tempat minum yang sejuk
dan pelayanan yang ramah dan menjadi
tempat pertemuan bagi sekalian anak muda.
Titan tak berhenti sampai di sini, sebab
akhirnya ia mengenal Talitha, seorang gadis
yang gemar pula berdagang dan memberi
dukungan sepenuhnya, sehingga dengan
keberaniannya mereka dapat mengambil
pinjaman bank untuk membuka usaha
rumah makan. Usia rumah makan ini
nyaris sama tua dengan usia prkawinannya.
Titan mendapatkan segalanya, perkawinan
sekaligus kesuksesan yang berdampak pada
kekayaan dan popularitas. Apa lagi yang tak
dimiliki?
Titan disiplin duduk menghadap meja
kasir, menghitung setiap pengeluaran dan
pemasukan serta mengantongi sejumlah
laba. Praktis ia berhubungan pula dengan
sekian banyak manusia dari bermacam
kalangan, laki-laki dan perempuan termasuk
karyawan yang bekerja di tempat usahanya.
Titan selalu berpakaian rapi, kemeja yang
disetrika licin dalam warna pastel atau
kelam, sepatunya mengkilat, wajahnya
berseri, dan rambutnya yang dicukur rapi
menggenapi seluruh penampilannya.
Beberpa karyawan perempuan nyata-nyata
menunjukkan simpatinya, mereka mencuri
waktu berakrab-akrab ketika Talitha tak ada
di tempat kerja. Dari bahasa tubuh karyawan-
karyawan itu seolah berujar, bahwa mereka
bersedia melakukan apap saja bagi sang
tuan, dengan atau tanpa pembayaran.
Titan bukan seorang yang dungu, ia tahu
apa yang dibutuhkan karyawannya, ia tak
berniat mempertaruhkan reputasi bagi
perempuan yang mencari sesuap nasi di
rumah makan eksklusifnya. Ia tersenyum
sendiri membayangkan perempuan itu
mengkhayal akan dirinya.
Sementara diam-diam Talitha tak pernah
lengah dalam mengawasi seluruh gerak
gerik manusia di sekitarnya. Ia merasa geli
ketika menyadari karyawan-karyawan
perempuan secara sembunyi atau terbuka
menaruh simpati atau jatuh cinta terhadap
si boss. Perempuan itu cuma karyawan,
bukan saingannya, mereka bukan apa-apa,
ia adalah sang nyonya, ia berwenang penuh
mengendalikan kinerja di rumah makan
ini sekaligus memecat siapapun yang tidak
berkenan di hati. Beberapa karyawan telah
ia pecat dengan kepala dingin, karena satu
dan lain hal, ia tak mau karyawan itu menjadi
duri dalam kehidupan perkawinannya.
Di dalam rumah dan tempat bekerja Titan
mutlak suaminya, akan tetapi Talitha tetap
menyadari, sungguhpun telah diberkati
dalam sebuah sakramen perkawinan ia
tidak berhak akan seluruh waktu, ia tidak
mendapatkan dua puluh empat jam dalam
sehari, tujuh hari dalam seminggu, empat
minggu dalam satu bulan, dan dua belas bulan
dalam satu tahun untuk selalu dapat bersama
Titan. Laki-laki itu tetap memiliki kebebasan
dan sisi hidup yang tak dimengerti ketika
ia tak menghabiskan waktu bersamanya.
Ketika Titan tengah berada dalam perjalanan
ke luar kota, Talitha menyerah, ia tak pernah
tahu apa yang telah dikerjakan suaminya,
ia tak perlu tahu, dan lebih baik tidak
pernah tahu. Ada begitu banyak hal dapat
dikerjakan di luar perkawinannya, bekerja
dan mendapatkan keuntungan. Adapun
Cindera, putra tunggal yang tengah beranjak
remaja telah menjadi seluruh kekuatan dan
tumpan hidup.
Talitha mendambakan seorang anak
perempuan, akan tetapi pertengkarannya
dengan Titan setelah ia memecat karyawan
perempuan yang terampil, menyebabkan
ia mengalami keguguran pada kehamilan
yang kedua. Mereka saling tolak, sehingga
Talitha terjatuh dari tangga, ia mengalami
pendarahan, terkulai pada anak tangga
terbawah. Talitha menangis berkepanjangan
ketika dokter menyatakan ia tak dapat lagi
mengandung, karena alasan kesehatan.
Dan bayi tak bersalah itu, seorang bayi
perempuan yang cantik, ia tak pernah sempat
hidup. Talitha mengutuk perlakuan Titan
hingga seumur hidupnya, mereka tak pernah
dibenarkan bercerai, tetapi ia tahu bagaimana
mesti menghukum laki-laki yang telah
“membunuh anaknya”, Talitha melakukan
tekanan demi tekanan dengan sikapnya yang
diam, senyum menjadi barang yang amat
mahal yang dapat diberikan bagi siapapun.
Segala hal, sikap atau pernyataan yang tidak
disetujui ditanggapi dengan senyum kaku
dan tatapan yang dingin menembus, Talitha
tahu, Titan amat tersiksa akan hal itu.
Talitha tengah mengontrol tatanan meja
dan kebersihan ruangan ketika seorang
karyawan tampak mengantar seorang gadis
belia menuju ke ruang tempat Titan bekerja.
Sejenak Talitha terkesiap, ia harus mengakui
betapa cantik gadis itu, postur tubuhnya
tinggi semampai dengan kulit kuning halus
tanpa cela, rambutnya melampaui batas buhu,
hitam bergelombang. Pakaiannya sederhana,
bluose putih dengan rok span berwarna
kelam, tumitnya yang jenjang dibalut sepatu
murahan, tak ada sepenggalpun perhiasan
yang berkilat pada ruas tubuhnya. Gadis
itu bahkan tak memulas wajahnya dengan
tata rias, roman mukanya jernih, bibirnya
merah tanpa gincu. Talitha menahan napas,
mungkin gadis ini adalah calon karyawan
pengganti yang pernah disebut Titan pada
waktu sarapan pagi? Untuk ukuran seorang
pelayan rumah makan ia pasti terlalu
cantik, tetapi apakah seorang gadis cantik
tidak boleh menjadi karyawan? Talitha
merasa dadanya mengombak, tiba-tiba ia
merasa sungguh gelisah. Ia telah kehilangan
kesempatan untuk melahirkan seorang anak
perempuan, karena pertengkaran dengan
Titan setelah ia memecat seorang karyawan
yang nyata-nyata berniat menyerahkan
diri terhadap sang suami. Apakah sesuatu
yang buruk akan kembali terjadi dengan
kehadiran gadis ini? Diam-diam Talitha
harus menyadari, bahwa sebenarnya ia tak
pernah berhak akan seluruh isi dunia. Ia
adalah seorang gadis jelita pada masa muda,
akan tetapi di atas langit masih ada langit,
di atas gadis jelita masih ada lagi yang lebih
jelita. Kini, bahkan si jelita telah digerogoti
umur, rasa sakit, dan kehilangan.
Talitha duduk mematung ketika gadis
itu telah menghilang di balik pintu yang
memisahkan ruang makan dan ruang kerja
Titan. Mereka hanya berdua di dalam ruangan
tertutup, entah apa yang dibicarakan, Talitha
merasa lidah api cemburu mulai membakar.
Gadis muda mana yang tak bersimpati
dengan Titan, karena penampilan, posisi,
dan kekayaannya? Wajah Talitha mulai
membeku, ketika ia menyadari sebuah
kesepakatan, bahwa ia tak berhak mengambil
keputusan apapun yang menyangkut
kinerja di rumah makan ini tanpa seijin
sang suami atau ia akan kembali terkulai
pada anak tangga pertama dengan luka
berdarah. Titan tak bermain-main dalam
mengelola rumah usahanya, sehingga ia
sering menganggap sang istri bukan apa-apa.
Talitha tak pernah tahu, bahwa sikapnya
yang beku telah menelan seluruh kecantikan
serta daya tariknya, bahwa diam-diam Titan
menyesalkan akan hal itu, terlebih karena
dalam urusan yang satu ini ia tak mampu
mengendalikan sang istri.
Di dalam ruang kerja wajah Titan seketika
berbinar ketika terdengar suara ketukan
di pintu dan tak lama kemudian seorang
karyawan datang mengantar seorang gadis
bernama Anita . Kayawan itu segera berpamit,
sehingga mereka hanya berdua di dalam
ruangan tertutup. “Selamat pagi”, gadis itu
berucap dengan suara halus, ia mengangguk
dan baru duduk setelah dipersilakan.
“Engkau pasti Anita, mari duduk,” Titan
mengamati sosok di depannya, kemarin ia
sempat terpesona ketika melihat Anita datang
untuk kali pertama dalam keadaan lelah
dan nyaris awut-awutan setelah menempuh
perjalanan. Kini, gadis itu tampil dalam
keadaan rapi, siap bekerja. Titan tak dapat
menyangkal, betapa menarik gadis yang
berniat bekerja sebagai karyawan di rumah
usahanya, dengan alasan apa ia mesti
menolak? Akan tetapi, ia tetap seorang
manager sekaligus pemilik, Titan sadar akan
harga dirinya, ia tak dapat menunjukkan
perasaan yang meluap-luap pada seorang
gadis yang baru dikenalnya. Ia punya sebuah
cara untuk membuat siapapun menyerah,
bertekuk lutut, dan berbuat apa saja sesuai
dengan rencananya. Ia tak pernah salah untuk
hal yang satu ini. Ia hanya perlu waktu.
“Saya bapa, saya datang untuk
bekerja”.
“Saya sudah bicarakan dengan Talitha,
istri saya perihal keperluanmu, istriku setuju.
Sementara engkau membantu membersihkan
meja, ruangan, dan piring-piring kotor, nanti
kami akan persiapkan pakaian seragammu,
Talitha akan mengajarimu bagaimana
melayani tamu”, Titan menekan bel, seorang
karyawan datang.
“Selamat pagi, bapak panggil saya?”
“Tolong panggil nyonya”.
“Baik bapak”.
Talitha masih duduk mematung
menghadap meja makan, ia membiarkan
tamu-tamu berdatangan tanpa perlu
menyapa, ia membiarkan para karyawan
melakukannya. Wanita itu terkejut ketika
terdengar suara, “Maaf nyonya, tuan ada
memanggil”, karyawan itu perlu bercakap
untuk yang kedua kali, sehingga sang nyonya
tersadar dengan kata-kata yang diucapkan.
Enggan langkah Talitha ketika ia berjalan
menuju ke ruang kerja Titan, darah wanita
itu tersirap ketika ia melihat sang manager
tengah duduk menghadap meja, di depannya
adalah seorang gadis yang cantik sungguh.
Talitha segera dijangkiti suasana gelisah,
suatu hal yang membuat wajahnya membeku.
Ia mengenakan stelan celana panjang dan
blazer berwarna biru laut dengan hem putih
dan hiasan bros kecil berbentuk burung
merpati. Seandainya wajah itu menjadi cerah
oleh senyuman, maka penampilannya akan
menyerupai Lara Duta, miss Universe dari
India, akan tetapi suasana hati yang tak
teduh menyebabkan seluruh daya tariknya
menghilang seakan lenyap tak bersisa. Tanpa
sadar Talitha mulai merasa suhu tubuhnya
meningkat dengan pasti, agaknya wanita itu
mulai dibakar cemburu.
“Mama, ini Anita karyawan baru,
sementara tempatkan dia di bagian dapur,
membantu memasak dan membereskan
meja. Nanti kalau seragamnya sudah jadi,
ia bisa mulai bertugas melayani tamu.
Mama atur Anita dulu, saya ada pertemuan
mendadak dengan rekan pengusaha rumah
makan. Okey, Anita ini nyonya, istriku,
kau bisa belajar bersamanya untuk menjadi
karyawan yang baik”. Titan menyambar
tas kerja dan segera berlalu meninggalkan
ruangan, ia merasa hari ini lebih bersemangat
dibanding dengan hari-hari kemarin, ia
tidak bisa mengerti mengapa tiba-tiba ia bisa
menjadi seperti ini.
Suatu saat ia akan mengerti.
Sepeninggal Titan, Anita segera merasa
kabut dingin menyergapnya, ia merasakan
tatapan tak bersahabat dari sang nyonya.
Bahasa tubuh wanita itu jelas berkata, ia
tak menghendaki kehadirannya! Anita
ingin segera terbang, tapi kemana? Ia telah
memutuskan untuk pergi ke kota, bekerja,
menerima penghasilan demi sesuap nasi hari
ini. Ternyata sesuap nasi itu menjadi barang
yang mahal sekali, sikap sang nyonya telah
menyebabkan dirinya tak berarti apa-apa.
Anita mencoba tersenyum, tetapi sorot mata
Talitha menyebabkan senyum itu menjadi
getir. Akhirnya Anita memilih diam.
Jemari lentik Talitha menekan bel, sesaat
kemudian seorang karyawan masuk, “Selamat
pagi nyonya, ada yang bisa dibantu?”
“Kau bawa karyawan baru ini ke dapur,
ajari kerja”, suara itu sama dinginnya
dengan leleran es batu. Setelah itu Talitha
mulai menempatkan diri di belakang meja,
ia tampak serius atau berpura-pura serius
menekuni lembaran kertas, cara duduknya
nyata-nyata menterjemahkan sebuah bahasa,
bahwa ia tak mau diganggu. Adapun
Anita ia merasa terlalu kecil untuk sekedar
mengganggu.
Ketika karyawan yang ditunjuk Talitha
membawa Anita menuju ke dapur, Anita
segera membau aroma masakan yang lezat
menerbitkan selera. Tiba-tiba ia merasa
lapar, ia tak pernah mencium aroma selezat
ini. Iapun masuk ke dalam relung yang
sangat besar, sebuah dapur berukuran
raksasa dengan selusin kompor gas, empat
freezer big size, bak air yang besar, rak yang
dipenuhi piring serta perlengkapan makan,
serbet, tisu, kertas makan, dan pernik-pernik
yang biasa ditampilkan di meja makan. Anita
terbengong-bengong, sementara karyawan
lain yang bekerja di tempat ini melakukan
hal yang sama dengan Anita. Mereka seakan
tengah melihat kehadiran seorang peri dari
makhluk lain, “Eh, karyawan baru, cantik
ya, pasti nyonya bakal cemburu”. Beberapa
di antara karyawan itu berbisik-bisik sambil
mengerling pada Anita. Seorang karyawan
yang tengah mencuci piring bahkan tanpa
sengaja telah memecahkan alat makan itu,
karena sepasang matanya tak berhenti
memandangi wajah manis sang pendatang
baru.
Anita menjadi demikian asing dengan
situasi di sekitarnya, ia merasa dirinya
seakan seonggok daging segar di tengah
kucing-kucing lapar yang siap menerkam.
Ia mengerti kini, agaknya kakinya telah
membawa melangkah menuju dunia yang
lebih asing dari rumah yang pernah menjadi
tempat tinggalnya. Anita semakin merasa
asing ketika ia menyadari “nyonya besar”
terus mengikuti setiap gerak lakunya. Ia
telah menjadi sosok yang harus dicurigai
tanpa sebab yang pasti, Anita tersudut.
Ketika pada suatu hari ia bertatapan dengan
sang nyonya, maka secara tiba-tiba ia merasa
dirinya terlempar ke masa silam, masa gelap
yang diliputi kebencian. Tatapan Talitha
mengingatkan Anita akan emak, perempuan
yang telah mengusirnya pergi dari rumah
tinggalnya sendiri.
Mestinya kebencian itu membebani
Anita, akan tetapi gadis itu justru merasakan
sebaliknya. Rasa benci itu ternyata melindungi
segenap diri sekaligus memberangus
ketakutannya. Anita sadar tentang perlunya
bersikap dingin, tentang perlunya keberanian
untuk melindungi diri dan hak milik dari
jarahan orang lain. Demikian, sehingga
lambat laun Anita mempunyai keberanian
untuk membalas tatapan dingin Talitha, satu
hal yang mengejutkan “nyonya besar” itu.
Sementara secara perlahan namun pasti
Anita mulai menyesuaikan diri, ia telah
mendapatkan kembali pakaian seragam.
Beberapa rok panjang bermotif batik dengan
blouse warna warna sesuai dengan motif
rok yang dikenakan. Ia mendapatkaan
pula sepasang sepatu baru, sementara
Tiur, kawan barunya memberikan bedak
dan perlengkapan kosmetik yang tak
lagi digunakan. Maka hari itu, ketika ia
mulai terampil dan santun melayani tamu,
Talitha terpana. Ia perlu meraih kembali
kesadarannya, pada lantai mana tengah
berdiri, Talitha seakan tengah berada di ruang
exekutif kapal udara dengan pramugari
yang anggun dan memukau melayani para
tamu. Setelah berulang kali mengerjabkan
mata Talitha mengerti, ia tengah berada di
ruangan rumah makan yang tengah ramai
di kunjungi para tamu, dan “pramugari”
itu adalah Anita. Betapa cantiknya gadis
itu, ia mengenakan seragam kain batik
hijau lumut dengan model panjang hingga
ke mata kaki, blouse warna senada dengan
sebuah syal lembut berwarna merah muda.
Sanggulnya yang sederhana serta tata rias
wajah yang samar-samar menyebabkan
siapapun terpesona, termasuk dirinya.
Anita tampak ramah melayani para
tamu, senyumnya lembut, tatapan matanya
terkontrol, tangannya cekatan mencatat
setiap pesanan. Para tamu tampak nyaman
dibuatnya, sekilas Talitha menangkap
percakapan Anita dengan seorang tamu.
“Siapa namamu?”
“Anita”
“Sudah lama kerja di sini?”
“Saya masih baru”
“Saya ada punya pekerjaan yang lebih
baik, ini kartu nama saya. Kalau engkau
berkeputusan bergabung, datanglah ke
alamat ini”, tamu wanita itu memberikan
selembar kartu nama kepada Anita yang
segera diterima dengan senang hati.
Talitha mengamati wanita yang
memberikan kartu nama kepada Anita,
kira-kira ia adalah “mami” yang memiliki
sebuah bar terkenal di kota ini. Talitha hapal
wajah wanita ini, ia selalu datang dengan
beberapa wanita muda berpenampilan
menggoda pada hari Rabu, hari off bagi
para PSK dalam menjalankan pekerjaan
rutin. Wanita berpenampilan menggoda
itu adalah para pekerja malam sekaligus
para PSK. Sang “mami” pasti tertarik
dengan sosok Anita, gadis itu akan menjadi
pendatang baru sekaligus ujung tombak dan
menarik kehadiran banyak tamu apabila
ia berkeputusan bekerja pada sebuah bar
terkenal. Hemmm .....
Seterusnya Talitha menempatkan diri
selaku pengawas, tak sedikitpun gerak
laku Anita dapat terlepas dari pandangan
matanya. Demikian pula ketika berulang
kali Titan mencuri pandang, dada wanita itu
serasa bergemuruh. Iapun seorang wanita, ia
paham betul arti tatapan Titan terhadap Anita.
Sungguhpun gadis itu tak pernah berlebih-
lebihan, bahkan pasif terhadap pimpinannya,
akan tetapi Talitha menjadi tidak nyaman.
Ia semakin merasa tidak nyaman ketika
menyadari, bahwa Anita selalu mengerjakan
tugasnya dengan baik, tidak pernah peduli
terhadap kecemburuannya. Agaknya, ia
mesti menyiman api di dalam sekam!
Malam itu rumah makan tutup lebih
larut dari basanya, seorang pajabat daerah
menyelenggarakan pesta perkawinan
bagi putri kesayangannya. Talitha pulang
lebih cepat dari biasa, ia merasa lelah dan
mengantuk, ia terlewat dalam mengamati
gerak laku Anita. Talitha tak mendengar
ketika Titan memberikan sebuah penawaran
pada Anita. “Mari kuantar pulang sudah
terlalu malam”, Titan membimbing Anita ke
mobil, bahkan membukakan pintunya.
Malam telah sunyi dan berembun ketika
keduanya duduk bersisihan menyusuri
keheningan, Titan membunyikan tape
recorder dengan volume kecil, cukup
terdengar bagi mereka berdua, sebuah lagu
terkenal yang dilantunkan Ricard Max. Entah
mengapa, tiba-tiba Anita merasa seakan
melayang pada sebuah ketinggian, ia merasa
demikian terhormat duduk berdampingan
dengan seorang tuan. Ia hanya seorang
karyawan biasa, apa istimewanya, tetapi ia
mendapat perlakuan yang sangat baik. Ia
memang seorang gadis desa, gagal meraih
ijazah SMA, tetapi ia bukan seorang yang
dungu untuk urusan yang satu ini.
Tanpa terasa mobil telah berhenti di
depan rumah sewa Maret, Anita tergagap
ketika Titan memberikan selembar amplop
yang nyaris menggelembung, “Kau
memerlukannya, ini hasil dari kerjamu yang
baik, tamu-tamu tampaknya senang dengan
pelayananmu. Okey, selamat istirahat”.
Tangan Anita gemetar ketika menerima
amplop itu, ia tak menyangka akan menerima
pemberian yang berlebih-lebihan dari sang
tuan. Suatu kesalahan apabila ia menolaknya,
“Terima kasih tuan, terima kasih”. Anita
mengangguk dengan takzim, membuka pintu
mobil kemudian mengatupkan kembali.
Malam semakin berembun, perlahan-lahan
Anita terjebak ke dalam khayalan.

                   ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...