Sabtu, 01 Juni 2019

SCARLET HEART RYEO --Roman di Bawah Absolut Monarki --TIGA BELAS--




Pangeran Wang So dan Pangeran Wang Wook  masih saling mengcengkeram kerah pakaian masing-masing, keduanya dibakar amarah. Tak mudah bagi Pangeran Wang Wook menerima pernyataan Pangeran Wang So, bahwa Hae Soo sekarang bukan urusannya lagi. Tak berapa lama kemudian Pangeran Wang So terhenyak, di balik pakaian seorang pangeran ternyata Wang Wook mengenakan juga baju zirah --kiranya ia tengah siap berperang.
Sementara Pangeran Baek Ah melihat perubahan dalam tatapan mata Woo Hee –seakan dua titik bara api yang tengah berkobar. Ketika Woo Hee berlari mengarahkan pedangnya ke arah Yang Mulia Raja. Pada saat yang sama Yang Mulia Raja berniat bangkit, tetapi ia menjadi sangat lemah, Yanag Mulia Raja tak lagi melihat gerakan lincah seorang penari cantik, yang tampak di depan mata adalah ribuan kunang-kunang bersliweran, wajah Sanggung Oh yang sendu kemudian segalanya menjadi gelap, langit seakan runtuh. Tubuh Yang Mulia Raja terkulai, pingsan. Pangeran Baek Ah berdiri tak bergeming di depan Woo Hee, ia mulai merasakan pedih serta merah darah  mengucur.
Sepasang mata Woo Hee terbelalak lebar, ia tak berniat melukai Baeh Ah, ia ingin membalas dendam kepada Yang Mulia Raja. Akan tetapi Raja Taejo telah terguling pingsan sebelum ia mampu melukainya. Tak seorangpun memperhatikan keduanya, semua menjadi panik, karena Yang Mulia Robih secara tiba-tiba. Tangan Woo Hee gemetar, iapun menjatuhkan pedang. Pada kesempatan pertama Pangeran Baek Ah  menendang pedang itu menjauh, “Pergilah, selamatkan hidupmu …” suara Pangeran Baek Ah parau, ia tengah berjuang melawan rasa sakit.
Semula Woo Hee ragu, ia terlambat menyadari segala seuatu yang berjalan dengan cepat, ia tak tega meninggalkan Pangeran Baek Ah, tetapi tangan pangeran itu mendorongnya. Woo hee akhirnya pergi meninggalkan Baek Ah yang berusaha keras menahan sakitnya. Tak jauh dari Pangeran Baek Ah terpaku melawan luka, Choi Ji Mong menatap ke langit, cuaca cerah tak menghalangi penampakan bintang, tetapi sang ahli tahu bintang Yang Mulia Raja semakin meredup seakan cahaya pucat lentera yang nyaris padam.
Pangeran Wang Yo dan Pangeran Wang Won panik seketika, kekacauan ini di luar semua  rencana.”Temui Wook sekarang juga!” suara Pangeran Wang Yo nyaris tak terdengar, ia tidak mengira pertunjukkan tari pedang tidak berakhir seperti segala yang telah direncanakan.
                                         ***
Di kamarnya yang serasa semakin dingin Yang Mulia Raja kembali tersadar, ia terlalu lemah sekedar untuk duduk dan berucap dengan leluasa, seluruh tulang belulang seakan menyangkal perintah supaya ia dapat kembali  berlaku selayaknya seorang raja. Kehidupan ternyata singkat adanya, Yang Mulia tidak sendiri, Choi Ji Mong dan Jenderal Park senantiasa menyertai.”Demikiankah akhir hidupku, semua sia-sia?” suara Raja Taejo seakan  isak tangis dari jeritan relung hati terdalam.
“Semua akan kembali seperti semula bila Yang Mulia berkeinginan untuk sehat”,  Jenderal Park berusaha memberikan semangat, ia dapat menyaksikan sendiri, betapa Raja Besar Wang Geon kini tak ubahnya seakan sekumpulan belulang yang tak mampu menyangga raga. Ia benar tiada daya.
Sepasang mata sayu Yang Mulia Raja menatap ke  langit-langit, ia masih dapat melihat sendu wajah Sanggung Oh. Kehilangan itu terlalu menyakiti, ia bahkan tak mampu memaafkan diri sendiri, Yang Mulia tahu waktu sudah hampir tiba.”Apa yang sudah kukerjakan dalam hidup yang singkat dan cepat ini?”suara itu seakan ditujukan bagi diri sendiri.
"Yang Mulia mendirikan sebuah kerajaan", Choi Ji Mong menjawab cepat, iapun tahu tak banyak lagi hal yang bisa dikerjakan.
"Kerajaan? Apakah Goryeo akan bertahan selamanya? Apakah aku membuat keputusan yang tepat dengan memilih putra Mahkota Moo?" Yang Mulia kini meragukan segala hal yang pernah dikerjakan. Kali ini Choi Ji Mong terdiam, andai ia mampu bercerita seribu tahun ke depan setelah Raja Besar Taejo Wang Geon membangun Goryeo. Yang Mulia tak akan pernah menduga terlebih menyaksikan, setelah sejarah yang panjang dari keturunan Wang, Goryeo akan  menjadi Korea. Salah satu negara di Asia yang terpecah menjadi dua selatan dan utara. Korea Selatan dengan kerja keras serta integritas yang kuat akan menjadi tuan rumah Olimpiade, memiliki taman bunga tulip, memproduksi Samsung, mobil, dan film. Goryeo adalah awal mula sebuah Negara besar.
“Yang Mulia telah membuat keputusan tepat, Putra Mahkota pasti akan naik tahta. Goryeo aka menjadi kerajaan yang besar”, Jenderal Park kembali memberikan semangat.
“Aku senang berteman dengan orang sepertimu, jaga dan awasi Putra Mahkota serta Pangeran ke-4”, suara Yang Mulia seakan angin yang terkulai, demikian lemah. Jenderal Park tak mampu membendung air mata.
Di tempat berbeda, tak jauh dari Yang Mulia Raja Taejo terbaring menanti ajal, Hae Soo tengah meracik teh. Sesaat dia teringat pada lamaran Pangeran Wang So, rupanya pangeran yang satu ini tidak menyerah. Bukan seperti Pangeran Wang Wook yang berlaku pengecut, menjauh, karena takut akan hukuman raja. Hae Soo nyaris terhanyut, akan tetapi akhirnya ia memilih untuk melpakan segala kenangan.
Adapun Pangeran Wang Yo, Pangeran Wang Won, dan Pangeran Wang Wook berjalan bersama ke Istana Cheondeokjeon. “Putra Mahkota tidak boleh tahu, kesehatan Yang Mulia semakin memburuk”, Pangeran Wang Yo  mengingatkan.
“Jalan keluar masuk Songak sudah ditutup, kita harus berada di samping Yang Mulia Raja saat ajal menjemput untuk mencuri wasiat terakhir dan mendapatkan kemenangan”, Pangeran Wang Wook menjawab.
Ketiga pangeran itu berniat tetap melangkah, akan tetapi sampai di halaman Istana Cheondeokjeon langkah itu terhenti. Puluhan prajurit bermunculan menghalangi langkah  ketiga pangeran. Jenderal Park maju,”Sebaiknya semua pangeran meninggalkan istana raja, Yang Mulai akan memberikan titahnya nanti”, Sang Jenderal tak ragu dengan kata-katanya.
“Kami harus melindungi Yang Mulia supaya wasiat terakhir tidak  berubah”, Pangeran Wang Yo menolak.
"Bukankah pangeran bertiga yang ingin mengubah wasiat terakhir Raja?" Jenderal Park tetap tidak ragu dengan ucapannya. "Jika pangeran tidak mau dicurigai silahkan tinggalkan istana ini. Siapapun yang berani melangkah kedalam Chendeokjeon tanpa izin Yang Mulia Raja, dia akan dibunuh sebagai pelaku pemberontakan. Tinggalkan istana pada kesempatan pertama”.
Sesaat Pangeran Wang Yo terpaku, ketika bertatapan dengan sepasang mata tajam Sang Jenderal, ia tahu, langkahnya hanya sampai di sini. Ia tidak mendapatkan ijin untuk mendampingi Yang Mulia Raja dengan alasan apapun.  Ketika Pangeran Wang Yo melangkah pergi, Pangeran Wang Yon dan Pangeran Wang Wook melakukan halserupa. Adapun Choi Ji Mong bersikukuh tidak mengijinkan  Ratu Yoo dan Ratu Hwangbo melangkah ke dalam  Istana   untuk mengunjungi serta memastikan keadaan Yang Mulia Raja. Bahkan saat Ratu Yoo mengancam, Choi Ji Mong langsung memerintahkan para prajurit untuk memagari pintu kamar Yang Mulia Raja.
“Engkau sengaja  mengulur waktu sampai Putra Mahkota datang”, Ratu Yoo menatap ahli bintang itu dengan geram sekaligus tak berdaya.  
Di dalam kamar Yang Mulia Raja, Hae Soo tengah menyeduh teh, pada saat yang sama Yang Mulia Raja terbangun.”Aroma teh ini sama harumnya dengan aroma yang  dibuat Sanggung Oh”, sesaat Raja Taejo memejamkan mata. Setahun sejak kematian mengenaskan itu, ia tak mampu menolak kehadiran bayangan Sanggung Oh. Kini ia tahu apa arti rasa cinta,  kekuatan ketika sosok itu selalu ada. Kehilangan teramat dalam  ketika ia berpulang selamanya. Dua orang ratu serta 27 selir lainnya ternyata tak memberi kekuatan apa-apa, bahkan  menjadi ancaman di akhir hari yang tersisa, mereka mengingingan tahta bagi pangeran yang dilahirkan, bukan Putra Mahkota. Yang Mulia Raja merasa dirinya sangat lemah, ia tahu hari-harinya tak akan lama lagi. “Hadirkan ke kamar ini Putra Mahkota sebelum terlambat”, Yang Mulia meminta suatu hal mendasar yang tidak bisa disampaikan kepada siapapun. “Bila keluar dari istana, akan banyak orang yang menghentikanmu. Jika ada yang bertanya perihal kesehatan raja, sampaikan kalau Yang Mulia meminta  teh. Jika ada yang bertanya apakah raja telah tiada? tetaplah berhati-hati, yang bersangkutan menginginkan tahta. Jangan mempercayai siapapun, nasib Goryeo ada di pundakmu. Adalah sebuah alasan, mengapa engkau harus ada di istana ini?" lidah Raja Taejo terasa pahit, di saat terakhir, ketika keluarga kerajaan seharusnya berdoa bagi kesehatannya, ternyata mereka menginginkan sebaliknya –kematiannya. Tahta kosong, masing-masing ratu dan pangeran memiliki rencana untuk mengisi kekosongan itu. Hidupnya terasa sia-sia, tak ada yang menangisi kematiannya. Atau, Sanggung Oh telah menunggu di alam sana. Raja Besar Taejo benar-benar merasa tiada daya.
Dengan terpincang-pincang Hae Soo melangkah keluar, meninggalkan istana. Di halaman ia melihat puluhan prajurit berjaga istana, Jenderal Park tak menghalanginya. Suasana sungguh berbeda dengan sehari-hari ketika Yang Mulia Raja masih dikaruniai kesehatan, sepenuhnya masih berkuasa memerintah. Ada yang janggal  ketika halaman Istana Chendeokjeon mesti dijaga pasukan.
Hae So bergegas meninggalkan Songak, di tengah jalan langkahnya terhenti, ia dihadang sekumpulan pengawal. Putri Yeon Hwa muncul tak lama kemudian, Hae Soo tahu, Pangeran  Wang Wook telah bertindak. Ia telah merasa curiga ketika melihat Pangeran ke-8 mengenakan baju zirah pada acara perkumpulan persahabatan. Apakah Pangeran Wang Wook berencana membunuh Yang Mulia Raja semalam?  Gadis itu bertanya-tanya dalam kebimbangan, ia tak bisa memahami jalan pikiran Pangeran Wang Wook.Tiba-tiba terdengar suara Sang Pangeran memanggil kemudian bertanya.
“Mengapa terburu-buru?”
“Yang Mulia minta dibuatkan teh, saya harus ke Damiwon”, Hae Soo menjawab singkat.
“Benarkah So mengajukan lamaran? Sejauh ini hubungan kalian berdua?”Pangeran Wang Wook tidak bisa menutupi rasa cemburu, ternyata ia harus bersaing dengan sesama pangeran untuk memperebutkan seorang gadis.
“Maaf, saya harus melaksanakan perintah Yang Mulia Raja”, Hae Soo tak kuasa  menyangkal, ia pernah mencintai pangeran ini. Adakah perasaan itu masih tersisa?  Terlintas dalam pikiran Hae Soo untuk mengabarkan kepada Pangeran Wang Wook perihal kesehatan Yang Mulia Raja yang semakin memburuk.Akan tetapi, kata-kata itu kembali tertelan sebelum terucap, karena Pangeran ke-8 tiba-tiba bertanya, "Apakah Yang Mulia Raja telah tiada ?"
Hae Soo terhenyak, berdiri kaku, peringatan Yang Mulia Raja terngiang di telinga, “Bila keluar dari istana, akan banyak orang yang menghentikanmu. Jika ada yang bertanya perihal kesehatan raja, sampaikan kalau Yang Mulia meminta  teh. Jika ada yang bertanya apakah raja telah tiada? tetaplah berhati-hati, yang bersangkutan menginginkan tahta. Jangan mempercayai siapapun, nasib Goryeo ada di pundakmu. Adalah sebuah alasan, mengapa engkau harus ada di istana ini?" Hae Soo membuang pandangan dengan kekecewaan teramat dalam,  ketika ayahanda menunggu saat-saat terakhir, Sang Pangeran bahkan tak perlu merasa kehilangan. Ia menginginkan kematian Yang Mulia, karen alasan  kekosongan tahta. "Apakah Yang Mulia ingin menjadi raja?" Hae Soo tidak perlu menjawab, sebaliknya ia bertanya.
                                ***
Tidak jauh dari tempat Hae Soo dan Pangeran Wang Wook bercakap, Putri Yeon Hwa tengah bersitegang, “Kejadian semalam tidaklah penting, Yang Mulia Raja pingsan, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapa yang akan naik tahta selanjutnya?” Putri Yeon Hwa bahkan tidak perlu merasa  bersedih, karena akan kehilangan ayahnda raja untuk selama-lamanya. Ia lebih memikirkan peruntungan bagi dirinya sendiri, tanpa perlindungan seorang raja yang berkuasa seterusnya ia bukanlah siapa-siapa.
"Sesuai dengan wasiat, penerus Raja adalah Putra Mahkota Moo", jawab Pangeran Wang So.
"Bagaimana denganmu? Apakah engkau ingin menjadi Raja?" Putri Yeon Hwa mengajukan pertanyaan sama kepada Pangeran ke-4, seperti halnya Hae Soo bertanya kepada Pangeran Wang Wook.
"Apakah engkau mengira menjadi Raja adalah sesuatu yang bisa didapat dengan mudah hanya karena menginginkannya?" Pangeran Wang So mendengus, untuk yang kesekian kali ia merasa kecewa harus  berhadapan dengan seorang putri. Yeon Hwa tak pernah  merasa akan  kehilangan seorang ayah untuk selama-lamanya, ia mementingkan kekuasaan untuk kemuliaan hidupnya –melupakan seorang raja besar tengah meregang menanti ajal.
“Engkau bisa menjadi Raja dengan bantuanku dan klan Hwangbo”, Putri Yeon Hwa yakin dengan kata-katanya, ia akan menempuh beragam cara untuk menyelamatkan seluruh hidup.
“Apa yang bisa kulakukan jika aku menjadi Raja?”Pangeran Wang So perlu mengetahui ada apa di balik semua  keinginan besar Putri Yeon Hwa.
“Seluruh dunia bisa menjadi milikmu, engkau akan memiliki segalanya”.
"Jika menjadi Raja, dapatkah aku memiliki hati seseorang? Jika benar demikian,  aku akan melakukannya. Aku akan menjadi Raja"
Di tempat berbeda Pangeran Wang Wook seakan bersitegang dengan Hae Soo, benar setahun ia telah “melupakan” nestapa gadis ini. Akan tetapi, sebenarnya ia tak pernah mampu kehilangan. Kewenangan amat terbatas untuk dapat menjangkau Hae Soo dalam perkawinan, ia harus mengakui dirinya seorang pengecut. Dan ia bukan selamanya seorang pengecut, akhirnya ia tahu, bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan Hae Soo --satu-satunya cara untuk melindungi semua orang yang ia cintai adalah dengan menduduki tempat tertinggi, menjadi seorang raja.
"Engkau bertanya apakah aku ingin menjadi Raja? Jawabnya, benar aku akan menjadi menjadi Raja", tegas jawaban Pangeran Wang Wook. Sebuah jawaban yang membuat Hae Soo terpana, karena ia tidak pernah tahu apa alasannya, ia tak pernah tahu, bahwa Pangeran Wang Wook  menginginkan semua ini untuk menyelamatkan hidupnya.
                                    ***
Ratu Yoo dan Ratu Hwangbo akhirnya diijinkan masuk ke kamar Yang Mulia Raja, keduanya seakan terjebak ke dalam relung yang teramat dingin, liang kubur yang menebar bau kematian. Akankah takdirnya sebagai ratu berakhir sampai di sini ketika seorang raja besar berpulang?  Yang Mulia Raja berbaring dengan wajah pias, ia terlalu lemah untuk mengenal kedua ratu yang datang untuk memastikan kesehatannya, atau kematiannya. Sosok yang tak pernah lesap sejak hukuman gantung itu adalah Sanggung Oh,seorang yang mencinta setulus hati sebelum ia bertahta selaku Yang Mulia Raja, seorang yang tidak pernah memanfaatkan kekuasaannya.
" Oh Soo Yeon …", redup sepasang mata Yang Mulia Raja seakan menatap bayangan Sanggung Oh berkelebat dalam pakaian serba putih.Wajah cantiknya menanti kejujuran  yang berpuluh tahun telah ia sembunyikan di balik jubah kebesaran seorang raja, ia telah menyisihkan Sanggung Oh demi singgasana. Penyesalan tak pernah datang pada waktu yang tepat, selalu terlambat ketika ia tak memiliki seluruh waktu untuk menebus kesalahan. Sesaat Yang Mulia merasakan napasnya tercekik, udara melawan bahkan melepuh, seisi ruangan menjadi kelam –semakin kelam. Seluruh warna akhirnya berubah menjadi hitam bagai genangan tinta, sakit tak terperi menyerang seluruh bagian tubuh, semakin nyeri, tak lama kemudian tubuh tua itu terkulai tanpa napas, tanpa kehidupan.
Raja Besar Taejo Wang Geon telah berpulang.   
Ratu Yoo berdiri kaku, jarum jam seakan berhenti berdetak, waktu membeku. Kematian Yang Mulia Raja berarti ia bukan lagi seorang ratu, ia akan menjadi ibu suri bila Pangeran Wang Yo berhasil menduduk tahta, tetapi Putra Mahkota adalah Pangeran Wang Mo. Hal itu berarti ia tersingkir, suatu hal pahit adalah menanggalkan jubah kebesaran seorang ratu. Permaisuri tak ingin terjebak dalam mimpi buruk seperti itu. "Yang Mulia, engkau tidak boleh meninggalkanku seperti ini, kembalilah! Engkau tidak boleh pergi seperti ini! Engkau tidak boleh membuangku seperti ini! Buka matamu! Kembalilah! Kembalilah!" suara Ratu Yoo parau bercampur isak tangis, takdirnya sebagai seorang ratu berakhri dengan kematian ini. Sungguhpun Yang Mulia Raja menganggapnya seorang perempuan serakah, tetapi kemampuannya menduduki tahta mengukuhkannya sebagai seorang ratu.  
                                       ***
Sementara Pangeran Wang Wook belum menyadari perkembangan terakhir yang terjadi sejak Yang Mulia Raja pingsan. Ia masih bersitegang dengan  Hae Soo,”Benar aku akan menjadi seorang raja untuk mendapat dirimu, hanya jika aku berkuasa, maka aku akan dapat menikahimu. Rencana itu sudah dimulai, besok aku akan menyerang Chendeokjeon bersama Yo”, Pangeran Wang Wook membocorkan rencana rahasia, ia akan mendapatkan kembali Hae Soo dengan banyak cara, termasuk menyerang Istana.
Hae Soo berdiri terpengarah, ia mengira Pangeran Wang Wook telah melupakannya. Ia tidak  mengira Sang Pangeran akan melakukan tindakan berbahaya untuk mendapatkan dirinya. “Tidak perlu pangeran menyerang istana untuk sebuah keinginan, karena akan dianggap berkhianat”, Hae Soo kembali merasa takut, nasibnya terus menerus terseret pada pusaran arus yang mengalirkan darah.
“Putra Mahkota tidak akan bisa kembali, para pangeran akan memperebutkan singgasana yang kosong. Jangan sampaikan rencana ini kepada siapapun, carilah tempat yang aman dan menunggu. Dan sekali lagi aku harus bertanya, apakah Yang Mulia Raja sudah tiada?"
Hae Soo masih berdiri terpaku dengan semua ucapan Pangeran Wang Wook, kesiur angin seolah berubah menjadi bongkahan batu, segalanya  mengejutkan dan mendirikan bulu roma. Mengapa? Kini Hae Soo cuma seorang bocah linglung yang tak mampu menjawab pertanyaan seorang pangeran. “Yang Mulia Raja meminta tambah teh”, tak ada lagi yang dapat diucapkan Hae Soo, gadis itu terpincang-pincang, berpamit pergi.
“Saat ini Putra Mahkota berada di Shahyeon, engkau tidak akan bisa menghadirkan ke istana seorang diri”, Pangeran Wang Wook cukup cerdas untuk menangkap arti kata-kata Hae Soo.’Yang Mulia Raja meminta tambahan teh’, adalah rangkaian kalimat yang tidak susah diterjemahkan, kecuali seorang raja tengah meregang nyawa, namun berkeinginan menutupi keadaan yang sebenarnya.  Hae Soo merasa tidak perlu menanggapi kata-kata Pangeran Wang Wook, seperti permintaan Yang Mulia Raja, ia  harus melakukan sesuatu, membuat teh. Gadis itupun bergegas pergi.
Dalam pada itu Putri Yeon Hwa mendengus sinis mendengar ucapan Pangeran Wang So. Pangeran ke-4 ingin menjadi Raja hanya untuk memenangkan hati seseorang? “Tahta Raja bukan ditujukan untuk hal-hal kecil yang remeh”.
“Bagiku tahta hanya untuk memenangkan sekeping hati”, Pangeran Wang So menjawab ringan. “Berikan jalan atau aku akan menganggapmu melakukan pengkhianatan”, sikap Pangeran Wang So dingin, ia tidak pernah tergugah dengan wajah jelita Putri Yeon Hwa.
“Aku hanya melakukan tugas menghalangi siapapun bepergian keluar dari ibu kota demi mencegah pemberontakan selama Yang Mulia Raja sakit. Aku tidak bisa membiarkan siapapun pergi tanpa mengetahui siapa yang akan dia bawa kembali. Sebaiknya engkau So kembali ke tempat semula”, Putri Yeon Hwa bersikukuh dengan sikapnya.
Di tempat lain, Pangeran Baek Ah belum memahami apa yang tengah berlangsung di seputar istana, ia bertemu dengan Woo Hee. Penari cantik itu merasa kesal, karena Baek Ah merusak rencananya. “Tak pernah kusangka, engkau menyamar menjadi giaseng selama ini hanya untuk membunuh Yang Mulia Raja. Mengapa engkau harus membunuhnya?  Apakah, karena dendam?”Pangeran Baek Ah bertanya, ia tak mampu membayangkan bila Yang Mulia Raja benar roboh berlumuran darah, karena tikaman pedang yang mematikan. Ia tak akan pernah bertemu Woo Hee saat ini dan seterusnya.
"Ayahmu membunuh keluargaku. Semuanya… hanya aku yang tersisa", lambat dan perlahan suara Woo Hee, ia tak bisa memadamkan dendam, karena kehilangan itu. Ia cuma seorang anak yang sebatang kara.
"Karena itukah engkau memiliki bekas luka di pergelangan tangan? Karena ayahku? Maafkan aku. Aku memohon maaf padamu atas namanya", Pangeran Baek Ah menarik Woo Hee kedalam pelukannya. Air mata Woo Hee berlinang, jernih laksana embun, gadis jelita itu berusaha memberontak dari pelukan Pangeran Baek Ah, tetapi sang pangeran semakin erat memeluknya. “Sekali lagi maafkan, aku adalah anak pembunuh keluarga Woo Hee”, Pangeran Baek Ah bisa  merasakan betapa dalam rasa kehilangan itu, ia akan menebus untuk semuanya.
                                        ***
Sementara perihal kematian Yang Mulia Raja belum lagi terkuak, masih terkunci di dalam dinding istana Cheondeokjeon. Kedua ratu masih disekap di dalam istana, tak  mampu bersuara. Pangeran Wang Yo menduga-duga, “Raja pasti sudah tiada, atau paling tidak sudah menjelang ajal”, tak ada sedikitpun kesedihan dalam suara itu. Kematian ayahanda raja berarti kekosongan tahta, ia berpeluang mengisi kekosongan itu seperti perintah ibunda.
“Tidak, Yang Mulia Raja pasti sudah lebih sehat setelah meminum teh dari Damiwon”, Pangeran Wang Jung berpendapat sebaliknya, ia tak  pernah menginginkan tahta, ia berharap akan kesehatan seorang raja.
“Dari mana engkau tahu,  kalau Raja minum teh dari Damiwon? Siapa yang menyajikan tehnya?”, Pangeran Wang Yo  menatap wajah Pangeran Wang Jung dalam-dalam, dari  mana Jung  mendengar kabar itu?
“Selera makan Yang Mulia Raja sudah kembali setelah minum teh yang disajikan Hae Soo”.
“Temukan Hae Soo sekarang juga, hentikan ia menyampaikan kesehatan Raja kepada Putra Mahkota”, Pangeran Wang Yo tahu tindakan yang harus segera dilakukan, ia tidak berniat menyia-nyiakan waktu.
Adapun Hae Soo tengah mencari Putra Mahkota di menara bintang, tetapi tempat kerja Choi Ji Mong tampak sunyi, tak ada siapapun di tempat itu. Hae Soo berlari ke arah berbeda,  di tengah jalan, ia melihat Pangeran Wang Won sedang mencarinya. Hae Soo cepat-cepat bersembunyi di balik tiang, detak jantungnya nyaris tak terkendali, ia harus berhadapan dengan rasa takut. Ketakutan itu memuncak ketika tiba-tiba ada tangan yang menariknya ke balik tembok. Hae Soo mengira ia akan segera berhadapan dengan maut, ternyata Pangeran Wang So melakukannya. Haruskah ia meragukan Pangeran ke-4?
“Yang Mulia Raja sudah berpulang, sebelum saya pergi, Raja sudah sangat lemah, kemungkinan terburuk sekarang sudah tiada. Perintah terakhir Yang Mulia Raja memanggil kembali Putra Mahkota sebelum semua orang tahu tentang kematiannya”, Hae Soo mengatakan hal yang sebenarnya, ia tak kuasa menanggung beban seorang diri.
Pangeran Wang So merasa wajahnya memucat, hatinya tercabik, ia telah kehilangan ayahanda, seorang raja. Pandangan pangeran itu menerawang jauh pada suatu tempat  yang tak akan dapat dikunjungi siapapun. Perihal sosok seorang raja, Pangeran ke-4 memiliki kenangan tersendiri.”Esok hari, Pangeran Wang Yo  berencana menyerang Istana Chendeokjeon besok”, Hae Soo menyampaikan kembali kabar yang kalah menyakiti.
“Dari mana engkau mengetahui hal itu?” Pangeran Wang So merasa jantungnya berdegup lebih kencang seakan kuda-kuda perang yang dipacu di tengah padang.
“Tidak  penting dari mana aku tahu”, Hae Soo masih merasa penting untuk melindungi Pangeran Wang Wook, ia perlu menyampaikan kabar tanpa menyebutkan sumber.
“Putra Mahkota sekarang sedang berada di Hubaekje, semua jalan tertutup. Untuk menjemputnya, harus mencari jalan keluar lain”.
"Hubaekje? Aku tahu seseorang yang mungkin tahu jalan menuju kesana”, Hae Soo tahu kemana harus menuju.
                                        ***
Pangeran Baek Ah mengejar Woo Hee setelah gadis itu melepaskan diri dari pelukannya.”Raja pingsan, tidak ada orang yang mengenalimu, tetaplah bersamaku, lupakan semua dendam…”percakapan itu tak berlanjut, karena Hae Soo dan Pangeran Wang So tergesa datang.
“Kami harus ke Hubaekje untuk menjemput Putra Mahkota, Woo Hee akan membantu sebagai penunjuk jalan”, Pangeran Wang So membuka pembicaraan.
Pangeran Baek Ah segera melindungi Woo Hee di balik punggungnya, ia mengkhawatirkan keselamatan penari itu.Pangeran Wang So menatap Woo Hee dan Hae Soo berganti-ganti, ia meragukan kesungguhan gadis itu. “Woo Hee seorang teman, ia bisa dipercaya”, Hae Soo menjawab keraguan Pangeran Wang So.
“Benar  kata Hae Soo”, Pangeran Baek Ah memberikan dukungan.
“Satu kemungkinan terburuk, Yang Mulia telah tiada”, suara Pangeran Wang SO serak, tak mudah menyampaikan kabar duka cita, tetapi harus. Di tempatnya berdiri Woo Hee terhuyung nyaris terjatuh, karena terkejut. Tanpa perlu menghunuskan pedang kiranya Raja Taejo berpulang, karena usia tua. Masihkah ia mendendam?  Sigap Pangeran Baek Ah menangkapnya.
“Esok hari Yo akan menyerang Istana Chendeokjeon. Meskipun engkau menutupi, Soo, aku tahu Wook terlibat. Baek Ah pergilah jemput Putra Mahkota, aku akan tetap di sini menghentikan penyerangan”, Pangeran Wang So membagi tugas untuk mengamankan tahta.
“Ada jalan rahasia keluar masuk Songak, mari …”Woo Hee telah pulih dari keterkejutan, ia harus membantu rencana Pangeran Wang So. Kematian Raja Taejo perlahan memupus dendam itu.
                                   ***
Pangeran Wang Wook dan Putri Yeon Hwa bertemu membicarakan kesehatan Yang Mulia Raja, “Tak ada kabar terakhir perihal kesehatan Yang Mulia, pasti keadaannya semakin memburuk. Adalah kesempatan yang baik untuk menyerang Cheondeokjeon, menjemput ibu, mengumumkan bahwa Raja menunjuk Wook sebagai penerusnya”, Putri Yeon Hwa selalu memiliki rencana pada celah yang paling sempit.
"Engkau tak punya rasa takut, mengubah wasiat terakhir Raja?" Pangeran Wang Wook mendengus, ia tidak mampu memahami kemauan adinda yang terlalu keras, bahkan serakah.
"Kita tidak boleh kehilangan segalanya karena berpikir terlalu lama, lamban bertindak", Putri Yeon Hwa bahkan tak perlu merasa kehilangan andai ayahanda berpulang, ia harus selalu berada di dekat tahta.
"Pernah kusampaikan, aku tidak mau menjadi Raja dengan sebutan pengkhianat. Tak seorangpun akan kubiarkan menikam dari belakang, kecuali tahta menjadi hak yang sebenarnya", Pangeran Wang Wook tahu, yang  berhak tahta tetap Putra Mahkota. Andai ia memiliki celah yang dapat terkuak tanpa sebutan pengkhianat, tak  perlu Yeon Hwa terus menerus membakarnya.
Putri Yeon Hwa menatap Pangeran Wang Wook bingung, ia tak dapat menyelami jalan pikiran Wang Wook yang sebenarnya. Kemarin Pangeran ke-8 mengenakan pakaian zirah saat datang istana. Sang Putri mengira Wook berada di pihak yang sama dengan Yo, ternyata Wook tidak mau membunuh Putra Mahkota. Wook hanya berpikir siapa yang paling menguntungkan untuk lebih dulu diserang, Putra Mahkota atau Pangeran ke-3?  Atau So?  Wook tidak mau membuat kesalahan apapun dalam mendapatkan tahta.
“Tampaknya sekarang engkau benar-benar menginginkan tahta. Senang melihatmu”, senyum tipis  mengembang pada bibir  merah Putri Yeon Hwa, ia akan  mendapat peranan peting ketika Wang Wook adalah seorang raja.
“Yang harus dicemaskan saat ini adalah seorang pengkhianat”, jauh dalam hati Pangeran Wang Wook merasa gamang, ia pernah melupakan Hae Soo dalam keadaan nestapa. Gadis itu tampak menyembunyikan rahasia, ia tidak terlalu dungu untuk mempercayainya.
                                 ***
“Tahta adalah kursi yang mengerikan, Yang Mulia harus berebut dengan sesama saudara. Ketika benar harus berebut, pangeran tidak akan menyakiti mereka bukan?" Hae Soo meneruskan pembicaraan dengan Pangeran Wang So, menyatakan kekhawatiran.
"Apakah engkau mengkhawatirkan Wook? Kalau masih menganggapnya sebagai kerabat, mengapa memohon padaku? engkau bisa menyaksikannya sendiri nanti", jawab Pangeran Wang So.
“Pangeran ke-8 melakukan semua ini demi diriku, pangeran merasa tak berdaya saat aku diusir dari istana, karena itulah dia menginginkan kekuasaan”, Hae Soo harus menjelaskan.
“Aku mengerti”, Pangeran Wang So dapat memahami jalan pikiran Pangeran Wang Wook.
“Aku memihak Putra Mahkota atas perintah Raja, dengan pertimbangan tetap  menjalani hidup apa adanya seperti air yang mengalir. Akan tetapi, aku tidak ingin melihat Pangeran ke-8 terluka, karena hal itu berarti sama dengan luka tak tersembuhkan seumur hidupku”, Hae Soo tak perlu berbohong kepada Pangeran Wang So.
"Aku mengerti, meski tidak bisa menjamin apapun, tapi akan berusaha. Aku juga tidak mau Wook cedera," Pangeran Wang So berjanji,  kemudian kembali bertanya, Apakah engkau tidak mengkhawatirkanku? Bukankah aku juga bisa terluka?”
“Pangeran akan selalu berada dalam keadaan baik, apapun yang akan terjadi setelah ini”, Hae Soo telah melihat masa depan, Pangeran Wang So akan menjadi Raja Gwangjong. Setelah perebutan tahtam, Pangeran ke-4 tak akan mengalami masalah apa-apa.
Samar-samar, Hae Soo melihat senyum tipis di wajah rupawan Pangeran Wang So.
                                    ***
Suasana beku seakan tanah pekuburan ketika Ratu Hwangbo berusaha membentangkan kain kafan raja pada jenazah Raja. Ratu Yoo tak mampu menerima kematian ini, “Tinggalkan kami, jangan mendekati Yang Mulia Raja”, Ratu Yoo setengah menjerit dengan suara parau, Yang Mulia berpulang tanpa mengubah wasiat, ia tahu, ia telah terbuang ke tempat yang jauh, bukan lagi seoranag ratu. Kedua ratu bersitegang, pada saat yang sama Pangeran Wang So datang untuk memberikan penghormatan terakhir.
Ratu Yoo tampak semakin kalap, ia tak menghendaki kedatangan Pangeran Wang So, ia menginginkan Pangeran Wang Yo dan Wang Jung. Dimana kedua putra tercinta? Pangeran Wang So mengeraskan hati, ia bersikap seolah Ratu Yoo tak pernah hadir, ia mendekati pembaringan tempat jenazah ayahanda raja  mulai dingin dan kaku, berlutut. Hatinya remuk, karena kehilangan yang sangat dalam, setelah  hari ini ia tak akan pernah bercakap dengan Yang Mulia lagi. Segalanya berlalu secepat tiupan angin.
“Kata-kata terakhir Yang Mulia Raja, adalah bahwa hidup itu pendek dan cepat berlalu”, suara Choi Ji Mong nyaris seperti ratapan, ia  harus menelan kenyataan pahit, ditinggalkan orang yang paling dihormati.
Diam-diam tubuh Pangeran Wang So gemetar, ayahanda raja tampak seakan seorang laki-laki tua yang  tengah terbaring dalam tidur nyenyak untuk kembali  bangkit esok hari, memerintah seisi kerajaan.  Andai Yang Mulia bukan berpulang, hanya sedang beristirahat. Ingatan Pangeran ke-4 melayang ke masa dua tahun silam.
Choi Ji Mong, ahli bintang yang menjadi kepercayaan Yang Mulia datang ke Shinju untuk memberikan topeng. Setiap tahun Yang Mulia Raja memberikan topeng baru. Ketika mencoba topeng baru, Pangeran ke-4 melihat Yang Mulia Raja sedang menatapnya dari kejauhan. Meski tanpa kata, tatapan serta topeng itu membangkitkan rasa bahagia. Ia tidak benar-benar ditinggalkan di Shinju dengan Selir Kang.
Sepasang mata Pangeran Wang So berubah seakan  pecahan kaca ketika  bangkit kemudian menutupi jenazah Yang Mulia Raja dengan helai kafan. Ia tak kuasa membendung air mata saat memerintahkan Choi Ji Mong, “Bersama Jenderal Park, pastikan berapa banyak prajurit dan senjata yang kita miliki di Chendeokjeon. Besok pagi Yo dan Wook akan memulai pemberontakan. Wasiat Yang Mulia Raja adalah menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota Moo, kita harus mengamankan wasiat itu”.
Kedua ratu nyaris terlonjak  mendengar ucapan Pangeran Wang So, seakan tersambar petir pada siang hari.”Aku tak mempercayai tuduhanmu terhadap Wook!”  Ratu Hwangbo merasa lempeng besi  menghantam tepat di kepalanya, ia tahu hukuman bagi seorang pengkhianat.
“Wook memang terlibat dalam rencana pemberontakan besok”, Pangeran Wang So tidak ragu-ragu.
“Besok Yo akan datang hanya untuk menjemputku”, Ratu Yoo langsung mencengkeram  leher Pangeran Wang So. “Bila menyentuh Yo aku akan membunuhmu  dengan tanganku sendiri!”kali ini Ratu Yo benar-benar geram, nasibnya ada di ujung tanduk. Kata-kata Wang So seakan angin puting beliung yang bersiap menggulingkannya. Dan ia Sang Ratu tak pernah ingin terguling.
"Ibunda Ratu tetap berharap hidup setelah melakukan pengkhianatan? Bukankah itu sikap yang  terlalu serakah?" suara Pangeran Wang So seakan ular mendesis, dengan yakin ia melepaskan cengkeraman tangan Ratu Yoo. Seorang ratupun tidak berhak berlaku seperti itu terhadap seorang pangeran yang telah dilahirkan.
“Yo putra kesayanganku tidak akan pernah melakukan pengkhianatan”, Ratu Yoo menjerit kalap, iapun tahu hukuman bagi seorang pengkhianat.
“Yang Mulia Ratu lebih baik diam, anak-anak dalam bahaya. Satu hal yang harus kita lakukan adalah  menyelamatkana mereka”, Ratu Hwangbo tampak lebih tenang, ia tidak serakah seperti halnya Ratu Yoo. Ia lebih memikirkan keselamatan Wang Wook.
                                  ***
Dalam perjalanan  menemui Putra Mahkota, Woo Hee melihat Pangeran Baek Ah tampak kesakitan pada luka bekas tusukan.”Lebih baik kita beristirahat”, keduanyapun duduk, menyalakan api unggun.
“Maaf, aku tak bermaksud menyembunyikan jati diri sebagai pangeran”, Pangeran Baek Ah merasa perlu meminta maaf.
“Akupun meminta maaf, karena menyamar sebagai penari pedang”, Woo Hee mengakui kesalahan yang sama.
“Apa yang akan terjadi pada kehidupan ini jika aku hanyalah seorang pemusik biasa dan engkau adalah seorang gisaeng. Apakah hubungan kita akan berbeda jika demikian keadaannya?”Pangeran Baek Ah bertanya.
“Istirahatlah, besok kita akan sampai ke Hubaekje, kampung halamanku. Kemudian kita akan berpisah,  tidak akan ada alasan untuk bertemu”, jawaban yang menyebabkan kepala Baek Ah terasa berat, ia tak sanggup kehilangan gadis ini apapun yang pernah terjadi.
“Jika kita takkan pernah bertemu lagi, malam ini bolehkah aku melakukan apapun yang kuinginkan?" tanpa menunggu jawaban, Pangeran Baek Ah mendekat  mencium lembut pipi Woo Hee. Di depan keduanya api unggun terus menyala, lidahnya yang panas menjilat gelap malam.
                                    ***
Keesokan harinya, Pangeran Wang Yo dan Pangeran Wook membawa ratusan prajurit ke Istana Cheondeokjeon. Aneh, suasana di seputar istana tampak lengang, seolah seorang raja tak pernah menetap di tempat ini. “Setengah pasukan pasti  pergi bersama Putra Mahkota,  sekalipun mereka dalam perjalanan pulang, mereka pasti akan terlambat”, Pangeran Wang Wook berbisik. "Jika Pangeran ke-4 mencoba menghentikan kita, bunuh", Pangeran Wang Wook telah siap mengenakan pakaian zirah.
“Aku memang sudah berencana membunuh So”, Pangeran Wang Yo menyetujui bisikan Pangeran Wang Wook, So adalah duri dalam daging.
Dua pangeran itu kemudian berjalan melewati gerbang istana, dibalik pintu gerbang Pangeran Wang So dan Jenderal Park telah menunggu. Dari kejauhan Pangeran Wang Wook melihat sosok Hae Soo, Sang Pangeran ragu, sesaat kemudian keraguan itu sirna. Penampilan gadis itu selalu menggetarkan hati, ia siap bertempur hidup mati untuk mendapatkannya.
“Anda berdua telah melakukan pemberontakan!” menggelegar suara Jenderal Park, ia tak menyangka suatu saat akan  berhadapan dengan para pangeran dalama keadaan seperti ini.
“Kami untuk menjemput dua ibunda ratu yang sudah ditahan beberapa hari di istana ini. Lepaskan ibunda ratu, atau aku akan menganggap anda berdua berusaha merebut tahta!” suara Pangeran Wang Yo tak kalah keras sambil menghunus pedang.
Akan tetapi, Pangeran Wang Wook terlebih dahulu maju dihadang Paangeran Wang So, keduanya sama-sama kuat, saling menyerang dan bertahan. Tak lama kemudian pertarungan terhenti, anak panah melesat dengan cepat dari atap istana menyerang pasukan Pangeran Wang Yo dan Wang Wook. Semakin lama  semakin banyak prajurit istana berdatangan.
Pangeran Wang So telah bersiap menyerang kembali Pangeran Wang Wook, tetapi tiba-tiba Putra Mahkota datang bersama Pangeran Baek Ah. “Kembali ke dalam!” perintah Pangeran Wang Yo kepada Pangeran Wang Wook. Akan tetapi, Pangeran Wang Yo tertegun, Wang Wook tak mengikuti perintahnya, ia bahkan  mengarahkan pedang tepat di lehernya.”Apakah engkau telah berkhianat?”
“Aku tak pernah mengkhianati siapa-siapa, sejak awal kita tak pernah berada di pihak yang sama”, pandangan Pangeran Wang Wook sedingin bungkahan es di musim dingin, ia memang tak pernah ingin berkhianat, ia hanya  ingin mendapatkan perkawinan dengan seorang gadis yang dicintai. Kalaulah harus didapat dengan menduduki tahta, tetapi bukan dengan cara berkhianat.
“Aku sudah mendengar rencana Yo dari Wook, aku mempercayai Pangeran ke-8”, Putra Mahkota terlalu baik untuk dapat mengetahui isi hati orang di balik penampilannya yang tampan. Adakah ia dapat memahami pikiran Pangeran ke-8? Pangeran Wang So mendengar percakapan ini, ia terdiam, senyumnya terasa masam. Benarkah Putra Mahkota harus mempercayai Wang Wook?
Dengan pahit akhirnya Pangeran Wang Yo menyerah, tapi benarkah kisah hidupnya hanya sampai di sini? Pada saat yang sama Choi Ji Mong akhirnya  menampakkan diri dengan satu pengumuman resmi, “Yang Mulia Raja telah berpulang dengan  wasiat terakhir menunjuk Putra Mahkota Moo sebagai pewaris tahta”.
Pengumuman ini menyebabkan Putra Mahkota terjungkal dalam rasa duka dan kehilangan, ia tergesa hendak melangkah ke dalam istana untuk memastikan keadaan yang Mulia Raja. Akan tetapi, Pangeran Wang Wook tiba-tiba berlutut di hadapannya, mengucap, "Salam kepada Raja Baru, Yang Mulia. Hidup Raja! Hidup Raja! Hidup Raja!"
Pangeran Wang So melakukan hal serupa, berlutut memberikan hormat, maka semua prajurit yang hadir berlutut di hadapan raja baru, bersorak "Hidup Raja! Hidup Raja! Hidup Raja!" di pihak yang lain Putra Mahkota terdiam, segalanya berlalu cepat seakan mimpi. Waktu selalu tergesa  berpacu, ia kehilangan sekaligus mendapatkan kemuliaan tanpa pernah meminta. Akan tetapi, karena Yang Mulia Raja menitahkannya.
Kemudian seluruh perhatian tertuju pada satu titik, ialah ketika tiba-tiba Ratu Yoo melangkah terhuyung-huyung  menampakkan diri dengan penampilan nyaris tak dikenali. Dalam waktu semalam seluruh rambutnya telah memutih, rambut itu terurai layaknya sesosok hantu yang menakutkan. Sang Ratu mengira seluruh hidupnya telah berakhir, terlebih ketika ia  harus melihat putra tercinta, Pangeran Wang Yo ditangkap atas tuduhan pengkhianatan. Seluruh tubuh Ratu Yoo terasa lemas seakan kehilanga seluruh tulang belulang.
Beberapa saat kemudian, Pangeran Wang Wook, Wang Won, Wang Jung, dan Putri Yeon Hwa melihat jenazah ayahanda raja. Pangeran Wang Jung tampak paling terpukul, wajahnya yang manis tampak pias.Yang Mulia Raja berpulang sementara para pangeran berperang merebut tahta, tidak merasa hormat dengan wasiat terakhirnya. Sementara Putri Yeon Hwa menatap jenazah yang terbaring dengan dingin, dalam hatinya bersumpah pada mendiang ayahanda, ‘Saya akan selalu mengendalikan kerajaan ini”.
Sementara Pangeran Wang Eun berkeras  menghadiri pemakaman Raja, tetapi Park Soon Duk bersikeras menghalangi. “Katakanlah engkau sakit parah, meskipun dalam keadaan sehat. Sebaiknya tidak usah menghadiri pemakaman, tidak pula  menghadiri penobatan Raja. Hanya dengan cara demikian Engkau akan hidup”, Park Soon Duk berusaha memakaikan baju zirah miliknya untuk melindungi Pangeran Wang Eun, tetapi Pangeran Wang Eun menolak.
“Aku sama sekali tidak mengerti kekhawatiranmu”, Pangeran Wang Eun bahkan merasa heran dengan sikap Park Soon Duk.
“Hal pertama kali yang dilakukan setiap Raja baru adalah membunuh para saudaranya yang berpotensi mengancam tahta”, Park Soon Duk menjelaskan.
Pangeran Wang Eun tersedak dengan jawaban itu, benarkah keselamatannya berada di ujung tanduk, ia bahkan tidak pernah bermimpi untuk duduk di singgasana. Sekali lagi Park Soon Duk berusaha mengenakan pakaian zirah bagi Pangeran Wang Eun, tetapi Sang Pangeran tetap bersikeras menolak. “Aku tidak perlu mengenakan pakaian zirah seorang istri hanya untuk menyelamatkan hidupku sendiri”, serangkaian kata yang menyebabkan Park Soon Duk merasa senang.
"Apakah kita harus mati bersama?" Park Soon Duk bertanya.
"Mengapa pula aku harus mati bersamamu?" suara Pangeran Wang Eun ketus, kali ini rangkaian kata menyebabkan Park Soon Duk terbuang."Mengapa pula kita harus mati? Kita harus, hidup bersama. Hidup dan mati itu siapa yang tahu, aku lebih suka kita tidak mati bersama. Kita sudah menikah. Jadi tidak seharusnya kita mati sendirian", dalam sekejab perasaan terbuang Park Soon Duk berubah menjadi haru sekaligus bahagia. Ia membuang pakaian zirah kemudian  memeluk Pangeran Wang Eun erat-erat. Sang Pangeran sama sekali tak menolaknya.
                              ***
Hae Soo menatap Pangeran Wang Wook dengan tatapan sulit ditafsirkan, tak mudah mengatasi rasa kecewa, “Ternyata Pangeran berada di pihak Putra Mahkota. Apakah kebohongan ini disengaja untuk menguji keyakinanku?”Hae Soo bahkan tidak percaya Pangeran Wang Wook dapat bertindak seperti itu.
“Ternyata engkau tetap menemui So”, Pangeran Wang Wook tersuruk dalam kekecewaan yang sama, mengapa harus hadir pangeran lain dalam kehidupan Hae Soo?
“Adakah Pangeran berencana membunuh So?”, detak jantung Hae Soo berpacu seakan curahan air terjun.
“Engkau mengira aku berbohong saat berkata, kalau aku ingin menjadi raja? Apa salahnya membunuh orang yang bisa menjadi penghalangnya?” suara Pangeran Wang Wook datar, seakan membunuh saudara satu ayah bukanlah suatu hal yang salah.
“Engkau sudah  berubah, bukan seorang Pangeran yang pernak kukenal”, Hae Soo merasa tenggorokannya kering, tercekik. Pangeran Wang Wook pasti tahu, betapa ia terjerembab ke dalam penderitaan, karena kematian Sanggung Oh yang mengorbankan diri bagi  keselamatnya. Kini, Pangeran Wang Wook tega memanfaatkannya untuk membunuh Pangeran ke-4.apa yang sesungguhnya menjadi keinginan Pangeran ke-8?
"Engkau tidak jujur kepadaku? Aku berharap engkau akan menyampaikan, Raja telah meninggal. Engkau tidak peduli aku akan hidup atau mati", Pangeran Wang Wook harus menelan kenyataan pahit, satu-satunya gadis yang dicintainya tak memeprcainya pada saat yang paling genting. Pada saat ia membutuhkan kejujurannya.
"Yang Mulia Raja memintaku membantu Putra Mahkota menjadi raja berikutnya.  Aku tidak bisa menentang Yang Mulia Raja. Pangeran ke-4  sudah berjanji tidak akan melukai atau membunuhmu", Hae Soo harus memberikan alasan kuat.
“Mengapa harus memohon kepada So untuk keselamatkanku?”Pangeran Wang Wook semakin kecewa, ternyata Hae Soo banyak menyembunyikan hal yang sangat penting dan mendasar. Dimana sebenarnya gadis ini berpihak?
“Ingatkah apa yang pernah Pangeran  katakan?  Kita bisa pergi dari Songak dan hidup bahagia.Kita bisa melakukannya sekarang, jika Pangeran memohon kepada Raja baru, Yang Mulia pasti akan mengabulkan”, perlahan Hae Soo berjalan mendekat, ia sangat berharap Wang Wook akan mengatakan “ya”. Dalam sekejab harapan itu kandas, Pangeran Wang Wook benar telah berubah, ada banyak hal tidak diketahui yang mengubahnya.
“Andai kita pergi dari Songak sekarang, mendapat ijin dari Yang Mulia untuk menikah, maka akan muncul masalah baru. Tidak ada cara lain lag, kecuali mendapatkan tahta”, Pangeran Wang Wook akhirnya menyadari, betapa penting arti kekuasaan, ia akan dapat merengkuh seluruh isi dunia. Pendapat Ibunda Ratu Hwangbo dan Putri Yeon Hwa benar adanya. Ia bukan hanya dapat menikah dengan satu-satunya gadis yang dicintai, ia akan dapat melindungi seluruh klan Hwangbo.
Sekali  lagi Hae Soo dihantam rasa kecewa, kenangan serta harapan indah untuk hidup bersama dengn Pangeran Wang Wook telah lama berkeping. Kini kepingan itu semakin hancur tak berbentuk. Langkah Hae Soo kembali undur ke belakang, lidahnya terasa  getir, ia telah kehilangan Wang Wook. "Engkau katakan akan menjadi raja, karena aku. Ternyata semua hanya alasan untuk sebab  yang tak pernah aku tahu. Engkau membalik semua harapan, sudahlah. Jarak antara kita kini benar-benar ada …”Hae Soo menahan genangan air mata.
"Apakah karena Pangeran ke-4?" Pangeran Wang Wook dibakar cemburu, ia tak pernah tahu Hae Soo hanya mengasihi Pangeran Wang So, tak pernah mencintai. Pangeran ke-8 hanya mampu melihat segala yang tampak,ia tak mampu memahami isi hati Hae Soo. Suatu hal yang fatal.
"Ternyata Pangeran ke-8 tidak  pernah mempercayaiku, tidak pernah sedidkitpun  mempercayai perasaanku?  Mengapa harus?" Hae Soo  menelan harapan yang semakin pupus, Pangeran Wang Wook benar telah berubah, ia terjebak dalam sebuah keinginan serta kewajiban yang tak dapat dimengerti.
“Aku pasti akan membuatmu kembali kepadaku”, kiranya Pangeran Wang Wook  masih memiliki harapan itu dengan suatu cara yang tidak mudah difahami Hae Soo.
“Suatu hal yang akan berubah menjadi sulit”, Hae Soo melangkah gontai,  kepalanya menunduk. Ia harus membuang jauh-jauh harapan untuk hidup bersama dengan pangeran tercinta. Ia seakan helai daun kering yang lerai dari ranting ditelantarkan angin musim.
Pangeran Wang Wook menatap sosok yang semakin menjauh, tak sedikitpun perasaannya dengan Hae Soo berubah. Ia masih  ingin memiliki gadis itu dengan suatu cara, upaya sia-sia yang akan berakhir dengan perpisahan. Sesaat kemudian Pangeran ke-8 melangkah ke arah berlawanan. Tatapan matanya setajam pedang, ia tahu tak ada cara lain  untuk mendapatkan semuanya, kecuali satu-satunya, ia telah bertekad.
                                   ***
Sementara Pangeran Wang Yo melarikan diri kemudian diburu oleh para prajurit istana. Pangeran Wang So dan Pangeran Wang Wook ikut serta dalam pengejaran itu hingga mereka berhasil menyudutkannya di tepi jurang. Tak ada pilihan lain, Pangeran Wang Yo berusaha melawan para prajurit.Pangeran Wang Wook bersiap membidikkan anak panah, tetapi Pangeran Wang So menahan tangannya. “Ia seorang pangeran, buka satwa liar”.
Pangeran Wang Yo terus melawan, mengayunkan pedang, menebas satu demi satu  prajurit kerajaan yang menyerang.Pangeran Wang Jung datang tak lama kemudian, “Biarkan aku  bicara dengan Yo”, wajah Pangeran Wang Jung yang manis tampak tegang.
“Jangan, engkau bukan lawannya, engkau tak akan sanggup melawan saudaramu sendiri”, Pangeran Wang So memberikan peringatan kemudian bersiap menghadapi Pangeran Wang Yo.
“Yo menyerahlah”, Pangeran ke-4 meminta, ia tak menginginkan pertumpahan darah di antara keluarga.
“Tidak!” Pangeran Wang Yo menolak, wajahnya merah padam.
Pangeran Wang So tak  memiliki pilihan berat, kecuali menghunus pedang, melucuti pedang Pangeran Wang Yo, melakukan tindakan  berani, menusuk dada pangeran yang kalap itu kemudian mendorongnya ke tempat  yang genting. Luka di dada Pangeran Wang Yo sebenarnya tidak terlalu dalam, ia kembali  mencoba melawan. Tanpa dapat ditahan sekali lagi Pangeran Wang So menebaskan pedangnya , Pangeran Wang Yo terhenyak dengan luka menganga. Pangeran Wang So tak kalah terkejut, ia tak mampu mempercayai tindakannya sendiri. Keseimbangan tubuh Pangeran Wang Yo berguncang, pangeran itu tampak limbung dengan wajah memucat. Satu jengkal langkah ke belakang menganga jurang, Pangeran Wang So  mengulurkan tangan, ia tak  menghendaki kematian Wang Yo, ia hanya ingin pangeran itu menyerah. Akan tetapi terlambat, setelah darah mengucur dari luka menganga, tubuh Pangeran Wang Yo roboh bagai tersedot kekuatan dari dasar bumi, terpelanting ke mulut jurang dengan satu jerit kesakitan.
Sesaat suasana hening bahkan anginpun terbungkam, Pangeran Wang Jung menatap Pangeran Wang So dalam amarah dan  kekecewaan yang dalam. Wajahnya berubah antara pucat dan merah bara, tak mudah menerima kenyataan Pangeran Wang Yo mengakhiri hidupnya dengan mengerikan. Sepasang mata Pangeran Wang Jung berubah seakan kobaran api kala menatap Pangeran Wang So, mengapa antara saudara harus saling membunuh? Pangeran Wang Jung merasa seluruh tubuhnya bergetar, ia harus menyaksikan tragedy mengerikan ini. Mengapa?
Langkah Pangeran Wang Jung gontai ketika kembali ke istana, suaranya seakan isak tangis ketika mengabarkan kepada ibunda Ratu Yoo,”So menikam Yo hingga terjatuh ke dasar jurang. Yo telah mati …”dada Pangeran Wang Jung terasa sesak seakan sebongkah batu menekan diam-diam tanpa kenal ampun.
“Apa?! Tidak! Wang Yo tidak mati di dasar jurang! Mengapa So melakukannya?!” Ratu Yoo  menjerit nyalang, ia menolak untuk mempercayai kabar itu, tidak mungkin Yo mati di dasar jurang. Ratu Yoo merasa bara dalam sekam yang menyala di relung hati kini berkobar-kobar, ia tahu arti kesumat dendam kepada pangeran bertopeng. Ia tak akan pernah dapat memaafkan Wang So.
Sementara Pangeran Wang So mengalami pukulan tak kalah  menyakitkan, ia tak  ingin melukai, terlebih mendesak Pangeran Wang Yo hingga tersungkur ke dasar jurang. Apakah Yo telah mati? Apakah ibunda Ratu Yoo akan memaafkan? Seisi kepala seakan diamuk badai. Pangeran ke-4 perlu hening, sendiri. Ia harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Seburuk apa  kemungkinan  itu?
Hae Soo mendapati Sang Pangeran tengah melamun di tepi danau, sosoknya yang lesu menggambarkan penyesalan serta kesedihan teramat dalam. Wajah tampan itu segelap mendung, terlalu gelap, sehingga tiupan sepoi angin sudah cukup untuk menggugurkan  menjadi rinai hujan. “Apa yang berlaku?”suara Hae Soo lembut, ia  perlu merasa cemas.
“Engkau tidak akan pernah memaafkan kesalahan itu, hanya memahaminya”, sejenak hening, angin seakan enggan bertiup. Hae Soo bisa  merasakan kegelisahan itu. “Aku menikam Yo, ia terjatuh ke dasar jurang…" maka gelap mendung pada wajah rupawan itu akhirnya bercucuran  menjadi hujan. Ia bukan hanya merasa kehilangan, tetapi juga ngeri membayangkan kemarahan ibunda ratu. Ia tak akan pernah meminta maaf, karena ibunda Ratu Yoo tak akan pernah memaafkannya. Ia benar seorang pangeran yang terbuang.
Hae Soo terdiam seakan tersedot terlalu jauh ke dalam duka hati seorang pangeran, ia berusaha memahami kesalahan itu dengan menepuk-nepuk bahu Pangeran Wang So. Akan tetapi, air mata Pangeran Wang So terus mengucur seakan hujan lebat setelah kemarau yang teramat panjang. Ternyata seorang pangeran Goryeo yang dijuluki anjing srigala dapat pula menangis. Hae Soo tak punya pilihan lain, ia merangkul Pangeran Wang So ke dalam pelukan, membiarkan Pangeran ke-4 meluapkan kesedihan.


Bersambung ke Episode 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...