Pangeran Wang So dan Pangeran Wang Wook masih saling
mengcengkeram kerah pakaian masing-masing, keduanya dibakar amarah. Tak
mudah bagi Pangeran Wang Wook menerima pernyataan Pangeran Wang So,
bahwa Hae Soo sekarang bukan urusannya lagi. Tak berapa lama kemudian
Pangeran Wang So terhenyak, di balik pakaian seorang pangeran ternyata
Wang Wook mengenakan juga baju zirah --kiranya ia tengah siap berperang.
Sementara Pangeran Baek Ah melihat perubahan dalam tatapan mata
Woo Hee –seakan dua titik bara api yang tengah berkobar. Ketika Woo Hee
berlari mengarahkan pedangnya ke arah Yang Mulia Raja. Pada saat yang
sama Yang Mulia Raja berniat bangkit, tetapi ia menjadi sangat lemah,
Yanag Mulia Raja tak lagi melihat gerakan lincah seorang penari cantik,
yang tampak di depan mata adalah ribuan kunang-kunang bersliweran, wajah
Sanggung Oh yang sendu kemudian segalanya menjadi gelap, langit seakan
runtuh. Tubuh Yang Mulia Raja terkulai, pingsan. Pangeran Baek Ah
berdiri tak bergeming di depan Woo Hee, ia mulai merasakan pedih serta
merah darah mengucur.
Sepasang mata Woo Hee terbelalak lebar, ia tak berniat melukai
Baeh Ah, ia ingin membalas dendam kepada Yang Mulia Raja. Akan tetapi
Raja Taejo telah terguling pingsan sebelum ia mampu melukainya. Tak
seorangpun memperhatikan keduanya, semua menjadi panik, karena Yang
Mulia Robih secara tiba-tiba. Tangan Woo Hee gemetar, iapun menjatuhkan
pedang. Pada kesempatan pertama Pangeran Baek Ah menendang pedang itu
menjauh, “Pergilah, selamatkan hidupmu …” suara Pangeran Baek Ah parau,
ia tengah berjuang melawan rasa sakit.
Semula Woo Hee ragu, ia terlambat menyadari segala seuatu yang
berjalan dengan cepat, ia tak tega meninggalkan Pangeran Baek Ah, tetapi
tangan pangeran itu mendorongnya. Woo hee akhirnya pergi meninggalkan
Baek Ah yang berusaha keras menahan sakitnya. Tak jauh dari Pangeran
Baek Ah terpaku melawan luka, Choi Ji Mong menatap ke langit, cuaca
cerah tak menghalangi penampakan bintang, tetapi sang ahli tahu bintang
Yang Mulia Raja semakin meredup seakan cahaya pucat lentera yang nyaris
padam.
Pangeran Wang Yo dan Pangeran Wang Won panik seketika,
kekacauan ini di luar semua rencana.”Temui Wook sekarang juga!” suara
Pangeran Wang Yo nyaris tak terdengar, ia tidak mengira pertunjukkan
tari pedang tidak berakhir seperti segala yang telah direncanakan.
***
Di kamarnya yang serasa semakin dingin Yang Mulia Raja kembali
tersadar, ia terlalu lemah sekedar untuk duduk dan berucap dengan
leluasa, seluruh tulang belulang seakan menyangkal perintah supaya ia
dapat kembali berlaku selayaknya seorang raja. Kehidupan ternyata
singkat adanya, Yang Mulia tidak sendiri, Choi Ji Mong dan Jenderal Park
senantiasa menyertai.”Demikiankah akhir hidupku, semua sia-sia?” suara
Raja Taejo seakan isak tangis dari jeritan relung hati terdalam.
“Semua akan kembali seperti semula bila Yang Mulia berkeinginan
untuk sehat”, Jenderal Park berusaha memberikan semangat, ia dapat
menyaksikan sendiri, betapa Raja Besar Wang Geon kini tak ubahnya seakan
sekumpulan belulang yang tak mampu menyangga raga. Ia benar tiada daya.
Sepasang mata sayu Yang Mulia Raja menatap ke langit-langit,
ia masih dapat melihat sendu wajah Sanggung Oh. Kehilangan itu terlalu
menyakiti, ia bahkan tak mampu memaafkan diri sendiri, Yang Mulia tahu
waktu sudah hampir tiba.”Apa yang sudah kukerjakan dalam hidup yang
singkat dan cepat ini?”suara itu seakan ditujukan bagi diri sendiri.
"Yang Mulia mendirikan sebuah kerajaan", Choi Ji Mong menjawab cepat, iapun tahu tak banyak lagi hal yang bisa dikerjakan.
"Kerajaan? Apakah Goryeo akan bertahan selamanya? Apakah aku
membuat keputusan yang tepat dengan memilih putra Mahkota Moo?" Yang
Mulia kini meragukan segala hal yang pernah dikerjakan. Kali ini Choi Ji
Mong terdiam, andai ia mampu bercerita seribu tahun ke depan setelah
Raja Besar Taejo Wang Geon membangun Goryeo. Yang Mulia tak akan pernah
menduga terlebih menyaksikan, setelah sejarah yang panjang dari
keturunan Wang, Goryeo akan menjadi Korea. Salah satu negara di Asia
yang terpecah menjadi dua selatan dan utara. Korea Selatan dengan kerja
keras serta integritas yang kuat akan menjadi tuan rumah Olimpiade,
memiliki taman bunga tulip, memproduksi Samsung, mobil, dan film. Goryeo
adalah awal mula sebuah Negara besar.
“Yang Mulia telah membuat keputusan tepat, Putra Mahkota pasti
akan naik tahta. Goryeo aka menjadi kerajaan yang besar”, Jenderal Park
kembali memberikan semangat.
“Aku senang berteman dengan orang sepertimu, jaga dan awasi
Putra Mahkota serta Pangeran ke-4”, suara Yang Mulia seakan angin yang
terkulai, demikian lemah. Jenderal Park tak mampu membendung air mata.
Di tempat berbeda, tak jauh dari Yang Mulia Raja Taejo
terbaring menanti ajal, Hae Soo tengah meracik teh. Sesaat dia teringat
pada lamaran Pangeran Wang So, rupanya pangeran yang satu ini tidak
menyerah. Bukan seperti Pangeran Wang Wook yang berlaku pengecut,
menjauh, karena takut akan hukuman raja. Hae Soo nyaris terhanyut, akan
tetapi akhirnya ia memilih untuk melpakan segala kenangan.
Adapun Pangeran Wang Yo, Pangeran Wang Won, dan Pangeran Wang
Wook berjalan bersama ke Istana Cheondeokjeon. “Putra Mahkota tidak
boleh tahu, kesehatan Yang Mulia semakin memburuk”, Pangeran Wang Yo
mengingatkan.
“Jalan keluar masuk Songak sudah ditutup, kita harus berada di
samping Yang Mulia Raja saat ajal menjemput untuk mencuri wasiat
terakhir dan mendapatkan kemenangan”, Pangeran Wang Wook menjawab.
Ketiga pangeran itu berniat tetap melangkah, akan tetapi sampai
di halaman Istana Cheondeokjeon langkah itu terhenti. Puluhan prajurit
bermunculan menghalangi langkah ketiga pangeran. Jenderal Park
maju,”Sebaiknya semua pangeran meninggalkan istana raja, Yang Mulai akan
memberikan titahnya nanti”, Sang Jenderal tak ragu dengan kata-katanya.
“Kami harus melindungi Yang Mulia supaya wasiat terakhir tidak berubah”, Pangeran Wang Yo menolak.
"Bukankah pangeran bertiga yang ingin mengubah wasiat terakhir
Raja?" Jenderal Park tetap tidak ragu dengan ucapannya. "Jika pangeran
tidak mau dicurigai silahkan tinggalkan istana ini. Siapapun yang berani
melangkah kedalam Chendeokjeon tanpa izin Yang Mulia Raja, dia akan
dibunuh sebagai pelaku pemberontakan. Tinggalkan istana pada kesempatan
pertama”.
Sesaat Pangeran Wang Yo terpaku, ketika bertatapan dengan
sepasang mata tajam Sang Jenderal, ia tahu, langkahnya hanya sampai di
sini. Ia tidak mendapatkan ijin untuk mendampingi Yang Mulia Raja dengan
alasan apapun. Ketika Pangeran Wang Yo melangkah pergi, Pangeran Wang
Yon dan Pangeran Wang Wook melakukan halserupa. Adapun Choi Ji Mong
bersikukuh tidak mengijinkan Ratu Yoo dan Ratu Hwangbo melangkah ke
dalam Istana untuk mengunjungi serta memastikan keadaan Yang Mulia
Raja. Bahkan saat Ratu Yoo mengancam, Choi Ji Mong langsung
memerintahkan para prajurit untuk memagari pintu kamar Yang Mulia Raja.
“Engkau sengaja mengulur waktu sampai Putra Mahkota datang”,
Ratu Yoo menatap ahli bintang itu dengan geram sekaligus tak berdaya.
Di dalam kamar Yang Mulia Raja, Hae Soo tengah menyeduh teh,
pada saat yang sama Yang Mulia Raja terbangun.”Aroma teh ini sama
harumnya dengan aroma yang dibuat Sanggung Oh”, sesaat Raja Taejo
memejamkan mata. Setahun sejak kematian mengenaskan itu, ia tak mampu
menolak kehadiran bayangan Sanggung Oh. Kini ia tahu apa arti rasa
cinta, kekuatan ketika sosok itu selalu ada. Kehilangan teramat dalam
ketika ia berpulang selamanya. Dua orang ratu serta 27 selir lainnya
ternyata tak memberi kekuatan apa-apa, bahkan menjadi ancaman di akhir
hari yang tersisa, mereka mengingingan tahta bagi pangeran yang
dilahirkan, bukan Putra Mahkota. Yang Mulia Raja merasa dirinya sangat
lemah, ia tahu hari-harinya tak akan lama lagi. “Hadirkan ke kamar ini
Putra Mahkota sebelum terlambat”, Yang Mulia meminta suatu hal mendasar
yang tidak bisa disampaikan kepada siapapun. “Bila keluar dari istana,
akan banyak orang yang menghentikanmu. Jika ada yang bertanya perihal
kesehatan raja, sampaikan kalau Yang Mulia meminta teh. Jika ada yang
bertanya apakah raja telah tiada? tetaplah berhati-hati, yang
bersangkutan menginginkan tahta. Jangan mempercayai siapapun, nasib
Goryeo ada di pundakmu. Adalah sebuah alasan, mengapa engkau harus ada
di istana ini?" lidah Raja Taejo terasa pahit, di saat terakhir, ketika
keluarga kerajaan seharusnya berdoa bagi kesehatannya, ternyata mereka
menginginkan sebaliknya –kematiannya. Tahta kosong, masing-masing ratu
dan pangeran memiliki rencana untuk mengisi kekosongan itu. Hidupnya
terasa sia-sia, tak ada yang menangisi kematiannya. Atau, Sanggung Oh
telah menunggu di alam sana. Raja Besar Taejo benar-benar merasa tiada
daya.
Dengan terpincang-pincang Hae Soo melangkah keluar,
meninggalkan istana. Di halaman ia melihat puluhan prajurit berjaga
istana, Jenderal Park tak menghalanginya. Suasana sungguh berbeda dengan
sehari-hari ketika Yang Mulia Raja masih dikaruniai kesehatan,
sepenuhnya masih berkuasa memerintah. Ada yang janggal ketika halaman
Istana Chendeokjeon mesti dijaga pasukan.
Hae So bergegas meninggalkan Songak, di tengah jalan langkahnya
terhenti, ia dihadang sekumpulan pengawal. Putri Yeon Hwa muncul tak
lama kemudian, Hae Soo tahu, Pangeran Wang Wook telah bertindak. Ia
telah merasa curiga ketika melihat Pangeran ke-8 mengenakan baju zirah
pada acara perkumpulan persahabatan. Apakah Pangeran Wang Wook berencana membunuh Yang Mulia Raja semalam?
Gadis itu bertanya-tanya dalam kebimbangan, ia tak bisa memahami jalan
pikiran Pangeran Wang Wook.Tiba-tiba terdengar suara Sang Pangeran
memanggil kemudian bertanya.
“Mengapa terburu-buru?”
“Yang Mulia minta dibuatkan teh, saya harus ke Damiwon”, Hae Soo menjawab singkat.
“Benarkah So mengajukan lamaran? Sejauh ini hubungan kalian
berdua?”Pangeran Wang Wook tidak bisa menutupi rasa cemburu, ternyata ia
harus bersaing dengan sesama pangeran untuk memperebutkan seorang
gadis.
“Maaf, saya harus melaksanakan perintah Yang Mulia Raja”, Hae
Soo tak kuasa menyangkal, ia pernah mencintai pangeran ini. Adakah
perasaan itu masih tersisa? Terlintas dalam pikiran Hae Soo untuk
mengabarkan kepada Pangeran Wang Wook perihal kesehatan Yang Mulia Raja
yang semakin memburuk.Akan tetapi, kata-kata itu kembali tertelan
sebelum terucap, karena Pangeran ke-8 tiba-tiba bertanya, "Apakah Yang
Mulia Raja telah tiada ?"
Hae Soo terhenyak, berdiri kaku, peringatan Yang Mulia Raja terngiang di telinga, “Bila
keluar dari istana, akan banyak orang yang menghentikanmu. Jika ada
yang bertanya perihal kesehatan raja, sampaikan kalau Yang Mulia
meminta teh. Jika ada yang bertanya apakah raja telah tiada? tetaplah
berhati-hati, yang bersangkutan menginginkan tahta. Jangan mempercayai
siapapun, nasib Goryeo ada di pundakmu. Adalah sebuah alasan, mengapa
engkau harus ada di istana ini?" Hae Soo membuang pandangan dengan
kekecewaan teramat dalam, ketika ayahanda menunggu saat-saat terakhir,
Sang Pangeran bahkan tak perlu merasa kehilangan. Ia menginginkan
kematian Yang Mulia, karen alasan kekosongan tahta. "Apakah Yang Mulia
ingin menjadi raja?" Hae Soo tidak perlu menjawab, sebaliknya ia
bertanya.
***
Tidak jauh dari tempat Hae Soo dan Pangeran Wang Wook bercakap,
Putri Yeon Hwa tengah bersitegang, “Kejadian semalam tidaklah penting,
Yang Mulia Raja pingsan, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapa
yang akan naik tahta selanjutnya?” Putri Yeon Hwa bahkan tidak perlu
merasa bersedih, karena akan kehilangan ayahnda raja untuk
selama-lamanya. Ia lebih memikirkan peruntungan bagi dirinya sendiri,
tanpa perlindungan seorang raja yang berkuasa seterusnya ia bukanlah
siapa-siapa.
"Sesuai dengan wasiat, penerus Raja adalah Putra Mahkota Moo", jawab Pangeran Wang So.
"Bagaimana denganmu? Apakah engkau ingin menjadi Raja?" Putri
Yeon Hwa mengajukan pertanyaan sama kepada Pangeran ke-4, seperti halnya
Hae Soo bertanya kepada Pangeran Wang Wook.
"Apakah engkau mengira menjadi Raja adalah sesuatu yang bisa
didapat dengan mudah hanya karena menginginkannya?" Pangeran Wang So
mendengus, untuk yang kesekian kali ia merasa kecewa harus berhadapan
dengan seorang putri. Yeon Hwa tak pernah merasa akan kehilangan
seorang ayah untuk selama-lamanya, ia mementingkan kekuasaan untuk
kemuliaan hidupnya –melupakan seorang raja besar tengah meregang menanti
ajal.
“Engkau bisa menjadi Raja dengan bantuanku dan klan Hwangbo”,
Putri Yeon Hwa yakin dengan kata-katanya, ia akan menempuh beragam cara
untuk menyelamatkan seluruh hidup.
“Apa yang bisa kulakukan jika aku menjadi Raja?”Pangeran Wang
So perlu mengetahui ada apa di balik semua keinginan besar Putri Yeon
Hwa.
“Seluruh dunia bisa menjadi milikmu, engkau akan memiliki segalanya”.
"Jika menjadi Raja, dapatkah aku memiliki hati seseorang? Jika benar demikian, aku akan melakukannya. Aku akan menjadi Raja"
Di tempat berbeda Pangeran Wang Wook seakan bersitegang dengan
Hae Soo, benar setahun ia telah “melupakan” nestapa gadis ini. Akan
tetapi, sebenarnya ia tak pernah mampu kehilangan. Kewenangan amat
terbatas untuk dapat menjangkau Hae Soo dalam perkawinan, ia harus
mengakui dirinya seorang pengecut. Dan ia bukan selamanya seorang
pengecut, akhirnya ia tahu, bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan
Hae Soo --satu-satunya cara untuk melindungi semua orang yang ia cintai
adalah dengan menduduki tempat tertinggi, menjadi seorang raja.
"Engkau bertanya apakah aku ingin menjadi Raja? Jawabnya, benar
aku akan menjadi menjadi Raja", tegas jawaban Pangeran Wang Wook.
Sebuah jawaban yang membuat Hae Soo terpana, karena ia tidak pernah tahu
apa alasannya, ia tak pernah tahu, bahwa Pangeran Wang Wook
menginginkan semua ini untuk menyelamatkan hidupnya.
***
Ratu Yoo dan Ratu Hwangbo akhirnya diijinkan masuk ke kamar
Yang Mulia Raja, keduanya seakan terjebak ke dalam relung yang teramat
dingin, liang kubur yang menebar bau kematian. Akankah takdirnya sebagai
ratu berakhir sampai di sini ketika seorang raja besar berpulang? Yang
Mulia Raja berbaring dengan wajah pias, ia terlalu lemah untuk mengenal
kedua ratu yang datang untuk memastikan kesehatannya, atau kematiannya.
Sosok yang tak pernah lesap sejak hukuman gantung itu adalah Sanggung
Oh,seorang yang mencinta setulus hati sebelum ia bertahta selaku Yang
Mulia Raja, seorang yang tidak pernah memanfaatkan kekuasaannya.
" Oh Soo Yeon …", redup sepasang mata Yang Mulia Raja seakan
menatap bayangan Sanggung Oh berkelebat dalam pakaian serba putih.Wajah
cantiknya menanti kejujuran yang berpuluh tahun telah ia sembunyikan di
balik jubah kebesaran seorang raja, ia telah menyisihkan Sanggung Oh
demi singgasana. Penyesalan tak pernah datang pada waktu yang tepat,
selalu terlambat ketika ia tak memiliki seluruh waktu untuk menebus
kesalahan. Sesaat Yang Mulia merasakan napasnya tercekik, udara melawan
bahkan melepuh, seisi ruangan menjadi kelam –semakin kelam. Seluruh
warna akhirnya berubah menjadi hitam bagai genangan tinta, sakit tak
terperi menyerang seluruh bagian tubuh, semakin nyeri, tak lama kemudian
tubuh tua itu terkulai tanpa napas, tanpa kehidupan.
Raja Besar Taejo Wang Geon telah berpulang.
Ratu Yoo berdiri kaku, jarum jam seakan berhenti berdetak,
waktu membeku. Kematian Yang Mulia Raja berarti ia bukan lagi seorang
ratu, ia akan menjadi ibu suri bila Pangeran Wang Yo berhasil menduduk
tahta, tetapi Putra Mahkota adalah Pangeran Wang Mo. Hal itu berarti ia
tersingkir, suatu hal pahit adalah menanggalkan jubah kebesaran seorang
ratu. Permaisuri tak ingin terjebak dalam mimpi buruk seperti itu. "Yang
Mulia, engkau tidak boleh meninggalkanku seperti ini, kembalilah!
Engkau tidak boleh pergi seperti ini! Engkau tidak boleh membuangku
seperti ini! Buka matamu! Kembalilah! Kembalilah!" suara Ratu Yoo parau
bercampur isak tangis, takdirnya sebagai seorang ratu berakhri dengan
kematian ini. Sungguhpun Yang Mulia Raja menganggapnya seorang perempuan
serakah, tetapi kemampuannya menduduki tahta mengukuhkannya sebagai
seorang ratu.
***
Sementara Pangeran Wang Wook belum menyadari perkembangan
terakhir yang terjadi sejak Yang Mulia Raja pingsan. Ia masih
bersitegang dengan Hae Soo,”Benar aku akan menjadi seorang raja untuk
mendapat dirimu, hanya jika aku berkuasa, maka aku akan dapat
menikahimu. Rencana itu sudah dimulai, besok aku akan menyerang
Chendeokjeon bersama Yo”, Pangeran Wang Wook membocorkan rencana
rahasia, ia akan mendapatkan kembali Hae Soo dengan banyak cara,
termasuk menyerang Istana.
Hae Soo berdiri terpengarah, ia mengira Pangeran Wang Wook
telah melupakannya. Ia tidak mengira Sang Pangeran akan melakukan
tindakan berbahaya untuk mendapatkan dirinya. “Tidak perlu pangeran
menyerang istana untuk sebuah keinginan, karena akan dianggap
berkhianat”, Hae Soo kembali merasa takut, nasibnya terus menerus
terseret pada pusaran arus yang mengalirkan darah.
“Putra Mahkota tidak akan bisa kembali, para pangeran akan
memperebutkan singgasana yang kosong. Jangan sampaikan rencana ini
kepada siapapun, carilah tempat yang aman dan menunggu. Dan sekali lagi
aku harus bertanya, apakah Yang Mulia Raja sudah tiada?"
Hae Soo masih berdiri terpaku dengan semua ucapan Pangeran Wang
Wook, kesiur angin seolah berubah menjadi bongkahan batu, segalanya
mengejutkan dan mendirikan bulu roma. Mengapa? Kini Hae Soo cuma seorang
bocah linglung yang tak mampu menjawab pertanyaan seorang pangeran.
“Yang Mulia Raja meminta tambah teh”, tak ada lagi yang dapat diucapkan
Hae Soo, gadis itu terpincang-pincang, berpamit pergi.
“Saat ini Putra Mahkota berada di Shahyeon, engkau tidak akan
bisa menghadirkan ke istana seorang diri”, Pangeran Wang Wook cukup
cerdas untuk menangkap arti kata-kata Hae Soo.’Yang Mulia Raja meminta tambahan teh’,
adalah rangkaian kalimat yang tidak susah diterjemahkan, kecuali
seorang raja tengah meregang nyawa, namun berkeinginan menutupi keadaan
yang sebenarnya. Hae Soo merasa tidak perlu menanggapi kata-kata
Pangeran Wang Wook, seperti permintaan Yang Mulia Raja, ia harus
melakukan sesuatu, membuat teh. Gadis itupun bergegas pergi.
Dalam pada itu Putri Yeon Hwa mendengus sinis mendengar ucapan
Pangeran Wang So. Pangeran ke-4 ingin menjadi Raja hanya untuk
memenangkan hati seseorang? “Tahta Raja bukan ditujukan untuk hal-hal
kecil yang remeh”.
“Bagiku tahta hanya untuk memenangkan sekeping hati”, Pangeran
Wang So menjawab ringan. “Berikan jalan atau aku akan menganggapmu
melakukan pengkhianatan”, sikap Pangeran Wang So dingin, ia tidak pernah
tergugah dengan wajah jelita Putri Yeon Hwa.
“Aku hanya melakukan tugas menghalangi siapapun bepergian
keluar dari ibu kota demi mencegah pemberontakan selama Yang Mulia Raja
sakit. Aku tidak bisa membiarkan siapapun pergi tanpa mengetahui siapa
yang akan dia bawa kembali. Sebaiknya engkau So kembali ke tempat
semula”, Putri Yeon Hwa bersikukuh dengan sikapnya.
Di tempat lain, Pangeran Baek Ah belum memahami apa yang tengah
berlangsung di seputar istana, ia bertemu dengan Woo Hee. Penari cantik
itu merasa kesal, karena Baek Ah merusak rencananya. “Tak pernah
kusangka, engkau menyamar menjadi giaseng selama ini hanya
untuk membunuh Yang Mulia Raja. Mengapa engkau harus membunuhnya?
Apakah, karena dendam?”Pangeran Baek Ah bertanya, ia tak mampu
membayangkan bila Yang Mulia Raja benar roboh berlumuran darah, karena
tikaman pedang yang mematikan. Ia tak akan pernah bertemu Woo Hee saat
ini dan seterusnya.
"Ayahmu membunuh keluargaku. Semuanya… hanya aku yang tersisa",
lambat dan perlahan suara Woo Hee, ia tak bisa memadamkan dendam,
karena kehilangan itu. Ia cuma seorang anak yang sebatang kara.
"Karena itukah engkau memiliki bekas luka di pergelangan
tangan? Karena ayahku? Maafkan aku. Aku memohon maaf padamu atas
namanya", Pangeran Baek Ah menarik Woo Hee kedalam pelukannya. Air mata
Woo Hee berlinang, jernih laksana embun, gadis jelita itu berusaha
memberontak dari pelukan Pangeran Baek Ah, tetapi sang pangeran semakin
erat memeluknya. “Sekali lagi maafkan, aku adalah anak pembunuh keluarga
Woo Hee”, Pangeran Baek Ah bisa merasakan betapa dalam rasa kehilangan
itu, ia akan menebus untuk semuanya.
***
Sementara perihal kematian Yang Mulia Raja belum lagi terkuak,
masih terkunci di dalam dinding istana Cheondeokjeon. Kedua ratu masih
disekap di dalam istana, tak mampu bersuara. Pangeran Wang Yo
menduga-duga, “Raja pasti sudah tiada, atau paling tidak sudah menjelang
ajal”, tak ada sedikitpun kesedihan dalam suara itu. Kematian ayahanda
raja berarti kekosongan tahta, ia berpeluang mengisi kekosongan itu
seperti perintah ibunda.
“Tidak, Yang Mulia Raja pasti sudah lebih sehat setelah meminum
teh dari Damiwon”, Pangeran Wang Jung berpendapat sebaliknya, ia tak
pernah menginginkan tahta, ia berharap akan kesehatan seorang raja.
“Dari mana engkau tahu, kalau Raja minum teh dari Damiwon?
Siapa yang menyajikan tehnya?”, Pangeran Wang Yo menatap wajah Pangeran
Wang Jung dalam-dalam, dari mana Jung mendengar kabar itu?
“Selera makan Yang Mulia Raja sudah kembali setelah minum teh yang disajikan Hae Soo”.
“Temukan Hae Soo sekarang juga, hentikan ia menyampaikan
kesehatan Raja kepada Putra Mahkota”, Pangeran Wang Yo tahu tindakan
yang harus segera dilakukan, ia tidak berniat menyia-nyiakan waktu.
Adapun Hae Soo tengah mencari Putra Mahkota di menara bintang,
tetapi tempat kerja Choi Ji Mong tampak sunyi, tak ada siapapun di
tempat itu. Hae Soo berlari ke arah berbeda, di tengah jalan, ia
melihat Pangeran Wang Won sedang mencarinya. Hae Soo cepat-cepat
bersembunyi di balik tiang, detak jantungnya nyaris tak terkendali, ia
harus berhadapan dengan rasa takut. Ketakutan itu memuncak ketika
tiba-tiba ada tangan yang menariknya ke balik tembok. Hae Soo mengira ia
akan segera berhadapan dengan maut, ternyata Pangeran Wang So
melakukannya. Haruskah ia meragukan Pangeran ke-4?
“Yang Mulia Raja sudah berpulang, sebelum saya pergi, Raja
sudah sangat lemah, kemungkinan terburuk sekarang sudah tiada. Perintah
terakhir Yang Mulia Raja memanggil kembali Putra Mahkota sebelum semua
orang tahu tentang kematiannya”, Hae Soo mengatakan hal yang sebenarnya,
ia tak kuasa menanggung beban seorang diri.
Pangeran Wang So merasa wajahnya memucat, hatinya tercabik, ia
telah kehilangan ayahanda, seorang raja. Pandangan pangeran itu
menerawang jauh pada suatu tempat yang tak akan dapat dikunjungi
siapapun. Perihal sosok seorang raja, Pangeran ke-4 memiliki kenangan
tersendiri.”Esok hari, Pangeran Wang Yo berencana menyerang Istana
Chendeokjeon besok”, Hae Soo menyampaikan kembali kabar yang kalah
menyakiti.
“Dari mana engkau mengetahui hal itu?” Pangeran Wang So merasa
jantungnya berdegup lebih kencang seakan kuda-kuda perang yang dipacu di
tengah padang.
“Tidak penting dari mana aku tahu”, Hae Soo masih merasa
penting untuk melindungi Pangeran Wang Wook, ia perlu menyampaikan kabar
tanpa menyebutkan sumber.
“Putra Mahkota sekarang sedang berada di Hubaekje, semua jalan tertutup. Untuk menjemputnya, harus mencari jalan keluar lain”.
"Hubaekje? Aku tahu seseorang yang mungkin tahu jalan menuju kesana”, Hae Soo tahu kemana harus menuju.
***
Pangeran Baek Ah mengejar Woo Hee setelah gadis itu melepaskan
diri dari pelukannya.”Raja pingsan, tidak ada orang yang mengenalimu,
tetaplah bersamaku, lupakan semua dendam…”percakapan itu tak berlanjut,
karena Hae Soo dan Pangeran Wang So tergesa datang.
“Kami harus ke Hubaekje untuk menjemput Putra Mahkota, Woo Hee
akan membantu sebagai penunjuk jalan”, Pangeran Wang So membuka
pembicaraan.
Pangeran Baek Ah segera melindungi Woo Hee di balik
punggungnya, ia mengkhawatirkan keselamatan penari itu.Pangeran Wang So
menatap Woo Hee dan Hae Soo berganti-ganti, ia meragukan kesungguhan
gadis itu. “Woo Hee seorang teman, ia bisa dipercaya”, Hae Soo menjawab
keraguan Pangeran Wang So.
“Benar kata Hae Soo”, Pangeran Baek Ah memberikan dukungan.
“Satu kemungkinan terburuk, Yang Mulia telah tiada”, suara
Pangeran Wang SO serak, tak mudah menyampaikan kabar duka cita, tetapi
harus. Di tempatnya berdiri Woo Hee terhuyung nyaris terjatuh, karena
terkejut. Tanpa perlu menghunuskan pedang kiranya Raja Taejo berpulang,
karena usia tua. Masihkah ia mendendam? Sigap Pangeran Baek Ah
menangkapnya.
“Esok hari Yo akan menyerang Istana Chendeokjeon. Meskipun
engkau menutupi, Soo, aku tahu Wook terlibat. Baek Ah pergilah jemput
Putra Mahkota, aku akan tetap di sini menghentikan penyerangan”,
Pangeran Wang So membagi tugas untuk mengamankan tahta.
“Ada jalan rahasia keluar masuk Songak, mari …”Woo Hee telah
pulih dari keterkejutan, ia harus membantu rencana Pangeran Wang So.
Kematian Raja Taejo perlahan memupus dendam itu.
***
Pangeran Wang Wook dan Putri Yeon Hwa bertemu membicarakan
kesehatan Yang Mulia Raja, “Tak ada kabar terakhir perihal kesehatan
Yang Mulia, pasti keadaannya semakin memburuk. Adalah kesempatan yang
baik untuk menyerang Cheondeokjeon, menjemput ibu, mengumumkan bahwa
Raja menunjuk Wook sebagai penerusnya”, Putri Yeon Hwa selalu memiliki
rencana pada celah yang paling sempit.
"Engkau tak punya rasa takut, mengubah wasiat terakhir Raja?"
Pangeran Wang Wook mendengus, ia tidak mampu memahami kemauan adinda
yang terlalu keras, bahkan serakah.
"Kita tidak boleh kehilangan segalanya karena berpikir terlalu
lama, lamban bertindak", Putri Yeon Hwa bahkan tak perlu merasa
kehilangan andai ayahanda berpulang, ia harus selalu berada di dekat
tahta.
"Pernah kusampaikan, aku tidak mau menjadi Raja dengan sebutan
pengkhianat. Tak seorangpun akan kubiarkan menikam dari belakang,
kecuali tahta menjadi hak yang sebenarnya", Pangeran Wang Wook tahu,
yang berhak tahta tetap Putra Mahkota. Andai ia memiliki celah yang
dapat terkuak tanpa sebutan pengkhianat, tak perlu Yeon Hwa terus
menerus membakarnya.
Putri Yeon Hwa menatap Pangeran Wang Wook bingung, ia tak dapat
menyelami jalan pikiran Wang Wook yang sebenarnya. Kemarin Pangeran
ke-8 mengenakan pakaian zirah saat datang istana. Sang Putri mengira
Wook berada di pihak yang sama dengan Yo, ternyata Wook tidak mau
membunuh Putra Mahkota. Wook hanya berpikir siapa yang paling
menguntungkan untuk lebih dulu diserang, Putra Mahkota atau Pangeran
ke-3? Atau So? Wook tidak mau membuat kesalahan apapun dalam
mendapatkan tahta.
“Tampaknya sekarang engkau benar-benar menginginkan tahta.
Senang melihatmu”, senyum tipis mengembang pada bibir merah Putri Yeon
Hwa, ia akan mendapat peranan peting ketika Wang Wook adalah seorang
raja.
“Yang harus dicemaskan saat ini adalah seorang pengkhianat”,
jauh dalam hati Pangeran Wang Wook merasa gamang, ia pernah melupakan
Hae Soo dalam keadaan nestapa. Gadis itu tampak menyembunyikan rahasia,
ia tidak terlalu dungu untuk mempercayainya.
***
“Tahta adalah kursi yang mengerikan, Yang Mulia harus berebut
dengan sesama saudara. Ketika benar harus berebut, pangeran tidak akan
menyakiti mereka bukan?" Hae Soo meneruskan pembicaraan dengan Pangeran
Wang So, menyatakan kekhawatiran.
"Apakah engkau mengkhawatirkan Wook? Kalau masih menganggapnya
sebagai kerabat, mengapa memohon padaku? engkau bisa menyaksikannya
sendiri nanti", jawab Pangeran Wang So.
“Pangeran ke-8 melakukan semua ini demi diriku, pangeran merasa
tak berdaya saat aku diusir dari istana, karena itulah dia menginginkan
kekuasaan”, Hae Soo harus menjelaskan.
“Aku mengerti”, Pangeran Wang So dapat memahami jalan pikiran Pangeran Wang Wook.
“Aku memihak Putra Mahkota atas perintah Raja, dengan
pertimbangan tetap menjalani hidup apa adanya seperti air yang
mengalir. Akan tetapi, aku tidak ingin melihat Pangeran ke-8 terluka,
karena hal itu berarti sama dengan luka tak tersembuhkan seumur
hidupku”, Hae Soo tak perlu berbohong kepada Pangeran Wang So.
"Aku mengerti, meski tidak bisa menjamin apapun, tapi akan
berusaha. Aku juga tidak mau Wook cedera," Pangeran Wang So berjanji,
kemudian kembali bertanya, Apakah engkau tidak mengkhawatirkanku?
Bukankah aku juga bisa terluka?”
“Pangeran akan selalu berada dalam keadaan baik, apapun yang
akan terjadi setelah ini”, Hae Soo telah melihat masa depan, Pangeran
Wang So akan menjadi Raja Gwangjong. Setelah perebutan tahtam, Pangeran
ke-4 tak akan mengalami masalah apa-apa.
Samar-samar, Hae Soo melihat senyum tipis di wajah rupawan Pangeran Wang So.
***
Suasana beku seakan tanah pekuburan ketika Ratu Hwangbo
berusaha membentangkan kain kafan raja pada jenazah Raja. Ratu Yoo tak
mampu menerima kematian ini, “Tinggalkan kami, jangan mendekati Yang
Mulia Raja”, Ratu Yoo setengah menjerit dengan suara parau, Yang Mulia
berpulang tanpa mengubah wasiat, ia tahu, ia telah terbuang ke tempat
yang jauh, bukan lagi seoranag ratu. Kedua ratu bersitegang, pada saat
yang sama Pangeran Wang So datang untuk memberikan penghormatan
terakhir.
Ratu Yoo tampak semakin kalap, ia tak menghendaki kedatangan
Pangeran Wang So, ia menginginkan Pangeran Wang Yo dan Wang Jung. Dimana
kedua putra tercinta? Pangeran Wang So mengeraskan hati, ia bersikap
seolah Ratu Yoo tak pernah hadir, ia mendekati pembaringan tempat
jenazah ayahanda raja mulai dingin dan kaku, berlutut. Hatinya remuk,
karena kehilangan yang sangat dalam, setelah hari ini ia tak akan
pernah bercakap dengan Yang Mulia lagi. Segalanya berlalu secepat tiupan
angin.
“Kata-kata terakhir Yang Mulia Raja, adalah bahwa hidup itu
pendek dan cepat berlalu”, suara Choi Ji Mong nyaris seperti ratapan,
ia harus menelan kenyataan pahit, ditinggalkan orang yang paling
dihormati.
Diam-diam tubuh Pangeran Wang So gemetar, ayahanda raja tampak
seakan seorang laki-laki tua yang tengah terbaring dalam tidur nyenyak
untuk kembali bangkit esok hari, memerintah seisi kerajaan. Andai Yang
Mulia bukan berpulang, hanya sedang beristirahat. Ingatan Pangeran ke-4
melayang ke masa dua tahun silam.
Choi Ji Mong, ahli bintang yang menjadi kepercayaan Yang Mulia
datang ke Shinju untuk memberikan topeng. Setiap tahun Yang Mulia Raja
memberikan topeng baru. Ketika mencoba topeng baru, Pangeran ke-4
melihat Yang Mulia Raja sedang menatapnya dari kejauhan. Meski tanpa
kata, tatapan serta topeng itu membangkitkan rasa bahagia. Ia tidak
benar-benar ditinggalkan di Shinju dengan Selir Kang.
Sepasang mata Pangeran Wang So berubah seakan pecahan kaca
ketika bangkit kemudian menutupi jenazah Yang Mulia Raja dengan helai
kafan. Ia tak kuasa membendung air mata saat memerintahkan Choi Ji Mong,
“Bersama Jenderal Park, pastikan berapa banyak prajurit dan senjata
yang kita miliki di Chendeokjeon. Besok pagi Yo dan Wook akan memulai
pemberontakan. Wasiat Yang Mulia Raja adalah menyerahkan tahta kepada
Putra Mahkota Moo, kita harus mengamankan wasiat itu”.
Kedua ratu nyaris terlonjak mendengar ucapan Pangeran Wang So,
seakan tersambar petir pada siang hari.”Aku tak mempercayai tuduhanmu
terhadap Wook!” Ratu Hwangbo merasa lempeng besi menghantam tepat di
kepalanya, ia tahu hukuman bagi seorang pengkhianat.
“Wook memang terlibat dalam rencana pemberontakan besok”, Pangeran Wang So tidak ragu-ragu.
“Besok Yo akan datang hanya untuk menjemputku”, Ratu Yoo
langsung mencengkeram leher Pangeran Wang So. “Bila menyentuh Yo aku
akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!”kali ini Ratu Yo benar-benar
geram, nasibnya ada di ujung tanduk. Kata-kata Wang So seakan angin
puting beliung yang bersiap menggulingkannya. Dan ia Sang Ratu tak
pernah ingin terguling.
"Ibunda Ratu tetap berharap hidup setelah melakukan
pengkhianatan? Bukankah itu sikap yang terlalu serakah?" suara Pangeran
Wang So seakan ular mendesis, dengan yakin ia melepaskan cengkeraman
tangan Ratu Yoo. Seorang ratupun tidak berhak berlaku seperti itu
terhadap seorang pangeran yang telah dilahirkan.
“Yo putra kesayanganku tidak akan pernah melakukan
pengkhianatan”, Ratu Yoo menjerit kalap, iapun tahu hukuman bagi seorang
pengkhianat.
“Yang Mulia Ratu lebih baik diam, anak-anak dalam bahaya. Satu
hal yang harus kita lakukan adalah menyelamatkana mereka”, Ratu Hwangbo
tampak lebih tenang, ia tidak serakah seperti halnya Ratu Yoo. Ia lebih
memikirkan keselamatan Wang Wook.
***
Dalam perjalanan menemui Putra Mahkota, Woo Hee melihat
Pangeran Baek Ah tampak kesakitan pada luka bekas tusukan.”Lebih baik
kita beristirahat”, keduanyapun duduk, menyalakan api unggun.
“Maaf, aku tak bermaksud menyembunyikan jati diri sebagai pangeran”, Pangeran Baek Ah merasa perlu meminta maaf.
“Akupun meminta maaf, karena menyamar sebagai penari pedang”, Woo Hee mengakui kesalahan yang sama.
“Apa yang akan terjadi pada kehidupan ini jika aku hanyalah
seorang pemusik biasa dan engkau adalah seorang gisaeng. Apakah hubungan
kita akan berbeda jika demikian keadaannya?”Pangeran Baek Ah bertanya.
“Istirahatlah, besok kita akan sampai ke Hubaekje, kampung
halamanku. Kemudian kita akan berpisah, tidak akan ada alasan untuk
bertemu”, jawaban yang menyebabkan kepala Baek Ah terasa berat, ia tak
sanggup kehilangan gadis ini apapun yang pernah terjadi.
“Jika kita takkan pernah bertemu lagi, malam ini bolehkah aku
melakukan apapun yang kuinginkan?" tanpa menunggu jawaban, Pangeran Baek
Ah mendekat mencium lembut pipi Woo Hee. Di depan keduanya api unggun
terus menyala, lidahnya yang panas menjilat gelap malam.
***
Keesokan harinya, Pangeran Wang Yo dan Pangeran Wook membawa
ratusan prajurit ke Istana Cheondeokjeon. Aneh, suasana di seputar
istana tampak lengang, seolah seorang raja tak pernah menetap di tempat
ini. “Setengah pasukan pasti pergi bersama Putra Mahkota, sekalipun
mereka dalam perjalanan pulang, mereka pasti akan terlambat”, Pangeran
Wang Wook berbisik. "Jika Pangeran ke-4 mencoba menghentikan kita,
bunuh", Pangeran Wang Wook telah siap mengenakan pakaian zirah.
“Aku memang sudah berencana membunuh So”, Pangeran Wang Yo menyetujui bisikan Pangeran Wang Wook, So adalah duri dalam daging.
Dua pangeran itu kemudian berjalan melewati gerbang istana,
dibalik pintu gerbang Pangeran Wang So dan Jenderal Park telah menunggu.
Dari kejauhan Pangeran Wang Wook melihat sosok Hae Soo, Sang Pangeran
ragu, sesaat kemudian keraguan itu sirna. Penampilan gadis itu selalu
menggetarkan hati, ia siap bertempur hidup mati untuk mendapatkannya.
“Anda berdua telah melakukan pemberontakan!” menggelegar suara
Jenderal Park, ia tak menyangka suatu saat akan berhadapan dengan para
pangeran dalama keadaan seperti ini.
“Kami untuk menjemput dua ibunda ratu yang sudah ditahan
beberapa hari di istana ini. Lepaskan ibunda ratu, atau aku akan
menganggap anda berdua berusaha merebut tahta!” suara Pangeran Wang Yo
tak kalah keras sambil menghunus pedang.
Akan tetapi, Pangeran Wang Wook terlebih dahulu maju dihadang
Paangeran Wang So, keduanya sama-sama kuat, saling menyerang dan
bertahan. Tak lama kemudian pertarungan terhenti, anak panah melesat
dengan cepat dari atap istana menyerang pasukan Pangeran Wang Yo dan
Wang Wook. Semakin lama semakin banyak prajurit istana berdatangan.
Pangeran Wang So telah bersiap menyerang kembali Pangeran Wang
Wook, tetapi tiba-tiba Putra Mahkota datang bersama Pangeran Baek Ah.
“Kembali ke dalam!” perintah Pangeran Wang Yo kepada Pangeran Wang Wook.
Akan tetapi, Pangeran Wang Yo tertegun, Wang Wook tak mengikuti
perintahnya, ia bahkan mengarahkan pedang tepat di lehernya.”Apakah
engkau telah berkhianat?”
“Aku tak pernah mengkhianati siapa-siapa, sejak awal kita tak
pernah berada di pihak yang sama”, pandangan Pangeran Wang Wook sedingin
bungkahan es di musim dingin, ia memang tak pernah ingin berkhianat, ia
hanya ingin mendapatkan perkawinan dengan seorang gadis yang dicintai.
Kalaulah harus didapat dengan menduduki tahta, tetapi bukan dengan cara
berkhianat.
“Aku sudah mendengar rencana Yo dari Wook, aku mempercayai
Pangeran ke-8”, Putra Mahkota terlalu baik untuk dapat mengetahui isi
hati orang di balik penampilannya yang tampan. Adakah ia dapat memahami
pikiran Pangeran ke-8? Pangeran Wang So mendengar percakapan ini, ia
terdiam, senyumnya terasa masam. Benarkah Putra Mahkota harus
mempercayai Wang Wook?
Dengan pahit akhirnya Pangeran Wang Yo menyerah, tapi benarkah
kisah hidupnya hanya sampai di sini? Pada saat yang sama Choi Ji Mong
akhirnya menampakkan diri dengan satu pengumuman resmi, “Yang Mulia
Raja telah berpulang dengan wasiat terakhir menunjuk Putra Mahkota Moo
sebagai pewaris tahta”.
Pengumuman ini menyebabkan Putra Mahkota terjungkal dalam rasa
duka dan kehilangan, ia tergesa hendak melangkah ke dalam istana untuk
memastikan keadaan yang Mulia Raja. Akan tetapi, Pangeran Wang Wook
tiba-tiba berlutut di hadapannya, mengucap, "Salam kepada Raja Baru,
Yang Mulia. Hidup Raja! Hidup Raja! Hidup Raja!"
Pangeran Wang So melakukan hal serupa, berlutut memberikan
hormat, maka semua prajurit yang hadir berlutut di hadapan raja baru,
bersorak "Hidup Raja! Hidup Raja! Hidup Raja!" di pihak yang lain Putra
Mahkota terdiam, segalanya berlalu cepat seakan mimpi. Waktu selalu
tergesa berpacu, ia kehilangan sekaligus mendapatkan kemuliaan tanpa
pernah meminta. Akan tetapi, karena Yang Mulia Raja menitahkannya.
Kemudian seluruh perhatian tertuju pada satu titik, ialah
ketika tiba-tiba Ratu Yoo melangkah terhuyung-huyung menampakkan diri
dengan penampilan nyaris tak dikenali. Dalam waktu semalam seluruh
rambutnya telah memutih, rambut itu terurai layaknya sesosok hantu yang
menakutkan. Sang Ratu mengira seluruh hidupnya telah berakhir, terlebih
ketika ia harus melihat putra tercinta, Pangeran Wang Yo ditangkap atas
tuduhan pengkhianatan. Seluruh tubuh Ratu Yoo terasa lemas seakan
kehilanga seluruh tulang belulang.
Beberapa saat kemudian, Pangeran Wang Wook, Wang Won, Wang
Jung, dan Putri Yeon Hwa melihat jenazah ayahanda raja. Pangeran Wang
Jung tampak paling terpukul, wajahnya yang manis tampak pias.Yang Mulia
Raja berpulang sementara para pangeran berperang merebut tahta, tidak
merasa hormat dengan wasiat terakhirnya. Sementara Putri Yeon Hwa
menatap jenazah yang terbaring dengan dingin, dalam hatinya bersumpah
pada mendiang ayahanda, ‘Saya akan selalu mengendalikan kerajaan ini”.
Sementara Pangeran Wang Eun berkeras menghadiri pemakaman
Raja, tetapi Park Soon Duk bersikeras menghalangi. “Katakanlah engkau
sakit parah, meskipun dalam keadaan sehat. Sebaiknya tidak usah
menghadiri pemakaman, tidak pula menghadiri penobatan Raja. Hanya
dengan cara demikian Engkau akan hidup”, Park Soon Duk berusaha
memakaikan baju zirah miliknya untuk melindungi Pangeran Wang Eun,
tetapi Pangeran Wang Eun menolak.
“Aku sama sekali tidak mengerti kekhawatiranmu”, Pangeran Wang Eun bahkan merasa heran dengan sikap Park Soon Duk.
“Hal pertama kali yang dilakukan setiap Raja baru adalah
membunuh para saudaranya yang berpotensi mengancam tahta”, Park Soon Duk
menjelaskan.
Pangeran Wang Eun tersedak dengan jawaban itu, benarkah
keselamatannya berada di ujung tanduk, ia bahkan tidak pernah bermimpi
untuk duduk di singgasana. Sekali lagi Park Soon Duk berusaha mengenakan
pakaian zirah bagi Pangeran Wang Eun, tetapi Sang Pangeran tetap
bersikeras menolak. “Aku tidak perlu mengenakan pakaian zirah seorang
istri hanya untuk menyelamatkan hidupku sendiri”, serangkaian kata yang
menyebabkan Park Soon Duk merasa senang.
"Apakah kita harus mati bersama?" Park Soon Duk bertanya.
"Mengapa pula aku harus mati bersamamu?" suara Pangeran Wang
Eun ketus, kali ini rangkaian kata menyebabkan Park Soon Duk
terbuang."Mengapa pula kita harus mati? Kita harus, hidup bersama. Hidup
dan mati itu siapa yang tahu, aku lebih suka kita tidak mati bersama.
Kita sudah menikah. Jadi tidak seharusnya kita mati sendirian", dalam
sekejab perasaan terbuang Park Soon Duk berubah menjadi haru sekaligus
bahagia. Ia membuang pakaian zirah kemudian memeluk Pangeran Wang Eun
erat-erat. Sang Pangeran sama sekali tak menolaknya.
***
Hae Soo menatap Pangeran Wang Wook dengan tatapan sulit
ditafsirkan, tak mudah mengatasi rasa kecewa, “Ternyata Pangeran berada
di pihak Putra Mahkota. Apakah kebohongan ini disengaja untuk menguji
keyakinanku?”Hae Soo bahkan tidak percaya Pangeran Wang Wook dapat
bertindak seperti itu.
“Ternyata engkau tetap menemui So”, Pangeran Wang Wook tersuruk
dalam kekecewaan yang sama, mengapa harus hadir pangeran lain dalam
kehidupan Hae Soo?
“Adakah Pangeran berencana membunuh So?”, detak jantung Hae Soo berpacu seakan curahan air terjun.
“Engkau mengira aku berbohong saat berkata, kalau aku ingin
menjadi raja? Apa salahnya membunuh orang yang bisa menjadi
penghalangnya?” suara Pangeran Wang Wook datar, seakan membunuh saudara
satu ayah bukanlah suatu hal yang salah.
“Engkau sudah berubah, bukan seorang Pangeran yang pernak
kukenal”, Hae Soo merasa tenggorokannya kering, tercekik. Pangeran Wang
Wook pasti tahu, betapa ia terjerembab ke dalam penderitaan, karena
kematian Sanggung Oh yang mengorbankan diri bagi keselamatnya. Kini,
Pangeran Wang Wook tega memanfaatkannya untuk membunuh Pangeran ke-4.apa
yang sesungguhnya menjadi keinginan Pangeran ke-8?
"Engkau tidak jujur kepadaku? Aku berharap engkau akan
menyampaikan, Raja telah meninggal. Engkau tidak peduli aku akan hidup
atau mati", Pangeran Wang Wook harus menelan kenyataan pahit,
satu-satunya gadis yang dicintainya tak memeprcainya pada saat yang
paling genting. Pada saat ia membutuhkan kejujurannya.
"Yang Mulia Raja memintaku membantu Putra Mahkota menjadi raja
berikutnya. Aku tidak bisa menentang Yang Mulia Raja. Pangeran ke-4
sudah berjanji tidak akan melukai atau membunuhmu", Hae Soo harus
memberikan alasan kuat.
“Mengapa harus memohon kepada So untuk keselamatkanku?”Pangeran
Wang Wook semakin kecewa, ternyata Hae Soo banyak menyembunyikan hal
yang sangat penting dan mendasar. Dimana sebenarnya gadis ini berpihak?
“Ingatkah apa yang pernah Pangeran katakan? Kita bisa pergi
dari Songak dan hidup bahagia.Kita bisa melakukannya sekarang, jika
Pangeran memohon kepada Raja baru, Yang Mulia pasti akan mengabulkan”,
perlahan Hae Soo berjalan mendekat, ia sangat berharap Wang Wook akan
mengatakan “ya”. Dalam sekejab harapan itu kandas, Pangeran Wang Wook
benar telah berubah, ada banyak hal tidak diketahui yang mengubahnya.
“Andai kita pergi dari Songak sekarang, mendapat ijin dari Yang
Mulia untuk menikah, maka akan muncul masalah baru. Tidak ada cara lain
lag, kecuali mendapatkan tahta”, Pangeran Wang Wook akhirnya menyadari,
betapa penting arti kekuasaan, ia akan dapat merengkuh seluruh isi
dunia. Pendapat Ibunda Ratu Hwangbo dan Putri Yeon Hwa benar adanya. Ia
bukan hanya dapat menikah dengan satu-satunya gadis yang dicintai, ia
akan dapat melindungi seluruh klan Hwangbo.
Sekali lagi Hae Soo dihantam rasa kecewa, kenangan serta
harapan indah untuk hidup bersama dengn Pangeran Wang Wook telah lama
berkeping. Kini kepingan itu semakin hancur tak berbentuk. Langkah Hae
Soo kembali undur ke belakang, lidahnya terasa getir, ia telah
kehilangan Wang Wook. "Engkau katakan akan menjadi raja, karena aku.
Ternyata semua hanya alasan untuk sebab yang tak pernah aku tahu.
Engkau membalik semua harapan, sudahlah. Jarak antara kita kini
benar-benar ada …”Hae Soo menahan genangan air mata.
"Apakah karena Pangeran ke-4?" Pangeran Wang Wook dibakar
cemburu, ia tak pernah tahu Hae Soo hanya mengasihi Pangeran Wang So,
tak pernah mencintai. Pangeran ke-8 hanya mampu melihat segala yang
tampak,ia tak mampu memahami isi hati Hae Soo. Suatu hal yang fatal.
"Ternyata Pangeran ke-8 tidak pernah mempercayaiku, tidak
pernah sedidkitpun mempercayai perasaanku? Mengapa harus?" Hae Soo
menelan harapan yang semakin pupus, Pangeran Wang Wook benar telah
berubah, ia terjebak dalam sebuah keinginan serta kewajiban yang tak
dapat dimengerti.
“Aku pasti akan membuatmu kembali kepadaku”, kiranya Pangeran
Wang Wook masih memiliki harapan itu dengan suatu cara yang tidak mudah
difahami Hae Soo.
“Suatu hal yang akan berubah menjadi sulit”, Hae Soo melangkah
gontai, kepalanya menunduk. Ia harus membuang jauh-jauh harapan untuk
hidup bersama dengan pangeran tercinta. Ia seakan helai daun kering yang
lerai dari ranting ditelantarkan angin musim.
Pangeran Wang Wook menatap sosok yang semakin menjauh, tak
sedikitpun perasaannya dengan Hae Soo berubah. Ia masih ingin memiliki
gadis itu dengan suatu cara, upaya sia-sia yang akan berakhir dengan
perpisahan. Sesaat kemudian Pangeran ke-8 melangkah ke arah berlawanan.
Tatapan matanya setajam pedang, ia tahu tak ada cara lain untuk
mendapatkan semuanya, kecuali satu-satunya, ia telah bertekad.
***
Sementara Pangeran Wang Yo melarikan diri kemudian diburu oleh
para prajurit istana. Pangeran Wang So dan Pangeran Wang Wook ikut serta
dalam pengejaran itu hingga mereka berhasil menyudutkannya di tepi
jurang. Tak ada pilihan lain, Pangeran Wang Yo berusaha melawan para
prajurit.Pangeran Wang Wook bersiap membidikkan anak panah, tetapi
Pangeran Wang So menahan tangannya. “Ia seorang pangeran, buka satwa
liar”.
Pangeran Wang Yo terus melawan, mengayunkan pedang, menebas
satu demi satu prajurit kerajaan yang menyerang.Pangeran Wang Jung
datang tak lama kemudian, “Biarkan aku bicara dengan Yo”, wajah
Pangeran Wang Jung yang manis tampak tegang.
“Jangan, engkau bukan lawannya, engkau tak akan sanggup melawan
saudaramu sendiri”, Pangeran Wang So memberikan peringatan kemudian
bersiap menghadapi Pangeran Wang Yo.
“Yo menyerahlah”, Pangeran ke-4 meminta, ia tak menginginkan pertumpahan darah di antara keluarga.
“Tidak!” Pangeran Wang Yo menolak, wajahnya merah padam.
Pangeran Wang So tak memiliki pilihan berat, kecuali menghunus
pedang, melucuti pedang Pangeran Wang Yo, melakukan tindakan berani,
menusuk dada pangeran yang kalap itu kemudian mendorongnya ke tempat
yang genting. Luka di dada Pangeran Wang Yo sebenarnya tidak terlalu
dalam, ia kembali mencoba melawan. Tanpa dapat ditahan sekali lagi
Pangeran Wang So menebaskan pedangnya , Pangeran Wang Yo terhenyak
dengan luka menganga. Pangeran Wang So tak kalah terkejut, ia tak mampu
mempercayai tindakannya sendiri. Keseimbangan tubuh Pangeran Wang Yo
berguncang, pangeran itu tampak limbung dengan wajah memucat. Satu
jengkal langkah ke belakang menganga jurang, Pangeran Wang So
mengulurkan tangan, ia tak menghendaki kematian Wang Yo, ia hanya ingin
pangeran itu menyerah. Akan tetapi terlambat, setelah darah mengucur
dari luka menganga, tubuh Pangeran Wang Yo roboh bagai tersedot kekuatan
dari dasar bumi, terpelanting ke mulut jurang dengan satu jerit
kesakitan.
Sesaat suasana hening bahkan anginpun terbungkam, Pangeran Wang
Jung menatap Pangeran Wang So dalam amarah dan kekecewaan yang dalam.
Wajahnya berubah antara pucat dan merah bara, tak mudah menerima
kenyataan Pangeran Wang Yo mengakhiri hidupnya dengan mengerikan.
Sepasang mata Pangeran Wang Jung berubah seakan kobaran api kala menatap
Pangeran Wang So, mengapa antara saudara harus saling membunuh?
Pangeran Wang Jung merasa seluruh tubuhnya bergetar, ia harus
menyaksikan tragedy mengerikan ini. Mengapa?
Langkah Pangeran Wang Jung gontai ketika kembali ke istana,
suaranya seakan isak tangis ketika mengabarkan kepada ibunda Ratu
Yoo,”So menikam Yo hingga terjatuh ke dasar jurang. Yo telah mati …”dada
Pangeran Wang Jung terasa sesak seakan sebongkah batu menekan diam-diam
tanpa kenal ampun.
“Apa?! Tidak! Wang Yo tidak mati di dasar jurang! Mengapa So
melakukannya?!” Ratu Yoo menjerit nyalang, ia menolak untuk mempercayai
kabar itu, tidak mungkin Yo mati di dasar jurang. Ratu Yoo merasa bara
dalam sekam yang menyala di relung hati kini berkobar-kobar, ia tahu
arti kesumat dendam kepada pangeran bertopeng. Ia tak akan pernah dapat
memaafkan Wang So.
Sementara Pangeran Wang So mengalami pukulan tak kalah
menyakitkan, ia tak ingin melukai, terlebih mendesak Pangeran Wang Yo
hingga tersungkur ke dasar jurang. Apakah Yo telah mati? Apakah ibunda
Ratu Yoo akan memaafkan? Seisi kepala seakan diamuk badai. Pangeran ke-4
perlu hening, sendiri. Ia harus bersiap menghadapi kemungkinan
terburuk. Seburuk apa kemungkinan itu?
Hae Soo mendapati Sang Pangeran tengah melamun di tepi danau,
sosoknya yang lesu menggambarkan penyesalan serta kesedihan teramat
dalam. Wajah tampan itu segelap mendung, terlalu gelap, sehingga tiupan
sepoi angin sudah cukup untuk menggugurkan menjadi rinai hujan. “Apa
yang berlaku?”suara Hae Soo lembut, ia perlu merasa cemas.
“Engkau tidak akan pernah memaafkan kesalahan itu, hanya
memahaminya”, sejenak hening, angin seakan enggan bertiup. Hae Soo bisa
merasakan kegelisahan itu. “Aku menikam Yo, ia terjatuh ke dasar
jurang…" maka gelap mendung pada wajah rupawan itu akhirnya bercucuran
menjadi hujan. Ia bukan hanya merasa kehilangan, tetapi juga ngeri
membayangkan kemarahan ibunda ratu. Ia tak akan pernah meminta maaf,
karena ibunda Ratu Yoo tak akan pernah memaafkannya. Ia benar seorang
pangeran yang terbuang.
Hae Soo terdiam seakan tersedot terlalu jauh ke dalam duka hati
seorang pangeran, ia berusaha memahami kesalahan itu dengan
menepuk-nepuk bahu Pangeran Wang So. Akan tetapi, air mata Pangeran Wang
So terus mengucur seakan hujan lebat setelah kemarau yang teramat
panjang. Ternyata seorang pangeran Goryeo yang dijuluki anjing srigala
dapat pula menangis. Hae Soo tak punya pilihan lain, ia merangkul
Pangeran Wang So ke dalam pelukan, membiarkan Pangeran ke-4 meluapkan
kesedihan.
Bersambung ke Episode 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar