Kamis, 06 Juni 2019

MAHABHARATA --Great Epic of India, 3-- Bhisma





 
Raja Santanu kembali ke istana menggandeng tangan Dewabrata dengan rasa bahagia tak terperi, kehadiran anak ini mengobati kerinduan akan Dewi Gangga, menjawab pula pertanyaan akan penerus tahta. Sosok tampan Dewabrata membuat Santanu  merasa damai, kini ia tahu bagaimana perasaan seorang ayah yang berkesempatan menuntun putra mahkota menuju dewasa. Senja terasa demikian indah, merona pada maha cahaya, kemilau, merah tembaga.
Keesokan harinya sebuah upacara agung penyambutan putra mahkota diselenggarakan, Dewabrata tampak lebih dewasa ketika mengenakan pakaian kebesaran, ia mulai langkah pertama dalam persiapan sebagai seorang raja. Raja Santanu merasa yakin dengan kemampuan putra Gangga meneruskan tahta. Dewabrata mewarisi kecantikan Dewi Gangga, ia akan membimbing putra mahkota sebagai orang pertama di kerajaan ini yang akan memerintah secara bijak, membawa kehidupan rakyat menuju kemakmuran. Meskipun tanpa kehadiran permaisuri, Raja Santanu dapat kembali merasakan hari-hari damai dengan kehadiran putra mahkota di sisi singgasana.
Hari pun berganti minggu, berganti bulan, dan tahun, tanpa terasa empat tahun berlalu, Dewabrata tumbuh menjadi pemuda gagah selaku tumpuan harapan Santanu. Ia mahir menggunakan senjata perang, santun bersikap, sopan berbicara. Santanu menghela napas lega, ia telah menuntun putra mahkota menuju jalan yang sesungguhnya.  Suatu hari --  usai bercengkerama dengan Dewabrata, Santanu berjalan jalan di tepi Sungai Yamuna. Permukaan air sungai demikian tenang menyembunyikan arus kencang di bawahnya. Matahari berkilau memantulkan sinar terang  kehidupan, daun-daun seakan tampak lebih hijau, rumput berguncang lembut dalam desir angin, kupu-kupu mengepakkan sayapnya yang indah, hinggap pada aneka kelopak bunga.   Tiba-tiba angin berhembus sedemikian kencang, Raja Santanu mencium aroma harum kelopak bunga, aroma yang tak pernah dikenal bahkan di lingkungan istana.
Harum apakah ini?
Raja itu bergumam dalam hati, tanpa sadar langkah kaki Sang Raja bergerak mencari sumber aroma yang demikian wangi, mendebarkan. Tak lama kemudian langkah Santanu berhenti, ia perlu mengerjabkan mata berulang kali untuk meyakinkan penglihatannya. Di tepi Sungai Yamuna tampak seorang gadis cantik tengah duduk melamun menatap ke tengah permukaan air. Gadis itu tak berpakaian gemerlap layaknya Dewi Gangga, penampilan teramat sederhana, demikian pula dengan pakaian sahaja yang tak mampu menyembunyikan indah bentuk tubuhnya. Aroma wangi kian memabukkan, Santanu mengikuti nalurinya berjalan mendekat. Sejak Dewi Gangga pergi berlalu, tak seorang pun wanita mampu singgah di relung hatinya. Akan tetapi, gadis cantik yang menjadi sumber aroma mewangi sungguh menawan hati.
Darah Raja Santanu tersirap  ketika akhirnya berdiri tepat di hadapan gadis cantik itu, ia dapat menatap sepasang mata teduh seakan jernih embun pagi, kulit putih berseri, sosok tinggi semampai dengan pinggang teramat ramping, dan rambut indah hitam legam. Gadis itu segera berdiri, tersenyum memberikan sembah, Santanu merasa jantungnya berdegup kencang seakan gemuruh gelombang lautan. Ia merasakan kembali perasaan yang sama ketika pertama kali bertemu Dewi Gangga di tepi sungai pada senja yang menakjubkan. Santanu harus menyadari, ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sepasang kaki raja itu seakan berdiri di atas tumpukan aneka bunga ketika mengulurkan tangan seraya berucap, “Apa yang engkau pikirkan di tepi Sungai Yamuna, gadis jelita?” Santanu merasakan genggaman tangan yang lembut, ia seakan enggan melepas genggaman itu.
“Terimalah hormat dari Satyawati, seorang penangkap ikan, anak kepala kampung nelayan”, suara Satyawati merdu, memacu detak jantung Sang Raja yang terpikat oleh penampilannya, penampilan sederhana seorang gadis  penangkap ikan, anak kepala kampung nelayan.
“Kuterima hormatmu, tetapi apa yang engkau pikirkan, engkau tampak sedang melamun”, Raja Santanu menatap jernih sepasang mata Satyawati, ia merasa seakan tengah menyelam ke dasar danau yang amat bening. Sang Raja merasakan sejuk dan damai, gadis ini akan mengakhiri penantiannya akan Dewi Gangga.
“Tidak ada yang perlu dipikirkan, Satyawati merasakan senja yang indah atas kehadiran paduka. Sungguh suatu kehormatan, paduka berkenan bertegur sapa”,   suara itu masih tetap merdu merayu, sikap gadis nelayan itu teramat tenang.
Santanu hanyut dalam khayalan, berapa lama ia hidup di istana yang megah tanpa kehadiran permaisuri. Sebenarnya ia merasa sunyi, meski kehadiran Dewabrata telah mengobati kesunyian itu. Akan tetapi, ia adalah seorang putra bukan permaisuri. Santanu sudah tak menunggu lagi kehadiran Dewi Gangga, wanita cantik itu tak akan pernah lagi hadir sebagai permaisuri. Kini ia berhadapan dengan seorang gadis penangkap ikan, alangkah berbeda sosok dan peranan kedua wanita itu dalam kehidupan, namun Satyawati tak  kalah menarik dengan si jelita Dewi Gangga. Pesona wajah rupawan itu memancarkan kedamaian. Sanggupkah Santanu kehilangan, meninggalkan Satyawati seorang diri di tepi Yamuna tanpa sebuah ikatan? Ia harus mengatur kata-kata yang tepat untuk menyatakan isi hati.
“Satyawati, gadis penangkap ikan, putri kepala kampung nelayan. Bukan suatu kebetulan pertemuan hari ini di tepi Sungai Yamuna, harus kusampaikan, sejak kepergian permaisuri Dewi Gangga. Istana Hastinapura terasa amat sunyi, sungguhpun putraku tercinta Dewabrata telah berlaku sebagai putra mahkota dan siap pula menjadi seorang raja. Akan tetapi, apa arti seorang raja tanpa didampingi permaisuri. Andai engkau bersedia menjadi pendamping Santanu”, Raja Santanu masih tetap mencium aroma mewangi dari tubuh Satyawati, ia terbuai, ia ingin aroma wemangi itu tetap berada di dekatnya, di lingkungan istana, maka akan lengkap sudah kehidupannya selaku seorang raja.
“Beribu sembah Satyawati sampaikan, suatu kehormatan memenuhi permintaan paduka, akan tetapi alangkah baiknya bila paduka bertemu pula dengan ayah hamba”, Satyawati membungkukkan badan dalam-dalam. Pernahkah ia bermimpi menjadi seorang permaisuri, menjadi seorang yang sangat penting dan berwenang di dalam istana, bahkan di seluruh wilayah kerajaan. Ia akan bergelimang kemilau emas,  permata, kemuliaan, kemudian menurunkan raja diraja. Akan tetapi, ia tak berani mengambil tindakan apa pun tanpa seijin seorang ayah.
Keduanya berjalan beriringan seakan sepasang kekasih yang sengaja dipertemukan menuju rumah tinggal Satyawati. Tak jauh dari keduanya berjalan, sais kereta tak sekejab pun mengalihkan pandangan, ia mesti tahu hal-hal yang dilakukan baginda, meski ia tak akan pernah berucap. Sais itu mengikuti langkah Santanu dan Satyawati hingga sampai di rumah gadis cantik itu. Rumah Satyawati adalah pondok sederhana, akan tetapi terawat dengan baik, tak heran bahwa di dalam rumah yang nyaman itu tinggal seroang gadis yang dapat membuat seorang raja jatuh hati. Ayah Satyawati menyambut kehadiran itu sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, hatinya dipenuhi tanda Tanya, hal apakah yang telah  mengundang seorang raja besar hadir di rumahnya?
“Hormat dan sembah kepada Yang Mulia Raja Santanu”, nelayan itu memberikan hormat dengan takzim.
“Kuterima hormat dan sembahmu bapak nelayan, aku tak berpanjang lebar dengan kedatangan ini. Sore ini, di tepi Sungai Yamuna aku telah bertemu dengan anak gadismu yang rupawan, Satyawati. Setelah Dewi Gangga pergi, Astinapura terasa sunyi tanpa kehadiran seorang permaisuri, meski Dewabhrata Putra Mahkota ada pula mendampingiku di istana. Bila engkau ijinkan, aku, Raja Santanu meminta restumu untuk melamar Satyawati menjadi seorang permaisuri, tinggal bersamaku di Astinapura”, Raja Santanu tak membuang-buang waktu, ia adalah seorang raja dan dapat memenuhi segala kehendak. Tak mungkin kiranya seorang nelayan akan menolak lamaran seorang raja.
Akan tetapi, Raja Santanu salah  mengira. Benar, lamaran itu tak akan pernah ditolak, namun ayah Satyawaty adalah seorang nelayan yang cerdik, ia tak akan  menerima pinangan begitu saja tanpa persyaratan. Kewenangan seorang permaisuri akan berakhir ketika tahta raja diserahkan  kepada Putra Mahkota, kecuali anak yang dilahirkan akan berhak  meneruskan tahta, bukan anak dari istri raja yang lain. Ia mengasihi anak gadisnya yang jelita, ia tak akan memenuhi lamaran itu tanpa persyaratan.
“Daulat Tuanku, sungguh suatu kehormatan bagi seorang nelayan untuk menerima pinangan seorang Raja Besar Astinapura. Benar, anak gadis saya, Satyawaty sudah beranjak dewasa, sudah tiba pula saatnya untuk berumah tangga. Andai Paduka berkenan memegang janji, hamba terima lamaran itu dengan segala senang hati”, ayah Satyawati berucap dengan sangat hati-hati, ia tidak ingin melakukan kesalahan, kata-katanya hari ini akan mengubah takdir hidup anak gadisnya, bahkan anak-anak yang bakal dilahirkan selama-lamanya.
“Janji apa yang harus kuucapkan?” suara Raja Santanu demikian berwibawa, ia pasti akan sanggup memenuhi janji itu, ia seorang raja, memiliki kekuasaan yang sangat luas.
Sejenak suasana diam, Satyawati menundukkan wajah, Santanu semakin terpesona, gadis itu tak pernah kehilangan daya tarik, sungguh pun ia hanya diam, tanpa sepatah kata. Cahaya senja yang semakin redup jatuh pada wajah yang lembut ini, Satyawaty tampak seakan sebuah lukisan yang digores seniman masyur, bentuk wajah, sepasang alis, mata, hidung, pipi, bibir, dan dagu demikian sempurna. Secara ajaib roh menghembus ke dalam sosok menawan itu, sehingga bernapaslah ia selayaknya manusia. Aroma mewangi tetap merebak dari tubuh muda yang ramping itu, Santanu  benar-benar jatuh hati. Ia kembali mengulang kesalahan, melamar seorang gadis pada pertemuan pertama, tanpa menyadari cerita panjang yang akana terjadi pada hari berikutnya. Cinta membuat siapa pun, bahkan seorang raja  menjadi demikian buta adanya.
Di pihak lain, ayah Satyawaty masih terdiam, bekerja keras menyusun kata-kata.
“Apa permintaanmu Bapak Nelayan?” Santanu mengulang pertanyaan, Santanu menatap wajah tua itu dalam-dalam, menduga-duga, kata-kata apa yang hendak diucapkan.
“Beribu ampun paduka, bila Satyawati benar menjadi permaisuri di Astinapura, hamba sangat berharap, bahwa anak laki-laki yang dilahirkan kelak dapat menjadi Putra Mahkota kemudian bertahta selaku seorang raja”, kata-kata itu singkat, tetapi cukup membuat debur jantung Santanu seakan terhenti.
Tiba-tiba sepasang kaki raja besar itu terasa limbung seakan hendak terguling ke atas tanah, Santanu menatap nelayan tua itu dengan pandangan sulit ditafsirkan, antara terkejut, marah, bimbang, tak berdaya, dan akhirnya ia merasa terjungkap pada sebuah jalan yang buntu. Ia sungguh berniat menikahi Satyawati, memulai kehidupan baru, meramaikan kehidupan istana dengan kehadiran seorang permaisuri yang rupawan dan jelita. Akan tetapi, bagaimana ia dapat melakukan semua itu, andai ia harus mengorbankan Dewabhrata, putranya yang sangat dicintai. Sanggupkah ia mengkhianati putra mahkota, sanggupkah ia menumpas masa depan satu-satunya putra dari Dewi Gangga yang dikasihi sepenuh hati. Tanpa sadar Santanu menggelengkan kepala. Ia tak akan sanggup mengecewakan Dewabhrata, andai ia harus tetap bertahta tanpa seorang permaisuri.
Raja besar itu menghela napas berulang kali, sejenak menatap wajah cantik Satyawaty, membuang pandang kemudian melangkah seakan helai daun kering yang tercampak dari ranting, melayang tanpa arah. Ia meninggalkan pondok yang sederhana ini tanpa sepatah kata, seolah antara mereka bertiga tak pernah terjadi percakapan apa-apa. Santanu merasa demikian kehilangan ketika ditinggalkan Dewi Gangga, kini ia harus melepaskan sesuatu yang diinginkan, bahkan sebelum berkuasa memiliki. Seorang perempuan sering berperangai aneh dalam memenuhi lamaran, bahkan ketika lamaran itu datang dari seorang raja Astinapura. Dulu Dewi Gangga meminta persyaratan aneh ketika memenuhi lamaran, supaya ia tak pernah memberikan teguran, apapun tindakan yang dilakukan. Ketika ia melanggar sumpah itu, permaisuri pergi tak pernah kembali lagi.  Kini, Satyawaty memiliki seorang ayah yang “cerdik” dengan persyaratan berat yang harus dipenuhi. Apa yang harus dikatakan pada Dewabharata? Raja Santanu tahu, ia tak akan sanggup berucap, ia memilih bungkam seribu bahasa.
Sais kereta berdiri tak bergeming, ia setia menanti kemana sang tuan pergi, jarak tempat ia berdiri tidaklah dekat, sehingga ia dapat pula bergabung dalam pembicaraan itu. Akan tetapi, juga tidak terlalu jauh, telinganya yang tajam diam-diam mengikuti seluruh pembicaraan. Sais kereta itu menarik napas panjang, ia dapat membaca perasaan Sang Raja, karena wajahnya yang semula berseri-seri, tiba-tiba menjadi muram --  amat muram, seakan awan hitam yang bersiap mencurahkan hujan. Akan tetapi, apa hak seorang sais akan diri seorang raja? Laki-laki setengah tua itu hanya membungkan, ia merasakan pula kebimbangan hati Santanu, sepasang matanya menjadi muram. Ia mengakui kemuliaan hati Raja Santanu,  kini sang raja dihadapkan pada pilihan yang amat berat. Sais kereta itu mengendalikan kuda dengan cambukan yang lemah, debu yang mengepul di sepanjang perjalanan tampak pula terbang dengan lunglai.
Di atas kereta Raja Santanu tetap terdiam, tak satu pun kata terucap, permukaan Sungai Yamuna yang beriak lembut tampak seakan mengejeknya, mentertawakan dua pilihan seorang raja yang berat dan sebenarnya menyakitkan hati. Santanu merasa tubuhnya menggigil. Ia sampai di istana ketika senja hanya menyisakan cahaya yang teramat samar dan pucat, angin terasa lebih dingin. Seluruh ponggawa kerajaan yang berpapasan dengan Raja Santanu memberi hormat dengan mengatupkan kedua telapak tangan dan membungkukkan badan hingga langkah raja itu berlalu. Santanu terus berjalan lurus, ia tak hendak menatap rumput hijau di taman istana atau aneka kelopak bunga yag indah bermekaran, langkah kakinya lunglai melewati pilar-pilar yang megah, dinding-dinding yang kukuh, air kolam yang jernih hingga akhirnya sampai di peraduan. Pada suatu tempat sangat pribadi yang tak biasa dikunjungi secara resmi tanpa ijin seorang raja. Santanu mengurung diri di kamarnya yang mewah.
Kamar itu memiliki langit-langit tinggi, jendela raksasa diliputi tirai-tirai yang lembut, dinding kukuh, peraduan yang demikian luas dan lunak senantiasa bersiap membawa sang raja menuju mimpi indah
Segala perabot di kamar  yang luas itu tampak indah dan kemilau. Santanu tak memikirkan lagi segala kemewahan yang ada di kamar ini. Ia merebahkan  diri di atas peraduan, memejamkan mata, harum tubuh Satyawaty seakan tengah mengapung di seluruh sudut kamar, bahkan di setiap sudut istana. Hati raja besar itu tengah limbung, kepalanya berdenyut-denyut. Ia berusaha memejamkan mata, melupakan keadaan sulit yang menekan seakan membuat paru-parunya sulit bernafas. Tengah malam ketika terjaga, Raja Santanu masih merasakan kebimbangan yang sama, wajah lembut Satyawaty dan sosok perkasa Dewabhrata membayang silih berganti di depan mata mendesaknya pada sudut gelap yang sempit dan sesak. Hingga menjelang fajar Santanu tak juga dapat memejamkan mata, hatinya gundah, ia memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menidurkan gundah dan sampai pada suatu keputusan. Akan tetapi hari-hari ini Sang Raja memilih untuk diam.
Keesokan harinya Santanu tak hadir di balairung agung, setelah dayang-dayang melayaninya mandi, mengenakan pakaian seorang raja, hidangan di meja makan hanya sejumput dikunyah, selebihnya dikembalikan ke dapur istana dengan tanda  tanya dari sekalian pelayan. Sang Raja bersikap  tak biasa hari ini. Berulang kali Santanu menghela napas panjang kemudian merebahkan diri di peraduan, ia bersikap seakan seorang bocah remaja yang menggelikan, tengah dilanda asmara pada kisah cinta pertama, terhalang jurang pemisah teramat dalam dan seakan gagal menggapai.
Dari jendela kamar berulang kali tampak sepasang mata Raja Santanu menatap jauh ke depan, ke tepi Sungai Yamuna, mengenang kembali pertemuan dengan Satyawaty. Perempuan cantik yang seluruh ruas tubuhnya merebakkan aroma mewangi. Andai sang ayah tak mengajukan persyaratan yang berat itu, ia pasti telah memboyong gadis nelayan itu untuk sebuah upacara perkawinan agung. Akan tetapi, Santanu bahkan tak yakin, apakah perkawinan itu bakal terjadi? Ia tak akan sanggup mengkhianati Dewabhrata, ia mencintai putra mahkota melebihi cintanya pada kerajaan ini. Raja Santanu kembali termenung, pikirannya bekerja keras bagi sebuah jalan keluar, tetapi hingga berhari-hari mengurung diri, seluruh jalan seakan telah buntu. Santanu menghindari pertemuan dengan Dewabhrata, ia tak sanggup bertatapan dengan sepasang mata jernih pangeran itu. Ia masih mengurung diri di dalam kamar, meimbulkan tanda tanya seisi kerajaan, terlebih Dewabhrata.
Putra Mahkota telah menginjak dewasa, ia memiliki kecakapan dan kecerdasan yang luar biasa, Dewabhrata tak hanya mahir menggunakan senjata perang, akan tetapi bijak pula menentukan sikap. Harapan seisi kerajaan berada di pundak Putra Mahkota,  Dewabhrata menjalani hari-hari selaku calon raja tanpa beban yang berarti, kecuali lelah usai latihan perang atau penat setelah meghadiri pertemuan demi pertemuan di balairung agung yang seakan tak pernah berakhir, bahkan setelah matahari telah lama terbenam berganti sinar bulan. Tak ada yang keliru dalam kehidupan sehari-hari di istana, ia bagian yang paling pasti di dalam kerajaan ini, tak akan dapat tersisih lagi.
Akan tetapi, Dewabhrata mulai menyadari kebiasaan tak lazim, ketidakhadiran Raja Santanu. Andai Sang Raja hanya berpamit dalam dua-tiga hari untuk kunjungan ke kampung kampung atau pergi berburu.  Santanu tak pernah berpamit, berarti Sang Raja tetap berada di istana, tanpa kehadiran di balairung agung. Ada yang salah? Dewabhrata berpikir, sepasang alisnya yang hitam dan tebal berkerut, ia cukup cerdik untuk menandai hal-hal tak lazim pada diri sang ayah. Pangeran itu harus melakukan sesuatu, dan selalu ada cara.
Langkah kaki pangeran muda itu demikian yakin ketika ia melangkah menuju peraduan Raja Santanu, ia memiliki keleluasaan untuk berkunjung ke ruang pribadi itu, ia adalah putra kesayagan Raja Santanu. Dewabhrata perlu mengetuk  sebelum menguakkan daun pintu, sekejab kemudian ia menatap sosok Raja Santanu tengah berdiri di depan jendela, pandangannya menerawang jauh ke depan pada suatu tepat yag tak dapat dikunjungi, bahkan oleh Sang Putra Mahkota sekalipun. Tak sedikitpun terdapat senyuman pada  wajah Sang Raja, yang tergores pada raut muka itu adalah bimbang.
“Hormat bagi ayahanda dari Dewabhrata”, Putra Mahkota mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada membungkukkan badan, sepasang matanya yang tajam menatap lurus pada raut wajah dan sosok Santanu, Dewabhrata menangkap kegelisahan itu. Ia dapat mendengar helaan napas panjang Raja Santanu seakan sang ayah tengah melepaskan segala beban, sinar mata yang padam, dan suasana risau di kamar ini karena sikap dingin seorang raja. “Adakah yang keliru di istana ini, sehingga Ayahanda menjadi kurang hati?” kata-kata itu terucap dengan hati-hati, Dewabhrata tak bermaksud menyinggung perasaan Santanu, ia adalah seorang anak yang berbakti.
Sekali lagi Santanu menghela napas panjang kemudian melangkah perlahan, mendekati Dewabhrata memeluk Putra Mahkota, seorang pangeran yang dicintainya, detak jantungnya tiba-tiba berpacu. Ia tahu Dewabhrata pasti akan berkunjung ke peraduan, karena ketidakhadiran di lingkungan istana. Apa yang harus dikatakan? Raja Santanu berusaha keras menguasai diri, tak ada sedikitpun niat untuk menyakiti Dewabhrata dan menyeret pangeran itu menuju pilihan hidup yang sulit. Ia yang akan menanggung akibat dari pilihan itu. “Semoga kesehatan dan kemuliaan senantiasa menyertai paduka hari ini dan selama-lamanya”, Santanu melepas pelukannya, sejenak keduanya bertatapan dalam jarak yang sangat dekat, Sang Raja segera membuang pandang, ia kembali melangkah ke jendela, menatap jauh ke luar.
“Andai Dewabhrata dapat kiranya menjawab risau hati ayahanda?” Dewabhrata merasakan suasana ganjil di ruang pribadi ini, diam yang menggelisahkan, ia berdiri dan masih berdiri ketika Santanu masih juga terdiam. Sampai lama ia berdiri, Santanu tak juga berucap, udara tiba-tiba menjadi gerah, desir angin mati. Diam-diam Dewabhrata mengeluh, Sang Raja pasti berhadapan dengan situasi sulit, sedemikian sulit, sehingga ia tak mampu berucap setelah Putra Mahkota berdiri menunggu lebih panjang dari batas waktu yang sesungguhnya.
Dewabhrata menyerah, ia datang pada waktu yang tidak tepat, atau ia memang tidak dikehendaki untuk hadir di tempat ini. Raja Santanu memerlukan waktu untuk berdiam, sendiri entah sampai kapan, dan ia tak berhak memberikan batasan. Dewabhrata hendak undur berpamit, akan tetapi suara yang sudah sampai di ujung lidah kembali ditelan, ia mendengar Raja Santanu berucap, suaranya galau dan sedikit parau.
“Dewabhrata putraku tercinta, Putra Mahkota Kerajaan Astinapura, apapun yang terjadi pada diriku, maka satu-satunya putra yang kukasihi adalah dirimu. Tak ada persoalan apa-apa, tetapi setiap orang, bahkan seorang raja sekalipun terkadang bimbang menentukan pilihan. Siapapun perlu waktu. Kehidupan hanya dua warna yang hadir silih berganti, seperti halnya siang segera berubah menjadi gelap malam, seperti juga air laut, sebentar pasang kemudian surut. Manusia harus tetap seimbang di antara dua perbedaan, antara susah dan senang, antara duka dan bahagia. Tak ada yang salah putraku, bila saja engkau tahu, aku mencintaimu lebih dari segala ukuran yang dapat engkau bayangkan”, sekilas Raja Santanu menatap sosok tampak Dewabhrata, hatinya bergetar, ia akan bertindak semena-mena bila  menceritakan pertemuan dengan Satywaty di tepi Sungai Yamuna dengan segala persyaratan yang dicucapkan ayah gadis nelayan itu. Ia tak berhak berucap, ia hanya dapat memberikan jawaban tanpa makna yang pasti, Dewabhrata harus mampu memberi makna bagi jawaban itu, karena ia tidak bisa selamanya diam.
Di pihak lain Dewabhrata terpana, ia tak mengira akan mendapat jawaban seperti itu, kata-kata yang tak pasti artinya, tetapi memancing kemampuan berpikir. Dewabhrata mengerti, sang ayah tengah berada dalam situasi sulit – terlalu sulit hingga ia tak sanggup mengatakan hal yang sebenarya, ia faham sebuah isyarat, tak bisa terus mendesak. Seorang raja berhak untuk tidak menjawab pertanyaan ia dapat memiliki ruangan rahasia untuk ukuran luas yang tak ada batasnya
Dewabhrata membuka daun pintu kemudian mengatupkan kembali perlahan tanpa menimbulkan suara. Sejenak ia  menyandarkan kepala, memejamkan mata,  menghela napas panjang. Sang Raja menyimpan sesuatu, sebuah rahasia yang menyangkut takdir hidupnya, Paduka tak hendak mengatakan, betapapun mencintainya. Pandangan Putra Mahkota sekejab mengabur, sebelum dan sesudah ia mengunjungi Sang Raja di peraduan, hari-hari tak akan sama lagi. Ada sesuatu yang mengganjal di hati, menyesak di dada, ia harus mencari jawaban. Bila Baginda menutup mulut, ia harus menggunakan kecerdikan untuk membuka mulut orang lain yang, supaya bersuara. Siapa?
Langkah kaki Putra Mahkota masih tampak tegap dan mengesankan ketika berjalan di atas lantai istana yang berkilau. Biasanya Dewabhrata akan menebar senyum, kali ini senyum menjadi mahal, sejenak ia berdiri menatap bunga-bunga di taman, ikan-ikan yang berenang cantik pada jernih air kolam. Di atas langit sebiru kain sutera raksasa yang dibentangkan, mega-mega berarak sekalan kapas putih yang teramat lembut. Dewabhrata memandang ke angkasa tanpa berkedip seakan memohon petunjuk kepada Sang Maha Pencipta. Tak berapa lama kemudian sosoknya tubuhnya yang tegap, seorang kesatria pilih tanding mulai bergerak. Dewabhrata tahu kemana langkah kakinya harus menuju, ia  harus mendapatkan jawaban, ketika Raja Agung Astinapura terdiam seribu bahasa mengurung diri di peraduan.
Tak berapa lama kemudian Dewabhrata sampai di bagian belakang istana, ia mendengar suara kuda yang meringkik. Kuda-kuda itu tampak senang dengan kehadiran Putra Mahkota, seekor kuda putih meringkik dengan suara rendah  ketika Dewabhrata mengusap-usap badannya yang berkilau terawat oleh sebuah tangan yang dingin. Kehadiran tanpa disangka-sangka mengejutkan sais kereta.
“Beribu hormat bagi Putra Mahkota untuk kunjungan ini”, sais kereta itu memberikan sembah, membungkukkan badannya sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada.
“Aku hanya ingin mengunjungi bagian istana yang selama ini tak pernah kupijak. Ternyata kuda-kuda ini terawatt dengan baik, ia tampak seperti mengenalku”, Dewabhrata masih mengusap-usap seekor kuda, sepasang mata kuda itu tampak  membesar, berkedip manja memberikan tanda senang. Ia tidak melonjak-lonjak atau beringas bersiap meninggalkan istal.
“Hamba hanya seorang pelayan, hal-hal terbaik selalu kami berikan kepada istana”, sais kereta itu mengucapkan kata-kata yang tulus, ia bersyukur memperoleh pekerjaan di Astinapura, di bawah naungan seorang raja yang bijak dan Putra Mahkota yang berhati mulia.
“Engkau tak mengantar pergi Baginda Raja pergi mengunjungi kampung-kampung petani atau sejenak pesiar ke tepi Sungai Gangga”, suara Dewabhrata tenang tanpa tekanan, tak menunjukkan kesombongan bahwa ia adalah seorang Putra Mahkota yang berwenang atas tiap jengkal isi istana.
“Beribu ampun, andai Baginda berkehendak kiranya hamba akan menyertai kemana Baginda pergi”, sais kereta itu menjawab dengan tenang, ia tersanjung dengan kehadiran Dewabhrata ke tempatya bekerja.
“Kemana engkau terakhir kali menyertai Baginda Raja pergi?”
“Terakhir saya menyertai Baginda Santanu pergi ke Sungai Yamuna”.
“Sungai yang indah, Baginda pasti senang pergi ke sungai itu”.
“Benar, Baginda Raja sangat senang. Tetapi ….” Sais kereta itu menghentikan kata-katanya, sejak bepergian ke tepi Sungai Yamuna, Raja Santanu mengurung diri, ia meninggalkan urusan kerajaan, ada beban berat yang menindih pikiran raja itu, ia mengerti. Akan tetapi, seorang hamba tak boleh berucap kecuali memperoleh ijin. Atau ia akan mengatakan hal yang tidak semestinya kemudian hukuman menunggu di belakang hari.
“Tetapi, apa? Sejak engkau mengantar ke Sungai Yamuna, Baginda mengurung diri di peraduan. Pangeran mana yang tidak merasa sedih melihat Sang Raja bermuram durja. Ada yang ditemui di sungai itu?” Dewabhrata mengarah pada tujuan yang sebenarnya untuk apa sesungguhnya ia mengusap-usap kuda. Ia menatap dalam-dalam wajah sais kereta, hingga pegawai istana itu menundukkan kepalanya.
“Engkau hanya menjawab pertanyaan, apa pun jawaban itu seoranag sais kereta tak pernah terlibat di dalamnya. Andai jawaban itu salah, anggaplah aku tak pernah bertanya. Bila jawaban itu benar, mari kita mencari jalan keluar supaya Baginda kembali seperti semula”, Dewabhrata masih menatap wajah sais kereta yang berubah memucat, kepalanya menunduk semakin dalam. Pangeran itu tahu, betapa seorang sais kereta dapat menjadi sedemikian takut, karena satu pertanyaan, akan tetapi ia tak punya pilihan  kecuali bertanya untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya. Ia harus menentukan sikap, mengambil tindakan.
Diam menggantung di tempat itu, sedemikian panjang hingga Dewabhrata merasa risau, benar Baginda Raja menyimpan suatu rahasia besar yang  menyangkut takdir hidupnya. Ia  harus mampu menguak rahasia itu, atau suasana istana akan gelisah selamanya. Kegelisahan seorang raja adalah suasana cemas bagi seluruh istana terutama Sang Putra Mahkota. Akankah ia membiarkan suasana semacam in berlarut-larut?
“Siapa yang ditemui Baginda Raja Santanu di Sungai Yamuna?” suara Dewabhrata halus, ia dapat memahami ketakutan seorang sais kereta, namun betapapun takut sais itu ia harus menjawab pertanyaannya. “Kuijinkan engkau berkata ….” Akhirnya Dewabhrata mengambil sikap tegas, ia berdiri dengan tegak, pandangan lurus, tangan mengepal, ia tak menatap lagi wajah pucat seorang sais kereta. Pegwai istana itu harus dan wajib menjawab setiap pertanyaan seorang Putra Mahkota.
Suasana kembali diam, tetapi tidak berlangsung lama, dengan suara terbata-bata dan wajah tetap menunduk sais kereta itu akhirnya berucap, ia tidak punya lagi pilihan kecuali berucap andai Putra Mahkora berniat menggempur kepalanya. Ia hanya seorang hamba, “Beribu ampun Yang Mulia Putra Mahkota, saat terakhir kali hamba menyertai Paduka  Raja ke Sungai Yamuna, Paduka bertemu dengan seorang gadis nelayan yang sangat cantik, memiliki harum tubuh yang luar biasa. Ia bernama Satyawaty. Baginda jatuh cinta, meminta Satyawaty menjadi permaisuri, akan tetapi ayah Satyawaty,  kepala kampung nelayan mengajukan persyaratan….” Sampai di sini kata-kata itu terhenti, tenggorokan sais kereta itu serasa tercekik, tak mampu berucap, jantungnya berdebar kencang, aliran darahnya seakan berhenti. Bagaimana ia harus menyusun kata-kata?
“Apa persyaratan itu?” Dewabhrata mengerutkan alisnya, sebagian tabir telah tersingkap, tetapi sebagian yang lain masih tertutup. Ternyata Baginda Raja telah menemukan tambatan hati, tetapi dengan persyaratan, suatu hal yang membuatnya mengurung diri, membungkam, sekaligus menjauh dari kehidupan kerajaan. Suatu sikap yang menimbulkan tanda tanya dan menyesakkan dada Dewabhrata, adakah sebagian tabir itu menyangkut akan takdir hidupnya, maka sais kereta kini terdiam, menunduk, ketakutan.
Suasana di istal itu benar-benar lengang, bahkan kuda-kuda seakan enggan meringkik, Dewabhrata merasa hatinya dicekam gelisah. Ia akan tetap merasa gelisah bila sais kereta tak mau berucap, tetapi apa haknya untuk tetap diam. Ia wajib mengetahui setiap jengkal perubahan yang terjadi di setiap sudut istana ini. Putra Mahkota itu menarik napas panjang, ia melangkahkan kaki hingga jaraknya cukup untuk menyentuh lengan sais kereta, “Apapun yang engkau ucapkan bukanlah kesalahan, karena aku yang meminta. Engaku harus berkata, atau Baginda Raja akan mengurung diri di peraduan selamanya”, sentuhan itu demikian lembut memberikan kekuatan kepada sais kereta untuk meneruskan kata-kata.
“Ayah Satyawaty mengijinkan anak gadisnya menjadi permaisuri bila kelak terlahir anak laki-laki, maka ia berhak menjadi Putra Mahkota, pada saatnya nanti akan bertahta sebagai Raja Hastinapura….”, suara sais kereta teramat lemah seakan berbisik, akan tetapi cukup bagi Dewabhrata untuk menyadari kebenarannya.
Putra Mahkota kini terdiam, benar Baginda Raja menyimpan rahasia yang menyangkut takdir besar hidupnya. Ia harus meluruskan jalannya selaku Putra Mahkota, melepaskan Satyawaty dengan akibat mengurung diri di peraduan tanpa kata-kata. Atau, ia mengorbankan tahta bagi Putra Mahkota, tetapi harus kehilangan seorang gadis yang dicintai dan mampu mengisi kekosongan hati? Baginda tak mampu memilih, ia berada dalam keadaan bimbang, untuk sementara mengurung diri, menghindari kedua pilihan. Kebimbangan itu mengusik rasa damai Dewabhrata, ia tidak bisa membiarkan istana tanpa kehadiran seorang raja pada tugas rutin sehari-hari. Putra Mahkota itu termangu-mangu, menghela napas berulang kali, membuang pandang kemudian memejamkan mata. Ia merasa ditantang untuk berlaku bijak sebagai seorang anak, ia harus melakukan sesuatu pada kesempatan pertama.
Ketika sepasang mata yang memejam itu kembali terbuka, Dewabhrata merasa kegelisahan hati mendapatkan jawaban. Ia mempunyai wewenang untuk mengubah nasib dirinya dan nasib orang-orang di sekitarnya, tak mudah berlaku adil, tetapi harus. Apa arti tahta bila harus mengorbankan kebahagiaan orang lain? Apa arti menjadi seorang raja bila diam-diam ada seorang yang sebenarnya tak menghendakinya?
“Terima kasih untuk jawaban itu. Sekarang, antarkan saya ke Sungai Yamuna”, kata-kata Dewabhrata singkat. Tak lama kemudian kereta telah dipacu membelah jalan berdebu, pada dua tepi jalan adalah pohon-pohon yang rindang, rumah-rumah penduduk berdampingan dengan kebun, sekelompok ternak tampak pula merumput.
Sais kereta mengendalikan kuda tanpa sepatah kata, ia tidak berhak berucap andai Putra Mahkota memintanya untuk menyertai ke Puncak Himalaya sekalipun, ia harus selalu siap menjalankan perintah. Demikianlah takdir seorang hamba. Sementara di atas kereta Dewabhrata menatap lurus ke depan tanpa sedikit pun keraguan, ia harus melakukan sesuatu untuk memberikan kehidupan yang wajar di Astinapura. Ia sadar, sebentar lagi ketika ia menyusuri jalan yang sama dengan arah yang berlawanan, maka keadaan akan sangat berbeda. Rentang waktu satu  hari akan mengubah hingga seluruh hidup, memang demikianlah suratan takdir. Ia telah memilih kemudian menuliskan takdir dengan seluruh kesadaran dan tak akan pernah lagi menariknya ke belakang.
Akhirnya tampak permukaan Sungai Yamuna yang mengalir dengan tenang dari hulu menuju ke muara, kereta terus berpacu. Dewabhrata menatap permukaan air itu, wajahnya datar tanpa menunjukkan gejolak perasaan, ia sudah seharusnya berada dalam perjalanan ini. Tiba-tiba Dewabhrata menghirup aroma wangi yang demikian hebat yang membawanya pikirannya melayang jauh ke suatu tempat yang tak pernah dikunjungi, segala kecemasan yang pernah melanda tiba-tiba musnah tanpa sisa, ia merasa amat nyaman. Semakin lama aroma itu semakin kuat seakan memabukkan, Dewabhrata menebar pandang hingga kereta berhenti di depan sebuah rumah mungil yang sederhana dan terawatt  dengan baik. Di halaman depan tampak seorang gadis tengah berdiri menatap permukaan air Sungai Yamuna, tubuh gadis itu demikian ramping terbalut pakaian sederhana. Ketika menatap raut wajah gadis itu Dewabhrata terpana, benar bila Baginda Raja jatuh cinta pada pandangan pertama dan berniat melamarnya. Gadis itu pasti Satywaty.
Dengan sigap Dewabhrata turun dari kereta, kehadirannya yang tiba-tiba tanpa pemberitahuan mengejutkan gadis nelayan penghuni rumah. Dengan tergesa Satyawaty memberikan hormat, membungkukkan badan, “Segala hormat bagi kedatangan Putra Mahkota”, wajah cantik itu diam menunduk dengan suatu pertanyaan, ada gerangan sehingga Dewabhrata berkenan hadir di rumahnya yang sederhana.
“Kuterima segala hormat, bisakah aku bertemu dengan kepala kampung nelayan?” Dewabhrata tak berpanjang lebar, ia segera menuju pokok persoalan tentang maksud kehadirannya. Wajahnya yang belia dalam waktu yang sangat cepat tiba-tiba berubah menjadi sangat dewasa, anak tunggal Santanu itu berdiri dengan sikap kokok seakan kesatria siap berperang, tatapan matanya lurus tak terkacaukan andai badai paling dasyat sekalipun riuh berpusing.
“Dengan segala hormat Pangeran, ayahanda pasti tersanjung dengan  kehadiran ini”, tergesa Satyawaty melangkah ke dalam rumah, tubuhnya yang ramping berkelebat dengan lemah gemulai seakan penari yang tengah meliukkan badan  diiringi  irama, raut  wajahnya yang lembut tak dapat menyembunyikan pertanyaan, akan tetapi hingga sampai hari ini ia tak memiliki hak untuk bertanya.
Tak berapa lama kemudian kepala kampung nelayan yang cerdik, ayah kandung Satywaty telah memberikan hormat, membungkukkan badannya dalam-dalam di depan Dewabhrata, “Beribu hormat bagi Putra Mahkota Dewabhrata, semoga perlindungan dan kemuliaan senantiasa menyertai Pangeran Astinapura hari ini dan selama-lamanya”, kepala  kampung nelayan ini merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, setelah kunjungan Raja Santanu tanpa disangka-sangka, kini Putra Mahkota bertandang pula. Putrinya yang jelita kiranya  telah menjadi daya kekuatan mengundang orang-orang besar meluangkan waktu di rumahnya yang sederhana.
“Kuterima hormat dan doamu Bapak Nelayan, tempo hari Baginda Raja Santanu pernah bertandang pula ke rumah ini, meminta supaya Satyawaty untuk mendampingi selaku permaisuri. Akan tetapi, ada persyaratan yang engkau minta, apa persyaratan itu?” Dewabhrata menatap wajah kepala kampung nelayan itu tanpa berkedip, ia hanya seorang nelayan, tetapi betapa cerdik kemampuan berpikir yang berlindung di balik hitam rambutnya. Ia sadar akan kecantikan anak gadis yang mampu memikat hati seorang raja, dan ia tahu hak seorang permaisuri akan tahta bagi anak laki-laki yang dilahirkan. Ia tak akan melepaskan kesempatan emas yang hanya datang satu kali tanpa persyaratan, ia mempertaruhkan sebuah permintaan dengan akibat tak disangka-sangka yang akan mengubah jalan hidup seluruh keturuan Bharata.
Kepala kampung nelayan itu tak segera menjawab pertanyaan Dewabhrata, ia tidak merasakan nada kemarahan dalam  suara itu. Seluruh kerajaan mengenal Putra Mahkota sebagai seorang pangeran yang bijak, seorang yang tidak pernah bertindak semena-mena terhadap rakyat kecil sekalipun. Akan tetapi, ia harus berhati-hati, ia tengah menggenggam nasib ke depan Satyawaty, adakah seorang bapak yang tidak mengharapkan nasib baik anak gadisnya? Ia akan memberikan suatu hal terbaik atas nama seorang ayah kepada anak gadisnya. 
“Ada persyaratanmu?” sekali lagi Dewabhrata bertanya, ia telah bersiap memberikan jawaban. Sepasang matanya yang tajam masih terus menatap wajah cerdik kepala kampung nelayan, wajah cerdik itu menurunkan seorang gadis yang teramat cantik, sehingga Raja Santanu memilih mengurung diri, meninggalkan urusan pemerintahan, karena kerinduan yang tak juga terjawab.
Ayah Satyawaty tak perlu lagi ditanya untuk yang ketiga kali, ia tetap berdiri dalam sikap hormat, tak sedikitpun berkehendak untuk mengucapkan kata-kata yang tercela, meski jantungnya tetap berdebar kencang. “Beribu ampun Putra Mahkota, benar Paduka Raja Astinapura pernah berkunjung ke rumah yang kecil dan sederhana ini, mengajukan lamaran bagi anak saya Satywaty, meski anak saya sesungguhnya kurang layak menjadi seorang permaisuri. Saya terima lamaran itu dengan satu syarat, bila kelak Satyawaty melahirkan seorang bayi laki-laki, maka kelak bayi itu akan dinobatkan selaku Putra Mahkota dan pada saatnya akan akan bertahta sebagai Raja Astinapura”, kepala kampung nelayan itu menundukkan mukanya, ia telah mengajukan persyaratan yang sangat berani, karena hal itu berarti merampas hak Dewabhrata selaku Putra Mahkota sekaligus calon raja. Akan tetapi, adakah persyaratan lain yang lebih istimewa bagi Satyawaty.
“Masih ada lagi persyaratanmu?” Dewabhrata bertanya, ia melirik ke arah wajah menunduk Satyawaty dan mata cerdik kepala nelayan. Mereka hanya hidup sebagai penangkap ikan, akan tetapi karena Baginda Raja berkehendak menikahi Satywaty selaku permaisuri, maka muncul persyaratan yang sesungguhnya amat memberatkan Santanu. Meskipun tak mampu kehilangan Satyawaty, Santanu tak akan pernah meminta kepada Dewabhrata untuk melepaskan hak selaku Putra Mahkota sekaligus menyingkirkan jauh-jauh dari tahta.
Dalam hal ini, apa beda antara Santanu dan Dewabhrata? Keduanya sama-sama memiliki hak untuk menentukan kehidupan keturunan Bharata di lingkungan Astinapura. Apabila Santanu terperangkap mengurung diri di peraduan, maka Dewabhrata masih mampu memberikan jawaban. Keputusan salah satu dari kedua orang itu akan berakibat sama, kehidupan di Astinapura harus kembali seperti sediakala. Rakyat membutuhkan kehadiran dan keputusan seorang pemimpin.  
“Masih ada lagi persyartanmu Bapak Nelayan?” Dewabhrata mengulang pertanyaan, karena mulut nelayan itu terkunci.
“Mohon ampun Putra Mahkota Astinapura, hamba tak memiliki lagi persyaratan”, jantung nelayan itu terus berpacu, ia tidak memahami apa sesungguhnya maksud kedatangan Putra Mahkota, andai Dewabhrata mengayunkan bilah pedang, apapula yang dapat dilakukan? Ia telah terlanjur berucap, sekalipun hanya seorang nelayan, ia tak akan pernah mencabut ucapannya. Ia perlu memberikan yang terbaik bagi anak gadisnya.
“Baik, dengarkan kata-kataku. Sekali lagi atas nama Baginda Raja Santanu, aku Dewabhrata melamar Satyawaty selaku permaisuri. Kelak, bila permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia akan dikukuhkan selaku Putra Mahkota dan pada saatnya akan menjadi Raja Astinapura. Aku melepaskan hak selaku Putra Mahkota dan tak akan pernah bertahta sebagai raja”, suara Dewabhrata terdengar seakan guntur menggelegar dari ketinggian angkasa, sais kereta yang berdiri tak jauh dari tempatnya berucap terpengarah. Ia adalah saksi dari ucapan seorang Putra Mahkota yang rela melepaskan tahta demi perkawinan ayahanda yang dicintainya. Dewabhrata telah menyusun kata-kata itu sebelum mengucap dengan sepenuh kesadaran, bila Raja Santanu tak berkuasa memilih takdir baginya, maka ia yang akan menyuratkan takdir itu sendiri. Dan ia benar telah menyuratkan.
Di tempatnya berdiri Satyawaty terpaku bagai arca, napasnya demikian lembut tak menampakkan keterkejutan. Nasibnya selaku gadis nelayan akan segera berubah dengan cepat, ia akan segera menjadi seorang permaisuri pada sebuah kerajaan besar. Anak laki-laki yang kelak dilahirkan akan dikukuhkan selaku Putra Mahkota, kemudian akan bertahta sebagai raja. Kehalusan budi gadis itu menyembunyikan sebuah perasaan yang bergolak, raut wajah Satyawaty tetap selembut goresan tangan pelukis ternama, cantik jelita tiada cela. Sementara sang ayah, kepala kampung nelayan itu berusaha sedapat mungkin menguasai kegembiraan yang nyaris membuatnya melompat-lompat. Persyaratan telah terpenuhi, tetapi perebutan tahta adalah suatu hal yang biasa terjadi ketika seorang raja memiliki keturunan lebih dari seorang permaisuri. Bagaimana bila anak yang dilahirkan Satyawaty kelak akan berebut tahta dalam perang berdarah-darah dengan saudara satu ayah lain ibu?
“Beribu ampun Pangeran, saya hanya seorang nelayan“Beribu ampun Pangeran, saya hanya seorang nelayan. Pangeran sungguh kesatria yang berbudi mulia. Hamba terima lamaran ini, akan tetapi bila nanti Pangeran memiliki pula seorang putra, apakah perebutan tahta tidak akan terjadi?” kepala kampung nelayan itu belum juga merasa yakin, bahwa persyaratan dan janji yang diucapkan Dewabhrata akan menjamin anak laki-laki Satywaty kelak akan menjadi seorang raja.
Dewabhrata masih tegak berdiri, beban di pundaknya serasa mulai berkurang, ia telah mengucap janji, sumpah yang tak akan pernah dicabut kembali. Akan tetapi janji itu ternyata belum cukup untuk memboyong Satyawaty sebagai seorang permaisuri. Dewabhrata serasa didesak ke sudut yang paling jauh bagi kehadiran seorang permaisuri, adakah ia memiliki pilihan? Ia telah melepaskan haknya selaku raja, akan tetapi ia tak akan pernah kehilangan wewenangan selaku sosok yang menentukan dalam kehidupan istana. Kini, keturunan yang bakal dilahirkan menjadi aral melintang bagi perkawinan ayahanda. Dewabhrata menghela napas panjang, ia telah menikmati segala kemuliaan hidup di istana yang megah dengan segala hormat dari seluruh hamba. Ia harus mengorbankan peristiwa penting dalam hidupnya demi memenuhi persyaratan seorang kepala kampung nelayan yang secara cerdik mengamankan tempat anak gadisnya sebagai calon ibu suri. Dewabhrata harus mengambil sikap, ia harus melakukan sesuatu, sehingga ayahanda Raja Santanu mendapatkan  kembali rasa bahagia dala kehidupan istana. Sesaat pangeran itu memejamkan mata kemudian bersumpah.
“Dengarkan kembali kata-kataku, sepanjang hidup aku tidak akan menikah, dengan demikian maka tidak akan pernah kiranya aku mempunyai anak. Tidak akan terjadi perebutan tahta antara anakku dan anak dari Satywaty”, kata-kata itu terucap dengan lantang, mendadak suasana di tepi Sungai Yamuna menjadi hening. Dewabhrata, Satywaty, Kepala Kampung Nelayan hadir hari ini --  hari ini, tak seorang pun mampu menatap masa depan, tidak juga sang pengucap sumpah. Masa depan memang masih terlalu jauh untuk diramalkan pada hari ini, akan tetapi saat itu akan tiba. Tiba dengan membawa pula akibat dari sumpah Dewabhrata.
Tiba-tiba bunga-bunga berguguran di kepala Dewabhrata, menebarkan aroma mewangi. Dari angkasa terdengar merdu suara berucap, “Bhisma …. Bhisma …. Bhisma ….”,
Bhisma berarti seorang yang telah mengucapkan sumpah maha berat dengan niatan suci dan benar-benar akan melaksanakan. Dewabhrata benar akan memegang kebenaran ucapannya, ia pantang menjilat ludahnya sendiri, hatinya telah teguh. Dengan syarat apa pun ia harus dapat memboyong Satyawaty ke Astinapura, menggelar adat perkawinan agung, maka Raja Santanu dapat menikmati hari-hari selaku seorang raja seperti sediakala.
Sejak saat itu nama Dewabhrata tiada, ia telah melepaskan gelar yuwaraja, tidak lagi berkedudukan sebagai Putra Mahkota, terlebih calon raja. Bhisma yang Agung adalah sebutan sehari-hari bagi seorang Putra Mahkota yang berkorban mengucap sumpah demi kebahagiaan seorang ayah yang dapat bersanding dengan permaisuri. Bhisma, betapapun agung sebutan itu, tak mampu menghindarkan pertikaian yang terjadi di kemudian hari. Meskipun sumpah itu sebenarnya adalah untuk menghindari perseteruan antara sesama pangeran lain ibu dalam memperebutkan tahta.
Bhisma ….
                                                        ***
Raja Santanu kembali ke istana menggandeng tangan Dewabrata dengan rasa bahagia tak terperi, kehadiran anak ini mengobati kerinduan akan Dewi Gangga, menjawab pula pertanyaan akan penerus tahta. Sosok tampan Dewabrata membuat Santanu  merasa damai, kini ia tahu bagaimana perasaan seorang ayah yang berkesempatan menuntun putra mahkota menuju dewasa. Senja terasa demikian indah, merona pada maha cahaya, kemilau, merah tembaga.
Keesokan harinya sebuah upacara agung penyambutan putra mahkota diselenggarakan, Dewabrata tampak lebih dewasa ketika mengenakan pakaian kebesaran, ia mulai langkah pertama dalam persiapan sebagai seorang raja. Raja Santanu merasa yakin dengan kemampuan putra Gangga meneruskan tahta. Dewabrata mewarisi kecantikan Dewi Gangga, ia akan membimbing putra mahkota sebagai orang pertama di kerajaan ini yang akan memerintah secara bijak, membawa kehidupan rakyat menuju kemakmuran. Meskipun tanpa kehadiran permaisuri, Raja Santanu dapat kembali merasakan hari-hari damai dengan kehadiran putra mahkota di sisi singgasana.
Hari pun berganti minggu, berganti bulan, dan tahun, tanpa terasa empat tahun berlalu, Dewabrata tumbuh menjadi pemuda gagah selaku tumpuan harapan Santanu. Ia mahir menggunakan senjata perang, santun bersikap, sopan berbicara. Santanu menghela napas lega, ia telah menuntun putra mahkota menuju jalan yang sesungguhnya.  Suatu hari --  usai bercengkerama dengan Dewabrata, Santanu berjalan jalan di tepi Sungai Yamuna. Permukaan air sungai demikian tenang menyembunyikan arus kencang di bawahnya. Matahari berkilau memantulkan sinar terang  kehidupan, daun-daun seakan tampak lebih hijau, rumput berguncang lembut dalam desir angin, kupu-kupu mengepakkan sayapnya yang indah, hinggap pada aneka kelopak bunga.   Tiba-tiba angin berhembus sedemikian kencang, Raja Santanu mencium aroma harum kelopak bunga, aroma yang tak pernah dikenal bahkan di lingkungan istana.
Harum apakah ini?
Raja itu bergumam dalam hati, tanpa sadar langkah kaki Sang Raja bergerak mencari sumber aroma yang demikian wangi, mendebarkan. Tak lama kemudian langkah Santanu berhenti, ia perlu mengerjabkan mata berulang kali untuk meyakinkan penglihatannya. Di tepi Sungai Yamuna tampak seorang gadis cantik tengah duduk melamun menatap ke tengah permukaan air. Gadis itu tak berpakaian gemerlap layaknya Dewi Gangga, penampilan teramat sederhana, demikian pula dengan pakaian sahaja yang tak mampu menyembunyikan indah bentuk tubuhnya. Aroma wangi kian memabukkan, Santanu mengikuti nalurinya berjalan mendekat. Sejak Dewi Gangga pergi berlalu, tak seorang pun wanita mampu singgah di relung hatinya. Akan tetapi, gadis cantik yang menjadi sumber aroma mewangi sungguh menawan hati.
Darah Raja Santanu tersirap  ketika akhirnya berdiri tepat di hadapan gadis cantik itu, ia dapat menatap sepasang mata teduh seakan jernih embun pagi, kulit putih berseri, sosok tinggi semampai dengan pinggang teramat ramping, dan rambut indah hitam legam. Gadis itu segera berdiri, tersenyum memberikan sembah, Santanu merasa jantungnya berdegup kencang seakan gemuruh gelombang lautan. Ia merasakan kembali perasaan yang sama ketika pertama kali bertemu Dewi Gangga di tepi sungai pada senja yang menakjubkan. Santanu harus menyadari, ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sepasang kaki raja itu seakan berdiri di atas tumpukan aneka bunga ketika mengulurkan tangan seraya berucap, “Apa yang engkau pikirkan di tepi Sungai Yamuna, gadis jelita?” Santanu merasakan genggaman tangan yang lembut, ia seakan enggan melepas genggaman itu.
“Terimalah hormat dari Satyawati, seorang penangkap ikan, anak kepala kampung nelayan”, suara Satyawati merdu, memacu detak jantung Sang Raja yang terpikat oleh penampilannya, penampilan sederhana seorang gadis  penangkap ikan, anak kepala kampung nelayan.
“Kuterima hormatmu, tetapi apa yang engkau pikirkan, engkau tampak sedang melamun”, Raja Santanu menatap jernih sepasang mata Satyawati, ia merasa seakan tengah menyelam ke dasar danau yang amat bening. Sang Raja merasakan sejuk dan damai, gadis ini akan mengakhiri penantiannya akan Dewi Gangga.
“Tidak ada yang perlu dipikirkan, Satyawati merasakan senja yang indah atas kehadiran paduka. Sungguh suatu kehormatan, paduka berkenan bertegur sapa”,   suara itu masih tetap merdu merayu, sikap gadis nelayan itu teramat tenang.
Santanu hanyut dalam khayalan, berapa lama ia hidup di istana yang megah tanpa kehadiran permaisuri. Sebenarnya ia merasa sunyi, meski kehadiran Dewabrata telah mengobati kesunyian itu. Akan tetapi, ia adalah seorang putra bukan permaisuri. Santanu sudah tak menunggu lagi kehadiran Dewi Gangga, wanita cantik itu tak akan pernah lagi hadir sebagai permaisuri. Kini ia berhadapan dengan seorang gadis penangkap ikan, alangkah berbeda sosok dan peranan kedua wanita itu dalam kehidupan, namun Satyawati tak  kalah menarik dengan si jelita Dewi Gangga. Pesona wajah rupawan itu memancarkan kedamaian. Sanggupkah Santanu kehilangan, meninggalkan Satyawati seorang diri di tepi Yamuna tanpa sebuah ikatan? Ia harus mengatur kata-kata yang tepat untuk menyatakan isi hati.
“Satyawati, gadis penangkap ikan, putri kepala kampung nelayan. Bukan suatu kebetulan pertemuan hari ini di tepi Sungai Yamuna, harus kusampaikan, sejak kepergian permaisuri Dewi Gangga. Istana Hastinapura terasa amat sunyi, sungguhpun putraku tercinta Dewabrata telah berlaku sebagai putra mahkota dan siap pula menjadi seorang raja. Akan tetapi, apa arti seorang raja tanpa didampingi permaisuri. Andai engkau bersedia menjadi pendamping Santanu”, Raja Santanu masih tetap mencium aroma mewangi dari tubuh Satyawati, ia terbuai, ia ingin aroma wemangi itu tetap berada di dekatnya, di lingkungan istana, maka akan lengkap sudah kehidupannya selaku seorang raja.
“Beribu sembah Satyawati sampaikan, suatu kehormatan memenuhi permintaan paduka, akan tetapi alangkah baiknya bila paduka bertemu pula dengan ayah hamba”, Satyawati membungkukkan badan dalam-dalam. Pernahkah ia bermimpi menjadi seorang permaisuri, menjadi seorang yang sangat penting dan berwenang di dalam istana, bahkan di seluruh wilayah kerajaan. Ia akan bergelimang kemilau emas,  permata, kemuliaan, kemudian menurunkan raja diraja. Akan tetapi, ia tak berani mengambil tindakan apa pun tanpa seijin seorang ayah.
Keduanya berjalan beriringan seakan sepasang kekasih yang sengaja dipertemukan menuju rumah tinggal Satyawati. Tak jauh dari keduanya berjalan, sais kereta tak sekejab pun mengalihkan pandangan, ia mesti tahu hal-hal yang dilakukan baginda, meski ia tak akan pernah berucap. Sais itu mengikuti langkah Santanu dan Satyawati hingga sampai di rumah gadis cantik itu. Rumah Satyawati adalah pondok sederhana, akan tetapi terawat dengan baik, tak heran bahwa di dalam rumah yang nyaman itu tinggal seroang gadis yang dapat membuat seorang raja jatuh hati. Ayah Satyawati menyambut kehadiran itu sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, hatinya dipenuhi tanda Tanya, hal apakah yang telah  mengundang seorang raja besar hadir di rumahnya?
“Hormat dan sembah kepada Yang Mulia Raja Santanu”, nelayan itu memberikan hormat dengan takzim.
“Kuterima hormat dan sembahmu bapak nelayan, aku tak berpanjang lebar dengan kedatangan ini. Sore ini, di tepi Sungai Yamuna aku telah bertemu dengan anak gadismu yang rupawan, Satyawati. Setelah Dewi Gangga pergi, Astinapura terasa sunyi tanpa kehadiran seorang permaisuri, meski Dewabhrata Putra Mahkota ada pula mendampingiku di istana. Bila engkau ijinkan, aku, Raja Santanu meminta restumu untuk melamar Satyawati menjadi seorang permaisuri, tinggal bersamaku di Astinapura”, Raja Santanu tak membuang-buang waktu, ia adalah seorang raja dan dapat memenuhi segala kehendak. Tak mungkin kiranya seorang nelayan akan menolak lamaran seorang raja.
Akan tetapi, Raja Santanu salah  mengira. Benar, lamaran itu tak akan pernah ditolak, namun ayah Satyawaty adalah seorang nelayan yang cerdik, ia tak akan  menerima pinangan begitu saja tanpa persyaratan. Kewenangan seorang permaisuri akan berakhir ketika tahta raja diserahkan  kepada Putra Mahkota, kecuali anak yang dilahirkan akan berhak  meneruskan tahta, bukan anak dari istri raja yang lain. Ia mengasihi anak gadisnya yang jelita, ia tak akan memenuhi lamaran itu tanpa persyaratan.
“Daulat Tuanku, sungguh suatu kehormatan bagi seorang nelayan untuk menerima pinangan seorang Raja Besar Astinapura. Benar, anak gadis saya, Satyawaty sudah beranjak dewasa, sudah tiba pula saatnya untuk berumah tangga. Andai Paduka berkenan memegang janji, hamba terima lamaran itu dengan segala senang hati”, ayah Satyawati berucap dengan sangat hati-hati, ia tidak ingin melakukan kesalahan, kata-katanya hari ini akan mengubah takdir hidup anak gadisnya, bahkan anak-anak yang bakal dilahirkan selama-lamanya.
“Janji apa yang harus kuucapkan?” suara Raja Santanu demikian berwibawa, ia pasti akan sanggup memenuhi janji itu, ia seorang raja, memiliki kekuasaan yang sangat luas.
Sejenak suasana diam, Satyawati menundukkan wajah, Santanu semakin terpesona, gadis itu tak pernah kehilangan daya tarik, sungguh pun ia hanya diam, tanpa sepatah kata. Cahaya senja yang semakin redup jatuh pada wajah yang lembut ini, Satyawaty tampak seakan sebuah lukisan yang digores seniman masyur, bentuk wajah, sepasang alis, mata, hidung, pipi, bibir, dan dagu demikian sempurna. Secara ajaib roh menghembus ke dalam sosok menawan itu, sehingga bernapaslah ia selayaknya manusia. Aroma mewangi tetap merebak dari tubuh muda yang ramping itu, Santanu  benar-benar jatuh hati. Ia kembali mengulang kesalahan, melamar seorang gadis pada pertemuan pertama, tanpa menyadari cerita panjang yang akana terjadi pada hari berikutnya. Cinta membuat siapa pun, bahkan seorang raja  menjadi demikian buta adanya.
Di pihak lain, ayah Satyawaty masih terdiam, bekerja keras menyusun kata-kata.
“Apa permintaanmu Bapak Nelayan?” Santanu mengulang pertanyaan, Santanu menatap wajah tua itu dalam-dalam, menduga-duga, kata-kata apa yang hendak diucapkan.
“Beribu ampun paduka, bila Satyawati benar menjadi permaisuri di Astinapura, hamba sangat berharap, bahwa anak laki-laki yang dilahirkan kelak dapat menjadi Putra Mahkota kemudian bertahta selaku seorang raja”, kata-kata itu singkat, tetapi cukup membuat debur jantung Santanu seakan terhenti.
Tiba-tiba sepasang kaki raja besar itu terasa limbung seakan hendak terguling ke atas tanah, Santanu menatap nelayan tua itu dengan pandangan sulit ditafsirkan, antara terkejut, marah, bimbang, tak berdaya, dan akhirnya ia merasa terjungkap pada sebuah jalan yang buntu. Ia sungguh berniat menikahi Satyawati, memulai kehidupan baru, meramaikan kehidupan istana dengan kehadiran seorang permaisuri yang rupawan dan jelita. Akan tetapi, bagaimana ia dapat melakukan semua itu, andai ia harus mengorbankan Dewabhrata, putranya yang sangat dicintai. Sanggupkah ia mengkhianati putra mahkota, sanggupkah ia menumpas masa depan satu-satunya putra dari Dewi Gangga yang dikasihi sepenuh hati. Tanpa sadar Santanu menggelengkan kepala. Ia tak akan sanggup mengecewakan Dewabhrata, andai ia harus tetap bertahta tanpa seorang permaisuri.
Raja besar itu menghela napas berulang kali, sejenak menatap wajah cantik Satyawaty, membuang pandang kemudian melangkah seakan helai daun kering yang tercampak dari ranting, melayang tanpa arah. Ia meninggalkan pondok yang sederhana ini tanpa sepatah kata, seolah antara mereka bertiga tak pernah terjadi percakapan apa-apa. Santanu merasa demikian kehilangan ketika ditinggalkan Dewi Gangga, kini ia harus melepaskan sesuatu yang diinginkan, bahkan sebelum berkuasa memiliki. Seorang perempuan sering berperangai aneh dalam memenuhi lamaran, bahkan ketika lamaran itu datang dari seorang raja Astinapura. Dulu Dewi Gangga meminta persyaratan aneh ketika memenuhi lamaran, supaya ia tak pernah memberikan teguran, apapun tindakan yang dilakukan. Ketika ia melanggar sumpah itu, permaisuri pergi tak pernah kembali lagi.  Kini, Satyawaty memiliki seorang ayah yang “cerdik” dengan persyaratan berat yang harus dipenuhi. Apa yang harus dikatakan pada Dewabharata? Raja Santanu tahu, ia tak akan sanggup berucap, ia memilih bungkam seribu bahasa.
Sais kereta berdiri tak bergeming, ia setia menanti kemana sang tuan pergi, jarak tempat ia berdiri tidaklah dekat, sehingga ia dapat pula bergabung dalam pembicaraan itu. Akan tetapi, juga tidak terlalu jauh, telinganya yang tajam diam-diam mengikuti seluruh pembicaraan. Sais kereta itu menarik napas panjang, ia dapat membaca perasaan Sang Raja, karena wajahnya yang semula berseri-seri, tiba-tiba menjadi muram --  amat muram, seakan awan hitam yang bersiap mencurahkan hujan. Akan tetapi, apa hak seorang sais akan diri seorang raja? Laki-laki setengah tua itu hanya membungkan, ia merasakan pula kebimbangan hati Santanu, sepasang matanya menjadi muram. Ia mengakui kemuliaan hati Raja Santanu,  kini sang raja dihadapkan pada pilihan yang amat berat. Sais kereta itu mengendalikan kuda dengan cambukan yang lemah, debu yang mengepul di sepanjang perjalanan tampak pula terbang dengan lunglai.
Di atas kereta Raja Santanu tetap terdiam, tak satu pun kata terucap, permukaan Sungai Yamuna yang beriak lembut tampak seakan mengejeknya, mentertawakan dua pilihan seorang raja yang berat dan sebenarnya menyakitkan hati. Santanu merasa tubuhnya menggigil. Ia sampai di istana ketika senja hanya menyisakan cahaya yang teramat samar dan pucat, angin terasa lebih dingin. Seluruh ponggawa kerajaan yang berpapasan dengan Raja Santanu memberi hormat dengan mengatupkan kedua telapak tangan dan membungkukkan badan hingga langkah raja itu berlalu. Santanu terus berjalan lurus, ia tak hendak menatap rumput hijau di taman istana atau aneka kelopak bunga yag indah bermekaran, langkah kakinya lunglai melewati pilar-pilar yang megah, dinding-dinding yang kukuh, air kolam yang jernih hingga akhirnya sampai di peraduan. Pada suatu tempat sangat pribadi yang tak biasa dikunjungi secara resmi tanpa ijin seorang raja. Santanu mengurung diri di kamarnya yang mewah.
Kamar itu memiliki langit-langit tinggi, jendela raksasa diliputi tirai-tirai yang lembut, dinding kukuh, peraduan yang demikian luas dan lunak senantiasa bersiap membawa sang raja menuju mimpi indah
Segala perabot di kamar  yang luas itu tampak indah dan kemilau. Santanu tak memikirkan lagi segala kemewahan yang ada di kamar ini. Ia merebahkan  diri di atas peraduan, memejamkan mata, harum tubuh Satyawaty seakan tengah mengapung di seluruh sudut kamar, bahkan di setiap sudut istana. Hati raja besar itu tengah limbung, kepalanya berdenyut-denyut. Ia berusaha memejamkan mata, melupakan keadaan sulit yang menekan seakan membuat paru-parunya sulit bernafas. Tengah malam ketika terjaga, Raja Santanu masih merasakan kebimbangan yang sama, wajah lembut Satyawaty dan sosok perkasa Dewabhrata membayang silih berganti di depan mata mendesaknya pada sudut gelap yang sempit dan sesak. Hingga menjelang fajar Santanu tak juga dapat memejamkan mata, hatinya gundah, ia memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menidurkan gundah dan sampai pada suatu keputusan. Akan tetapi hari-hari ini Sang Raja memilih untuk diam.
Keesokan harinya Santanu tak hadir di balairung agung, setelah dayang-dayang melayaninya mandi, mengenakan pakaian seorang raja, hidangan di meja makan hanya sejumput dikunyah, selebihnya dikembalikan ke dapur istana dengan tanda  tanya dari sekalian pelayan. Sang Raja bersikap  tak biasa hari ini. Berulang kali Santanu menghela napas panjang kemudian merebahkan diri di peraduan, ia bersikap seakan seorang bocah remaja yang menggelikan, tengah dilanda asmara pada kisah cinta pertama, terhalang jurang pemisah teramat dalam dan seakan gagal menggapai.
Dari jendela kamar berulang kali tampak sepasang mata Raja Santanu menatap jauh ke depan, ke tepi Sungai Yamuna, mengenang kembali pertemuan dengan Satyawaty. Perempuan cantik yang seluruh ruas tubuhnya merebakkan aroma mewangi. Andai sang ayah tak mengajukan persyaratan yang berat itu, ia pasti telah memboyong gadis nelayan itu untuk sebuah upacara perkawinan agung. Akan tetapi, Santanu bahkan tak yakin, apakah perkawinan itu bakal terjadi? Ia tak akan sanggup mengkhianati Dewabhrata, ia mencintai putra mahkota melebihi cintanya pada kerajaan ini. Raja Santanu kembali termenung, pikirannya bekerja keras bagi sebuah jalan keluar, tetapi hingga berhari-hari mengurung diri, seluruh jalan seakan telah buntu. Santanu menghindari pertemuan dengan Dewabhrata, ia tak sanggup bertatapan dengan sepasang mata jernih pangeran itu. Ia masih mengurung diri di dalam kamar, meimbulkan tanda tanya seisi kerajaan, terlebih Dewabhrata.
Putra Mahkota telah menginjak dewasa, ia memiliki kecakapan dan kecerdasan yang luar biasa, Dewabhrata tak hanya mahir menggunakan senjata perang, akan tetapi bijak pula menentukan sikap. Harapan seisi kerajaan berada di pundak Putra Mahkota,  Dewabhrata menjalani hari-hari selaku calon raja tanpa beban yang berarti, kecuali lelah usai latihan perang atau penat setelah meghadiri pertemuan demi pertemuan di balairung agung yang seakan tak pernah berakhir, bahkan setelah matahari telah lama terbenam berganti sinar bulan. Tak ada yang keliru dalam kehidupan sehari-hari di istana, ia bagian yang paling pasti di dalam kerajaan ini, tak akan dapat tersisih lagi.
Akan tetapi, Dewabhrata mulai menyadari kebiasaan tak lazim, ketidakhadiran Raja Santanu. Andai Sang Raja hanya berpamit dalam dua-tiga hari untuk kunjungan ke kampung kampung atau pergi berburu.  Santanu tak pernah berpamit, berarti Sang Raja tetap berada di istana, tanpa kehadiran di balairung agung. Ada yang salah? Dewabhrata berpikir, sepasang alisnya yang hitam dan tebal berkerut, ia cukup cerdik untuk menandai hal-hal tak lazim pada diri sang ayah. Pangeran itu harus melakukan sesuatu, dan selalu ada cara.
Langkah kaki pangeran muda itu demikian yakin ketika ia melangkah menuju peraduan Raja Santanu, ia memiliki keleluasaan untuk berkunjung ke ruang pribadi itu, ia adalah putra kesayagan Raja Santanu. Dewabhrata perlu mengetuk  sebelum menguakkan daun pintu, sekejab kemudian ia menatap sosok Raja Santanu tengah berdiri di depan jendela, pandangannya menerawang jauh ke depan pada suatu tepat yag tak dapat dikunjungi, bahkan oleh Sang Putra Mahkota sekalipun. Tak sedikitpun terdapat senyuman pada  wajah Sang Raja, yang tergores pada raut muka itu adalah bimbang.
“Hormat bagi ayahanda dari Dewabhrata”, Putra Mahkota mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada membungkukkan badan, sepasang matanya yang tajam menatap lurus pada raut wajah dan sosok Santanu, Dewabhrata menangkap kegelisahan itu. Ia dapat mendengar helaan napas panjang Raja Santanu seakan sang ayah tengah melepaskan segala beban, sinar mata yang padam, dan suasana risau di kamar ini karena sikap dingin seorang raja. “Adakah yang keliru di istana ini, sehingga Ayahanda menjadi kurang hati?” kata-kata itu terucap dengan hati-hati, Dewabhrata tak bermaksud menyinggung perasaan Santanu, ia adalah seorang anak yang berbakti.
Sekali lagi Santanu menghela napas panjang kemudian melangkah perlahan, mendekati Dewabhrata memeluk Putra Mahkota, seorang pangeran yang dicintainya, detak jantungnya tiba-tiba berpacu. Ia tahu Dewabhrata pasti akan berkunjung ke peraduan, karena ketidakhadiran di lingkungan istana. Apa yang harus dikatakan? Raja Santanu berusaha keras menguasai diri, tak ada sedikitpun niat untuk menyakiti Dewabhrata dan menyeret pangeran itu menuju pilihan hidup yang sulit. Ia yang akan menanggung akibat dari pilihan itu. “Semoga kesehatan dan kemuliaan senantiasa menyertai paduka hari ini dan selama-lamanya”, Santanu melepas pelukannya, sejenak keduanya bertatapan dalam jarak yang sangat dekat, Sang Raja segera membuang pandang, ia kembali melangkah ke jendela, menatap jauh ke luar.
“Andai Dewabhrata dapat kiranya menjawab risau hati ayahanda?” Dewabhrata merasakan suasana ganjil di ruang pribadi ini, diam yang menggelisahkan, ia berdiri dan masih berdiri ketika Santanu masih juga terdiam. Sampai lama ia berdiri, Santanu tak juga berucap, udara tiba-tiba menjadi gerah, desir angin mati. Diam-diam Dewabhrata mengeluh, Sang Raja pasti berhadapan dengan situasi sulit, sedemikian sulit, sehingga ia tak mampu berucap setelah Putra Mahkota berdiri menunggu lebih panjang dari batas waktu yang sesungguhnya.
Dewabhrata menyerah, ia datang pada waktu yang tidak tepat, atau ia memang tidak dikehendaki untuk hadir di tempat ini. Raja Santanu memerlukan waktu untuk berdiam, sendiri entah sampai kapan, dan ia tak berhak memberikan batasan. Dewabhrata hendak undur berpamit, akan tetapi suara yang sudah sampai di ujung lidah kembali ditelan, ia mendengar Raja Santanu berucap, suaranya galau dan sedikit parau.
“Dewabhrata putraku tercinta, Putra Mahkota Kerajaan Astinapura, apapun yang terjadi pada diriku, maka satu-satunya putra yang kukasihi adalah dirimu. Tak ada persoalan apa-apa, tetapi setiap orang, bahkan seorang raja sekalipun terkadang bimbang menentukan pilihan. Siapapun perlu waktu. Kehidupan hanya dua warna yang hadir silih berganti, seperti halnya siang segera berubah menjadi gelap malam, seperti juga air laut, sebentar pasang kemudian surut. Manusia harus tetap seimbang di antara dua perbedaan, antara susah dan senang, antara duka dan bahagia. Tak ada yang salah putraku, bila saja engkau tahu, aku mencintaimu lebih dari segala ukuran yang dapat engkau bayangkan”, sekilas Raja Santanu menatap sosok tampak Dewabhrata, hatinya bergetar, ia akan bertindak semena-mena bila  menceritakan pertemuan dengan Satywaty di tepi Sungai Yamuna dengan segala persyaratan yang dicucapkan ayah gadis nelayan itu. Ia tak berhak berucap, ia hanya dapat memberikan jawaban tanpa makna yang pasti, Dewabhrata harus mampu memberi makna bagi jawaban itu, karena ia tidak bisa selamanya diam.
Di pihak lain Dewabhrata terpana, ia tak mengira akan mendapat jawaban seperti itu, kata-kata yang tak pasti artinya, tetapi memancing kemampuan berpikir. Dewabhrata mengerti, sang ayah tengah berada dalam situasi sulit – terlalu sulit hingga ia tak sanggup mengatakan hal yang sebenarya, ia faham sebuah isyarat, tak bisa terus mendesak. Seorang raja berhak untuk tidak menjawab pertanyaan ia dapat memiliki ruangan rahasia untuk ukuran luas yang tak ada batasnya
Dewabhrata membuka daun pintu kemudian mengatupkan kembali perlahan tanpa menimbulkan suara. Sejenak ia  menyandarkan kepala, memejamkan mata,  menghela napas panjang. Sang Raja menyimpan sesuatu, sebuah rahasia yang menyangkut takdir hidupnya, Paduka tak hendak mengatakan, betapapun mencintainya. Pandangan Putra Mahkota sekejab mengabur, sebelum dan sesudah ia mengunjungi Sang Raja di peraduan, hari-hari tak akan sama lagi. Ada sesuatu yang mengganjal di hati, menyesak di dada, ia harus mencari jawaban. Bila Baginda menutup mulut, ia harus menggunakan kecerdikan untuk membuka mulut orang lain yang, supaya bersuara. Siapa?
Langkah kaki Putra Mahkota masih tampak tegap dan mengesankan ketika berjalan di atas lantai istana yang berkilau. Biasanya Dewabhrata akan menebar senyum, kali ini senyum menjadi mahal, sejenak ia berdiri menatap bunga-bunga di taman, ikan-ikan yang berenang cantik pada jernih air kolam. Di atas langit sebiru kain sutera raksasa yang dibentangkan, mega-mega berarak sekalan kapas putih yang teramat lembut. Dewabhrata memandang ke angkasa tanpa berkedip seakan memohon petunjuk kepada Sang Maha Pencipta. Tak berapa lama kemudian sosoknya tubuhnya yang tegap, seorang kesatria pilih tanding mulai bergerak. Dewabhrata tahu kemana langkah kakinya harus menuju, ia  harus mendapatkan jawaban, ketika Raja Agung Astinapura terdiam seribu bahasa mengurung diri di peraduan.
Tak berapa lama kemudian Dewabhrata sampai di bagian belakang istana, ia mendengar suara kuda yang meringkik. Kuda-kuda itu tampak senang dengan kehadiran Putra Mahkota, seekor kuda putih meringkik dengan suara rendah  ketika Dewabhrata mengusap-usap badannya yang berkilau terawat oleh sebuah tangan yang dingin. Kehadiran tanpa disangka-sangka mengejutkan sais kereta.
“Beribu hormat bagi Putra Mahkota untuk kunjungan ini”, sais kereta itu memberikan sembah, membungkukkan badannya sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada.
“Aku hanya ingin mengunjungi bagian istana yang selama ini tak pernah kupijak. Ternyata kuda-kuda ini terawatt dengan baik, ia tampak seperti mengenalku”, Dewabhrata masih mengusap-usap seekor kuda, sepasang mata kuda itu tampak  membesar, berkedip manja memberikan tanda senang. Ia tidak melonjak-lonjak atau beringas bersiap meninggalkan istal.
“Hamba hanya seorang pelayan, hal-hal terbaik selalu kami berikan kepada istana”, sais kereta itu mengucapkan kata-kata yang tulus, ia bersyukur memperoleh pekerjaan di Astinapura, di bawah naungan seorang raja yang bijak dan Putra Mahkota yang berhati mulia.
“Engkau tak mengantar pergi Baginda Raja pergi mengunjungi kampung-kampung petani atau sejenak pesiar ke tepi Sungai Gangga”, suara Dewabhrata tenang tanpa tekanan, tak menunjukkan kesombongan bahwa ia adalah seorang Putra Mahkota yang berwenang atas tiap jengkal isi istana.
“Beribu ampun, andai Baginda berkehendak kiranya hamba akan menyertai kemana Baginda pergi”, sais kereta itu menjawab dengan tenang, ia tersanjung dengan kehadiran Dewabhrata ke tempatya bekerja.
“Kemana engkau terakhir kali menyertai Baginda Raja pergi?”
“Terakhir saya menyertai Baginda Santanu pergi ke Sungai Yamuna”.
“Sungai yang indah, Baginda pasti senang pergi ke sungai itu”.
“Benar, Baginda Raja sangat senang. Tetapi ….” Sais kereta itu menghentikan kata-katanya, sejak bepergian ke tepi Sungai Yamuna, Raja Santanu mengurung diri, ia meninggalkan urusan kerajaan, ada beban berat yang menindih pikiran raja itu, ia mengerti. Akan tetapi, seorang hamba tak boleh berucap kecuali memperoleh ijin. Atau ia akan mengatakan hal yang tidak semestinya kemudian hukuman menunggu di belakang hari.
“Tetapi, apa? Sejak engkau mengantar ke Sungai Yamuna, Baginda mengurung diri di peraduan. Pangeran mana yang tidak merasa sedih melihat Sang Raja bermuram durja. Ada yang ditemui di sungai itu?” Dewabhrata mengarah pada tujuan yang sebenarnya untuk apa sesungguhnya ia mengusap-usap kuda. Ia menatap dalam-dalam wajah sais kereta, hingga pegawai istana itu menundukkan kepalanya.
“Engkau hanya menjawab pertanyaan, apa pun jawaban itu seoranag sais kereta tak pernah terlibat di dalamnya. Andai jawaban itu salah, anggaplah aku tak pernah bertanya. Bila jawaban itu benar, mari kita mencari jalan keluar supaya Baginda kembali seperti semula”, Dewabhrata masih menatap wajah sais kereta yang berubah memucat, kepalanya menunduk semakin dalam. Pangeran itu tahu, betapa seorang sais kereta dapat menjadi sedemikian takut, karena satu pertanyaan, akan tetapi ia tak punya pilihan  kecuali bertanya untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya. Ia harus menentukan sikap, mengambil tindakan.
Diam menggantung di tempat itu, sedemikian panjang hingga Dewabhrata merasa risau, benar Baginda Raja menyimpan suatu rahasia besar yang  menyangkut takdir hidupnya. Ia  harus mampu menguak rahasia itu, atau suasana istana akan gelisah selamanya. Kegelisahan seorang raja adalah suasana cemas bagi seluruh istana terutama Sang Putra Mahkota. Akankah ia membiarkan suasana semacam in berlarut-larut?
“Siapa yang ditemui Baginda Raja Santanu di Sungai Yamuna?” suara Dewabhrata halus, ia dapat memahami ketakutan seorang sais kereta, namun betapapun takut sais itu ia harus menjawab pertanyaannya. “Kuijinkan engkau berkata ….” Akhirnya Dewabhrata mengambil sikap tegas, ia berdiri dengan tegak, pandangan lurus, tangan mengepal, ia tak menatap lagi wajah pucat seorang sais kereta. Pegwai istana itu harus dan wajib menjawab setiap pertanyaan seorang Putra Mahkota.
Suasana kembali diam, tetapi tidak berlangsung lama, dengan suara terbata-bata dan wajah tetap menunduk sais kereta itu akhirnya berucap, ia tidak punya lagi pilihan kecuali berucap andai Putra Mahkora berniat menggempur kepalanya. Ia hanya seorang hamba, “Beribu ampun Yang Mulia Putra Mahkota, saat terakhir kali hamba menyertai Paduka  Raja ke Sungai Yamuna, Paduka bertemu dengan seorang gadis nelayan yang sangat cantik, memiliki harum tubuh yang luar biasa. Ia bernama Satyawaty. Baginda jatuh cinta, meminta Satyawaty menjadi permaisuri, akan tetapi ayah Satyawaty,  kepala kampung nelayan mengajukan persyaratan….” Sampai di sini kata-kata itu terhenti, tenggorokan sais kereta itu serasa tercekik, tak mampu berucap, jantungnya berdebar kencang, aliran darahnya seakan berhenti. Bagaimana ia harus menyusun kata-kata?
“Apa persyaratan itu?” Dewabhrata mengerutkan alisnya, sebagian tabir telah tersingkap, tetapi sebagian yang lain masih tertutup. Ternyata Baginda Raja telah menemukan tambatan hati, tetapi dengan persyaratan, suatu hal yang membuatnya mengurung diri, membungkam, sekaligus menjauh dari kehidupan kerajaan. Suatu sikap yang menimbulkan tanda tanya dan menyesakkan dada Dewabhrata, adakah sebagian tabir itu menyangkut akan takdir hidupnya, maka sais kereta kini terdiam, menunduk, ketakutan.
Suasana di istal itu benar-benar lengang, bahkan kuda-kuda seakan enggan meringkik, Dewabhrata merasa hatinya dicekam gelisah. Ia akan tetap merasa gelisah bila sais kereta tak mau berucap, tetapi apa haknya untuk tetap diam. Ia wajib mengetahui setiap jengkal perubahan yang terjadi di setiap sudut istana ini. Putra Mahkota itu menarik napas panjang, ia melangkahkan kaki hingga jaraknya cukup untuk menyentuh lengan sais kereta, “Apapun yang engkau ucapkan bukanlah kesalahan, karena aku yang meminta. Engaku harus berkata, atau Baginda Raja akan mengurung diri di peraduan selamanya”, sentuhan itu demikian lembut memberikan kekuatan kepada sais kereta untuk meneruskan kata-kata.
“Ayah Satyawaty mengijinkan anak gadisnya menjadi permaisuri bila kelak terlahir anak laki-laki, maka ia berhak menjadi Putra Mahkota, pada saatnya nanti akan bertahta sebagai Raja Hastinapura….”, suara sais kereta teramat lemah seakan berbisik, akan tetapi cukup bagi Dewabhrata untuk menyadari kebenarannya.
Putra Mahkota kini terdiam, benar Baginda Raja menyimpan rahasia yang menyangkut takdir besar hidupnya. Ia harus meluruskan jalannya selaku Putra Mahkota, melepaskan Satyawaty dengan akibat mengurung diri di peraduan tanpa kata-kata. Atau, ia mengorbankan tahta bagi Putra Mahkota, tetapi harus kehilangan seorang gadis yang dicintai dan mampu mengisi kekosongan hati? Baginda tak mampu memilih, ia berada dalam keadaan bimbang, untuk sementara mengurung diri, menghindari kedua pilihan. Kebimbangan itu mengusik rasa damai Dewabhrata, ia tidak bisa membiarkan istana tanpa kehadiran seorang raja pada tugas rutin sehari-hari. Putra Mahkota itu termangu-mangu, menghela napas berulang kali, membuang pandang kemudian memejamkan mata. Ia merasa ditantang untuk berlaku bijak sebagai seorang anak, ia harus melakukan sesuatu pada kesempatan pertama.
Ketika sepasang mata yang memejam itu kembali terbuka, Dewabhrata merasa kegelisahan hati mendapatkan jawaban. Ia mempunyai wewenang untuk mengubah nasib dirinya dan nasib orang-orang di sekitarnya, tak mudah berlaku adil, tetapi harus. Apa arti tahta bila harus mengorbankan kebahagiaan orang lain? Apa arti menjadi seorang raja bila diam-diam ada seorang yang sebenarnya tak menghendakinya?
“Terima kasih untuk jawaban itu. Sekarang, antarkan saya ke Sungai Yamuna”, kata-kata Dewabhrata singkat. Tak lama kemudian kereta telah dipacu membelah jalan berdebu, pada dua tepi jalan adalah pohon-pohon yang rindang, rumah-rumah penduduk berdampingan dengan kebun, sekelompok ternak tampak pula merumput.
Sais kereta mengendalikan kuda tanpa sepatah kata, ia tidak berhak berucap andai Putra Mahkota memintanya untuk menyertai ke Puncak Himalaya sekalipun, ia harus selalu siap menjalankan perintah. Demikianlah takdir seorang hamba. Sementara di atas kereta Dewabhrata menatap lurus ke depan tanpa sedikit pun keraguan, ia harus melakukan sesuatu untuk memberikan kehidupan yang wajar di Astinapura. Ia sadar, sebentar lagi ketika ia menyusuri jalan yang sama dengan arah yang berlawanan, maka keadaan akan sangat berbeda. Rentang waktu satu  hari akan mengubah hingga seluruh hidup, memang demikianlah suratan takdir. Ia telah memilih kemudian menuliskan takdir dengan seluruh kesadaran dan tak akan pernah lagi menariknya ke belakang.
Akhirnya tampak permukaan Sungai Yamuna yang mengalir dengan tenang dari hulu menuju ke muara, kereta terus berpacu. Dewabhrata menatap permukaan air itu, wajahnya datar tanpa menunjukkan gejolak perasaan, ia sudah seharusnya berada dalam perjalanan ini. Tiba-tiba Dewabhrata menghirup aroma wangi yang demikian hebat yang membawanya pikirannya melayang jauh ke suatu tempat yang tak pernah dikunjungi, segala kecemasan yang pernah melanda tiba-tiba musnah tanpa sisa, ia merasa amat nyaman. Semakin lama aroma itu semakin kuat seakan memabukkan, Dewabhrata menebar pandang hingga kereta berhenti di depan sebuah rumah mungil yang sederhana dan terawatt  dengan baik. Di halaman depan tampak seorang gadis tengah berdiri menatap permukaan air Sungai Yamuna, tubuh gadis itu demikian ramping terbalut pakaian sederhana. Ketika menatap raut wajah gadis itu Dewabhrata terpana, benar bila Baginda Raja jatuh cinta pada pandangan pertama dan berniat melamarnya. Gadis itu pasti Satywaty.
Dengan sigap Dewabhrata turun dari kereta, kehadirannya yang tiba-tiba tanpa pemberitahuan mengejutkan gadis nelayan penghuni rumah. Dengan tergesa Satyawaty memberikan hormat, membungkukkan badan, “Segala hormat bagi kedatangan Putra Mahkota”, wajah cantik itu diam menunduk dengan suatu pertanyaan, ada gerangan sehingga Dewabhrata berkenan hadir di rumahnya yang sederhana.
“Kuterima segala hormat, bisakah aku bertemu dengan kepala kampung nelayan?” Dewabhrata tak berpanjang lebar, ia segera menuju pokok persoalan tentang maksud kehadirannya. Wajahnya yang belia dalam waktu yang sangat cepat tiba-tiba berubah menjadi sangat dewasa, anak tunggal Santanu itu berdiri dengan sikap kokok seakan kesatria siap berperang, tatapan matanya lurus tak terkacaukan andai badai paling dasyat sekalipun riuh berpusing.
“Dengan segala hormat Pangeran, ayahanda pasti tersanjung dengan  kehadiran ini”, tergesa Satyawaty melangkah ke dalam rumah, tubuhnya yang ramping berkelebat dengan lemah gemulai seakan penari yang tengah meliukkan badan  diiringi  irama, raut  wajahnya yang lembut tak dapat menyembunyikan pertanyaan, akan tetapi hingga sampai hari ini ia tak memiliki hak untuk bertanya.
Tak berapa lama kemudian kepala kampung nelayan yang cerdik, ayah kandung Satywaty telah memberikan hormat, membungkukkan badannya dalam-dalam di depan Dewabhrata, “Beribu hormat bagi Putra Mahkota Dewabhrata, semoga perlindungan dan kemuliaan senantiasa menyertai Pangeran Astinapura hari ini dan selama-lamanya”, kepala  kampung nelayan ini merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, setelah kunjungan Raja Santanu tanpa disangka-sangka, kini Putra Mahkota bertandang pula. Putrinya yang jelita kiranya  telah menjadi daya kekuatan mengundang orang-orang besar meluangkan waktu di rumahnya yang sederhana.
“Kuterima hormat dan doamu Bapak Nelayan, tempo hari Baginda Raja Santanu pernah bertandang pula ke rumah ini, meminta supaya Satyawaty untuk mendampingi selaku permaisuri. Akan tetapi, ada persyaratan yang engkau minta, apa persyaratan itu?” Dewabhrata menatap wajah kepala kampung nelayan itu tanpa berkedip, ia hanya seorang nelayan, tetapi betapa cerdik kemampuan berpikir yang berlindung di balik hitam rambutnya. Ia sadar akan kecantikan anak gadis yang mampu memikat hati seorang raja, dan ia tahu hak seorang permaisuri akan tahta bagi anak laki-laki yang dilahirkan. Ia tak akan melepaskan kesempatan emas yang hanya datang satu kali tanpa persyaratan, ia mempertaruhkan sebuah permintaan dengan akibat tak disangka-sangka yang akan mengubah jalan hidup seluruh keturuan Bharata.
Kepala kampung nelayan itu tak segera menjawab pertanyaan Dewabhrata, ia tidak merasakan nada kemarahan dalam  suara itu. Seluruh kerajaan mengenal Putra Mahkota sebagai seorang pangeran yang bijak, seorang yang tidak pernah bertindak semena-mena terhadap rakyat kecil sekalipun. Akan tetapi, ia harus berhati-hati, ia tengah menggenggam nasib ke depan Satyawaty, adakah seorang bapak yang tidak mengharapkan nasib baik anak gadisnya? Ia akan memberikan suatu hal terbaik atas nama seorang ayah kepada anak gadisnya. 
“Ada persyaratanmu?” sekali lagi Dewabhrata bertanya, ia telah bersiap memberikan jawaban. Sepasang matanya yang tajam masih terus menatap wajah cerdik kepala kampung nelayan, wajah cerdik itu menurunkan seorang gadis yang teramat cantik, sehingga Raja Santanu memilih mengurung diri, meninggalkan urusan pemerintahan, karena kerinduan yang tak juga terjawab.
Ayah Satyawaty tak perlu lagi ditanya untuk yang ketiga kali, ia tetap berdiri dalam sikap hormat, tak sedikitpun berkehendak untuk mengucapkan kata-kata yang tercela, meski jantungnya tetap berdebar kencang. “Beribu ampun Putra Mahkota, benar Paduka Raja Astinapura pernah berkunjung ke rumah yang kecil dan sederhana ini, mengajukan lamaran bagi anak saya Satywaty, meski anak saya sesungguhnya kurang layak menjadi seorang permaisuri. Saya terima lamaran itu dengan satu syarat, bila kelak Satyawaty melahirkan seorang bayi laki-laki, maka kelak bayi itu akan dinobatkan selaku Putra Mahkota dan pada saatnya akan akan bertahta sebagai Raja Astinapura”, kepala kampung nelayan itu menundukkan mukanya, ia telah mengajukan persyaratan yang sangat berani, karena hal itu berarti merampas hak Dewabhrata selaku Putra Mahkota sekaligus calon raja. Akan tetapi, adakah persyaratan lain yang lebih istimewa bagi Satyawaty.
“Masih ada lagi persyaratanmu?” Dewabhrata bertanya, ia melirik ke arah wajah menunduk Satyawaty dan mata cerdik kepala nelayan. Mereka hanya hidup sebagai penangkap ikan, akan tetapi karena Baginda Raja berkehendak menikahi Satywaty selaku permaisuri, maka muncul persyaratan yang sesungguhnya amat memberatkan Santanu. Meskipun tak mampu kehilangan Satyawaty, Santanu tak akan pernah meminta kepada Dewabhrata untuk melepaskan hak selaku Putra Mahkota sekaligus menyingkirkan jauh-jauh dari tahta.
Dalam hal ini, apa beda antara Santanu dan Dewabhrata? Keduanya sama-sama memiliki hak untuk menentukan kehidupan keturunan Bharata di lingkungan Astinapura. Apabila Santanu terperangkap mengurung diri di peraduan, maka Dewabhrata masih mampu memberikan jawaban. Keputusan salah satu dari kedua orang itu akan berakibat sama, kehidupan di Astinapura harus kembali seperti sediakala. Rakyat membutuhkan kehadiran dan keputusan seorang pemimpin.  
“Masih ada lagi persyartanmu Bapak Nelayan?” Dewabhrata mengulang pertanyaan, karena mulut nelayan itu terkunci.
“Mohon ampun Putra Mahkota Astinapura, hamba tak memiliki lagi persyaratan”, jantung nelayan itu terus berpacu, ia tidak memahami apa sesungguhnya maksud kedatangan Putra Mahkota, andai Dewabhrata mengayunkan bilah pedang, apapula yang dapat dilakukan? Ia telah terlanjur berucap, sekalipun hanya seorang nelayan, ia tak akan pernah mencabut ucapannya. Ia perlu memberikan yang terbaik bagi anak gadisnya.
“Baik, dengarkan kata-kataku. Sekali lagi atas nama Baginda Raja Santanu, aku Dewabhrata melamar Satyawaty selaku permaisuri. Kelak, bila permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia akan dikukuhkan selaku Putra Mahkota dan pada saatnya akan menjadi Raja Astinapura. Aku melepaskan hak selaku Putra Mahkota dan tak akan pernah bertahta sebagai raja”, suara Dewabhrata terdengar seakan guntur menggelegar dari ketinggian angkasa, sais kereta yang berdiri tak jauh dari tempatnya berucap terpengarah. Ia adalah saksi dari ucapan seorang Putra Mahkota yang rela melepaskan tahta demi perkawinan ayahanda yang dicintainya. Dewabhrata telah menyusun kata-kata itu sebelum mengucap dengan sepenuh kesadaran, bila Raja Santanu tak berkuasa memilih takdir baginya, maka ia yang akan menyuratkan takdir itu sendiri. Dan ia benar telah menyuratkan.
Di tempatnya berdiri Satyawaty terpaku bagai arca, napasnya demikian lembut tak menampakkan keterkejutan. Nasibnya selaku gadis nelayan akan segera berubah dengan cepat, ia akan segera menjadi seorang permaisuri pada sebuah kerajaan besar. Anak laki-laki yang kelak dilahirkan akan dikukuhkan selaku Putra Mahkota, kemudian akan bertahta sebagai raja. Kehalusan budi gadis itu menyembunyikan sebuah perasaan yang bergolak, raut wajah Satyawaty tetap selembut goresan tangan pelukis ternama, cantik jelita tiada cela. Sementara sang ayah, kepala kampung nelayan itu berusaha sedapat mungkin menguasai kegembiraan yang nyaris membuatnya melompat-lompat. Persyaratan telah terpenuhi, tetapi perebutan tahta adalah suatu hal yang biasa terjadi ketika seorang raja memiliki keturunan lebih dari seorang permaisuri. Bagaimana bila anak yang dilahirkan Satyawaty kelak akan berebut tahta dalam perang berdarah-darah dengan saudara satu ayah lain ibu?
“Beribu ampun Pangeran, saya hanya seorang nelayan“Beribu ampun Pangeran, saya hanya seorang nelayan. Pangeran sungguh kesatria yang berbudi mulia. Hamba terima lamaran ini, akan tetapi bila nanti Pangeran memiliki pula seorang putra, apakah perebutan tahta tidak akan terjadi?” kepala kampung nelayan itu belum juga merasa yakin, bahwa persyaratan dan janji yang diucapkan Dewabhrata akan menjamin anak laki-laki Satywaty kelak akan menjadi seorang raja.
Dewabhrata masih tegak berdiri, beban di pundaknya serasa mulai berkurang, ia telah mengucap janji, sumpah yang tak akan pernah dicabut kembali. Akan tetapi janji itu ternyata belum cukup untuk memboyong Satyawaty sebagai seorang permaisuri. Dewabhrata serasa didesak ke sudut yang paling jauh bagi kehadiran seorang permaisuri, adakah ia memiliki pilihan? Ia telah melepaskan haknya selaku raja, akan tetapi ia tak akan pernah kehilangan wewenangan selaku sosok yang menentukan dalam kehidupan istana. Kini, keturunan yang bakal dilahirkan menjadi aral melintang bagi perkawinan ayahanda. Dewabhrata menghela napas panjang, ia telah menikmati segala kemuliaan hidup di istana yang megah dengan segala hormat dari seluruh hamba. Ia harus mengorbankan peristiwa penting dalam hidupnya demi memenuhi persyaratan seorang kepala kampung nelayan yang secara cerdik mengamankan tempat anak gadisnya sebagai calon ibu suri. Dewabhrata harus mengambil sikap, ia harus melakukan sesuatu, sehingga ayahanda Raja Santanu mendapatkan  kembali rasa bahagia dala kehidupan istana. Sesaat pangeran itu memejamkan mata kemudian bersumpah.
“Dengarkan kembali kata-kataku, sepanjang hidup aku tidak akan menikah, dengan demikian maka tidak akan pernah kiranya aku mempunyai anak. Tidak akan terjadi perebutan tahta antara anakku dan anak dari Satywaty”, kata-kata itu terucap dengan lantang, mendadak suasana di tepi Sungai Yamuna menjadi hening. Dewabhrata, Satywaty, Kepala Kampung Nelayan hadir hari ini --  hari ini, tak seorang pun mampu menatap masa depan, tidak juga sang pengucap sumpah. Masa depan memang masih terlalu jauh untuk diramalkan pada hari ini, akan tetapi saat itu akan tiba. Tiba dengan membawa pula akibat dari sumpah Dewabhrata.
Tiba-tiba bunga-bunga berguguran di kepala Dewabhrata, menebarkan aroma mewangi. Dari angkasa terdengar merdu suara berucap, “Bhisma …. Bhisma …. Bhisma ….”,
Bhisma berarti seorang yang telah mengucapkan sumpah maha berat dengan niatan suci dan benar-benar akan melaksanakan. Dewabhrata benar akan memegang kebenaran ucapannya, ia pantang menjilat ludahnya sendiri, hatinya telah teguh. Dengan syarat apa pun ia harus dapat memboyong Satyawaty ke Astinapura, menggelar adat perkawinan agung, maka Raja Santanu dapat menikmati hari-hari selaku seorang raja seperti sediakala.
Sejak saat itu nama Dewabhrata tiada, ia telah melepaskan gelar yuwaraja, tidak lagi berkedudukan sebagai Putra Mahkota, terlebih calon raja. Bhisma yang Agung adalah sebutan sehari-hari bagi seorang Putra Mahkota yang berkorban mengucap sumpah demi kebahagiaan seorang ayah yang dapat bersanding dengan permaisuri. Bhisma, betapapun agung sebutan itu, tak mampu menghindarkan pertikaian yang terjadi di kemudian hari. Meskipun sumpah itu sebenarnya adalah untuk menghindari perseteruan antara sesama pangeran lain ibu dalam memperebutkan tahta.
Bhisma ….
                                                        ***
 
 
Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...