Kamis, 06 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, 10, Bhimasuci

 





“Bhima.... Ayo kita berenang ke Sungai Gangga ....” sebuah panggilan mengejutkan Bhima yang tengah asyik bermain di taman istana, panggilan itu berasal dari suara Duryudana, Kurawa pertama, ia selalu berada pada suatu tempat bersama 99 adiknya.
 
Bhima menoleh, ia segera bertatapan dengan wajah bersahabat Kurawa, satu hal yang 
tak pernah terjadi selama ia menetap di Astinapura. Hati kesatria muda itu terasa 
damai ia beserta seluruh Pandawa tak pernah memiliki niat untuk bermusuhan dengan
 Kurawa, saudara sepupu satu darah. Akan tetapi, Kurawa selalu menyulut permusuhan 
dengan banyak cara, satu hal yang tidak disukai Bhima. Dengan badannya yang kuat 
tak susah bagi Pandawa kedua untuk mengalahkan seratus Kurawa. Kekalahan itu bukan
 membuat Kurawa menjadi jera, Duryudana tak  pernah bersedia menerima kekalahan, 
ia harus menang. Atas bisikan Paman Shangkuni, Kurawa selalu mencari siasat untuk
 menyingkirkan Pandawa, terlebih Bhima yang paling ditakuti. Kali ini Kurawa 
menampakkan wajahnya yang berbeda sebuah senyum ramah, layaknya saudara satu 
keturunan.
 
Bhima tak menolak niat baik itu, ia mengajak pula Pandawa yang lain. Hari itu
 cuaca cerah, langit sebiru batu safir, angin teramat lembut, menghembus di atas
 permukaan air Sungai Gangga sebagai riak kecil yang selalu berubah bentuk kemudian hanyut bersama arus menuju muara. Tak ada yang lebih menyenangkan bagi kesatria remaja kecuali berenang di tepi Sungai Gangga. Satu demi satu Pandawa menceburkan diri ke dalam sungai, demikian pula seratus Kurawa. Suasana sungai yang sunyi pada hari-hari biasa, hari itu menjadi demikian ramai oleh gelak tawa dan canda ria, alam ikut pula berseri. Hingga akhirnya semua Pandawa dan Kurawa merasa lelah dan lapar. Bhima yang merasa paling lelah, badannya  yang kekar memungkinkan ia untuk berenang menempuh jarak yang jauh.
 
Mereka beristirahat, Duryudana telah menyediakan perbekalan untuk pesiar kecil ini, ia sengaja memisahkan piring makanan bagi Bhima dalam jumlah besar, karena Pandawa kedua amat gemar mengunyah makanan. Bhima tak curiga, ia tak mengira niat jahat di balik senyum ramah Kurawa, ia tak  mengira Duryudana menginginkan saat berenang di Sungai Gangga adalah hari terakhir bagi kehidupan Bhima. Dalam keadaan lapar, makanan itu terasa sungguh nikmat, Bhima terus mengunyah dan mengunyah kemudian menelan dengan satu keyakinan, makanan adalah sumber tenaga kehidupan. Benarkah? Sesungguhnya Duryudana telah meletakkan racun pada makanan yang disajikan bagi Bhima. Seratus Kurawa menginginkan kematian Pandawa
 
Tiba-tiba Bhima  merasa kepalanya pening, ia terpisah dari Pandawa yang lain, 
ia merebahkan diri pada satu tempat yang telah diawasi Kurawa. Semakin lama 
kesadaran Bhima semakin mengabur, ia seakan dipaksa untuk memejamkan mata ketika 
kabut putih berarak lebih cepat, turun memungut kesadaran untuk pergi ke tempat 
jauh, sangat jauh hingga Pandawa yang lain tak akan pernah dapat menyertai. 
 
Duryudana menyeringai, niat jahat untuk membunuh Bhima mulai terlaksana, ia segera 
mengikat tubuh Bhima dengan ranting pohon berduri, menutupnya dengan lembaran daun
 gatal kemudian melemparnya ke atas papan lebar yang telah dipasangi paku-paku 
beracun. Menurut persangkaan Duryudana Bhima sudah pasti mati, tak ada lagi
 kesatria perkasa yang dapat melindungi Yudistira, dengan mudah ia akan dapat
 mencederainya. Akan tetapi, dugaan Duryudana keliru. Bhima tidak terjatuh ke
 atas papan dengan paku beracun, tubuh kuat itu jatuh ke atas permukaan air 
Sungai Gangga.
 
Tubuh Bhima terus membenam ke dalam sungai dalam keadaan pingsan dipatuk ular-ular 
berbisa. Atas perlindungan Dewata, kali ini Bhima belum juga menemui ajalnya, bisa
 ular yang mematuk Bhima justru menolak racun yang telah disusupkan Duryudana ke 
dalam makanan. Racun di dalam tubuh itu menjadi tawar. Akan tetapi tubuh Bhima 
terus hanyut terbawa arus kemudian kemudian terhempas jauh ke seberang sungai.
 
Duryudana tersenyum menang, ia mengira telah dapat mengalahkan musuh terbesar 
dalam hidupnya. Paman Shangkuni juga akan senang, tak akan pernah memberikan 
teguran. Kurawa tak pernah tahu, sampau sejauh mana seharusnya manusia dapat 
menyatakan kebencian. Ketika ia memasang jarak kemudian menerima takdir, 
sesungguhnya ia telah berhasil menghindarkan pertikaian. Ketika membunuh, 
maka seorang  manusia tengah menunjukkan kebencian dengan cara yang paling kejam,
 dengan suatu akibat mengerikan, karena tak ada seorang pun yang bersedia ditindas
 atau dianiaya. Pada saatnya pihak yang teraniaya pasti akan berbalik menyerang 
dengan mempertaruhkan nyawa sekalipun. Kurawa tak pernah menyadari akan hal itu.
 
Sampai di istana Yudistira mendapatkan Arjuna, Nakula, dan Sadewa, tetapi dimana 
Bhima? “Duryudana, adakah engkau melihat Bhima?” Pandawa pertama itu menatap wajah
 sulung Kurawa dalam-dalam seolah hendak mengetahui isi hati saudara sepupu itu 
yang sesungguhnya. Sejujurnya ia tak pernah mempercayai Kurawa meski mereka
 tinggal pada sebuah istana yang sama.
 
“Bhima telah pulang ke istana terlebih dahulu....” Duryudana menjawab cepat 
seakan ia tahu segala hal yang dikerjakan Bhima.
 
Tergesa Yudistira menemui Dewi Kunti, “Ibunda, adakah Bhima telah kembali terlebih
 dahulu?”  suara Yudistira cemas, ia terlalu bergembira berenang di Sungai Gangga,
 hingga terlupa untuk mengawasi Bhima, kemana Pandawa kedua selalu berpindah 
tempat.
 
“Ibu belum melihat adikmu, dimana Bhima? Bukankah kalian pergi bersama-sama?” 
Dewi Kunti mengerutkan sepasang alisnya. Megah bangunan Astinapura telah 
memberikan perlindungan serta martabat untuk hidup sebagai layaknya seorang ratu. 
Akan tetapi, sejak hari pertama Dewi Kunti telah memahami penolakan Kurawa 
terhadap kehadiran Pandawa. Tatapan mata, sikap, dan kata-kata Kurawa sudah 
cukup menunjukkan, bahwa kehadiran Pandawa di istana ini serupa ancaman yang 
harus disingkirkan. Bukankah Yudistira berhak akan tahta seorang raja? Bukankah 
Duryudana menginginkan hal serupa? Kehidupan di istana ini seakan pijar api yang 
menyala di dalam sekam, bahkan tiupan sepoi angin sudah cukup untuk mengobarkannya. Dewi Kunti mengenang kembali kehidupan di tengah hutan yang jauh dari iri dengki, akan tetapi layakkah seorang ratu membesarkan kelima orang pangeran di tempat itu?
 
“Kembalilah ke Sungai Gangga, temukan Bhima!” suara Dewi Kunti setengah menjerit, 
ia segera dicekam rasa takut, tidak mustahil keselamatan Bhima terancam.
 
Yudistira, Arjuna, Nakula, dan Sadewa tidak perlu menunggu perintah ibunda untuk 
yang kedua kali, mereka juga merasakan ketakutan yang sama. Tawaran Kurawa untuk 
berenang di Sungai Gangga telah diterima tanpa rasa curiga. Sekarang, dimana Bhima? Keempat Pandawa itu segera kembali ke Sungai Gangga, mereka menyusuri sepanjang tepian sungai hingga setiap ruas di sekitarnya, akan tetapi tak seorangpun menemukan Bhima, Pandawa kedua dengan badan perkasa itu lenyap entah kemana. Mereka akhirnya kembali ke istana dengan tangan hampa, dengan suasana hati tak kalah kosong. Haruskah mereka kehilangan Bhima dalam usia yang sangat muda?
 
Dewi Kunti dan empat orang Pandawa termangu dalam diam dan gelisah. Dimanakah 
Bhima?
 
Sementara di seberang Sungai Gangga, Bhima telah siuman dari pingsan. Ketika 
mengamati suasana sekitar, ia tahu telah terdampar di seberang sungai. Hari telah 
gelap, udara dingin, akan tetapi kemilau cahaya bintang riuh bertaburan, sepotong 
bulan cukup kiranya sebagai penerangan, menuntun Bhima berenang menyeberang sungai, kembali ke istana. Mengapa ia harus berada di seberang sungai, terpisah dari Pandawa dan Kurawa? Perlahan Bhima mengingat saat terakhir sebelum kepalanya tiba-tiba merasa pening, kesadaran terampas. Samar-samar ia dapat menangkap wajah menyeringai Duryudana. Mengapa kepalanya menjadi pening setelah mengunyah makanan? Ah kiranya di dalam makanan telah terdapat pula racun yang merampas kesadaran. Senyum manis Kurawa ketika mengajaknya berenang ke Sungai Gangga hanyalah topeng manis di balik niat yang jahat. Bhima menarik napas panjang, menyadari hidupnya tak aman lagi, ia harus selalu makan satu meja dengan seratus musuh yanng selalu menginginkan kematiannya.
 
“Bhima....!” Dewi Kunti menjerit, memeluk Bhima ketika tiba-tiba Pandawa kedua 
muncul secara tiba-tiba dari balik daun pintu. “Apa yang telah berlaku?”
  
  
Sesaat Bhima terdiam, tak mudah memahami sekaligus mempercayai apa yang sesungguhnya telah terjadi. Setelah riuh berenang kemudian menelan makanan yang disuguhkan Duryudana, kepalanya terasa pening. Antara sadar dan tiada, ia merasa diikat kemudian dilontarkan ke permukaan Sungai Gangga, ular menggigitnya. Ajaib, ia tidak meninggal kemudian terdampar ke seberang sungai. Sisa tenaga, cahaya bulan, dan bintang menyelamatkannya, akhirnya ia  kembali kepada ibunda dan empat Pandawa lainnya.
“Bhima ….” Dewi Kunti memeluk Bhima dengan sepasang mata berkaca-kaca, ia tidak bisa membayangkan bila Pandawa kedua tak pernah kembali dan ia tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
“Setelah menenlan makanan yang disuguhkan Duryudana, kepala terasa pening, saya berbaring, Duryudana mengikat seluruh badan tanpa saya dapat melawan, kemudian melempar saya ke Sungai Gangga. Ketika tersadar, saya sudah terdampar di seberang, untung masih mampu berenang untuk kembali. Ibu, Kurawa berusaha untuk membunuhku ….” Nada suara Bhima menurun, ia tak menaruh curiga ketika Duryudana mengajak berenang ke Sungai Gangga dengan sebuah rencana jahat yang tidak mudah dibuktikan, kecuali ia selamat dari rencana pembunuhan. Ia tak bisa lagi mempercayai seratus orang sepupu itu dengan seorang paman berwajah licik. Wajah Pandawa kedua itu tampak letih, muram, dan kecewa. Bagaimana ia harus bertahan hidup bersama musuh di dalam selimut?
Dewi Kunti mengela napas panjang, sejak awal mula kembali istana, tatapan Shangkuni serta Kurawa memang terasa ganjil. Mereka tak pernah bersikap sebagai saudara yang bisa berbagi dengan saudara lain. Mereka berniat mewarisi tahta Astinapura tanpa kehadiran Pandawa, Dewi Kunti tahu api kebencian telah nyata berpijar. Dapatkan ia berkuasa memadamkan?
“Sekarang beristirahatlah, hanya kita yang tahu tentang rencana pembunuhan itu. Ibu hendak bertemu dengan Mahatma Widura”, setelah menyerahkan Bhima dan Pandawa yang lain untuk mendapatkan pelayanan dari dayang istana, Dewi Kunti bergegas menemui Mahatma Widura, ia tak mungkin menyimpan hal yang menakutkan ini seorang diri, ia perlu berbagi, meminta nasehat. Langkah kakinya terasa mengambang ketika menjejak lantai istana, ia tidak sedang tinggal pada rumah yang aman seperti ketika ia menetap di pondok di tengah hutan. Musuh ternyata demikian dekat hanya berbatas dinding yang tak mampu bersuara, saudara sepupu  yang mestinya hangat bertegur sapa ternyata justru menjadi pihak yang menginginkan kematian Pandawa. Dapatkah ia melindungi anak-anaknya?
“Maaf sekali Mahatma Widura, aku tergesa meminta waktu?” Dewi Kunti membuka pembicaraan, keduanya berdiri bersisihan pada sebuah tempat terpisah dari kemungkinan untuk dapat dilihat Kurawa.
“Yang mulia Permaisuri Dewi Kunti, adakah yang bisa saya bantu?” Widura menangkap kegelisahan, bahkan kecemasan pada wajah yang lembut itu. Usia Dewi  Kunti telah beranjak menua, tetapi tak  muncul garis ketuaan, ia masih tampak seakan hari pertama ketika Pandu memboyong selaku permaisuri Raja Astinapura.
Dewi Kunti tak langsung menjawab, ia membiarkan hening beberapa tabuh hingga suara daun kering gugur seakan nyaring terdengar. “Andai ada hal-hal yang bisa saya lakukan, pasti dengan segala kerendahan hati”, Widura menjadi cemas, tanpa alasan pasti Dewi Kunti tak akan menjumpainya di tempat ini.
Dewi Kunti membuang pandang jauh-jauh, ia sulit berucap, tetapi harus, “Tak mudah ternyata kembali menjadi bagian di istana, karena ada bagian lain merasa lebih berhak. Kehadiran Pandawa di Astinapura serupa duri dalam daging yang harus dilenyapkan. Apakah ada tempat lain yang lebih aman bagi Pandawa untuk tumbuh dewasa….?” Suara Dewi Kunti seperti berbisik, sebenarnya ia ingin menangis, tetapi tak layak kiranya permaisuri Pandu mencucurkan air mata di depan seorang perdana menteri, ia harus mampu mengendalikan diri.
Mahatma Widura menatap wajah agung itu dalam-dalam kemudian pandangannya beralih, menerawang sedemikian jauh seakan ia mampu menembus lapisan dinding tebal di depannya. Usianya belum tua, tetapi ia adalah seorang yang dikarunia kebijakan serta keluhuran budi, Dewi Kunti tak berbicara secara terus terang, tetapi ia telah menangkap makna yang mau disampaikan dalam kata-kata itu. Ia mengawasi sikap Kurawa ketika Pandawa kembali ke Astinapura. Mahatma Widura tahu, dua saudara sepupu itu tak akan pernah dapat dipertemukan. Kehadiran Shangkuni bagi Kurawa semakin  menggali jurang pemisah yang seharusnya tak  pernah ada. Diam-diam Mahatma Widura telah melihat leleran darah segar yang akan tertumpah dalam perseteruan di kemudian hari, pada saat yang telah ditentukan. Perdana Menteri itu menghela napas panjang kemudian berkata, “Yakinlah pada takdir hidup dan kebenaran. Astinapura adalah tempat yang paling baik untuk membesarkan keturunan Bharata. Pandawa telah mendapatkan restu untuk usia yang panjang, betapapun dekat musuh, dan betatapun besar keinginan musuh itu untuk menyingkirkan. Hidup adalah sebuah panggung sandiwara besar, lakon utama mesti pandai memainkan peranan. Andai kita tahu ada pihak yang sangat membenci, berpura-puralah untuk tidak tahu. Waktu akan terus berjalan, suatu saat yang benar akan tampak benar dan yang salah akan tampak salah”, kata-kata Mahatma Widura singkat, tetapi mantap.
Dewi Kunti mendengarkan dengan seksama, mau tak mau ia menyadari kebenaran kata-kata itu, membawa Pandawa pergi dari istana sama halnya menyerah di depan “musuh” sebelum datang waktu pertempuran. Andai  pertempuran harus terjadi tak terelakkan, adakah ia harus menyerah? Ia memiliki segenap waktu dan kesempatan untuk membesarkan Pandawa menjadi kesatria pilih tanding tak terkalahkan. Lalu apa?
“Benar kata-katamu Widura, baiklah kami akan tetap tinggal di istana, akan tetapi kuminta kemurahan hatimu untuk melindungi anak-anakku, lima orang Pandawa, Yudistira, Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa….” Tanpa menunggu jawab Dewi Kunti  membalikkan badan kemudian melangkah pergi, waktunya cuma sejengkal, atau dinding istana akan berubah bentuk menjadi telinga yang dapat mendengar kemudian menjadi mulut yang dapat pula bersuara. Ia harus memasaang jarak dengan Kurawa, satu hal yang tidak mudah, istana ini sangat besar sebagai tempat tinggal keturunan Bharata, akan tetapi amat kecil untuk menghindarkan diri dari kejaran musuh yang  dapat menaburkan bubuk racun sewaktu-waktu. Ia harus selalu waspada menjaga lima orang Pandawa, anak tak  berdosa yang memerlukan perlindungan orang tuanya. Dewi Kunti menuju ke peraduan Pandawa untuk mengucapkan selamat malam dan pesan yang mesti disampaikan Mahatma Widura.
Di peraduan kelima Pandawa tengah duduk menghadap meja, Bhima masih tampak terpukul, tangannya mengepal. Ia masih terlalu belia untuk berhadapan dengan perilaku kebencian yang paling kejam, kiranya seorang pewaris tahta kerajaan harus membayar sedemikian mahal kehidupan yang harus dijalani di istana, demikian pula dengan masa depan yang harus dicapai. Apakah ia harus menyerah, karena kekejaman itu. “Tidak!” tanda sadar mulut Bhima mendesis, kalaulah mungkin, ia ingin menyambar tubuh Duryudana kemudian melemparkannya tinggi-tinggi, hingga wajah licik itu segera terjerembab, tenggelam ke Sungai Gangga, supaya Kurawa pertama itu ikut pula merasakan mengapung antara hidup dan mati. Akan tetapi, Yudistira yang lurus hati menyentuh pundaknya.
“Kehidupan kita menjadi tidak mudah, tidak seperti kala kita di hutan di dalam pondok. Akan tetapi, kita adalah keturuan ayahanda Raja Pandu, kita berhak akan tahta dan Astinapura. Apabila Kurawa merasa kurang hati, hal itu bukanlah kesalahan kita. Perilaku Duryudana sekaligus menjadi peringatan, kita harus selalu waspada, tidak boleh percaya kepada saudara sepupu sekalipun. Bersabarlah Bhima, setelah berenang di Sungai Gangga, anggaplah tak pernah terjadi apa-apa”, sejujurnya jantung Yudistira berdetak sangat kencang, melebihi gemuruh air terjun, namun ia harus pandai mendinginkan suasana hati Bhima yang sedang diliputi dendam dan amarah. Ia tak mengendaki pertikaian di dalam istana.
“Benar kata-kata Yudistira, Mahatma Widura juga memberikan saran yang sama, yang penting adalah memasang jarak, jangan pernah percaya, namun juga jangan menyerang terlebih dahulu”, Dewi Kunti menegaskan kata-kata Yudistira, ketika menatap sepasang mata Pandawa pertama, hatinya terasa damai. Yudistira segera tahu, bagaimana harus bersikap di tengah keadaan yang tidak menguntungkan, ia tidak benar-benar sendiri ketika lantai  istana yang dipijak berubah seakan bara api.
Bhima masih terdiam, ia bersyukur berada di antara empat saudara dan seorang ibu yang mengasihi. Meskipun hanya berlima, ia merasa tak pernah  gentar berhadapan dengan seratus Kurawa. Tanpa sadar Bhima mengangguk, tanpa sepatah kata ia memisahkan diri dari saudara yang lain, kemudian merebahkan diri di pembaringan. Kali ini, ia merasa benar-benar lelah, sangat lelah.
Keesokan harinya, fajar menyingsing dalam cahaya keemasan diiringi kicau burung serta desir angin yang lembut menggugurkan embun. Bhima paling lambat bangun, ia harus meneruskan pelajaran memanah hari ini, ia tergesa berkemas menyesuaikan diri dengan empat Pandawa yang telah berkemas pula. Tak ada alasan terlambat untuk belajar, meski Bhima datang yang paling akhir.
Ketika akhirnya Bhima hadir bersama Pandawa dan Kurawa dalam keadaan sehat, Duryudana membelalakkan mata. Jantungnya seakan tercabut, ia seakan tengah berhadapan dengan hantu, ‘Bukankah Bhima telah mati di dasar sungai?” Berulang kali pula seratus Kurawa mengerjabkan mata untuk meyakini, bahwa yang hadir di tempat ini benar-benar Bhima. Kesatria itu tampak tenang, terlalu tenang untuk ukuran seorang yang selamat dalam usaha pembunuhan. Sementara Yudistira, Arjuna, Nakula, dan Sadewa bersikap serupa, lima bersaudara itu terlalu tenang seakan tegar batu karang yang tak akan runtuh dalam hantaman badai yang paling kencang sekalipun. Duryudana merasa lututnya gemetar, ia perlu bertanya-tanya, sebenarnya ia tengah berhadapan dengan siapa? Bukankah Bhima adalah manusia biasa? Duryudana kehilangan perhatian selama Mahaguru Drona membawa sekalian siswa menuju padang terbuka untuk belajar memanah.
“Kemana anak panah  ini harus engkau arahkan Duryudana?” Mahaguru Drona bertanya, ia amat  menyayangi Kurawa, sekumpulan bocah manja yang mudah dibujuk dan diberi pengaruh, amat berbeda dengan Pandawa yang teguh hati dan selalu memiliki pendirian.
Durryudana tak melihat pusat sasaran dengan baik, hatinya diliputi tanda tanya dan kemarahan, sungguh tak nyaman berada di tempat yang sama dengan lima pewaris tahta. Lima orang satria yang amat gagah dan selalu mendapatkan simpati khalayak ramai. Jauh pada arah yang ditunjuk Mahaguru Drona yang dilihat Duryudana hanya rimbun daun serta ranting dan angin tanpa wujud kecuali hembusannya yang mengacaukan hijau daun. Ketika anak panah terlepas, maka ia tak mendapatkan tujuan seperti yang dimaksudkan Mahaguru Drona, hatinya terlalu gundah. Duryudana gagal mencapai sasaran.
Mahaguru Drona menarik napas panjang, ia kecewa dengan kemampuan Kurawa memanah, tetapi kasih sayang menyebabkan kekecewaan itu tersisihkan.  Ia memaafkan kegagalan Duryudana membidik sasaran. Kini giliran Arjuna, kesatria muda itu demikian gagah dan tampan, sungguh jauh berbeda dengan penampilan Kurawa yang lebih menyerupai seorang raksasa daripada kesatria.
Arjuna merentang anak panah dengan segenap keyakinan, tatapan matanya jeli, mencerminkan keteguhan hati, badannya tinggi tegap hampir sama dengan Yudistira serta Nakula Sadewa. Akan tetapi, wajah itu akan sanggup meluluhkan hati seorang putri raja yang paling cantik sekalipun. Di antara kelima Pandawa, Arjuna memang yang paling tampan, segenap penampilan kesatria itu akan membuat angan-angan seorang putri jelita melayang.
“Kemana anak panah mesti membidik?” Mahaguru Drona bertanya, ia m engharap jawaban yang salah. Akan tetapi, jawaban Arjuna tepat, sangat tepat.
“Saya harus membidik tepat di urat lehernya”, Arjuna dengan jeli menatap seekor burung yang bertengger di atas dahan, di antara hijau daun. Ia tahu titik terlemah yang harus dibidik untuk mematikan sasaran. Urat leher. Tak berapa lama kemudian ketika anak panah melesat menuju sasaran, bidikan Arjuna tepat mengenai urat leher burung yang bertengger di atas dahan. Burung itu jatuh terkapar dengan anak panah menembus urat leher. Yudistira, Bhima, Nakula, dan Sadewa bersorak. Seratus Kurawa berdiri kaku, merasa kalah, cemas, dan geram.
Seratus orang raksasa ternyata akan terseok-seok ketika harus bertanding dengan lima Pandawa. Dursasana merasa wajahnya merah padam, ternyata bukan hanya Bhima yang dapat melindungi Yudistira ketika pada saatnya akan  bertahta menjadi seorang raja. Arjuna sama tangguhnya dengan Bhima dalam memainkan senjata perang. Sekarang, apa yang harus dilakukan? Tak seorang pun dari seratus Kurawa dapat membidik sasaran anak panah dengan baik. Dursasana yang tak bisa menerima kekalahan, kini haru menerima kemenangan Arjuna dalam membidikkan anak panah. Dursasana tak kehilangan akal, setelah pelajaran memanah usai, ia tak segera pergi dari tempat berlatih ini, ia berniat menemui Mahaguru Drona seorang diri.
“Mahaguru telah melihat sendiri, betapa hebatnya lima orang Pandawa bila dibandingkan dengan seratus Kurawa. Terlebih Bhima yang dapat mengalahkan siapapun tanpa perlengkapan perang. Ayahanda Drestarastra kini seorang raja, akan tetapi hanya bertahta untuk sementara. Kelak tahta akan diwariskan kepada Yudistira, bukankah sebenarnya saya, Dursasana berhak akan singgasana Astinapura”, Dursasana tak dapat menyembunyikan   wajahnya  yang galau, ia hanya tampak memiliki badan yang besar dan berotot, akan tetapi ia tidak memiliki kemampuan perang tanding seperti halnya Pandawa.
“Apa sesungguhnya yang engkau inginkan, muridku?” Mahaguru Drona memahami kegalauan itu. Tanpa berucap pun ia tahu, Kurawa tak pernah menginginkan kehadiran Pandawa dalam kehidupannya. Seratus orang itu memang tak pernah sekuat Pandawa, sebab itu Dursasana selalu berkeluh kesah dan meminta nasehat. Satu hal yang membuat Mahaguru Drona tersanjung, ia tahu apa arti seorang guru. Ketika murid yang dilatih dan dibesarkan akhirnya bertahta selaku raja, maka guru kepercayaannya akan menjadi sosok penting dalam kehidupan istana, mungkin akan berlaku sebagai penasehat. Pandawa tak pernah meminta nasehat, mereka telah terlahir selaku kesatria tangguh yang akan mampu menghadapi rintangan paling sulit sekalipun. Ia tak akan menjadi apa-apa, bila Yudistira akhirnya dinobatkan sebagai raja didampingi empat Pandawa yang lainnya. Ia tahu apa yang harus dilakukan.
“Apakah benar Arjuna sehebat itu? Dan apakah benar Bhima juga sekuat itu? Apakah ada hal yang harus dikerjakan Bhima untuk menguji kekuatannya?” suara itu adalah keluh kesah, sementara wajah Dursasana tampak mendung, ia tak bersuara keras, tetapi Mahaguru Drona cukup memahami kekerasan hati Kurawa yang pertama itu. Ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata.
“Baiklah, esok akan kupanggil Bhima, ia harus mengerjakan sesuatu”, jawab Mahaguru Drona, ia tak perlu berkata lebih lanjut, ia memahami ketakutan serta kebencian Dursasana terhadap kekuatan Bhima.
Keesokan harinya Mahaguru Drona memanggil Bhima, keduanya duduk berhadapan tanpa kehadiran orang lain. Bhima tak menaruh curiga, ia seorang murid, ia mematuhi perintah guru. “Mahaguru memanggilku?” suara Bhima tenang, ia wajib mempercayai kata-kata seorang guru.
“Bhima muridku yang paling perkasa, ada satu hal yang harus engkau kerjakan untuk menguji seluruh kekuatan itu”, Mahaguru Drona berbicara dengan hati-hati, ia tahu tengah berhadapan dengan seorang kesatria, keturunan seorang raja.
“Saya selalu siap mengerjakan Mahaguru”, Bhima menjawab dengan taat, tanpa menaruh curiga seperti halnya ketika Dursasana mengajaknya berenang di Sungai Gangga.
“Pergilah mencari tirtha prawidhi – air kehidupan sampai dapat, jangan pernah kembali sebelum berhasil. Barang siapa memiliki tirtha prawidhi ia akan mampu memahami hidup ini. Ia akan mampu mengenal asal, arah, dan tujuan hidup manusia, sangkan paraning dumadi. Pergilah, jangan pernah ragu, keraguan akan berujung pada kegagalan”, demikian Mahaguru Drona memberikan perintah. Di telinga Bhima kata-kata itu terdengar bijak, serupa nasehat yang mesti diikuti tanpa syarat. Seorang kesatria memang mesti memahami hakekat kehidupan dalam suatu perjalanan pencarian. Ia tak punya alasan untu menolak perintah itu.
Akan tetapi, ketika Bhima bersujud di depan Dewi Kunti memohon doa restu, wanita berhati mulia itu merasakan keganjilan. Ia tak hendak mengijinkan Bhima pergi, tetapi betapa keras hati Pandawa kedua, seorang kesatria pantang menentang perintah Mahaguru. Benarkah perintah  untuk mencari tirtha prawidhi – air kehidupan adalah ujian untuk mengukur keperkasaan sekaligus pemahaman akan filsafat hidup? Betapa bahaya perjalanan itu, betapapun kuat, Bhima hanya seorang diri. Dewi Kunti tak sepenuhnya mempercayai Drona, meski ia seorang mahaguru. Ada yang mengganjal di hati ketika menatap sosok mahaguru itu, sikap Mahaguru Drona tak mudah ditafsirkan. Dewi Kunti melepas Bhima pergi dengan segala doa, ia sangat berharap Pandawa kedua akan kembali dalam keadaan lebih baik.
Bhima segera melangkah menempuh arah yang ditunjukkan Mahaguru Drona, hutan lebat, menjelajah hampir pada setiap jengkalnya, menyusuri lembah, kaki gunung, gua dengan labirin yang gelap dan panjang seolah tanpa ujung. Akan tetapi,  tirtha prawidhi tak ditemukan. Kemana ia harus melangkah? Bhima harus berhadapan dengan binatang buas, raksasa, mahluk halus, ia masih dapat mengandalkan kekuatan seorang kesatria dalam setiap perlawanan.
Suatu hari Bhima berhadapan dengan dua orang raksasa, Rukmukha dan Rukmakhala. Dua pihak yang berhadapan sebagai sosok tanpa saling mengenal di tengah hutan, tak dapat menghindari pertarungan. Kekuatan Bhima serupa letusan gunung berapi, kedua raksasa itu terjerembab ke atas tanah, tewas seketika. Tak berapa lama kemudian kedua raksasa itu menjelma menjadi Batara Indra dan Batara Bayu, ayah Bhima yang tak pernah ditemui selama ini.
“Bhima anakku, engkau telah dewasa kini. Tak mudah mengerjakan perintah Mahaguru Drona untuk mencari  tirtha prawidhi, air kehidupan. Kuberikan mantra Jalasegara dan ini ikat pinggang sakti Batara Bayu, mantra dan ikat pinggang ini akan menjadi bekal untuk mengarungi samudera paling dalam sekalipun”, Batara Indra menatap Bhima dengan penuh kasih, ia tak pernah dapat mengasuh bocah ini hingga dewasa sebagai kesatria utama. Akan tetapi, ia tak pernah melupakan Bhima begitu saja, terlebih saat kesatria ini seorang diri menempuh bahaya.
“Air kehidupan yang dimaksud Mahaguru Drona terletak di Telaga Gumuling, di tengah Rimba Palasara. Engkau harus berhadapan dengan seekor ular naga bernama Anantaboga, hati-hati, doa kami senantiasa menyertai”, Batara Bayu menatap Bhima dengan segala rasa cinta, ia sangat berharap perjalanan Bhima akan sampai di tempat tujuan, tempat air kehidupan.
“Beribu terima kasih atas pemberian ini, mohon doa restu, karena saya harus meneruskan perjalanan”, Bhima memberikan sembah pada sebuah pertemuan yang terlalu singkat dan harus segera diakhiri.
Batara Indra dan Batara Bayu melepas Bhima melangkah pergi dengan gerakan kaki yang tegap, keduanya terus berdiri menatap hingga bayangan Pandawa kedua menghilang di balik rimbun pepohonan. Sementara Bhima meneruskan perjalanan dengan hati  lebih mantap setelah mendapatkan bekal mantra Jalasegara dan ikat pinggang sakti serta arah yang harus dituju, Telaga Gumuling di tengah Rimba Palasara. Di tepi Telaga ternyata ular naga Anantaboga telah menunggu, ular itu mengibas-ibaskan ekornya, menantang berkelahi, tak menghendaki kehadiran manusia. Dengan kekuatan tenaga Anantaboga membelit tubuh kekar Bhima, semula Bhima tak berkutik, akan tetapi ia memiliki kuku Pancanaka. Dengan kuku Pancanaka Bhima menusuk leher Anantaboga, sehingga ular naga itu meregang nyawa, kehilangan napas, menggelepar di atas tanah, terkulai. Mati.
Ajaib. Mayat Anantaboga lenyap, menjelma menjadi Dewi Maheswari, bidadari yang dikutuk pasthu oleh Sang Hyang Guru Pameswari. Bidadari jelita itu dipaksa menjalani hukuman sebagai ular naga. “Adakah yang engkau cari di telaga sejauh ini Putra Pandu?” suara Dewi Maheswari lembut dan merdu.
“Saya mendapat perintah dari Mahaguru Drona untuk mencari air kehidupan, adakah Dewi Maheswari tahu dimana saya dapat memperoleh air itu?” Bhima balik bertanya.
“Air kehidupan terletak jauh di dasar samudera, pergilah kea rah selatan”.
Sampai di sini pertemuan dan percakapan itu terhenti, Bhima mengikuti petunjuk Dewi Maheswari melangkah ke arah selatan, menuju samudera. Gelombang bergulung amat tinggi bagai tangan-tangan kematian ketika Bhima meneruskan perjalanan. Ikat pinggang sakti pemberian Batara Bayu membantu Bhima untuk terus mengapung seolah ia memiliki pula perahu yang kuat dan teguh. Di tengah samudera, seekor naga besar Nawatnawa menyemburkan hujan berbisa, seharusnya Bhisma tewas seketika. Akan tetapi, gigitan ular sewaktu tenggelam di Sungai Gangga menyebabkan badan Bhima kebal terhadap bisa yang paling mematikan sekalipun. Sekali lagi Bhima menyerang seekor naga dengan kuku Pancanaka, maka Nawatnawa tewas dengan tusukan kuku di lehernya. Sekali  lagi Bhima memenangkan pertarungan.
Betapapun kuat dan sakti,kali ini Bhima merasa lelah, ia membiarkan dirinya mengapung dalam gelombang samudera hingga terhempas pada sebuah karang emas. Bhima seorang diri, di tepi samudera, tanpa suara, tanpa manusia yang lain. Adakah ia akan mampu bertahan hidup tanpa pertolongan siapapun?
Saat Bhima terdampar dalam keadaan pingsan, Dewa Ruci muncul dengan sinar cemerlang. Sinar itu menyebabkan Bhima siuman. Ia merasa heran serta takjub ketika melihat sosok sangat kecil dalam kemilau cahaya, amat mirip dengan dirinya. Dewa Ruci berucap, “Aku Dewa Ruci yang disebut juga Nawaruci, maksud kedatanganku adalah untuk menolongmu. Putra Pandu, masuklah ke dalam telingaku, di dalam diriku engkau akan mendapatkan apa yang engkau cari”.
Kata-kata Dewa Ruci membuat Bhima terdiam, ia merasa bingung. Bagaimana tubuhnya yang besar bisa masuk ke dalam sosok dirinya  yang kecil, melalui lubang telinga pula? Dewa Ruci memahami kebimbangan Bhima, ia bisa melihat dari sikapnya yang seakan gagu., maka ia meneruskan kata-kata, “Sesungguhnya ruangan ini adalah tempat yang sunyi dan hampa, tak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada busana atau makanan. Justru itu, segalanya sempurna. Satu hal yang harus engkau tahu Bhima, selama ini engkau hanya setia pada ucapan, mengabdi pada gema, yang sesungguhnya adalah segala bentuk kepalsuan. Siapa yang sebenarnya lebih besar Bhimasena, Putra Pandu? Engkau atau atau alam semesta yang ada dalam tubuhku? Aku Dewa Ruci adalah jagad besar, engkau adalah jagad kecil yang ada dalam diriku”, Dewa Ruci yang berukuran kecil menatap Bhima dengan segala keyakinan, satu hal yang menepis keraguan Pandawa Kedua.
Tanpa ragu akhirnya Bhima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui telinga, sesaat kemudian Bhima mendapatkan dirinya berada dalam ruangan kosong, ia berhadapan dengan suatu wujud berbentuk gading memancarkan cahaya berwarna putih, merah, kuning, dan hitam, perlambang keberadaan manusia dengan sifat dasar. Cahaya putih melambangkan kemurnian budi, sinar merah melambangkan amarah, sinar kuning melambangkan keinginan manusiawi, sinar hitam melambangkan angkara murka dan keserakahan. Bhima melihat pula tiga wujud serupa boneka emas, gading, dan permata, ketiga wujud boneka itu melambangkan tiga dunia. Boneka emas, Inyanaloka melambangkan badan jasmani, boneka gading, Guruloka melambangkan alam kesadaran, dan boneka permata atau Indraloka melambangkan dunia rohani. Ketiga perlambang termaksud menyatu dalam diri manusia tak terpisahkan sebagai bagian  yang telah ada sejak manusia bermula dari kehendak Sang Maha Pencipta, menuju perjalanan panjang untuk kembali kepada Sang Maha Pencipta yang sama.
Bhima mendengarkan suatu pemahaman tentang hakekat kehidupan, bahwa musuh terbesar manusia sesungguhnya berada di dalam diri manusia itu sendiri, bukan lawan yang siap bertempur di medan perang. Kemudian tanpa disadari Dewa Ruci lenyap tanpa jejak, tanpa bayangan. Bhima tersadar ia telah sampai pada sebuah pencarian tirtha prawidhi, air kehidupan. Ialah filsafat kehidupan yang akan mengantar perjalanan seorang manusia dari tempatnya bermula menuju arah yang sesungguhnya.
Pemahaman ini bukan hanya membuat Bhima kuat secara jasmani, akan tetapi kuat pula secara rohani. Putra Pandu itu mengerti, ia telah menjalankan perintah Mahaguru Drona dengan sebenar-benarnya. Langkah kakinya terasa ringan ketika berjalan pulang kembali ke Astinapura untuk menghadap Mahaguru Drona mengabarkan pencapaiannya.
“Saya telah kembali Mahaguru, telah menemukan pula air kehidupan”, Bhima menghadap Mahaguru Drona dengan sikap takjim, ia tidak pernah menyadari, betapa Mahaguru Drona menyambut kedatangannya dengan mata nyaris terbelalak lebar, gundah dan takjub.
Mahaguru Drona tahu betapa jauh dan mengerikan perjalanan filsafat mencari air kehidupan, Bhima dapat tewas ketika berhadapan dengan binatang buas, raksasa, dan ular naga. Sesungguhnya ia tak pernah mengharap Bhima pulang kembali, seperti  halnya Dursasana dan seluruh Kurawa. Ketika Bhima kembali dalam keadaan sehat dan berhasil menemukan air kehidupan, sesungguhnya kesatria itu telah mencapai kesempurnaan. Mahaguru Drona tak yakin, adakah seratus Kurawa dapat mengalahkan seorang Bhima? Mahaguru itu menghela napas panjang, tanpa sadar ia menyentuh pundak Bhima, mau tidak mau mahaguru itu harus mengakui kesaktian Putra Pandu, Pandawa Kedua.

                                                                                      ***

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...