“Bhima.... Ayo kita berenang ke Sungai Gangga
....” sebuah panggilan mengejutkan Bhima yang tengah asyik bermain di
taman istana, panggilan itu berasal dari suara Duryudana, Kurawa
pertama, ia selalu berada pada suatu tempat bersama 99 adiknya.
Bhima menoleh, ia segera bertatapan dengan wajah bersahabat Kurawa, satu hal yang
tak pernah terjadi selama ia menetap di Astinapura. Hati kesatria muda itu terasa
damai ia beserta seluruh Pandawa tak pernah memiliki niat untuk bermusuhan dengan
Kurawa, saudara sepupu satu darah. Akan tetapi, Kurawa selalu menyulut permusuhan
dengan banyak cara, satu hal yang tidak disukai Bhima. Dengan badannya yang kuat
tak susah bagi Pandawa kedua untuk mengalahkan seratus Kurawa. Kekalahan itu bukan
membuat Kurawa menjadi jera, Duryudana tak pernah bersedia menerima kekalahan,
ia harus menang. Atas bisikan Paman Shangkuni, Kurawa selalu mencari siasat untuk
menyingkirkan Pandawa, terlebih Bhima yang paling ditakuti. Kali ini Kurawa
menampakkan wajahnya yang berbeda sebuah senyum ramah, layaknya saudara satu
keturunan.
Bhima tak menolak niat baik itu, ia mengajak pula Pandawa yang lain. Hari itu
cuaca cerah, langit sebiru batu safir, angin teramat lembut, menghembus di atas
permukaan air Sungai Gangga sebagai riak kecil yang selalu berubah bentuk kemudian hanyut bersama arus menuju muara. Tak ada yang lebih menyenangkan bagi kesatria remaja kecuali berenang di tepi Sungai Gangga. Satu demi satu Pandawa menceburkan diri ke dalam sungai, demikian pula seratus Kurawa. Suasana sungai yang sunyi pada hari-hari biasa, hari itu menjadi demikian ramai oleh gelak tawa dan canda ria, alam ikut pula berseri. Hingga akhirnya semua Pandawa dan Kurawa merasa lelah dan lapar. Bhima yang merasa paling lelah, badannya yang kekar memungkinkan ia untuk berenang menempuh jarak yang jauh.
Mereka beristirahat, Duryudana telah menyediakan perbekalan untuk pesiar kecil ini, ia sengaja memisahkan piring makanan bagi Bhima dalam jumlah besar, karena Pandawa kedua amat gemar mengunyah makanan. Bhima tak curiga, ia tak mengira niat jahat di balik senyum ramah Kurawa, ia tak mengira Duryudana menginginkan saat berenang di Sungai Gangga adalah hari terakhir bagi kehidupan Bhima. Dalam keadaan lapar, makanan itu terasa sungguh nikmat, Bhima terus mengunyah dan mengunyah kemudian menelan dengan satu keyakinan, makanan adalah sumber tenaga kehidupan. Benarkah? Sesungguhnya Duryudana telah meletakkan racun pada makanan yang disajikan bagi Bhima. Seratus Kurawa menginginkan kematian Pandawa
Tiba-tiba Bhima merasa kepalanya pening, ia terpisah dari Pandawa yang lain,
ia merebahkan diri pada satu tempat yang telah diawasi Kurawa. Semakin lama
kesadaran Bhima semakin mengabur, ia seakan dipaksa untuk memejamkan mata ketika
kabut putih berarak lebih cepat, turun memungut kesadaran untuk pergi ke tempat
jauh, sangat jauh hingga Pandawa yang lain tak akan pernah dapat menyertai.
Duryudana menyeringai, niat jahat untuk membunuh Bhima mulai terlaksana, ia segera
mengikat tubuh Bhima dengan ranting pohon berduri, menutupnya dengan lembaran daun
gatal kemudian melemparnya ke atas papan lebar yang telah dipasangi paku-paku
beracun. Menurut persangkaan Duryudana Bhima sudah pasti mati, tak ada lagi
kesatria perkasa yang dapat melindungi Yudistira, dengan mudah ia akan dapat
mencederainya. Akan tetapi, dugaan Duryudana keliru. Bhima tidak terjatuh ke
atas papan dengan paku beracun, tubuh kuat itu jatuh ke atas permukaan air
Sungai Gangga.
Tubuh Bhima terus membenam ke dalam sungai dalam keadaan pingsan dipatuk ular-ular
berbisa. Atas perlindungan Dewata, kali ini Bhima belum juga menemui ajalnya, bisa
ular yang mematuk Bhima justru menolak racun yang telah disusupkan Duryudana ke
dalam makanan. Racun di dalam tubuh itu menjadi tawar. Akan tetapi tubuh Bhima
terus hanyut terbawa arus kemudian kemudian terhempas jauh ke seberang sungai.
Duryudana tersenyum menang, ia mengira telah dapat mengalahkan musuh terbesar
dalam hidupnya. Paman Shangkuni juga akan senang, tak akan pernah memberikan
teguran. Kurawa tak pernah tahu, sampau sejauh mana seharusnya manusia dapat
menyatakan kebencian. Ketika ia memasang jarak kemudian menerima takdir,
sesungguhnya ia telah berhasil menghindarkan pertikaian. Ketika membunuh,
maka seorang manusia tengah menunjukkan kebencian dengan cara yang paling kejam,
dengan suatu akibat mengerikan, karena tak ada seorang pun yang bersedia ditindas
atau dianiaya. Pada saatnya pihak yang teraniaya pasti akan berbalik menyerang
dengan mempertaruhkan nyawa sekalipun. Kurawa tak pernah menyadari akan hal itu.
Sampai di istana Yudistira mendapatkan Arjuna, Nakula, dan Sadewa, tetapi dimana
Bhima? “Duryudana, adakah engkau melihat Bhima?” Pandawa pertama itu menatap wajah
sulung Kurawa dalam-dalam seolah hendak mengetahui isi hati saudara sepupu itu
yang sesungguhnya. Sejujurnya ia tak pernah mempercayai Kurawa meski mereka
tinggal pada sebuah istana yang sama.
“Bhima telah pulang ke istana terlebih dahulu....” Duryudana menjawab cepat
seakan ia tahu segala hal yang dikerjakan Bhima.
Tergesa Yudistira menemui Dewi Kunti, “Ibunda, adakah Bhima telah kembali terlebih
dahulu?” suara Yudistira cemas, ia terlalu bergembira berenang di Sungai Gangga,
hingga terlupa untuk mengawasi Bhima, kemana Pandawa kedua selalu berpindah
tempat.
“Ibu belum melihat adikmu, dimana Bhima? Bukankah kalian pergi bersama-sama?”
Dewi Kunti mengerutkan sepasang alisnya. Megah bangunan Astinapura telah
memberikan perlindungan serta martabat untuk hidup sebagai layaknya seorang ratu.
Akan tetapi, sejak hari pertama Dewi Kunti telah memahami penolakan Kurawa
terhadap kehadiran Pandawa. Tatapan mata, sikap, dan kata-kata Kurawa sudah
cukup menunjukkan, bahwa kehadiran Pandawa di istana ini serupa ancaman yang
harus disingkirkan. Bukankah Yudistira berhak akan tahta seorang raja? Bukankah
Duryudana menginginkan hal serupa? Kehidupan di istana ini seakan pijar api yang
menyala di dalam sekam, bahkan tiupan sepoi angin sudah cukup untuk mengobarkannya. Dewi Kunti mengenang kembali kehidupan di tengah hutan yang jauh dari iri dengki, akan tetapi layakkah seorang ratu membesarkan kelima orang pangeran di tempat itu?
“Kembalilah ke Sungai Gangga, temukan Bhima!” suara Dewi Kunti setengah menjerit,
ia segera dicekam rasa takut, tidak mustahil keselamatan Bhima terancam.
Yudistira, Arjuna, Nakula, dan Sadewa tidak perlu menunggu perintah ibunda untuk
yang kedua kali, mereka juga merasakan ketakutan yang sama. Tawaran Kurawa untuk
berenang di Sungai Gangga telah diterima tanpa rasa curiga. Sekarang, dimana Bhima? Keempat Pandawa itu segera kembali ke Sungai Gangga, mereka menyusuri sepanjang tepian sungai hingga setiap ruas di sekitarnya, akan tetapi tak seorangpun menemukan Bhima, Pandawa kedua dengan badan perkasa itu lenyap entah kemana. Mereka akhirnya kembali ke istana dengan tangan hampa, dengan suasana hati tak kalah kosong. Haruskah mereka kehilangan Bhima dalam usia yang sangat muda?
Dewi Kunti dan empat orang Pandawa termangu dalam diam dan gelisah. Dimanakah
Bhima?
Sementara di seberang Sungai Gangga, Bhima telah siuman dari pingsan. Ketika
mengamati suasana sekitar, ia tahu telah terdampar di seberang sungai. Hari telah
gelap, udara dingin, akan tetapi kemilau cahaya bintang riuh bertaburan, sepotong
bulan cukup kiranya sebagai penerangan, menuntun Bhima berenang menyeberang sungai, kembali ke istana. Mengapa ia harus berada di seberang sungai, terpisah dari Pandawa dan Kurawa? Perlahan Bhima mengingat saat terakhir sebelum kepalanya tiba-tiba merasa pening, kesadaran terampas. Samar-samar ia dapat menangkap wajah menyeringai Duryudana. Mengapa kepalanya menjadi pening setelah mengunyah makanan? Ah kiranya di dalam makanan telah terdapat pula racun yang merampas kesadaran. Senyum manis Kurawa ketika mengajaknya berenang ke Sungai Gangga hanyalah topeng manis di balik niat yang jahat. Bhima menarik napas panjang, menyadari hidupnya tak aman lagi, ia harus selalu makan satu meja dengan seratus musuh yanng selalu menginginkan kematiannya.
“Bhima....!” Dewi Kunti menjerit, memeluk Bhima ketika tiba-tiba Pandawa kedua
muncul secara tiba-tiba dari balik daun pintu. “Apa yang telah berlaku?”
Sesaat Bhima terdiam, tak mudah memahami sekaligus mempercayai
apa yang sesungguhnya telah terjadi. Setelah riuh berenang kemudian
menelan makanan yang disuguhkan Duryudana, kepalanya terasa pening.
Antara sadar dan tiada, ia merasa diikat kemudian dilontarkan ke
permukaan Sungai Gangga, ular menggigitnya. Ajaib, ia tidak meninggal
kemudian terdampar ke seberang sungai. Sisa tenaga, cahaya bulan, dan
bintang menyelamatkannya, akhirnya ia kembali kepada ibunda dan empat
Pandawa lainnya.
“Bhima ….” Dewi Kunti memeluk Bhima dengan sepasang mata
berkaca-kaca, ia tidak bisa membayangkan bila Pandawa kedua tak pernah
kembali dan ia tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
“Setelah menenlan makanan yang disuguhkan Duryudana, kepala
terasa pening, saya berbaring, Duryudana mengikat seluruh badan tanpa
saya dapat melawan, kemudian melempar saya ke Sungai Gangga. Ketika
tersadar, saya sudah terdampar di seberang, untung masih mampu berenang
untuk kembali. Ibu, Kurawa berusaha untuk membunuhku ….” Nada suara
Bhima menurun, ia tak menaruh curiga ketika Duryudana mengajak berenang
ke Sungai Gangga dengan sebuah rencana jahat yang tidak mudah
dibuktikan, kecuali ia selamat dari rencana pembunuhan. Ia tak bisa lagi
mempercayai seratus orang sepupu itu dengan seorang paman berwajah
licik. Wajah Pandawa kedua itu tampak letih, muram, dan kecewa.
Bagaimana ia harus bertahan hidup bersama musuh di dalam selimut?
Dewi Kunti mengela napas panjang, sejak awal mula kembali
istana, tatapan Shangkuni serta Kurawa memang terasa ganjil. Mereka tak
pernah bersikap sebagai saudara yang bisa berbagi dengan saudara lain.
Mereka berniat mewarisi tahta Astinapura tanpa kehadiran Pandawa, Dewi
Kunti tahu api kebencian telah nyata berpijar. Dapatkan ia berkuasa
memadamkan?
“Sekarang beristirahatlah, hanya kita yang tahu tentang rencana
pembunuhan itu. Ibu hendak bertemu dengan Mahatma Widura”, setelah
menyerahkan Bhima dan Pandawa yang lain untuk mendapatkan pelayanan dari
dayang istana, Dewi Kunti bergegas menemui Mahatma Widura, ia tak
mungkin menyimpan hal yang menakutkan ini seorang diri, ia perlu
berbagi, meminta nasehat. Langkah kakinya terasa mengambang ketika
menjejak lantai istana, ia tidak sedang tinggal pada rumah yang aman
seperti ketika ia menetap di pondok di tengah hutan. Musuh ternyata
demikian dekat hanya berbatas dinding yang tak mampu bersuara, saudara
sepupu yang mestinya hangat bertegur sapa ternyata justru menjadi pihak
yang menginginkan kematian Pandawa. Dapatkah ia melindungi
anak-anaknya?
“Maaf sekali Mahatma Widura, aku tergesa meminta waktu?” Dewi
Kunti membuka pembicaraan, keduanya berdiri bersisihan pada sebuah
tempat terpisah dari kemungkinan untuk dapat dilihat Kurawa.
“Yang mulia Permaisuri Dewi Kunti, adakah yang bisa saya
bantu?” Widura menangkap kegelisahan, bahkan kecemasan pada wajah yang
lembut itu. Usia Dewi Kunti telah beranjak menua, tetapi tak muncul
garis ketuaan, ia masih tampak seakan hari pertama ketika Pandu
memboyong selaku permaisuri Raja Astinapura.
Dewi Kunti tak langsung menjawab, ia membiarkan hening beberapa
tabuh hingga suara daun kering gugur seakan nyaring terdengar. “Andai
ada hal-hal yang bisa saya lakukan, pasti dengan segala kerendahan
hati”, Widura menjadi cemas, tanpa alasan pasti Dewi Kunti tak akan
menjumpainya di tempat ini.
Dewi Kunti membuang pandang jauh-jauh, ia sulit berucap, tetapi
harus, “Tak mudah ternyata kembali menjadi bagian di istana, karena ada
bagian lain merasa lebih berhak. Kehadiran Pandawa di Astinapura serupa
duri dalam daging yang harus dilenyapkan. Apakah ada tempat lain yang
lebih aman bagi Pandawa untuk tumbuh dewasa….?” Suara Dewi Kunti seperti
berbisik, sebenarnya ia ingin menangis, tetapi tak layak kiranya
permaisuri Pandu mencucurkan air mata di depan seorang perdana menteri,
ia harus mampu mengendalikan diri.
Mahatma Widura menatap wajah agung itu dalam-dalam kemudian
pandangannya beralih, menerawang sedemikian jauh seakan ia mampu
menembus lapisan dinding tebal di depannya. Usianya belum tua, tetapi ia
adalah seorang yang dikarunia kebijakan serta keluhuran budi, Dewi
Kunti tak berbicara secara terus terang, tetapi ia telah menangkap makna
yang mau disampaikan dalam kata-kata itu. Ia mengawasi sikap Kurawa
ketika Pandawa kembali ke Astinapura. Mahatma Widura tahu, dua saudara
sepupu itu tak akan pernah dapat dipertemukan. Kehadiran Shangkuni bagi
Kurawa semakin menggali jurang pemisah yang seharusnya tak pernah ada.
Diam-diam Mahatma Widura telah melihat leleran darah segar yang akan
tertumpah dalam perseteruan di kemudian hari, pada saat yang telah
ditentukan. Perdana Menteri itu menghela napas panjang kemudian berkata,
“Yakinlah pada takdir hidup dan kebenaran. Astinapura adalah tempat
yang paling baik untuk membesarkan keturunan Bharata. Pandawa telah
mendapatkan restu untuk usia yang panjang, betapapun dekat musuh, dan
betatapun besar keinginan musuh itu untuk menyingkirkan. Hidup adalah
sebuah panggung sandiwara besar, lakon utama mesti pandai memainkan
peranan. Andai kita tahu ada pihak yang sangat membenci, berpura-puralah
untuk tidak tahu. Waktu akan terus berjalan, suatu saat yang benar akan
tampak benar dan yang salah akan tampak salah”, kata-kata Mahatma
Widura singkat, tetapi mantap.
Dewi Kunti mendengarkan dengan seksama, mau tak mau ia
menyadari kebenaran kata-kata itu, membawa Pandawa pergi dari istana
sama halnya menyerah di depan “musuh” sebelum datang waktu pertempuran.
Andai pertempuran harus terjadi tak terelakkan, adakah ia harus
menyerah? Ia memiliki segenap waktu dan kesempatan untuk membesarkan
Pandawa menjadi kesatria pilih tanding tak terkalahkan. Lalu apa?
“Benar kata-katamu Widura, baiklah kami akan tetap tinggal di
istana, akan tetapi kuminta kemurahan hatimu untuk melindungi
anak-anakku, lima orang Pandawa, Yudistira, Bhima, Arjuna, Nakula, dan
Sadewa….” Tanpa menunggu jawab Dewi Kunti membalikkan badan kemudian
melangkah pergi, waktunya cuma sejengkal, atau dinding istana akan
berubah bentuk menjadi telinga yang dapat mendengar kemudian menjadi
mulut yang dapat pula bersuara. Ia harus memasaang jarak dengan Kurawa,
satu hal yang tidak mudah, istana ini sangat besar sebagai tempat
tinggal keturunan Bharata, akan tetapi amat kecil untuk menghindarkan
diri dari kejaran musuh yang dapat menaburkan bubuk racun
sewaktu-waktu. Ia harus selalu waspada menjaga lima orang Pandawa, anak
tak berdosa yang memerlukan perlindungan orang tuanya. Dewi Kunti
menuju ke peraduan Pandawa untuk mengucapkan selamat malam dan pesan
yang mesti disampaikan Mahatma Widura.
Di peraduan kelima Pandawa tengah duduk menghadap meja, Bhima
masih tampak terpukul, tangannya mengepal. Ia masih terlalu belia untuk
berhadapan dengan perilaku kebencian yang paling kejam, kiranya seorang
pewaris tahta kerajaan harus membayar sedemikian mahal kehidupan yang
harus dijalani di istana, demikian pula dengan masa depan yang harus
dicapai. Apakah ia harus menyerah, karena kekejaman itu. “Tidak!” tanda
sadar mulut Bhima mendesis, kalaulah mungkin, ia ingin menyambar tubuh
Duryudana kemudian melemparkannya tinggi-tinggi, hingga wajah licik itu
segera terjerembab, tenggelam ke Sungai Gangga, supaya Kurawa pertama
itu ikut pula merasakan mengapung antara hidup dan mati. Akan tetapi,
Yudistira yang lurus hati menyentuh pundaknya.
“Kehidupan kita menjadi tidak mudah, tidak seperti kala kita di
hutan di dalam pondok. Akan tetapi, kita adalah keturuan ayahanda Raja
Pandu, kita berhak akan tahta dan Astinapura. Apabila Kurawa merasa
kurang hati, hal itu bukanlah kesalahan kita. Perilaku Duryudana
sekaligus menjadi peringatan, kita harus selalu waspada, tidak boleh
percaya kepada saudara sepupu sekalipun. Bersabarlah Bhima, setelah
berenang di Sungai Gangga, anggaplah tak pernah terjadi apa-apa”,
sejujurnya jantung Yudistira berdetak sangat kencang, melebihi gemuruh
air terjun, namun ia harus pandai mendinginkan suasana hati Bhima yang
sedang diliputi dendam dan amarah. Ia tak mengendaki pertikaian di dalam
istana.
“Benar kata-kata Yudistira, Mahatma Widura juga memberikan
saran yang sama, yang penting adalah memasang jarak, jangan pernah
percaya, namun juga jangan menyerang terlebih dahulu”, Dewi Kunti
menegaskan kata-kata Yudistira, ketika menatap sepasang mata Pandawa
pertama, hatinya terasa damai. Yudistira segera tahu, bagaimana harus
bersikap di tengah keadaan yang tidak menguntungkan, ia tidak
benar-benar sendiri ketika lantai istana yang dipijak berubah seakan
bara api.
Bhima masih terdiam, ia bersyukur berada di antara empat
saudara dan seorang ibu yang mengasihi. Meskipun hanya berlima, ia
merasa tak pernah gentar berhadapan dengan seratus Kurawa. Tanpa sadar
Bhima mengangguk, tanpa sepatah kata ia memisahkan diri dari saudara
yang lain, kemudian merebahkan diri di pembaringan. Kali ini, ia merasa
benar-benar lelah, sangat lelah.
Keesokan harinya, fajar menyingsing dalam cahaya keemasan
diiringi kicau burung serta desir angin yang lembut menggugurkan embun.
Bhima paling lambat bangun, ia harus meneruskan pelajaran memanah hari
ini, ia tergesa berkemas menyesuaikan diri dengan empat Pandawa yang
telah berkemas pula. Tak ada alasan terlambat untuk belajar, meski Bhima
datang yang paling akhir.
Ketika akhirnya Bhima hadir bersama Pandawa dan Kurawa dalam
keadaan sehat, Duryudana membelalakkan mata. Jantungnya seakan tercabut,
ia seakan tengah berhadapan dengan hantu, ‘Bukankah Bhima telah mati di dasar sungai?”
Berulang kali pula seratus Kurawa mengerjabkan mata untuk meyakini,
bahwa yang hadir di tempat ini benar-benar Bhima. Kesatria itu tampak
tenang, terlalu tenang untuk ukuran seorang yang selamat dalam usaha
pembunuhan. Sementara Yudistira, Arjuna, Nakula, dan Sadewa bersikap
serupa, lima bersaudara itu terlalu tenang seakan tegar batu karang yang
tak akan runtuh dalam hantaman badai yang paling kencang sekalipun.
Duryudana merasa lututnya gemetar, ia perlu bertanya-tanya, sebenarnya
ia tengah berhadapan dengan siapa? Bukankah Bhima adalah manusia biasa?
Duryudana kehilangan perhatian selama Mahaguru Drona membawa sekalian
siswa menuju padang terbuka untuk belajar memanah.
“Kemana anak panah ini harus engkau arahkan Duryudana?”
Mahaguru Drona bertanya, ia amat menyayangi Kurawa, sekumpulan bocah
manja yang mudah dibujuk dan diberi pengaruh, amat berbeda dengan
Pandawa yang teguh hati dan selalu memiliki pendirian.
Durryudana tak melihat pusat sasaran dengan baik, hatinya
diliputi tanda tanya dan kemarahan, sungguh tak nyaman berada di tempat
yang sama dengan lima pewaris tahta. Lima orang satria yang amat gagah
dan selalu mendapatkan simpati khalayak ramai. Jauh pada arah yang
ditunjuk Mahaguru Drona yang dilihat Duryudana hanya rimbun daun serta
ranting dan angin tanpa wujud kecuali hembusannya yang mengacaukan hijau
daun. Ketika anak panah terlepas, maka ia tak mendapatkan tujuan
seperti yang dimaksudkan Mahaguru Drona, hatinya terlalu gundah.
Duryudana gagal mencapai sasaran.
Mahaguru Drona menarik napas panjang, ia kecewa dengan
kemampuan Kurawa memanah, tetapi kasih sayang menyebabkan kekecewaan itu
tersisihkan. Ia memaafkan kegagalan Duryudana membidik sasaran. Kini
giliran Arjuna, kesatria muda itu demikian gagah dan tampan, sungguh
jauh berbeda dengan penampilan Kurawa yang lebih menyerupai seorang
raksasa daripada kesatria.
Arjuna merentang anak panah dengan segenap keyakinan, tatapan
matanya jeli, mencerminkan keteguhan hati, badannya tinggi tegap hampir
sama dengan Yudistira serta Nakula Sadewa. Akan tetapi, wajah itu akan
sanggup meluluhkan hati seorang putri raja yang paling cantik sekalipun.
Di antara kelima Pandawa, Arjuna memang yang paling tampan, segenap
penampilan kesatria itu akan membuat angan-angan seorang putri jelita
melayang.
“Kemana anak panah mesti membidik?” Mahaguru Drona bertanya, ia
m engharap jawaban yang salah. Akan tetapi, jawaban Arjuna tepat,
sangat tepat.
“Saya harus membidik tepat di urat lehernya”, Arjuna dengan
jeli menatap seekor burung yang bertengger di atas dahan, di antara
hijau daun. Ia tahu titik terlemah yang harus dibidik untuk mematikan
sasaran. Urat leher. Tak berapa lama kemudian ketika anak panah melesat
menuju sasaran, bidikan Arjuna tepat mengenai urat leher burung yang
bertengger di atas dahan. Burung itu jatuh terkapar dengan anak panah
menembus urat leher. Yudistira, Bhima, Nakula, dan Sadewa bersorak.
Seratus Kurawa berdiri kaku, merasa kalah, cemas, dan geram.
Seratus orang raksasa ternyata akan terseok-seok ketika harus
bertanding dengan lima Pandawa. Dursasana merasa wajahnya merah padam,
ternyata bukan hanya Bhima yang dapat melindungi Yudistira ketika pada
saatnya akan bertahta menjadi seorang raja. Arjuna sama tangguhnya
dengan Bhima dalam memainkan senjata perang. Sekarang, apa yang harus
dilakukan? Tak seorang pun dari seratus Kurawa dapat membidik sasaran
anak panah dengan baik. Dursasana yang tak bisa menerima kekalahan, kini
haru menerima kemenangan Arjuna dalam membidikkan anak panah. Dursasana
tak kehilangan akal, setelah pelajaran memanah usai, ia tak segera
pergi dari tempat berlatih ini, ia berniat menemui Mahaguru Drona
seorang diri.
“Mahaguru telah melihat sendiri, betapa hebatnya lima orang
Pandawa bila dibandingkan dengan seratus Kurawa. Terlebih Bhima yang
dapat mengalahkan siapapun tanpa perlengkapan perang. Ayahanda
Drestarastra kini seorang raja, akan tetapi hanya bertahta untuk
sementara. Kelak tahta akan diwariskan kepada Yudistira, bukankah
sebenarnya saya, Dursasana berhak akan singgasana Astinapura”, Dursasana
tak dapat menyembunyikan wajahnya yang galau, ia hanya tampak
memiliki badan yang besar dan berotot, akan tetapi ia tidak memiliki
kemampuan perang tanding seperti halnya Pandawa.
“Apa sesungguhnya yang engkau inginkan, muridku?” Mahaguru
Drona memahami kegalauan itu. Tanpa berucap pun ia tahu, Kurawa tak
pernah menginginkan kehadiran Pandawa dalam kehidupannya. Seratus orang
itu memang tak pernah sekuat Pandawa, sebab itu Dursasana selalu
berkeluh kesah dan meminta nasehat. Satu hal yang membuat Mahaguru Drona
tersanjung, ia tahu apa arti seorang guru. Ketika murid yang dilatih
dan dibesarkan akhirnya bertahta selaku raja, maka guru kepercayaannya
akan menjadi sosok penting dalam kehidupan istana, mungkin akan berlaku
sebagai penasehat. Pandawa tak pernah meminta nasehat, mereka telah
terlahir selaku kesatria tangguh yang akan mampu menghadapi rintangan
paling sulit sekalipun. Ia tak akan menjadi apa-apa, bila Yudistira
akhirnya dinobatkan sebagai raja didampingi empat Pandawa yang lainnya.
Ia tahu apa yang harus dilakukan.
“Apakah benar Arjuna sehebat itu? Dan apakah benar Bhima juga
sekuat itu? Apakah ada hal yang harus dikerjakan Bhima untuk menguji
kekuatannya?” suara itu adalah keluh kesah, sementara wajah Dursasana
tampak mendung, ia tak bersuara keras, tetapi Mahaguru Drona cukup
memahami kekerasan hati Kurawa yang pertama itu. Ia terdiam beberapa
saat sebelum akhirnya berkata.
“Baiklah, esok akan kupanggil Bhima, ia harus mengerjakan
sesuatu”, jawab Mahaguru Drona, ia tak perlu berkata lebih lanjut, ia
memahami ketakutan serta kebencian Dursasana terhadap kekuatan Bhima.
Keesokan harinya Mahaguru Drona memanggil Bhima, keduanya duduk
berhadapan tanpa kehadiran orang lain. Bhima tak menaruh curiga, ia
seorang murid, ia mematuhi perintah guru. “Mahaguru memanggilku?” suara
Bhima tenang, ia wajib mempercayai kata-kata seorang guru.
“Bhima muridku yang paling perkasa, ada satu hal yang harus
engkau kerjakan untuk menguji seluruh kekuatan itu”, Mahaguru Drona
berbicara dengan hati-hati, ia tahu tengah berhadapan dengan seorang
kesatria, keturunan seorang raja.
“Saya selalu siap mengerjakan Mahaguru”, Bhima menjawab dengan
taat, tanpa menaruh curiga seperti halnya ketika Dursasana mengajaknya
berenang di Sungai Gangga.
“Pergilah mencari tirtha prawidhi – air kehidupan sampai dapat, jangan pernah kembali sebelum berhasil. Barang siapa memiliki tirtha prawidhi ia akan mampu memahami hidup ini. Ia akan mampu mengenal asal, arah, dan tujuan hidup manusia, sangkan paraning dumadi. Pergilah,
jangan pernah ragu, keraguan akan berujung pada kegagalan”, demikian
Mahaguru Drona memberikan perintah. Di telinga Bhima kata-kata itu
terdengar bijak, serupa nasehat yang mesti diikuti tanpa syarat. Seorang
kesatria memang mesti memahami hakekat kehidupan dalam suatu perjalanan
pencarian. Ia tak punya alasan untu menolak perintah itu.
Akan tetapi, ketika Bhima bersujud di depan Dewi Kunti memohon
doa restu, wanita berhati mulia itu merasakan keganjilan. Ia tak hendak
mengijinkan Bhima pergi, tetapi betapa keras hati Pandawa kedua, seorang
kesatria pantang menentang perintah Mahaguru. Benarkah perintah untuk
mencari tirtha prawidhi – air kehidupan adalah ujian untuk mengukur keperkasaan sekaligus pemahaman akan filsafat hidup?
Betapa bahaya perjalanan itu, betapapun kuat, Bhima hanya seorang diri.
Dewi Kunti tak sepenuhnya mempercayai Drona, meski ia seorang mahaguru.
Ada yang mengganjal di hati ketika menatap sosok mahaguru itu, sikap
Mahaguru Drona tak mudah ditafsirkan. Dewi Kunti melepas Bhima pergi
dengan segala doa, ia sangat berharap Pandawa kedua akan kembali dalam
keadaan lebih baik.
Bhima segera melangkah menempuh arah yang ditunjukkan Mahaguru
Drona, hutan lebat, menjelajah hampir pada setiap jengkalnya, menyusuri
lembah, kaki gunung, gua dengan labirin yang gelap dan panjang seolah
tanpa ujung. Akan tetapi, tirtha prawidhi tak ditemukan.
Kemana ia harus melangkah? Bhima harus berhadapan dengan binatang buas,
raksasa, mahluk halus, ia masih dapat mengandalkan kekuatan seorang
kesatria dalam setiap perlawanan.
Suatu hari Bhima berhadapan dengan dua orang raksasa, Rukmukha
dan Rukmakhala. Dua pihak yang berhadapan sebagai sosok tanpa saling
mengenal di tengah hutan, tak dapat menghindari pertarungan. Kekuatan
Bhima serupa letusan gunung berapi, kedua raksasa itu terjerembab ke
atas tanah, tewas seketika. Tak berapa lama kemudian kedua raksasa itu
menjelma menjadi Batara Indra dan Batara Bayu, ayah Bhima yang tak
pernah ditemui selama ini.
“Bhima anakku, engkau telah dewasa kini. Tak mudah mengerjakan perintah Mahaguru Drona untuk mencari tirtha prawidhi, air kehidupan. Kuberikan mantra Jalasegara
dan ini ikat pinggang sakti Batara Bayu, mantra dan ikat pinggang ini
akan menjadi bekal untuk mengarungi samudera paling dalam sekalipun”,
Batara Indra menatap Bhima dengan penuh kasih, ia tak pernah dapat
mengasuh bocah ini hingga dewasa sebagai kesatria utama. Akan tetapi, ia
tak pernah melupakan Bhima begitu saja, terlebih saat kesatria ini
seorang diri menempuh bahaya.
“Air kehidupan yang dimaksud Mahaguru Drona terletak di Telaga
Gumuling, di tengah Rimba Palasara. Engkau harus berhadapan dengan
seekor ular naga bernama Anantaboga, hati-hati, doa kami senantiasa
menyertai”, Batara Bayu menatap Bhima dengan segala rasa cinta, ia
sangat berharap perjalanan Bhima akan sampai di tempat tujuan, tempat
air kehidupan.
“Beribu terima kasih atas pemberian ini, mohon doa restu,
karena saya harus meneruskan perjalanan”, Bhima memberikan sembah pada
sebuah pertemuan yang terlalu singkat dan harus segera diakhiri.
Batara Indra dan Batara Bayu melepas Bhima melangkah pergi
dengan gerakan kaki yang tegap, keduanya terus berdiri menatap hingga
bayangan Pandawa kedua menghilang di balik rimbun pepohonan. Sementara
Bhima meneruskan perjalanan dengan hati lebih mantap setelah
mendapatkan bekal mantra Jalasegara dan ikat pinggang sakti serta arah
yang harus dituju, Telaga Gumuling di tengah Rimba Palasara. Di tepi
Telaga ternyata ular naga Anantaboga telah menunggu, ular itu
mengibas-ibaskan ekornya, menantang berkelahi, tak menghendaki kehadiran
manusia. Dengan kekuatan tenaga Anantaboga membelit tubuh kekar Bhima,
semula Bhima tak berkutik, akan tetapi ia memiliki kuku Pancanaka.
Dengan kuku Pancanaka Bhima menusuk leher Anantaboga, sehingga ular naga
itu meregang nyawa, kehilangan napas, menggelepar di atas tanah,
terkulai. Mati.
Ajaib. Mayat Anantaboga lenyap, menjelma menjadi Dewi
Maheswari, bidadari yang dikutuk pasthu oleh Sang Hyang Guru Pameswari.
Bidadari jelita itu dipaksa menjalani hukuman sebagai ular naga. “Adakah
yang engkau cari di telaga sejauh ini Putra Pandu?” suara Dewi
Maheswari lembut dan merdu.
“Saya mendapat perintah dari Mahaguru Drona untuk mencari air
kehidupan, adakah Dewi Maheswari tahu dimana saya dapat memperoleh air
itu?” Bhima balik bertanya.
“Air kehidupan terletak jauh di dasar samudera, pergilah kea rah selatan”.
Sampai di sini pertemuan dan percakapan itu terhenti, Bhima
mengikuti petunjuk Dewi Maheswari melangkah ke arah selatan, menuju
samudera. Gelombang bergulung amat tinggi bagai tangan-tangan kematian
ketika Bhima meneruskan perjalanan. Ikat pinggang sakti pemberian Batara
Bayu membantu Bhima untuk terus mengapung seolah ia memiliki pula
perahu yang kuat dan teguh. Di tengah samudera, seekor naga besar
Nawatnawa menyemburkan hujan berbisa, seharusnya Bhisma tewas seketika.
Akan tetapi, gigitan ular sewaktu tenggelam di Sungai Gangga menyebabkan
badan Bhima kebal terhadap bisa yang paling mematikan sekalipun. Sekali
lagi Bhima menyerang seekor naga dengan kuku Pancanaka, maka Nawatnawa
tewas dengan tusukan kuku di lehernya. Sekali lagi Bhima memenangkan
pertarungan.
Betapapun kuat dan sakti,kali ini Bhima merasa lelah, ia
membiarkan dirinya mengapung dalam gelombang samudera hingga terhempas
pada sebuah karang emas. Bhima seorang diri, di tepi samudera, tanpa
suara, tanpa manusia yang lain. Adakah ia akan mampu bertahan hidup
tanpa pertolongan siapapun?
Saat Bhima terdampar dalam keadaan pingsan, Dewa Ruci muncul
dengan sinar cemerlang. Sinar itu menyebabkan Bhima siuman. Ia merasa
heran serta takjub ketika melihat sosok sangat kecil dalam kemilau
cahaya, amat mirip dengan dirinya. Dewa Ruci berucap, “Aku Dewa Ruci
yang disebut juga Nawaruci, maksud kedatanganku adalah untuk menolongmu.
Putra Pandu, masuklah ke dalam telingaku, di dalam diriku engkau akan
mendapatkan apa yang engkau cari”.
Kata-kata Dewa Ruci membuat Bhima terdiam, ia merasa bingung.
Bagaimana tubuhnya yang besar bisa masuk ke dalam sosok dirinya yang
kecil, melalui lubang telinga pula? Dewa Ruci memahami kebimbangan
Bhima, ia bisa melihat dari sikapnya yang seakan gagu., maka ia
meneruskan kata-kata, “Sesungguhnya ruangan ini adalah tempat yang sunyi
dan hampa, tak ada apa-apa di dalamnya, tidak ada busana atau makanan.
Justru itu, segalanya sempurna. Satu hal yang harus engkau tahu Bhima,
selama ini engkau hanya setia pada ucapan, mengabdi pada gema, yang
sesungguhnya adalah segala bentuk kepalsuan. Siapa yang sebenarnya lebih
besar Bhimasena, Putra Pandu? Engkau atau atau alam semesta yang ada
dalam tubuhku? Aku Dewa Ruci adalah jagad besar, engkau adalah jagad
kecil yang ada dalam diriku”, Dewa Ruci yang berukuran kecil menatap
Bhima dengan segala keyakinan, satu hal yang menepis keraguan Pandawa
Kedua.
Tanpa ragu akhirnya Bhima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci
melalui telinga, sesaat kemudian Bhima mendapatkan dirinya berada dalam
ruangan kosong, ia berhadapan dengan suatu wujud berbentuk gading
memancarkan cahaya berwarna putih, merah, kuning, dan hitam, perlambang
keberadaan manusia dengan sifat dasar. Cahaya putih melambangkan
kemurnian budi, sinar merah melambangkan amarah, sinar kuning
melambangkan keinginan manusiawi, sinar hitam melambangkan angkara murka
dan keserakahan. Bhima melihat pula tiga wujud serupa boneka emas,
gading, dan permata, ketiga wujud boneka itu melambangkan tiga dunia.
Boneka emas, Inyanaloka melambangkan badan jasmani, boneka gading,
Guruloka melambangkan alam kesadaran, dan boneka permata atau Indraloka
melambangkan dunia rohani. Ketiga perlambang termaksud menyatu dalam
diri manusia tak terpisahkan sebagai bagian yang telah ada sejak
manusia bermula dari kehendak Sang Maha Pencipta, menuju perjalanan
panjang untuk kembali kepada Sang Maha Pencipta yang sama.
Bhima mendengarkan suatu pemahaman tentang hakekat kehidupan,
bahwa musuh terbesar manusia sesungguhnya berada di dalam diri manusia
itu sendiri, bukan lawan yang siap bertempur di medan perang. Kemudian
tanpa disadari Dewa Ruci lenyap tanpa jejak, tanpa bayangan. Bhima
tersadar ia telah sampai pada sebuah pencarian tirtha prawidhi, air
kehidupan. Ialah filsafat kehidupan yang akan mengantar perjalanan
seorang manusia dari tempatnya bermula menuju arah yang sesungguhnya.
Pemahaman ini bukan hanya membuat Bhima kuat secara jasmani,
akan tetapi kuat pula secara rohani. Putra Pandu itu mengerti, ia telah
menjalankan perintah Mahaguru Drona dengan sebenar-benarnya. Langkah
kakinya terasa ringan ketika berjalan pulang kembali ke Astinapura untuk
menghadap Mahaguru Drona mengabarkan pencapaiannya.
“Saya telah kembali Mahaguru, telah menemukan pula air
kehidupan”, Bhima menghadap Mahaguru Drona dengan sikap takjim, ia tidak
pernah menyadari, betapa Mahaguru Drona menyambut kedatangannya dengan
mata nyaris terbelalak lebar, gundah dan takjub.
Mahaguru Drona tahu betapa jauh dan mengerikan perjalanan
filsafat mencari air kehidupan, Bhima dapat tewas ketika berhadapan
dengan binatang buas, raksasa, dan ular naga. Sesungguhnya ia tak pernah
mengharap Bhima pulang kembali, seperti halnya Dursasana dan seluruh
Kurawa. Ketika Bhima kembali dalam keadaan sehat dan berhasil menemukan
air kehidupan, sesungguhnya kesatria itu telah mencapai kesempurnaan.
Mahaguru Drona tak yakin, adakah seratus Kurawa dapat mengalahkan
seorang Bhima? Mahaguru itu menghela napas panjang, tanpa sadar ia
menyentuh pundak Bhima, mau tidak mau mahaguru itu harus mengakui
kesaktian Putra Pandu, Pandawa Kedua.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar