Siapakah sesungguhnya Mahaguru Drona, seorang yang sedemikian
berpengaruh dalam kehidupan Pandawa dan Kurawa? Seorang yang
sesungguhnya menjadi sedemikian lemah, karena memiliki keinginan yang
dapat terwujud andai Kurawa mampu menyingkirkan Pandawa. Seorang yang
pada prinsipnya ragu berlaku adil, bahkan bagi muridnya yang paling
tangguh dan jujur sekalipun.
Drona adalah putra seorang brahmana bernama Bharadwaja,
selesai mempelajari Weda dan Wedangga. Ia kemudian memusatkan diri
mempelajari seni serta keahlihan mempergunakan senjata dan peralatan
berperang. Drona tekun dan berbakat, ia berhasil dalam memperdalam ilmu
perang. Adapun Brahmana Bharadwaja berkawan baik dengan Raja Panchala,
sang raja memiliki seorang putra, Drupada. Pangeran Drupada bersahabat
pula `dengan Drona selama pendidikan ilmu perang. Persahabatan itu
sedemikian dekat, sehingga Drupada pernah berucap, “Kelak, bila aku
bertahta sebagai raja, maka sebagian kerajaan akan menjadi bagianmu”.
Sebuah janji manis terucap dari ujung lidah tanpa tulang, Drona
mencatat kata-kata itu, ia sedemikian berharap, bahkan setelah masa
pendidikan berakhir, ingatan dan harapan tak pernah melupakan. Drona
kemudian menikah dengan adik Kripa, dari perkawinan itu terlahir seorang
anak bernama Aswatthama. Selaku seorang suami dan ayah, Drona sangat
mencintai anak istri, ia sangat berharap mampu memberikan kemuliaan
hidup kepada keduanya dengan banyak cara.
Suatu hari Drona mendengar, bahwa Parasurama sedang
membagi-bagikan kekayaan kepada para brahmana, ia berharap pula akan
kekayaan itu, maka pergilah Drona dengan harapan akan pembagian
kekayaan. Akan tetapi, Drona tak beruntung, ia datang terlambat ,
Parasurama telah membagikan seluruh kekayaan kepada para brahmana dan
berniat kembali pulang ke hutan untuk bertapa. Sebagai pengganti
Parasurama menawarkan sebuah ilmu olah senjata berat kepada Drona untuk
menyempurnakan keahliannya. Sebuah tawaran yang tak akan pernah ditolak,
karena Drona berminat pada ilmu bela diri dengan tingkat yang tinggi.
Maka Drona kembali berlatih dengan tekun dan sungguh hati, sehingga
akhirnya ia mencapai tingkat ilmu olah senjata perang yang tinggi
sebagai syarat untuk menjadi guru pada istana raja yang manapun.
Sementara itu Raja Panchala wafat, sang putra mahkota, Drupada
segera dinobatkan selaku raja. Kabar penobatan itu sampai juga ke
telinga Drona. Ia memiliki tanggung jawab maha berat membawa anak istri
untuk hidup menuju kemakmuran. Drona berniat menagih janji kepada
Drupada bagi kemakmuran itu. Ia yakin Drupada tak akan pernah ingkar
janji setelah masa pendidikan itu. Akan tetapi, benarkah keyakinan itu?
Drona mengira Drupada akan menyambutnya dengan hangat,
mengingat janji tentang pembagian Kerajaan Panchala, sehingga ia dapat
kiranya memberi kemuliaan kepada anak dan istrinya. Perasaan Drona
demikian nyaman ketika ia memasuki halaman istana, satu hal yang
membayang di depan mata adalah saat-saat indah bersama Drupada di tempat
berlatih. Akan tetapi, dalam sekejab perasaan nyaman Drona segera
berubah menjadi kekecewaan yang dalam. Dulu Drupada adalah seorang
pangeran, kini ia telah resmi bertahta sebagai raja. Adapun Drona tetap
seorang kesatria brahmana dengan penampilan serba apa adanya. Ketika
Drupada menyambutnya dengan tatapan mata dingin seolah tak mengenalnya
Drona merasa hatinya remuk, ia tahu, tak ada lagi janji, tak ada lagi
pembagian wilayah kerajaan, terlebih hubungan persahabatan yang kekal.
Ia terlalu banyak berharap, kini ia harus rela mendengar kata-kata
Drupada yang terlalu pedas, seakan larutan cuka dituangkan ke atas kulit
yang menganga, karena luka.
“Siapakah sesungguhnya engkau, kecuali seorang brahmana? Adakah
kita pernah saling mengenal?” raut wajah Drupada menunjukkan
kesombongan, ia seakan enggan membuang waktu bagi seorang brahmana,
meskipun ia pernah mengenalnya.
“Beribu ampun yang mulia Baginda, andai masih mengingat kita
pernah bersama berlatih ilmu perang. Andai tidak, hamba mohon ampun akan
kedatangan ini….” Drona menundukkan wajahnya dalam-dalam, ia merasa
dirinya sedemikian kecil tak berarti di tengah balairung istana yang
megah dengan lantai berkilau, yang lebih gemerlap adalah busana
kebesaran seorang raja yang menyebabkan ia segera terlupa, terlebih
dengan janji yang pernah terucap. Drona tahu, kemuliaan itu kiranya
telah berlari sedemikian jauh meninggalkannya.
“Aku terlalu sibuk untuk mengingat hal-hal kecil, sebenarnya
pertemuan ini tak perlu terjadi”, Drupada membuang pandang, kata-katanya
terlalu singkat. Akan tetapi bagi seorang Drona cukup memberikan
kesadaran, bahwa ia tak perlu lagi menagih janji, ia akan segera
berpamit sebelum diusir pergi dengan sikap yang lebih menyakitkan hati.
“Baiklah, hamba mohon diri yang mulia ….” Suara Drona perlahan,
nyaris berbisik, ia segera mengubur harapan pada liang terdalam, iapun
harus melupakan persahabatan itu, terlebih janji yang tak akan pernah
dipenuhi, karena Drupada nyata-nyata melupakan, bahkan tak menghendaki
kehadirannya. Ia cuma membuang waktu datang ke tempat yang megah ini,
sekilas Drona menatap wajah agung Drupada, ada nyala api mulai berpijar,
brahmana itu tahu apa yang disebut dengan kekecewaan, rasa malu,
kemudian dendam. Ia menyudahi pertemuan ini dengan kalah, suatu saat
ketika waktu terus berputar pada porosnya ia akan membayar kekalahan
itu.
Di lain pihak Drupada menyambut tatapan Drona masih dalam
kesombongan, akan tetapi diam-diam bulu kuduknya meremang. Ia telah
mengingkari janji, menjilat ludahnya sendiri, menolak kehadiran seorang
brahmana, dan bersikap seolah tak pernah mengenalnya. Apakah ia harus
mengenal Drona? Dengan bodoh memberikan sebagian dari wilayah Panchala?
Apa yang akan diberikan Drona sebagai imbalan kemurahan hatinya. Drupada
melupakan satu hal penting, kekuatan dari seseorang bukan hanya luas
wilayah kerajaan serta kekuasaan. Akan tetapi, menepati janji, bersikap
baik bahkan kepada seorang peminta-minta sekalipun.
Sejenak Drupada tertegun, ia dapat mengenali arti kilatan mata
Drona, kali ini sang brahmana benar tak berdaya, ia kecewa, malu,
kemudian tumbuh dendam, yang bersifat seakan nyala api, semakin lama
semakin membesar. Adakah salah satu dari keduanya mampu memadamkan?
Drupada menghela napas dalam-dalam, ia tak hendak menahan bayangan Drona
terus pergi berlalu. Ia tak berminat menjalain lebih lama persahabatan
itu, ia seorang raja, selayaknya ia bersahabat pula dengan seorang raja,
bukan seorang brahmana, bukan seorang yang meminta, meski kepada sebuah
janji.
Sementara dengan dendam di hati Drona terus melangkah pergi, ia
tak kehilangan tujuan, ia harus menyelamatkan seluruh hidup, terlebih
memenuhi tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga. Langkah kaki
sang brahmana bergerak menuju ke Hastinapura, mengetuk pintu rumah
saudara ipar, Mahaguru Kripa. Drona berniat menjadi seorang guru, ia tak
mau hidup berakhir sia-sia.
Suatu haru pangeran Hastinapura bermain di luar istana, tanpa
sengaja bola dan cincin Yudhistira jatuh ke dalam sumur. Permainan
segera terhenti, tak seorang pun dari pangeran itu mampu memungut bola
dan sebentuk cincin yang terjatuh ke dasar sumur. Dari ketinggian cincin
itu tampak indah berkilau. Mereka saling berpandangan, kehilangan
akal. Maka saat itulah datang seorang brahmana berkulit gelap, memandang
para pangeran sambil tersenyum.
“Wahai pangeran tampan, keturunan Bangsa Bharata, ada
kesulitan? Bukankah seorang yang telah berlatih ilmu perang pasti mampu
memungut kembali bola serta cincin yang terjatuh ke dalam sumur. Atau,
bisakah saya membantu?” suara Drona berat serta dalam.
“Oh, brahmana andai bisa membantu memungut kembali bola dan
cincin itu, kami akan menyelenggarakan perjamuan agung di kediaman
Mahaguru Kripa”, Yudhistira tertawa girang, ia akan segera menemukan
titik temy bagi kesulitan ini.
Sang brahmana segera memetik hijau rumput, mengucap mantra
kemudian membidikkan rumput itu ke arah bola yang terjatuh ke dalam
sumur. Seakan anak panah yang melesat dari gendewa, rumput itu memburu
bola kemudian menancap tepat pada sasaran. Sang brahmana kembali memetik
beberapa helai rumput, mengucap mantra, membidikkan rumput itu hingga
menancap pada rumput yang telah melesat terlebih dahulu. Demikian
seterusnya, sehingga rumput itu sambung menyambung menjadi seutas tali.
Dengan mudah sang brahmana menariknya, sehingga bola yang terjatuh ke
dalam sumur bisa diperoleh kembali. Yudhistira dan empat orang Pandawa
yang lain memandang dengan takjub, mereka tak mengira ada seorang
brahmana yang memiliki kesaktian demikian tinggi, mengubah rumput
menjadi seutas tali untuk menarik kembali bola yang terjatuh.
“Dapatkah brahmana mengambil pula cincin yang terjatuh itu?” dengan penuh harap Yudhistira meminta.
Sang brahmana menyanggupi, ia membidikkan sebatang anak panah,
tepat mengenai sasaran, cincin yang terjatuh ke dasar sumur, kemudian
menarik anak panah itu. Dengan hormat ia memberikan cincin kepada
Yudhistira. Kelima Pandawa semakin takjub, Yudhistira membungkukkan diri
sebagai rasa hormat dan terima kasih. “Siapakah sebenarnya engkau
brahmana? Ada yang kami bisa lakukan untukmu?”
“Datanglah kepada Bhisma, yang agung tahu siapa saya”.
Pertemuan itu tak berlangsung lama, kelima Pandawa segera
menemui Bhisma di istana, menyampaiakan kejadian hari ini kepada yang
agung. Bhisma tak perlu berpikir lama, ia segera menyimpulkan, bahwa
brahmana sakti yang membantu Pandawa mengambil kembali bola dan cincin
yang terjatuh ke dalam sumur adalah Drona, sang kesatria brahmana.
Bhisma mengangguk-anggukkan kepalanya. Drona adalah mahaguru yang tepat
bagi Pandawa dan Kurawa. “Pergilah ke rumah Mahaguru Kripa, sampaikan
Bhisma mengundang Drona ke istana”.
Pandawa tak menunggu perintah untuk yang kedua kali, dengan
suka cita mereka bertandang ke rumah Mahaguru Kripa, menyampaikan
undangan Bhisma bagi Drona. Sebuah undangan yang segera dipenuhi Drona
dengan segala senang hati, ia tahu jalan lurus menuju kemuliaan hidup di
lingkungan istana kembali terbuka, dengan melupakan pula janji Drupada.
“Saya mengharap Kesatria Brahmana Drona tidak berkeberatan
menjadi mahaguru bagi Pandawa dan Kurawa, ajarkan para pangeran ilmu
perang, kemampuan memainkan senjata berat maupun ringan”, demikian
Bhisma meminta.
“Dengan segala kerendahan hati, hamba pasti akan mengerjakan”, Drona menjawab dengan takjim.
Drona membuktikan kata-katanya, ia mendidik Pandawa dan Kurawa
menjadi kesatria pilih tanding. Di akhir masa pendidikan Drona
memberikan persyaratan, “Karna dan Duryudana, masa pendidikan kalian
telah selesai, untuk menguji kemampuan pergilah ke Kerajaan Panchala,
tangkaplah Drupada hidup-hidup, bawa dating ke hadapan guru. Maka,
berahasil sudah pendidikan itu”, tak susah bagi Drona untuk membalas
dendam, ia tahu seluruh murid akan memenuhi perintahnya atas nama taat
dan kemampuan.
Dengan takjim Karna dan Duryudana memenuhi perintah itu tanpa
perlu memahami, apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik kata-kata
Drona. Akan tetapi, Karna dan Duryudana tak cukup sakti untuk dapat
mengalahkan Drupada, keduanya kembali ke Hastinapura dengan tangan
hampa. Mahaguru Drona tak kehilangan akal, ia tahu di antara seluruh
muridnya yang paling tangkas memainkan senjata perang adalah Arjuna.
“Pergilah ke Panchala, tangkap Drupada hidup-hidup atas
kesombongannya. Buktikan bahwa Arjuna telah sempurna menyelesaikan
pendidikan ilmu perang”, kata-kata Drona terdengar seakan suara yang
dingin tanpa maksud atau dendam. Arjuna tak banyak membantah, seperti
halnya Karna serta Duryudana ia wajib taat terhadap perintah mahaguru.
Tak susah bagi Arjuna untuk menangkap Drupada hidup-hidup, ia
bukan hanya dikaruniai ketampanan, akan tetapi juga ketangkasan
menggunakan peralatan perang. Perintah Drona dapat dikerjakan dengan
mudah. Mahaguru tersenyum ketika menerima Drupada sebagai tawanan dalam
keadaan hidup. Dendamnya terbalas kini.
“Yang mulia Drupada Raja Panchala, sahabat setia di kala
pendidikan, masihkan engkau ingat akan persahabatan itu. Atau, engkau
benar telah melupakan? Kini, aku Mahaguru Drona adalah seorang raja.
Muridku yang tangkas, Arjuna telah berhasil menundukkan kerajaanmu.
Sekarang aku adalah seorang yang berhak pula bersahabat dengan raja yang
lain. Bila engkau telah lupa, dengan segala kerendahan hati aku ingin
memulihkan kembali persahabatan itu dengan memberikan kembali separuh
kerajaan kepadamu” Drona menatap Drupada dengan pandangan arif seolah
seorang paman yang tengah mengampuni keponakannya. Ia tengah membayar
kekalahan dengan mutlak, sehingga bara api dendam padam sudah. Dengan
menjadi seorang mahaguru, memerintah murid yang paling tangkas
mengalahkan seorang raja, maka ia berhak pula akan wilayah Kerajaan
Panchala, ada beragam cara menuju tahta.
Sementara Drupada memandang Mahaguru Drona dengan hati membeku,
ia tidak menyangka suatu hari kerajaannya akan terjatuh ke tangan
seorang kesatria brahmana atas ketangkasan Arjuna di medan perang. Ia
kini harus menelan bulat-bulat arti rasa malu dan kalah, andai ia bisa
melawan. Akan tetapi, kini ia hanya seorang tawanan. Mestinya Drona
bertindak aniaya, karena sikap hormat dan murah hati itu bahkan semakin
menyakiti hatinya. Ia harus menerima pengampunan serta separuh
kerajaan, karena dendam seorang sahabat yang terlupakan. Drupada, raja
besar itu merasa demikian tolol. Ia ingin berucap, tetapi lidahnya kelu,
nasibnya ada di tangan musuh. Andai Mahaguru Drona mengubah pendirian,
memerintah Arjuna memenggal kepalanya, dapatkah ia berucap?
Tak seorang pun tahu, darah Drupada seakan mendidih. Ia masih
cukup pandai menyembunyikan kemarahan. Ia masih cukup pandai bersikap
sebagai seorang tawanan. Sepasang mata Drupada seakan terbakar api
ketika dengan suara halus Mahaguru Drona kembali berucap.
“Arjuda muridku yang cerdas dan tangkas, sekarang bebaskan
Drupada selaku sahabat mahaguru, kawallah kembali ke Panchala hingga
selamat”, Mahaguru Drona menganggukkan kepala, sekali lagi menatap
Drupada kemudian berlalu, ia telah cukup menunjukkan kewenangan di depan
seorang lawan. Iapun seorang raja yang kehadirannya layak
diperhitungkan, ia bukan lagi sekedar sahabat yang pernah menagih janji.
Drupada merasa hatinya mengeras bagai sebongkah batu dalam
perjalanan pulang kembali ke Panchala. Sekali lagi, andai Arjuna
memperlakukan dirinya dengan aniaya, bukan penghormatan yang sengaja
dilakukan demi membayar dendam. Raja Panchala itu kini harus mengerti
arti sesungguhnya penghinaan. Ia pun tidak tinggal diam, ia harus
melakukan sesuatu.
Setelah tiba kembali ke istana dengan hati terbakar dendam,
Drupada melaksanakan upacara keagamaan, memohon kepada para dewata. Ia
berharap kelak akan memiliki seorang anak laki-laki yang membalaskan
dendam dengan membunuh Drona serta memiliki pula seorang anak perempuan
yang kelak akan menikah dengan Arjuna.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar