Kamis, 06 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, 11, Mahaguru Drona

 








Siapakah sesungguhnya Mahaguru Drona, seorang yang sedemikian berpengaruh dalam kehidupan Pandawa dan Kurawa? Seorang yang sesungguhnya menjadi sedemikian lemah, karena memiliki keinginan yang dapat terwujud  andai Kurawa mampu menyingkirkan Pandawa. Seorang yang pada prinsipnya ragu berlaku adil, bahkan bagi muridnya yang paling tangguh dan jujur sekalipun.
Drona adalah putra seorang brahmana bernama Bharadwaja,  selesai mempelajari Weda dan Wedangga. Ia kemudian memusatkan diri mempelajari seni serta keahlihan mempergunakan senjata dan peralatan berperang. Drona tekun dan berbakat, ia berhasil dalam memperdalam ilmu perang. Adapun Brahmana Bharadwaja berkawan baik dengan Raja Panchala, sang raja memiliki seorang putra, Drupada. Pangeran Drupada bersahabat pula `dengan Drona selama pendidikan ilmu perang. Persahabatan itu sedemikian dekat, sehingga Drupada pernah berucap, “Kelak, bila aku bertahta sebagai raja, maka sebagian kerajaan akan menjadi bagianmu”.
Sebuah janji manis terucap dari ujung lidah tanpa tulang, Drona mencatat kata-kata itu, ia sedemikian berharap, bahkan setelah masa pendidikan berakhir, ingatan dan harapan tak pernah melupakan. Drona kemudian menikah dengan adik Kripa, dari perkawinan itu terlahir seorang anak bernama Aswatthama. Selaku seorang suami dan ayah, Drona sangat mencintai anak istri, ia sangat berharap mampu memberikan kemuliaan hidup kepada keduanya dengan banyak cara.
Suatu hari Drona mendengar, bahwa Parasurama sedang membagi-bagikan kekayaan kepada para brahmana, ia berharap pula akan kekayaan itu, maka pergilah Drona dengan harapan akan pembagian kekayaan. Akan tetapi, Drona tak beruntung, ia datang terlambat , Parasurama telah membagikan seluruh kekayaan kepada para brahmana dan berniat kembali pulang ke hutan untuk bertapa. Sebagai pengganti Parasurama menawarkan sebuah ilmu olah senjata berat kepada Drona untuk menyempurnakan keahliannya. Sebuah tawaran yang tak akan pernah ditolak, karena Drona berminat pada ilmu bela diri dengan tingkat yang tinggi. Maka Drona kembali berlatih dengan tekun dan sungguh hati, sehingga akhirnya ia mencapai tingkat ilmu olah senjata perang yang tinggi sebagai syarat untuk menjadi guru pada istana raja yang manapun.
Sementara itu Raja Panchala wafat, sang putra mahkota, Drupada segera dinobatkan selaku raja. Kabar penobatan itu sampai juga ke telinga Drona. Ia memiliki tanggung jawab maha berat membawa anak istri untuk hidup menuju kemakmuran. Drona berniat menagih janji kepada Drupada bagi kemakmuran itu. Ia yakin Drupada tak akan pernah ingkar janji setelah masa pendidikan itu. Akan tetapi, benarkah keyakinan itu?
Drona mengira Drupada akan menyambutnya dengan hangat, mengingat janji tentang pembagian Kerajaan Panchala, sehingga ia dapat kiranya memberi kemuliaan kepada anak dan istrinya. Perasaan Drona demikian nyaman ketika ia memasuki halaman istana, satu hal yang membayang di depan mata adalah saat-saat indah bersama Drupada di tempat berlatih. Akan tetapi, dalam sekejab perasaan nyaman Drona segera berubah  menjadi kekecewaan yang dalam. Dulu Drupada adalah seorang  pangeran, kini ia telah resmi bertahta sebagai raja. Adapun Drona tetap seorang kesatria brahmana dengan penampilan serba apa adanya. Ketika Drupada menyambutnya dengan tatapan mata dingin seolah tak mengenalnya Drona merasa hatinya remuk, ia tahu, tak ada lagi janji, tak ada lagi pembagian wilayah kerajaan, terlebih hubungan persahabatan yang kekal. Ia terlalu banyak berharap, kini ia harus rela mendengar kata-kata Drupada yang terlalu pedas, seakan larutan cuka dituangkan ke atas kulit yang menganga, karena luka.
“Siapakah sesungguhnya engkau, kecuali seorang brahmana? Adakah kita pernah saling mengenal?” raut wajah Drupada menunjukkan kesombongan, ia seakan enggan membuang waktu bagi seorang brahmana, meskipun ia pernah mengenalnya.
“Beribu ampun yang mulia Baginda, andai masih mengingat kita pernah bersama berlatih ilmu perang. Andai tidak, hamba mohon ampun akan kedatangan ini….” Drona menundukkan wajahnya dalam-dalam, ia merasa dirinya sedemikian kecil tak  berarti di tengah balairung istana yang megah dengan lantai berkilau, yang lebih gemerlap adalah busana kebesaran seorang raja yang menyebabkan ia segera terlupa, terlebih dengan janji yang pernah terucap. Drona tahu, kemuliaan itu kiranya telah berlari sedemikian jauh meninggalkannya.
“Aku terlalu sibuk untuk mengingat hal-hal kecil, sebenarnya pertemuan ini tak perlu terjadi”, Drupada membuang pandang, kata-katanya terlalu singkat. Akan tetapi bagi seorang Drona cukup memberikan kesadaran, bahwa ia tak perlu lagi menagih janji, ia akan segera berpamit sebelum diusir pergi dengan sikap yang lebih menyakitkan hati.
“Baiklah, hamba mohon diri yang mulia ….” Suara Drona perlahan, nyaris berbisik, ia segera mengubur harapan pada liang terdalam, iapun harus melupakan persahabatan itu, terlebih janji yang tak akan pernah dipenuhi, karena Drupada nyata-nyata melupakan, bahkan tak menghendaki kehadirannya. Ia cuma membuang waktu datang ke tempat yang megah ini, sekilas Drona menatap wajah agung Drupada, ada nyala api mulai berpijar, brahmana itu tahu apa yang disebut dengan kekecewaan, rasa malu, kemudian dendam. Ia menyudahi pertemuan ini dengan kalah, suatu saat ketika waktu terus berputar pada porosnya ia akan membayar kekalahan itu.
Di lain pihak Drupada menyambut tatapan Drona masih dalam kesombongan, akan tetapi diam-diam bulu kuduknya meremang. Ia telah mengingkari janji, menjilat ludahnya sendiri, menolak kehadiran seorang brahmana, dan bersikap seolah tak pernah mengenalnya. Apakah ia harus mengenal Drona? Dengan bodoh memberikan sebagian dari wilayah Panchala? Apa yang akan diberikan Drona sebagai imbalan kemurahan hatinya. Drupada melupakan satu hal penting, kekuatan dari seseorang bukan  hanya luas wilayah kerajaan serta kekuasaan. Akan tetapi, menepati janji, bersikap baik bahkan kepada seorang peminta-minta sekalipun.
Sejenak Drupada tertegun, ia dapat mengenali arti kilatan mata Drona, kali ini sang brahmana benar tak berdaya, ia kecewa, malu, kemudian tumbuh dendam, yang bersifat seakan nyala api, semakin lama semakin membesar. Adakah salah satu dari keduanya mampu memadamkan? Drupada menghela napas dalam-dalam, ia tak hendak menahan bayangan Drona terus pergi berlalu. Ia tak berminat menjalain lebih lama persahabatan itu, ia seorang raja, selayaknya ia bersahabat pula dengan seorang raja, bukan seorang brahmana, bukan seorang yang meminta, meski kepada sebuah janji.
Sementara dengan dendam di hati Drona terus melangkah pergi, ia tak kehilangan tujuan, ia harus menyelamatkan seluruh hidup, terlebih memenuhi tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga. Langkah kaki sang brahmana bergerak menuju ke Hastinapura, mengetuk pintu rumah saudara ipar, Mahaguru Kripa. Drona berniat menjadi seorang guru, ia tak mau hidup berakhir sia-sia.
Suatu haru pangeran Hastinapura bermain di luar istana, tanpa sengaja bola dan cincin Yudhistira jatuh ke dalam sumur. Permainan segera terhenti, tak seorang pun dari pangeran itu mampu memungut bola dan sebentuk cincin yang terjatuh ke dasar sumur. Dari ketinggian cincin itu tampak indah berkilau. Mereka saling  berpandangan, kehilangan akal. Maka saat itulah datang seorang brahmana berkulit gelap, memandang para pangeran sambil tersenyum.
“Wahai pangeran tampan, keturunan Bangsa Bharata, ada kesulitan? Bukankah seorang yang telah berlatih ilmu perang pasti mampu memungut kembali bola serta cincin yang terjatuh ke dalam sumur. Atau, bisakah saya membantu?” suara Drona berat serta dalam.
“Oh, brahmana andai bisa membantu memungut kembali bola dan cincin itu, kami akan menyelenggarakan perjamuan agung di kediaman Mahaguru Kripa”, Yudhistira tertawa girang, ia akan segera menemukan titik temy bagi kesulitan ini.
Sang brahmana segera memetik hijau rumput, mengucap mantra kemudian membidikkan rumput itu ke arah bola yang terjatuh ke dalam sumur. Seakan anak panah yang melesat dari gendewa, rumput itu memburu bola kemudian menancap tepat pada sasaran. Sang brahmana kembali memetik beberapa helai rumput, mengucap mantra, membidikkan rumput itu hingga menancap pada rumput yang telah melesat terlebih dahulu. Demikian seterusnya, sehingga rumput itu sambung menyambung menjadi seutas tali. Dengan mudah sang brahmana menariknya, sehingga bola yang terjatuh ke dalam sumur bisa diperoleh kembali. Yudhistira dan empat orang Pandawa yang lain memandang dengan takjub, mereka tak mengira ada seorang brahmana yang memiliki kesaktian demikian tinggi, mengubah rumput  menjadi seutas tali untuk menarik kembali bola yang terjatuh.
“Dapatkah brahmana mengambil pula cincin  yang terjatuh itu?” dengan penuh harap Yudhistira meminta.
Sang brahmana menyanggupi, ia membidikkan sebatang anak panah, tepat  mengenai sasaran, cincin yang terjatuh ke dasar sumur, kemudian menarik anak panah itu. Dengan hormat ia memberikan cincin kepada Yudhistira. Kelima Pandawa semakin takjub, Yudhistira membungkukkan diri sebagai rasa hormat dan terima kasih. “Siapakah sebenarnya engkau brahmana? Ada yang kami bisa lakukan untukmu?”
“Datanglah kepada Bhisma, yang agung tahu siapa saya”.
Pertemuan itu tak berlangsung lama, kelima Pandawa segera menemui Bhisma di istana, menyampaiakan kejadian hari ini kepada yang agung. Bhisma tak perlu berpikir lama, ia segera menyimpulkan, bahwa brahmana sakti  yang membantu Pandawa mengambil kembali bola dan cincin yang terjatuh ke dalam sumur adalah Drona, sang kesatria brahmana. Bhisma mengangguk-anggukkan kepalanya. Drona adalah mahaguru yang tepat bagi Pandawa dan Kurawa. “Pergilah ke rumah Mahaguru Kripa, sampaikan Bhisma mengundang Drona ke istana”.
Pandawa tak menunggu perintah untuk yang kedua kali, dengan suka cita mereka bertandang ke rumah Mahaguru Kripa, menyampaikan undangan Bhisma bagi Drona. Sebuah  undangan yang segera dipenuhi Drona dengan segala senang hati, ia tahu jalan lurus menuju kemuliaan hidup di lingkungan istana kembali terbuka, dengan melupakan pula janji Drupada.
“Saya mengharap Kesatria Brahmana Drona tidak berkeberatan menjadi mahaguru bagi Pandawa dan Kurawa, ajarkan para pangeran ilmu perang, kemampuan memainkan senjata berat maupun ringan”, demikian Bhisma meminta.
“Dengan segala kerendahan hati, hamba pasti akan mengerjakan”, Drona menjawab dengan takjim.
Drona membuktikan kata-katanya, ia mendidik Pandawa dan Kurawa  menjadi kesatria pilih tanding. Di akhir masa pendidikan Drona memberikan persyaratan, “Karna dan Duryudana, masa pendidikan kalian telah selesai, untuk menguji kemampuan pergilah ke Kerajaan Panchala, tangkaplah Drupada hidup-hidup, bawa dating ke hadapan guru. Maka, berahasil sudah pendidikan itu”, tak susah bagi Drona untuk membalas dendam, ia tahu seluruh murid akan memenuhi perintahnya atas nama taat dan kemampuan.
Dengan takjim Karna dan Duryudana memenuhi perintah itu tanpa perlu memahami, apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik kata-kata Drona. Akan tetapi, Karna dan Duryudana tak cukup sakti untuk dapat mengalahkan Drupada, keduanya kembali ke Hastinapura dengan tangan hampa. Mahaguru Drona tak kehilangan akal, ia tahu di antara seluruh muridnya yang paling tangkas memainkan senjata perang adalah Arjuna.
“Pergilah ke Panchala, tangkap Drupada hidup-hidup atas kesombongannya. Buktikan bahwa Arjuna telah sempurna menyelesaikan pendidikan ilmu perang”, kata-kata Drona terdengar seakan suara yang dingin tanpa maksud atau dendam. Arjuna tak banyak membantah, seperti halnya Karna serta Duryudana ia wajib taat terhadap perintah mahaguru.
Tak susah bagi Arjuna untuk menangkap Drupada hidup-hidup, ia bukan hanya dikaruniai ketampanan, akan tetapi juga ketangkasan menggunakan peralatan perang. Perintah Drona dapat dikerjakan dengan mudah. Mahaguru tersenyum ketika menerima Drupada sebagai tawanan dalam keadaan hidup. Dendamnya terbalas kini.
“Yang mulia Drupada Raja Panchala, sahabat setia di kala pendidikan, masihkan engkau ingat akan persahabatan itu. Atau, engkau benar telah melupakan? Kini, aku Mahaguru Drona adalah seorang raja. Muridku yang tangkas, Arjuna telah  berhasil menundukkan kerajaanmu. Sekarang aku adalah seorang yang berhak pula bersahabat dengan raja yang lain. Bila engkau telah lupa, dengan segala kerendahan hati aku ingin memulihkan kembali persahabatan itu dengan memberikan kembali separuh kerajaan kepadamu” Drona menatap Drupada dengan pandangan arif seolah seorang paman yang tengah mengampuni keponakannya. Ia tengah membayar kekalahan dengan mutlak, sehingga bara api dendam padam sudah. Dengan menjadi seorang mahaguru, memerintah murid yang paling tangkas mengalahkan seorang raja, maka ia berhak pula akan wilayah Kerajaan Panchala, ada beragam cara menuju tahta.
Sementara Drupada memandang Mahaguru Drona dengan hati membeku, ia tidak menyangka suatu hari kerajaannya akan terjatuh ke tangan seorang kesatria brahmana atas ketangkasan Arjuna di medan perang. Ia kini harus menelan bulat-bulat arti rasa malu dan kalah, andai ia bisa melawan. Akan tetapi, kini ia hanya seorang tawanan. Mestinya Drona bertindak aniaya, karena sikap hormat dan murah hati itu bahkan semakin menyakiti hatinya.  Ia harus menerima pengampunan serta separuh kerajaan, karena dendam seorang sahabat yang terlupakan. Drupada, raja besar itu merasa demikian tolol. Ia ingin berucap, tetapi lidahnya kelu, nasibnya ada di tangan musuh. Andai Mahaguru Drona mengubah pendirian, memerintah Arjuna memenggal kepalanya, dapatkah ia berucap?
Tak seorang pun tahu, darah Drupada seakan mendidih. Ia  masih cukup pandai menyembunyikan kemarahan. Ia masih cukup pandai bersikap sebagai seorang tawanan. Sepasang mata Drupada seakan terbakar api ketika dengan suara halus Mahaguru Drona kembali berucap.
“Arjuda muridku yang cerdas dan tangkas, sekarang bebaskan Drupada selaku sahabat mahaguru, kawallah kembali ke Panchala hingga selamat”, Mahaguru Drona menganggukkan kepala, sekali lagi menatap Drupada kemudian berlalu, ia telah cukup menunjukkan kewenangan di depan seorang lawan. Iapun seorang raja yang kehadirannya layak diperhitungkan, ia bukan lagi sekedar sahabat yang pernah menagih janji.
Drupada merasa hatinya  mengeras bagai sebongkah batu dalam perjalanan pulang kembali ke Panchala. Sekali lagi, andai Arjuna memperlakukan dirinya dengan aniaya, bukan penghormatan yang sengaja dilakukan demi membayar dendam. Raja Panchala itu kini harus mengerti arti sesungguhnya penghinaan. Ia pun tidak tinggal diam, ia harus melakukan sesuatu.
Setelah tiba kembali ke istana dengan hati terbakar dendam, Drupada melaksanakan upacara keagamaan, memohon kepada para dewata. Ia berharap kelak akan memiliki seorang anak laki-laki yang membalaskan dendam dengan membunuh Drona serta memiliki pula seorang anak perempuan yang kelak akan menikah dengan Arjuna.
                                                                         
 
                                                                                 ***
 
Bersambung ....          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...