Hutan
itu teramat rimbun, batang-batang pohon yang kukuh menghidupi cabang
dan ranting kemudian menjulurkan hijau daun. Tak ada tanda kehidupan di
hutan itu kecuali suara ricik air dari anak kali yang mengalir, desir
angin mengacau dedaunan, rumput, dan bunga-bunga liar. Aneka marga satwa
hidup di hutan itu untuk jangka waktu yang tak berbatas, hutan adalah
rumah bagi setiap jenis marga satwa.
Hari
itu susasana di tengah hutan agak berbeda, Raja Pandu sama seperti
raja-raja yang lain memiliki kegemaran berburu, memanah binatang hutan
selalu menimbulkan rasa senang, bahkan terkadang berlebihan. Pandu
merasa yakin, ia akan pulang dengan binatang hasil buruan. Ketika
melihat sepasang kijang tengah bercengkerama, Pandu segera membidikkan
anak panah. Ia telah terlatih sejak usia dini untuk membidik sasaran
dengan tepat, kali ini bidikan itu tak meleset. Sebatang anak dengan
kecepatan pasti melesat, menembus tubuh kijang jantan dalam rentang
waktu yang tidak terlalu lama. Binatang itu roboh ke tanah, mengucurkan
darah. Pandu tak pernah tahu siapa sesungguhnya kijang jantan itu
kecuali seekor binatang yang layak diburu. Semula ia merasa amat senang,
akan tetapi dalam waktu singkat rasa senang itu berubah menjadi cemas
dan ketakutan.
Kijang
yang roboh berlumuran darah itu tiba-tiba menjelma menjadi seorang
resi. Tatapan matanya dingin diliputi amarah ketika berucap, menyatakan
kutuk pastu dengan suara mendesis, “Pandu, sesungguhnya engkau adalah
manusia yang berdosa. Benar, manusia selalu semena-mena dengan seekor
binatang hutan, meski binatang itu sesungguhnya seorang resi. Ingat
kata-kataku, bila engkau sampai menjalin hubungan rahasia dengan kedua
istrimu, maka tiba sudah hari kematian itu”. Kemudian resi itu
menghilang, meninggalkan Pandu dalam diam yang menggelisahkan.
Kata-kata
itu singkat dan cepat, akan tetapi bagi Pandu cukup sebagai teguran
mengerikan yang akan merubah seluruh hidupnya. Raja Astinapura keturunan
darah Bharata itu terpaku, sepasang kakinya gemetar, detak jantungnya
bergemuruh seakan daun-daun diterpa angin taufan, keringat dingin
mengucur. Ia tahu arti kutukan seorang resi, seorang manusia lebih baik
tak pernah tahu kapan hari kematiannya akan tiba, maka ia dapat
meneruskan hidup dengan damai. Kini Pandu ia telah tahu kapan kematian
akan datang, ia tak akan pernah dapat menyentuh keduanya, baik Dewi
Madrim atau Dewi Kunti. Hal itu berarti bahwa kehidupan dunia telah
berakhir sebelum waktunya tiba, sebelum kedua permaisuri mampu
melahirkan keturunan darah Bharata. Pandu menghela napas panjang, sebuah
kesalahan telah membanting takdir hidup untuk selama-lamanya. Pandu
tahu apa yang harus dilakukan, ia tak dapat memutar ulang waktu, tetapi
ia masih dapat membersihkan diri.
Setelah
kembali ke istana Pandu perlu menenangkan diri kemudian bertemu secara
resmi dengan Bhisma, “Saya seorang raja, tetapi telah membuat kesalahan
dengan memanah seorang resi yang tampak sebagai kijang. Dia telah
mengutuk, memastikan hari kematian. Saya perlu menyucikan diri,
meninggalkan kehidupan dunia untuk pergi bertapa. Jagalah kerajaan ini
bersama Widura sampai saatnya keturunan Bharata tiba untuk kembali
bertahta selaku raja Astinapura”, Pandu tak berpanjang lebar dan tak
pernah mencabut kata-katanya. Setelah ucapannya ia berkemas
meninggalkan istana untuk pergi bertapa, satu keputusan besar yang pada
akhirnya akan mengubah takdir keturunan Bharata selama-lamanya.
Dewi
Kunti dan Dewi Madrim wajib mengikuti kemana sang suami pergi sekalipun
harus meninggalkan tahta kemudian hidup sebagai pertapa di tengah
hutan. Astinapura adalah istana megah yang memiliki banyak ruang serta
dinding tinggi, Dewi Kunti memiliki jarak yang cukup jauh supaya tidak
selalu bersinggungan dengan kehidupan Dewi Madrim. Akan tetapi ketika
harus tinggal di dalam pondok di tengah hutan sebagai pertapa, maka
sehari-hari hanya mereka bertiga yang selalu ada. Semula Dewi Kunti
merasa aneh, akan tetapi semakin hari ia mulai terbiasa, meski pijar api
cemburu terhadap Dewi Madrim tak pernah padam.
Dewi
Kunti tak dapat mengatasi rasa sedih, baik ia maupun Madrim belum lagi
dikaruniai seorang anak, sementara Pandu telah menerima kutuk pastu,
sehingga ia tidak boleh menyentuh satu dari dua orang istri atau ia
harus mati. Lantas siapa yang akan menurunkan darah Bharata? Dewi Kunti
teringat akan mantra yang diberikan oleh Resi Durwasa, tanpa perlu ia
menceritakan tentang kelahiran Karna, karena pertemuannya dengan Batara
Surya. Kunti tak dapat menahan diri, ia harus menyampaikan perihal
mantra itu demi anak-anak yang harus dilahirkan.
“Tanpa
kehadiran anak-anak, garis keturunan ini akan berakhir, andai saya dan
Dewi Madrim diijinkan untuk mengucapkan mantra itu, maka anak-anak akan
terlahir sebagai keturunan Pandu”, Dewi Kunti memberanikan diri, ia
harus menyampaikan kemungkinan ini atau ia tak akan memiliki keturunan
di dalam perkawinannya dengan Pandu.
“Ucapkan
mantra itu bersama Dewi Madrim, semoga akan terlahir anak-anak di bawah
ikatan perkawinan Pandu yang akan menurunkan garis darah Bharata”,
Pandu menjawab dengan yakin, ia tak ragu terhadap maksud baik Dewi
Kunti, wanita yang dikenal, karena kebajikan itu.
Ketika
Dewi Kunti dan Dewi Madrim mengucap mantra, maka lima orang dewa turun
dari kayangan memenuhi permintaan itu. Secara ajaib Dewi Kunti
mengandung kemudian melahirkan tiga orang putra, yang pertama Yudhistira
sebagai titisan dari Batara Dharma, Dewa Keadilan dan Kematian,
disegani, karena keteguhan hati, keluhuran budi, dan kewibawaan. Putra
kedua bernama Bhima atau Bhimasena, adalah titisan Dewa Bayu, Dewa
Angin. Bhima disegani, karena mewujudkan kekuatan yang luar biasa pad
diri manusia. Bhima digambarkan sebagai kesatria pemberani, bertindak
tegas, berhati lurus dan jujur. Putra ketiga bernama Arjuna, adalah
titisan Batara Indra, Dewa Guruh dan Halilintar. Arjuna berarti putih
cemerlang, bersih bagaikan perak. Ia disegani, karena sifat yang
pemberani, budi yang luhur, dermawan, lembut hati, satria membela
kebenaran dan kehormatan.
Adapun
Dewi Madrim secara gaib pula melahirkan dua orang putra kembar bernama
Nakula dan Sadewa. Kedua putra kembar itu adalah titisan Dewa Aswin,
Dewa Kembar, Putra Batara Surya. Nakula dan Sadewa melambangkan
keberanian, semangat, kepatuhan, dan persahabatan yang kekal.
Suasana
pondok yang sunyi kini menjadi ramai dengan kehadiran lima orang putra
yag mendapatkan pendidikan budi perkerti serta ketangkasan seorang
kesatria. Hari emi hari berganti, menjadi minggu, bulan, dan tahun. Tak
ada yang salah dalam kehidupan itu, hingg musim semi yang indah tiba.
Daun-daun yang meranggas kemudian gugur tumbuh kembali sebagai tunas
muda, bung-bunga yang layu kembali mekar dalam aneka warna yang
mempesona dan menakjubkab. Desir angin menebarkan aroma kembang ke
segala penjuru, menyebabkan manusia terlena, terdorong kembali pada
sifat-sifat alami.
Pandu
terpana ketika menatap Dewi Madrim berdiri di antara aneka kelopak
warna bunga, istrinya kini hanya mengenakan pakaian seorang pertapa.
Akan tetapi pakaian sederhana itu tak dapat menyembunyikan bentuk
tubuhnya yang semampai seakan patung pualam diukir tangan pengukir
ternama. Wajahnya yang lembut tampak bercahaya, Dewi Madrim tak pernah
mengeluh dengan kehidupan di pertapaan, meski sesungguhnya ia adalah
seorang putri raja. Pandu tak pernah meragukan kesetiaan dan rasa cinta
Dewi Madrim, meski ia hanya seorang istri kedua. Pandu nyaris kehilangan
kesadaran ketika tangannya bergerak meraih lengan Dewi Madrim yang
halus dan lembut. Ia telah melewatkan terlalu panjang waktu, ia tak
pernah menyentuh wanita cantik itu, suatu hal yang kini berubah menjadi
gemuruh rindu. Setelah memanah seekor kijang di tengah hutan, sekali
lagi Pandu keliru.
Di
pihak lain Dewi Madrim terpana, ia melakukan kesalahan, tidak
mengingatkan Pandu, ia hanyut pula ke dalam arus kehidupan yang indah
mendebarkan. Ia membiarkan musim semi membawanya pergi jauh bersama
satu-satunya orang yang dicintai, seorang yang membuatnya mampu
melakukan apa saja. Semula keduanya terhanyut pada kebersaman yang dalam
dan memabukkan. Akan tetapi, tiba-tiba napas Pandu tercekik, sepasang
matanya membelalak lebar, seluruh gerakan tubuhnya berhenti, ia terjebak
ke dalam rasa sakit tak tersembuhkan. Sepasang paru-parunya tak mampu
lagi menghirup udara. Pandu mengerang sebelum napasnya yang terakhir, ia
telah melupakan kutuk pastu seorang resi. Ketika ia berani menyentuh
salah seorang istri, maka hal itu berarti mati. Musim semi yang indah
serta kecantikan Dewi Madrim telah membawanya menuju hari terakhir, hari
kematian.
Sia-sia
Dewi Madrim berusaha membangunkan Pandu, setelah musim semi membawanya
menuju tempat yang mendebarkan dan indah tiada tara, kini ia tersungkur
dalam suasana berkabung dan duka cita. Dewi Madrim terisak, andai ia
mengingatkan Pandu untuk tidak terseret pada hubungan badani yang
bersifat rahasia ia tidak harus meninggal saat itu. Penyesalan
terlambat. Dewi Madrim berpikir cepat, ia harus membayar kesalahan, ia
harus melakukan sesuatu supaya Pandu tidak menuju alam kematian seorang
diri. Setelah mengabarkan kematian kemudian menyiapkan upacara
pembakaran jenazah, Dewi Madrim membuka percakapan pribadi dengan Dewi
Kunti.
“Kunti
yang selalu dikenang, karena kebajikan, aku tahu, sesungguhnya engkau
tak pernah dapat menerima kehadiranku di sisi Pandu. Seandainya seorang
putri raja dapat mengelak dari pemenang sayembara, kita tidak akan
pernah menjadi istri dari seorang raja yang sama. Akan tetapi suratan
hidup sering kali berada di luar jangkauan manusia. Kini Raja Pandu
telah tiada, aku berperan dalam kematian itu, seandaianya aku
mengingatkan, ia masih ada di antara kita. Aku tak mungkin membiarkan
seorang suami pergi seorang diri menuju alam kematian, karena
kesalahanku pula. Aku akan melakukan satya, membakar diri bersama
jenazah suami, hal itu berarti Nakula dan Sadewa bukan hanya akan
kehilangan bapak, mereka juga akan kehilangan ibu....” sepasang mata
indah Dewi Madrim dengan penuh permohonan menatap wajah Dewi Kunti,
wajah yang tak dapat ditebak bagaimana isi hatinya. Dewi Kunti tak
bersikap ramah, tidak juga kasar, tetapi Dewi Madrim tahu sesungguhnya
ia adalah musuh terbesar wanita itu. Kini, ia berpamit untuk pergi
selamanya, semoga dengan kepergian ini, Kunti akan mendapatkan kembali
kedamaian yang telah lama hilang. Sepasang mata Dewi Madrim berkaca-kaca
kemudian embun yang sangat jernih jatuh membasahi pipi. Perempuan
cantik itu kini tak lagi berdiri, ia duduk bersimpuh untuk maaf dan
permohonan terakhir.
Di
pihak lain Dewi Kunti berdiri kaku, terpana. Ia pun masih berada dalam
suasana duka, kematian Pandu demikian cepat, bahkan sebelum kelima orang
putranya beranjak dewasa. Kini, seorang putri cantik yang berhasil
memenangkan cinta Pandu, duduk bersimpuh bagi maaf dan sebuah
permintaan. Seakan baru kemarin, ia menerima Dewi Madrim di peraduan
dalam api cemburu yang dasyat membakar. Ia membiarkan putri itu berucap
tanpa jawaban kecuali kata-kata halus untuk mengusirnya. Benar, ia tak
pernah menginginkan kehadiran Dewi Madrim dalam hidupnya, putri cantik
itu menempatkannya sebagai seorang yang kalah. Akan tetapi, apa
sesungguhnya arti kekalahan itu, seorang raja yang diperebutkan telah
tiada. Baik ia maupun Dewi Madrim adalah seorang janda. Kini, Dewi
Madrim dengan segala kerendahan hati berniat melakukan satya, membakar
diri kemudian pergi selama-lamanya. Masihkah ia sanggup membencinya?
Tanpa
sadar tangan Dewi Kunti terulur, ia segera merasakan genggangan telapak
tangan yang dingin tak bertenaga, ketika Dewi Madrim menerima uluran
tangannya. “Bila aku pergi, tolong jagalah Nakula Sadewa seperti halnya
engkau menjaga Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Anakmu kini kelima Pandawa,
aku selalu yakin di luar persoalan kita sebagai istri Pandu, egkau
adalah seorang wanita berhati mulia ....” Dewi Madrim tak sanggup lagi
berkata-kata, ia akan merasakan saat paling menyakitkan, setelah
kehilangan seorang suami yang dicintai, ia harus rela membiarkan nyala
api membakar seluruh tubuh bagi kematian itu. Ia tak berhak lagi akan
kehidupan, ia tak dapat mendampingi Nakula Sadewa beranjak dewasa, ia
meminta pada Dewi Kunti, seorang wanita yang tak menyayanginya. Ketika
ia melihat Dewi Kunti menganggukkan kepala dengan wajah segelap mendung,
Dewi Madrim menarik napas lega. Ia mencium tangan Dewi Kunti dengan
segenap ketulusan hati untuk yang terakhir kali, menatap sepasang mata
wanita berhati mulia itu kemudian mengundurkan diri.
Di
tempatnya berdiri Dewi Kunti terdiam seribu bahasa, sekali lagi ia tak
mampu berucap, segalanya berlalu dengan cepat tanpa dapat dihentikan. Ia
membuang waktu yang sangat panjang untuk membenci dan berduka, kini
semua tak berarti apa-apa. Dewi Madrim akan segera musnah menjadi abu,
membawa seluruh kenangan hidup bersama Pandu. Ketika api berkobar
menyala-nyala melahap jenazah Pandu kemudian tubuh indah Dewi Madrim,
Dewi Kunti tak dapat menahan isak tangis, kehilangan selalu menyakitkan.
Seluruh kekalahan akan kehadiran Dewi Madrim yang berhasil memenangkan
cinta Pandu berakhir sampai di sini.
Kini,
Dewi Kunti adalah ibu tunggal bagi kelima Pandawa, Yudhistira, Bhima,
Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Tanpa tanggung jawab serta kasih sayang
seorang ibu kelima orang Pandawa tak akan pernah tumbuh menjadi
kesatria. Dewi Madrim berhasil mendapatkan tempat istimewa di hati
Pandu, akan tetapi wanita itu tak akan pernah dapat menggantikan
tempatnya yang mulia sebagai ibu Pandawa yang pertama, Yudhistira, yang
kelak akan bertahta selaku raja keturunan Bharata. Masihkan ia harus
membenci perempuan yang telah hangus menjadi abu?
Ada tanggung jawab lebih berat yang harus dipikul, membesarkan kelima orang Pandawa.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar