Kamis, 06 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, 7 Pandawa Lahir di Hutan






Hutan itu teramat rimbun, batang-batang pohon yang kukuh menghidupi cabang dan ranting kemudian menjulurkan hijau daun. Tak ada tanda kehidupan di hutan itu kecuali suara ricik air dari anak kali yang mengalir, desir angin mengacau dedaunan, rumput, dan bunga-bunga liar. Aneka marga satwa hidup di hutan itu untuk jangka waktu yang tak berbatas, hutan adalah rumah bagi setiap jenis marga satwa.
Hari itu susasana di tengah hutan agak berbeda, Raja Pandu sama seperti raja-raja yang lain memiliki kegemaran berburu, memanah binatang hutan selalu menimbulkan rasa senang, bahkan terkadang berlebihan. Pandu merasa yakin, ia akan pulang dengan binatang hasil buruan. Ketika melihat sepasang kijang tengah bercengkerama, Pandu segera membidikkan anak panah. Ia telah terlatih sejak usia dini untuk membidik sasaran dengan tepat, kali ini bidikan itu tak meleset. Sebatang anak dengan kecepatan pasti melesat, menembus tubuh kijang jantan dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Binatang itu roboh ke tanah, mengucurkan darah. Pandu tak pernah tahu siapa sesungguhnya kijang jantan itu kecuali seekor binatang yang layak diburu. Semula ia merasa amat senang, akan tetapi dalam waktu singkat rasa senang itu berubah menjadi cemas dan ketakutan.
Kijang yang roboh berlumuran darah itu tiba-tiba menjelma menjadi seorang resi. Tatapan matanya dingin diliputi amarah ketika berucap, menyatakan kutuk pastu dengan suara mendesis, “Pandu, sesungguhnya engkau adalah manusia yang berdosa. Benar, manusia selalu semena-mena dengan seekor binatang hutan, meski binatang itu sesungguhnya seorang resi. Ingat kata-kataku, bila engkau sampai menjalin hubungan rahasia dengan kedua istrimu, maka tiba sudah hari kematian itu”. Kemudian resi itu menghilang, meninggalkan Pandu dalam diam yang  menggelisahkan.
Kata-kata itu singkat dan cepat, akan tetapi bagi Pandu cukup sebagai teguran mengerikan yang akan merubah seluruh hidupnya. Raja Astinapura keturunan darah Bharata itu terpaku, sepasang kakinya gemetar, detak jantungnya bergemuruh seakan daun-daun diterpa angin taufan, keringat dingin mengucur. Ia tahu arti kutukan seorang resi, seorang manusia lebih baik tak pernah tahu kapan hari kematiannya akan tiba, maka ia dapat meneruskan hidup dengan damai. Kini Pandu ia telah tahu kapan kematian akan datang, ia tak akan pernah dapat menyentuh keduanya, baik Dewi Madrim atau Dewi Kunti. Hal itu berarti bahwa kehidupan dunia telah berakhir sebelum waktunya tiba, sebelum kedua permaisuri mampu melahirkan keturunan darah Bharata. Pandu menghela napas panjang, sebuah kesalahan telah membanting takdir hidup untuk selama-lamanya. Pandu tahu apa yang harus dilakukan, ia tak dapat memutar ulang waktu, tetapi ia masih dapat membersihkan diri.
Setelah kembali ke istana Pandu perlu menenangkan diri kemudian bertemu secara resmi dengan Bhisma, “Saya seorang raja, tetapi telah membuat kesalahan dengan memanah seorang resi yang tampak sebagai kijang. Dia telah mengutuk, memastikan hari kematian. Saya perlu menyucikan diri, meninggalkan kehidupan dunia untuk pergi bertapa. Jagalah kerajaan ini bersama Widura sampai saatnya keturunan Bharata tiba untuk kembali bertahta selaku raja Astinapura”, Pandu tak berpanjang lebar dan tak pernah mencabut kata-katanya. Setelah  ucapannya ia berkemas meninggalkan istana untuk pergi bertapa, satu keputusan besar yang pada akhirnya akan mengubah takdir keturunan Bharata selama-lamanya.
Dewi Kunti dan Dewi Madrim wajib mengikuti kemana sang suami pergi sekalipun harus meninggalkan tahta kemudian hidup sebagai pertapa di tengah hutan. Astinapura adalah istana megah yang memiliki banyak ruang serta dinding tinggi, Dewi Kunti memiliki jarak yang cukup jauh supaya tidak selalu bersinggungan dengan kehidupan Dewi Madrim. Akan tetapi ketika harus tinggal di dalam pondok di tengah hutan sebagai pertapa, maka sehari-hari hanya mereka bertiga yang selalu ada. Semula Dewi Kunti merasa aneh, akan tetapi semakin hari ia mulai terbiasa, meski pijar api cemburu terhadap Dewi Madrim tak pernah padam.
Dewi Kunti tak dapat mengatasi rasa sedih, baik ia maupun Madrim belum lagi dikaruniai seorang anak, sementara Pandu telah menerima kutuk pastu, sehingga ia tidak boleh menyentuh satu dari dua orang istri atau ia harus mati. Lantas siapa yang akan menurunkan darah Bharata? Dewi Kunti teringat akan mantra yang diberikan oleh Resi Durwasa, tanpa perlu ia menceritakan tentang kelahiran Karna, karena pertemuannya dengan Batara Surya. Kunti tak dapat menahan diri, ia harus menyampaikan perihal mantra itu demi anak-anak yang harus dilahirkan.
“Tanpa kehadiran anak-anak, garis keturunan ini akan berakhir, andai saya dan Dewi Madrim diijinkan untuk mengucapkan mantra itu, maka anak-anak akan terlahir sebagai keturunan Pandu”, Dewi Kunti memberanikan diri, ia harus menyampaikan kemungkinan ini atau ia tak akan memiliki keturunan di dalam perkawinannya dengan Pandu.
“Ucapkan mantra itu bersama Dewi Madrim, semoga akan terlahir anak-anak di bawah ikatan perkawinan Pandu yang akan menurunkan garis darah Bharata”, Pandu menjawab dengan yakin, ia tak ragu terhadap maksud baik Dewi Kunti, wanita yang dikenal, karena kebajikan itu.
Ketika Dewi Kunti dan Dewi Madrim mengucap mantra, maka lima orang dewa turun dari kayangan memenuhi permintaan itu. Secara ajaib Dewi Kunti mengandung kemudian melahirkan tiga orang putra, yang pertama Yudhistira sebagai titisan dari Batara Dharma, Dewa Keadilan dan Kematian, disegani, karena keteguhan hati, keluhuran budi, dan kewibawaan. Putra kedua bernama Bhima atau Bhimasena, adalah titisan Dewa Bayu, Dewa Angin. Bhima disegani, karena mewujudkan kekuatan yang luar biasa pad diri manusia. Bhima digambarkan sebagai kesatria pemberani, bertindak tegas, berhati lurus dan jujur. Putra ketiga bernama Arjuna, adalah titisan Batara Indra, Dewa Guruh dan Halilintar. Arjuna berarti putih cemerlang, bersih bagaikan perak. Ia disegani, karena sifat yang pemberani, budi yang luhur, dermawan, lembut hati, satria membela kebenaran dan kehormatan.
Adapun Dewi Madrim secara gaib pula melahirkan dua orang putra kembar bernama Nakula dan Sadewa. Kedua putra kembar itu adalah titisan Dewa Aswin, Dewa Kembar, Putra Batara Surya. Nakula dan Sadewa melambangkan keberanian, semangat, kepatuhan, dan persahabatan yang kekal.
Suasana pondok yang sunyi kini menjadi ramai dengan kehadiran lima orang putra yag mendapatkan pendidikan budi perkerti serta ketangkasan seorang kesatria. Hari emi hari berganti, menjadi minggu, bulan, dan tahun. Tak ada yang salah dalam kehidupan itu, hingg musim semi yang indah tiba. Daun-daun yang meranggas kemudian gugur tumbuh kembali sebagai tunas muda, bung-bunga yang layu kembali mekar dalam aneka  warna yang mempesona dan menakjubkab. Desir angin menebarkan aroma kembang ke segala penjuru, menyebabkan manusia terlena, terdorong kembali pada sifat-sifat alami.
Pandu terpana ketika menatap Dewi Madrim berdiri di antara aneka kelopak warna bunga, istrinya kini hanya mengenakan pakaian seorang pertapa. Akan tetapi pakaian sederhana itu tak dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang semampai seakan patung pualam diukir tangan pengukir ternama. Wajahnya yang lembut tampak bercahaya, Dewi Madrim tak pernah mengeluh dengan kehidupan di pertapaan, meski sesungguhnya ia adalah seorang putri raja. Pandu tak pernah meragukan kesetiaan dan rasa cinta Dewi Madrim, meski ia hanya seorang istri kedua. Pandu nyaris kehilangan kesadaran ketika tangannya bergerak meraih lengan Dewi Madrim yang halus dan lembut. Ia telah melewatkan terlalu panjang waktu, ia tak pernah menyentuh wanita cantik itu, suatu hal yang kini berubah menjadi gemuruh rindu. Setelah memanah seekor kijang di tengah hutan, sekali lagi Pandu keliru.
Di pihak lain Dewi Madrim terpana, ia melakukan kesalahan, tidak mengingatkan Pandu, ia hanyut pula ke dalam arus kehidupan yang indah mendebarkan. Ia membiarkan musim semi membawanya pergi jauh bersama satu-satunya orang yang dicintai, seorang yang membuatnya mampu melakukan apa saja. Semula keduanya terhanyut pada kebersaman yang dalam dan memabukkan. Akan tetapi, tiba-tiba napas Pandu tercekik, sepasang matanya membelalak lebar, seluruh gerakan tubuhnya berhenti, ia terjebak ke dalam rasa sakit tak tersembuhkan. Sepasang paru-parunya tak mampu lagi menghirup udara. Pandu mengerang sebelum napasnya yang terakhir, ia telah melupakan kutuk pastu seorang resi. Ketika ia berani menyentuh salah seorang istri, maka hal itu berarti mati. Musim semi yang indah serta kecantikan Dewi Madrim telah membawanya menuju hari terakhir, hari kematian.
Sia-sia Dewi Madrim berusaha membangunkan Pandu, setelah musim semi membawanya menuju tempat yang mendebarkan dan indah tiada tara, kini ia tersungkur dalam suasana berkabung dan duka cita. Dewi Madrim terisak, andai ia mengingatkan Pandu untuk tidak terseret pada hubungan badani yang bersifat rahasia ia tidak harus meninggal saat itu. Penyesalan terlambat. Dewi Madrim berpikir cepat, ia harus membayar kesalahan, ia harus melakukan sesuatu supaya Pandu tidak menuju alam kematian seorang diri. Setelah mengabarkan kematian kemudian menyiapkan upacara pembakaran jenazah, Dewi Madrim membuka percakapan pribadi dengan Dewi Kunti.
“Kunti yang selalu dikenang, karena kebajikan, aku tahu, sesungguhnya engkau tak pernah dapat menerima kehadiranku di sisi Pandu. Seandainya seorang putri raja dapat mengelak dari pemenang sayembara, kita tidak akan pernah menjadi istri dari seorang raja yang sama. Akan tetapi suratan hidup sering kali berada di luar jangkauan manusia. Kini Raja Pandu telah tiada, aku berperan dalam kematian itu, seandaianya aku mengingatkan, ia masih ada di antara kita. Aku tak mungkin membiarkan seorang suami pergi seorang diri menuju alam kematian, karena kesalahanku pula. Aku akan melakukan satya, membakar diri bersama jenazah suami, hal itu berarti Nakula dan Sadewa bukan hanya akan kehilangan bapak, mereka juga akan kehilangan ibu....” sepasang mata indah Dewi Madrim dengan penuh permohonan menatap wajah Dewi Kunti, wajah yang tak dapat ditebak bagaimana isi hatinya. Dewi Kunti tak bersikap ramah, tidak juga kasar, tetapi Dewi Madrim tahu sesungguhnya ia adalah musuh terbesar wanita itu. Kini, ia berpamit untuk pergi selamanya, semoga dengan kepergian ini, Kunti akan mendapatkan kembali kedamaian yang telah lama hilang. Sepasang mata Dewi Madrim berkaca-kaca kemudian embun yang sangat jernih jatuh membasahi pipi. Perempuan cantik itu kini tak lagi berdiri, ia duduk bersimpuh untuk maaf dan permohonan terakhir.
Di pihak lain Dewi Kunti berdiri kaku, terpana. Ia pun masih berada dalam suasana duka, kematian Pandu demikian cepat, bahkan sebelum kelima orang putranya beranjak dewasa. Kini, seorang putri cantik yang berhasil memenangkan cinta Pandu, duduk bersimpuh bagi maaf dan sebuah permintaan. Seakan baru kemarin, ia menerima Dewi Madrim di peraduan dalam api cemburu  yang dasyat membakar. Ia membiarkan putri itu berucap tanpa jawaban kecuali kata-kata halus untuk mengusirnya. Benar, ia tak pernah menginginkan kehadiran Dewi Madrim dalam hidupnya, putri cantik itu menempatkannya sebagai seorang yang kalah. Akan tetapi, apa sesungguhnya arti kekalahan itu, seorang raja yang diperebutkan telah tiada. Baik ia maupun Dewi Madrim adalah seorang janda. Kini, Dewi Madrim dengan segala kerendahan hati berniat melakukan satya, membakar diri kemudian pergi selama-lamanya. Masihkah ia sanggup membencinya?
Tanpa sadar tangan Dewi Kunti terulur, ia segera merasakan genggangan telapak tangan yang dingin tak bertenaga, ketika Dewi Madrim menerima uluran tangannya. “Bila aku pergi, tolong jagalah Nakula Sadewa seperti halnya engkau menjaga Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Anakmu kini kelima Pandawa, aku selalu yakin di luar persoalan kita sebagai istri Pandu, egkau adalah seorang wanita berhati mulia ....” Dewi Madrim tak sanggup lagi berkata-kata, ia akan merasakan saat paling menyakitkan, setelah kehilangan seorang suami yang dicintai, ia harus rela membiarkan nyala api membakar seluruh tubuh bagi kematian itu. Ia tak berhak lagi akan kehidupan, ia tak dapat mendampingi Nakula Sadewa beranjak dewasa, ia meminta pada Dewi Kunti, seorang wanita yang tak menyayanginya. Ketika ia melihat Dewi Kunti menganggukkan kepala dengan wajah segelap mendung, Dewi Madrim menarik napas lega. Ia mencium tangan Dewi Kunti dengan segenap ketulusan hati untuk yang terakhir kali, menatap sepasang mata wanita berhati mulia itu kemudian mengundurkan diri.
Di tempatnya berdiri Dewi Kunti terdiam seribu bahasa, sekali lagi ia tak mampu berucap, segalanya berlalu dengan cepat tanpa dapat dihentikan. Ia membuang waktu yang sangat panjang untuk membenci dan berduka, kini semua tak berarti apa-apa. Dewi Madrim akan segera musnah menjadi abu, membawa seluruh kenangan hidup bersama Pandu. Ketika api berkobar menyala-nyala melahap jenazah Pandu kemudian tubuh indah Dewi Madrim, Dewi Kunti tak dapat menahan isak tangis, kehilangan selalu menyakitkan. Seluruh kekalahan akan kehadiran Dewi Madrim yang berhasil memenangkan cinta Pandu berakhir sampai di sini.
Kini, Dewi Kunti adalah ibu tunggal bagi kelima Pandawa, Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Tanpa tanggung jawab serta kasih sayang seorang  ibu kelima orang Pandawa tak akan pernah tumbuh menjadi kesatria. Dewi Madrim berhasil mendapatkan tempat istimewa di hati Pandu, akan tetapi wanita itu tak akan pernah dapat menggantikan tempatnya yang mulia sebagai ibu Pandawa yang pertama, Yudhistira, yang kelak akan bertahta selaku raja keturunan Bharata. Masihkan ia harus membenci perempuan yang telah hangus menjadi abu?
Ada tanggung jawab lebih berat yang harus dipikul, membesarkan kelima orang Pandawa.      

***

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...