Minggu, 02 Juni 2019

SCARLET HEART, RYEO --Roman di Bawah Absolut Monarki-- TUJUH BELAS

 


…. Angin seakan enggan berdesir, Hae Soo menyadari betapa teramat dekat jarak dengan Pangeran Wang So --nyaris tak ada. Akan tetapi, sosok itu kiranya tak mudah dijangkau. Tak mudah pula baginya berkata-kata, tetapi harus. “Bukankah pangeran pernah berkata, tidak mengapa  tidak menjadi raja, yang penting kita bisa selalu bersama. Kata-kata itu terlupakan kini, meski kita pernah berjanji tidak saling berbohong lagi”, pandangan Hae Soo menerawang jauh, ia mencoba bersikap tegar. Secara emosional ia terlibat terlalu jauh kehidupan di dalam dinding istana, kehidupan yang seringkali berubah menjadi sandiwara berlumuran darah.
“Aku harus memulai semua ini untuk mengakhiri pertumpahan darah. Saat membangun istana baru di luar sana,  aku tersadar dunia bisa berubah jika sang raja berubah. Aku tidak akan dikendalikan oleh siapapun, aku bisa menghentikan pertumpahan darah di lingkungan keluarga. Akhirnya  menjadi raja  adalah suatu keharusan”, Pangeran Wang So tidak ragu dengan kata-katanya, ia telah menelan asam garam sebagai pangeran yang bersetia terhadap seorang raja. Bila keturunan Wang Geon bisa menduduki tahta, mengapa ia tidak? Bukankah ia memiliki kemampuan untuk membuat perubahan sekaligus mengubah nasibnya sendiri? “Apakah engkau tidak suka jika aku menjadi raja?” Pangeran ke-4 bertanya.
“Benar, aku tidak suka, karena harus berpisah darimu”,  Hae Soo tak dapat menyembunyikan rasa galau, ada suatu hal yang mengesankan saat bersama Pangeran Wang So, bila sang pangeran ditakdirkan menjadi raja, adakah ia akan tetap bisa bersamanya? “Pangeran benar ingin menjadi  raja?” Hae Soo perlu menyakinkan diri dengan kembali bertanya, sebagai jawaban Pangeran Wang So menganggukkan kepala. Hae Soo menghela napas panjang, ia tahu tak akan dapat menghentikan kemauan dan takdir seseorang –jalan hidup seorang anak Raja Besar Wang Geon.
“Berjanjilah untuk tidak melukai siapapun, tak akan ada pertumpahan darah ketika Pangeran ke-4 akhirnya bertahta selaku seorang raja”, semula Hae Soo merasa gamang, tetapi ia melihat Pangeran Wang So mengangguk, merasakan tangan kekar Pangeran ke-4 menggenggamnya. Rasa gamang memudar, meski ia tak sepenuhnya yakin dengan jawaban tanpa kata sang pangeran. 
Pertemuan usai.
                                                                            ***
Hae Soo tengah memberikan secangkir teh kepada Yang Mulia Raja, saat penjaga gerbang berteriak akan kedatangan  Pangeran Wang So bersama pasukan yang siap menyerang. “Tutup pintu gerbang!” suara itu nyaris kalap, sang penjaga tahu dinding istana akan kembali dilumuri darah.
Di dalam istana tangan Hae Soo gemetar saat mengulurkan teh kepada Yang Mulia Raja Wang Yo. Ia semakin gugup dengan tatapan dipenuhi rasa curiga Sang Raja, sementara suara itu mendesis seakan terjulur dari lidar ular, “Adakah yang engkau rahasiakan? Apakah engkau menaburkan pula bubuk racun?” Yang Mulia Raja menolak cangkir teh, raut wajahnya mencerminkan rasa takut. Sekalian dayang telah mencicipi terlebih dahulu teh bagi Yang Mulia Raja, tak seorangpun celaka. Akan tetapi Raja Wang Yo telah dicengkeram rasa takut yang tak lagi mampu terkendali. 
“Kesehatanku semakin memburuk, semua karenamu”,  Raja Wang Yo merasa dingin menyergap seluruh tubuh, ia telah berulang kali menumpahkan darah demi singgasana tempatnya bertahta. Jauh di relung hati menggumpal rasa bersalah, karena kematian Raja Wang Mo, Pangeran Wang Eun serta sang istri Park Seon Duk. Akan tetapi, patutkan seorang raja mengakui kesalahan? Kini ia orang pertama di Goryeo dan dapat melakukan apa saja, termasuk menumpahkan kesalahan terhadap seorang kepala dayang. “Moo Hyungnim, Eun, dan istrinya Seon Duk. Bahkan Raja Taejo. Ah, semua yang telah tiada mengganggu pikiranku, mendatangi mimpiku. Semua salahmu, engkau menyamarkan bekas luka So, secara ajaib ia berhasil menurunkan hujan, merampas kursiku, merampas segala hal yang menjadi milikku”, kemarahan Raja Wang Yo tak terbendung bagai banjir kawah melumuri seisi ruangan. Ia ingin terus berucap, akan tetapi betapa lemah seluruh tubuh, betapa sesak saat mesti bernapas, betapa semakin kabur pandangan. Wajah Raja Wang Geon, Raja Wang Mo, Pangeran Eun, dan Park Seon Duk menatapnya berganti-ganti seakan bilah pisau yang tajam melukai. Yang Mulia Raja tahu, tanpa resti dari seisi istana ternyata tahta kerajaan bahkan tak akan dapat menyelamatkan seluruh hidupnya. Ia telah memisahkan diri dari kasih sayang kerabat dengan cara yang amat kejam. Sang Raja masih hendak berkata-kata, akan tetapi Ratu Yoo datang menerobos secara tiba-tiba, wajahnya cemas –teramat cemas.
“Wang So beserta pasukan  memberontak, menyerbu istana”, jemari lentik sang ratu terburu meraih sehelai kertas dan pena. “Tulis wasiat, bahwa engkau menyerahkan tahta untuk Jung. Sekarang”, tanpa ragu Ratu Yoo menyodorkan kertas dan pena kepada Raja Wang Yo. Satu tindakan yang membuat sang raja seakan dilempar pada suram terowongan waktu. Bukankah ia masih hidup, mengapa pula harus menulis wasiat untuk Jung?
“Kita tidak mungkin kehilangan takhta. Sekarang,  tulis wasiat, bahwa Jung akan menjadi raja baru. Masa depan masih di tangan kita”, tak pernah ada yang terlintas pada benak Ratu Yoo, kecuali tahta. Wang Yo telah sakit-sakitan tak dapat lagi memimpin kerajaan sekaligus menempatkan dirinya selaku ibu suri. Ia harus menetapkan seorang yang layak memimpin Goryeo, melindungi kedudukannya di kerajaan ini, Wang Jung. Pada detik terakhir sebelum pemberontakan Wang So mengakhiri kekuasaan Wang Yo. Sungguh, ia tak pernah bermimpi So akan bertahta sebagai raja.
Yang Mulia Raja Wang Yo menatap ibunda ratu dengan tenggorokan tercekik, tak mudah bersuara, tetapi ia harus berucap, “Ibunda, bila aku harus menulis wasiat bagi Jung, bagaimana kemudian nasibku? Sebenarnya aku ini anak bagi siapa? Apa arti seorang Wang Yo bagi seorang ibu? Apakah aku hanya pion yang dikorbankan untuk menduduki takhta? Ibu hanya memerlukan seorang anak yang mampu menduduki singgasana kemudian membuangnya ketika tak berdaya apa-apa”, terlambat bagi Raja Wang Yo menyadari, bahwa kasih sayang Ratu Yoo selaku seorang ibu  ternyata bukan tanpa alasan. Ibunda menyayangi dalam rangka memenuhi nafsu akan kekuasaan, kemudian mencampakkan tanpa belas kasihan ketika ia tak mampu lagi memenuhi keinginannya. Langit seakan berguncang, kepala Raja Wang Yo seolah  dihantam sebongkah batu. Ia memiliki seorang ibu berwatak jahat.
“Tulislah wasiat, atau masa depan akan hilang selamanya. Berikan tahta kepada Jung, sekarang “, sekali lagi Ratu Yoo memberikan perintah.
Raja Wang Yo menatap Ratu Yoo dengan asing, ternyata ia tak pernah benar mengenal seorang ratu yang harus dipanggil ibu. Di batas rasa sakit dan ketakutan, ia harus menyadari dihempas dengan kejam, kini ia sebatang kara dibantai cemas. Yang Mulia Raja memejamkan mata, pahit menyadari ia tak dapat lagi bersama dengan seorang ratu. “Pengawal, bawa Ratu Yoo keluar, sekarang”, tanpa menunggu perintah yang kedua kali pengawal membawa sang ratu meninggalkan ruangan.
Ratu Yoo terkejut, ia tak pernah menyangka Wang Yo akan bertindak tegas mengusir dari istana. Tanpa sadar sang ratu menjerit, menjerit. Akan tetapi, telinga pengawal seakan tuli, mereka hanya mempercayai satu hal, perintah seorang raja. Jeritan Ratu Yoo tak berarti apa-apa, seolah tiupan angin lunglai menyentak daun-daun. Di tempatnya berdiri Hae Soo diam terpaku, ia tengah menyaksikan akhir sejarah  seorang ratu yang serakah, yang tega mengorbankan takdir anak-anaknya.  Ratu Yoo hanya seorang yang tak pernah mampu memberikan rasa damai, terusir dari dinding istana yang megah.
                                                                         ***
Di tempat yang berbeda, dengan cemas Putri Yeon Hwa mengunjungi ibunda Ratu Hwangbo, tergesa berucap. “ Wang Wook tidak ada dimanapun,  Park Soo Kyung berpihak pada Wang So.  Penjaga Istana tidak akan sanggup melawan”, Putri Yeon Hwa tahu istana berada dalam keadaan genting, ia  harus melakukan sesuatu atau akan kehilangan segala-galanya.
Sementara Ratu Hwang Bo menanggapi kecemasan Putri Yeon Hwa dengan tatapan dingin,  ia tak perlu melarut dalam kecemasan seorang putri raja. Satu hal yang menyebabkan sang putri bingung. “Sesungguhnya engkau berhak pula memutuskan, tak mungkin seorang akan mendapatkan keduanya atau segala galanya. Aku gagal dalam membesarkan anak-anak, tetapi masih ada satu celah. Jika ingin mengambil alih istana, seorang harus mengorbankan sesuatu”, Ratu Hwangbo mengucapkan kata-kata dengan mudah, ia telah melampaui semuanya, ia harus cepat menentukan sikap dengan segenap tanggung jawab yang harus dipikul.
Putri Yeon Hwa terhenyak, seorang ratu tidak perlu mengucapkan kata-kata secara langsung, tetapi sang putri memahami makna tersurat di balik kata-kata itu. Persoalannya adalah pengorbanan. “Putuskan sekarang,  memiliki seluruh dunia, tapi tak bisa merasakan cinta. Atau  memiliki cinta, tetapi  dunia menjadi sangat  kecil”, Ratu Hwang Bo menegaskan.
“Bagaimana kalau aku ingin seluruh isi dunia?” Putri Yeon Hwa bertanya.
“Maka, ibu akan menyingkirkan Wang Wook”, suara Ratu Hwang Bo tegas.
***
Di halaman istana, Panglima Park, Pangeran Wang So,  dan Pangeran Baek Ah telah bersiap di atas punggung kuda lengkap dengan pakaian zirah, siap menyerang istana, menumbangkan raja yang lemah dan sakit sakitan. Jauh dalam hati Panglima Park tak percaya  harus menyerang istana, tempat termegah di Goryeo yang selalam selalu dilindungi. Di tangan Pangeran Wang So sebilah pedang tajam tampak berkilat, ia telah siap berperang untuk merebut tahta. Akan tetapi, sang pangeran mendapatkan sambutan yang sebaliknya.
Segalanya berlalu dengan cepat, ketika bayangan tubuh Putri Yeon Hwa yang semampai menampakkan diri dari balik dinding istana, wajahnya yang jelita tampak anggun, suaranya tanpa keraguan, “Aku akan membantu Hyungnim,  mendapatkan tahta tanpa pertumpahan darah dengan catatan tak akan pernah melupakan pertemuan kita hari ini”, sepasang mata yang jeli itu menatap wajah Pangeran Wang So dalam-dalam. Sesaat kemudian wajah jelita sang putri tersenyum ketika mendengar jawaban.
“Baik, aku tak akan pernah melupakan kesetiaanmu”, Pangeran Wang So tak pernah tahu sebuah rencana yang tersembunyi di balik senyum manis Putri Yeon Hwa. Ia bahkan tak pernah tahu isi hatinya, tetapi saat ini ia tak punya pilihan kecuali berjanji demi singgasana yang harus dituju. Wang Yo tak pantas menjadi raja, ia kejam, lemah, dan sakit sakitan.
Di dalam kamar Raja Wang Yo tertawa di luar kesadarannya, ia tak lagi memiliki penopang kuat yang dapat membantunya meduduki tahta. Andai Hae Soo, kepala dayang itu tidak pernah hadir di Goryeo, apakah takdirnya akan seperti ini? Wang So akhirnya mendapatkan semuanya, ia hanya seorang anak malang yang telah dicampakkan, ia bukan lagi siapa-siapa, kecuali korban keserakahan seorang ratu. Mengapa ia harus melakukan semua ini?
“Seperti halnya So, kukira  aku akan ditelantarkan, kecuali mengikuti semua keinginannya. Ibu berkata, aku sempurna dan bisa melakukan apa saja. Akan tetapi, engkau terlalu jauh ikut campur. Segalanya berantakan!” Raja Wang Yo berteriak kalap sambal mendorong Hae Soo hingga kepala dayang itu terjatuh ketakutan.
“Sekarang, siapa sebenarnya yang lebih berhak akan tahta? Jung? Wook? Baek Ah atau So?” Raja  Wang Yo meraih sehelai kertas dan pena tatapannya nanap, ia telah melihat puing-puing istana runtuh berserakan bersiap mengubur seluruh tubuhnya. Dalam jarak yang teramat dekat, Hae Soo menyaksikan detik-detik penghabisan seorang raja yang putus asa dengan jantung berdegup kencang. Ia tidak sedang bermimpi.
“Engkau seorang yang  cerdas. Mengapa tidak menentukan pilihan?” Raja Wang Yo kembali berteriak kalap dengan sisa tenaga, Yang Mulia masih hendak berucap, tetapi lidahnya kelu. Dari arah berbeda terdengar teriakan bergema, “Temukan  raja!” suasana menjadi gaduh, seakan sepasukan gajah dating mengamuk menghancurkan segala yang ada. Tergesa Yang Mulia Raja menulis pada selembar kertas kemudian memberikan pada Hae Soo.
“Aku hanya berusaha untuk bertahan hidup….” Suara itu terdengar seakan ratapan yang menyayat setiap telinga yang mendengar, kemudian tubuh Raja Wang Yo roboh terguling. Yang Mulia Raja benar merasakan seluruh dinding istana runtuh mengubur tubuhnya yang sakit-sakitan dan tak berdaya. Ia ingin kembali bangkit memutar undur jarum waktu untuk kembali mendapatkan tahta dengan cara yang berbeda, ia ingin memohon ampun bagi segala kesalahan. Akan tetapi, seluruh tubuhnya tak lagi bertenaga. Rasa sakit semakin menyayat, semakin menyayat tak teratasi. Langit-langit istana berubah menjadi gelap dan hitam, wajah Raja Wang Geon, Raja Wang Mo, Pangeran Eun, dan Park Seon Duk menatap dengan dingin, menuntut pembalasan. Ia memang telah berlaku semena-mena atas dorongan Ratu Yoo yang kini tega mencampakkannya. Sesaat kemudian Wang Yo merasa tubuhnya mengapung, ia dapat melihat raganya roboh tak berdaya di depan Hae Soo. “Aku telah mati ….” 
Pangeran Wang So datang tak lama kemudian dalam pakaian zirah, Yang Mulia Raja telah jatuh terguling setelah hembusan napas penghabisan. Di dekatnya tampak  Hae Soo terduduk  ketakutan dengan surat wasiat tergenggam di tangan. “Apakah engkau sudah membacanya?” Pangeran Wang So bertanya.
Sebagai jawaban Hae Soo mengelengkan kepala, untuk yang kesekian kali ia harus menyaksikan kematian seorang raja, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Ada yang lesap di hati. Ketika demokrasi belum lagi menjadi dasar kepemimpinan, maka tampuk kekuasaan harus dirampas dengan kematian demi kematian. Hae Soo tak peduli ketika Pangeran Wang So merobek surat wasiat yang ditulis almarhum Raja Wang Yo. Ia terlalu kacau dengan pengalaman hidupnya sendiri.
Ratu Yoo kembali hadir dengan tergesa, memerintah semua yang berada di kamar menyingkir. Darahnya tersirap ketika melihat Raja Wang Yo telah terkapar tak bernapas, putra yang dibangga banggakan telah tiada. Adapun Ji Mong merasa seluruh bulu kuduknya meremang ketika menyadari, bahwa Yang Mulia Raja telah tiada. Demikianlah akhir hidup seorang raja? Wajah ahli bintang itu nampak muram.
Tiba-tiba Hae Soo membungkuk memberikan salam kepada Pangeran Wang So, “Selamat kepada Yang Mulia Raja ….”
“Apa maksudmu? Raja?!!” Ratu Yoo menjerit, ia tak pernah menghendaki Wang So sebagai raja –tak akan pernah.
“Yang Mulia memberikan takhta kepadaku sebelum hembusan napas yang terakhir”, Wang So merasa perlu memberikan jawaban. Ratu Yoo membelalakkan mata lebar-lebar, tetapi pandangan matanya terasa kabur dan samar. Ia telah sampai pada suatu hari ketika mentari akan tenggelam selama-lamanya.
“Salam, Yang Mulia Raja.... Hidup Yang Mulia Raja!” Ji Mong dan semua pengawal berlutut memberikan hormat. Maka, Goryeo kembali mencatat sejarah baru.
Hari penobatan berlangsung dengan cepat, dengan pakaian kebesaran serta takdir akan tahta Pangeran Wang So kini resmi menjadi Raja Gwangjong, Raja Goryeo yang ke-4. Seisi istana hadir kecuali Pangeran Wang Wook dan Pangeran Wang Jung, keduanya tersenyum sinis akan penobatan ini. Mimpi menjadi nyata ketika Raja Gwangjong Wang So mengangkat symbol kerajaan yang terbuat dari emas, sebagai perlambang kekuasaan seorang raja. Seluruh        hadirin memberikan hormat.
Sementara di depan istana Hae Soo menunggu, penampilan  Raja Gwangjong pakaian kebesaran telah disaksikan dalam sejarah Goryeo. Ia telah melampaui masa itu kemudian melesat jauh ke depan. “Gwangjong,  Raja Goryeo ke-4 dikenang dalam sejarah sebagai raja bengis. Aku akan melakukan sesuatu untuk mengubah kenangan itu”, Hae Soo bergumam sambil menatap raja yang baru bertahta.
                                                                          ***
Di ruang baca yang sepi dan dingin Pangeran Wang Wook termenung, ia terjerembab dalam kekecewaan, terngiang kembali kata-kata ibunda “Mulai saat ini, Keluarga Hwangbo akan menggunakan kekuatan  untuk mengambil kedudukan ratu, bukan raja. Aku kecewa dengan sikapmu, semakin jauh kehilangan akal sehat, terpuruk dalam penderitaan yang mestinya dibuang jauh-jauh. Alangkah baiknya kau menjauhkan diri dari keluarga kerajaan.”
Tak lama kemudian Putri Yeon Hwa, wajahnya tetap jelita, tanpa banyak cakap sang putri bertanya, “Mengapa tidak hadir pada acara penobatan raja? Ketidakhadiran akan menimbulkan beragam pertanyaan, kecurigaan tidak bersetia dengan Yang Mulia”.
Pangeran Wang Wook terdiam beberapa tabuh sebelum menjawab, “Saat tiba di Seokyeong ternyata Wang Shik Ryum telah meninggal. Aku langsung mengirim perintah untuk menemukan pengikut Pangeran ke-4, dengan kabar ternyata orang yang duduk di kursi takhta sudah berubah. Seorang pemberontak yang melakukan pengkhianatan, menjatuhkan orang lain bahkan menjadi pahlawan. Kursi yang sebenarnya kuinginkan, Wang So merampasnya. Bukankah engkau pernah berharap aku yang duduk di singgasana?” pahit bagi Pangeran Wang Wook, impiannya berkeping-keping sebelum ia melangkah jauh untuk meraihnya. Bagaimana nanti nasib seorang pangeran bagi Raja Gwangjong, raja ke-4 Goryeo?
“Masih ada satu peluang, andai engkau bisa membantuku menjadi seorang ratu. Ratu Goryeo akan mampu bertindak sesuai kewenangannya, termasuk membalas dendam”, sepasang mata indah Putri Yeon Hwa menatap Pangeran Wang Wook penuh permohonan. Ketika keduanya bertatapan, tanpa sadar Pangeran Wang Wook mengangguk, sang putri menghela mapas panjang. Jalan menuju singgasana kembali membentang.
                                                                             ***
Raja Gwangjong Wang So memulai perkerjaan pertama selaku pemimpin Goryeo, membaca surat perintah untuk memindahkan ibu kota ke Seoknyeong. Pangeran Baek Ah hadir pula di tempat yang sama mendengarkan .”Surat ini sudah dibatalkan, buruh kerja paksa yang mengungsi, karena pembangunan itu akan digaji sesuai dengan beban  pekerjaan  dan akan dipulangkan ke kampung halaman masing-masing”.
“Bagaimana dengan pekerja yang  meninggal saat pembangunan berlangsung?” Pangeran Baek Ah bertanya.
“Bila ada permintaan dari pihak keluarga harap dikabulkan, berikan pekerjaan lain serta ganti rugi. Lakukan hal yang sama untuk  pekerja yang terluka”. Sesaat Yang Mulia Raja terdiam sebelum bertanya, “Cukup tugas kita sudah malam ini?”
“Yang Mulia, kepala dayang Hae dari Damiwon telah lama menunggu”, jawab  perdana menteri.
“Adakah ia Hae Soo?”
Di tempat menunggu Yang Mulia Raja, Hae Soo merasa lelah dan mengantuk,  ia tertidur pada sandaran  pembaringan raja. Tak berapa lama kemudian Yang Mulia Raja bersama Pangeran Baek Ah dan perdana menteri datang mendekati Hae Soo yang tertidur pulas. Kehadiran itu membangunkan Hae Soo, tergesa kepala dayang itu berdiri, membungkuk dengan takzim sebagai penghormatan kepada seorang raja.
“Maafkan lama menunggu”, Yang Mulia Raja tersenyum, kehadiran Hae Soo selalu memberikan rasa damai terlebih ketika wajah lembut itu tampak pula tersenyum manis.  Pangeran Baek Ah memahami arti senyum itu,  demikian pula perdana menteri yang menyertai dibelakangnya. Yang Mulia Raja dan kepala dayang Hae tak terpisahkan. Perdana menteri tanggap membaca  keadaan, ia mengundurkan diri, memberikan waktu bagi Yang Mulia, Pangeran Baek Ah, serta kepala dayang Hae untuk sebuah pertemuan yang bersifat pribadi.
Ketiganya kini duduk bersama menghadapi meja makan seakan sahabat yang telah lama tiada bersua, melupakan, bahwa Wang So kini telah dinobatkan sebagai Raja Gwangjong. Yang Mulia Raja memberikan daging di mangkuk Pangeran Baek Ah, ia tahu adinda menggemarinya. “Terima kasih Yang Mulia Raja”, Pangeran Baek Ah menganggukkan kepala.
“Kita hanya bertiga, panggilah aku Hyungnim, dan hanya engkau”, Wang So yang kini Raja Gwangjong amat menyayangi Pangeran Baek Ah, suasana menjadi hangat ketika seorang berada di dekat yang disayangi.
“Baik Yang Mulia ….” Pangeran Baek Ah kembali mengangguk, ia tersanjung, mendapatkan suatu hal istimewa dari seorang raja.
“Panggil aku Hyungnim….” Yang Mulia Raja  kembali mengingatkan. 
Hae Soo tersenyum simpul, ia menggeser kursi, meletakkan sebutir telur ke piring Pangeran  Baek Ah. Sang pangeran yang semula tertunduk seketika berdiri, membungkuk ke arah Yang Mulia Raja, “Terimakasih”. Tawa Hae So dan Yang Mulia Raja seketika terpecah, Pangeran Baek Ah bingung –adakah suatu hal yang keliru?
Akhirnya Pangeran Baek Ah tergelak ketika menyadari orang yang memberikan sebutir telur adalah Hae Soo, bukan Yang Mulia Raja. “Ah, senangnya bisa berkumpul bersama tanpa rasa takut, karena ancaman dari seorang yang berkuasa”, wajah Yang Mulia Raja tampak bahagia, ia tengah mendecap rasa manis sebagai orang yang paling berkuasa di Goryeo. Ia tidak bisa diperintah siapapun, sebaliknya ia bisa diperintah siapapun.  Kebahagiaan tampak pula pada wajah rupawan Pangeran Baek Ah, selama ini ia tersingkir dari istana, hanya Pangeran Wang So yang berkenan menyapa. Kini setelah sang pangeran menjadi orang pertama, siapakah yang akan dapat menyingkirkan?
“Hidangan terasa lebih lezat, karena makan bersama ….” Hae Soo melarut dalam  kebahagiaan itu, setelah duduk di singgasana, sikap Yang Mulia Raja tak pernah berubah.
Usai menghabiskan hidangan lezat Pangeran Baek Ah berpamit, sementara pelayan membersihkan seluruh gelas dan piring kotor Yang Mulia Raja merasa lelah dan mengantuk. Ia membaringkan diri kemudian  memejamkan mata, ia pulas dalam waktu yang singkat
Hae Soo menarik selimut bagi Yang Mulia Raja, ia ingin tidur yang lelap bagi seorang raja yang telah ditakdirkan bagi Goryeo. Akan tetapi, tiba-tiba Yang Mulia Raja terjaga dalam sebuah mimpi buruk wajahnya menampakkan keterkejutan. Hae Soo mengalami hal yang sama, karena Yang Mulia Raja terbangun secara tiba-tiba. Ia terpaku ketika Raja Gwangjong memeluknya erat-erat. “Apakah engkau akan meninggalkanku?”  Yang Mulia Raja tampak benar takut kehilangan.
“Saya akan pergi setelah Yang Mulia tertidur, seharian pasti sangat melelahkan”, Hae Soo menghibur.
“Mengapa harus pergi setelah aku tertidur, mengapa tidak tinggal serta di kamar ini?” Yang Mulia Raja menarik seluruh tubuh Hae Soo berbaring bersamanya.
Keduanya kini saling menatap, ada beragam bahasa tak terucap, akan tetapi masing-masing pihak telah tahu apa arti bahasa itu. Yang Mulia ingin bertindak lebih dari sekedar menatap dan berbaring, akan tetapi Hae Soo menahan diri untuk tidak bertindak terlalu jauh, “Yang Mulia baru saja dinobatkan sebagai raja, sekarang bukan saatnya”, Hae Soo harus berhati-hati bertindak.
“Aku selalu memerlukan kehadiranmu. Telah tiga raja menempati kamar yang sama kemudian tiada, bahkan meninggal di tempat  ini, dinding dinding menimbulkan rasa gelisah. Sendiri di kamar ini napas terasa sesak. Tidakkah engkau bisa tinggal bersamaku?” Yang Mulia Raja meminta.
Hae Soo terdiam.
“Adakah engkau bisa menceritakan  satu kisah sebelum saatnya tidur?”
“Sebuah kisah tentang seorang raja?” Hae Soo balik bertanya, mengapa tiba-tiba Yang Mulia bersikap bagai kanak-kanak yang memerlukan pula dongeng sebelum tidur?
Yang Mulia Raja menganggukkan kepala. Hae Soo menghela napas  panjang. Ia memerankan kehidupan aneh yang tidak bisa diceritakan dengan akal sehat, tetapi demikianlah kenyataannya. Maka ia mulai berucap dengan dasar khayalan. “Dahulu kala, hiduplah manusia serigala yang membunuh  seorang gadis kecil berkerudung merah….”  Hae Soo mengawali cerita sambil menepuk punggung Yang Mulia Raja hingga sepasang mata Raja Gwangjong mengatup. Hae Soo terus bercerita hingga tak lama kemudian Yang Mulia Raja terlelap di pangkuannya. Wajah itu tampak begitu damai. Hae Soo masih bercerita hingga ia tiba-tiba merasa lelah dengan segala kata, sepasang matanya terasa demikian berat seakan digayuti sebongkah batu. Segala benda di kamar Yang Mulia Raja mengabur, Hae Soo terlena, ia tak lagi menyadari dimana sesungguhnya diri berada. Kepala dayang itu kehilangan seluruh tenaga, tertidur lelap pula.
Keesokan harinya ketika terjaga, Hae Soo tertegun ketika mendapati dirinya berada di kamar Yang Mulia Raja. Dimana Raja Gwangjong yang terlelap di pangkuan, karena dongeng anak-anak yang diceritakan?  Bayangan raja besar itu kini tak ada, ia tak dapat menghirup wangi tubuhnya. Hae Soo membenahi dirinya, merapikan pembaringan di sekitarnya kemudian bergegas kembali ke Damiwon. Adakah ia telah melakukan kesalahan? Tertidur di kamar Yang Mulia Raja pada malam pertama setelah penobatan. Ia pernah mengharap Pangeran ke-4 menduduki tahta, setelah benar Pangeran Wang So dinobatkan  menjadi Raja Gwangjong, ia harus menyadari jarak kiranya semakin meregang, meski sikap Yang Mulia Raja tak pernah berubah.
Hae Soo bersyukur ketika ia bisa berbincang dengan Woo Hee, ”Benar aku pernah ingin Pangeran ke-4 menjadi raja, akan tetapi untuk rentang waktu yang lebih lama. Aku telah bermalam di kamarnya ….” Hae Soo tak bisa  mengerti, adakah ia telah melakukan suatu hal yang benar?
“Yang Mulia telah dinobatkan, kini menjadi pemimpin Goryeo. Benar Yang Mulia telaha menikah dengan Putri Kyung Hwagung, tetapi sang putri menjadi biksu wanita. Singgasana  ratu belum terisi, kuharap engkau harus berhati-hati, terlalu banyak orang memberikan perhatian”,  Woo Hee memberikan saran, ia memahami kegelisahan kepala dayang itu.
Percakapan singkat itu terhenti, Chae Ryung tiba-tiba datang dengan wajah panic, “Soo ….” Sebelum Chae Ryung sempat berkata-kata, seorang pelayan datang, dengan sinis, “Ratu Yoo  ingin bertemu kepala dayang Hae”.
Hae Soo tak membuang waktu, ia segera menemui Ratu Yoo yang tengah bersama pula dengan Pangeran Wang Jung. Kepala dayang itu membungkuk memberikan hormat,  ia menduga-duga hal penting apa yang hendak disampaikan seorang ratu, sehingga memerlukan kehadirannya. Tatapan sang ratu menyebabkan jantung Hae Soo berdegup lebih cepat.
“Aku sengaja memanggilmu untuk satu pertanyaan. Jung, bicaralah”, suara Ratu Yoo dingin, akan tetapi sepasang matanya tampak mulai berkobar oleh pijar api.
“Kertas ini ditemukan di kamar mendiang Raja, adalah titah terakhir Yang Mulia”, Pangeran  Wang Jung mulai berucap, pada tangannya tergenggam sehelai kertas.
“Aku yakin kertas ini berkaitan dengan penerus tahta. Benarkah nama So tertulis?  Benarkah  mendiang Raja menyerahkan tahta untuk So?” Ratu Yoo bertanya, tatapannya menikam, Hae Soo merasa bulu kuduknya meremang.
“Jika takut menyampaikan hal yang sebenarnya, kami bisa melindungi. Yang penting adalah kejujuran. Benarkah mendiang Raja menyerahkan tahta kepada So Hyungnim?” Pangeran Wang Jung juga bertanya, ia tak percaya pada wasiat mendiang raja hingga Wang So dinobatkan.
“Benar”, suara Hae Soo halus, ia yakin dengan jawaban itu.
“Bohong, aku tahu siapa Yo, aku juga tahu sipa So. Yo tidak akan pernah  melepaskan tahta kepada So. Jawab, katakan yang sebenarnya!” Ratu Yoo berteriak kalap sambil menguncang-guncangkan tubuh Hae Soo. 
“Cukup! Hentikan...!”  tiba-tiba Yang Mulia Raja telah hadir pula di tempat yang sama. Tangannya yang kekar segara meraih tubuh Hae Soo berdiri disampingnya. Hae Soo benar-benar ketakutan, tanpa sadar ia mengenggam erat tangan Yang Mulia Raja, ia terlupa tengah menyentuh tangan seorang penguasa Goryeo.
“Ibu bisa bertanya padaku, kenapa harus bertanya kepadanya?” Yang Mulia Raja memberikan teguran, ia tahu Ratu Yoo sangat membenci Hae Soo.
“Mengapa engkau harus merobek titah yang ditulis Yo? Kau kira aku mempercayai kebenarannya?”  setiap kali menatap Wang So, Ratu Yoo selalu merasa geram. Semakin geram ketika menerima kenyataan pahit, anak yang tidak dikehendaki hadir bahkan dinobatkan menjadi raja.
“Aku tidak pernah merobeknya? Aku tidak tahu alasan Yo Hyungnim merobeknya, ia meninggalkan pesan terakhir,  menyerahkan tahta kepadaku, mengapa harus ragu”, Yang Mulia Raja menjawab tegas. Genggaman tangan Hae Soo semakin erat, ia memang telah menyembunyikan sesuatu yang akan merubah takdir Goryeo selamanya. Merubah nasib Pangeran Wang So, Ratu Yoo dan sesisi istana.
“Yo memiliki seorang putra, mengapa harus menyerahkan tahta kepadamu?” Pangeran Wang Jung tak percaya.
“Kalau masih ragu, silakan datang ke alam lain, tanyakan kepada roh Yo Hyungnim”, suara Yang Mulia Raja sinis, ia tahu Ratu Yoo tak pernah menginginkan kehadirannya di istana, terlebih kedudukannya selaku raja. Ibunda ratu telah menyeret pula Wang Jung untuk membencinya. Ia telah memutuskan menduduki tahta untuk memenangkan seluruh hidup. Ia tak akan membiarkan seorang ibu untuk terus menerus bertindak aniaya.
“Lebih baik Yo Hyungnim turun tahta. Atau terpaksa aku merebutnya? Darah akan tertumpah. Mengapa ibu suri tidak menyelenggarakan upacara, berdoa bagi mendiang raja? Aku akan mengunjungi ibu sesering mungkin di tempat upacara”,  Yang Mulia Raja menatap Ratu Yoo dengan sikap dingin, tiba waktu untuk menentukan sikap.
“Engkau tak pantas memanggilku ibu suri”, wajah Ratu Yoo merah padam, telinga terasa nyeri  karena sebutan itu.
“Ketika seorang anak dinobatkan menjadi raja, seorang ibu pasti akan dipanggil ibu suri”, Yang Mulia Raja bersikap tegas layaknya penguasa yang tidak dapat dilawan.
“Engkau mencuri tahta Wang Yo!” Ratu Yoo menjerit.
Raja Gwangjong tak perlu mengindahkan jeritan itu, ia telah memenangkan takdir hidup dengan sebuah cara. Bahkan seorang ratu tak dapat menghalanginya. Sang raja membimbing Hae Soo pergi, tak perlu berlama-lama di tempat ini, udara menjadi semakin panas seakan meleleh. Tak ada manfaat bersitegang dengan Ratu Yoo, seorang ratu yang serakah dan kalah.
“Sampaikan pada keluarga di Chungju aku ingin bertemu”,  Ratu Yoo memberikan satu perintah kepada Pangeran Wang Jung. Di atas kepala langit tiba-tiba menjadi gelap, Ratu Yoo merasa dadanya sesak. Wang So nyata nyata telah mengalahkannya.
Sementara Yang Mulia Raja Wang So perlahan menarik tangan Hae Soo hingga tiba kembali di depan pintu singgasana. “Jangan pernah memenuhi panggilan Ratu Yoo tanpa seijinku”, Yang Mulia Raja memberikan peringatan, ia tahu Ratu Yoo tak pernah memiliki niat. Sebagai jawaban Hae Soo menganggukkan kepala, ia telah melakukan hal yang tolol dengan memenuhi panggilan seorang ratu.
“Ingat, engkau memerlukan ijin seorang raja untuk memenuhi panggilan siapapun. Aku bertanggung jawab atas keselamatanmu. Mengerti?” tanpa menunggu jawaban Yang Mulia Raja menuju singgasana, Hae Soo berniat mengikuti, tetapi perdana menteri menghalangi, seorang kepala dayang tidak diperlukan kehadirannya di singgasana.
Raja Gwangjong kini memenuhi haknya kembali duduk di singasananya, mendengarkan laporan Ji Mong, “Beredar kabar, sementara orang percaya, seharusnya  Kyung Chun Won Keun yang seharusnya menjadi raja. Menteri Luar Negeri Park Young Gyu bahkan  mengira Wang So berbohong tentang permintaan terakhir mendiang raja”.
“Seorang yang tidak mempercayai hal yang semestinya, aku Raja Gwangjong Wang So berhak menduduki tahta, tak pernah layak untuk hidup lebih lama. Ia  ibarat duri di dalam daging yang harus dipatahkan.  Ia seorang pengkhianat. Bunuh”,  Yang Mulia Raja tampak sangat marah, ia dengan kukuh mengucapkan titah yang  mengejutkan Ji Mong. Yang Mulia menampakkan sifat yang sesungguhnya.
“Hukuman bagi setiap pengkhianat adalah mati. Tangkap semua pengikut mendiang raja, dayang, dan tentara yang berada di Cheondeokjeon yang meragukan titah penerus tahta. Tak satupun lolos, tak satu orang pun akan terluput”,  tegas suara Raja Wang So, ia tidak ragu. Ia tidak akan dapat hidup satu dinding dengan seorang pengkhianat, musuh dalam selimut yang dapat menikamnya diam-diam.
Di tempatnya berdiri Ji Mong terpana, sepasang matanya nyaris meloncat dari kelopak. Ia tak pernah menduga Yang Mulia Raja akan bertindak demikian tegas dan kejam untuk melindungi tahta.  Apakah menyingkirkan seorang pengkhianat harus dengan hukuman mati? Diam-diam bulu kuduk Ji Mong meremang.
                                                                           ***
Menteri Park tergesa menemui Woo Hee, kabar burung bersiul Yang Mulia  Raja memerintah pengawal menangkapnya, hidupnya berakhir sudah. Ia masih ingin mendapatkan secercah harapan, ia masih ingin hidup. “Akankah hidupku berakhir sampai di sini?” sang menteri galau. Siapakah yang berniat mengetahui lebih dini hari kematian?
“Bukankah kabar, bahwa titah mendiang Raja Wang Yo bohong memang harus dipertanggungjawabkan?” suara Woo Hee dingin.
“Adakah aku juga harus mengatakan yang sebenarnya, engkau memata-matai Pangeran ke-4 yang kini adalah Raja Gwangjoing dan Pangeran Baek Ah?  Adakah engkau mengira aku akan mati seorang diri?” nada suara Menteri Park mengancam.
Sepasang mata indah Woo Hee berkilat, ia tahu Menteri Park tidak sedang bermain-main, nasibnya kini berada di ujung tanduk. Wanita cantik itu cepat berpikir cepat pula bertindak, jemarinya yang lentik meraih pisau kecil yang tersembunyi didalam gantungan, tanpa banyak cakap ia  mengayunkan tangan hingga mata pisau itu membenam di punggung Menteri Park, menembus jantung. Tubuh kekar sang menteri terhuyung-huyung, rintihannya menyayat, ia tak pernah  menduga hari terakhir akan datang lebih cepat dari dugaannya. Ketika akhirnya tubuh Menteri Park terbanting dengan suara berdebum, Woo Hee menghela napas panjang –seorang pengkhianat layak dihukum mati!
Kemudian mulut Woo Hee membungkam –membungkam. Bukankah setiap orang berhak memiliki rahasia? Ia masih membungkam saat bertemu kembali dengan Pangeran Baek Ah, tangan sang pangeran meraih gantungan yang tampak usang “Sudah using, lebih baik diganti”, ucap Pangerana Baek Ah setulus hati.
“Tidak ….”  Woo Hee menggenggam kembali gantungan itu, benda using yang tidak perlu digantikan, karena menyimpan kenangan pribadi.
Benda ini  pemberian orang tuamu?” Pangeran Baek Ah bertanya, Woo Hee mengangguk.
“Sepertinya aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang tuamu”, Pangeran  Baek Ah tak pernah bosan menatap wajah  Woo Hee, ia benar mengasihi wanita ini.
“Apa yang membuat orang tuaku tidak senang?” Woo Hee balik bertanya.
“Sebelum menikah. Kita harus membuatmu terdaftar sebagai anak angkat dari keluarga baik-baik”, tak mudah bagi Pangeran Baek Ah menyatak hal ini, tetapi harus. Ia tak pernah mampu kehilangan Woo Hee.
“Karena aku berasal dari Hubaekje?” wajah Woo Hee menjadi muram.
“Nenekku masih ingat  kejadian yang di Gyunhwan. Keluarganya dibunuh di depannya, nenek selalu tak mau berurusan dengan orang yang berasal dari Hubaekje. Akan tetapi, semua itu terjadi sebelum kita lahir. Lagipula Gyunhwan tak memiliki hubungan apa-apa denganmu. Aku hanya ingin menghindari masalah yang mungkin  terjadi. Aku akan ziarah ke makam orang tuamu dan minta maaf pada mereka”, Pangeran Baek Ah menjelaskan rencananya.
Di pihak lain Woo Hee terdiam,  terngiang kembali kata-kata Mentri Park,  “Jika hubunganmu  terungkap,  Pangeran Baek Ah juga takkan aman”. Woo Hee menghela napas panjang, ia berada pada keadaan yang sangat sulit. Ia tahu Pangeran Baek Ah tidak sedang bermain-main, betapa langkahnya terasa semakin jauh. Dimanakah ujung jalan penghabisan?
“Tak ada persoalan buatmu?” suara Pangeran Baek Ah lembut.
“Raja Pendiri Goryeo membunuh orang tuaku dan rajanku membunuh keluargamu. Apakah semua ini bukan persoalan?” kekhawatiran Woo Hee tak terbendung, ia terperangkap ke dalam dendam lama yang belum juga padam. Bahkan pijar api kian berkonar.
“Pembunuhan itu bukan salahku  dan itu juga bukan salahmu. Masih ada celah bagi kita berdua untuk selalu bersama. Kecuali engkau tak menghendaki kehadiranku, kita tak akan pernah  berpisah. Aku tidak akan melepaskanmu”, Pangeran Baek Ah tidak sedang berpura-pura mengucap kata.
Woo Hee terdiam, pikirannya menerawang jauh –jauh sekali…
.
                                                                            ***
Jenderal Park Soo Kyung menatap Yang Mulia Raja Gwangjong dengan gamang, tiba-tiba ia merasakan usianya semakin tua. Dapatkah ia memaafkan Yang Mulia Raja, setiap saat terbayang wajah putri tercinta, Park Seon Duuk dan Pangeran Wang Eun. Kenangan manis itu kini telah dilumuri darah, tak mudah ditinggalkan anak sekaligus menantu dengan tragis. Andai Pangeran ke-4 tidak memenuhi permintaan Raja Wang Yo untuk membantai keluarga pengeran yang membangkan. Park Seon Duuk masih akan bersanding bahagia bersama Pangeran Wang Eun, ia bisa menjalani masa tua dengan damai serta mengabdi kepada raja selanjutnya dengan lapang dada. Dapatkah ia menjadi jenderal bagi seorang raja yang telah membantai anak serta menantunya? 
Sang  jenderal telah menimbang berhari-hari sebelum memberanikan diri menghadap Yang Mulia Raja. “Beribu maaf Yang Mulia, usia saya semakin tua, kesehatan terus memburuk. Kampung halaman memanggil pulang. Tiba saat bagi seorang jnderal untuk mengundurkan diri, menjemput hari tua. Akan ada jenderal lain yang lebih tangguh menggantikan, Goryeo akan tetap jaya”,  Jenderal Park Soo Kyung berucap dengan hati-hati, ia telah berhadapan dengan seorang raja yang berwenang melakukan apa saja.
“Jenderal masih tampak muda dan sehat, Goryeo memerlukan seorang jenderal yang tangguh. Jangan pergi ….” Yang Mulia Raja meminta, apa yang akan terjadi pada Goryeo tanpa seorang jenderal yang lihai di medan perang? Sanggupkan ia kehilangan seorang jenderal?
“Seluruh sudut istana selalu menampakkan wajah Park Seon Duuk dan Pangeran Wang Eun, andai Yang Mulia adalah Jenderal Park Soo Kyung yang ditinggalkan dan selalu merasa kehilangan?” suara itu menahan isak tangis. Sepasang mata Jenderal Park menatap wajah tampan Raja Gwangjong, ia tahu tak akan mampu menatap wajah itu lebih lama lagi.
“Jenderal Park….” Suara Yang Mulia tertahan, ia dapat melihat wajah muram jenderal itu. Ia tak pernah berniat membantai Pangeran Wang Eun dan Park Seon Duuk, ia tidak berseteru secara pribadi. Andai Raja Wang Yo tidak memerintah dengan kejam. Lidah Yang Mulia Raja terasa pahit, ia tahu alasan sesungguhnya seorang jenderal mengundurkan diri. Dapatkah ia menahan? Dapatkah ia menghalangi langkah damai seorang ayah yang kehilangan putri tercinta?
“Saya selalu yakin Gwangjong akan menjadi seorang raja yang adil dan bijaksana bagi Goryeo”, Jenderal Park Soo Kyung memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam kemudian mengundurkan diri, meninggalkan istana. Ia tak pernah ragu dengan tindakannya.
Suasana hening ketika langkah Jenderal Park Soo Kyung tak lagi terdengar menjejak lantai instana. Yang Mulia Raja termangu, apa arti seorang raja tanpa kesetiaan seorang jenderal? Siapa yang akan diperintah ke medan perang? Siapa yang akan menjadi benteng peneguh ketika terjadi kekacauan? Lama Yang Mulia Raja termangu, ia bahkan tak sempat membela diri di depan seorang jenderal.
Ketika Hae Soo datang, Yang Mulia Raja masih juga termangu. Ia harus mempelajari satu hal penting dalam menata pemerintahan. Alasan seorang jenderal setia kepada seorang raja? Ia akan ditinggalkan, karena telah merampas kehidupan anak-anaknya. “Ada yang salah Yang Mulia?” Hae Soo bertanya, ia melihat mendung bergayut pada wajah tampan seorang raja.
“Jenderal Park telah pergi, ia tidak dapat melupakan Park Seon Duuk dan Wang Eun, tanganku telah memisahkannya. Ia tak berkehendak untuk selalu menatap wajahku”, Yang Mulia Raja menghela napas panjang. Ternyata seorang raja tak bisa ditinggalkan seorang diri, ia memerlukan beragam kesetiaan.
Hae Soo menatap wajah gamang itu dengan diam.
“Apakah engkau juga ingin tahu nama siapa yang ditulis dalam titah mendiang raja? Apakah engkau mengira aku mencuri tahta?” Yang Mulia Raja bertanya, ia berhak tahu isi hati Hae Soo yang terdalam berkaitan dengan tahta Goryeo yang sekarang.
“Saya tidak pernah memikirkannya. Tidak ada persoalan apa-apa dalam hal ini”, Hae Soo menjawab.
“Tak ada nama siapapun. Tak satupun nama tertulis di kertas itu”, Yang Mulia Raja perlu menyatakan hal yang sebenarnya. Mendiang Raja Wang Yo tak pernah meninggalkan wasiat, kecuali helai kertas kosong. “Maka aku merobeknya,  sebelum kekacauan terjadi. Dengan satu cara aku sudah mengambil alih istana. Kini aku seorang raja”, Yang Mulia Raja tak ragu menyatakan hal yang sebenarnya, ia tak  menghendaki adanya kekacauan serta pertumpahan darah. Beberapa saat sebelum Raja Wang Yo mangkat, ia memang telah bersiap mengambil alih kekuasaan.
“Yang Mulia sudah melakukan hal yang seharusnya”, Hae Soo tak punya jawaban lain kecuali membenarkan tindakan Yang Mulia Raja. 
“Park Soo Kyung meninggalkanku, Baek Ah menganggapku sebagai raja, bukan lagi keluarga. Bagi Choi Ji Mong aku hanyalah penebus kematian saudara tertua. Jung menganggapku sebagai pembuhuh. Ibu bahkan menganggapku seorang pencuri”, Yang Mulia Raja  mengeluh, mengenakan mahkota ternyata tak semudah penampakkannya. Siapakah pihak    yang sungguh-sungguh mendukungnya mampu menjadi seorang raja? Cukupkah dengan pernyataan kosong yang tak pernah tersurat?
Hae Soo kembali terdiam, perlahan wajahnya menjadi muram. Ia masih tak bersuara ketika Yang Mulia kembali berucap,”Ternyata kata-katamu benar, tahta menimbulkan rasa takut dan sepian”, Yang Mulia mulai merasakan beban berat seorang raja, ketika tak seluruh pihak memberikan restu. Terlebih ibunda ratu.
“Saya tak akan pernah meninggalkan Yang Mulia”,  lembut  tangan  Hae Soo menggenggam tangan Yang Mulia Raja, ia duduk di sebelah Raja Gwangjong kemudian menyandarkan  kepalanya. Dalam jarak dekat Yang Mulia Raja menatap wajah lembut Hae Soo, ia mencoba mempercayai kata-kata dayang itu. Akan tetapi, jauh di dasar hati muncul sejumput keraguan. Benarkah?
                                                                              ***
Hari berikutnya Hae Soo pindah ke Istana  Cheondeokjeon, ia menempati sebuah kamar pribadi sebagai kekasih raja. Chae Ryung, dayang sekaligus sahabat sejak awal mula membantu memindahka serta  memindahkan segala perlengkapan. Sepasang  matanya yang polos, takjub menatap megah istana raja. “Agasshi telah menempati kedudukan tinggi di Cheondeokjeon, bolehkan saya meminta sesuatu?” dayang itu bertanya.
“Apa permintaanmu?” Hae Soo balik bertanya, setiap kali menatap wajah polos Chae Ryung ada sehelai benang lembut yang menautkan rasa belas kasihan, ia selalu mengasihi dayang ini, melebihi dayang yang lain.
“Ketika terjadi penobatan raja baru, beberapa dayang boleh dibebaskan, saya juga termasuk dayang yang akan dibebastugaskan, harus meninggalkan Damiwon”, wajah Chae Ryung tampak muram.
“Bila engkau meninggalkan Damiwon kita akan jarang, bahkan mungkin tidak bisa lagi bertemu. Kemana engkau akan pergi?” wajah muram Chae Ryung menyebabkan  Hae Soo terpaku. Sanggupkah ia berpisah dengan dayang yang satu ini? .
“Saya tidak tahu  kemana harus menuju. Bisakah Agasshi membantu agar saya tinggal menetap di istana? Tolong bujuklah raja”, Chae Ryung menyatakan keinginannya. Beberapa saat Hae Soo terdiam, ia tidak pernah tahu keinginan terdalam yang tersembunyi di relung hati dayang itu, tetapi tidak ada alasan menolak. Tanpa sadar Hae Soo mengangguk.
Hae Soo juga  tak pernah  tahu, usai mengungkapkan keinginan Pangeran Wang Won sudah menunggu Cahe Ryung di depan lorong, “Bagaimana?” sang pangeran bertanya.
Agasshi  akan membujuk Yang Mulia Raja”, jawaban Chae  Ryung menyebabkan wajah Pangeran Wang Won tampak senang. Ia akan tetap memiliki kesempatan bila Chae Ryung  tetap tinggal di Damiwon.
“Tak bisakah saya tinggal bersama Yang Mulia?  Saya tidak tahu kapan bisa pergi meninggalkan  Istana?” kali ini Chae Ryun memohon.
“Chae Ryung, masih banyak yang bisa engkau lakukan untuk membantuku di sini. Saat waktunya telah tiba, maka aku akan mengeluarkanmu dari tempat”, Pangeran Wang Won membujuk, ia perlu menyakinkan seorang dayang tetap tinggal di Damiwon bagi sebuah keinginan.
                                                                               ***
Raja Goryeo ke-4, Gwangjong duduk di atas singasana, mengerjalan tugas-tugas rutin selayaknya seorang raja. Ia harus menghadapi beberapa permintaan, termasuk permintaan Pangeran Wang Jung. Kali ini sang pangeran mengajukan permintaan otonomi bagi wilayah Chungju, “Jadi Chungju akan  menjadi wilayah otonom, wilayah mandiri?” Yang Mulia Raja bertanya.
“Ya, demikianlah  kiranya”,  Pangeran Wang Jung tak pernah mempercayai isi surat wasiat yang telah dirobek, ia tidak yakin Wang So menduduki tahta dengan cara yang syah. Dapatkah ia tetap mendukung seorang raja dengan menjadi bagian dari Goryeo? Otonomi Chungju adalah salah satu jalan keluar.
“Aku juga dibesarkan sebagai cucu Tuan Yu Geung Dal. Apakah seluruh keluarga Tuan juga berniat menentangku, saat duduk menjadi raja?” Yang Mulia Raja menatap wajah Pangeran Wang Jung dalam-dalam. Seorang saudara kandung bahkan berani menentang, pasti atas dukungan Ratu Yoo. Yang Mulia Raja mulai merasakan beban menindih.
“Kami harus mempertimbangkan pendapat keluarga lain, ketika seorang raja bahkan tidak mendapat dukungan dari keluarganya sendiri”, Pangeran Wang Jung memberikan alasan. Ia sungguh tak mampu memberikan seluruhhidup bagi Wang So.
“Apakah engkau berniat memutuskan hubungan keluarga?” Yang Mulia Raja bertanya, ia harus bersiap kehilangan, memerintah Goryeo tanpa Pangeran Wang Jung, sekutu yang akan menentukan nasib Goryeo.
“Jika wasiat mendiang raja benar, kita  akan segera tahu”, tegas suara Pangeran Wang Jung, tanpa menunggu jawaban sang pangeran mengundurkan diri.
Choi Ji Mong segera membaca keadaan, seorang raja tidak sekedar dinobatkan, duduk di singgasana kemudian memerintah. Akan tetapi, harus mendapatkan dukungan dan pengakuan dari pihak keluarga serta seluruh klan di belakangnya, “Kita harus melakukan sesuatu kepada keluarga Chungju Yu, bila tidak keadaan aka menjadi genting. Wasiat mendiang raja memang harus dibuktikan atau Yang Mulia harus bersekutu dengan keluarga yang sama kuat dengan mereka”, demikian si ahli bintang memberikan saran.
“Ternyata sampai hari ini, bahkan akhir nanti aku tak pernah dianggap sebagai anaknya”, Yang Mulia Raja mengeluh, ia tak pernah menduga Ratu Yoo benar-benar tak pernah menghendaki kehadiran, terlebih kedudukan sebagai seorang raja. Ibunda benar mempunyai niat menyingkirkannya. Apa sebenarnya kesalahanku?
                                                                                  ***
Di dapur  istana Hae Soo dan Woo Hee sedang menyediakan hidangan --nasi herbal dalam bentuk hiasan, akan tetapi wajah Woo Hee tampak mendung, tatapan matanya menerawang jauh pada jarak tak terukur.  Ia telah menatap suatu hari yang gelap tak termaafkan, hingga akhirnya tersadar kembali pada kesibukan memasak, “Yang Mulia Raja pasti akan menyukai hidangan ini”, suatu hal istimewa bagi Woo Hee bias memasak bersama Hae Soo.
“Bukankah hadiah ini terlalu sederhana bila dibandingkan dengan kamar indah yang kuterima?” jawab Hae Soo, ia berniat memberikan suatu hal istimewa untuk menghibur sang raja.
“Soo.... andai aku berbuat salah  pada orang lain demi kepentingan pribadi. Suatu saat akan datang pembalasan bukan?” Woo Hee tidak menjawab, tetapi menanyakan sesuatu hal.
“Benar, kita tidak seharusnya menyakiti seseorang demi menyelamatkan kehidupan pribadi. Akan tetapi, kita juga tidak perlu terseret pada kesedihan hingga berlarut-larut. Hari lalu benar telah berlalu, meski bekas luka pada tangan tetap membekas. Setiap orang berhak akan kebebasan dan berbahagia ….” Hae Soo tak menyelesaikan kata-katanya, ketika sepasang matanya menatap wajah Woo Hee, darah gadis itu tersirap. Wajah cantik Woo Hee menyimpan misteri.
                                                                              ***
Hae Soo tengah berjalan bersama beberapa orang pelayan, akan tetapi ia dapat menangkap bayangan Pangeran Wang Wook seakan tengah menunggu. Hae Soo tahu, ia harus meluangkan waktu, ia memerintah pelayan untuk membawa semua barang-barangnya ke dalam kamar. Kini, ia hanya berdua dengan Pangeran Wang Wook, wajah tampan cendekiawan Goryeo itu sedemikian muram, “Akhirnya engkau memilih Wang So”, suara sang pangeran dingin. Bahwa Wang So dinobatkan menjadi raja, bahwa Hae Soo adalah kekasih raja telah merampas seluruh harapannya. Ia cuma seorang pangeran yang kalah dan kehilangan. “Engkau mengira aku seorang yang serakah,  karena menginginkan keduanya, tahta dan cinta. Sekarang, ternyata engkau adalah kekasih raja. Bila engkau adalah Wang Wook, dapatkah menerima dengan segala lapang dada? Siapa yang serakah?” wajah Pangeran Wang Wook sama dingin dengan suaranya.
Sesaat Hae Soo terdiam kehilangan kata-kata, seakan telah seribu tahun ia tak pernah bersua dengan Pangeran Wang Wook, seorang yang pernah menjadi seluruh harapan hidupnya. Seorang yang tega meninggalkan dirinya di halaman istana, di bawah hujan, saat ia mengemis bagi kehidupan Sanggung Oh. Betapa tipis batas antara cinta dan benci, betapa samar batas antara harapan dan keputusasaan. “Yang Mulia Raja tak pernah meninggalkanku, di saat diriku hanya seorang peminta-minta. Ia bersedia menanggung segala akibat ketika selalu bersamaku, Hae Soo seorang dayang yang malang”, akhirnya Hae Soo menemukan kata-kata yang tepat.
“Aku tak pernah berhenti bertanya. Mengapa engkau selalu bersikeras, aku tak akan pernah menjadi seorang raja?”  Pangeran Wang Wook tak bisa menahan diri.
“Aku tak pernah bersikeras akan hal itu.  Akan tetapi, bintang maha raja selalu bersinar di samping Pangeran Wang So. Raja Taejo tahu tentang hal itu. Tak ada yang salah pada diri Pangeran ke-8. Hukum alam dan takdir nyata sudah berkata”, jawab Hae Soo, ia tak pernah tahu apa sesungguhnya isi hati Pangeran Wang Wook. Kisah dengan cendekiawan Goryeo telah lama berlalu.
“Aku tak pernah percaya  adanya bintang raja, bintang yang tak ada artinya. Apa pula itu hukum alam dan takdir?” Pangeran Wang Wook membuang muka, nyeri di ulu hati menyadari Wang So mendapatkan kedua-keduanya,  tahta dan wanita. Ia hanya seorang pangeran yang terbuang dari megah serta kekuasaan seorang raja. Benarkah takdir hidupnya hanya sampai di sini? Pangeran ke-8 berjalan dan terus berjalan hingga kembali ke ruang baca.
Ia menatap gelang  yang pernah diberikan kepada Hae Soo, ia pernah memasangkan gelang itu untuk menutupi luka pada tangan Hae Soo, memintanya berjanji tidak akan melepaskan kemudian memberikan kecupan di keningnya. Ingatan Pangeran Wang Wook kembali melayang, ketika keduanya berjalan di atas tumpukan salju, Hae Soo sengaja menginjak jejak kakinya dan akhirnya hampir terjatuh, karena ia sengaja membuat langkah yang lebar. Wang Wook membantu dengan memegang tangan Hae Soo agar tak terjatuh. Pangeran Wang Wook teringat dengan kata-kata Hae Soo, “ Tak ada yang salah pada diri Pangeran ke-8. Hukum alam dan takdir nyata sudah berkata….”
Semua kenangan dan kata-kata itu kini menyakiti hatinya. Dengan marah Pangeran Wang Wook meraih palu, menghancurkan gelang itu. Semua kenangan dan harapan berakhir sampai di sini. Entah siapa sebenarnya dirinya saat ini? Ia  harus melakukan sesuatu.
Ketika tiba-tiba Putri Yeon Hwa datang ke tempat yang sama, Pangeran Wang Wook telah menemukan kata-kata, “Engkau akan segera menjadi ratu”.
“Benarkah? Engkau mendapatkan jalan  menuju ke tempat itu?” Putri Yeon Hwa membelalakkan sepasang matanya yang indah. Ia nyaris tak mempercayai kata-kata Pangeran Wang Wook, tetapi ia telah mendengarnya.
“Tak ada yang dapat memiliki segala-galanya di dunia. Cinta atau tahta? Mana yang harus engkau pilih?” Pangeran Wang Wook balik bertanya.
                                                                                     ***
Raja Gwangjong dan Hae Soo kini sepasang kekasih yang saling mencinta di atas tahta. Sang raja menulis:
            Aku menunggu di tepi danau, namun, awan mulai mendung.
Hae Soo meraih lembaran kertas itu berulang kali. Helai kertas dengan tulisan yang sama. “Mengapa aku harus menulis sebanyak ini?” Yang Mulia Raja bertanya.
“Tulislah sebanyak yang bisa ditulis, suatu saat Yang Mulia akan mengerti”, jawab  Hae Soo.
“Engkau pernah berkata  akan memberikanku sesuatu, karena mempersiapkan kamarmu, tetapi yang kuterima Cuma nasi herbal”, Yang Mulia mengeluh.
“Bukankah nasi herbal itu tandas tanpa sisa barang satu butir juga? Mestinya akan kuberikan pula kepada Pangeran Baek Ah dan Ahli Bintang Choi Ji Mong”,  Hae Soo tersenyum nakal.
“Engkau tak boleh memikirkan orang lain, hanya diriku. Engkau milikku”, senyum di wajah Yang Mulia Raja mengembang, ia mendapatkan kedua-duanya, tahta serta wanita yang dicintai. Di pihak lain Hae Soo bias menangkap, di balik senyum Yang Mulia Raja menyembunyikan sesuatu.
“Adakah sesuatu yang terjadi hari ini?” Hae Soo menekan rasa khawatir.
“Mengapa harus bertanya? Kita belum lagi menikah, jika terus bertanya, aku akan pergi jauh-jauh”, Yang Mulia Raja  masih mengulum senyum.
“Sepanjang hari aku harus menunggu. Apakah aku masih bisa meninggalkan pekerjaan di Damiwon? Meskipun tidak bekerja seorang diri, ada hal lain yang harus kukerjakan”, Hae Soo mulai menyadari betapa melelahkan pekerjaan itu. “ O ya, dan perihal Chae Ryung, benarkah ia akan dibebastugaskan dari Damiwon? Dia tidak tahu harus kemana? Tidak bisakah ia tetap meneruskan pekerjaan di tempat yang sama?” Hae Soo memiliki saat yang tepat untuk meminta, bukankah ia seorang kekasih raja?
“Aku tak pernah mengingat Chae Ryung dan tidak tahu akan hal itu”, jawab Yang Mulia singkat.
“Aku memerlukan kehadiran Chae Ryung, dayang itu banyak menghibur”.
“Baiklah, ia akan tetap bekerja di Damiwon”,  sesaat Yang Mulia Raja terdiam, dan sedcara tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Kita harus memiliki anak dan membesarkan mereka”, jauh di relung hati Yang Mulia Raja merindukan anak-anak, ia ingin Hae Soo adalah ibunya.
Hae Soo menatap wajah Yang Mulia Raja dengan bimbang. Mengapa pula seorang raja berfikir sejauh ini. Benarkah ia akan melahirkan seorang pangeran?
“Besok tabib kerajaan akan berkunjung, untuk memeriksa kesehatanmu, seorang ibu harus dipastikan dalam keadaan sehat untuk melahirkan seorang anak”,   Yang Mulia Raja telah mengatur sebuah rencana.
“Kita bahkan belum menikah, tetapi Yang Mulia telah memerintah seorang tabib memeriksa kesehatan untuk persiapan kelahiran?” Hae Soo tampak gugup.
“Kita bisa menikah pada hari yang engkau inginkan. Aku bahkan telah menantikannya”, Yang Mulia Raja bersungguh-sungguh dengan setiap ucapan, pertemuan dengan Hae Soo, hari-hari setelah itu menetapkan suat keputusan, ia tidak memilih orang yang salah. Ia tak akan pernah mampu kehilangan gadis ini.
“Pernikahan bisa terjadi setelah Yang Mulia melamar di menara pengharapan”, Hae Soo masih mengingat tempat itu, tempat yang pernah membuatnya  menunggu dengan kecewa,  Pangeran ke-4 mengingkari janji, karena alasan yang lebih penting.
“Aku hampir tak punya waktu untuk pergi ke tempat itu. Haruskah seorang raja melamar seorang gadis di  menara pengharapan untuk  menentukan hari pernikahan?” Yang Mulia Raja menghelas napas panjang. “Ternyata lebih rumit berurusan denganmu daripada pemerintahan”, Yang Mulia Raja menutup percakapan dengan keputusan tabib istana akan tetap memeriksa Hae Soo.
Keesokan harinya ketika tabib istana berkunjung untuk memeriksa kesehatan Hae Soo, wajah tua itu tampak murung. Ia kesulitan menyusun kata-kata, tetapi Hae Soo mendesak, ia  berhak tahu keadaan dirinya, “Katakan yang sebenarnya, apapun keadaan kesehatanku”.  Tabin melihat kalau lutut Hae Soo sekarang sangat lemah.
Sesaat suasana hening, tak mudah bagi seorang tabib untuk menyampaikan keadaan yang sangat buruk. Adalah suatu hal yang baik bagi setiap orang untuk tidak mengetahui kapan datangnya hari kematian. Adakah ia harus mengatakan? Wajah tabib istana semakin gelisah, keringat dingin mulai mengembun, ia berada dalam keadaan yang tidak mudah.
“Saat dipenjara kemudian disiksa, lutut ini cedera dengan parah dan tidak diobati dengan benar. Saat usia muda kaki masih dapat berjalan, akan tetapi ketika umur terus berlanjut saya tidak bias menjamin. Apakah kaki ini masih sanggup melangkah?”  tabib istana menatap wajah Hae Soo dengan gamang. Berapa panjang usia yang dapat ditempuh seorang kekasih raja?
“Baiklah, aku akan lebih berhati-hati terhitung mulai hari ini”, Hae Soo menghibur diri, sesungguhnya ia terkejut, karena keadaan lututnya sudah sedemikian buruk. Ia memang harus terpincang-pincang ketika melangkah, karena luka tak tersembuhkan.
“Dan sekali mohon maaf, kali ini perihal jantung. Saat bekerja berlebihan atau terkejut, apa dada terasa sesak? Apakah pernah kehabisan napas hingga terjatuh pingsan?” tabib istana kembali bertanya.
“Ya, pernah”, suara Hae Soo lemah.
“Rasa putus asa yang ditekan menyerang jantung. Ketika jantung lemah, tubuh manusia juga menjadi lemah. Dengan keadaan jantung seperti ini, seorang tabib paling ahli sekalipun tak dapat memperhitungkan berapa lama kemampuan seorang manusia bertahan hidup?” tabib istana menyatakan hasil pemeriksaan dengan getir, suaranya nyaris berbisik. Ketika saling bertatapan, ia menangkap ruangan hampa pada sepasang mata jeli kekasih raja.
“Berapa lama lagi aku akan bisa bertahan hidup?” suara Hae Soo bagai rintihan. Ia tidak pernah menyangka perintah Yang Mulia Raja untuk pemeriksaan kesehatan bagi kelahiran seorang bayi akan mendatangkan pernyataan seperti ini. Betapa mahal ternyata kehidupan? Betapa ia merindukan ribuan hari untuk selalu bersama dengan seorang kekasih yang dicintai?
Sesaat suasana diam, bahkan angin seakan enggan berdesir. Akan tetapi, Hae Soo tak hendak menyebabkan tabib istana merasa bersalah. “Aku akan baik-baik saja. Terima kasih telah berkunjung untuk pemeriksaan kesehatan”.
Hae Soo tahu kemana harus menidurkan rasa gelisah, ia menumpu dua batu di bawah pohon, memejamkan mata, berdoa, “Berapa panjang lagi waktu yang kumiliki? Usiaku baru dua puluh tahun. Aku akan merawat kesehatan supaya dapat hidup bersamanya lebih lama …. lebih lama….”
Saat Hae Soo tengah khusuk meminta, tiba-tiba Pangeran Wang Jung telah berdiri di sampingnya, bertanya. “Doa apa yang engkau panjatkan? Apakah engkau telah meminta supaya Wang So menjadi Raja Goryeo selama-lamanya”, kata-kata itu terdengar sinis.
“Tidak, aku meminta supaya Pangeran ke-14 yang gagah dan tampan dapat kembali menjadi sahabat yang baik hati”, Hae Soo menjawab dengan cepat.
“Engkau pernah berkata, tidak berpihak kepada siapapun. Ternyata engkau berkhianat, berpihak kepada Pangeran ke-4”, Pangeran Wang Jung tampak kesal. Ia kecewa, bahwa Hae Soo kini kekasih raja.
“Apakah kemarahan itu sudah pada tempatnya? Apakah engkau sudah terlupa, mendiang Raja  membunuh Raja Wang Mo. Atas perintah mendiang raja, Pangeran ke-10 dan Putri Jenderal Park terbunuh. Adalah takdir, bahwa Pangeran ke-4 akhirnya  menjadi raja”, Hae Soo selalu punya alasan menjawab.
“Mungkin kata-katamu benar. Akan tetapi, segala musibah terjadi setelah  So Hyungnim  kembali ke Songak terlibat perebutan tahta, segalanya berlumuran darah. Wang So mencuri singgasana. Aku khawatir semua orang akan berada dalam bahaya. Apakah engkau mengira bisa menjadi ratu?” wajah Pangeran Wang Jung tampak kelam, ia terseret bisikan ibunda Ratu Yoo yang merasa tertimpa musibah saat Wang So kembali ke Songak kemudian dinobatkan menjadi raja.
“Aku tak pernah berpikir untuk menhjadi seorang ratu”, darah Hae Soo tersirap. Ia tengah berdoa untuk bias hidup bersama Yang Mulia Raja selama-lamanya. Akan tetapi, menjadi seorang ratu?
“Seorang ratu adalah wanita cantik dan cerdas, memiliki klan besar yang dapat menjadi kekuatan seorang raja. Sebab itu Raja Taejo harus memiliki dua orang ratu serta dua puluh tujuh selir dari keluarga besar sebagai sekutu untuk mendukung kedudukannya. Apakah engkau mampu hidup seperti  itu, satu orang kekasih raja di antara ratu dan puluhan selir?” Pangeran Wang Jung telah mengerti, hakekat kehidupan seorang ratu, meski ia hidup sebagai wanita berkuasa sekaligus bergelimang harta. Memperebutkan cinta seorang raja bersama istri-istri yang lain bukanlah suatu hal yang mudah bahkan terlalu mengerikan. 
Sesaat Hae Soo terdiam, ia mencoba menyangkal kebenaran kata-kata Pangeran Wang Jung. Akan tetapi, ketika bertatapan kekasih raja itu membuang pandang. Ia telah terlibat langsung dalam  kehidupan di istana. Ucapan Pangeran Wang Jung benar adanya.
“Lalu bagaimana dengan impianmu? Naik unta di gurun dan berlayar di lautan? Bukankah engkau masih menginginkannya? Andai kehidupan di istana tak lagi membuatmu nyaman, sampaikan, masih ada jalan keluar”,  Pangeran Wang Jung menatap wajah lembut Hae Soo, wajah seorang kekasih raja yang berada dalam perlindungan selama yang bersangkutan meminta. Dapatkah ia melupakan wajah itu, wajah ditopang sosok ramping dengan keberanian luar biasa yang  pernah melawan kawanan perompak menculik dan nyaris mencederainya. Wajah yang tak pernah sedetikpun menghilang dari ingatan sekaligus mendatangkan rasa cemas –menjadi kekasih raja berarti membiarkan diri terseret arus kencang bersama kecemburuan ratu dan sekalian selir yang bisa berujung pada kematian. Bahkan cinta seorang raja belum tentu mampu menyelamatkannya.
“Aku akan mengingat kata-katamu”, perlahan Hae Soo berucap setelah lama terdiam. Ia menangkap kesungguhan pada setiap kata-kata Pangeran Wang Jung, Pangeran ke-14 tidak sedang bermain-main, ia mengucapkan satu hal yang akan merubah hidup selamanya. Ia memang akan selalu mengingat dengan benar.  
                                                                              ***
Raja Gwangjong Wang So telah bersiap duduk di singgasana, ketika seorang kasim menyampaikan pesan, “ Pangeran ke-8 ingin bertemu”, tak lama kemudian bayangan Pangeran Wang Wook berkelebat datang.
“Selamat datang”, Yang Mulia Raja bersikap setenang mungkin.
“Saya datang mewakili kaum masyarakat”.
“Ada yang mau disampaikan?” Yang Mulia Raja mengerutkan kening, sorot matanya tajam seakan ingin menjenguk isi hati Pangeran Wang Wook.
“Pertama, Panglima Tinggi yang memimpin 300.000 prajurit harus ditunjuk berdasarkan pemilihan suara. Kedua, pajak atas lahan pertanian harus ditangani Panglima bersangkutan. Termasuk hutang pajak keluarga kerajaan, maka Yang Mulia tidak akan duduk di singgasana seorang diri”.
“Aku harus menyerahkan pasukan serta kekayaan istana? Adakah engkau  berniat memotong kedua sayapku. Adakah kedatanganmu sebuah ancaman?” tegas suara Yang Mulia Raja.
“Jika ingin mempertahankan sayap, adakah Yang Mulia berkenan menyerahkan hati? Keluarga Hwangbo dari Hwangju menawarkan pernikahan  bagi Yang Mulia”, Pangeran Wang Wook telah mempersiapkan kata-kata. Ia telah memilih seorang Ratu Goryeo dengan tepat, ratu yang akan mengubah pula masa depannya.
                                                                                ***
Di tempat berbeda Putri Yeon Hwa dengan sinis mengunjungi kamar Hae Soo, kekasih raja. Satu kunjungan yang tidak pernah diinginkan sang empunya kamar. Sang putri selalu menimbulkan suasana tidak nyaman. “Kamar yang sangat indah bagi seorang kekasih raja”, suara itu merdu sekaligus menyakitkan.
“Ada yang mau disampaikan, maka Putri Raja Taejo berkenan datang?”  Hae Soo tak menghendaki kunjungan lebih lama, kehadiran Putri Yeon Hwa menimbulkan rasa gerah. Sejak pertama ia tidak senang dengan sosok putri cantik ini.
“Aku datang bukan untuk sebuah persoalan, tetapi untuk satu hal yang sama-sama kita inginkan”, wajah cantic Putri Yeon Hwa tampak tersenyum menang.
“Apakah antara kita berdua pernah terlibat hutang piutang?” Hae Soo mencoba menebak kemana arah pembicaraan Putri Yeon Hwa, pasti bukan sebuah niat yang baik.
“Engkau bisa terus tinggal di kamar ini selaku kekasih raja. Maksudku aku menerimamu sebagai kekasih raja, tetapi engkau tidak akan pernah menjadi seorang selir kerajaan. Aku tak akan mempersoalakan siapa yang melayani Yang Mulia Raja siang dan malam”, senyum Putri Yeon Hwa semakin mengembang, ia tahu telah menang. “Aku tak akan memenangkan cinta seorang raja, maka aku tak pernah menginginkannya. Hal yang kuinginkan adalah kehormatan dan pengakuan. Aku ingin melahirkan putra mahkota supaya kelak ia bisa menjadi raja. Aku akan menikah dengan Yang Mulia Raja Gwangjong, dengan demikian aku akan menjadi seorang ratu yang berwenang melahirkan seorang putra mahkota”, tawa Putri Yeon Hwa nyaris meledak. Ia melirik Hae Soo dengan penuh kemenangan. Ia tahu tak akan pernah memenangkan cinta Raja Wang So, akan tetapi kedudukan seorang ratu akan mengubah takdir hidup selamanya. Sejarah  akan mencatatnya sebagai Ratu Goryeo, kisahnya akan tertulis dengan tinta emas sebagai seorang penguasa.
Di tempatnya berdiri, dalam jarak teramat dekat Hae Soo diam terpaku. Ia tak pernah ingin bersinggungan dengan Putri Yeon Hwa, seorang putri yang sangat membencinya dan memandangnya dengan sebelah mata. Ia hanyalah seorang dayang malang, seorang gadis bangsawan yang hilang ingatan. Kini dengan angkuhnya sang putri menyatakan takdirnya untuk menikah dengan Raja Gwangjong, hal itu berarti Putri Yeon Hwa akan menjadi seorang ratu. Ia cuma kekasih raja, betatapun ia selalu memenangkan cinta seorang raja, akan tetapi apa artinya? Ia hanya lalat pengganggu bagi seorang ratu yang tinggi hati dengan seluruh kekuatan marga di belakangnya.
Diam-diam Hae Soo mengeluh, wajahnya memucat bagai kertas. Lidahnya kelu. Di depan kesombongan Putri Yeon Hwa, ia bukan apa-apa –bukan siapa-siapa?
                                                                               ***
Adapun di singgasana percakapan antara Yang Mulia Raja masih berlanjut. “Apabila Yang Mulia menikah dengan Puteri Yeon Hwa, semua keluarga Hwangbo akan menjadi pendudung sekaligus memperkuat kedudukan raja”, Pangeran Wang Wook sampai kepada penawaran, ia tahu kekuatan seorang ratu yang akan berpengaruh pada dinding istana terdalam. 
“Engkau mencoba mengubah takdir hidupku?” diam-diam dada Yang Mulia Raja terguncang, menikah dengan Putri Yeon Hwa? Sejak kapan ia bermimpi Yeon Hwa akan bersanding di singgasana sebagai seorang ratu?
“Adakah Yang Mulia menerima tawaran ini?” Pangeran Wang Wook bertanya, wajahnya tenang, tetapi hatinya diliputi dendam. Wang So merampas segala hal penting dari hidupnya, tahta dan wanita.
“Kini aku seorang raja di singgasana, tetapi jauh di dalam diriku tersembunyi lolongan srigala, apabila ada srigala yang lain melolong pula”, Yang Mulia menjawab tegas, ia tidak takut dengan penawaran atau sesungguhnya ancaman Wang Wook.
“Yang Mulia tengah duduk di atas kursi yang tidak mudah didapatkan dan tidak mudah pula  dipertahankan. Dari singgasana mestinya tampak dengan jelas, bahwa keluarga penguasa bagaikan pedang bermata dua. Jika seorang raja berniat mempertahankan singgasana, dukungan keluarga besar Hwangbo jelas diperlukan”, Pangeran Wang Wook memperjelas maksud kedatangannya.
“Aku sudah berjanji akan menikah dengan wanita yang lain”, jawab Yang Mulia Raja Wang So.
“Hae Soo? Ia tidak bisa menjadi seorang ratu”.
“Aku akan tetap menikahinya”.
“Apakah Yang Mulia terlupa, Hae Soo pernah menolak untuk menikah dengan Yang Mulia Raja Taejo dengan melukai tangannya sendiri. Seorang wanita yang memiliki bekas luka tidak bisa menikah dengan raja”,  Pangeran Wang Wook tidak salah memberikan alasan.
 Di atas singgasana Yang Mulia Raja terdiam, menyadari kebenaran kata-kata PangeranWang Wook. Dapatkah seorang Raja Goryeo menikahi wanita dengan tangan bekas luka? Yang Mulia Raja membuang pandang, suasana menjadi diam. Ia telah memimpikan suatu hari bersama wanita pilihannya –hari pernikahan yang tidak akan pernah datang.
Wajah Yang Mulia Raja berubah menjadi sekeras batu.


Bersambung ke Scarlet Heart, Ryeo Episode 18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...