Inung terjaga di pagi buta oleh suara adzan yang
bergema seakan nyanyian suci. Lampu belajar sebagai satu-satunya
penerangan di saat tidur masih berpendar, menciptakan cahaya sekaligus
bayang-bayang. Gadis itu melawan kantuk, mengucak-ucak mata kemudian
melangkah ke kamar mandi dengan daster kusut dan kedodoran. Tak berapa
lama kemudian terdengar suara kecipak air dari aktivitas rutin
membersihkan wajah, menggosok gigi, dan mengambil air wudhu.
Gadis itu merasa agak segar setelah
bersentuhan dengan unsur alam yang paling hakiki, air. Ia mendirikan
sembahyang subuh dua rokaat, membereskan tempat tidur, mengganti daster
dengan celana kurdorei, T shirt, dan sweater kemudian bergegas
meninggalkan kamar. Di atas pembaringan besi yang lain, Sisi masih pulas
tertidur berselimut tebal hingga batas bahu. Adapun Jay, ia masih
mengikuti KKN pada salah satu desa di Pantai Utara Jawa. Mereka hanya
tinggal berdua.
Seperti halnya calon warga, Inung harus
melakukan tugas-tugas rutin, menjadi bendahara bulanan. Seluruh warga
akan memberikan uang belanja dalam jumlah yang telah ditetapkan pada
sidang pleno. Bendahara bulanan mengumpulkan, menghitung, membelanjakan
setiap hari selama satu bulan penuh. Inung bergegas menuju ke kamar
Relina, bendahara bulanan dikerjakan oleh dua orang warga. Inung
bersyukur, Re memiliki sepeda motor, mereka tidak perlu meminjam alat
transportasi itu kepada warga lain dengan menghiba-hiba.
Dengan satu ketukan lembut pintu kamar
Relina terbuka, seraut wajah menampak dari balik pintu. Relina telah
siap, gadis itu mengenakan celana jeans ice wash warna hitam, T shirt,
dan jaket abu-abu. “Sudah siap non?” Inung bertanya perlahan-lahan,
takut membangunkan Murni dan Dita yang masih pulas, berselimut di atas
pembaringan masing-masing.
“Ayo, kita jalan”.
Mereka berjalan beriringan menuju ke
tempat parkir kendaraan yang terletak bersebelahan dengan ruang makan
dengan pembatas deretan alamari makan. Pagi masih buta, sinar bintang
masih cerlang cemerlang, bulan sepotong mengarungi angkasa, bercahaya
laksana batu permata. Udara dingin dan berembun. Inung membuka gudang
makanan, menyambar keranjang sayur kemudian bergegas menjelang Relina
yang tengah menstater kemudian memanasi mesin motor. Pagi buta itupun
terpecah. Pintu dan jendela kama masih tertutup, lampu-lampu koridor
menyala redup.
“Re, aku titip hati ayam untuk makan
malam!” tiba-tiba terdengar suara dari arah kamar di lantai dua. Sesosok
tubuh terbungkus daster kusut masai dengan rambut tercerai berai
membayang di bawah sinar lampu.
“Maaf. Aku siapa?” Relina balas bertanya.
“Aku Inan”.
“Iya mbak, nanti saya belikan”, Relina
menempatkan diri di atas jok, memegang kemudi, Inung menggonceng di
belakangnya, sedetik kemudian terdengar suara mesin menderu meninggalkan
halaman asrama. Di dalam kamar masing-masing sebagian warga masih
tertidur, sebagian telah terbangun, ada pula yang “wayangan”, belajar
semalam suntuk untuk “tempur” –mid semester—hari ini.
Di langit sebelah timur, pagi memecah
dalam udara dingin berkabut, bunga-bunga bermekaran aneka warna,
daun-daun menghijau segar. Daun yang telah kering berguguran dihempas
angin. Di eberang asrama tampak seorang perempuan tua tengah bersibuk
diri membersihkan sampah-sampah di tepi jalan. Konon, perempuan itu
tidak benar-benar sehat akal pikirannya, tetapi hasil dari
ketidaksehatan itu bermanfaat, karena lingkungan seputar asrama menjadi
bersih cemerlang.
Relina mengemudikan motor dengan
hati-hati, kendaraan itu telah dipakai sejak masa SMA, ia rajin merawat,
setelah tahun demi tahun berjalan motor itu masih layak dipakai untuk
mobilitas sehari-hari. Jalanan masih sepi, seisi kota belum sepenuhnya
terjaga. Fajar memecah dalam cahaya kuning yang jernih seakan kilau
lempengan emas. Beberapa orang tampak berlari pagi atau bersepeda untuk
menghirup udara segar. Di sebelah utara kota Gunung Merapi tampak tegak
berdiri sebagai monumen sejak masa purba. Sosoknya tampak seakan seorang
kesatria yang tengah bersiap di medan tempur dengan salah satu tangan
mencabut batang anak panah.
Adapun tepat di jantung kota, tugu masih
tetap kukuh di tengah-tengah, di antara empat ruas jalan yang
bertentangan. Relina membelokkan kemudi ke arah kanan, menuju kesibukan
Pasar Kranggan. Ia menitipkan motor di tempat parkir kemudian membaur
pada keramaian pasar. Menu makan siang hari ini adalah sayur asam, ikan
garam, dan sambal terasi. Snack hari Minggu bubur kacang hijau. Adapun
menu makan malam tahu isi dan sayur lodeh, esok pagi nasi putih dengan
telur bumbu balado.
Kedua gadis itu berjalan beriringan dari
satu pedagang ke pedagang yang lain, melakukan berulang kali transaksi
hingga seluruh kebutuhan terpenuhi dan tak lupa membeli pula hati ayam
bagi Inan, sang senior yang galak. Bila terlupa, tamatlah riwayat, Inan
pasti akan menyemprotnya. Tidak becus jadi bendahara! Suasana
telah terang benderang, pasar hiruk pikuk dan basah berlumpur ketika
Relina dan Inung telah berkeringat, keranjang dan tas telah penuh.
Relina menyempatkan diri membeli getuk dan duku untuk sarapan dan
pencuci mulut kemudian merekapun bersiap kembali.
Relina harus ekstra hati-hati
mengemudikan motor, karena barang belanja yang bertimbun, secara
tiba-tiba penampilannya telah berubah seperti tukang ojek yang mesti
bersimbah peluh demi mengantar mbok-mbok penjual sayur dalam rangka
berdagang. Gadis itu kehilangan kata-kata ketika berpapasan dengan adik
kelas di SMA yang kira-kira bernama Bagus. Pemuda itu tampak keheranan
melihat aktivitas Relina, ia pasti tidak tahu duduk persoalan, betapa
Relina tengah memegang mandat sebagai bendahara. Gadis itu tersenyum
untuk mengelabuhi wajahnya yang mendadak berubah semburat merah, Relina
menyesal mengapa ia harus berpapasan dengan seorang mantan adik kelas
dalal situasi seperti ini, tapi apa boleh buat? Ia harus menjalankan
tugas-tugas sebagai warga baru, karena asrama adalah pilihan tempat
tinggalnya.
Yogya telah sibuk ketika Relina dan Inung
kembali berboncengan membelah keramaian lalu lintas untuk kembali ke
tempat semula. Jalanan dipenuhi sepeda, becak, motor, mobil, angkutan
umum, dan pejalan kaki yang bergerak di trotoar. Kendaraan itu terus
melaju, melewati jembatan Kali Code dengan gubug-gubug antik bermotif
seni hasil kerja Romo Mangun, Relina berbelok ke kiri memasuki jalan
Cornel Simanjuntak, berbelok ke kanan dan terus berkonsentrasi untuk
kembali ke asrama.
Asrama putri telah terbangun ketika
dengan napas setengah terengah kedua gadis itu meletakkan barang belanja
di dapur. “Mbak Tati, menu makan siang sayur asem, ikan asin, dan
sambal terasi, snack bubur kacang hijau, makan malam tahu isi dengan
sayur lodeh, esok sarapan telur balado. Ini bahan-bahan dan ini
bumbunya, hati ayam milik mbak Inan blok F”. Secara bergantian Relina
dan Inung memberi petunjuk kepada mbak Tati.
“Baik mbak Re, jangan lupa garam, minyak tanah sudah mau habis, mungkin sebentar penjual minyak datang”.
“Garam lebih dari cukup, saya tidak mau
keracunan lagi”. Relina kembali ke gudang makanan dan datang lagi ke
dapur dengan dua bongkah garam dapur.
Beberapa saat kemudian tampak kedua gadis
itu sibuk membersihkan gudang makanan. Gudang itu terletak di bawah
tangga yang menghubungkan blok G menurun ke arah dapur. Jendela kaca
yang mungil menyebabkan ruangan itu menjadi gelap gulita, kecoapun
berpesta pora. “Kita harus tetap menyalakan lampu supaya ruangan sempit
ini terbebas dari serbuan kecoa, serangga ini pasti mencari
tempat-tempat gelap untuk bersarang”, Inung berpendapat.
“Okey, nyalakan saja”, Relina mengiyakan.
“Aduh, mbak-mbak ini rajin sekali. Ini
yang namanya bendahara teladan”, Pak Badi, penjaga malam melintas, masih
dengan kerudung sarung dan topi warna gelap yang sekaligus berfungsi
sebagai penutup wajah untuk menghidar dari serangan nyamuk di waktu
malam.
“Terima kasih pujiannya, tapi sayang
tidak ada uang kecil”, Inung berseloroh sambil tersenyum simpul, ia tahu
Pak Badi, penjaga malam itu selalu bersikap baik kepada seluruh warga,
termasuk warga yang masih baru.
“Kalau tidak ada uang kecil, ya uang besar saja tho mbak”, jawab Pak Badi sambil terus berlalu pergi.
Relina dan Inung saling berpandangan
kemudian tersenyum, mereka masih terus bekerja membersihkan seisi
gudang, sehingga tempat itu benar-benar layak sebagai tempat penyimpanan
bahan makanan. “Nah, ini namanya bendahara yang cantik, gudangnya juga
cantik”, mbak Tati, si tukang masak kembali berkomentar sambil sibuk
mondar-mandir dari kamar tukang masak ke dapur untuk menyiapkan menu
hari ini.
“Benar, tukang masaknya juga cantik”,
Relina balas berkomentar, mbak Tati yang memiliki badan gemuk tambun
seketika tertawa terkekeh-kekeh mengejutkan warga yang tengah sarapan di
ruang makan.
Inung dan Relina tiba-tiba merasa lapar
setelah seluruh isi gudang tertata rapi dengan neon tetap menyala untuk
menghalau kecoa. Mereka mencucui tangan kemudian meraih piring dan
sendok. Menu sarapan adalah nasi goreng dengan sekerat telur isi yang
telah dibagi pada masing-masing piring di setiap alamari. Ketika membuka
pintu almari, Relina tak dapat menahan senyum, ia mendapatkan kembali
tiga butir telur yang menghilang hari lalu dengan catatan kecil.
Maaf ya, telurnya tak pinjam, soalnya aku lapar.
Kisah-kisah menggelikan semacam ini kerap
kali terjadi, membumbui kehidupan sehari-hari di asrama ini. Relina tak
tahu dengan pasti siapa sebenarnya yang telah meminjam telurnya tanpa
permisi kemudian mengembalikannya dengan sebuah catatan. Pada catatan
itu tak tertera nama, ia memang tak perlu mengetahui nama itu.
“Re, tadi kau belikan saya hati ayam?”
Inan muncul secara tiba-tiba, ia mengenakan celana pendek baas lutut dan
T Shirt yang agak tua. Bersama seluruh warga blok F Inan baru saja
bertuas membersihkan ruang tamu, mencuci lantai beramai-ramai. Jadwal
ini berlaku setiap minggu digilir untuk setiap blok dengan jadwal yang
dibuat oleh seksi tata asrama.
“Sudah mbak, sudah saya serahkan ke mbak
Tati untuk dimasak”, jawab Relina sehalus mungkin, ia tidak mau
disemprot, karena kata-kata yang salah. Ditegur senior untuk sebuah
barang titipan dalam situasi seperti ini agaknya sudah menjadi hal yang
menguntungkan. Akan tetapi, Inan tetap bersingkah angkuh, ia duduk
menghadap sepiring nasi goreng dan sekerat telur isi sambil membaca
koran pagi tanpa berkata-kata. Selera makan Relina dan Inung seketika
lenyap, mereka mendadak merasa kenyang. Kedua gadis itu berpandangan,
mengangguk kemudian menyelesaikan sarapan dengan tergesa dan bersiap
meninggalkan ruang makan.
“Mbak kami permisi”, Relina berpamit pada
Inan, warga senior itu melirik sekilas kemudian kembali tekun dengan
bacaannya seolah tak ada orang yang bersuara. Mereka baru meletakkan
piring kotor pada meja yang sengaja disiapkan ketika tiba-tiba terdengar
suara keras memecah suasana.
“Hei, hari Minggu mengapa masak ikan
garam?! Itu makanan tempo dulu, makanan orang kampung, bendahara kreatif
sedikitlah, bagaimana mau lulus sarjana kalau makanan tidak bergizi?”
Santi, senior yang telah menempuh sembilan tahun masa kuliah dan belum
juga lulus mulai berkomentar, nada suaranya tajam menikam. Suaranya itu
disusul oleh umpatan, kejengkelan, dan wajah wajah bersungut dari
sekalian warga. Relina dan Inung mengambil jalan selamat, menyingkir
diam-diam dari ruang makan dan segera kabur kembali ke blok tempat
tinggal.
“Bagaimana kita bisa menyediakan menu
yang enak, sedangkan iuran per bulan tidak mencukupi? Inflasi terus
menerus terjadi, harga barang semakin tinggi. Mbak-mbak terlalu banyak
berkomentar”, Inung mengeluh.
“Senior tidak pernah bersalah, ingat
pernyataan itu. Mereka tidak mau tahu harga barang terus melambung
sementara uang bulanan kecil sekali. Kalau mau makan enak setiap hari
lebih baik tinggal dengan mertua”, Relina menimpali. Ia tahu betapa
kejam perlakuan warga terhadap menu yang dihidangkan bendahara, pada
masa yang lampau senior-senior akan menguntai kerupuk yang menjadi menu
makan malam dengan sehelai benang, mengalungkannya di leher kemudian
memamerkan ke seluruh ruangan sebagai protes terhadap hasil kerja warga
baru. Semua itu memerlukan ketabahan dan kekuatan hati bila ia mau
bertahan di tempat ini.
“Baik, sementara kita berpisah di sini,
sebentar kita jalan sama-sama untuk meminta tanda tangan”, Inung
berpesan, mereka berpisah pada anak tangga yang memisahkan blok A dan
blok E yang terletak lurus pada lantai satu dan dua menghadap ke arah
selatan.
“Okey, sampai nanti”, jawab Relina, gadis
itu bergegas menapaki anak tangga dengan gethuk dan duku pada sebuah
kantong plastik, ia belum merasa kenyang. Ia perlu menikmati makanan
tradisionil itu sebelum melanjutkan aktivitas hari ini. Seluruh warga
blok E tengah sibuk mencuci lantai aula, ruang pertemuan ini dibersihkan
setiap hari minggu secara bergiliran oleh warga dari delapan blok.
Relina terbebas dari tugas mencuci lantai aula, karena ia harus pergi
belanja untuk kebutuhan konsumsi hari ini.
Gadis itu telah mendapatkan kembali
kesegaran setelah menghabiskan sepincuk gethuk, segelas teh panas, dan
menikmati kesegaran buah duku yang sedang musim. Ia menyisakan semangkuk
duku untuk Murni dan Dita di atas meja, setelah itu ia kembali kepada
tugas rutin membersihkan seisi kamar dan koridor serta mencuci piring
dan gelas yang kotor. Kebiasaan Relina mencuci lantai kamar dan koridor
agaknya telah menyebar ke seantero asrama, ia digosipkan telah berlaku
seakan cleaning servise, terlalu rajin mencuci lantai, pagi dan sore.
Relina tak bisa terlepas dari kebiasaan
yang telah diajarkan sang ibu, rumah adalah tempat tinggal, tempat
belajar, dan tempat ibadah. Tak boleh ada debu yang menetap lebih dari
dua belas jam, sebab itu membersihkan lantai pagi dan sore sudah
merupakan keharusan. Kebiasaan ini agaknya menimbulkan kesan aneh bagi
seluruh warga asrama. Khususnya Dita yang tak pernah mau membersihkan
kamar, ia biasa tinggal di desa, pada sebuah rumah tinggal tanpa lantai
ubin, mencuci lantai bukanlah hal penting, yang paling penting baginya
adalah belajar.
Matahari telah tinggi ketika seluruh
warga asrama telah menyelesaikan tugas pembersihan. Dari aula terdengar
gelak tawa warga yang tengah bermain tenis meja dan mengikuti tayangan
televisi. Lantai aula tela bersih mengkilat, siapapun merasa nyaman
berada di ruangan itu. Di seputar sumber air sekelompok warga dengan
daster lusuh dan wajah tanpa make up asyik ngrumpi sambil mencuci
pakaian kotor. Suara mereka terkadang menjadi riuh rendah diiringi suara
tertawa terkekeh-kekeh, karena cerita lucu. Ruang setrika tampak sibuk
oleh warga yang memanfatkan jadwal untuk melicinkan pakaian. Pada
hari-hari biasa ruang setrika bisa digunakan pada pukul 14.00 – 17.000
WIB, warga yang berniat menyetrika pakaian harus membooking meja dengan
cara meletakkan setumpuk pakaian serta setrika. Pelanggaran jam setrika
dapat dikenakan sangsi yang menakutkan, jangan pernah ada warga yang
berani mencoba. Pada hari Minggu atau hari libur ruang setrika
dimanfaatkan sejak pukul 09.00 – 17.00 WIB. Warga dari blok lain yang
tidak sedang mendapatkan jadwal bisa permisi kepada warga yang telah
membooking meja supaya ia dapat pula menyetrika pakaian yang harus
dikenakan.
Di dalam kamar Inung melakukan hal yang
sama dengan Relina, Sisi telah menempel jadwal kebersihan kamar pada
pintu ke kamar mandi, masing-masing warga mendapatkan tugas dua hari
alam seminggu untuk membersihkan kamar, satu hari adalah tugas secara
suka rela. Inung telah selesai membersihkan debu dengan kain basah,
membereskan tempat tidur dan meja belajar, merapikan pakaian yang kusut
masai, mencucui gelas-gelas kotor kemudian mencuci lantai kamar dan
koridor. Ia menyiram pula bunga-bunga yang tertata rapi dan tumbuh
dengan subur, karena perawatan yang baik.
Bak mandi telah penuh terisi air,
demikian pula dengan seluruh ember dan baskom. Air mengalir setengah jam
pada pagi hari dan setengah jam pada sore hari, setiap kamar
mendapatkan jadwal menyalakan pompa air yang berada di dalam gudang
selama dua hari untuk setiap kali pemutaran jadwal. Ketika air pada blok
atas mengalir, air di blok bawah berhenti. Demikian sebaliknya bila air
di blok bawah mengalir, maka air di blok atas berhenti. Kelambatan
warga, terlebih warga baru dalam mengalirkan air akan menimbulkan
kegaduhan dan menyulut teriakan marah dari keseluruhan warga, sebab itu
warga yang bertuga mengalirkan air tak boleh lupa atau teledor.
Inung merasa badannya segar setelah ia
mandi kemudian mengenakan rok span berwarna coklat dengan t shirt kuning
kunyit, ia telah berjanji dengan Relina untuk mengunjungi kamar senior,
meminta tanda tangan. Inung hanya memerlukan beberapa menit untuk tiba
kembali di kamar Relina, gadis yang dicarinya tengah asyik mengunyah
duku pada meja yang diletakkan di koridor bersama Murni dan Dita.
”Selamat pagi, saya Inung dari blok A, saya mau kenalan”, sikap Inung
berubah menjadi agak takut ketika ia melihat pula Murni dan Dita.
Di pihak lain Murni dan Dita segera
memasang wajah angker dan tak bersahabat, ia tak mempersilakan Inung
duduk, tetapi Relina segera tanggap, ia mengambil kursi dari kerangka
besi dengan bantalan berwarna merah hati dan memberikannya kepada Inung.
“Ayo duduk”.
Dengan ragu-ragu Inung duduk, ia mulai
gelisah dengan sikap Murni dan Dita yang tidak bersahabat. Mereka dengan
asyik tetap mengunyah duku tanpa menawarkan barang sebutir, merika
berperilaku seolah dirinya tak pernah ada. “O ya, aku harus bersiap ke
gereja”, Murni menyudahi santapannya dan segera berlalu ke kamar mandi,
ia tahu seorang calon warga tak bisa diterima dua orang senior, supaya
mereka lebih mudah mengingat dan mengenal. Ia memberi kesempatan kepada
Dita untuk menerima kedatangan Inung, tetapi Ditapun menghindar.
“Nanti datang lagi lain waktu, aku mau
setrika, nanti mejaku dipakai orang”, dengan bergegas Dita menuju ke
ruang setrika yang terletak di ujung blok G, ia merasa tak harus
bersikap ramah kepada warga baru. Keramahan akan membuat warga baru
tidak mampu merendahkan diri dan tidak tunduk kepada komitmen kehidupan
bersama. Mereka harus diatur dengan sedikit kesombongan supaya lebih
tahu diri. Asrama adalah masyarakat kecil, menuntut toleransi dan
pengertian, sehingga setiap warga dapat hidup dengan berdampingan tanpa
gejolak.
Dengan langkah tergesa Dita berlalu pergi
ke ruang setrika, Inung terdiam mematung, merasa heran dengan
kesombongan itu. Tiba-tiba ia merasa kecil dan tak berarti bagi orang
lain, wajahnya yang teduh berubah menjadi lebih sendu. Ia baru melangkah
pada kali pertama untuk mendapatkan tanda tangan, tapi perlakuan apa
yang diterima? Dekan bahkan tak pernah memperlakukan seperti ini ketika
ia memerlukan tanda tangan, tapi senior-senior yang belum memiliki
kedudukan apa-apa telah bersikap lebih pongah dari seorang dekan. Duh Gusti!
“Nung mau duku?” Relina menawarkan buah duku yang
masih tersisa, ia tahu betul suasana hati Inung, bukankah ia juga
pernah mengalaminya, beginilah nasib warga baru.
Inung menggeleng dengan lemah, “Terima kasih, aku
perlu segelas air”, Inung tiba-tiba merasa tenggorokannya kering, ia
merasa sungguh nyaman ketika Relina mengulurkan segelas air putih yang
berasa segar. “Kakakmu sombong sekali Re”, gadis itu mengeluh.
“Kesombongan sudah menjadi hak paten senior, tak usah
heran, kita sudah berkeputusan tinggal di sini, lakukan apa yang bisa
kita lakukan, semua akan berlalu. Ayo kita ke kamar mbak Inan”, Relina
mencoba menghibur.
“Baiklah”, mereka berjalan bersebelahan dengan buku putih dan sebatang pena di tangan.
Di dalam kamar Inan tengah tekun membuat kristik, ia
sangat mengaguni pola rumah mungil dengan gaya Eropa yang terletak di
tepi danau dengan aneka bunga bermekaran serta sebatang pohon yang amat
rindang. Gadis itu setengah berbaring dengan menyandarkan punggung pada
pembaringan, tangannya sibuk bekerja dengan bermacam warna benang yang
ditusuk menyilang secara beraturan, sehingga membentuk benda yang sesuai
dengan pola. Inan mengenakan daster batik yang telah disetrika licin,
wajahnya angker. Wajah itu berubah menjadi dingin ketika mendengar suara
langkah masuk dan ketukan pada daun pintu.
“Selamat pagi mbak, kami mau datang bermain”, Inung
mengetuk pintu kemudian berdiri dengan ragu, seakan ada seribu tangan
setan yang menahan langkah kakinya untuk memasuki relung kamar ini,
tetapi ia harus menguatkan hati supaya dapat “berkenalan” dengan seluruh
warga asrama.
“Masuk”, terdengar jawaban singkat dari mulut Inan,
sementara tangan gadis itu tak lepas dari kerajinan yang tengah
dibuatnya, wajahnya tanpa ekspresi, seolah tak ada perubahan apa-apa di
ruang sekitarnya. Hal itu berarti kehadiran Inung dan Relina tak ada
artinya.
“Permisi”, dengan ragu Inung dan Relina melangkah, mendekat ke tempat Inan tengah membuat kristik dan berdiri gagu.
“Mau main apa? Saya tidak punya mainan, kalau mau
duduk ambil kursi”, tak sedikitpun ada keramahan dalam nada suara Inan.
Ia sudah tahu maksud kedatangan warga baru, pasti untuk meminta tanda
tangan, kalau tanda tangan itu diberikan dengan mudah, warga yang
bersangkutan akan mudah pula melupakan tangan yang memberinya tanda. Ia
harus bersikap jual mahal, supaya kelak siapapun warga yang memperoleh
tanda tangannya akan tetap mengingatnya. Inan sering kesal, kecewa,
sakit hati, bahkan dendam dengan sikap warga yang apatis, yang
menjadikan asrama hanya sekedar tempat singgah tanpa kecintaan, seolah
bangunan ini hanya sekedar benda mati yang berperan apa-apa dalam rangka
menentukan nasib mahasiswa. Bagi Inan asrama ini adalah mutlak tempat
tinggalnya, ia telah menetap lebih tujuh tahun di dalam kamar kuno yang
telah menjadi bagian dari kehidupannya. Ia mencintai kehidupan di tempat
ini, ia membenci warga yang berbuat “kerusakan”,tak peduli dengan
kehidupan asrama sebagai tempat tinggal bersama sebagai layaknya sebuah
keluarga.
Inan membiarkan warga baru itu terduduk hampir
setengah jam tanpa mengucapkan sepatah kata, ia tetap asyik dengan
kerajinan tangan yang dikerjakan, kelak bila kristik ini telah selesai
ia akan memberinya bingkai yang cantik dan memajangnya di dinding kamar
sebagai hasil karya. Di lain pihak, Relina dan Inung menjadi ketakutan,
mereka tak pernah datang bertamu ke suatu tempat dan mendapatkan
perlakuan seperti ini. Kedua gadis itu sungguh merasa tidak nyaman,
keduanya saling berpandangan mata, menangguk kemudian berpamit pulang.
Tak ada gunanya berlama-lama menunggu seorang senior yang tengah asyik
membuat kristik. “Maaf mbak, kami permii dulu”, Inung berpamit tanpa
menunggu jawaban keduanya beriringan pergi meninggalkan Inan dengan
wajah tertunduk.
Mereka terus berjalan menangguk denga sopan ketika
berpapasan dengan warga yang melintas di sepanjang koridor. “Kita ke
kamar mbak Irin?” Relina bertanya. Inung menganggukkan kepala sebagai
jawaban.
Kamar Irin terletak satu blok dengan Inan dengan
jarak dua kamar di antaranya. Irin tengah membaca koran di atas
pembaringan dengan sebatang rokok menyala di tangan, warga senior itu
telah melampaui masa kuliah hampir satu dekade dan tengah sampai pada
tahap yang paling sulit, yaitu menyelesaikan skripsi. Irin yakin ia akan
lulus, masa kuliah akan segera berakhir dan ia akan berhadapan dengan
situasi yang lebih sulit untuk mempertaruhkan ijazah sarjana pada
sirkuit lapangan kerja yang diliputi kemelut. Ia pernah merasakan yang
terpahit dalam hidup dan tak dapat lagi merasakan lagi apa yang disebut
dengan kepahitan. Hidup ini harus dijalani, kalah atau menang.
“Mbak, selamat siang, maaf kami mau datang bermain”,
suara Relina dan Inung hampir bersamaan mengejutkan Irin yang tengah
asyik dengan bacaan.
“Maaf, saya tidak terima tamu!” jawab Irin tegas, ia
menikmati rokok sekaligus koran dengan segudang berita hangat,
kedatangan warga baru hanya akan mengganggu keasyikannya. Ia sudah tahu
maksud kedatangan warga baru, kelak akan ada waktu untuk khusus untuk
memberinya tanda tangan, sekarang ia tak mau terganggu.
Jawaban itu membuat Relina dan Inung tersentak,
mereka tidak menduga akan mendapat kalimat seperti ini. Mereka saling
berpandangan dengan semangat yang padam seperti secercah api tersiram
hujan. “Baik mbak, kami permisi”, Inung menggamit tangan Relina pergi,
seumur hidup ia tak pernah merasa bingung seperti ini. Warga asrama
putri rupanya mempunyai kelakuan aneh, berbeda dengan kebanyakan orang.
Aneh dan menyakitkan. Kedua warga baru yang bingung itu berjalan loyo
tanpa tujuan dan terpaku di sudut aula. “Saya tidak tahu bagaiman harus
bersikap supaya dapat membangun komunikasi dan mendapatkan tanda
tangan. Saya sudah lebih dari sekedar merendahkan diri, tetapi mbak-mbak
itu keterlaluan sekali, kita dianggap seperti batu”, Relina mengeluh,
tiba-tiba ia meras amat letih.
“Kita jangan menyerah Re, terus saja masuk dari kamar
ke kamar, terserah mbak-mbak mau buat apa, yang jelas mereka tidak akan
pernah memakan kita”, jawab Inung.
“Hei, kamu berdua sedang buat apa di sini?” Murni
melintas, ia baru pulang dari misa di kapel yang terletak di rumah
sakit, ia enggan pergi ke gereja yang letaknya cukup jauh dari asrama.
Murni mengenakan kulot warna biru tinta dengan hem putih dan rompi
bergaris-garis lembut warna lazuardi. Rias wajahnya halus mengubah
seluruh penampilan keseharian, terlebih apabila terbangun dengan daster
batik pada pagi hari kemudian pergi ke tempat sumber air untuk mencuci.
“Kami mau kenalan, tapi mbak-mbak sulit ditemui”, jawab Relina.
“Kau datang ke kamar siapa?”
“Ke kamar mbak Inan dan mbak Irin”.
“Mengapa harus pergi ke mbak-mbak yang sulit diminta
tanda tangan, jangan mempersulit diri, tidak usah pergi berdua, pergi
sendiri-sendiri, kamu takut apa? Datang baik-baik ke setiap kamar yang
penting bersikap sopan dan merendahkan diri”, Murni meminta buku putih
milik Relina, matanya terbelalak ketika ia membuka lembar demi lembar
dan tak melihat ada satupun tanda tangan tergores pada buku itu. “Jadi,
kamu belum mendapatkan satupun tanda tangan?!” gadis itu nyaris
berteriak. “Ayo cepat jalan, kejar tanda tangan, pergi sendiri-sendiri!”
dengan sebuah tekanan Murni mengembalikan buku putih kepada Relina,
tatapan matanya tajam memerintah.
Relina tak punya pilihan, iapun memisahkan diri dari
Inung dengan berat, ia harus menembus suatu pembatas, dinding kasat mata
yang membedakan keberadaan dirinya dan warga yang sudah menetap lama di
asrama ini. Ia akan merasa lelah, kecil, dan tak berarti. Adapun Murni
berpapasan dengan Dita dan warga asrama yang lain dan segera mengeluh.
“Adikmu Dita tolol sekali, ia langsung datang ke kamar Inan dan Irin
untuk mendapat tanda tangan senior dan langsung mendapat semprot”,
seorang warga blok F membuka pembicaraan, mereka terus berbisik-bisik
sambil terus melirik ke arah bayangan Relina dan Inung yang berkelebat
pergi. Di pihak lain Relina dan Inung merasa telinganya merah, mereka
bukan hanya mendengar suara bisik-bisik, tapi juga suara mengikik,
mentertawakan ketololannya. Rupanya untuk sementara ia telah ditetapkan
sebagai badut untuk menghibur sekalian penontotn supaya mereka dapat
tertawa.
Memang benar, dunia adalah panggung sandiwara!
Relina, Inung, dan seluruh warga baru yang lain harus
pandai mengatur waktu memasuki kamar demi kamar, menjumpai warga demi
warga untuk memperoleh tanda tangan. Dari keseluruhan warga tak
seorangpun yang memberi tanda tangan pada kunjungan pertama.
Sekurang-kurangnya warga baru harus berkunjung dua atau tiga kali supaya
mendapat catatan tanggal kunjungan sekaligus tanda tangan. Ratna bahkan
perlu mendirikan sembahyang sunah sebelum mengunjungi kamar Inan,
Santi, dan Irin. Ada senior yang meminta puisi, menyanyi, menghafal isi
barang di ruang mesin cuci. Ada yang menegur seluruh kesalahanya dengan
sadis dan tanpa basa basi. Ada yang mengundang semua warga baru
berkumpul dan membawakan atraksi. Akan tetapi, ada pula senior yang
menerimanya dengan ramah. Satu di antara senior itu adalah Puspita. Tawa
renyah gadis itu sudah cukup mengobati kelelahan Relina selama hampir
dua bulan mengelilingi asrama meminta tanda tangan dari sekitar 80 orang
warga.
Warga terakhir yang memberi tanda tangan pada Relina
sebelum buku putih harus diserahkan kepada pengurus asrama adalah Murni.
Gadis itu bukan hanya memberi tanda tangan, tapi juga sebuah catatan
panjang pada halaman memo yang terletak pada lembar paling belakang.
Relina perlu mengenali dirinya sendiri setelah ia membaca catatan itu:
Camkan!
Asrama putri adalah sebuah keluarga besar,
keluarga istimewa, tempat anak negara mendapatkan jaminan bagi kehidupan
bersama, tak ada yang bisa lebih sombong dari siapa. Dan satu hal,
wanita mempunyai persoalan yang berbeda. Tak seorangpun laki-laki akan
memberikan penghormatan kepada seorang wanita apabila wanita yang
bersangkutan tak dapat menghormati diri sendiri. Menghormati diri dapat
berarti sebuah penempatan bagi eksistensi di dalam komunitas, dapat
berarti pula merendahkan hati di antara langit yang luas dan gunung yang
menjulang. Seorang tak akan kehilangan apa-apa dan tak akan rugi
apa-apa bersikap andap asor, mengalah, dan menaruh hormat kepada yang
lebih tua. Pihak yang dapat menilai adalah orang lain, berterimakasihlah
kepada kritik, kepada orang yang menunjukkan kesalahan-kesalahan,
karena dengan memperbaiki kesalahan dan menempatkan diri seseorang akan
dapat diterima dengan damai oleh lingkungan.
Menjadi sarjana, menjadi ilmuwan adalah cita-cita
dan hal itu tetap utama, akan tetapi tanpa adanya pengertian dan
hubungan sosial yang positif ijazah cuma selembar kertas, cuma
legitimasi yang dapat ditertawakan siapapun. Tanpa pengakuan dari
publik terhadap hal-hal yang membangun dan bermanfaat bagi khalayak
seorang sarjana tak lebih dari pelawak. Yang terakhir, jangan pernah
mendendam, jangan menyimpan sakit, dan belajarlah mengasihi!
Salam
Murni
Relina membaca pesan itu berulang kali,
ia segera merasa sebuah tangan berotot menggamparnya dengan keras dan
menimpulkan rasa panas sekaligus ngilu. Pesan Murni yang tersusun rapi
dengan huruf tertata berseni secara mutlak mengulitinya. Murni
memaksanya meraih cermin supaya ia dapat memandang bayangan wajah yang
memantul untuk kembali mengenali, mengoreksi kesalahan, dan menata diri.
Suatu hal yang tidak mudah. Relina membaca pula pesan-pesan yang
ditulis beberapa orang warga, secara keseluruhan pesan itu mempunyai
makna yang sama, sebagai warga baru ia telah diperlakukan seakan manusia
paling dungu, si buta yang memerlukan tongkat atau si pandir yang
memerlukan penasehat, dan Relina –termasuk seluruh warga baru yang
lain--- tak berdaya dengan semua itu. Para warga baru tengah mengalami
saat-saat liminal, saat-saat ambigu ketika mereka tengah berada pada
posisi mengambang, akan diterima sebagai warga, berdamai dengan
kehidupan asrama dan menjadi bagian syah di dalamnya atau menolak semua
tata tertib dan pranata yang berlaku, mengemasi barang-barang kemudian
pergi berlalu mencari tempat tinggal yang baru. Ada beberapa warga yang
tak mampu menghadapi proses ini dan memilih undur diri, ada yang
dikeluarkan secara resmi, tetapi kebanyakan adalah bertahan sebagai
warga hingga tiba hari wisuda.
Relina perlu menyendiri untuk merenungkan
semua hal baru dan menyakitkan selama ia mengunjungi warga demi warga
untuk meminta tanda tangan. Banyak hal yang bisa ia pelajari, banyak
yang bisa dimengerti, tetapi ada juga yang tak perlu digubris. Bermacam
cemooh, gosip, gunjingan, tatapan dengki, sikap apaptis, kelakuan
menggurui, sok akrab, sok cinta asrama, dan sebagainya harus dianggap
sebagai angin ribut yang membuat kekacauan di luar rumah, tetapi tak
akan dapat mengusik kekerasan hatinya. Tujuan utamanya adalah belajar,
bersosialisasi dengan lingkungan memang perlu, tetapi yang lebih penting
adalah belajar dengan tekun untuk menyelesaikan pendidikan.
Akhirnya, bukan Relina kalau ia harus
merasa kalah dengan keadaan, ia hidup bersama dengan sekumpulan manusia,
bukan batu. Kurang lebihnya sikap seorang warga selalu didasari oleh
moral dan hati nurani, ia akan mengikuti arus dan tetap waspada supaya
tidak terseret. Ia akan tetap menjadi bagian dari asrama tanpa harus
kehilangan jati diri.
Relina masih termenung duduk di kursi
koridor menghadap ke arah jalan, mengikuti detik-detik paling
menakjubkan ketika senja jatuh, sinar matahari berubah menjadi kuning
dan secara perlahan-lahan menjelang padam. Pepohonan selalu berwarna
hijau, karena daun-daun yang subur, sementara pohon hujan emas yang
berbunga dengan warna kuning cerah menjuntai ke tanah pada ranting yang
tinggi tampak seakan lukisan dari tangan yang maha ahli. Lantai koridor
tampak mengkilat, bunga-bunga tertata rapi dengan pula dengan pot-pot
gantung yang ditumbuhi aneka tanaman hias dan selalu dirawat dengan
cermat. Relina sadar, ia menjadi akrab dan dimanjakan dengan suasana
seperti ini. Rasa lelah setelah berputar mengelilingi asrama untuk
mendapatkan tanda tangan perlahan sirna, yang tersisa kini suasana
syahdu. Relina masih tetap duduk ketika sinar matahari benar telah padam
dan suasana segera berubah menjadi gelap, lampu-lampu mulai menyala
dengan cahaya lemah, sebagian warga mulai bersiap mendirikan sembahyang
sebagai ibadah rutin, ada yang sembahyang di kamar ada pula yang di
mushola. Relina memilih ibadah di dalam kamar, Dita belum kembali dari
acara jalan-jalan, Murni tengah pergi ke kota untuk segala keperluan
sehari-hari. Di dalam kamar yang beraurora relung bangunan kuno, Relina
sendiri. Suansana hening, gadis itu khususk dalam ritus pemujaan.
Akhirnya terdengar suara lembut dan
bening dari gending yang ditabuh dari arah belakang asrama, dari banguna
milik pemerintah desa yang berfungsi khusus untuk mengembangkan seni
karawitan. Suara gending semula pelan semakin lama menjadi semakin
nyaring didiringi tetembangan seorang sinden dan terangkum dalam sebuah
irama lagu. Relina hanyut dalam suasana malam yang tiba-tiba berubah
menjadi mistis, ia tak terlibat secara langsung sebagai bagian yang
berperan mengidungkan tetembangan, tetapi seakan telah terlibat pula di
dalamnya.
“Re, sedang apa?” suara Inung tiba-tiba
terdengar mengejutkan Relina, gadis itu telah berdiri di depan pintu.
Inung mengenakan celana jeans biru langit dan T shirt merah bata, di
tangannya tergenggan buah apel yang merah dan segar terlindung kantung
plastik. “Aku bawakan oleh-oleh untukmu, aku dari rumah kakakku”, Inung
mengulurkan buah itu dan segera diterima Relina dengan suka cita, tanpa
menunggu lebih lama gadis itu segera mengunyah apel dengan berselera.
“Terima kasih, ah enak sekali, lebih baik
setiap hari engkau datang berkunjung dengan oleh-oleh seperti ini”,
Relina berucap, Inung menanggapi dengan senyum, ia sudah cukup hapal
ulah sikap sahabatnya.
“Eh Re, bagaimana dengan rencana
inisiasi? Kau sudah siap? Semua warga baru akan menjalani tes mental
dari pukul 13.00 WIT hari Sabtu sampai pukul 01.00 di hari Senin, waktu
istirahat hanya sekitar tiga jam pada malam Minggu. Aku ngeri mendengar
cerita warga yang telah menjalani”.
“Inisiasi mungkin minggu depan, kita akan
diterima secara resmi sebagai warga. Aku sudah sering mendengar tentang
cerita itu, menurut mbak-mbak acara itu sekedar tes mental. Memang
benar ijazah sarjana saja tidak cukup, dokumen itu cuma kertas harus
ditunjang dengan mental yang kuat. Kita telah melihat masyarakat itu
kejam, kita harus mampu menempatkan diri dan mempertahankan hidup di
antara situasi yang kejam kemudian keluar sebagai pemenang. Maksudnya
kita harus berhasil dalam hidup, mandiri, dan kuat dalam situasi yang
paling buruk sekalipun. Inisiasi cuma sandiwara, seperti halnya hidup
ini cuma panggung sandiwara”.
“Re tahu dari siapa kalau inisiasi minggu depan?”
“Mbak-mbak sendiri yang bilang, bahwa
dinding asramapun bisa bicara. Kita diinisiasi bersama-sama, bukan
seorang diri, kita akan susah bersama dan akan senang bersama”.
“Kau yakin tidak gentar Re?”
“Gentar sih gentar, tapi mau bagaimana? Siapa suruh datang ke asrama”.
Tiba-tiba terdengar suara intercome dari ruang telepon berbunyi. “Tuuuut.........!!”
“Ya!” seorang warga di blok E menjawab.
“Inung, ada telepon!” terdengar suara dari dalam intercome.
“Inung, telepon....!” Soraya, komisaris blok yang mendengar panggilan itu menjawab.
“O iya mbak, terima kasih. Re, aku
permisi dulu....” tergesa Inung berlari menuju ruang telepon yang
terletak di lantai satu berdekatan dengan kamar tamu, ruangan itu
sekaligus sebagai ruang administrasi yang digunakan untuk bekerja ibu
asrama.
“Okey, pasti itu telepon dari pacarmu”,
Relina melepas Inung pergi, ia kembali berdiri di koridor menatap
kehitaman malam yang menyembunyikan hijau warna pepohonan. Dari aula
terdengar suara canda ria dan gelak tawa dari sekumpulan warga yang
tengah mengikuti tayangan televisi.
Intercome dari ruang tamu tiba-tiba berbunyi, “Tuuuut.......!!”
“Ya!” Relina menjawab.
“Murni ada?” terdengar suara bariton
seorang laki-laki muda, pasti itu Dion, pacar Murni. Tamu laki-laki
tidak diijinkan masuk ke dalam blok, bila mereka berkepentingan untuk
bertemu dengan warga, maka yang bersangkutan harus memanggil melalui
intercome, warga yang dipanggil akan menjawab kemudian menemui di ruang
tamu.
Dari dalam kamar dengan tergesa Soraya
segera menghambur keluar, gadis itu mengenakan celana pendek menampakkan
kulitnya yang putih tanpa cela dan T Shirt tipis tanpa lapisan pakaian
di dalamnya. Suatu pemandangan indah bagi tamu laki-laki, sehingga
peraturan asrama melarang untuk melihatnya. Soraya tahu Murni tengah
pergi, ia bermaksud “mengganggu” Dion. “Mas Dion, mbak Murni ada
keluar, kenapa nggak panggil aku aja?!”
“Kalau saya panggil Soraya nanti yang punya marah”, jawab Dion dari intercome.
“Saya belum ada yang punya”, suara Soraya terdengar kenes.
“Yang punya Soraya pasti orang tuanya”.
“Orang tuaku nggak akan marah, benar. Lha wong mereka nggak tahu”.
“Hei, Murni ada nggak?”
“Marah ni yee.... Mbak Murni ada ke Malioboro. Aku aja yang turun ya....”.
“Khusus untuk Soraya saya akan datang
lagi dengan seorang calon suami, besok malam. Okey?” intercome mati.
Soraya tertawa terpingkal-pingkal, warga blok E yang lain bermunculan
dari kamar, menyumbang tawa. Suara blok itu segera meledak oleh gelak
tawa, Relina tak dapat menahan diri, ia bergabung dengan suasana ramai
di koridor blok. Suasana menjadi semakin ramai ketika Dita datang dengan
sekranjang mangga ranum yang menerbitkan selera. Seisi blok segera
ramai berpesta mangga, mereka riuh berceloteh hingga seluruh mangga
habis tanpa sisa, gong dipukul pak Badi, penjaga malam delapan kali
dengan suara mengejutkan. Warga blok E tahu, saat untuk bercanda ria
telah selesai, jam tenang adalah saat untuk damai, untuk kembali
belajar, menekuni buku dan mengerjakan serangkaian tugas.
***
Saat menegangkan yang disebut dengan
inisiasi, rituil yang telah berlaku hampir setengah abad untuk
mengukuhkan warga baru menjadi bagian dari kehidupan asrama akhirnya
tiba. Warga baru menyerah dengan sistem yang telah membatu, mereka hanya
dapat mengikuti satu hal, menurut dengan satu konsep: Butir pertama,
senior tidak pernah bersalah; Butir kedua, apabila senior bersalah, maka
lihat butir pertama! Warga baru harus memahami arti tanpa daya di
tengah kehidupan yang maha luas. Kelak, ketika waktu telah berpihak dan
menempatkan warga baru sebagai senior, maka mereka akan tahu betapa
mahal senioritas.
Dan segala hal yang menjadi prosesi dari
inisiasi telah disepakai sebagai rahasia yang harus ditutup bersama.
Sebuah rahasia yang hanya diketahui sekaligus menjadi pengalaman
berharga sepanjang hidup. Tak seorangpun warga perlu atau harus
menceritakan detail dari prosesi ini, terlebih mendokumentasikan kepada
sesiapapun yang tidak pernah menjadi penghuni asrama!
***
Bersambung ......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar