Minggu, 02 Juni 2019

ASRAMA PUTRI --Tentang Relasi Gender-- DUA

  




 
Inung terjaga di pagi buta oleh suara adzan yang bergema seakan nyanyian suci. Lampu belajar sebagai satu-satunya penerangan di saat tidur masih berpendar, menciptakan cahaya sekaligus bayang-bayang. Gadis itu melawan kantuk, mengucak-ucak mata kemudian melangkah ke kamar mandi dengan daster kusut dan kedodoran. Tak berapa lama kemudian terdengar suara kecipak air dari aktivitas rutin membersihkan wajah, menggosok gigi, dan mengambil air wudhu.
            Gadis itu merasa agak segar setelah bersentuhan dengan unsur alam yang paling hakiki, air. Ia mendirikan sembahyang subuh dua rokaat, membereskan tempat tidur, mengganti daster dengan celana kurdorei, T shirt, dan sweater kemudian bergegas meninggalkan kamar. Di atas pembaringan besi yang lain, Sisi masih pulas tertidur berselimut tebal hingga batas bahu. Adapun Jay, ia masih mengikuti KKN pada salah satu desa di Pantai Utara Jawa. Mereka hanya tinggal berdua.
            Seperti halnya calon warga, Inung harus melakukan tugas-tugas rutin, menjadi bendahara bulanan. Seluruh warga akan memberikan uang belanja dalam jumlah yang telah ditetapkan pada sidang pleno. Bendahara bulanan mengumpulkan, menghitung, membelanjakan setiap hari selama satu bulan penuh. Inung bergegas menuju ke kamar Relina, bendahara bulanan dikerjakan oleh dua orang warga. Inung bersyukur, Re memiliki sepeda motor, mereka tidak perlu meminjam alat transportasi itu kepada warga lain dengan menghiba-hiba.
            Dengan satu ketukan lembut pintu kamar Relina terbuka, seraut wajah menampak dari balik pintu. Relina telah siap, gadis itu mengenakan celana jeans ice wash warna hitam, T shirt, dan jaket abu-abu. “Sudah siap non?” Inung bertanya perlahan-lahan, takut membangunkan Murni dan Dita yang masih pulas, berselimut di atas pembaringan masing-masing.
            “Ayo, kita jalan”.
            Mereka berjalan beriringan menuju ke tempat parkir kendaraan yang terletak bersebelahan dengan ruang makan dengan pembatas deretan alamari makan. Pagi masih buta, sinar bintang masih cerlang cemerlang, bulan sepotong mengarungi angkasa, bercahaya laksana batu permata. Udara dingin dan berembun. Inung membuka gudang makanan, menyambar keranjang sayur kemudian bergegas menjelang Relina yang tengah menstater kemudian memanasi mesin motor. Pagi buta itupun terpecah. Pintu dan jendela kama masih tertutup, lampu-lampu koridor menyala redup.
            “Re, aku titip hati ayam untuk makan malam!” tiba-tiba terdengar suara dari arah kamar di lantai dua. Sesosok tubuh terbungkus daster kusut masai dengan rambut tercerai berai membayang di bawah sinar lampu.
            “Maaf. Aku siapa?” Relina balas bertanya.
            “Aku Inan”.
            “Iya mbak, nanti saya belikan”, Relina menempatkan diri di atas jok, memegang kemudi, Inung menggonceng di belakangnya, sedetik kemudian terdengar suara mesin menderu meninggalkan halaman asrama. Di dalam kamar masing-masing sebagian warga masih tertidur, sebagian telah terbangun, ada pula yang “wayangan”, belajar semalam suntuk untuk “tempur” –mid semester—hari ini.
            Di langit sebelah timur, pagi memecah dalam udara dingin berkabut, bunga-bunga bermekaran aneka warna, daun-daun menghijau segar. Daun yang telah kering berguguran dihempas angin. Di eberang asrama tampak seorang perempuan tua tengah bersibuk diri membersihkan sampah-sampah di tepi jalan. Konon, perempuan itu tidak benar-benar sehat akal pikirannya, tetapi hasil dari ketidaksehatan itu bermanfaat, karena lingkungan seputar asrama menjadi bersih cemerlang.
            Relina mengemudikan motor dengan hati-hati, kendaraan itu telah dipakai sejak masa SMA, ia rajin merawat, setelah tahun demi tahun berjalan motor itu masih layak dipakai untuk mobilitas sehari-hari. Jalanan masih sepi, seisi kota belum sepenuhnya terjaga. Fajar memecah dalam cahaya kuning yang jernih seakan kilau lempengan emas. Beberapa orang tampak berlari pagi atau bersepeda untuk menghirup udara segar. Di sebelah utara kota Gunung Merapi tampak tegak berdiri sebagai monumen sejak masa purba. Sosoknya tampak seakan seorang kesatria yang tengah bersiap di medan tempur dengan salah satu tangan mencabut batang anak panah.
            Adapun tepat di jantung kota, tugu masih tetap kukuh di tengah-tengah, di antara empat ruas jalan yang bertentangan. Relina membelokkan kemudi ke arah kanan, menuju kesibukan Pasar Kranggan. Ia menitipkan motor di tempat parkir kemudian membaur pada keramaian pasar. Menu makan siang hari ini adalah sayur asam, ikan garam, dan sambal terasi. Snack hari Minggu bubur kacang hijau. Adapun menu makan malam tahu isi dan sayur lodeh, esok pagi nasi putih dengan telur bumbu balado.
            Kedua gadis itu berjalan beriringan dari satu pedagang ke pedagang yang lain, melakukan berulang kali transaksi hingga seluruh kebutuhan terpenuhi dan tak lupa membeli pula hati ayam bagi Inan, sang senior yang galak. Bila terlupa, tamatlah riwayat, Inan pasti akan menyemprotnya. Tidak becus jadi bendahara! Suasana telah terang benderang, pasar hiruk pikuk dan basah berlumpur ketika Relina dan Inung telah berkeringat, keranjang dan tas telah penuh. Relina menyempatkan diri membeli getuk dan duku untuk sarapan dan pencuci mulut kemudian merekapun bersiap kembali.
            Relina harus ekstra hati-hati mengemudikan motor, karena barang belanja yang bertimbun, secara tiba-tiba penampilannya telah berubah seperti tukang ojek yang mesti bersimbah peluh demi mengantar mbok-mbok penjual sayur dalam rangka berdagang. Gadis itu kehilangan kata-kata ketika berpapasan dengan adik kelas di SMA yang kira-kira bernama Bagus. Pemuda itu tampak keheranan melihat aktivitas Relina, ia pasti tidak tahu duduk persoalan, betapa Relina tengah memegang mandat sebagai bendahara. Gadis itu tersenyum untuk mengelabuhi wajahnya yang mendadak berubah semburat merah, Relina menyesal mengapa ia harus berpapasan dengan seorang mantan adik kelas dalal situasi seperti ini, tapi apa boleh buat? Ia harus menjalankan tugas-tugas sebagai warga baru, karena asrama adalah pilihan tempat tinggalnya.
            Yogya telah sibuk ketika Relina dan Inung kembali berboncengan membelah keramaian lalu lintas untuk kembali ke tempat semula. Jalanan dipenuhi sepeda, becak, motor, mobil, angkutan umum, dan pejalan kaki yang bergerak di trotoar. Kendaraan itu terus melaju, melewati jembatan Kali Code dengan gubug-gubug antik bermotif seni hasil kerja Romo Mangun, Relina berbelok ke kiri memasuki jalan Cornel Simanjuntak, berbelok ke kanan dan terus berkonsentrasi untuk kembali ke asrama.
            Asrama putri telah terbangun ketika dengan napas setengah terengah kedua gadis itu meletakkan barang belanja di dapur. “Mbak Tati, menu makan siang sayur asem, ikan asin, dan sambal terasi, snack bubur kacang hijau, makan malam tahu isi dengan sayur lodeh, esok sarapan telur balado. Ini bahan-bahan dan ini bumbunya, hati ayam milik mbak Inan blok F”. Secara bergantian Relina dan Inung memberi petunjuk kepada mbak Tati.
            “Baik mbak Re, jangan lupa garam, minyak tanah sudah mau habis, mungkin sebentar penjual minyak datang”.
            “Garam lebih dari cukup, saya tidak mau keracunan lagi”. Relina kembali ke gudang makanan dan datang lagi ke dapur dengan dua bongkah garam dapur.
            Beberapa saat kemudian tampak kedua gadis itu sibuk membersihkan gudang makanan. Gudang itu terletak di bawah tangga yang menghubungkan blok G menurun ke arah dapur. Jendela kaca yang mungil menyebabkan ruangan itu menjadi gelap gulita, kecoapun berpesta pora.  “Kita harus tetap menyalakan lampu supaya ruangan sempit ini terbebas dari serbuan kecoa, serangga ini pasti mencari tempat-tempat gelap untuk bersarang”, Inung berpendapat.
            “Okey, nyalakan saja”, Relina mengiyakan.
            “Aduh, mbak-mbak ini rajin sekali. Ini yang namanya bendahara teladan”, Pak Badi, penjaga malam melintas, masih dengan kerudung sarung dan topi warna gelap yang sekaligus berfungsi sebagai penutup wajah untuk menghidar dari serangan nyamuk di waktu malam.
            “Terima kasih pujiannya, tapi sayang tidak ada uang kecil”, Inung berseloroh sambil tersenyum simpul, ia tahu Pak Badi, penjaga malam itu selalu bersikap baik kepada seluruh warga, termasuk warga yang masih baru.
            “Kalau tidak ada uang kecil, ya uang besar saja tho mbak”, jawab Pak Badi sambil terus berlalu pergi.
            Relina dan Inung saling berpandangan kemudian tersenyum, mereka masih terus bekerja membersihkan seisi gudang, sehingga tempat itu benar-benar layak sebagai tempat penyimpanan bahan makanan. “Nah, ini  namanya bendahara yang cantik, gudangnya juga cantik”, mbak Tati, si tukang masak kembali berkomentar sambil sibuk mondar-mandir dari kamar tukang masak ke dapur untuk menyiapkan menu hari ini.
            “Benar, tukang masaknya juga cantik”, Relina balas berkomentar, mbak Tati yang memiliki badan gemuk tambun seketika tertawa terkekeh-kekeh mengejutkan warga yang tengah sarapan di ruang makan.
            Inung dan Relina tiba-tiba merasa lapar setelah seluruh isi gudang  tertata rapi dengan neon tetap menyala untuk menghalau kecoa. Mereka mencucui tangan kemudian meraih piring dan sendok. Menu sarapan adalah nasi goreng dengan sekerat telur isi yang telah dibagi pada masing-masing piring di setiap alamari. Ketika membuka pintu almari, Relina tak dapat menahan senyum, ia mendapatkan kembali tiga butir telur yang menghilang hari lalu dengan catatan kecil.
            Maaf ya, telurnya tak pinjam, soalnya aku lapar.
            Kisah-kisah menggelikan semacam ini kerap kali terjadi, membumbui kehidupan sehari-hari di asrama ini. Relina tak tahu dengan pasti siapa sebenarnya yang telah meminjam telurnya tanpa permisi kemudian mengembalikannya dengan sebuah catatan. Pada catatan itu tak tertera nama, ia memang tak perlu mengetahui nama itu.
            “Re, tadi kau belikan saya hati ayam?” Inan muncul secara tiba-tiba, ia mengenakan celana pendek baas lutut dan T Shirt yang agak tua. Bersama seluruh warga blok F Inan baru saja bertuas membersihkan ruang tamu, mencuci lantai beramai-ramai. Jadwal ini berlaku setiap minggu digilir untuk setiap blok dengan jadwal yang dibuat oleh seksi tata asrama.
            “Sudah mbak, sudah saya serahkan ke mbak Tati untuk dimasak”, jawab Relina sehalus mungkin, ia tidak mau disemprot, karena kata-kata yang salah. Ditegur senior untuk sebuah barang titipan dalam situasi seperti ini agaknya sudah menjadi hal yang menguntungkan. Akan tetapi, Inan tetap bersingkah angkuh, ia duduk menghadap sepiring nasi goreng dan sekerat telur isi sambil membaca koran pagi tanpa berkata-kata. Selera makan Relina dan Inung seketika lenyap, mereka mendadak merasa kenyang. Kedua gadis itu berpandangan, mengangguk kemudian menyelesaikan sarapan dengan tergesa dan bersiap meninggalkan ruang makan.
            “Mbak kami permisi”, Relina berpamit pada Inan, warga senior itu melirik sekilas kemudian kembali tekun dengan bacaannya seolah tak ada orang yang bersuara. Mereka baru meletakkan piring kotor pada meja yang sengaja disiapkan ketika tiba-tiba terdengar suara keras memecah suasana.
            “Hei, hari Minggu mengapa masak ikan garam?! Itu makanan tempo dulu, makanan orang kampung, bendahara kreatif sedikitlah, bagaimana mau lulus sarjana kalau makanan tidak bergizi?” Santi, senior yang telah menempuh sembilan tahun masa kuliah dan belum juga lulus mulai berkomentar, nada suaranya tajam menikam. Suaranya itu disusul oleh umpatan, kejengkelan, dan wajah wajah bersungut dari sekalian warga. Relina dan Inung mengambil jalan selamat, menyingkir diam-diam dari ruang makan dan segera kabur kembali ke blok tempat tinggal.
            “Bagaimana kita bisa menyediakan menu yang enak, sedangkan iuran per bulan tidak mencukupi? Inflasi terus menerus terjadi, harga barang semakin tinggi. Mbak-mbak terlalu banyak berkomentar”, Inung mengeluh.
            “Senior tidak pernah bersalah, ingat pernyataan itu. Mereka tidak mau tahu harga barang terus melambung sementara uang bulanan kecil sekali. Kalau mau makan enak setiap hari lebih baik tinggal dengan mertua”, Relina menimpali. Ia tahu betapa kejam perlakuan warga terhadap menu yang dihidangkan bendahara, pada masa yang lampau senior-senior akan menguntai kerupuk yang menjadi menu makan malam dengan sehelai benang, mengalungkannya di leher kemudian memamerkan ke seluruh ruangan sebagai protes terhadap hasil kerja warga baru. Semua itu memerlukan ketabahan dan kekuatan hati bila ia mau bertahan di tempat ini.
            “Baik, sementara kita berpisah di sini, sebentar kita jalan sama-sama untuk meminta tanda tangan”, Inung berpesan, mereka berpisah pada anak tangga yang memisahkan blok A dan blok E yang terletak lurus pada lantai satu dan dua menghadap ke arah selatan.
            “Okey, sampai nanti”, jawab Relina, gadis itu bergegas menapaki anak tangga dengan gethuk dan duku pada sebuah kantong plastik, ia belum merasa kenyang. Ia perlu menikmati makanan tradisionil itu sebelum melanjutkan aktivitas hari ini. Seluruh warga blok E tengah sibuk mencuci lantai aula, ruang pertemuan ini dibersihkan setiap hari minggu secara bergiliran oleh warga dari delapan blok. Relina terbebas dari tugas mencuci lantai aula, karena ia harus pergi belanja untuk kebutuhan konsumsi hari ini.
            Gadis itu telah mendapatkan kembali kesegaran setelah menghabiskan sepincuk gethuk, segelas teh panas, dan menikmati kesegaran buah duku yang sedang musim. Ia menyisakan semangkuk duku untuk Murni dan Dita di atas meja, setelah itu ia kembali kepada tugas rutin membersihkan seisi kamar dan koridor serta mencuci piring dan gelas yang kotor. Kebiasaan Relina mencuci lantai kamar dan koridor agaknya telah menyebar ke seantero asrama, ia digosipkan telah berlaku seakan cleaning servise, terlalu rajin mencuci lantai, pagi dan sore.
            Relina tak bisa terlepas dari kebiasaan yang telah diajarkan sang ibu, rumah adalah tempat tinggal, tempat belajar, dan tempat ibadah. Tak boleh ada debu yang menetap lebih dari dua belas jam, sebab itu membersihkan lantai pagi dan sore sudah merupakan keharusan. Kebiasaan ini agaknya menimbulkan kesan aneh bagi seluruh warga asrama. Khususnya Dita yang tak pernah mau membersihkan kamar, ia biasa tinggal di desa, pada sebuah rumah tinggal tanpa lantai ubin, mencuci lantai bukanlah hal penting, yang paling penting baginya adalah belajar.
            Matahari telah tinggi ketika seluruh warga asrama telah menyelesaikan tugas pembersihan. Dari aula terdengar gelak tawa  warga yang tengah bermain tenis meja dan mengikuti tayangan televisi. Lantai aula tela bersih mengkilat, siapapun merasa nyaman berada di ruangan itu. Di seputar sumber air sekelompok warga dengan daster lusuh dan wajah tanpa make up asyik ngrumpi sambil mencuci pakaian kotor. Suara mereka terkadang menjadi riuh rendah diiringi suara tertawa terkekeh-kekeh, karena cerita lucu. Ruang setrika tampak sibuk oleh warga yang memanfatkan jadwal  untuk melicinkan pakaian. Pada hari-hari biasa ruang setrika bisa digunakan pada pukul 14.00 – 17.000 WIB, warga yang berniat menyetrika pakaian harus membooking meja dengan cara meletakkan setumpuk pakaian serta setrika. Pelanggaran jam setrika dapat dikenakan sangsi yang menakutkan, jangan pernah ada warga yang berani mencoba. Pada hari Minggu atau hari libur ruang setrika dimanfaatkan sejak pukul 09.00 – 17.00 WIB. Warga dari blok lain yang tidak sedang mendapatkan jadwal bisa permisi kepada warga yang telah membooking meja supaya ia dapat pula menyetrika pakaian yang harus dikenakan.
            Di dalam kamar Inung melakukan hal yang sama dengan Relina, Sisi telah menempel jadwal kebersihan kamar pada pintu ke kamar mandi, masing-masing warga mendapatkan tugas dua hari alam seminggu untuk membersihkan kamar, satu hari adalah tugas secara suka rela. Inung telah selesai membersihkan debu dengan kain basah, membereskan tempat tidur dan meja belajar, merapikan pakaian yang kusut masai, mencucui gelas-gelas kotor kemudian mencuci lantai kamar dan koridor. Ia menyiram pula bunga-bunga yang tertata rapi dan tumbuh dengan subur, karena perawatan yang baik.
            Bak mandi telah penuh terisi air, demikian pula dengan seluruh ember dan baskom. Air mengalir setengah jam pada pagi hari dan setengah jam pada sore hari, setiap kamar mendapatkan jadwal menyalakan pompa air yang berada di dalam gudang selama dua hari untuk setiap kali pemutaran jadwal. Ketika air pada blok atas mengalir, air di blok bawah berhenti. Demikian sebaliknya bila air di blok bawah mengalir, maka air di blok atas berhenti. Kelambatan warga, terlebih warga baru dalam mengalirkan air akan menimbulkan kegaduhan dan menyulut teriakan marah dari keseluruhan warga, sebab itu warga yang bertuga mengalirkan air tak boleh lupa atau teledor.
            Inung merasa badannya segar setelah ia mandi kemudian mengenakan rok span berwarna coklat dengan t shirt kuning kunyit, ia telah berjanji dengan Relina untuk mengunjungi kamar senior, meminta tanda tangan. Inung hanya memerlukan beberapa menit untuk tiba kembali di kamar Relina, gadis yang dicarinya tengah asyik mengunyah duku pada meja yang diletakkan di koridor bersama Murni dan Dita. ”Selamat pagi, saya Inung dari blok A, saya mau kenalan”, sikap Inung berubah menjadi agak takut ketika ia melihat pula Murni dan Dita.
            Di pihak lain Murni dan Dita segera memasang wajah angker dan tak bersahabat, ia tak mempersilakan Inung duduk, tetapi Relina segera tanggap, ia  mengambil kursi dari kerangka besi dengan bantalan berwarna merah hati dan memberikannya kepada Inung. “Ayo duduk”.
            Dengan ragu-ragu Inung duduk, ia mulai gelisah dengan sikap Murni dan Dita yang tidak bersahabat. Mereka dengan asyik tetap mengunyah duku tanpa menawarkan barang sebutir, merika berperilaku seolah dirinya tak pernah ada. “O ya, aku harus bersiap ke gereja”, Murni menyudahi santapannya dan segera berlalu ke kamar mandi, ia tahu seorang calon warga tak bisa diterima dua orang senior, supaya mereka lebih mudah mengingat dan mengenal. Ia memberi kesempatan kepada Dita untuk menerima kedatangan Inung, tetapi Ditapun menghindar.
            “Nanti datang lagi lain waktu, aku mau setrika, nanti mejaku dipakai orang”, dengan bergegas Dita menuju ke ruang setrika yang terletak di ujung blok G, ia merasa tak harus bersikap ramah kepada warga baru. Keramahan akan membuat warga baru tidak mampu merendahkan diri dan tidak tunduk kepada komitmen kehidupan bersama. Mereka harus diatur dengan sedikit kesombongan supaya lebih tahu diri. Asrama adalah masyarakat kecil, menuntut toleransi dan pengertian, sehingga setiap warga dapat hidup dengan berdampingan tanpa gejolak.
            Dengan langkah tergesa Dita berlalu pergi ke ruang setrika, Inung terdiam mematung, merasa heran dengan kesombongan itu. Tiba-tiba ia merasa kecil dan tak berarti bagi orang lain, wajahnya yang teduh berubah menjadi lebih sendu. Ia baru melangkah pada kali pertama untuk mendapatkan tanda tangan, tapi perlakuan apa yang diterima? Dekan bahkan tak pernah memperlakukan seperti ini ketika ia memerlukan tanda tangan, tapi senior-senior yang belum memiliki kedudukan apa-apa telah bersikap lebih pongah dari seorang dekan. Duh Gusti!
 “Nung mau duku?”  Relina menawarkan buah duku yang masih tersisa, ia tahu betul  suasana hati Inung, bukankah ia juga pernah mengalaminya, beginilah nasib warga baru.
Inung menggeleng dengan lemah, “Terima kasih, aku perlu segelas air”, Inung tiba-tiba merasa tenggorokannya kering, ia merasa sungguh nyaman ketika Relina mengulurkan segelas air putih yang berasa segar. “Kakakmu sombong sekali Re”, gadis itu mengeluh.
“Kesombongan sudah menjadi hak paten senior, tak usah heran, kita sudah berkeputusan tinggal di sini, lakukan apa yang bisa kita lakukan, semua akan berlalu. Ayo kita ke kamar mbak Inan”, Relina mencoba menghibur.
“Baiklah”, mereka berjalan bersebelahan dengan buku putih dan sebatang pena di tangan.
Di dalam kamar Inan tengah tekun membuat kristik, ia sangat mengaguni pola rumah mungil dengan gaya Eropa yang terletak di tepi danau dengan aneka bunga bermekaran serta sebatang pohon yang amat rindang. Gadis itu setengah berbaring dengan menyandarkan punggung pada pembaringan, tangannya sibuk bekerja dengan bermacam warna benang yang ditusuk menyilang secara beraturan, sehingga membentuk benda yang sesuai dengan pola. Inan mengenakan daster batik yang telah disetrika licin, wajahnya angker. Wajah itu berubah menjadi dingin ketika mendengar suara langkah masuk dan ketukan pada daun pintu.
“Selamat pagi mbak, kami mau datang bermain”, Inung mengetuk pintu kemudian berdiri dengan ragu, seakan ada seribu tangan setan yang menahan langkah kakinya untuk memasuki relung kamar ini, tetapi ia harus menguatkan hati supaya dapat “berkenalan” dengan seluruh warga asrama.
“Masuk”, terdengar jawaban singkat dari mulut Inan, sementara tangan gadis itu tak lepas dari kerajinan yang tengah dibuatnya, wajahnya tanpa ekspresi, seolah tak ada perubahan apa-apa di ruang sekitarnya. Hal itu berarti kehadiran Inung dan Relina tak ada artinya.
“Permisi”, dengan ragu Inung dan Relina melangkah, mendekat ke tempat Inan tengah membuat kristik dan berdiri gagu.
“Mau main apa? Saya tidak punya mainan, kalau mau duduk ambil kursi”, tak sedikitpun ada keramahan dalam nada suara Inan. Ia sudah tahu maksud kedatangan warga baru, pasti untuk meminta tanda tangan, kalau tanda tangan itu diberikan dengan mudah,  warga yang bersangkutan akan mudah pula melupakan tangan yang memberinya tanda. Ia harus bersikap jual mahal, supaya kelak siapapun warga yang memperoleh tanda tangannya  akan tetap mengingatnya. Inan sering kesal, kecewa, sakit hati, bahkan dendam dengan sikap warga yang apatis, yang menjadikan asrama hanya sekedar tempat singgah tanpa kecintaan, seolah bangunan ini hanya sekedar benda mati yang berperan apa-apa dalam rangka menentukan nasib mahasiswa. Bagi Inan asrama ini adalah mutlak tempat tinggalnya, ia telah menetap lebih tujuh tahun di dalam kamar kuno yang telah menjadi bagian dari kehidupannya. Ia mencintai kehidupan di tempat ini, ia membenci warga yang berbuat “kerusakan”,tak peduli dengan kehidupan asrama sebagai tempat tinggal bersama sebagai layaknya sebuah keluarga.
Inan membiarkan warga baru itu terduduk hampir setengah jam tanpa mengucapkan sepatah kata, ia tetap asyik dengan kerajinan tangan yang dikerjakan, kelak bila kristik ini telah selesai ia akan memberinya bingkai yang cantik dan memajangnya di dinding kamar sebagai hasil karya. Di lain pihak, Relina dan Inung menjadi ketakutan, mereka tak pernah datang bertamu ke suatu tempat dan mendapatkan perlakuan seperti ini. Kedua gadis itu sungguh merasa tidak nyaman, keduanya saling berpandangan mata, menangguk kemudian berpamit pulang. Tak ada gunanya berlama-lama menunggu seorang senior yang tengah asyik membuat kristik. “Maaf mbak, kami permii dulu”, Inung berpamit tanpa menunggu jawaban keduanya beriringan pergi meninggalkan Inan dengan wajah tertunduk.
Mereka terus berjalan menangguk denga sopan ketika berpapasan dengan warga yang melintas di sepanjang koridor. “Kita ke kamar mbak Irin?” Relina bertanya. Inung menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Kamar Irin terletak satu blok dengan Inan dengan jarak dua kamar di antaranya. Irin tengah membaca koran di atas pembaringan dengan sebatang rokok menyala di tangan, warga senior itu telah melampaui masa kuliah hampir satu dekade dan tengah sampai pada tahap yang paling sulit, yaitu menyelesaikan skripsi. Irin yakin ia akan lulus, masa kuliah akan segera berakhir dan ia akan berhadapan dengan situasi yang lebih sulit untuk mempertaruhkan ijazah sarjana pada sirkuit lapangan kerja yang diliputi kemelut. Ia pernah merasakan yang terpahit dalam hidup dan tak dapat lagi merasakan lagi apa yang disebut dengan kepahitan. Hidup ini harus dijalani, kalah atau menang.
“Mbak, selamat siang, maaf kami mau datang bermain”, suara Relina dan Inung hampir bersamaan mengejutkan Irin yang tengah asyik dengan bacaan.
“Maaf, saya tidak terima tamu!” jawab Irin tegas, ia menikmati rokok sekaligus koran dengan segudang berita hangat, kedatangan warga baru hanya akan mengganggu keasyikannya. Ia sudah tahu maksud kedatangan warga baru, kelak akan ada waktu untuk khusus untuk memberinya tanda tangan, sekarang ia tak mau terganggu.
Jawaban itu membuat Relina dan Inung tersentak, mereka tidak menduga akan mendapat kalimat seperti ini. Mereka saling berpandangan dengan semangat yang padam seperti secercah api tersiram hujan. “Baik mbak, kami permisi”, Inung menggamit tangan Relina pergi, seumur hidup ia tak pernah merasa bingung seperti ini. Warga asrama putri rupanya mempunyai kelakuan aneh, berbeda dengan kebanyakan orang. Aneh dan menyakitkan. Kedua warga baru yang bingung itu berjalan loyo tanpa tujuan dan terpaku di sudut aula. “Saya tidak tahu bagaiman harus bersikap supaya dapat membangun  komunikasi dan mendapatkan tanda tangan. Saya sudah lebih dari sekedar merendahkan diri, tetapi mbak-mbak itu keterlaluan sekali, kita dianggap seperti batu”, Relina mengeluh, tiba-tiba ia meras amat letih.
“Kita jangan menyerah Re, terus saja masuk dari kamar ke kamar, terserah mbak-mbak mau buat apa, yang jelas mereka tidak akan pernah memakan kita”, jawab Inung.
“Hei, kamu berdua sedang buat apa di sini?” Murni melintas, ia baru pulang dari misa di kapel yang terletak di rumah sakit, ia enggan pergi ke gereja yang letaknya cukup jauh dari asrama. Murni mengenakan kulot warna biru tinta dengan hem putih dan rompi bergaris-garis lembut warna lazuardi. Rias wajahnya halus mengubah seluruh penampilan keseharian, terlebih apabila terbangun dengan daster batik pada pagi hari kemudian pergi ke tempat sumber air untuk mencuci.
“Kami mau kenalan, tapi mbak-mbak sulit ditemui”, jawab Relina.
“Kau datang ke kamar siapa?”
“Ke kamar mbak Inan dan mbak Irin”.
“Mengapa harus pergi ke mbak-mbak yang sulit diminta tanda tangan, jangan mempersulit diri, tidak usah pergi berdua, pergi sendiri-sendiri, kamu takut apa? Datang baik-baik ke setiap kamar yang penting bersikap sopan dan merendahkan diri”, Murni meminta buku putih milik Relina, matanya terbelalak ketika ia membuka lembar demi lembar dan tak melihat ada satupun tanda tangan tergores pada buku itu. “Jadi, kamu belum mendapatkan satupun tanda tangan?!” gadis itu nyaris berteriak. “Ayo cepat jalan, kejar tanda tangan, pergi sendiri-sendiri!” dengan sebuah tekanan Murni mengembalikan buku putih kepada Relina, tatapan matanya tajam memerintah.
Relina tak punya pilihan, iapun memisahkan diri dari Inung dengan berat, ia harus menembus suatu pembatas, dinding kasat mata yang membedakan keberadaan dirinya dan warga yang sudah menetap lama di asrama ini. Ia akan merasa lelah, kecil, dan tak berarti. Adapun  Murni berpapasan dengan Dita dan warga asrama yang lain dan segera mengeluh. “Adikmu Dita tolol sekali, ia langsung datang ke kamar Inan dan Irin untuk mendapat tanda tangan senior dan langsung mendapat semprot”, seorang warga blok F membuka pembicaraan, mereka terus berbisik-bisik sambil terus melirik ke arah bayangan Relina dan Inung yang berkelebat pergi. Di pihak lain Relina dan Inung merasa telinganya merah, mereka bukan hanya mendengar suara bisik-bisik, tapi juga suara  mengikik, mentertawakan ketololannya. Rupanya untuk sementara ia telah ditetapkan sebagai badut untuk menghibur sekalian penontotn supaya mereka dapat tertawa.
Memang benar, dunia adalah panggung sandiwara!
Relina, Inung, dan seluruh warga baru yang lain harus pandai mengatur waktu memasuki kamar demi kamar, menjumpai warga demi warga untuk memperoleh tanda tangan. Dari keseluruhan warga tak seorangpun yang memberi tanda tangan pada kunjungan pertama. Sekurang-kurangnya warga baru harus berkunjung dua atau tiga kali supaya mendapat catatan tanggal kunjungan sekaligus tanda tangan. Ratna bahkan perlu mendirikan sembahyang sunah sebelum mengunjungi kamar Inan, Santi, dan Irin. Ada senior yang meminta puisi, menyanyi, menghafal isi barang di ruang mesin cuci. Ada yang menegur seluruh kesalahanya dengan sadis dan tanpa basa basi. Ada yang mengundang semua warga baru berkumpul dan membawakan atraksi. Akan tetapi, ada pula senior yang menerimanya dengan ramah. Satu di antara senior itu adalah Puspita. Tawa renyah gadis itu sudah cukup mengobati kelelahan Relina selama hampir dua bulan mengelilingi asrama meminta tanda tangan dari sekitar 80 orang warga.
Warga terakhir yang memberi tanda tangan pada Relina sebelum buku putih harus diserahkan kepada pengurus asrama adalah Murni. Gadis itu bukan hanya memberi tanda tangan, tapi juga sebuah catatan panjang pada halaman memo yang terletak pada lembar paling belakang. Relina perlu mengenali dirinya sendiri setelah ia membaca catatan itu:

Camkan!
Asrama putri adalah sebuah keluarga besar, keluarga istimewa, tempat anak negara mendapatkan jaminan bagi kehidupan bersama, tak ada yang bisa  lebih sombong dari siapa. Dan satu hal, wanita mempunyai persoalan yang berbeda. Tak seorangpun laki-laki akan memberikan penghormatan kepada seorang wanita apabila wanita yang bersangkutan tak dapat menghormati diri sendiri. Menghormati diri dapat berarti sebuah penempatan bagi eksistensi di dalam komunitas, dapat berarti pula merendahkan hati di antara langit yang luas dan gunung yang menjulang. Seorang tak akan kehilangan apa-apa dan tak akan rugi apa-apa bersikap andap asor, mengalah, dan menaruh hormat kepada yang lebih tua. Pihak yang dapat menilai adalah orang lain, berterimakasihlah kepada kritik, kepada orang yang menunjukkan kesalahan-kesalahan, karena dengan memperbaiki kesalahan dan menempatkan diri seseorang akan dapat diterima dengan damai oleh lingkungan.
Menjadi sarjana, menjadi ilmuwan adalah cita-cita dan hal itu tetap utama, akan tetapi tanpa adanya pengertian dan hubungan sosial yang positif ijazah cuma selembar kertas, cuma legitimasi yang dapat ditertawakan siapapun.  Tanpa pengakuan dari publik terhadap hal-hal yang membangun dan bermanfaat bagi khalayak  seorang sarjana tak lebih dari pelawak. Yang terakhir, jangan pernah mendendam, jangan menyimpan sakit, dan belajarlah mengasihi!

Salam
Murni

            Relina membaca pesan itu berulang kali, ia segera merasa sebuah tangan berotot menggamparnya dengan keras dan menimpulkan rasa panas sekaligus ngilu. Pesan Murni yang tersusun rapi dengan huruf tertata berseni secara mutlak mengulitinya. Murni memaksanya meraih cermin supaya ia dapat memandang bayangan wajah yang memantul untuk kembali mengenali, mengoreksi kesalahan, dan menata diri. Suatu hal yang tidak mudah. Relina membaca pula pesan-pesan yang ditulis beberapa orang warga, secara keseluruhan pesan itu mempunyai makna yang sama, sebagai warga baru ia telah diperlakukan seakan manusia paling dungu, si buta yang memerlukan tongkat atau si pandir yang memerlukan penasehat, dan Relina –termasuk seluruh warga baru yang lain--- tak berdaya dengan semua itu. Para warga baru tengah mengalami saat-saat liminal, saat-saat ambigu ketika mereka tengah berada pada posisi mengambang, akan diterima sebagai warga, berdamai dengan kehidupan asrama dan menjadi bagian syah di dalamnya atau menolak semua tata tertib dan pranata yang berlaku, mengemasi barang-barang kemudian pergi berlalu mencari tempat tinggal yang baru. Ada beberapa warga yang tak mampu menghadapi proses ini dan memilih undur diri, ada yang dikeluarkan secara resmi, tetapi kebanyakan adalah bertahan sebagai warga hingga tiba hari wisuda.
            Relina perlu menyendiri untuk merenungkan semua hal baru dan menyakitkan selama ia mengunjungi warga demi warga untuk meminta tanda tangan. Banyak hal yang bisa ia pelajari, banyak yang bisa dimengerti, tetapi ada juga yang tak perlu digubris. Bermacam cemooh, gosip, gunjingan, tatapan dengki, sikap apaptis, kelakuan menggurui, sok akrab, sok cinta asrama, dan sebagainya harus dianggap sebagai angin ribut yang membuat kekacauan di luar rumah, tetapi tak akan dapat mengusik kekerasan hatinya. Tujuan utamanya adalah belajar, bersosialisasi dengan lingkungan memang perlu, tetapi yang lebih penting adalah belajar dengan tekun untuk menyelesaikan pendidikan.
            Akhirnya, bukan Relina kalau ia harus merasa kalah dengan keadaan, ia hidup bersama dengan sekumpulan manusia, bukan batu. Kurang lebihnya sikap seorang warga selalu didasari oleh moral dan hati nurani, ia akan mengikuti arus dan tetap waspada supaya tidak terseret. Ia akan tetap menjadi bagian dari asrama tanpa harus kehilangan jati diri.
            Relina masih termenung duduk di kursi koridor menghadap ke arah jalan, mengikuti detik-detik paling menakjubkan ketika senja jatuh, sinar matahari berubah menjadi kuning dan secara perlahan-lahan menjelang padam. Pepohonan selalu berwarna hijau, karena daun-daun yang subur, sementara pohon hujan emas yang berbunga dengan warna kuning cerah menjuntai ke tanah pada ranting yang tinggi tampak seakan lukisan dari tangan yang maha ahli. Lantai koridor tampak mengkilat, bunga-bunga tertata rapi dengan pula dengan pot-pot gantung yang ditumbuhi aneka tanaman hias dan selalu dirawat dengan cermat. Relina sadar, ia menjadi akrab dan dimanjakan dengan suasana seperti ini. Rasa lelah setelah berputar mengelilingi asrama untuk mendapatkan tanda tangan perlahan  sirna, yang tersisa kini suasana syahdu. Relina masih tetap duduk ketika sinar matahari benar telah padam dan suasana segera berubah menjadi gelap, lampu-lampu mulai menyala dengan cahaya lemah, sebagian warga mulai bersiap mendirikan sembahyang sebagai ibadah rutin, ada yang sembahyang di kamar ada pula yang di mushola. Relina memilih ibadah di dalam kamar, Dita belum kembali dari acara jalan-jalan, Murni tengah pergi ke kota untuk segala keperluan sehari-hari. Di dalam kamar yang beraurora relung bangunan kuno, Relina sendiri. Suansana hening, gadis itu khususk dalam ritus pemujaan.
            Akhirnya terdengar suara lembut dan bening dari gending yang ditabuh dari arah belakang asrama, dari banguna milik pemerintah desa yang berfungsi khusus untuk mengembangkan seni karawitan. Suara gending semula pelan semakin lama menjadi semakin nyaring didiringi tetembangan seorang sinden dan terangkum dalam sebuah irama lagu. Relina hanyut dalam suasana malam yang tiba-tiba berubah menjadi mistis, ia tak terlibat secara langsung sebagai bagian yang berperan mengidungkan tetembangan, tetapi seakan telah terlibat pula di dalamnya.
            “Re, sedang apa?” suara Inung tiba-tiba terdengar mengejutkan Relina, gadis itu telah berdiri di depan pintu. Inung mengenakan celana jeans biru langit dan T shirt merah bata, di tangannya tergenggan buah apel yang merah dan segar terlindung kantung plastik. “Aku bawakan oleh-oleh untukmu, aku dari rumah kakakku”, Inung mengulurkan buah itu dan segera diterima Relina dengan suka cita, tanpa menunggu lebih lama gadis itu segera mengunyah apel dengan berselera.
            “Terima kasih, ah enak sekali, lebih baik setiap hari engkau datang berkunjung dengan oleh-oleh seperti ini”, Relina berucap, Inung menanggapi dengan senyum, ia sudah cukup hapal ulah sikap sahabatnya.
            “Eh Re, bagaimana dengan rencana inisiasi? Kau sudah siap? Semua warga baru akan menjalani tes mental dari pukul 13.00 WIT hari Sabtu sampai pukul 01.00 di hari Senin, waktu istirahat hanya sekitar tiga jam pada malam Minggu. Aku ngeri mendengar cerita warga yang telah menjalani”.
            “Inisiasi mungkin minggu depan, kita akan diterima secara resmi sebagai warga. Aku sudah sering mendengar tentang cerita itu, menurut mbak-mbak acara itu sekedar tes mental. Memang benar ijazah sarjana saja tidak cukup, dokumen itu cuma kertas harus ditunjang dengan mental yang kuat. Kita telah melihat masyarakat itu kejam, kita harus mampu menempatkan diri dan mempertahankan hidup di antara situasi yang kejam kemudian keluar sebagai pemenang. Maksudnya kita harus berhasil dalam hidup, mandiri, dan kuat dalam situasi yang paling buruk sekalipun. Inisiasi cuma sandiwara, seperti halnya hidup ini cuma panggung sandiwara”.
            “Re tahu dari siapa kalau inisiasi minggu depan?”
            “Mbak-mbak sendiri yang bilang, bahwa dinding asramapun bisa bicara. Kita diinisiasi bersama-sama, bukan seorang diri, kita akan susah bersama dan akan senang bersama”.
            “Kau yakin tidak gentar Re?”
            “Gentar sih gentar, tapi mau bagaimana? Siapa suruh datang ke asrama”.
            Tiba-tiba terdengar suara intercome dari ruang telepon berbunyi. “Tuuuut.........!!”
            “Ya!” seorang warga di blok E menjawab.
            “Inung, ada telepon!” terdengar suara dari dalam intercome.
            “Inung, telepon....!” Soraya, komisaris blok yang mendengar panggilan itu menjawab.
            “O iya mbak, terima kasih. Re, aku permisi dulu....” tergesa Inung berlari menuju ruang telepon yang terletak di lantai satu berdekatan dengan kamar tamu, ruangan itu sekaligus sebagai ruang administrasi yang digunakan untuk bekerja ibu asrama.
            “Okey, pasti itu telepon dari pacarmu”, Relina melepas Inung pergi, ia kembali berdiri di koridor menatap kehitaman malam yang menyembunyikan hijau warna pepohonan. Dari aula terdengar suara canda ria dan gelak tawa dari sekumpulan warga yang tengah mengikuti tayangan televisi.
            Intercome dari ruang tamu tiba-tiba berbunyi, “Tuuuut.......!!”
            “Ya!” Relina menjawab.
            “Murni ada?” terdengar suara bariton seorang laki-laki muda, pasti itu Dion, pacar Murni. Tamu laki-laki tidak diijinkan masuk ke dalam blok, bila mereka berkepentingan untuk bertemu dengan warga, maka yang bersangkutan harus memanggil melalui intercome, warga yang dipanggil akan menjawab kemudian menemui di ruang tamu.
            Dari dalam kamar dengan tergesa Soraya segera menghambur keluar, gadis itu mengenakan celana pendek menampakkan kulitnya yang putih tanpa cela dan T Shirt tipis tanpa lapisan pakaian di dalamnya. Suatu pemandangan indah bagi tamu laki-laki, sehingga peraturan asrama melarang untuk melihatnya. Soraya tahu Murni tengah pergi, ia bermaksud  “mengganggu” Dion. “Mas Dion, mbak Murni ada keluar, kenapa nggak panggil aku aja?!”
            “Kalau saya panggil Soraya nanti yang punya marah”, jawab Dion dari intercome.
            “Saya belum ada yang punya”, suara Soraya terdengar kenes.
            “Yang punya Soraya pasti orang tuanya”.
            “Orang tuaku nggak akan marah, benar. Lha wong mereka nggak tahu”.
            “Hei, Murni ada nggak?”
            “Marah ni yee.... Mbak Murni ada ke Malioboro. Aku aja yang turun ya....”.
            “Khusus untuk Soraya saya akan datang lagi dengan seorang calon suami, besok malam. Okey?” intercome mati. Soraya tertawa terpingkal-pingkal, warga blok E yang lain bermunculan dari kamar, menyumbang tawa. Suara blok itu segera meledak oleh gelak tawa, Relina tak dapat menahan diri, ia bergabung dengan suasana ramai di koridor blok. Suasana menjadi semakin ramai ketika Dita datang dengan sekranjang mangga ranum yang menerbitkan selera. Seisi blok segera ramai berpesta mangga, mereka riuh berceloteh hingga seluruh mangga habis tanpa sisa, gong dipukul pak Badi, penjaga malam delapan kali dengan suara mengejutkan. Warga blok E tahu, saat untuk bercanda ria telah selesai, jam tenang adalah saat untuk damai, untuk kembali belajar, menekuni buku dan mengerjakan serangkaian tugas.
                                                   ***
            Saat menegangkan yang disebut dengan inisiasi, rituil yang telah berlaku hampir setengah abad untuk mengukuhkan warga baru menjadi bagian dari kehidupan asrama akhirnya tiba. Warga baru menyerah dengan sistem yang telah membatu, mereka hanya dapat mengikuti satu hal, menurut dengan satu konsep: Butir pertama, senior tidak pernah bersalah; Butir kedua, apabila senior bersalah, maka lihat butir pertama! Warga baru harus memahami arti tanpa daya di tengah kehidupan yang maha luas. Kelak, ketika waktu telah berpihak dan menempatkan warga baru sebagai senior, maka mereka akan tahu betapa mahal senioritas.
            Dan segala hal yang menjadi prosesi dari inisiasi telah disepakai sebagai rahasia yang harus ditutup bersama. Sebuah rahasia yang hanya diketahui sekaligus menjadi pengalaman berharga sepanjang hidup. Tak seorangpun warga perlu atau harus menceritakan detail dari prosesi ini, terlebih mendokumentasikan kepada sesiapapun yang tidak pernah menjadi penghuni asrama!

                                                        ***


Bersambung ......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...