Kamis, 06 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, 4, Amba Ambika, dan Ambalika







Raja Santanu tersentak dari lamunan panjang seolah tanpa ujung,  ketika mencium aroma harum yang teramat dirindukan. Bhisma telah memboyong Satyawaty ke Astinapura untuk perkawinan agung ayahanda. Raja Santanu akhirnya syah dikukuhkan selaku raja dan ratu pada pesta besar yang megah, Sang Raja merasakan dua hal yang berlawanan sekaligus, bahagia, karena kerinduan akan kehadiran seorang permaisuri yang jelita terjawab. Pedih, karena ia mesti membangun kebahagiaan di atas pengorbanan seorang anak yang dicintainya. Bhisma tak akan pernah mencabut sumpah itu sekalipun Santanu memintanya. Demikian takdir hidup hari ini yang pada akhirnya akan menyuratkan takdir pada hari depan. Tak seorang pun tahu kapan dan bagaimana cerita itu menuju ujung penghabisan.
Perkawinan agung itu melahirkan dua orang pangeran Chitranggada dan Wichitrawira. Chitranggada tak dikaruniai umur yang panjang, ia tewas dalam perang melawan gandarwa tanpa memiliki seorang pun putra. Wichitrawira masih terlalu muda untuk memimpin Astinapura, Bhisma mengambil alih tugas pemerintahan, sumpah itu tak mampu menghalangi kewenangan untuk tetap menjadi sosok yang berwenang di kerajaan itu. Hingga Wichitrawira akhirnya tumbuh dewasa tiba saatnya untuk menikah, Bhisma memikul tugas itu, mencarikan calon permaisuri bagi Wichitrawira.
Syahdan, Raja Kasi memiliki tiga orang putri yang anggun dan rupawan, Amba, Ambika, dan Ambalika. Menurut adat istiadat setempat, ketiga orang putri termaksud dapat menikah dengan kesatria yang memenangkan sayembara. Bhisma memutuskan untuk bertanding dalam sayembara demi permaisuri bagi Wichitrawira. Kesaktian Bhisma amat tersohor, ia lihai dalam menggunakan aneka senjata perang. Putra Mahkota Kerajaan Kosala, Wangsa, Pundra, Kalingga, dan Raja Salwa dari Saubala semua hadir di arena sayembara dengan harapan memenangkan pertandingan, sehingga dapat memboyong Putri Kerajaan Kasi selaku permaisuri.
Semula arena sayembara amat ramai dan gegap gempita, tiga orang putri cantik duduk di panggung dalam pakaian kebesaran. Ketiganya seakan putri kembar dengan keanggunan yang serupa, sulit membandingkan kecantikan Amba, Ambika, dan Ambalika. Wajah ketiga putri itu seakan bulan purnama yang bercahaya terang kala malam bertabur bintang-bintang. Seorang kesatria rela bertanding dan berlumuran darah untuk dapat memboyong putri itu. Siapakah kiranya sang pemenang?
Suasana gegap gempita perlahan menjadi “diam” kala dengan gagah Bhisma hadir pula di tengah arena siap bertanding. Hati sekalian putra mahkota menjadi gentar, mereka tak akan mampu menandingi kesaktian Bhisma. Akan tetapi, bukankah Bhisma telah bersumpah untuk tidak menikah? Mengapa pula ia hadir di arena ini untuk memenangkan Putri Kasi? Sebagai seorang kesatria sekaligus pemangku Kerajaan Astinapura penampilan Bhisma lebih dari sekedar gagah, usia tak melunturkan ketampanannya, akan tetapi masih layakkah ia memboyong tiga orang  putri? Bhisma bukanlah kesatria muda usia, ia telah melewati waktu untuk duduk di kursi pelaminan didampingi seorang putri. Pangeran yang merasa gentar menjadi demikian galau melihat kehadiran Bhisma, kehadiran itu sesungguhnya tak dikehendaki, siapa yang bersedia kalah bertanding di hadapan putri impian? Tak seorang pun. Suara bisik-bisik mulai terdengar.
“Adakah Bhisma yang agung telah menjilat ludahnya sendiri, ikut serta bertanding memperebutkan Putri Kasi?”
“Bukankah Bhisma telah bersumpah untuk tidak menikah? Mengapa pula  harus hadir di arena ini?”
“Usianya telah lanjut untuk menjelang malam perkawinan, mengapa pula Bhisma?”
Suara itu tidak terlalu keras, akan tetapi telinga Bhisma yang tajam tak bisa melewatkan ucapan yang menyangging kehadirannya. Apakah ia harus menyampaikan sambutan, bahwa kehadiran di tempat ini adalah dalam rangka calon permaisuri bagi Wichitrawira. Darah Bhisma mendidih, ia tak sabar memulai pertandingan, ia tak sabar untuk mengalahkan satu demi satu pangeran dan kesatria dari setiap kerajaan. Usianya yang tak lagi muda belia bukan hambatan untuk tampil sebagai pemenang. Ketika pertandingan dimulai, benar Bhisma tak terkalahkan. Bhisma memenangkan pertandingan, ia bertatapan dengan seluruh pangeran di alun-alun ini, hatinya tidak nyaman. Bhisma tak ingin berlama-lama di tempat ini, masih dalam aliran darah yang mendidih ia  menyambar ketiga orang Putri Kasi, Amba, Ambika, dan Ambalika, melarikan putri jelita itu dengan kereta kuda yang dipacu kencang.
Akan tetapi, di tengah jalan Bhisma harus  menghentikan laju kereta. Raja Salwa dari Kerajaan Saubala berdiri gagah menantang Bhisma. Raja muda itu merasa hatinya amat getir, ketika menerima kenyataan Amba, dambaan hati dimenangkan oleh Bhisma yang agung. Berapa lama ia menunggu hari bahagia untuk bersanding dengan Amba di pelaminan. Adakah penantian itu harus berakhir dengan sia-sia? Raja Salwa bersuara lantang.
“Bhisma yang agung, aku meminta satu kesempatan untuk bertanding. Telah lama aku dan Putri Amba menantikan suatu hari untuk  dikukuhkan di kursi pelaminan. Kini, engkau memboyong ketiga putri  Kasi itu pergi.Bhisma, hentikan keretamu!” Raja Saubala menghunuskan pedangnya, harga dirinya terinjak dengan kemenangan Bhisma memboyong tiga orang putrid, ia pun seorang raja.
Bhisma menghentikan kereta, tak susah baginya untuk memenuhi tantangan Raja Salwa. Ia tak membuang waktu untuk meluapkan kemarahan, apa arti seorang Salwa bagi kesaktian serta kemampuannya bertanding? Amba, Ambika, dan Ambalika hanya terdiam ketakutan menyaksikan pertarungan dari jendela kereta. Betapapun elok ketiga putri itu, tetapi mereka tak berdaya apa-apa berhadapan dengan senjata perang. Wajah Amba semakin memucat, betapa ia telah bermimpi tentang suatu hari yang indah untuk bersanding dengan Raja Salwa. Kini, apa arti impian itu? Ia bahkan tak berkuasa untuk memilih dengan seorang untuk hidup bersama selama-lamanya. Ia hanya seorang putri raja yang mesti melampaui perkawinan bagi pemenang sayembara. Andai sayembara itu tak pernah ada? Andai kemampuan seorang calon suami bagi putri raja tidak harus diukur dengan kemampuannya bertanding pada sebuah sayembara? Air mata Amba mendesak keluar dari sepasang matanya yang bening, ia melihat Salwa terkapar, senjata Bhisma nyaris mengakhiri satu-satunya orang yang dicintai. Putri jelita itu menjerit.
“Bhisma yang agung, kalau ada satu permintaan, lepaskan Raja Salwa, ia telah kalah. Tidak seharusnsya seorang kesatria membunuh lawan yang telah menyerah”, kata-kata Amba singkat, tapi suara merdu yang diliputi ketakutan seketika mampu menghentikan gerakan tangan Bhisma, sesaat lengan perkasa itu terhenti di angkasa. Wajah Bhisma masih merah padam, ia adalah seorang yang berwenang penuh menentukan kehidupan di Astinapura. Akan tetapi, di alun-alun Kerajaan Kasi, ia diperbincangkan, ia tak berarti apa-apa. Bahkan sesungguhnya ditertawakan.
“Raja Salwa, pergilah….”, suara Amba diselingi sedu sedan. Ia tahu segala impiannya telah hancur dengan kehadiran Bhisma di arena sayembara. Siapa yang bersalah? Putri Jelita itu menatap Raja Salwa dengan matanya yang basah, ia melihat bayangan Raja Salwa bergerak perlahan, menjauh, dan terus menjauh. Amba merasa hatinya demikian hampa. Ia tak pernah menyangka akan berhadapan dengan satau-satunya orang yang dicintai dalam keadaan seperti ini. Siapa pula yang dapat memilih keadaan? Amba terisak, ia berdiama diri di dalam kereta tanpa sepatah kata hingga Bhisma memacu kuda sampai di Astinapura.
Sementara Ambika dan Ambalika menerima takdirnya dengan lapang hati, kedua putri itu menerima nasib sebagai calon permaisuri Wicitrawira tanpa pertentangan. Mereka tak mempersoalkan bahwa kehadiran Bhisma di arena sayembara adalah dalam rangka memenangkan Putri Kasi bagi permaisuri Wicitrawira. Bhisma telah bersumpah untuk tidak menikah, apa pula bedanya bila Bhisma tak pernah bersumpah? Seorang putri raja acapkali tak dapat memilih  kekasih hati kecuali seorang telah memenangkan sayembara. Ambika dan Ambalika menjelang hari perkawinan dengan damai, keduanya menjadi dua istri bagi seorang suami, Wicitrawira.
Akan tetapi, Amba yang keras hati tengah merasa kehilangan. Ia tak dapat mencintai keduanya Bhisma atau Wicitrawira, ia hanya bermimpi tentang Raja Salwa. Seorang raja yang gagah dan mampu meluluhkan hatinya. Dimana sekarang itu mimpi? Impiannya telah berkeping-keping, karena kesaktian Bhisma, ia seorang putri raja bahkan tak berwenang menentukan takdirnya sendiri. Dengan hormat, Amba menyatakan isi hati.
“Bhisma yang agung, benar engkau telah memenangkan sayembara itu, tapi bagaimana seorang putri dapat menikah dengan seorang pangeran yang tak dikehendaki. Lain Amba, lain Ambika, lain pula Ambalika. Apabila Ambika dan Ambalika menerima perkawinan ini dengan damai, tidak demikian dengan Amba. Raja Salwa adalah impian bagi perkawinan Amba”, suara Amba nyaris merintih, ia telah menyalahi adat, menolak hak seorang  yang memenangkan sayembara. Masih tersisa sejumput harapan untuk meraih tangan Raja Salwa, membawanya menuju perkawinan agung.
Bhisma yang teguh hati mengerti akan rintihan hati. Sementara Wicitrawira juga tak berkenan menerima Amba, karena rintihan yang sama. Pantang baginya menikahi seorang putri yang telah
merelakan hati pada calon suami yang lain. Sepasang mata tajam Bhisma menatap wajah cantik itu dalam-dalam, ia kembali terjebak pada jalan hidup yang sulit. Benar, ia tak bisa memaksa Amba untuk menerima perkawinan ini.
 “Baiklah Putri Amba, bila engkau tidak berkenan dengan perkawinan ini, aku mengantarmu kembali kepada Raja Salwa”, Bhisma masih mampu mengambil sikap bijak, memenuhi permintaan Amba, ia segera  mengantar Amba kepada Raja Salwa atas dasar permintaan itu. Akan tetapi apa jawaban Salwa?
“Amba, tidak kusangka bahwa kita masih dapat kembali dipertemukan setelah kekalahan itu. Tak dapat kupungkiri, engkaulah satu-satunya putri yang kucintai. Andai Raja Salwa adalah pemenang sayembara, akan kupersiapkan upacara perkawinan agung bagimu dan bagiku. Akan tetapi, aku hanya seorang raja yang kalah. Pantang bagiku menerima pemberian dari seorang lawan, meski perasaanku kepadamu tak akan pernah berubah untuk selama-lamanya”, Raja Salwa menerima kehadrian Bhisma dan Amba dalam suasana hati berguncang, ia masih terpukul dengan kekalahan dan kehilangan akan Amba. Calon pengantinnya yang jelita mesti pergi ke Astinapura di tangan seorang lawan yang sakti, Bhisma. Raja Salwa menatap Amba dengan pikiran kacau, sebenarnya ia tak sanggup kehilangan Amba, tetapi harus. Ia seorang raja, setiap tindakannya terikat pada adat, kekalahan dan kemenangan. Ia menerima kekalahan ini dengan pahit, amat pahit. Betapa ingin ia merengkuh lengan Putri Amba, membawa putri itu menuju hari-hari impian. Impian itu kini tengah berkeping-keping, tak seorang pun mampu menggantikan Amba, tapi tak mungkin pula ia meraihnya. Setelah kata-kata itu Raja Salwa diam tak bergeming, membiarkan hening menggantung, menggelisahkan. Ia tak perlu berucap untuk yang kedua kali.
Bhisma tahu apa yang harus dilakukan, kata-kata Salwa sangat tegas dan pasti, guratan wajahnya masih menunjukkan rasa sakit, karena kekalahan dan kehilangan. Akan tetapi, sorot matanya amat tajam, Salwa tak akan pernah mencabut ucapannya. Bhisma telah bermurah hati memenuhi permintaan Amba, demikianlah jawaban bagi kemurahan itu. Salwa menolak dengan hormat seorang putri yang pernah diharap sebagai permaisuri. Ketika berpaling menatap Amba, Bhisma dapat melihat betapa wajah Putri Kasi itu menjadi merah padam, kemudian berubah menjadi sekeras batu granit. Putri jelita itu terjungkal pada sebuah nasib yang malang, sang calon suami telah kalah dalam pertarungan, kehilangan hak atas perkawinan. Ia menolak perkawinan terhadap calon suami yang lain, ketika meminta kembali pada Salwa yang ia terima adalah penolakan, karena alasan harga diri. Raja Salwa lebih mencintai harga dirinya dari pada Putri Kasi.
Amba menahan sedu sedan, ia tak harus menangis di depan Raja Salwa. Hatinya remuk. Salwa tak sebaik seperti persangkaan selama ini. Amba tak berminat menatap raut wajah Raja Salwa meski hanya sesaat, ia seakan telah berdiri di tepi jurang, dengan satu langkah kaki ia akan segera terjatuh menuju dasar kemudian hancur tanpa bentuk. Langkah kakinya demikian limbung seakan tak menapak lantai istana ketika Bhisma mengiringnya pergi. Raja Salwa tak berucap, Amba pun tak pernah lagi menoleh, kisah cinta itu berakhir dengan memilukan sampai di sini. Amba merasa seolah sehelai daun kering yang melayang ditelantarkan angin musim, ia tak mengira sayembara untuk memenangkan putri raja akan berakhir seperti ini. Ia tak tahu lagi kemana harus menuju. Penyesalan dan kekecewaan yang dalam ia tumpahkan kepada Bhisma. Andai kesatria itu tak hadir dalam sayembara bagi permaisuri Wicitrawira, ia tak akan pernah mengalami nasib seperti ini, seorang putri yang terbuang.
“Bhisma yang agung, andai engkau tak hadir dalam sayembara, apakah Amba harus menjadi putrid terbuang seperti ini?” Amba membuka pembicaraan, keduanya telah berada di luar lingkungan istana Saubala.
“Aku hadir bagi perkawinan Wicitrawira”, Bhisma menghentikan kereta, tiba-tiba ia merasa sangat lelah. Ia mengira setelah pertemuan dengan Raja Salwa, persoalan Amba akan segera selesai.
“Tanpa sengaja engkau telah merenggut perkawinanku. Sekarang dengan siapa aku harus menikah? Kepada siapa pula aku harus berpulang?” Amba merasakan kemarahan dan kesedihan bergulat menjadi satu, ia tak punya pilihan untuk menguasai kedua perasaan itu kecuali menyatakan kepada Bhisma.
Bhisma menarik napas panjang, ia tak berniat menyusahkan nasib Amba, kini putri cantik itu seolah tak punya lagi harapan. Adakah ia harus bertanggung jawab? “Engkau bisa kembali kepada ayahanda ke Kerajaan Kasi”, jawab Bhisma singkat.
“Bhisma yang agung telah memboyongku, tahukah Amba tak lagi memiliki tempat di Kasi?” suara Amba bercampur antara sedih dan amarah, pandangan matanya menerawang jauh, andai ada gunung paling tinggi di depan, seolah ia dapat  menembusnya. Benar , ia tak memiliki lagi tempat berpulang, sebelum dan setelah Bhisma memenangkan sayembara tempat berpulang baginya tak pernah lagi sama. Andai sehelai daun, ia telah dihentakkan dari ranting, ia tak dapat lagi bertumbuh ke ranting tempatnya semula. Adapun tempat tujuan hanya wilayah antah berantah tak bertuan yang akan dituju karena tiupan angin musim.
“Apa yang engkau inginkan sekarang Putri Amba?” Bhisma menatap putri jelita itu dengan galau, wajah Amba tak mampu menyembunyikan rasa sakit dan kemarahan.
“Seharusnya engkau tak perlu hadir pada sayembara itu, biarkan Raja Salwa yang memenangkan pertarungan. Ia telah kalah, menolak kehadiranku. Tahukah bagaimana rasanya dicampakkan oleh seorang yang pernah mencintai. Aku meminta pertanggungjawaban, aku tak perduli dengan sumpah itu, secara adat Bhisma yang agung bertanggung jawab menikahiku”, Amba membuang pandang matanya jauh-jauh, ia tak pernah bermimpi menjadi istri seorang Bhisma betapapun sakti dan gagah kesatria itu. Akan tetapi, secara adat ia memenangkan sayembara, Bhisma bertanggungjawab menikahinya. Atau ia akan  menjadi putri terbuang selamanya.
Bhisma terpengarah, ia  menatap Amba dengan pandangan ganjil, ia memahami duka hati putri itu. Akan tetapi, melanggar sumpah karena memenangkan sayembara? Bhisma mengeluh, ia mengikuti sayembara bagi Wicitrawira, bukan perkawinannya. Ia tak perlu melanggar sumpah, apapun persoalan Amba. Keduanya berdiri bertatapan dalam suasana tegang, wajah Amba menjadi merah, karena dendam. Seluruh tubuh Bhisma terasa kaku.
“Amba, Putri Kasi yang jelita. Apapun alasannya aku tak dapat mencabut sumpah, menjilat ludah, menikahi seorang putri, meski berhasil memenangkan sayembara. Andai sumpah itu tak terucap, aku telah menyelenggarkan perkawinan agung bagi kita berdua, tak perlu berurusan dengan Raja Salwa. Tidak mengertikah engkau Amba?” Bhisma merasa keringat dingin perlahan menetes, ia berada dalam situasi yang sulit. Betapa cantik seorang putri yang berdiri di depannya, ia tak  menyangkal kata hati, betapa sempurna sosok Amba sebagai pengantin jelita. Kecantikan itu tak memudar, bahkan ketika Amba berada dalam suasana marah dan kesakitan.
-----------------------------------
“Penolakan Raja Salwa menyebabkan aku tak punya tempat, kecuali di sisi Bhisma, atau aku cuma putri yang malang, putri yang terbuang”, sepasang mata jeli Amba menatap lurus-lurus Bhisma, sehari-sehari mata itu senantiasa berbinar seindah batu permata. Akan tetapi bagi Bhisma, tatapan itu setajam mata pedang. Bulu  kuduk Bhisma meremang, degup jantungnya berpacu dalam irama yang kacau tak beraturan.
“Apa yang harus kulakukan, kecuali menikahimu?” Bhisma mencoba menyabarkan diri, ia tak pernah menduga, sumpah di tepi Sungai Yamuna akan berakhir menakutkan seperti ini.
“Kalau engkau tak bersedia menikahiku, hanya ada satu hal yang bisa engkau kerjakan”, suara Amba parau, ia tak yakin dapat mengubah pendirian Bhisma. Kesatria itu masih tetap tampan dan perkasa pada usia yang tak lagi muda, pengalaman hidup mengukuhkan penampilan Bhisma.
“Apa yang bisa kukerjakan?” sepasang alis mata Bhisma berkerut, ia menunggu dengan sangat untuk mengakhiri ketegangan ini. Ia berharap akan ada jalan keluar bagi seorang putri yang tengah terluka. Tiba-tiba ia merasa sangat lelah.
Tiba-tiba suasana hening, sedemikian hening, sehingga Bhisma dan Amba dapat mendengar suara lembut daun gugur diterbangkan angin. Keduanya masih berdiri bertatapan, waktu berjalan lamban, seakan lembu gemuk yang enggan bergerak. “Apa yang bisa kukerjakan Putri Amba yang jelita?” sekali lagi Bhisma bertanya.
“Membunuhku....” jawab Amba singkat, putri itu membuang pandang, ia telah mengambil keputusan. Pikirannya menjadi buntu, ia tak lagi memiliki tempat mulia sebagai putri raja kecuali Bhisma menikahinya atau ia mati, berpulang menuju keabadiaan. Sepasang mata indah itu berkaca-kaca, hati Amba mengeluh. Masihkah seorang gadis dari kalangan rakyat jelata bermimpi untuk menjadi seorang putri raja. Seorang gadis dari keluarga petani masih dapat memilih untuk menikah dengan laki-laki yang dicintai. Akan tetapi ia, putri cantik dari Kerajaan Kasi mesti menikah dengan kesatria pemenang sayembara. Ketika kemenangan itu ditujukan bagi saudara laki-laki, maka nasibnya kini tercampakkan. Wicitrawira tak akan berkenan lagi  menerima, Raja Salwa menolaknya, sementara Bhisma sang pemenang terikat sumpah. Ia hanya seorang putri yang malang.
“Amba, berpikirlah yang lurus. Tidakkah engkau dapat membangun kembali kehidupanmu sebagai saudara perempuan permaisuri di Astinapura?”
“Tak ada tempat di istana manapun bagi putri yang terbuang. Kalau Bhisma tak berkenan menikahiku, maka ia harus membunuhku”, wajah cantik Amba kembali mengeras, amarah bergejolak seakan ombak lautan yang bergemuruh. Bila Bhisma menikahinya, ia harus menjadi seorang istri bagi suami yang tak pernah dicintai, betapapun gagah dan berkuasaa kesatria itu.  Hatinya telah remuk, karena penolakan Salwa. Ambapun  ragu akan kesanggupan itu, ia tahu betapa teguh Bhisma akan sumpahnya. Amba seakan telah tahu takdir yang akan tersurat hari ini. Sementara Bhisma berdiri mematung bagai seorang manusia yang kehilangan akal, Amba memejamkan mata, ia tengah berdoa memohon keadilan  kepada Sang Maha Pencipta. Ia telah direnggut dari indah impian oleh seorang  yang telah memegang sumpah. Kehidupan baginya telah selesai.
Tubuh Bhisma menggigil, ia tak pernah menyangka, di balik paras elok seorang putri raja tersembunyi hati yang sedemikian keras melebihi batu. Dada kesatria itu terasa sesak, kesabarannya meleleh, ia telah cukup bermurah hati bagi permintan Amba. Andai Raja Salwa tak menolaknya, tugasnya berakhir sampai di sini. Kini ia harus menghadapi seorang putri raja yang marah dan sakit hati. Tak mungkin ia menjilat ludah, menikahi Amba andai ia mencintai putri itu sekalipun. Maka, ia harus memenuhi permintaan kedua, sebuah pilihan tragis dan sebenarnya tak perlu terjadi andai Amba bersedia melapangkan hati. Tangan Bhisma gemetar ketika ia meraih gendewa, merentang anak panah. Ia berniat menakut-nakuti Amba supaya Putri Kasi itu bersedia mengubah pendirian, mengakhiri ketegangan ini kemudian memulai kehidupan dengan damai.
Di pihak lain Amba tengah terhanyut pada diam yang dalam, ia adalah seorang putri yang dibekali kekuatan untuk melindungi diri, dewata tak meninggalkan kala ia sendiri tanpa seorangpun mengulurkan tangan. Sepasang mata indah itu memejam, ketika bulu matanya yang lentik mengerjab, ia dapat langsung menatap ujung anak panah Bhisma tepat mengarah ke jantungnya. Amba tidak menjadi takut, bibirnya yang mungil dan lembut tersenyum, seolah mengejek pendirian Bhisma  yang  berakibat buruk bagi nasib orang lain. “Bhisma yang agung memilih membunuhku, lepaskan anak panahmu, sudahi sayembara itu,” Amba tetap berdiri menantang di depan Bisma, tak selangkah pun undur. Ia masih dapat menatap hijau daun yang mengombak, karena hembusan angin, debu-debu yang melayang tanpa tuju, dan detak jantungnya yang lelah.
“Amba Putri Raja Kasi yang cantik jelita, pergilah, masih ada kesempatan kedua meraih impian”, suara Bhisma kering ketika membujuk Amba, ia benar-benar cemas dan putus asa, ia sangat berharap Amba menjadi takut kemudian mengambil langkah menyudahi ketegangan ini. akan tetapi, harapan itu kandas. Senyum lembut yang tersungging di bibir Amba berubah seakan lidah api yang membakar kemarahannya
“Maaf sekali Bhisma yang Agung, tak selangkah pun aku akan mundur. Jelas engkau menolakku, lepaskan anak panahmu”, Amba membuang pandang, tatapannya mengabur hijau daun perlahan-lahan berubah menjadi kabut, semakin tebal dan dingin. Ia tak bergeming ketika kabut itu berubah seakan belalai gurita dengan kuat menjeratnya. Amba berdiri dengan anggun, bayang tubuhnya yang ramping menawan nyaris menggoyahkan hati Bhisma.
Anak panah masih terentang, mulut Bhisma membungkam, diam-diam ia mengagumi pendirian putri cantik itu, tetapi tangannya seakan enggan diturunkan. Angin seakan mati ketika Bhisma melepas anak panah di luar kendali. Tenggorokan Bhisma tercekik ketika anak panah itu melesat melebihi kecepata cahaya, menembus dada Amba, darah segar mengucur, sekejab Amba tersenyum sesaat kemudian tubuh molek itu roboh di atas debu. Bhisma terpekik, kesatria ia dihantui rasa bersalah dan penyesalan ketika memburu tubuh malang Amba, memangku kepalanya. Tangannya yang kekar menggenggam telapak Amba, keringat dingin membanjir.
Bhisma menatap sayu mata Amba yang nyaris kehilangan cahaya, napas putri itu memburu. Hati Bhisma tercabik, ia seolah merasakan kesakitan sama dari seorang yang tengah meregang nyawa. Darah terus membanjir, menodai pakaian Bhisma. Kesatria itu tetap berusaha tabah kala mendengarkan kata-kata terakhir Amba. “Bhisma yang agung, engkau memilih membunuhku, karena sumpah itu. Saat yang kutunggu sebagai bahagia hari perkawinan berbalik menjadi hari kematian. Ketahuilah sumpah yang engkau ucap, tak akan pernah mengubah takdir, pertikaian antara keturunan Bharata tak akan terhindarkan. Engkau sedemikian sakti, maka tak satupun senjata perang dapat menewaskanmu. Akan tetapi, kelak pada perang besar di Padang Kurusetra, aku akan menitis pada diri seorang kesatria perempuan, Srikandi. Ingatlah, kehadiran Srikandi adalah kematian bagimu .....” suara Amba terpatah-patah bercampur dengan rintihan, tetapi masih cukup jelas bagi Bhisma. Tubuh kesatria itu bergetar, ia tak menyangkal kebenaran kata-kata Amba.
“Amba, maafkan aku .....” kata-kata Bhisma terhenti, tangannya semakin erat menggenggam telapak Amba. Putri cantik itu tengah berjuang bagi hembusan napas yang terakhir, matanya semakin sayu kala menatap Bhisma.
Amba ingin kembali berucap, akan tetapi ia tak lagi memiliki sisa tenaga untuk napas selanjutnya, rasa sakit di dada mendesak demikian kuat, tubuhnya lumpuh. Ia masih dapat melihat wajah Bhisma yang diliputi penyesalan, kemudian kabut bergulung-gulung semakin tebal, semakin tebal mengungkungnya serupa peti mati. Udara melebihi puluhan tahun musim dingin yang pernah dilampaui, tubuh Amba meregang, ia terjebak dalam rasa sakit tak terperi. Putri Kasi itu merintih, merintih tak lama kemudian tubuh molek itu terkulai berlumuran darah, menyeret Bhisma menuju penyesalan panjang.
Di alam lain Amba melihat tubuhnya terkulai berlumuran darah di pangkuan Bhisma, ia telah mati ....

                                                                                          ***


Bersambung .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...