Raja Santanu tersentak dari lamunan panjang seolah tanpa ujung, ketika
mencium aroma harum yang teramat dirindukan. Bhisma telah memboyong
Satyawaty ke Astinapura untuk perkawinan agung ayahanda. Raja Santanu
akhirnya syah dikukuhkan selaku raja dan ratu pada pesta besar yang
megah, Sang Raja merasakan dua hal yang berlawanan sekaligus, bahagia,
karena kerinduan akan kehadiran seorang permaisuri yang jelita terjawab.
Pedih, karena ia mesti membangun kebahagiaan di atas pengorbanan
seorang anak yang dicintainya. Bhisma tak akan pernah mencabut sumpah
itu sekalipun Santanu memintanya. Demikian takdir hidup hari ini yang
pada akhirnya akan menyuratkan takdir pada hari depan. Tak seorang pun
tahu kapan dan bagaimana cerita itu menuju ujung penghabisan.
Perkawinan agung itu melahirkan dua orang pangeran Chitranggada
dan Wichitrawira. Chitranggada tak dikaruniai umur yang panjang, ia
tewas dalam perang melawan gandarwa tanpa memiliki seorang pun
putra. Wichitrawira masih terlalu muda untuk memimpin Astinapura, Bhisma
mengambil alih tugas pemerintahan, sumpah itu tak mampu menghalangi
kewenangan untuk tetap menjadi sosok yang berwenang di kerajaan itu.
Hingga Wichitrawira akhirnya tumbuh dewasa tiba saatnya untuk menikah,
Bhisma memikul tugas itu, mencarikan calon permaisuri bagi Wichitrawira.
Syahdan, Raja Kasi memiliki tiga orang putri yang anggun dan
rupawan, Amba, Ambika, dan Ambalika. Menurut adat istiadat setempat,
ketiga orang putri termaksud dapat menikah dengan kesatria yang
memenangkan sayembara. Bhisma memutuskan untuk bertanding dalam
sayembara demi permaisuri bagi Wichitrawira. Kesaktian Bhisma amat
tersohor, ia lihai dalam menggunakan aneka senjata perang. Putra Mahkota
Kerajaan Kosala, Wangsa, Pundra, Kalingga, dan Raja Salwa dari Saubala
semua hadir di arena sayembara dengan harapan memenangkan pertandingan,
sehingga dapat memboyong Putri Kerajaan Kasi selaku permaisuri.
Semula arena sayembara amat ramai dan gegap gempita, tiga orang
putri cantik duduk di panggung dalam pakaian kebesaran. Ketiganya
seakan putri kembar dengan keanggunan yang serupa, sulit membandingkan
kecantikan Amba, Ambika, dan Ambalika. Wajah ketiga putri itu seakan
bulan purnama yang bercahaya terang kala malam bertabur bintang-bintang.
Seorang kesatria rela bertanding dan berlumuran darah untuk dapat
memboyong putri itu. Siapakah kiranya sang pemenang?
Suasana gegap gempita perlahan menjadi “diam” kala dengan gagah
Bhisma hadir pula di tengah arena siap bertanding. Hati sekalian putra
mahkota menjadi gentar, mereka tak akan mampu menandingi kesaktian
Bhisma. Akan tetapi, bukankah Bhisma telah bersumpah untuk tidak
menikah? Mengapa pula ia hadir di arena ini untuk memenangkan Putri
Kasi? Sebagai seorang kesatria sekaligus pemangku Kerajaan Astinapura
penampilan Bhisma lebih dari sekedar gagah, usia tak melunturkan
ketampanannya, akan tetapi masih layakkah ia memboyong tiga orang putri?
Bhisma bukanlah kesatria muda usia, ia telah melewati waktu untuk duduk
di kursi pelaminan didampingi seorang putri. Pangeran yang merasa
gentar menjadi demikian galau melihat kehadiran Bhisma, kehadiran itu
sesungguhnya tak dikehendaki, siapa yang bersedia kalah bertanding di
hadapan putri impian? Tak seorang pun. Suara bisik-bisik mulai
terdengar.
“Adakah Bhisma yang agung telah menjilat ludahnya sendiri, ikut serta bertanding memperebutkan Putri Kasi?”
“Bukankah Bhisma telah bersumpah untuk tidak menikah? Mengapa pula harus hadir di arena ini?”
“Usianya telah lanjut untuk menjelang malam perkawinan, mengapa pula Bhisma?”
Suara itu tidak terlalu keras, akan tetapi telinga Bhisma yang
tajam tak bisa melewatkan ucapan yang menyangging kehadirannya. Apakah
ia harus menyampaikan sambutan, bahwa kehadiran di tempat ini adalah
dalam rangka calon permaisuri bagi Wichitrawira. Darah Bhisma mendidih,
ia tak sabar memulai pertandingan, ia tak sabar untuk mengalahkan satu
demi satu pangeran dan kesatria dari setiap kerajaan. Usianya yang tak
lagi muda belia bukan hambatan untuk tampil sebagai pemenang. Ketika
pertandingan dimulai, benar Bhisma tak terkalahkan. Bhisma memenangkan
pertandingan, ia bertatapan dengan seluruh pangeran di alun-alun ini,
hatinya tidak nyaman. Bhisma tak ingin berlama-lama di tempat ini, masih
dalam aliran darah yang mendidih ia menyambar ketiga
orang Putri Kasi, Amba, Ambika, dan Ambalika, melarikan putri jelita itu
dengan kereta kuda yang dipacu kencang.
Akan tetapi, di tengah jalan Bhisma harus menghentikan
laju kereta. Raja Salwa dari Kerajaan Saubala berdiri gagah menantang
Bhisma. Raja muda itu merasa hatinya amat getir, ketika menerima
kenyataan Amba, dambaan hati dimenangkan oleh Bhisma yang agung. Berapa
lama ia menunggu hari bahagia untuk bersanding dengan Amba di pelaminan.
Adakah penantian itu harus berakhir dengan sia-sia? Raja Salwa bersuara
lantang.
“Bhisma yang agung, aku meminta satu kesempatan untuk bertanding. Telah lama aku dan Putri Amba menantikan suatu hari untuk dikukuhkan di kursi pelaminan. Kini, engkau memboyong ketiga putri Kasi
itu pergi.Bhisma, hentikan keretamu!” Raja Saubala menghunuskan
pedangnya, harga dirinya terinjak dengan kemenangan Bhisma memboyong
tiga orang putrid, ia pun seorang raja.
Bhisma menghentikan kereta, tak susah baginya untuk memenuhi
tantangan Raja Salwa. Ia tak membuang waktu untuk meluapkan kemarahan,
apa arti seorang Salwa bagi kesaktian serta kemampuannya bertanding?
Amba, Ambika, dan Ambalika hanya terdiam ketakutan menyaksikan
pertarungan dari jendela kereta. Betapapun elok ketiga putri itu, tetapi
mereka tak berdaya apa-apa berhadapan dengan senjata perang. Wajah Amba
semakin memucat, betapa ia telah bermimpi tentang suatu hari yang indah
untuk bersanding dengan Raja Salwa. Kini, apa arti impian itu? Ia
bahkan tak berkuasa untuk memilih dengan seorang untuk hidup bersama
selama-lamanya. Ia hanya seorang putri raja yang mesti melampaui
perkawinan bagi pemenang sayembara. Andai sayembara itu tak pernah ada?
Andai kemampuan seorang calon suami bagi putri raja tidak harus diukur
dengan kemampuannya bertanding pada sebuah sayembara? Air mata Amba
mendesak keluar dari sepasang matanya yang bening, ia melihat Salwa
terkapar, senjata Bhisma nyaris mengakhiri satu-satunya orang yang
dicintai. Putri jelita itu menjerit.
“Bhisma yang agung, kalau ada satu permintaan, lepaskan Raja
Salwa, ia telah kalah. Tidak seharusnsya seorang kesatria membunuh lawan
yang telah menyerah”, kata-kata Amba singkat, tapi suara merdu yang
diliputi ketakutan seketika mampu menghentikan gerakan tangan Bhisma,
sesaat lengan perkasa itu terhenti di angkasa. Wajah Bhisma masih merah
padam, ia adalah seorang yang berwenang penuh menentukan kehidupan di
Astinapura. Akan tetapi, di alun-alun Kerajaan Kasi, ia diperbincangkan,
ia tak berarti apa-apa. Bahkan sesungguhnya ditertawakan.
“Raja Salwa, pergilah….”, suara Amba diselingi sedu sedan. Ia
tahu segala impiannya telah hancur dengan kehadiran Bhisma di arena
sayembara. Siapa yang bersalah? Putri Jelita itu menatap Raja Salwa
dengan matanya yang basah, ia melihat bayangan Raja Salwa bergerak
perlahan, menjauh, dan terus menjauh. Amba merasa hatinya demikian
hampa. Ia tak pernah menyangka akan berhadapan dengan satau-satunya
orang yang dicintai dalam keadaan seperti ini. Siapa pula yang dapat
memilih keadaan? Amba terisak, ia berdiama diri di dalam kereta tanpa
sepatah kata hingga Bhisma memacu kuda sampai di Astinapura.
Sementara Ambika dan Ambalika menerima takdirnya dengan lapang
hati, kedua putri itu menerima nasib sebagai calon permaisuri
Wicitrawira tanpa pertentangan. Mereka tak mempersoalkan bahwa kehadiran
Bhisma di arena sayembara adalah dalam rangka memenangkan Putri Kasi
bagi permaisuri Wicitrawira. Bhisma telah bersumpah untuk tidak menikah,
apa pula bedanya bila Bhisma tak pernah bersumpah? Seorang putri raja
acapkali tak dapat memilih kekasih hati kecuali seorang
telah memenangkan sayembara. Ambika dan Ambalika menjelang hari
perkawinan dengan damai, keduanya menjadi dua istri bagi seorang suami,
Wicitrawira.
Akan tetapi, Amba yang keras hati tengah merasa kehilangan. Ia
tak dapat mencintai keduanya Bhisma atau Wicitrawira, ia hanya bermimpi
tentang Raja Salwa. Seorang raja yang gagah dan mampu meluluhkan
hatinya. Dimana sekarang itu mimpi? Impiannya telah berkeping-keping,
karena kesaktian Bhisma, ia seorang putri raja bahkan tak berwenang
menentukan takdirnya sendiri. Dengan hormat, Amba menyatakan isi hati.
“Bhisma yang agung, benar engkau telah memenangkan sayembara
itu, tapi bagaimana seorang putri dapat menikah dengan seorang pangeran
yang tak dikehendaki. Lain Amba, lain Ambika, lain pula Ambalika.
Apabila Ambika dan Ambalika menerima perkawinan ini dengan damai, tidak
demikian dengan Amba. Raja Salwa adalah impian bagi perkawinan Amba”,
suara Amba nyaris merintih, ia telah menyalahi adat, menolak hak seorang yang memenangkan sayembara. Masih tersisa sejumput harapan untuk meraih tangan Raja Salwa, membawanya menuju perkawinan agung.
Bhisma yang teguh hati mengerti akan rintihan hati. Sementara
Wicitrawira juga tak berkenan menerima Amba, karena rintihan yang sama.
Pantang baginya menikahi seorang putri yang telah
merelakan hati pada calon suami yang lain. Sepasang mata tajam
Bhisma menatap wajah cantik itu dalam-dalam, ia kembali terjebak pada
jalan hidup yang sulit. Benar, ia tak bisa memaksa Amba untuk menerima
perkawinan ini.
“Baiklah Putri Amba, bila engkau tidak berkenan
dengan perkawinan ini, aku mengantarmu kembali kepada Raja Salwa”,
Bhisma masih mampu mengambil sikap bijak, memenuhi permintaan Amba, ia
segera mengantar Amba kepada Raja Salwa atas dasar permintaan itu. Akan tetapi apa jawaban Salwa?
“Amba, tidak kusangka bahwa kita masih dapat kembali
dipertemukan setelah kekalahan itu. Tak dapat kupungkiri, engkaulah
satu-satunya putri yang kucintai. Andai Raja Salwa adalah pemenang
sayembara, akan kupersiapkan upacara perkawinan agung bagimu dan bagiku.
Akan tetapi, aku hanya seorang raja yang kalah. Pantang bagiku menerima
pemberian dari seorang lawan, meski perasaanku kepadamu tak akan pernah
berubah untuk selama-lamanya”, Raja Salwa menerima kehadrian Bhisma dan
Amba dalam suasana hati berguncang, ia masih terpukul dengan kekalahan
dan kehilangan akan Amba. Calon pengantinnya yang jelita mesti pergi ke
Astinapura di tangan seorang lawan yang sakti, Bhisma. Raja Salwa
menatap Amba dengan pikiran kacau, sebenarnya ia tak sanggup kehilangan
Amba, tetapi harus. Ia seorang raja, setiap tindakannya terikat pada
adat, kekalahan dan kemenangan. Ia menerima kekalahan ini dengan pahit,
amat pahit. Betapa ingin ia merengkuh lengan Putri Amba, membawa putri
itu menuju hari-hari impian. Impian itu kini tengah berkeping-keping,
tak seorang pun mampu menggantikan Amba, tapi tak mungkin pula ia
meraihnya. Setelah kata-kata itu Raja Salwa diam tak bergeming,
membiarkan hening menggantung, menggelisahkan. Ia tak perlu berucap
untuk yang kedua kali.
Bhisma tahu apa yang harus dilakukan, kata-kata Salwa sangat
tegas dan pasti, guratan wajahnya masih menunjukkan rasa sakit, karena
kekalahan dan kehilangan. Akan tetapi, sorot matanya amat tajam, Salwa
tak akan pernah mencabut ucapannya. Bhisma telah bermurah hati memenuhi
permintaan Amba, demikianlah jawaban bagi kemurahan itu. Salwa menolak
dengan hormat seorang putri yang pernah diharap sebagai permaisuri.
Ketika berpaling menatap Amba, Bhisma dapat melihat betapa wajah Putri
Kasi itu menjadi merah padam, kemudian berubah menjadi sekeras batu
granit. Putri jelita itu terjungkal pada sebuah nasib yang malang, sang
calon suami telah kalah dalam pertarungan, kehilangan hak atas
perkawinan. Ia menolak perkawinan terhadap calon suami yang lain, ketika
meminta kembali pada Salwa yang ia terima adalah penolakan, karena
alasan harga diri. Raja Salwa lebih mencintai harga dirinya dari pada
Putri Kasi.
Amba menahan sedu sedan, ia tak harus menangis di depan Raja
Salwa. Hatinya remuk. Salwa tak sebaik seperti persangkaan selama ini.
Amba tak berminat menatap raut wajah Raja Salwa meski hanya sesaat, ia
seakan telah berdiri di tepi jurang, dengan satu langkah kaki ia akan
segera terjatuh menuju dasar kemudian hancur tanpa bentuk. Langkah
kakinya demikian limbung seakan tak menapak lantai istana ketika Bhisma
mengiringnya pergi. Raja Salwa tak berucap, Amba pun tak pernah lagi
menoleh, kisah cinta itu berakhir dengan memilukan sampai di sini. Amba
merasa seolah sehelai daun kering yang melayang ditelantarkan angin
musim, ia tak mengira sayembara untuk memenangkan putri raja akan
berakhir seperti ini. Ia tak tahu lagi kemana harus menuju. Penyesalan
dan kekecewaan yang dalam ia tumpahkan kepada Bhisma. Andai kesatria itu
tak hadir dalam sayembara bagi permaisuri Wicitrawira, ia tak akan
pernah mengalami nasib seperti ini, seorang putri yang terbuang.
“Bhisma yang agung, andai engkau tak hadir dalam sayembara,
apakah Amba harus menjadi putrid terbuang seperti ini?” Amba membuka
pembicaraan, keduanya telah berada di luar lingkungan istana Saubala.
“Aku hadir bagi perkawinan Wicitrawira”, Bhisma menghentikan
kereta, tiba-tiba ia merasa sangat lelah. Ia mengira setelah pertemuan
dengan Raja Salwa, persoalan Amba akan segera selesai.
“Tanpa sengaja engkau telah merenggut perkawinanku. Sekarang
dengan siapa aku harus menikah? Kepada siapa pula aku harus berpulang?”
Amba merasakan kemarahan dan kesedihan bergulat menjadi satu, ia tak
punya pilihan untuk menguasai kedua perasaan itu kecuali menyatakan
kepada Bhisma.
Bhisma menarik napas panjang, ia tak berniat menyusahkan nasib
Amba, kini putri cantik itu seolah tak punya lagi harapan. Adakah ia
harus bertanggung jawab? “Engkau bisa kembali kepada ayahanda ke
Kerajaan Kasi”, jawab Bhisma singkat.
“Bhisma yang agung telah memboyongku, tahukah Amba tak lagi
memiliki tempat di Kasi?” suara Amba bercampur antara sedih dan amarah,
pandangan matanya menerawang jauh, andai ada gunung paling tinggi di
depan, seolah ia dapat menembusnya. Benar , ia tak
memiliki lagi tempat berpulang, sebelum dan setelah Bhisma memenangkan
sayembara tempat berpulang baginya tak pernah lagi sama. Andai sehelai
daun, ia telah dihentakkan dari ranting, ia tak dapat lagi bertumbuh ke
ranting tempatnya semula. Adapun tempat tujuan hanya wilayah antah
berantah tak bertuan yang akan dituju karena tiupan angin musim.
“Apa yang engkau inginkan sekarang Putri Amba?” Bhisma menatap
putri jelita itu dengan galau, wajah Amba tak mampu menyembunyikan rasa
sakit dan kemarahan.
“Seharusnya engkau tak perlu hadir pada sayembara itu, biarkan
Raja Salwa yang memenangkan pertarungan. Ia telah kalah, menolak
kehadiranku. Tahukah bagaimana rasanya dicampakkan oleh seorang yang
pernah mencintai. Aku meminta pertanggungjawaban, aku tak perduli dengan
sumpah itu, secara adat Bhisma yang agung bertanggung jawab
menikahiku”, Amba membuang pandang matanya jauh-jauh, ia tak pernah
bermimpi menjadi istri seorang Bhisma betapapun sakti dan gagah kesatria
itu. Akan tetapi, secara adat ia memenangkan sayembara, Bhisma
bertanggungjawab menikahinya. Atau ia akan menjadi putri terbuang selamanya.
Bhisma terpengarah, ia menatap Amba dengan
pandangan ganjil, ia memahami duka hati putri itu. Akan tetapi,
melanggar sumpah karena memenangkan sayembara? Bhisma mengeluh, ia
mengikuti sayembara bagi Wicitrawira, bukan perkawinannya. Ia tak perlu
melanggar sumpah, apapun persoalan Amba. Keduanya berdiri bertatapan
dalam suasana tegang, wajah Amba menjadi merah, karena dendam. Seluruh
tubuh Bhisma terasa kaku.
“Amba, Putri Kasi yang jelita. Apapun alasannya aku tak dapat
mencabut sumpah, menjilat ludah, menikahi seorang putri, meski berhasil
memenangkan sayembara. Andai sumpah itu tak terucap, aku telah
menyelenggarkan perkawinan agung bagi kita berdua, tak perlu berurusan
dengan Raja Salwa. Tidak mengertikah engkau Amba?” Bhisma merasa
keringat dingin perlahan menetes, ia berada dalam situasi yang sulit.
Betapa cantik seorang putri yang berdiri di depannya, ia tak menyangkal
kata hati, betapa sempurna sosok Amba sebagai pengantin jelita.
Kecantikan itu tak memudar, bahkan ketika Amba berada dalam suasana
marah dan kesakitan.
-----------------------------------
“Penolakan Raja Salwa menyebabkan aku tak punya tempat, kecuali
di sisi Bhisma, atau aku cuma putri yang malang, putri yang terbuang”,
sepasang mata jeli Amba menatap lurus-lurus Bhisma, sehari-sehari mata
itu senantiasa berbinar seindah batu permata. Akan tetapi bagi Bhisma,
tatapan itu setajam mata pedang. Bulu kuduk Bhisma meremang, degup jantungnya berpacu dalam irama yang kacau tak beraturan.
“Apa yang harus kulakukan, kecuali menikahimu?” Bhisma mencoba
menyabarkan diri, ia tak pernah menduga, sumpah di tepi Sungai Yamuna
akan berakhir menakutkan seperti ini.
“Kalau engkau tak bersedia menikahiku, hanya ada satu hal yang
bisa engkau kerjakan”, suara Amba parau, ia tak yakin dapat mengubah
pendirian Bhisma. Kesatria itu masih tetap tampan dan perkasa pada usia
yang tak lagi muda, pengalaman hidup mengukuhkan penampilan Bhisma.
“Apa yang bisa kukerjakan?” sepasang alis mata Bhisma berkerut,
ia menunggu dengan sangat untuk mengakhiri ketegangan ini. Ia berharap
akan ada jalan keluar bagi seorang putri yang tengah terluka. Tiba-tiba
ia merasa sangat lelah.
Tiba-tiba suasana hening, sedemikian hening, sehingga Bhisma
dan Amba dapat mendengar suara lembut daun gugur diterbangkan angin.
Keduanya masih berdiri bertatapan, waktu berjalan lamban, seakan lembu
gemuk yang enggan bergerak. “Apa yang bisa kukerjakan Putri Amba yang
jelita?” sekali lagi Bhisma bertanya.
“Membunuhku....” jawab Amba singkat, putri itu membuang
pandang, ia telah mengambil keputusan. Pikirannya menjadi buntu, ia tak
lagi memiliki tempat mulia sebagai putri raja kecuali Bhisma menikahinya
atau ia mati, berpulang menuju keabadiaan. Sepasang mata indah itu
berkaca-kaca, hati Amba mengeluh. Masihkah seorang gadis dari kalangan
rakyat jelata bermimpi untuk menjadi seorang putri raja. Seorang gadis
dari keluarga petani masih dapat memilih untuk menikah dengan laki-laki
yang dicintai. Akan tetapi ia, putri cantik dari Kerajaan Kasi mesti
menikah dengan kesatria pemenang sayembara. Ketika kemenangan itu
ditujukan bagi saudara laki-laki, maka nasibnya kini tercampakkan.
Wicitrawira tak akan berkenan lagi menerima, Raja Salwa menolaknya, sementara Bhisma sang pemenang terikat sumpah. Ia hanya seorang putri yang malang.
“Amba, berpikirlah yang lurus. Tidakkah engkau dapat membangun
kembali kehidupanmu sebagai saudara perempuan permaisuri di Astinapura?”
“Tak ada tempat di istana manapun bagi putri yang terbuang.
Kalau Bhisma tak berkenan menikahiku, maka ia harus membunuhku”, wajah
cantik Amba kembali mengeras, amarah bergejolak seakan ombak lautan yang
bergemuruh. Bila Bhisma menikahinya, ia harus menjadi seorang istri
bagi suami yang tak pernah dicintai, betapapun gagah dan berkuasaa
kesatria itu. Hatinya telah remuk, karena penolakan Salwa. Ambapun ragu
akan kesanggupan itu, ia tahu betapa teguh Bhisma akan sumpahnya. Amba
seakan telah tahu takdir yang akan tersurat hari ini. Sementara Bhisma
berdiri mematung bagai seorang manusia yang kehilangan akal, Amba
memejamkan mata, ia tengah berdoa memohon keadilan kepada Sang Maha Pencipta. Ia telah direnggut dari indah impian oleh seorang yang telah memegang sumpah. Kehidupan baginya telah selesai.
Tubuh Bhisma menggigil, ia tak pernah menyangka, di balik paras
elok seorang putri raja tersembunyi hati yang sedemikian keras melebihi
batu. Dada kesatria itu terasa sesak, kesabarannya meleleh, ia telah
cukup bermurah hati bagi permintan Amba. Andai Raja Salwa tak
menolaknya, tugasnya berakhir sampai di sini. Kini ia harus menghadapi
seorang putri raja yang marah dan sakit hati. Tak mungkin ia menjilat
ludah, menikahi Amba andai ia mencintai putri itu sekalipun. Maka, ia
harus memenuhi permintaan kedua, sebuah pilihan tragis dan sebenarnya
tak perlu terjadi andai Amba bersedia melapangkan hati. Tangan Bhisma
gemetar ketika ia meraih gendewa, merentang anak panah. Ia berniat
menakut-nakuti Amba supaya Putri Kasi itu bersedia mengubah pendirian,
mengakhiri ketegangan ini kemudian memulai kehidupan dengan damai.
Di pihak lain Amba tengah terhanyut pada diam yang dalam, ia
adalah seorang putri yang dibekali kekuatan untuk melindungi diri,
dewata tak meninggalkan kala ia sendiri tanpa seorangpun mengulurkan
tangan. Sepasang mata indah itu memejam, ketika bulu matanya yang lentik
mengerjab, ia dapat langsung menatap ujung anak panah Bhisma tepat
mengarah ke jantungnya. Amba tidak menjadi takut, bibirnya yang mungil
dan lembut tersenyum, seolah mengejek pendirian Bhisma yang berakibat
buruk bagi nasib orang lain. “Bhisma yang agung memilih membunuhku,
lepaskan anak panahmu, sudahi sayembara itu,” Amba tetap berdiri
menantang di depan Bisma, tak selangkah pun undur. Ia masih dapat
menatap hijau daun yang mengombak, karena hembusan angin, debu-debu yang
melayang tanpa tuju, dan detak jantungnya yang lelah.
“Amba Putri Raja Kasi yang cantik jelita, pergilah, masih ada
kesempatan kedua meraih impian”, suara Bhisma kering ketika membujuk
Amba, ia benar-benar cemas dan putus asa, ia sangat berharap Amba
menjadi takut kemudian mengambil langkah menyudahi ketegangan ini. akan
tetapi, harapan itu kandas. Senyum lembut yang tersungging di bibir Amba
berubah seakan lidah api yang membakar kemarahannya
“Maaf sekali Bhisma yang Agung, tak selangkah pun aku akan
mundur. Jelas engkau menolakku, lepaskan anak panahmu”, Amba membuang
pandang, tatapannya mengabur hijau daun perlahan-lahan berubah menjadi
kabut, semakin tebal dan dingin. Ia tak bergeming ketika kabut itu
berubah seakan belalai gurita dengan kuat menjeratnya. Amba berdiri
dengan anggun, bayang tubuhnya yang ramping menawan nyaris menggoyahkan
hati Bhisma.
Anak panah masih terentang, mulut Bhisma membungkam, diam-diam
ia mengagumi pendirian putri cantik itu, tetapi tangannya seakan enggan
diturunkan. Angin seakan mati ketika Bhisma melepas anak panah di luar
kendali. Tenggorokan Bhisma tercekik ketika anak panah itu melesat
melebihi kecepata cahaya, menembus dada Amba, darah segar mengucur,
sekejab Amba tersenyum sesaat kemudian tubuh molek itu roboh di atas
debu. Bhisma terpekik, kesatria ia dihantui rasa bersalah dan penyesalan
ketika memburu tubuh malang Amba, memangku kepalanya. Tangannya yang
kekar menggenggam telapak Amba, keringat dingin membanjir.
Bhisma menatap sayu mata Amba yang nyaris kehilangan cahaya,
napas putri itu memburu. Hati Bhisma tercabik, ia seolah merasakan
kesakitan sama dari seorang yang tengah meregang nyawa. Darah terus
membanjir, menodai pakaian Bhisma. Kesatria itu tetap berusaha tabah
kala mendengarkan kata-kata terakhir Amba. “Bhisma yang agung, engkau
memilih membunuhku, karena sumpah itu. Saat yang kutunggu sebagai
bahagia hari perkawinan berbalik menjadi hari kematian. Ketahuilah
sumpah yang engkau ucap, tak akan pernah mengubah takdir, pertikaian
antara keturunan Bharata tak akan terhindarkan. Engkau sedemikian sakti,
maka tak satupun senjata perang dapat menewaskanmu. Akan tetapi, kelak
pada perang besar di Padang Kurusetra, aku akan menitis pada diri
seorang kesatria perempuan, Srikandi. Ingatlah, kehadiran Srikandi
adalah kematian bagimu .....” suara Amba terpatah-patah bercampur dengan
rintihan, tetapi masih cukup jelas bagi Bhisma. Tubuh kesatria itu
bergetar, ia tak menyangkal kebenaran kata-kata Amba.
“Amba, maafkan aku .....” kata-kata Bhisma terhenti, tangannya
semakin erat menggenggam telapak Amba. Putri cantik itu tengah berjuang
bagi hembusan napas yang terakhir, matanya semakin sayu kala menatap
Bhisma.
Amba ingin kembali berucap, akan tetapi ia tak lagi memiliki
sisa tenaga untuk napas selanjutnya, rasa sakit di dada mendesak
demikian kuat, tubuhnya lumpuh. Ia masih dapat melihat wajah Bhisma yang
diliputi penyesalan, kemudian kabut bergulung-gulung semakin tebal,
semakin tebal mengungkungnya serupa peti mati. Udara melebihi puluhan
tahun musim dingin yang pernah dilampaui, tubuh Amba meregang, ia
terjebak dalam rasa sakit tak terperi. Putri Kasi itu merintih, merintih
tak lama kemudian tubuh molek itu terkulai berlumuran darah, menyeret
Bhisma menuju penyesalan panjang.
Di alam lain Amba melihat tubuhnya terkulai berlumuran darah di pangkuan Bhisma, ia telah mati ....
***
Bersambung .....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar