Minggu, 02 Juni 2019

SCARLET HEART, RYEO --Roman di Bawah Absolut Monarki-- SEMBILAN BELAS

  



 
Hae Soo termenung di istana Istana Damiwon, ia tak dapat memastikan, apakah ia akan sanggup lebih lama menetap di istana sebagai kekasih raja. Benar, ia mendapatkan cinta seorang raja. Suatu hal yang Ratu Goryeo pun tidak akan pernah memiliki. Akan tetapi, kematian demi kematian telah ia saksikan. Raja Taejo meninggal dalam usia tua dengan gelisah akan nasib Goryeo, karena para pangeran berebut tahta. Raja Wang Mo tewas mengenaskan di tangan Pangeran Wang Yo. Pangeran Wang Eun serta Park Seon Duuk tewas berlumuran darah atas perintah Raja Wang Yo. Akhirnya Raja Wang Yo meninggal terbunuh rasa takut akan segala kesalahan. Kematian demi kematian itu sangat memilukan. Kini, Chae Ryung dayang malang yang telah diakui sebagai saudara kandung, karena kebaikan serta kepolosan sikapnya pergi selama-lamanya setelah hukuman mati yang mengerikan. Benarkah dayang malang itu seorang pengkhianat? Chae Ryung terlalu tolol untuk berkhinat. Ada yang remuk serta gerah di relung hati, maka Hae Soo hanya terdiam, mereka-reka apa yang sebaiknya dapat dikerjakan?
“Engkau tidak sepenuhnya sehat, mengapa duduk di luar. Ayo kembali ke dalam ….” Raja Wang So mengulurkan tangan, ia selalu menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan kekasihnya.
“Aku tak akan kembali ke kamar itu”, suara Hae Soo lemah, tetapi cukup menunjukkan sebuah jawaban.
“ Chae Ryung  sudah mengkhianatimu, tidak pernah jujur padamu, tidak sekalipun”, sang raja tahu sebab musabab Hae Soo selalu berduka.
Pandangan Hae Soo menerawang  jauh pada pertemuan terakhir saat berdoa, Chae Ryung memegang tanganya sambil berkata, “Aku baik-baik saja”. Ia seperti masih merasakan genggaman tangan dayang itu, masih meyakini ketulusan hatinya.
“Chae Ryung, dayang dengan hati yang tulus, tak kata-kata yang dapat mengubahnya”, jawab Hae Soo.
“Siapakah sebenarnya yang engkau percaya, aku atau dayang itu?” Raja Wang So mulai bertanya-tanya, dengan siapa ia sebenarnya ia meletakkan hati. Mengapa seorang kekasih lebih mempercayai seorang dayang yang pernah membohongi, bukan raja yang mencintai.
“Aku tak mampu lagi bertahan hidup tempat ini. Kematian demi kematian itu terlalu menakutkan”, suara Hae Soo semacam rintihan.
“Bila engkau pergi, siapa yang akan tinggal bersamaku? Apakah aku akan membiarkan engkau pergi begitu saja?” Raja Wang So mulai dihantam rasa cemas, dapatkan ia berdiam dengan nyaman di istana setelah Hae Soo pergi? Sesaat sang raja  menatap wajah pucat itu kemudian pergi berlalu.    
Ketika Raja Wang So pergi ke kamar Hae Soo, ruangan itu benar kosong, wajah tampan itu tampak muram. Seorang rajapun harus tahu arti rasa kehilangan. Sanggupkah ia hidup tanpa seorang kekasih?
Sementara di tempat berbeda Ratu Yeon Hwa tengah berendam dengan air bunga, seperti kebiasaan yang dilakukan Ratu Yoo. Sang ratu menikmati saat-saat istimewa, ketika kesegaran serta keharuman memanjakan seluruh tubuhnya yang berlekuk indah. Terngiang kembali kata-kata Raja, “Bila engkau benar ingin menjadi satu-satunya ratuku, melahirkan putra mahkota, dan menjadi ibu suri? Bisakah engkau berpaling dari Wook dan keluargamu?”
 “Goryeo akan menjadi milik putraku suatu hari nanti”, Ratu Yeon Hwa berucap pada diri sendiri, ia akan melakukan apa saja untuk melahirkan seorang putra mahkota. Sepasang mata tajam sang ratu membesar, dan terus membesar seakan hendak meloncat dari kelopaknya.
                                                                     ***
Hae Soo memberikan sebuah bingkisan kepada Choi Ji Mong, “Tolong berikan kepada keluarga Chae Ryung,  hanya ini yang dimiliki saat ini. Apabila dari pihak keluarga memerlukan hal yang lain, aku akan coba mengabulkanya”.
“Engkau tidak perlu melakukan semua ini. Tidakkah raja akan murka?” ragu Choi Ji Mong menerima bingkisan itu.
“Chae Ryung mengkhawatirkan keluarganya, bahkan di saat terakhirnya. Dia meminta bantuanku,  Raja tidak akan keberatan”, Hae Soo yakin akan hal itu.
Pada saat yang sama Pangeran Wang Won datang bersama rekan-rekan, Hae Soo menatap sinis, berucap, “Tidakkah Pangeran ke-9 berkabung dengan kematian Chae Ryung?”
Sebagai jawaban Pangeran Wang Won menatap ke arah lain. Seperti tak pernah mendengar suara apa-apa. Hae Soo menjadi geram. “Pangeran ke-9 seharusnya tak setenang ini, karena kematian tragi situ. Bukankah Chae Ryung hanya pelaku, bukan pemikir?”
“Engkau memang sudah gila”, amarah Pangeran Wang Won mulai terpancing.
“Suau saat engkau akan menyesali kematian tragis Chae Ryung, seorang dayang yang malang”.
“Sejak menjadi simpanan raja, engkau selelau  berbuat sesuka hati”, Pangeran Wang Won menatap Hae Soo dengan tatapan tak kalah sinis. Ia adalah seorang pangeran, keturunan Raja Goryeo Wang Geon. Hae Soo Cuma soerang dayang yang kini adalah simpanan raja, tak berhak memberikan teguran, andai serratus Chae Ryung  mati dalam satu hari.
Kali ini Hae Soo nyaris terlonjak, karena terkejut. Demikian pula Choi Ji Mong. Kata-kata Pangeran Wang Won terlalu kasar, tidak pantas diucapkan bagi seorang kekasih raja. Akan tetapi, baik Hae Soo maupun Choi Ji Mong tak dapat menyangkal kebenarannya.
Suasana tiba-tiba berubah menjadi beku. Teramat beku.
                                                                              ***
Hae Soo menemui Yang Mulia raja yang memintanya untuk datang, “Sudah kudengar kata-kata Won  dari Ji Mong. Aku akan menjadikanmu sebagai selir kerajaan”, sang raja  menyesal, mengapa Won harus berkata sekasar itu, ia bermaksud menebus kesalahan itu. “Engkau akan diperlakukan sebagai istri kedua, setelah melahirkan engkau akan menjadi ratu kedua”, Raja Wang So melanjutkan.
“Alasanku ingin pergi dari tempat ini bukan karena gelar itu”, jawab Hae Soo.
“Bicarakan dulu dengan Ji Mong, pilih gelar yang engkau mau”,  sang raja masih sangat berharap  Hae Soo bersedia tinggal di istana.
Hae Soo membungkam, sang raja tampak bukan lagi sebagai kekasih, tetapi orang asing.
“Jangan terlalu keras kepala, tidak ada gunanya berdebat. Sudah terlalu jauh kita melangkah, apakah harus berakhir sampai di sini?” Raja Gwangjong menyimpan satu pertanyaan, ketika beribu dayang bersedia mengorbankan segalanya demi menjadi simpanan raja bagi  kemewahan yang bisa diterima. Mengapa Hae Soo justru menolaknya? Ada yang tak biasa dalam diri sang kekasih. Ketika sang raja  memegang tangan Hae Soo, ia bisa merasakan dingin yang menyengsarakan.
                                                                           ***
Pangeran Wang Wook tahu Yang Mulia akan membaca, Pokok Pemerintahan dalam Kepemimpinan Zhenguan Zhenyao. Sesungguhnya Pangeran ke-8 tidak benar memahami apa sesungguhnya rencana di balik rencana itu. Maka sang pangeran meminta Wang Won untuk mencarikan burung elang  yang pandai berburu dan sangat lincah.
“Aku tidak tahu apa sesungguhnya rencana raja, sepertinya ia memang ingin berburu. Aku harus menyesuaikan setiap langkahnya”, Pangeran Wang Wook berucap.
Hyungnim tahu bukan saudara ke-4 kita? Engkau tidak pernah bisa percaya  atau berhenti waspada. Bersiaplah memotong anggota tubuhnya”, jawab Pangeran Wang Won.
“Apa maksudmu Baek Ah?” Pangeran Wang Wook binggung
“Dia berhubungan dengan gisaeng dari Gyobang. Pasti lebih mudah menyingkirkan dari sisi raja”, Pangeran Wang Won perlu melakukan sesuatu untuk menghasut Pangerana ke-8. Sekilas Pangeran Wang Wook menatap wajah Wang Won kemudian terdiam.
                                                                             ***
Pangeran Baek Ah dan Woo Hee tampak berjalan bersama, sang pangeran merasa heran,  Woo Hee masih ragu, meskipun telah diangkat secara sah selaku anggota keluarga. Sementara  ibunda suda tak sabar ingin berjumpa dengan calon menantu. “Engkau tampak masih ragu? Apakah  karena hal kemarin hari? Aku sudah menyarankan pada raja untuk membebaskan semua budak dari Hubaekje. Hal itu tidak akan pernah terjadi lagi”, Pangeran Baek Ah membuka pembicaraan.
Woo Hee berniat menjawab, tetapi kata-kata yang sudah di ujung lidah ditelan kembali. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh orang-orang tewas bersimbah darah, dengan tulisan di dada --budak pelarian.  Beberapa orang bertanya-tanya, “Mengapa rakyat Hubaekje tidak membayar pajak? Mengapa harus melarikan diri?”
Kepala Woo Hee seakan ikut menggasing bersama angina lesus. Pangeran Baek Ah membujuk, mengajak gadis cantik itu menjauh, tetapi Woo Hee tampak sangat marah. Apa yang terjadi pada rakyatnya?
Choi Ji Mong memberi penjelasan, “Budak-budak Hubaekje sudah membakar 10 rumah para petinggi, korban jatuh dari anggota keluarga petinggi. Tindakan ini tak bias dibiarkan. Kekerasan harus dihentikan”.
“Mestinya Yang Mulia mengutus prajurit”, Pangeran Wang Wook berpendapat.
“Jika mengutus prajurit, pertumpahan darah pasti terjadi, dan akan terus terjadi. Rakyat biasa akan terlibat, seisi kerajaan akan kacau”,  tegas suara Raja Wang So.
“Keluarga-keluarga petinggi harus dilindungi, keamanan mereka terancam. Istana belum bertindak sama sekali, keluarga-keluarga itu sudah mencari prajurit pribadi”, Pangeran Wang Wook bersuara.
“Benar, Yang Mulia harus melindungi keluarga petinggi yang tulang punggung kerajaan ini”, Perdana Menteri mendukung pendapat Pangeran Wang Wook.
“Prajurit harus menggunakan tombak tanpa pisau dan pedang kayu. Aku belum lama memerintah kerajaan ini, hindarkan pertumpahan darah”, sang raja memutuskan.
“Aku sarankan Pangeran ke-13 Baek Ah yang memimpin prajurit tersebut”, saran Pangeran Wang Wook dengan kesadaran Baek Ah tak menguasai ilmu perang.
“Pangeran Baek Ah tak menguasai ilmu perang, ia akan celaka jika harus memimpin prajurit” Choi Ji Mong terkejut, Pangeran ke-8 memiliki gagasan tak masuk akal. Sementara Raja Wang So tak kalah terkejut.
“Ada sementara pendapat Yang Mulia tidak memperhatikan rakyat pribumi Goryeo,lebih peduli dengan rakyat Baekje dan rakyat Silla yang merupakan asal keluarga Baek Ah. Bukankah Baek Ah telah membuat wanita Baekje diadopsi di keluarga rakyat Goryeo agar bisa menikahinya”, Pangeran Wang Wook tetap bersikeras supaya Baeh Ah memimpin prajurit.
“Aku sudah memberikan izin Baek Ah  menikah dengan Woo Hee”, jawab Raja Wang So, sepasag alisnya berkerut, ia mulai bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang berada dalam pikiran Wook?
“Hal itu juga bisa berarti, bahwa seseorang yang dekat dengan Yang Mulia sedang dikuasai oleh seseorang dari Baekje”, Pangeran Wang Wook berkeras menyudutkan Baek Ah, tanpa menyadari betapa sesungguhnya ia sedang menuntun langkah menuju jurang. Pangeran Baek Ah sahabat bagi Yang Mulia Raja.
“Hal itu tidak masuk akal”, Yang Mulia Raja menyangkal.
“Hal yang tak masuk akal bisa terjadi setelah menjadi buah mulut”, Pangeran Wang Wook belum menyerah. Pada saat yang sama Pangeran Baek Ah datang menemui raja.
“Baek Ah hanya bisa memegang alat musik, mungkinkah ia bisa menggunakan pedang?” sang raja tak mampu membayangkan bagaimana nasib Pangeran ke-13 dengan bilah pedang di pertempuran. Bukankah ia seperti memerintahnya menuju tiang gantung?
“Seseorang bisa menjadi curiga, karena tidak suka pada Woo Hee, benar ia berasal dari Baekje, sementara keadaan ini menyebabkan kedudukan raja menjadi sulit, “ Pangeran ke-13 bersuara, jauh dalam hati ia mencemaskan sesuatu.
“Alangkah baiknya kalau aku yang memimpin prajurit”, Raja Wang So berpendapat, ia lebih mampu di medan tempur dari pada Baek Ah.
“Jika Yang Mulia berpihak di antara keluarga penguasa atau budak maka keadaan akan semakin buruk”, Choi Ji Mong memikirkan kemungkinan ketika seorang raja langsung terlibat menangani perselisihan.
“Aku tidak akan mati. Jika kita tetap diam,  maka istana  akan dikendalikan oleh keluarga-keluarga petinggi, takhta Yang Mulia  bisa terancam. Aku akan baik-baik saja”, Pangeran Baek Ah menyetujui tantangan Pangeran Wang Wook, ia bukan seorang pengecut yang takut mati, meski hanya mampu memegang alat music.
 Jawaban Pangeran ke-13 menyebabkan Raja Wang So termangu. Ia meragukan keselamatan Baek Ah, meski sang pangeran tak merasa cemas dengan keselamatannya. Sesaat kemudian Yang Mulia menghela napas panjang, menduduki singgasana ternyat tak semulia seperti yang dibayangkan,  ia bertanggungjawab secara langsung akan hidup matinya seseorang.
                                                                        ***
Pangeran Baek Ah membantu mengikat rambut Woo Hee kemudian memasangkan penjepit, “Benarkah engkau tak menyesali keputusan itu?” Woo Hee bertanya, ia telah berad dalam  keadaan sulit, hidup matinya tengah dipertaruhkan.
“Aku hanya berpura-pura kuat, tak seorangpun tahu apa yang akan terjadi nanti”, Pangeran ke-13 melihat mendung menggantung, tetapi ia telah kehilangan tempat berlindung.
“Engkau akan memiliki seorang istri, aku berharap engkau kembali dalam keadaan selamat. Aku tidak mau menjadi janda”, Woo Hee tahu arti pertempuran bagi seorang pemain music, nyawa kekasih hati tengah dipertaruhkan. Hati gadis Baekje itu menjadi gamang.
“Saat aku kembali, kita akan segera menikah, kita akan selalu bersama selama-lamanya”, setulus hati Pangeran Baek Ah mencium Woo Hee, tak ada hal lain yang lebih diinginkan kecuali menikahi gadis pilihan hati.
“Sangat berharap, aku tak berasal dari Baekje. Dengan segenap hati, aku akan selalu hidup bersamamu”, Woo Hee menjawab jauh di relung hati, ia telah menyembunyikan sesuatu. 
Di luar dinding istana budak budak terlihat siap untuk bertarung dengan senjata terhunus di tangan. Tak mempedulikan pengumuman yang tertempel untuk seluruh Baekje.
“Aku, Raja Goryeo, berjanji pada rakyat Baekje. Budak tidak akan diserang, aku akan memastikan bahwa rakyat Baekje diperlakukan secara adil. Semua orang yang dipaksa menjadi budak akan dibebaskan. Rakyat jelata yang dipaksa menjadi budak juga akan dibebaskan. Kebijakan ini akan diterapkan secara ketat. Budak yang ditahan akan dipulangkan ke tempat asal, dibebaskan dari pajak untuk sementara waktu, tidak akan dibedakan berdasarkan tempat kelahiran. Rakyat Baekje boleh bekerja menjadi pejabat pemerintahan. Dan akan menjadi warga berkebangsaan Goryeo.”
Raja Wang So sengaja membuat pengumuman agar tak terjadi pertumpahan darah, tetapi  seorang budak merasa sudah berkali-kali mendengar janji –-yang ternyata palsu.  Sekali ini ia tidak mau tertipu, diperlakukan tidak selayaknya manusia yang merdeka. Rombongan budak itu dengan gegap gempita bergerak menuju istana.
Di dalam istana Pangeran Baek Ah sedang bersiap-siap menghadapi budak-budak yang bersitegang ketika  seorang prajurit memberikan sebilah pedang, tangannya yang terbiasa memegang alat musik menggenggam sesaat sebelum senjata perang  itu terjatuh ke atas tanah. Pada saat yang sama Pangeran Wang Jung datang, siap mengamankan istana dengan pakaian zirah. Sepasang mata Pangeran Baek Ah terbelalak melihat Wang Jung, “Bukankah engkau telah dijatuhi hukuman pengasingan, mungkin juga hukuman mati bila tetap di sini?” Pangeran ke-13 sangat mengkhawatirkan keadaan adinda.
“Sampaikan kepada raja aku di sini, aku tidak takut mati”, jawab PangeranWang Jung tanpa rasa  takut, ia masih bertanggungjawab mengamankan istana, terutama Pangeran Baek Ah yang tidak mahir bertempur.
“Pernah kusampaikan, engkau akan ditempatkan pada keadaan yang sulit. Seharusnya aku yang diperintah”, Pangeran Wang Jung membantu Baek Ah  mengenakan pakaian zirah.
“Aku selalu berharap akan kehidupanmu, engkau boleh kembali kesini dengan keadaan terluka, tetapi jangan tiada. Aku tak sanggup lagi melihat kematian”,  Pangeran Wang Jung meminta.
“Apakah engkau sudah menerima pemberian Hae Soo yang kutitipkan?” Pangeran Baek Ah bertanya,  teringat ia akan kesungguhan Hae Soo berpesan.
“Hiasan rambut itu?” Pangeran Wang Jung balik bertanya, Pangeran Baek Ah menganguk.
“Sudah kuterima, tetapi aku tak tahu apa artinya karena tidak ada suratnya”, Pangeran Wang Jung mengerutkan alisnya, ia kesulitan menangkap makna pemberian itu.
“Soo meminta agar menyampaikan secara langsung, dia berkata, aku menginginkannya”, ucap Pangeran Baek Ah, dengan satu pertanyaan di relung hati, apa sebenarnya yang diinginkan Soo?
“Soo berkata, aku menginginkannya? Apa Hae Soo sungguh mengatakan hal itu?” Pangeran Wang Jung tak percaya, akhirnya jawaban yang ditunggu dating juga.
“Hae Soo sangat menginginkannya. Demikian pesannya. Aku tidak tahu apa yang diinginkan, tetapi bantulah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Apapun yang terjadi, tetaplah menjadi teman baik bagi Hae Soo dan juga bagi raja. Dia juga sedang kesulitan”, Pangeran Baek Ah bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
“Apa engkau harus mengkhawatirkan orang lain dalam  keadaan seperti ini? Tidak ada orang yang ingin menyampaikan salam perpisahan sebelum engkau pergi”,  Pangeran Wang Jung menghela napas panjang, hati Baek Ah terlalu lembut seakan merdu suara music. Ia  lebih mencemaskan nasib orang sementara keselamatannya berada di ujung tanduk. “O ya, dimana dayang dari Gyobang itu?”
“Sudah kusampaikan, ia tak usah datang”.
“Hati-hatilah, aku selalu berdoa untuk keselamatanmu”, Pangeran Wang Jung berpesan lalu berpamit pergi.
Sementara para prajurit terlihat bingung menatap ke arah langit-langit. Pangeran Baek Ah melihat sebuah kain putih panjang pada dinding bertuliskan --Penyatuan Tiga Kerajaan Goryeo, Baekje, dan Silla--  Pada menara paling atas adalah Woo Hee, beberapa orang dari Baekje yang berniat menerobos masuk, terkejut dengan keberadaan Woo Hee di menara tinggi. “Turun….turun….tidak boleh ada di atas sana”, permintaan itu serupa ratapan.
Darah Pangeran Baek Ah tersirap, ia tahu kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada diri Woo Hee. Tergesa ia memanjat tangga menara, andai ia mampu menghalangi kemungkinan terburuk itu. “Jangan mendekat ….” wajah Woo Hee sepucat kapas,  wajah yang sudah tak mampu menatap kehidupan. Ia tahu apa yang akan terjadi apabila jati dirinya terungkap, ia bukan dayang dari Gyobang, tetapi Maha Putri Baekje.
“Woo Hee, berpikirlah yang jernih. Masih ada yang akan bisa kita raih….” Pangeran Baek Ah memohon. Ia pernah kehilangan, apakah sekali ini ia harus kembali kehilangan?
“Balikkan badanmu”, sepasang mata Woo Hee berkaca-kaca, ia tahu betapa tulus hati pangeran ini, dan ia tengah bersiap meremukkannya. Pandangan   gadis cantik itu mengabur saat melihat Pangeran ke-13 membalikan badan. “Jika menyaksikan, engkau tak akan pernah dapat melupakan”, hari terakhir bagi Woo Hee telah sampai, ia sengaja menjemput dengan cara yang mengerikan. Ia memilih kematiannya sendiri, tak ada pilihan yang lebih baik kecuali menjatuhka diri dari menara tinggi, meninggalkan  kehidupan yang tidak adil kepada si kalah.  Jeritan sekalian budak ketika melihat tubuh melayang turun bagai ringan kapas dihempas angin adalah suara terakhir yang terdengar gadis itu. Ketika ia terjatuh dengan rasa sakit tak terperi, langit seakan runtuh menggenangi tubuhnya dengan darah, semakin dalam hingga napasnya tercekik. Kemudian segalanya menjadi gelap, seakan malam tanpa berkesudahan.
Pangeran Baek Ah berdiri terpaku, waktu seakan terhenti, membeku bagai sebongkah batu. Jeritan putus asa yang melolong dari  mulutnya mewakili segala rasa takut dan kehilangan. Dengan bodohnya ia menuruti kehendak Woo Hee membalikkan badan, sia-sia ia mengulurkan tangan. Wanita yang dicintainya memilih hari terakhir dengan cara ayang menakutkan. Sekalipun tak menatap tubuh itu terlontar, dapatkah ia melupakan?   
Di dalam istana, Hae Soo terhenyak oleh satu lagi kematian dengan cara yang menyakitkan. Wajah lembut itu semakin lesi. Masih adakah satu alasan untuk menetap di istana ini? Sementara Raja Wang So tak kalah terkejut, Hae Soo belum lagi mampu melipur duka nestapa setelah kematian Chae Ryung. Kini Woo Hee bunuh diri terjatuh dari menara tinggi. Wajah tampan sang raja tampak muram.
                                               ***
Sementara Pangeran Baek Ah terisak memeluk tubuh mati Woo He, suara terakhir gadis itu bagai rintihan, “Kukira aku bisa mengabaikan semuanya kemudian menjalani hidup.  Aku mencoba menyangkal orang tua, ternyata tidak bisa mengabaikan kaumku yang memandangku sebagai seorang ibu.  Goryeo dan Baekje, Gyeon Hwon dan Taejo Wang Geon. Akan kutebus dosa-dosa dan perbuatan mereka dengan nyawaku. Mungkin inilah alasanku dilahirkan. Aku mencintaimu, engkaulah satu-satunya pasangan hidupku”, cahaya pada sepasang mata Woo Hee nyaris padam, yang tersisa hanya kepedihan. Ia masih dapat  merasakan pelukan erat dari seorang pangeran yang mencintainya, ia tak pernah ragu akan rasa cinta itu. Ia telah mengabaikan  bagi sebuah kematian yang memiliki alasan untuk dua kerajaan. Semakin lama pandangan mata Wo Hee semakin padam, setelah genangan darah, perlahan napas itu tercekik, tubuh Woo Hee terkulai.
Isak tangis Pangeran Baek Ah berubah menjadi ratapan, ia memeluk tubuh Woo Hee erat-erat, mengharap kehidupannya. Akan tetapi, tubuh itu benar telah mati, meninggalkan kesendirian, kehilangan teramat dalam yang terus menerus menyakiti. Pangeran Baek Ah tak sepenuhnya mengingat apa yang terjadi setelah kematian ini, kecuali pedih perih dan terasing dalam kesendirian. Dalam nestapa sang pangeran menatap kembali semua lukisan yang digores saat Woo Hee berlatih tarikan pedang di hutan, ia teringat kembali saat gadis itu menusuknya pada perayaan ulang tahun raja. Kenangan itu terlalu dalam. Siapakah sesungguhnya Woo Hee ia tak perlu tahu, kecuali satu hal, ia  mencintainya dan tetap mencintainya.
“Tubuh yang telah mati tak akan dapat dibangkitkan kembali, ingatan tak mudah diabaikan. Akan tetapi, hari depan harus diselamatkan. Masih ada banyak hal yang dapat engkau capai, relakan kepergian itu”, Hae Soo tahu betapa dalam rasa kehilangan itu, ia harus menghibur Pangeran ke-13.
“Ia menyembunyikan sesuatu, tak pernah berbagi rasa percaya. Aku adalah salah satu penyebab kematiannya. Siapakah sebenarnya Woo Hee? Seorang warga dari kerajaan yang runtuh?  Seorang gisaeng? Seorang anak yatim? Aku bahkan tak pernah mempedulikannya? Aku bangga mencintainya”, wajah Pangeran Baek Ah tampak muram, impian untuk hidup berbahagia dengan seorang yang dicintai terkubur bersama reruntuhan waktu. Seluruh panjang rangkaian hari seakan berakhir sampai di sini. Adakah takdir hidup harus selalu kehilangan?
Hening.
Hae Soo betapa tidak mudah ditinggalkan. Bukankah ia juga tengah ditinggalkan?
“Selama ini aku tak pernah berusaha memahami, bagaimana sesungguhnya perasaan Woo Hee?  Apa yang membuatnya selalu bersedih dan apa yang membuatnya terluka?  Aku tak pernah bertanya, hanya sesaat ia tersenyum, kematian mengubur selama-lamanya. Segalanya begitu cepat berlalu”, Pangeran Baek Ah menyalahkan dirinya sendiri.
“Pangeran ke-13 tak perlu memanggung kesalahan, setiap orang menyimpan rahasia bahkan pada hari terakhirnya. Woo Hee memilih takdir hidup yang berbeda. Dan apapun yang dipilihnya kematian sudah terjadi, ia sudah beristirahat di dalam damai. Sekali lagi, relakan”, tulus hati Hae Soo mengucapkan rangkaian kata.
Pangeran Baek Ah berterima kasih dengan semua kata-kata menghibur itu. Ia tak banyak berucap, sebagai jawaban ia menemui Yang Mulia Raja. “Engkau tampak terlalu kurus, aku akan mengutus tabib istana untuk memberikan ramuan bagi kesehatanmu”, iba hati sang raja melihat keadaan adinda, ia selalu yakin Pangeran ke-13 mengasihinya.
“Bila Woo Hee memasang pengumuman itu dari raja, berarti telah ada kesepakatan sebelumnya”, Pangeran Baek Ah perlu memahami sesuatu sebelum kematian itu.
“Aku tak menyangka  Woo Hee  memilih untuk mati. Ia pernah menyampaikan, aku bisa menyelamatkanmu jika menulis pengumuman itu. Saat itulah aku tahu dia putri dari Hubaekje”, jawab Raja Wang So.
Pangeran Baek Ah tertegun. Pernahkah ia  mengira ternyata Woo Hee seorang Puteri Hubaekje? Kiranya sang puteri sengaja menyembunyikan jati diri.
“Aku ingin menyelamatkanmu, pengumuman itu kutulis, karena putus asa. Aku tidak tahu kalau Woo Hee memutuskan jatuh dari menara tinggi. Kalaupun tahu  akan tetap melakukannya, aku harus menyelamatkanmu. Betapa penting arti seorang Pangeran ke-13 bagi seorang raja”, lidah Raja Wang So sesungguhnya terasa pahit, ia tahu betapa kehilangan Baek Ah, karena kematian itu. Akan tetapi, apakah ia memiliki pilihan?
Pangeran Baek Ah terdiam, ia telah terjebak ke dalam selubung misteri,  ketika lapisan demi lapisan tersingkap ternyata segalanya menyakiti. Tak mudah  berlaku sebagai saudara muda seorang raja, bahkan ketika Yang Mulia bersiteguh menyelamatkannya,  karena hal itu berarti kematian bagi seorang yang lain. Seorang yang sangat dikasihi. Pangeran Baek AH masih bersikukuh menahan genangan air  mata di hadapan raja. Akan tetapi, perasaan hampa menyeruak bagai badai yang membantai ketabahannya. Masih dalam perasaan hampa sang pangeran berlutut memberikan hormat, sang raja panic. “Tidak perlu engkau berlutut, semua kesalahanku”, Raja Wang SO mencoba menghibur.
“Tidak, semua adalah kesalahanku. Pangeran ke-13 tak cukup kuat melindungi Yang Mulia Raja. Semoga Hyungnim selalu diberkati umur yang panjang serta kesehatan”, setelah memberikan hormat serta doa pengharapan Pangeran Baek Ah undur diri. Taka da lagi yang harus disampaikan di hadapan seorang raja.
“Baek Ah ….” Suara Yang Mulia terkulai di tenggorokan, Pangeran ke-13 melangkah lurus ke depan tak pernah menoleh lagi. Sekalipun Yang Mulia memanggilnya.   
                                            ***
Ketika kembali ke dalam kamar Yang Mulia tertegun, Ratu Yeon Hwa telah menunggu dengan sabar. Dalam balutan pakaian kebesaran, sesungguhnya kecantikan sang ratu tiada tara, namun Yang Mulia hanya sekilas menatap, “Sudah yakin dengan keputusanmu?” suara Raja Wang So dingin.  Sebagai jawaban sang ratu tersenyum lembut, “Seorang ratu selalu yakin dengan keputusannya”.
                                                                           ***
 Pangeran Wang Wook hadir di ruang tahta bersama kasim membawa sesuatu, raja akan berburu sang pangeran berbaik hati mencarikan seekor elang untuk Yang Mulia. “Berburu adalah adalah kesukaanku”, Yang Mulia tersenyum dengan pemberian itu.
“Pemberian selalu menunjukkan kasih sayang antara saudara”, Pangeran Wang Won juga tersenyum. “Dari buku yang kubaca, kasih sayang dan persaudaraan adalah dasar bagi seorang pria dalam membina persaudaraan. Adalah salah satu sebab, mengapa persaudaraan menjadi lebih baik. Keselerasan keluarga istana berarti keselarasan bagi seluruh kerajaan”, senyum Pangeraan Wang Won berubah menjadi tawa. Akan tetapi hanya sekejab, suasana hangat penuh tawan berubah menjadi kemarahan Yang Mulia Raja. Saat kain penutup sangkar burung terbuka, tampak seekor elang yan sudah menjadi bangkai.
“Bukankah ini elang yang sudah mati?” Raja Wang So berdiri dengan tatapan berapi-api, sementara di tempatnya berdiri Pangeran Wang Wook terhenyak dengan seluruh tubuh gagu. Ia menyediakan seekor elang dalam keadaan hidup, mengapa kini ungags pilihan itu telah terkapar mati?Ada yang salah. Wajah tampak Pangeran ke-8 memucat bagai kertas, ia sadar nasibnya berada di ujung tanduk.
“Apakah bangkai seekor elang layak diberikan kepada raja? Bukankah pemberian itu sama artinya dengan kutukan  bagi Yang Mulia! Kita tidak bisa diam dengan kutukan ini”, kata- kata perdana menteri bagai tumpahan minyak yang membakar kemarahan Raj Wang So.
Wajah Pangeran Wang Wook semakin pucat seakan tak lagi dialiri darah, ia terpojok dengan ketakutan, ia tahu akibat kesalahan ini. “Semua ini pasti kesalahan, pasti ada sesuatu terjadi saat elang dibawa oleh….” Pangeran ke-8 tak meneruskan kata-katanya, ia semakin panik ketika Pangeran Wang Won memotong ucapannya, “Pangeran ke-8 sendiri yang membawa, siapa yang mau disalahkan?”
“Benarkah engkau mengutuk Raja Goryeo? Apakah Wang So seorang pengkhianat?” tatapan Yang Mulia Raja berpijar bagai api ketika menatap lurus ke arah Pangeran Wang Wook. 
“Mengapa Pangeran ke-8 harus memberikan bangkai elang dan bukan elang?” Perdana Menteri bertanya.
Sebuah pertanyaan yang menyebabkan Pangeran Wang Wook langsung berlutut. “Yang Mulia, saya tak bersalah, saya dijebak, Yang Mulia….” seluruh tubuh Pangeran Wang Wook gemetar, keringat dingin mengucur bagai banjir. Ia tak pernah berniat dan tak akan mempersembahkan elang mati kepada raja di ruang tahta.
“Kalau ini pengkhianatan, maka engkau akan dihukum mati”, suara Raja Wang So bagai halilintar. Tampak senyum licik Pangeran Wang Won, tak ada niat membela Wang Wook.
                                                                      ***
Berita buruk perihal Pangeran Wang Wook menghembus bagai badai ke telinga Ratu Hwangbo, dengan cemas sang ratu datang terburu-buru ke kamar ananda, Ratu Yeon Hwa yang tengah berhias dilayani dayang-dayang. “Wook telah dijebak, ia bisa dijatuhi hukuman mati”, besar harapan Ratu Hwangbo, bahwa putrinya yang kini menjadi wanita pertama yang paling berkuasa di Goryeo akan mengambil tindakan untuk menyelamatkan Wang Wook.
“Kesalahan Wook tak bisa dimaafkan. Aku tak bisa melakukan apa-apa”, suara Ratu Yeon Hwa dingin tanpa peduli pada wajah cemas ibunda. Ia memenuhi janji terhadap Yang Mulia Raja, melupakan keluarga Hwangbo, bahkan kecemasan seorang  ibu serta hukuman mati bagi kakanda.
“Seorang ratu pasti bisa melakukan sesuatu bagi Wook”, sepasang mata Ratu Hwang Bo berkaca-kaca.  
“Seorang ratu bertugas mengandung kemudian melahirkan dan membesarkan putra mahkota, sehingga kelak anakku akan duduk di singgasana. Aku tak bisa terlibat dalam urusan pemerintahan, kesalahan Wook terlalu besar, para tetua Hwangju mengakui kesalahan itu. Jangan terlalu berharap ”, suara Ratu Yeon Hwa sama dingin dengan angin di musim gugur.
Di tempatnya berdiri Ratu Hwangbo terpaku, jantungnya seakan henti berdetak, tak lagi patuh dengan kehidupan. Ia tak pernah menduga sikap dingin Ratu Yeon Hwa dalam menanggapi nasib Wang Wook yang akan segera tergelincir dari ujung tanduk. “Apa yang baru engkau katakan? Nyawa Wang Wook, saudara tuamu terancam?” wajah Ratu Hwangbo memucat bagai kertas, nyaris tak mempercayai kata-kata putri tercinta yang kini bertahta sebagai seorang ratu.
“Kini aku adalah Ratu Goryeo, kuhargai keluargaku, pastinya tak ada seorang adik yang berharap kehilangan saudara tua. Akan tetapi, ada hal yang lebih penting dari sekedar kehilangan. Maaf ibu, relakan putrimu”, tanpa menunggu jawab Ratu Yeon Hwa melangkah pergi, tak pernah ada percakapan dengan ibunda hari ini.
Sepasang mata Ratu Hwangbo terbelalak lebar, wajahnya yang semula memucat berubah semerah bara. Ia telah membesarkan seorang putri raja supaya pada hari yang telah ditentukan menjadi seorang ratu.  Ia akan berlaku sebagai penasehat yang berperan langsung dalam mengendalikan kebijakan dan kewenangannya. Kini, apa yang terjadi?  Sang ratu bahkan tak peduli dengan Wang Wook, tak peduli dengan kehadirannya, seakan ia bukanlah ibu seorang ratu yang pernah melahirkan kemudian membesarakan. Ratu Hwangbo merasa dadanya berguncang dalam gempa yang amat dasyat.
                                                                                       ***
Di ruang tahta Pangeran Wang Wook masih bersujud tanpa sepatah kata, meski Yang Mulia Raja tak lagi duduk di singgasana. Diam sama menakutkan dengan maut. Ia masih  mengharap suatu saat akan duduk di singgasana didampingi seorang ratu yang mencintai. Kini, harapan itu berserak bagai  pecahan kaca yang mengunjam melukai. Dimana Ratu Yeon Hwa, adinda yang didukung untuk menikah dengan Raja Gwangjong, dan kini seorang ratu yang berkuasa? Dimana ibunda Ratu Hwangbo? Mengapa keduanya tak ada saat hukuman mati dijatuhkan? Benarkah kehidupan akan berakhir dengan cara memilukan seperti ini? Ia tak pernah mempersembahkan elang mati bagi Yang Mulia Raja.
Sementara Hae Soo telah mendengar pula  kabar buruk tentang Pangeran ke-8, ia  menyediakan diri mengikuti Raja Wang So sampai ke kamarnya, “Pangeran ke-14 dijebak, ia berhak mendapatkan pembelaan”, wajah sendu Hae Soo kiranya tak mampu mengubah pendirian seorang raja.
“Pembelaan apa yang berhak didapatkan seorang pengkhianat?” wajah tampan Yang Mulia Raja merah padam. Wang Wook bersekutu dengan Wang Yo membunuh Raja Wang Mo, kemudian memaksakan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak pernah ia cintai. Ia  harus kehilangan Hae Soo. Wang Wook tidak tahu dengan siapa ia sedang berhadapan? Pangeran ke-8 harus membalas kecurangan dengan maut. Setelah asam garam kehidupan, kini ia adalah seorang raja, ia berhak menentukan hidup dan matinya seseorang dengan banyak cara.
“Pangeran Wang Wook bukanlah seorang pengkhianat”, Hae Soo berlutut di depan Raja Wang So.
“Seorang kekasih raja tak boleh berlutut, terlebih untuk pengampunan seorang pengkhianat.  Berdiri”, tanda Tanya muncul di dalam benak Raja Wang So, mengapa Hae Soo harus berlutut untuk Wang Wook?
“Bukankah Yang Mulia sudah berjanji tak akan menyakiti sekalian saudara?” Hae Soo mengingatkan.
“Aku tahu engkau peduli dengan para pangeran, tetapi tak perlu berlutut demi Wook. Berdiri”, suara Yang Mulia Raja mulai diliputi amarah.
“Bukan Pangeran ke-8 yang membunuh burung.  Yang Mulia dengan sengaja melakukannya untuk hukuman mati Pangeran Wang Wook”, Hae Soo tahu dari mana kebencian sang raja berasal. Ia tak heran, ketika Raja Wang So tertegun karena ia tahu persoalan yang sebenarnya.
“ Wang Wook bersekutu membunuh Moo Hyungnim dan Eun, ia juga membuat Baek Ah pergi. Wook mencoba membunuhku dan ingin memisahkan kita berdua. Untuk siapa sebenarnya engkau berlutut?” Raja Wang So tetap berusaha bersikap tenang.
“Membunuh adalah tindak kejahatan, ganjaran selalu ada bagi pelaku. Mungkinkah seorang kekasih membenarkan seorang raja dikenang sebagai sosok yang bengis?” ada satu  keinginan dalam diri Hae Soo untuk mengubah pandangan khalayak kepada Yang Mulia Raja. Bukankah ia  masih dapat melakukannya?
Sesaat suasana diam, hingga akhirnya Raja Wang So bersuara,”Baiklah, Wang Wook masih memiliki  hak hidup”, keputusan itu menyebabkan wajah pucat Hae Soo tampak sedikit berbinar, namun hanya sesaat. Sebab Yang Mulia Raja kembali meneruskan kata-kata, “Wang Wook akan diasingkan  ke kampung halaman, tidak boleh keluar satu langkah pun dari kediaman”, pandangan Yang Mulia Raja diliputi dendam, Hae Soo tahu ia tak akan pernah dapat memadamkan.
Ia hanya dapat memperpanjang usia Pangeran Wang Wook dalam keadaan terbuang jauh dari kemilau mahkota raja, membeku di dalam rumah tahanan bagi maut selanjutnya. Kekasih raja itu kembali terdiam, betapa tidak mudah mengamankan diri dari musuh di dalam selimut ketika seseorang ditakdirkan menjadi seorang raja. Ia harus bertindak tegas, bahkan kepada sesama saudara.  
“Benar, lebih baik membuang daripada membunuhnya”, Raja Wang So tak ragu dengan keputusannya, mengurung Wang Wook di tempat pembuangan sama dengan membunuhnya pelan-pelan, Pangeran ke-8 harus membayar seluruh kesalahan.
                                                                         ***
Pangeran Wang Wook terdiam dalam kamar, kebebasan menjadi suatu hal yang mahal. Ia pernah melewatkan saat-saat indah sebagai putra ke-8 Raja Wang Geon. Kini, ia adalah musuh utama Raja Wang So, bersyukur sang raja tak menjatuhi hukuman mati. Ia masih berhak akan kehidupan, akan tetapi langkahnya terhenti ketika bermaksud meninggalkan kediaman. Beberapa prajurit berjaga di depan pintu dengan wajah garang, ia tak memiliki izin meninggalkan kediaman. Ia terkurung di dalam sangkar tanpa permaafan. Pangeran Wang Wook tahu segala impian tentang hari depan berakhir sudah, taka da lagi sisa harapan.
Sementara Hae Soo melamun sambil memetik bunga yang bersemi di seputar kolam Damiwon. Suasana semakin tidak nyaman di lingkungan istana, semakin tidak nyaman pula suasana di Damiwon ketika Ratu Yeon Hwa tiba-tiba hadir. Hae Soo tahu sang ratu sangat membenci, tak pernah bersikap baik. Ratu Goryeo mengutuki kehadirannya di istana ini, ia  ibarat duri di dalam daging.
“Engkau masih memiliki waktu bagi bunga-bunga istana?” pertanyaan Ratu Yeon Hwa dalam nada sinis. Pertanyaan itu segera membuat Hae Soo membungkuk memberikan hormat.
“Masihkah seorang lelasih raja memiliki perasaan?” pertanyaan tak menyenangkan dari seorang ratu, dan selalu demikian kata-kata yang diucapkan wanita paling berkuasa di Goryeo bagi seorang Hae Soo.
“Saya sudah mendengar perihal Pangeran ke-8.  Yang Mulia pasti bersedih hati karenanya”, Hae Soo berusaha menguasai diri.
“Waktu masih kecil, dia tak pernah menolak permintaanku. Aku bertanya-tanya, apakah aku yang telah menghancurkan dirinya? Aku khawatir bukan aku pelakunya. Aku menekannya untuk menjadi raja, supaya bisa memiliki istana bersama-sama. Aku terlalu memaksanya”, suara itu bercampur penyesalan. “Namun sesungguhnya, bukan aku yang mengubah Wook. Kamu orangnya!” tatapan Ratu Yeon Hwa setajam lidah pisau, diam-diam bulu kuduk Hae Soo meremang, ia tahu arti tatapan itu, rasa kecewa terbalut kebencian, ia hanyalah seorang kambing hitam bagi seorang ratu sombong yang tidak mau mengakui kesalahan.
“Wook pernah menyampaikan, engkau memintanya berhati-hati terhadap Pangeran ke-4, jangan menghalangi Pangeran Wang So karena dia bisa saja mati terbunuh”, kebencian berpijar pada sepasang mata Ratu Yeon Hwa. Ia berada pada pilihan yang sulit, mengandung seorang putra mahkota atau merelakan Wang Wook terbunuh perlahan-lahan, karena hukuman buang. Ia telah memilih yang pertama dengan isi hati yang remuk, karena sesungguhnya ia tak mampu mengkhianati Pangeran ke-8.
“Apakah Pangeran ke-8 berubah, karena aku memintanya berhati-hati terhadap Pangeran ke-4?”  Hae Soo tak percaya. Bahwa sebuah kekhawatiran akan mengubah takdir seorang pangeran selamanya.
“Setelah Wook mendengar kata-katamu, ia tahu bahwa Pangeran ke-4 akan menjadi raja. Wook mengasihimu, perasaan penuh harap yang berakhir dengan kekecewaan, karena engkau mengakui pangeran lain sebagai raja. Aku memang pernah menekan Wang Wook, tetapi mulutmu menyesatkan takdir hidupnya, hingga terjadilah hukuman buang. APa bedanya dibuang dan dibunuh perlahan-lahan?” suara Ratu Yeon Hwa tegas dan teratur, seolah ia tengah menyusun kata-kata  itu berhari-hari sebelumnya.
Di tempatnya berdiri Hae Soo terpaku, sampai sejauh inikah seorang ratu melemparkan kesalahan? Dengan sadar Pangeran Wang Wook menempuh cara yang salah untuk mendapatkan tahta, kini hukuman buang itu adalah kesalahannya pula. Betapa picik cara berpikir seorang ratu, seorang yang tak pernah bersedia mengakui kesalahan. Hae Soo terngiang kembali  kata-kata Raja Wang Yo sebelum kematiannya, “Semuanya bermula darimu, maka aku membunuh saudara-saudaraku dan menjadi raja. Andai engkau tak pernah menyamarkan bekas luka So, ia tak akan pernah merampas kursi yang menjadi milikku”.
Hae Soo telah melihat semuanya sebelum Gwangjong bertahta sebagai raja, ia memang pernah meminta dengan panik, supaya Pangeran Wang Wook  berhati-hatilah terhadap Pangeran Wang So, bahkan harus menghindarinya, jangan pernah menghalanginya. “Jika engkau, jika engkau menghalanginya, semuanya akan mati”,  Hae Soo memang pernah mengatakannya, tetapi Pangeran Wang Wook tak mengindahkannya. Maka, terjadilah hukuman yang menakutkan itu.
Benarkah ia adalah kambing hitam dari semua hukuman ini? Kepala Hae Soo berpusing seakan gasing, demikian mudah kelarga raja menyalahkan orang lain, karena gagal mencapai tahta. Pangeran Wang Wook tak pernah mencapai tahta, karena ia mencoba mencapai dengan cara yang salah, ia tak cukup memiliki kekuatan untuk itu. Ia hanya sosok yang pernah ditekan Putri Yeon Hwa bagi kekuasaan bersama. Kini, nasib Pangeran ke-8 berakhir di pintu hukuman buang, hukuman raja yang tak bisa ditentang.  
“Engkau telah menghancurkan segalanya, dengan sombon engkau bahkan masih hidup”, andai mungkin Ratu Yeon Hwa ingin melumat seluruh sosok Hae Soo hingga luluh tiada bersisa, namun ia tahu hukuman berat menganiaya kekasih raja. Sesungguhnya sang ratu lebih terbakar api cemburu, karena Hae Soo mampu mendapatkan cinta sang raja tanpa harus meminta. Ia seorang ratu, tetapi Yang Mulia tak memberikan sepenggal pun cinta, bahkan ketika harus mengemisnya. Ia seorang ratu, bersiap menanti kelahiran putra mahkota, namun dengan licin sang raja meminta imbalan untuk  meninggalkan orang-orang yang dikasihi, Wang Wook dan ibunda Ratu Hwangbo. Di balik pakaian seorang ratu, Yeon Hwa merasa kemewahan itu mulai meringkusnya dengan ketat. Ia harus membayar mahal semua keinginannya. Langkah sang ratu dilumuri amarah ketika meninggalkan Hae Soo pergi tanpa menoleh lagi.
Sepeninggal Ratu Yeon Hwa, Hae Soo terduduk lemas. Seluruh tulang belulang seakan terlepas, ia sangat dekat dengan orang-orang yang mengharapkan ketidak hadirannya, masihkan ia mampu  bertahan di istana ini? Sang ratu dapat berbuat apa saja bagi kematiannya. Teringat kembali kenangan indah ketika ia pernah berhubungan dekat  dengan Pangeran Wang Wook. Keduanya pernah tersenyum saat ia memberikan teh untuk saudara ipar. Saat itu Pangeran Wang Eun tengah duduk bersama dengan Pangeran Baek Ah dan Pangeran Wang Jung. Pangeran Wang Eun tampak senang menghadapi the putih kesukaanya, demikian pula Pangeran Wang Jun.
“Benarkah semua ini, karena kesalahanku?” Hae Soo bergumam, kepalanya terus berdenyut-denyut. Ia terperosok terlalu jauh ke dalam kehidupan manusia dalam pikiran yang sempit, tak mampu mawas diri. Sebenarnya, dimana dirinya sedang berada?
                                           ***

Pelukis istana menampilakAn sosok Raja Wang So dalam keadaan sedang duduk, Choi Ji Mong memperhatikanya, kemudian berucap, “Yang Mulia mesti membesarkan kelopak mata kemudian  duduk dengan mengangkat bahu yang kekar seperti raja-raja sebelumnya”, saran yang bijak dari seorang ahli bintang yang diikuti Yag Mulia Raja.
“Lukislah baik-baik supaya mirip benar dengan sosok Wang So, sehingga setiap orang yang melihat seakan merasa tengah bertatapan dengan seorang raja”, Yang Mulia memberikan saran pula bagi sang pelukis.
“Saya kira kita melukis Yang Mulia dalam keadaan beberapa tahun ke depan, tidak sedang duduk di tahta. Maka, setiap orang yang melihat akan bertanya-tanya, siapakah sosok dalam lukisan , seorang pangeran? Raja? Atau rakyat biasa?” Choi Ji Mong masih juga memberikan saran.
“Aku ini masih sangat muda, mengapa harus melukis Wang So pada senja usia? Aku ingin memberikan lukisan itu pada seseorang”, Yang Mulia menjawab.
Tiba-tiba Pangeran Wang Jung menerobos masuk, memberikan hormat, mengejutkan Raja Wang So. Mengapa Jung berani keluar dari pengasingan dengan akibat hukuman mati. Sesaat Yang Mulia Raja terlupa, ia tengah berada dalam keadaan dilukis.
“Sengaja saya dating untuk sebuah persetujuan. Yang Mulia pasti tidak akan mengijinkan saya dating, bila saya terlebih dahulu memberikan kabar. Saya harus menyampaikan titah yang ditulis oleh mendiang raja”, Pangeran  Wang Jung memberikan helai surat yang berisi titah mendiag raja Wang Yo. Ia memberanikan diri, apapun akibatnya.
Dengan rasa ingin tahu Raja Wang So membaca titah itu “Aku menyetujui pernikahan yang sakral antara Pangeran Jung dan Dayang Hae Soo”, raut muka sang raja segera berubah menjadi merah bara.
Dari mana titah itu berasal?
Saat Raja Wang Yo memerintah, wilayah perbatasan mulai tenang, karena kerja keras Pangeran Wang Jung. Yang Mulia bersedia memberikan apa pun yang diinginkan sebagai hadiah sebelum  pergi, yang penting bukan tahta. Pangeran Wang Jung telah lama menginginkan sesuatu –adalah izin menikah dengan Dayang Hae Soo.
Setelah membaca titah mendiang Raja Wang Yo, dengan kalap Wang So, Gwangjong membuang titah itu dengan amarah meluap, “Titah ini kepalsuan dan kebohongan!” suara Yang Mulia menggetarkan dinding istana. Mungkinkah ia mengijinkan sang kekasih hati menikah dengan Wang Jung? Pangeran yang terbuang.
“Bukankah  Wang So menduduki tahta tanpa adanya titah atau wasiat tertulis dari Raja Wang Yo?” dengan berani Pangeran Wang Jung melawan kemarahan Yang Mulia, ia tahun akan berhadapan dengan kesulitan saat berhadapan dengan Wang So. Akan tetapi, ia telah berkeras untuk memenuhi keinginan menikahi dayang Hae. Sejak pertemuan di hutan bambu saat gadis bangsawan itu membantunya dari musibah pengeroyokan perompak, ia tak pernah dapat melupakan Soo.
“Apakah titah mendiang raja bisa diabaikan? Bandingkan tulisan ini dengan tulisan mendiang raja, tulisan ini asli”, Pangeran Wang Jung bersikeras, ia memang sudah memperhitungkan kemarahan seorang raja, karena kehilangan kekasih hati.
“Kalaupun titah ini benar asli, aku tidak bisa menyetujuinya. Engkau tidak boleh menikahi Hae Soo”, kemarahan Yang Mulia mendidih seakan banjir lahar gunung berapi, mengapa seorang pangeran terbuang berani menikahi kekasih raja.
“Saya sudah mendapat izin dari mendiang Raja Wang Yo, saya tidak perlu mendapatkan izin dari Wang So”, Pangeran Wang Jung melawan.
“Semua orang di istana tahu, Soo adalah kekasihku. Bagaimana engkau, Wang Jung bisa mempunyai niat menikahinya. Tidak salah niat ini?” Yang Mulia mengejek Wang Jung.
“Hae Soo bukan ratu dan juga bukan selir kerajaan, bukan pula istri raja.  Tidak ada alasan, bahwa ia tidak bisa menikah. Saya telah menyampaikan recana ini kepada  Menteri. Mereka menunggu persetujuan raja untuk pernikahan ini”, tak sedikitpun Pangeran Wang Jung surut. Ia telah dihukum buang dari istana, ia akan pergi Bersama Hae Soo meninggalkan istana ini.
“Hukuman kujatuhkan kepada Wang Jung,  karena keluar dari pengasingan”, Raja Wang So mengepalkan tangan, ia tidak akan pernah merelakan kekasih tercinta menikah dengan pangeran yang lain.
“Hae Soo menginginkannya, ia menginginkan pernikahan ini. Bila tidak percaya, bisa bertanya kepada yang bersangkutan”, Pangeran Wang Jung masih juga bersuara, hingga mulut sang raja membungkam.
                                                                   ***
Hae Soo melihat garam sabun yang dibuat para dayang, lalu menciumnya, ia tahu takaran madu  terlalu sedikit, “Garam mandi akan mudah hancur kekurangan madu. Tambahkan aroma bunga untuk garam mandi para istri, serta tambahkan daun atau mint untuk garam mandi para pangeran dan raja”, dua orang dayang memahami petunjuk akan hal ini. Hae Soo masih akan meneruskan pembicaraan, tetapi tiba-tiba Raja  Wang So dengan wajah merah padam.
“Wang Jung bilang dia akan menikahimu. Ia punya titah dari mendiang raja yang isinya, bahwa mendiang raja mengizinkannya menikahimu. Apakah engkau tahu perihal itu?” suara Raja Wang So nyaris kalap. Apa yang terjadi antara Jung dan Soo di balik punggungnya?
“Kapan dia menerima titah itu?” Hae Soo balik bertanya.
“Tahun ketiga Pemerintahan Raja Jeongjong. Saat itu Wang Jung memenangkan pertempuran di Hwayi terhadap Khitan dan kembali ke Goryeo. Menurut Wang Jung engkau  menginginkan perenikahan ini. Benarkah? Atau, titah itu palsu”,  Yang Mulia yakin, Hae Soo akan mengakui bahwa titah itu palsu.
“Benar, aku menginginkannya, dosa besar mengabaikan titah mendiang raja. Raja penerus pasti akan mematuhinya, atau akan diragukan kemampuan sebagai penerus mendiang raja. Perpisahan akan membuat kita selalu saling merindukan. Batas antara cinta dan benci sebenarnya terlalu tipis, ibarat kain terawang yang mudah dikoyak”, masih tersisa keberanian dalam diri Hae Soo untuk membenarkan titah mendiang Raja Wang Yo.
“Jadi kau membenciku?” sepasang mata Yang Mulia Raja membelalak lebar seakan hendak terjulur dari kelopaknya.
“Kehidupan di dalam istana akan terus menumbuhkan kebencian. Bukankah lebih baik aku pergi, tetapi tetap mengenang seorang raja di relung hati”.
“Aku tidak akan pernah membiarkan pernikahan itu”, terdengar napas berat seorang raja, langkah berdebum, karena kemarahan. Kemudian Hae Soo kembali seorang diri.  Kiranya Pangeran Wang Jung memenui janji, kiranya sang pangeran telah lama meletakkan hati, selama ini matanya buta, tak mampu mmelihat apa-apa, hanya cinta Pangeran Wang So yang berlumuran dengan kebencian, yang berlumuran dengan darah.
                                                                         ***
Di ruang tahta Raja Wang So terduduk dalam diam, tak pernah disangka. Ketika ia menjadi orang paling berkuasa di Goryeo, maka satu-satunya wanita yang dicintai memilih menikah dengan saudara kandung, dengan alasan lebih baik berpisah, tetapi tetap mengenang di selasar hati. Sebuah alasan yang aneh dan tidak masuk akal. Siapakah sesungguhnya Hae Soo? 
Ratu Yeon Hwa tergesa datang dengan sepasang mata memerah, “Rakyat sudah merasa curiga, mengapa seorang raja bisa mengabaikan titah mendiang raja terdahulu. Yang Mulia juga menekan seorang ratu mengkhianati keluarga dan saudara tua. Mengapa tidak bisa merelakan Hae Soo?”
“Aku takkan pernah bisa merelakannya”, Yang Mulia selalu merasa tidak nyaman di dekat Ratu Yeon Hwa.
“Ketidakrelaan itu bisa menyebabkan seorang raja kehilangan tahta. Ingat, aku telah melakukan segalanya”, Ratu Yeon Hwa telah cukup menyatakan sikap. Adalah suatu hal yang baik Hae soo  meninggalkan istana dalam sebuah perkawinan pula. Bila sang raja berkeras menolak, ia bisa kehilangan tahta.
                                                                             ***
Pangeran Wang Wook tengah menulis di dalam ruangan, ia tak leluasa lagi bergerak, karena menerima hukuman kurung. Sejenak sang pangeran termenung, menghentikan gerakan tangan. Ia teringat sesuatu. 
Saat bersujud memohon ampun kepada Yang Mulia Raja, Hae Soo tiba-tiba datang, “Berdirilah, Yang Mulia mencabut hukuman mati”.
“Bagaimana jika engkau akan dicurigai, karena memintaku berdiri?” Pangeran ke-8 bertanya. “Mengapa pula harus peduli kepada seorang yang sia diseret ke tiang gantung. Masihkaha engkau mengingatku?” suara Pangeran Wang Wook dingin, ia bahkan tak perlu mengucap terima kasih.
“Aku akan melakukan hal yang sama terhadap siapapun, Yang Mulia juga tahu akan hal itu.  Lupakan segala yang harus dilupakan, tahta maupun diriku. Hanya dengan meninggalkan istana seorang pangeran akan terbebas dari segala ancaman. Camkan, istana bukan tempat yang indah untuk membangun harapan, kekuasaan hanya tunggal milik seorang raja. Hukuman mati tanpa pembelaan bisa dijatuhkan kepada siapa saja”, jarak keduanya teramat dekat, tapi perpisahan telah meregang demikian panjang serta dalam.
Lamunan Pangeran Wang Wook tiba-tiba terpecah, Ratu Yeon Hwa tergesa menyeruak dalam pakaian biasa, wajahnya yang jelita tampak demikian cemas. “Lakukan sesuatu, atau aku kehilangan segalanya. Bila Yang Mulia mesti turun dari tahta, karena menolak titah mendiang Raja Wang Yo, demikian ratu. Apa yang bisa kumili?” keduanya saling bertatapan, Pangeran Wang Wook sadar akan kecemasan itu. Ia memang harus melakukan sesuatu.
--------------------------
Keesokan harinya Ratu Yeon Hwa sudah berada di ruang tahta ketika Pangeran Wang Wook datang, “Adakah hal penting yang harus disampaikan, maka saya harus datang. Dengan hormat saya harap Yang Mulia Ratu bersedia meninggalkan kami berdua”, sebuah permintaan mengejutkaan dari seorang pangeran kepadaa seorang ratu. Akan tetapi sang ratu menyadari, betapa penting pembicaraan empat mata itu. Ia tak memiliki pilihan lain.
“Tak ada yang bisa kuharap, tapi izinkan Wook bicara”, setelah menghela napas Panjang Ratu Yeon Hwa berlaluse pergi.
“Ada yang harus kuakui tentang hubunganku dengan Hae Soo”, Pangeran Wang Wook membuka pembicaraan, ia sadar akibatnya ketika harus membuka kata. Di pihak lain Raja Wang So tampak dihantui pertanyaan.
“Yang Mulia belum mengetahui, kami berdua pernah berjanji untuk menikah”, sebuah kalimat pendek, tetapi cukup untuk membakara api cemburu seorang raja. Yang Mulia merasa lantai istana seaka bergoyang.
“Apakah engkau benar ingin mati?” tatapan Raja Wang So setajam lidah pedang, Wang Wook telah mendapatkan hukuman, tetapi masih berani menyampaikan hal yang teramat pribadi.
“Hubungan kami jauh hari sebelum ia menjadi kekasih raja, Hae Soo adalah milikku”, sejak Hae Soo menjadi kekasih Yang Mulia tak sekejabpun Wang Wook mampu melupakan, sosok itu selalu membenam di dasar hati. Ia masih berharap suatu hari yang indah, meski harapan itu kini nyata berserakan.
Yang Mulia tak perlu meneruskan pembicaraan ini, bergegas ia menemui seseorang, sepasang matanya semerah bara. Sekali lagi ia telah dikhianati, ternyata di sekitarnya terlalu banyk pengkhianat. Betapapun ia seorang raja dan berkuasa memberikan hadiah sekaigus menjatuhkan hukuman mati.
Hae Soo tak pernah menduga kedatangan tiba-tiba ini, ia terpaku ketika Raja Wang So melabraknya dengan amarah meluap, “Sekarang aku tahu mengapa engkau berlutut demi menyelamatkan Wook. Gelang yang kau kenakan, pertemuan rahasia di Damiwon. Apa semua itu benar? Apa kau dulu pernah berencana menikah dengan Wook?” sepasang mata merah Raja Wang So bagai hendak membakar Hae Soo hidup-hidup. Di pihak lain Hae Soo tertunduk, tanpa sadar ia menganguk membenarkan.
“Pria yang kau bilang kau cintai, apakah ia Wook?” sekali lagi Yang Mulia bertanya dengan harapan Hae Soo akan menjawab, ‘tidak’. Akan tetapi, ternyata Hae Soo kembali mengangguk, membenarkan. Sepasang mata Raja Wang So membelalak lebar, ingatannya kembali melayang pada masa yang lampau.
Hae Soo menolak kehadirannya, karena telah hadir orang lain. Ia menebak, “Apakah ia Baek Ah?”
“Bukan”, jawab Hae Soo singkat.
Saat berdua di atas kuda, Wang Wook menjemput Hae Soo, ketika Wang So,”Saya akan mengantarnya ke istana”
“Kehadiranmu berdua pasti akan menimbulkan buah mulut dan pembicaraan kalangan istana”, alasan Pangeran Wang Wook.
Pangeran Wang Wook menahanya saat melihat Hae Soo berlari pergi, lalu menegaskan, “ Tidak ada apapun di istana yang bisa jadi milik Wang So baik Yeon Hwa maupun Hae Soo, karena keduanya adalah orang-orangku”.
Lalu Hae Soo berlutut demi Wang Wook, karena tahu Raja Wang So  sengaja membunuh elang untuk menjebak Pangeran ke-8. Segalanya demikian nyata, berkaitan. Diam-diam Yang Mulia mengeluh, selama ini kedua matanya buta.
“Aku lebih suka kalau engkau mengatakan tidak, maka segalanya akan kembali seperti sediakala”, Yang Mulia lebih memilih jawaban yang bukan sebenarnya.
“Kita sudah setuju untuk tidak akan saling berbohong”, tidak mudah bagi Hae Soo mengatakan, tetapi harus. Satu hal yang tak mampu dimengerti sang raja. Mengapa seorang kekasih bisa berlaku seperti itu. Darah Raja Wang So seakan mendidih. 
“Kukira engkau mengasihiku, ternyata sama saja, engkau cuma seorang pengkhianat. Tega benar perlakuanmu? Mengapa harus Wook? Ternyata di hati seorang pengkhianat selalu ada Wang Wook”, kali ini sang raja tak mampu lagi memaafkan. Hae Soo adalah kekasih raja, ternyata di hatinya tersimpan pangeran yang lain, pangeran yang ingin dibantainya, Wang Wook.
Hae Soo mencoba menenangkan kemarahan sang raja dengan memegang lengan, tetapi Yang Mulia menolaknya, “Jangan pernah menyentuhku. Terhitung mulai hari ini, aku tidak akan pernah melihat seorang pengkhianat, tidak akan melihatmu lagi”, suara Raja Wang So menggelegar seakan Guntur, langkah Yang Mulia berdebum pergi seakan hendak merobohkan lapisan kulit bumi.
Hae`Soo masih terpaku, tak pernah menduga suatu saat setelah tahun-tahun yang Panjang Yang Mulia akan berkata seperti ini. Ia tahu, keputusan untuk tidak kembali ke kamar kekasih raja benar adanya. Kisah cinta ini berakhir sudah, tanpa terasa gerimis menitik pada sepasang mata Hae Soo, mungkinkah ini air mata penghabisan?
                                                                                ***
Hari itu akhirnya tiba, hari ketika Hae Soo berketetapan meninggalkan dinding istana, tak ada lagi yang dapat memaksanya tinggal, tak ada lagi cinta seorang raja. Dengan caranya sendiri ia telah diusir pergi. Beberapa orang dayang menyertai Hae Soo meninggalkan Istana Damiwon, air mata telah sirna, wajah lemut itu kini tersenyum. Ia akan terbebas dari segala perselisihan keluarga kerajaan yang berakhir dengan hukuman mati atau maut. Ia lelah melihat genangan darah, ia merindukan kehidupan damai yang telah ditawarkan Pangeran Wang Jung.
Di ruang tahta Raja Wang So tengah duduk, menyibukan diri membaca buku. Ia mencoba mengubur beribu perasaan yang berkecamuk bagai perang saudara tanpa akhir. Ia bersikap seolh tak pernah kehilangan apa-apa.
“Yang Mulia pernah satu kali mencampakkan Hae Soo. Benar, banyak hal harus dikorbankan  untuk melindungi takhta ini. Akan tetapi, bila Yang Mulia mengusirnya dengan cara  seperti ini, suatu saat tak akan pernah dapat memaafkan diri sendiri”, Choi Ji Mong memberanikan diri berucap.
“Aku tidak pernah meninggalkannya, ia yang meninggalkanku”, tatapan Raja Wang So lurus ke depan, ia bersikap seolah-olah tak akan pernah merasa kehilangan.
Di depan istana telah disiapkan sebuah tandu lengkap dengan pengawal, Pangeran Baek Ah tampak  menyambut Hae Soo di depan pintu dengan membawakan segelas minuman, “Segelas minuman untuk mengucap selamat jalan, bukankah kita adalah teman dan akan selalu berteman”, senyum Pangeran BaekAh selalu tulus,  satu hal yang menentramkan hati Hae Soo.  “Seandainya aku tahu Wang Jung punya titah mendiang raja, maka sejak awal pasti aku akan membantumu”, Pangeran Baek Ah tahu, keputusan meinggalkan istana, hidup damai dengan Wang Jung adalah suatu hal yag bijak, ia pun merasa lelah dengan pertikaian keluarga raja.
“Akupun idak tahu. Jung hanya pernah sampaikan, ia memiliki jalan keluar untuk meninggalkan istana” Hae Soo tahu ketulusan hati Pangeran Baek Ah, ia bisa menangkap dari senyum manis pada wajahnya.
“Tapi benarkah engkau meghendaki pernikahan ini? Atau harusnya menolaknya?” Pangeran Baek Ah masih meragukan alasan Hae Soo meninggalkan istana, benarkah ia mencintai Jung?
“Seorang tak harus menghendaki pernikahan, akan tetapi kehidupan Bersama Jung adalah satu-satunya jalan keluar. Aku memiliki alasan”, jawab Hae Soo.
“Sebenarnya aku ingin engkau tetap menjadi bagian hidup Yang Mulia. Mengapa harus pergi  pada saat tak akan pernah mampu  melupakan?” Pangeran Baek Ah seolah ingin menjenguk isi hati Hae Soo terdalam. Ada terlalu banyak wanita meminta cinta sang raja, tetapi Hae Soo bahkan menolaknya.
“Andai lantai istana tidak harus digenangi darah? Segalanya akan berjalan dengan damai”, ada satu hal yang selalu dirindukan Hae Soo, suasana damai.  Ia tak mampu lagi menyaksiskaan hukuman mati serta pertumpahan darah atas nama melindungi tahta.
“Aku tidak tahu benar bagaimana kisah cinta seorang raja, tapi aku sangat beruntung bisa mengenalmu.  Satu hal sangat berharga yang pernah diberikan Nyonya Hae. Tetaplah berbesar hati, jangan sampai jatuh sakit, karena kesedihan”, pesan Pangeran Baek Ah dari hati yang tulus.
Pada saat yang sama Pangeran Wang Wook datang, sejenak tertegun saat melihat Hae Soo bersiap  pergi meninggalkan istana. Pangeran ke-8 mengerti arti kepergian itu, ia akan kehilangan untuk selama-lamanya, ia tak akan pernah lagi berjumpa dengan satu-satunya wanita yang dicintai. Harapan itu telah lama berserakan dan kini kandas sampai di sini.
“Lebih baik engkau menyingkir, bila terjadi apa-apa aku pasti akan memanggil  pengawal”, Pangeran Baek Ah memberi peringatan, ia tahu Pangeran Wang Wook pernah mengharapkan kematian dengan mengirimnya sebagai pemimpin ke medan pertempuran.
“Tinggalkan kami berdua, tidak akan terjadi apa-apa. Terima kasih”, Hae Soo mengangguk, memberi keyakinan kepada Pangeran Baek Ah, maka sang pangeran berlalu pergi.
“Aku  tidak melakukannya dengan maksud tertentu”, Pangeran Wang Wook membuka kata, mengingat kembali pembicaraan dengan Yang Mulia. Hanya ada satu-satunya cara, sehingga sang raja merelakan Hae Soo pergi menikah dengan Wang Jung, kecuali mengakui hubungan dekat yang memang pernah terjadi, meski segalanya berakhir sedemikian rupa. Api cemburu akan membakar seorang raja, sehingga ia bisa melupakan wanita yang dicintainya.
“Jika engkau tidak tahu kalau aku ingin pergi dari istana,  pasti engkau tidak akan mengatakan kepada siapapun”, Hae Soo sangat mengerti sifat Wang Wook, seorang yang pernah mengores kenangan indah, karena kelembutan hati.
“Wang Jung pasti akan selalu bersikap baik. Tetaplah kuat, lupakan segala yang pernah terjadi di lingkungan istana. Mulailah dengan hari-hari baru serta harapan”, suara Pangeran Wang Wook  bergetar. Tak pernah sekejabpun ia melupakan Hae Soo, bahkan setekah ia menerima kamar indah seorang kekasih raja. Kini, pada hari terakhir ketika berpamit untuk hidup bersama dengan Wang Jung, perasaan Pangeran ke-8 tak pernah berubah, tetapi ia hanya dapat merasakan. Tanpa sedepa kemampuan untuk meraih. Seperti halnya ia telah menuliskan takdir hidup, demikian pula Hae Soo. Perasaan yang kini menghunjam adalah kehilangan teramat dalam. Ia adalah seorang pangeran, putra ke-8 Raja Taejo Wang Geon namun justru takdir itu, maka ia tak mudah untuk dapat menikah dengan wanita yang dicintai. Dalam hidup ternyata tak semuanya dapat dijangkau. Ia tahu pada saat yang genting, Hae Soo mesti berlutut demi keselamatan dirinya. Ia memang diasingkan, tetapi terelak dari hukuman mati. Hae Soo telah menentukan sikap yang bijak dan berani, ia tahu siapa sesungguhnya yang membunuh elang. Pasti bukan Pangeran Wang Wook.
Siapakah sesungguhnya wanita ini? Seorang yang memiliki keberanian tanpa niat serakah, meski berada dalam jarak yang sangat dekat dengan kekuasaan? Pangeran Wang Wook menahan sedu sedan. Ia telah mengalami serangkaian kisah hidup tak biasa, dengan seorang bernama Hae Soo terlibat terlalu jauh di dalamnya. Seroang yang dapat dilihat hari ini untuk terahir kali, kemudian sang waktu akan membawa pergi.
Sesaat Hae Soo terpaku, ingatan melayang pada hari-hari pertama kala dengan aneh ia terjebak ke istana. Pangeran Wang Wook selalu memberi perlindungan, bersikap lembut hingga sampai pada janji pernikahan. Akan tetapi perebutan tahta serta pertumpahan darah mengacaukan segalanya. Ketika tangan kukuh Pangeran Wang Wook   memegang bahu kemudian memeluknya, Hae Soo masih terpaku. Ia tahu perasaan terdalam Pangeran ke-8, yang berakhir dengan kehilangan yang menyakitkan. Andai ia bisa memutar kembali jarum waktu?
“Segalanya yang pernah terjadi antara kita memang berakhir sampai di sini, tetapi ingatan akan terus mengenang, jauh tanpa batas ….” andai seorang pangeran Goryeo dibenarkan menangis, pasti Wang Wook telah terisak. Akan tetapi, ia tidak hendak melumuri perpisahan ini dengan air mata. Sadar atau tidak ia harus bertanggung jawab dengan takdir yang dikehendakinya. Takdir yang tak pernah membawanya sampai menuju tahta.
Keduanya saling bertatapan dengan sepasang  mata yang sama pada mula berjumpa, keduanya mencoba tersenyum, menghadapi perpisahan dengan dewasa. Ada hari-hari yang lebih baik menanti. Sejenak Hae Soo menatap kembali seisi dinding istana, ia tidak ragu berpamit, ia tidak kehilangan meninggalkan megah istana raja diraja. Ia pernah menjadi bagian penting di dalamnya dan segalanya menyakitinya. Cukup sudah rasa sakit itu sampai di sini.  Ketika Hae Soo melangkah pergi Pangeran Wang Wook tetap berdiri terpaku, ia ingin menulis ribuan puisi untuk menyatakan pedih perpisahan ini.
Sementara RajaWang So dengan gontai melangkah ke kamar Hae Soo, ia memang pernah berucap tak pernah  ingin melihat kekasih hati. Akan tetapi, benarkah ia menginginkan perpisahan ini? Kecuali Wang Wook membakarnya dengan api cemburu. Sesaat Yang Mulia terdiam, pakaian pernikahan seorang ratu yang mestinya dikenakan Hae Soo pada hari bahagia, masih terawat dengan baik, seakan esok hari sang kekasih benar akan mengenakannya. Ada yang tercabik di relung hati, mengapa Hae Soo mesti menganggukkan kepala ketika ia meminta jawaban hubungan dengan Wang Wook? Mengapa ia tidak menjawab, “tidak”. Yang Mulia tidak cukup mampu menguasai diri saat dibakar api cemburu, maka ia mengusir Hae Soo, sesuai dengan keinginan sang kekasih. Yang Mulia terlalu terburu-buru untuk sekedar menyadari, Pangeran Wang Wook sengaja memantik nyala api untuk perpisahan ini. Tanpa izin menikah bagi Pangeran Wang Jung, Yang Mulia akan dituntut turun dari tahta, Ratu Yeon Hwa akan terseret serta. Wang Wook melakukan segala daya upaya bagi kedudukan seorang ratu adinda tercinta. Ia telah melakukan dua hal sekaligus, memberi peluang bagi Hae Soo untuk pergi –meski perpisahan ini benar menyakiti, sekaligus mengamankan kedudukan ratu bagi Yeon Hwa, sesuai permintaan di ruang baca.
Yang Mulia terlalu marah untuk menyadari semua itu. Kini ia dihantam sunyi di depan pakaian pengantin seorang ratu, pakaian yang tak akan pernah dikenakan siapapun, pakain indah yang membisu sepanjang waktu. Tanpa sadar Raja Wang So terisak, ia cuma seorang diri. Seorang Raja Goryeo tak pernah dinyatakan bersalah menangis seorang di depan pakaian pengantin.
Semantara di halaman istana Hae Soo terus melangkah sambil terus bergumam, “Jika aku tak pernah bertemu, maka aku  tak akan merindukan.  Jika aku tak pernah mengenal, maka aku tak akan selalu memikirkan. Jika aku tak pernah bersama, maka aku pasti tak akan meninggalkan. Jika aku tak mencintai, maka aku tak perlu mengingat, maka kita tidak perlu berpisah. Jika kita tidak pernah bertemu, pasti kita tidak akan pernah bersama. Seandainya aku tak pernah bertemu denganmu…” untuk yang terakhir kali Hae Soo menoleh, sepasang mata merah berembun. Ia telah sampai pada keputusan berani yang mengubah takdir hidup selamanya. 


Bersambung ke Scarlet Heart, Ryeo Episode 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...