Hae Soo termenung di istana Istana Damiwon, ia
tak dapat memastikan, apakah ia akan sanggup lebih lama menetap di
istana sebagai kekasih raja. Benar, ia mendapatkan cinta seorang raja.
Suatu hal yang Ratu Goryeo pun tidak akan pernah memiliki. Akan tetapi,
kematian demi kematian telah ia saksikan. Raja Taejo meninggal dalam
usia tua dengan gelisah akan nasib Goryeo, karena para pangeran berebut
tahta. Raja Wang Mo tewas mengenaskan di tangan Pangeran Wang Yo.
Pangeran Wang Eun serta Park Seon Duuk tewas berlumuran darah atas
perintah Raja Wang Yo. Akhirnya Raja Wang Yo meninggal terbunuh rasa
takut akan segala kesalahan. Kematian demi kematian itu sangat
memilukan. Kini, Chae Ryung dayang malang yang telah diakui sebagai
saudara kandung, karena kebaikan serta kepolosan sikapnya pergi
selama-lamanya setelah hukuman mati yang mengerikan. Benarkah dayang
malang itu seorang pengkhianat? Chae Ryung terlalu tolol untuk
berkhinat. Ada yang remuk serta gerah di relung hati, maka Hae Soo hanya
terdiam, mereka-reka apa yang sebaiknya dapat dikerjakan?
“Engkau tidak sepenuhnya sehat, mengapa duduk di luar. Ayo
kembali ke dalam ….” Raja Wang So mengulurkan tangan, ia selalu menunggu
waktu yang tepat untuk berbicara dengan kekasihnya.
“Aku tak akan kembali ke kamar itu”, suara Hae Soo lemah, tetapi cukup menunjukkan sebuah jawaban.
“ Chae Ryung sudah mengkhianatimu, tidak pernah jujur padamu,
tidak sekalipun”, sang raja tahu sebab musabab Hae Soo selalu berduka.
Pandangan Hae Soo menerawang jauh pada pertemuan terakhir saat berdoa, Chae Ryung memegang tanganya sambil berkata, “Aku baik-baik saja”. Ia seperti masih merasakan genggaman tangan dayang itu, masih meyakini ketulusan hatinya.
“Chae Ryung, dayang dengan hati yang tulus, tak kata-kata yang dapat mengubahnya”, jawab Hae Soo.
“Siapakah sebenarnya yang engkau percaya, aku atau dayang itu?”
Raja Wang So mulai bertanya-tanya, dengan siapa ia sebenarnya ia
meletakkan hati. Mengapa seorang kekasih lebih mempercayai seorang
dayang yang pernah membohongi, bukan raja yang mencintai.
“Aku tak mampu lagi bertahan hidup tempat ini. Kematian demi kematian itu terlalu menakutkan”, suara Hae Soo semacam rintihan.
“Bila engkau pergi, siapa yang akan tinggal bersamaku? Apakah
aku akan membiarkan engkau pergi begitu saja?” Raja Wang So mulai
dihantam rasa cemas, dapatkan ia berdiam dengan nyaman di istana setelah
Hae Soo pergi? Sesaat sang raja menatap wajah pucat itu kemudian pergi
berlalu.
Ketika Raja Wang So pergi ke kamar Hae Soo, ruangan itu benar
kosong, wajah tampan itu tampak muram. Seorang rajapun harus tahu arti
rasa kehilangan. Sanggupkah ia hidup tanpa seorang kekasih?
Sementara di tempat berbeda Ratu Yeon Hwa tengah berendam
dengan air bunga, seperti kebiasaan yang dilakukan Ratu Yoo. Sang ratu
menikmati saat-saat istimewa, ketika kesegaran serta keharuman
memanjakan seluruh tubuhnya yang berlekuk indah. Terngiang kembali
kata-kata Raja, “Bila engkau benar ingin menjadi satu-satunya
ratuku, melahirkan putra mahkota, dan menjadi ibu suri? Bisakah engkau
berpaling dari Wook dan keluargamu?”
“Goryeo akan menjadi milik putraku suatu hari nanti”, Ratu
Yeon Hwa berucap pada diri sendiri, ia akan melakukan apa saja untuk
melahirkan seorang putra mahkota. Sepasang mata tajam sang ratu
membesar, dan terus membesar seakan hendak meloncat dari kelopaknya.
***
Hae Soo memberikan sebuah bingkisan kepada Choi Ji Mong,
“Tolong berikan kepada keluarga Chae Ryung, hanya ini yang dimiliki
saat ini. Apabila dari pihak keluarga memerlukan hal yang lain, aku akan
coba mengabulkanya”.
“Engkau tidak perlu melakukan semua ini. Tidakkah raja akan murka?” ragu Choi Ji Mong menerima bingkisan itu.
“Chae Ryung mengkhawatirkan keluarganya, bahkan di saat
terakhirnya. Dia meminta bantuanku, Raja tidak akan keberatan”, Hae Soo
yakin akan hal itu.
Pada saat yang sama Pangeran Wang Won datang bersama
rekan-rekan, Hae Soo menatap sinis, berucap, “Tidakkah Pangeran ke-9
berkabung dengan kematian Chae Ryung?”
Sebagai jawaban Pangeran Wang Won menatap ke arah lain. Seperti
tak pernah mendengar suara apa-apa. Hae Soo menjadi geram. “Pangeran
ke-9 seharusnya tak setenang ini, karena kematian tragi situ. Bukankah
Chae Ryung hanya pelaku, bukan pemikir?”
“Engkau memang sudah gila”, amarah Pangeran Wang Won mulai terpancing.
“Suau saat engkau akan menyesali kematian tragis Chae Ryung, seorang dayang yang malang”.
“Sejak menjadi simpanan raja, engkau selelau berbuat sesuka
hati”, Pangeran Wang Won menatap Hae Soo dengan tatapan tak kalah sinis.
Ia adalah seorang pangeran, keturunan Raja Goryeo Wang Geon. Hae Soo
Cuma soerang dayang yang kini adalah simpanan raja, tak berhak
memberikan teguran, andai serratus Chae Ryung mati dalam satu hari.
Kali ini Hae Soo nyaris terlonjak, karena terkejut. Demikian
pula Choi Ji Mong. Kata-kata Pangeran Wang Won terlalu kasar, tidak
pantas diucapkan bagi seorang kekasih raja. Akan tetapi, baik Hae Soo
maupun Choi Ji Mong tak dapat menyangkal kebenarannya.
Suasana tiba-tiba berubah menjadi beku. Teramat beku.
***
Hae Soo menemui Yang Mulia raja yang memintanya untuk datang,
“Sudah kudengar kata-kata Won dari Ji Mong. Aku akan menjadikanmu
sebagai selir kerajaan”, sang raja menyesal, mengapa Won harus berkata
sekasar itu, ia bermaksud menebus kesalahan itu. “Engkau akan
diperlakukan sebagai istri kedua, setelah melahirkan engkau akan menjadi
ratu kedua”, Raja Wang So melanjutkan.
“Alasanku ingin pergi dari tempat ini bukan karena gelar itu”, jawab Hae Soo.
“Bicarakan dulu dengan Ji Mong, pilih gelar yang engkau mau”,
sang raja masih sangat berharap Hae Soo bersedia tinggal di istana.
Hae Soo membungkam, sang raja tampak bukan lagi sebagai kekasih, tetapi orang asing.
“Jangan terlalu keras kepala, tidak ada gunanya berdebat. Sudah
terlalu jauh kita melangkah, apakah harus berakhir sampai di sini?”
Raja Gwangjong menyimpan satu pertanyaan, ketika beribu dayang bersedia
mengorbankan segalanya demi menjadi simpanan raja bagi kemewahan yang
bisa diterima. Mengapa Hae Soo justru menolaknya? Ada yang tak biasa
dalam diri sang kekasih. Ketika sang raja memegang tangan Hae Soo, ia
bisa merasakan dingin yang menyengsarakan.
***
Pangeran Wang Wook tahu Yang Mulia akan membaca, Pokok
Pemerintahan dalam Kepemimpinan Zhenguan Zhenyao. Sesungguhnya Pangeran
ke-8 tidak benar memahami apa sesungguhnya rencana di balik rencana itu.
Maka sang pangeran meminta Wang Won untuk mencarikan burung elang yang
pandai berburu dan sangat lincah.
“Aku tidak tahu apa sesungguhnya rencana raja, sepertinya ia
memang ingin berburu. Aku harus menyesuaikan setiap langkahnya”,
Pangeran Wang Wook berucap.
“Hyungnim tahu bukan saudara ke-4 kita? Engkau tidak
pernah bisa percaya atau berhenti waspada. Bersiaplah memotong anggota
tubuhnya”, jawab Pangeran Wang Won.
“Apa maksudmu Baek Ah?” Pangeran Wang Wook binggung
“Dia berhubungan dengan gisaeng dari Gyobang. Pasti
lebih mudah menyingkirkan dari sisi raja”, Pangeran Wang Won perlu
melakukan sesuatu untuk menghasut Pangerana ke-8. Sekilas Pangeran Wang
Wook menatap wajah Wang Won kemudian terdiam.
***
Pangeran Baek Ah dan Woo Hee tampak berjalan bersama, sang
pangeran merasa heran, Woo Hee masih ragu, meskipun telah diangkat
secara sah selaku anggota keluarga. Sementara ibunda suda tak sabar
ingin berjumpa dengan calon menantu. “Engkau tampak masih ragu? Apakah
karena hal kemarin hari? Aku sudah menyarankan pada raja untuk
membebaskan semua budak dari Hubaekje. Hal itu tidak akan pernah terjadi
lagi”, Pangeran Baek Ah membuka pembicaraan.
Woo Hee berniat menjawab, tetapi kata-kata yang sudah di ujung
lidah ditelan kembali. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh orang-orang tewas
bersimbah darah, dengan tulisan di dada --budak pelarian. Beberapa
orang bertanya-tanya, “Mengapa rakyat Hubaekje tidak membayar pajak?
Mengapa harus melarikan diri?”
Kepala Woo Hee seakan ikut menggasing bersama angina lesus.
Pangeran Baek Ah membujuk, mengajak gadis cantik itu menjauh, tetapi Woo
Hee tampak sangat marah. Apa yang terjadi pada rakyatnya?
Choi Ji Mong memberi penjelasan, “Budak-budak Hubaekje sudah
membakar 10 rumah para petinggi, korban jatuh dari anggota keluarga
petinggi. Tindakan ini tak bias dibiarkan. Kekerasan harus dihentikan”.
“Mestinya Yang Mulia mengutus prajurit”, Pangeran Wang Wook berpendapat.
“Jika mengutus prajurit, pertumpahan darah pasti terjadi, dan
akan terus terjadi. Rakyat biasa akan terlibat, seisi kerajaan akan
kacau”, tegas suara Raja Wang So.
“Keluarga-keluarga petinggi harus dilindungi, keamanan mereka
terancam. Istana belum bertindak sama sekali, keluarga-keluarga itu
sudah mencari prajurit pribadi”, Pangeran Wang Wook bersuara.
“Benar, Yang Mulia harus melindungi keluarga petinggi yang
tulang punggung kerajaan ini”, Perdana Menteri mendukung pendapat
Pangeran Wang Wook.
“Prajurit harus menggunakan tombak tanpa pisau dan pedang kayu.
Aku belum lama memerintah kerajaan ini, hindarkan pertumpahan darah”,
sang raja memutuskan.
“Aku sarankan Pangeran ke-13 Baek Ah yang memimpin prajurit
tersebut”, saran Pangeran Wang Wook dengan kesadaran Baek Ah tak
menguasai ilmu perang.
“Pangeran Baek Ah tak menguasai ilmu perang, ia akan celaka
jika harus memimpin prajurit” Choi Ji Mong terkejut, Pangeran ke-8
memiliki gagasan tak masuk akal. Sementara Raja Wang So tak kalah
terkejut.
“Ada sementara pendapat Yang Mulia tidak memperhatikan rakyat
pribumi Goryeo,lebih peduli dengan rakyat Baekje dan rakyat Silla yang
merupakan asal keluarga Baek Ah. Bukankah Baek Ah telah membuat wanita
Baekje diadopsi di keluarga rakyat Goryeo agar bisa menikahinya”,
Pangeran Wang Wook tetap bersikeras supaya Baeh Ah memimpin prajurit.
“Aku sudah memberikan izin Baek Ah menikah dengan Woo Hee”,
jawab Raja Wang So, sepasag alisnya berkerut, ia mulai bertanya-tanya,
apa sesungguhnya yang berada dalam pikiran Wook?
“Hal itu juga bisa berarti, bahwa seseorang yang dekat dengan
Yang Mulia sedang dikuasai oleh seseorang dari Baekje”, Pangeran Wang
Wook berkeras menyudutkan Baek Ah, tanpa menyadari betapa sesungguhnya
ia sedang menuntun langkah menuju jurang. Pangeran Baek Ah sahabat bagi
Yang Mulia Raja.
“Hal itu tidak masuk akal”, Yang Mulia Raja menyangkal.
“Hal yang tak masuk akal bisa terjadi setelah menjadi buah
mulut”, Pangeran Wang Wook belum menyerah. Pada saat yang sama Pangeran
Baek Ah datang menemui raja.
“Baek Ah hanya bisa memegang alat musik, mungkinkah ia bisa
menggunakan pedang?” sang raja tak mampu membayangkan bagaimana nasib
Pangeran ke-13 dengan bilah pedang di pertempuran. Bukankah ia seperti
memerintahnya menuju tiang gantung?
“Seseorang bisa menjadi curiga, karena tidak suka pada Woo Hee,
benar ia berasal dari Baekje, sementara keadaan ini menyebabkan
kedudukan raja menjadi sulit, “ Pangeran ke-13 bersuara, jauh dalam hati
ia mencemaskan sesuatu.
“Alangkah baiknya kalau aku yang memimpin prajurit”, Raja Wang So berpendapat, ia lebih mampu di medan tempur dari pada Baek Ah.
“Jika Yang Mulia berpihak di antara keluarga penguasa atau
budak maka keadaan akan semakin buruk”, Choi Ji Mong memikirkan
kemungkinan ketika seorang raja langsung terlibat menangani
perselisihan.
“Aku tidak akan mati. Jika kita tetap diam, maka istana akan
dikendalikan oleh keluarga-keluarga petinggi, takhta Yang Mulia bisa
terancam. Aku akan baik-baik saja”, Pangeran Baek Ah menyetujui
tantangan Pangeran Wang Wook, ia bukan seorang pengecut yang takut mati,
meski hanya mampu memegang alat music.
Jawaban Pangeran ke-13 menyebabkan Raja Wang So termangu. Ia
meragukan keselamatan Baek Ah, meski sang pangeran tak merasa cemas
dengan keselamatannya. Sesaat kemudian Yang Mulia menghela napas
panjang, menduduki singgasana ternyat tak semulia seperti yang
dibayangkan, ia bertanggungjawab secara langsung akan hidup matinya
seseorang.
***
Pangeran Baek Ah membantu mengikat rambut Woo Hee kemudian
memasangkan penjepit, “Benarkah engkau tak menyesali keputusan itu?” Woo
Hee bertanya, ia telah berad dalam keadaan sulit, hidup matinya tengah
dipertaruhkan.
“Aku hanya berpura-pura kuat, tak seorangpun tahu apa yang akan
terjadi nanti”, Pangeran ke-13 melihat mendung menggantung, tetapi ia
telah kehilangan tempat berlindung.
“Engkau akan memiliki seorang istri, aku berharap engkau
kembali dalam keadaan selamat. Aku tidak mau menjadi janda”, Woo Hee
tahu arti pertempuran bagi seorang pemain music, nyawa kekasih hati
tengah dipertaruhkan. Hati gadis Baekje itu menjadi gamang.
“Saat aku kembali, kita akan segera menikah, kita akan selalu
bersama selama-lamanya”, setulus hati Pangeran Baek Ah mencium Woo Hee,
tak ada hal lain yang lebih diinginkan kecuali menikahi gadis pilihan
hati.
“Sangat berharap, aku tak berasal dari Baekje. Dengan segenap hati, aku akan selalu hidup bersamamu”, Woo Hee menjawab jauh di relung hati, ia telah menyembunyikan sesuatu.
Di luar dinding istana budak budak terlihat siap untuk
bertarung dengan senjata terhunus di tangan. Tak mempedulikan pengumuman
yang tertempel untuk seluruh Baekje.
“Aku, Raja Goryeo, berjanji pada rakyat Baekje.
Budak tidak akan diserang, aku akan memastikan bahwa rakyat Baekje
diperlakukan secara adil. Semua orang yang dipaksa menjadi budak akan
dibebaskan. Rakyat jelata yang dipaksa menjadi budak juga akan
dibebaskan. Kebijakan ini akan diterapkan secara ketat. Budak yang
ditahan akan dipulangkan ke tempat asal, dibebaskan dari pajak untuk
sementara waktu, tidak akan dibedakan berdasarkan tempat kelahiran.
Rakyat Baekje boleh bekerja menjadi pejabat pemerintahan. Dan akan
menjadi warga berkebangsaan Goryeo.”
Raja Wang So sengaja membuat pengumuman agar tak terjadi
pertumpahan darah, tetapi seorang budak merasa sudah berkali-kali
mendengar janji –-yang ternyata palsu. Sekali ini ia tidak mau tertipu,
diperlakukan tidak selayaknya manusia yang merdeka. Rombongan budak itu
dengan gegap gempita bergerak menuju istana.
Di dalam istana Pangeran Baek Ah sedang bersiap-siap menghadapi
budak-budak yang bersitegang ketika seorang prajurit memberikan
sebilah pedang, tangannya yang terbiasa memegang alat musik menggenggam
sesaat sebelum senjata perang itu terjatuh ke atas tanah. Pada saat
yang sama Pangeran Wang Jung datang, siap mengamankan istana dengan
pakaian zirah. Sepasang mata Pangeran Baek Ah terbelalak melihat Wang
Jung, “Bukankah engkau telah dijatuhi hukuman pengasingan, mungkin juga
hukuman mati bila tetap di sini?” Pangeran ke-13 sangat mengkhawatirkan
keadaan adinda.
“Sampaikan kepada raja aku di sini, aku tidak takut mati”,
jawab PangeranWang Jung tanpa rasa takut, ia masih bertanggungjawab
mengamankan istana, terutama Pangeran Baek Ah yang tidak mahir
bertempur.
“Pernah kusampaikan, engkau akan ditempatkan pada keadaan yang
sulit. Seharusnya aku yang diperintah”, Pangeran Wang Jung membantu Baek
Ah mengenakan pakaian zirah.
“Aku selalu berharap akan kehidupanmu, engkau boleh kembali
kesini dengan keadaan terluka, tetapi jangan tiada. Aku tak sanggup lagi
melihat kematian”, Pangeran Wang Jung meminta.
“Apakah engkau sudah menerima pemberian Hae Soo yang
kutitipkan?” Pangeran Baek Ah bertanya, teringat ia akan kesungguhan
Hae Soo berpesan.
“Hiasan rambut itu?” Pangeran Wang Jung balik bertanya, Pangeran Baek Ah menganguk.
“Sudah kuterima, tetapi aku tak tahu apa artinya karena tidak
ada suratnya”, Pangeran Wang Jung mengerutkan alisnya, ia kesulitan
menangkap makna pemberian itu.
“Soo meminta agar menyampaikan secara langsung, dia berkata,
aku menginginkannya”, ucap Pangeran Baek Ah, dengan satu pertanyaan di
relung hati, apa sebenarnya yang diinginkan Soo?
“Soo berkata, aku menginginkannya? Apa Hae Soo sungguh
mengatakan hal itu?” Pangeran Wang Jung tak percaya, akhirnya jawaban
yang ditunggu dating juga.
“Hae Soo sangat menginginkannya. Demikian pesannya. Aku tidak
tahu apa yang diinginkan, tetapi bantulah. Aku tidak tahu apa yang akan
terjadi pada diriku. Apapun yang terjadi, tetaplah menjadi teman baik
bagi Hae Soo dan juga bagi raja. Dia juga sedang kesulitan”, Pangeran
Baek Ah bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
“Apa engkau harus mengkhawatirkan orang lain dalam keadaan
seperti ini? Tidak ada orang yang ingin menyampaikan salam perpisahan
sebelum engkau pergi”, Pangeran Wang Jung menghela napas panjang, hati
Baek Ah terlalu lembut seakan merdu suara music. Ia lebih mencemaskan
nasib orang sementara keselamatannya berada di ujung tanduk. “O ya,
dimana dayang dari Gyobang itu?”
“Sudah kusampaikan, ia tak usah datang”.
“Hati-hatilah, aku selalu berdoa untuk keselamatanmu”, Pangeran Wang Jung berpesan lalu berpamit pergi.
Sementara para prajurit terlihat bingung menatap ke arah
langit-langit. Pangeran Baek Ah melihat sebuah kain putih panjang pada
dinding bertuliskan --Penyatuan Tiga Kerajaan Goryeo, Baekje, dan
Silla-- Pada menara paling atas adalah Woo Hee, beberapa orang dari
Baekje yang berniat menerobos masuk, terkejut dengan keberadaan Woo Hee
di menara tinggi. “Turun….turun….tidak boleh ada di atas sana”,
permintaan itu serupa ratapan.
Darah Pangeran Baek Ah tersirap, ia tahu kemungkinan terburuk
yang akan terjadi pada diri Woo Hee. Tergesa ia memanjat tangga menara,
andai ia mampu menghalangi kemungkinan terburuk itu. “Jangan mendekat
….” wajah Woo Hee sepucat kapas, wajah yang sudah tak mampu menatap
kehidupan. Ia tahu apa yang akan terjadi apabila jati dirinya terungkap,
ia bukan dayang dari Gyobang, tetapi Maha Putri Baekje.
“Woo Hee, berpikirlah yang jernih. Masih ada yang akan bisa
kita raih….” Pangeran Baek Ah memohon. Ia pernah kehilangan, apakah
sekali ini ia harus kembali kehilangan?
“Balikkan badanmu”, sepasang mata Woo Hee berkaca-kaca, ia tahu
betapa tulus hati pangeran ini, dan ia tengah bersiap meremukkannya.
Pandangan gadis cantik itu mengabur saat melihat Pangeran ke-13
membalikan badan. “Jika menyaksikan, engkau tak akan pernah dapat
melupakan”, hari terakhir bagi Woo Hee telah sampai, ia sengaja
menjemput dengan cara yang mengerikan. Ia memilih kematiannya sendiri,
tak ada pilihan yang lebih baik kecuali menjatuhka diri dari menara
tinggi, meninggalkan kehidupan yang tidak adil kepada si kalah.
Jeritan sekalian budak ketika melihat tubuh melayang turun bagai ringan
kapas dihempas angin adalah suara terakhir yang terdengar gadis itu.
Ketika ia terjatuh dengan rasa sakit tak terperi, langit seakan runtuh
menggenangi tubuhnya dengan darah, semakin dalam hingga napasnya
tercekik. Kemudian segalanya menjadi gelap, seakan malam tanpa
berkesudahan.
Pangeran Baek Ah berdiri terpaku, waktu seakan terhenti,
membeku bagai sebongkah batu. Jeritan putus asa yang melolong dari
mulutnya mewakili segala rasa takut dan kehilangan. Dengan bodohnya ia
menuruti kehendak Woo Hee membalikkan badan, sia-sia ia mengulurkan
tangan. Wanita yang dicintainya memilih hari terakhir dengan cara ayang
menakutkan. Sekalipun tak menatap tubuh itu terlontar, dapatkah ia
melupakan?
Di dalam istana, Hae Soo terhenyak oleh satu lagi kematian
dengan cara yang menyakitkan. Wajah lembut itu semakin lesi. Masih
adakah satu alasan untuk menetap di istana ini? Sementara Raja Wang So
tak kalah terkejut, Hae Soo belum lagi mampu melipur duka nestapa
setelah kematian Chae Ryung. Kini Woo Hee bunuh diri terjatuh dari
menara tinggi. Wajah tampan sang raja tampak muram.
***
Sementara Pangeran Baek Ah terisak memeluk tubuh mati Woo He,
suara terakhir gadis itu bagai rintihan, “Kukira aku bisa mengabaikan
semuanya kemudian menjalani hidup. Aku mencoba menyangkal orang tua,
ternyata tidak bisa mengabaikan kaumku yang memandangku sebagai seorang
ibu. Goryeo dan Baekje, Gyeon Hwon dan Taejo Wang Geon. Akan kutebus
dosa-dosa dan perbuatan mereka dengan nyawaku. Mungkin inilah alasanku
dilahirkan. Aku mencintaimu, engkaulah satu-satunya pasangan hidupku”,
cahaya pada sepasang mata Woo Hee nyaris padam, yang tersisa hanya
kepedihan. Ia masih dapat merasakan pelukan erat dari seorang pangeran
yang mencintainya, ia tak pernah ragu akan rasa cinta itu. Ia telah
mengabaikan bagi sebuah kematian yang memiliki alasan untuk dua
kerajaan. Semakin lama pandangan mata Wo Hee semakin padam, setelah
genangan darah, perlahan napas itu tercekik, tubuh Woo Hee terkulai.
Isak tangis Pangeran Baek Ah berubah menjadi ratapan, ia
memeluk tubuh Woo Hee erat-erat, mengharap kehidupannya. Akan tetapi,
tubuh itu benar telah mati, meninggalkan kesendirian, kehilangan teramat
dalam yang terus menerus menyakiti. Pangeran Baek Ah tak sepenuhnya
mengingat apa yang terjadi setelah kematian ini, kecuali pedih perih dan
terasing dalam kesendirian. Dalam nestapa sang pangeran menatap kembali
semua lukisan yang digores saat Woo Hee berlatih tarikan pedang di
hutan, ia teringat kembali saat gadis itu menusuknya pada perayaan ulang
tahun raja. Kenangan itu terlalu dalam. Siapakah sesungguhnya Woo Hee
ia tak perlu tahu, kecuali satu hal, ia mencintainya dan tetap
mencintainya.
“Tubuh yang telah mati tak akan dapat dibangkitkan kembali,
ingatan tak mudah diabaikan. Akan tetapi, hari depan harus diselamatkan.
Masih ada banyak hal yang dapat engkau capai, relakan kepergian itu”,
Hae Soo tahu betapa dalam rasa kehilangan itu, ia harus menghibur
Pangeran ke-13.
“Ia menyembunyikan sesuatu, tak pernah berbagi rasa percaya.
Aku adalah salah satu penyebab kematiannya. Siapakah sebenarnya Woo Hee?
Seorang warga dari kerajaan yang runtuh? Seorang gisaeng?
Seorang anak yatim? Aku bahkan tak pernah mempedulikannya? Aku bangga
mencintainya”, wajah Pangeran Baek Ah tampak muram, impian untuk hidup
berbahagia dengan seorang yang dicintai terkubur bersama reruntuhan
waktu. Seluruh panjang rangkaian hari seakan berakhir sampai di sini.
Adakah takdir hidup harus selalu kehilangan?
Hening.
Hae Soo betapa tidak mudah ditinggalkan. Bukankah ia juga tengah ditinggalkan?
“Selama ini aku tak pernah berusaha memahami, bagaimana
sesungguhnya perasaan Woo Hee? Apa yang membuatnya selalu bersedih dan
apa yang membuatnya terluka? Aku tak pernah bertanya, hanya sesaat ia
tersenyum, kematian mengubur selama-lamanya. Segalanya begitu cepat
berlalu”, Pangeran Baek Ah menyalahkan dirinya sendiri.
“Pangeran ke-13 tak perlu memanggung kesalahan, setiap orang
menyimpan rahasia bahkan pada hari terakhirnya. Woo Hee memilih takdir
hidup yang berbeda. Dan apapun yang dipilihnya kematian sudah terjadi,
ia sudah beristirahat di dalam damai. Sekali lagi, relakan”, tulus hati
Hae Soo mengucapkan rangkaian kata.
Pangeran Baek Ah berterima kasih dengan semua kata-kata
menghibur itu. Ia tak banyak berucap, sebagai jawaban ia menemui Yang
Mulia Raja. “Engkau tampak terlalu kurus, aku akan mengutus tabib istana
untuk memberikan ramuan bagi kesehatanmu”, iba hati sang raja melihat
keadaan adinda, ia selalu yakin Pangeran ke-13 mengasihinya.
“Bila Woo Hee memasang pengumuman itu dari raja, berarti telah
ada kesepakatan sebelumnya”, Pangeran Baek Ah perlu memahami sesuatu
sebelum kematian itu.
“Aku tak menyangka Woo Hee memilih untuk mati. Ia pernah
menyampaikan, aku bisa menyelamatkanmu jika menulis pengumuman itu. Saat
itulah aku tahu dia putri dari Hubaekje”, jawab Raja Wang So.
Pangeran Baek Ah tertegun. Pernahkah ia mengira ternyata Woo
Hee seorang Puteri Hubaekje? Kiranya sang puteri sengaja menyembunyikan
jati diri.
“Aku ingin menyelamatkanmu, pengumuman itu kutulis, karena
putus asa. Aku tidak tahu kalau Woo Hee memutuskan jatuh dari menara
tinggi. Kalaupun tahu akan tetap melakukannya, aku harus
menyelamatkanmu. Betapa penting arti seorang Pangeran ke-13 bagi seorang
raja”, lidah Raja Wang So sesungguhnya terasa pahit, ia tahu betapa
kehilangan Baek Ah, karena kematian itu. Akan tetapi, apakah ia memiliki
pilihan?
Pangeran Baek Ah terdiam, ia telah terjebak ke dalam selubung
misteri, ketika lapisan demi lapisan tersingkap ternyata segalanya
menyakiti. Tak mudah berlaku sebagai saudara muda seorang raja, bahkan
ketika Yang Mulia bersiteguh menyelamatkannya, karena hal itu berarti
kematian bagi seorang yang lain. Seorang yang sangat dikasihi. Pangeran
Baek AH masih bersikukuh menahan genangan air mata di hadapan raja.
Akan tetapi, perasaan hampa menyeruak bagai badai yang membantai
ketabahannya. Masih dalam perasaan hampa sang pangeran berlutut
memberikan hormat, sang raja panic. “Tidak perlu engkau berlutut, semua
kesalahanku”, Raja Wang SO mencoba menghibur.
“Tidak, semua adalah kesalahanku. Pangeran ke-13 tak cukup kuat
melindungi Yang Mulia Raja. Semoga Hyungnim selalu diberkati umur yang
panjang serta kesehatan”, setelah memberikan hormat serta doa
pengharapan Pangeran Baek Ah undur diri. Taka da lagi yang harus
disampaikan di hadapan seorang raja.
“Baek Ah ….” Suara Yang Mulia terkulai di tenggorokan, Pangeran
ke-13 melangkah lurus ke depan tak pernah menoleh lagi. Sekalipun Yang
Mulia memanggilnya.
***
Ketika kembali ke dalam kamar Yang Mulia tertegun, Ratu Yeon
Hwa telah menunggu dengan sabar. Dalam balutan pakaian kebesaran,
sesungguhnya kecantikan sang ratu tiada tara, namun Yang Mulia hanya
sekilas menatap, “Sudah yakin dengan keputusanmu?” suara Raja Wang So
dingin. Sebagai jawaban sang ratu tersenyum lembut, “Seorang ratu
selalu yakin dengan keputusannya”.
***
Pangeran Wang Wook hadir di ruang tahta bersama kasim membawa
sesuatu, raja akan berburu sang pangeran berbaik hati mencarikan seekor
elang untuk Yang Mulia. “Berburu adalah adalah kesukaanku”, Yang Mulia
tersenyum dengan pemberian itu.
“Pemberian selalu menunjukkan kasih sayang antara saudara”,
Pangeran Wang Won juga tersenyum. “Dari buku yang kubaca, kasih sayang
dan persaudaraan adalah dasar bagi seorang pria dalam membina
persaudaraan. Adalah salah satu sebab, mengapa persaudaraan menjadi
lebih baik. Keselerasan keluarga istana berarti keselarasan bagi seluruh
kerajaan”, senyum Pangeraan Wang Won berubah menjadi tawa. Akan tetapi
hanya sekejab, suasana hangat penuh tawan berubah menjadi kemarahan Yang
Mulia Raja. Saat kain penutup sangkar burung terbuka, tampak seekor
elang yan sudah menjadi bangkai.
“Bukankah ini elang yang sudah mati?” Raja Wang So berdiri
dengan tatapan berapi-api, sementara di tempatnya berdiri Pangeran Wang
Wook terhenyak dengan seluruh tubuh gagu. Ia menyediakan seekor elang
dalam keadaan hidup, mengapa kini ungags pilihan itu telah terkapar
mati?Ada yang salah. Wajah tampak Pangeran ke-8 memucat bagai kertas, ia
sadar nasibnya berada di ujung tanduk.
“Apakah bangkai seekor elang layak diberikan kepada raja?
Bukankah pemberian itu sama artinya dengan kutukan bagi Yang Mulia!
Kita tidak bisa diam dengan kutukan ini”, kata- kata perdana menteri
bagai tumpahan minyak yang membakar kemarahan Raj Wang So.
Wajah Pangeran Wang Wook semakin pucat seakan tak lagi dialiri
darah, ia terpojok dengan ketakutan, ia tahu akibat kesalahan ini.
“Semua ini pasti kesalahan, pasti ada sesuatu terjadi saat elang dibawa
oleh….” Pangeran ke-8 tak meneruskan kata-katanya, ia semakin panik
ketika Pangeran Wang Won memotong ucapannya, “Pangeran ke-8 sendiri yang
membawa, siapa yang mau disalahkan?”
“Benarkah engkau mengutuk Raja Goryeo? Apakah Wang So seorang
pengkhianat?” tatapan Yang Mulia Raja berpijar bagai api ketika menatap
lurus ke arah Pangeran Wang Wook.
“Mengapa Pangeran ke-8 harus memberikan bangkai elang dan bukan elang?” Perdana Menteri bertanya.
Sebuah pertanyaan yang menyebabkan Pangeran Wang Wook langsung
berlutut. “Yang Mulia, saya tak bersalah, saya dijebak, Yang Mulia….”
seluruh tubuh Pangeran Wang Wook gemetar, keringat dingin mengucur bagai
banjir. Ia tak pernah berniat dan tak akan mempersembahkan elang mati
kepada raja di ruang tahta.
“Kalau ini pengkhianatan, maka engkau akan dihukum mati”, suara
Raja Wang So bagai halilintar. Tampak senyum licik Pangeran Wang Won,
tak ada niat membela Wang Wook.
***
Berita buruk perihal Pangeran Wang Wook menghembus bagai badai
ke telinga Ratu Hwangbo, dengan cemas sang ratu datang terburu-buru ke
kamar ananda, Ratu Yeon Hwa yang tengah berhias dilayani dayang-dayang.
“Wook telah dijebak, ia bisa dijatuhi hukuman mati”, besar harapan Ratu
Hwangbo, bahwa putrinya yang kini menjadi wanita pertama yang paling
berkuasa di Goryeo akan mengambil tindakan untuk menyelamatkan Wang
Wook.
“Kesalahan Wook tak bisa dimaafkan. Aku tak bisa melakukan
apa-apa”, suara Ratu Yeon Hwa dingin tanpa peduli pada wajah cemas
ibunda. Ia memenuhi janji terhadap Yang Mulia Raja, melupakan keluarga
Hwangbo, bahkan kecemasan seorang ibu serta hukuman mati bagi kakanda.
“Seorang ratu pasti bisa melakukan sesuatu bagi Wook”, sepasang mata Ratu Hwang Bo berkaca-kaca.
“Seorang ratu bertugas mengandung kemudian melahirkan dan
membesarkan putra mahkota, sehingga kelak anakku akan duduk di
singgasana. Aku tak bisa terlibat dalam urusan pemerintahan, kesalahan
Wook terlalu besar, para tetua Hwangju mengakui kesalahan itu. Jangan
terlalu berharap ”, suara Ratu Yeon Hwa sama dingin dengan angin di
musim gugur.
Di tempatnya berdiri Ratu Hwangbo terpaku, jantungnya seakan
henti berdetak, tak lagi patuh dengan kehidupan. Ia tak pernah menduga
sikap dingin Ratu Yeon Hwa dalam menanggapi nasib Wang Wook yang akan
segera tergelincir dari ujung tanduk. “Apa yang baru engkau katakan?
Nyawa Wang Wook, saudara tuamu terancam?” wajah Ratu Hwangbo memucat
bagai kertas, nyaris tak mempercayai kata-kata putri tercinta yang kini
bertahta sebagai seorang ratu.
“Kini aku adalah Ratu Goryeo, kuhargai keluargaku, pastinya tak
ada seorang adik yang berharap kehilangan saudara tua. Akan tetapi, ada
hal yang lebih penting dari sekedar kehilangan. Maaf ibu, relakan
putrimu”, tanpa menunggu jawab Ratu Yeon Hwa melangkah pergi, tak pernah
ada percakapan dengan ibunda hari ini.
Sepasang mata Ratu Hwangbo terbelalak lebar, wajahnya yang
semula memucat berubah semerah bara. Ia telah membesarkan seorang putri
raja supaya pada hari yang telah ditentukan menjadi seorang ratu. Ia
akan berlaku sebagai penasehat yang berperan langsung dalam
mengendalikan kebijakan dan kewenangannya. Kini, apa yang terjadi? Sang
ratu bahkan tak peduli dengan Wang Wook, tak peduli dengan
kehadirannya, seakan ia bukanlah ibu seorang ratu yang pernah melahirkan
kemudian membesarakan. Ratu Hwangbo merasa dadanya berguncang dalam
gempa yang amat dasyat.
***
Di ruang tahta Pangeran Wang Wook masih bersujud tanpa sepatah
kata, meski Yang Mulia Raja tak lagi duduk di singgasana. Diam sama
menakutkan dengan maut. Ia masih mengharap suatu saat akan duduk di
singgasana didampingi seorang ratu yang mencintai. Kini, harapan itu
berserak bagai pecahan kaca yang mengunjam melukai. Dimana Ratu Yeon
Hwa, adinda yang didukung untuk menikah dengan Raja Gwangjong, dan kini
seorang ratu yang berkuasa? Dimana ibunda Ratu Hwangbo? Mengapa keduanya
tak ada saat hukuman mati dijatuhkan? Benarkah kehidupan akan berakhir
dengan cara memilukan seperti ini? Ia tak pernah mempersembahkan elang
mati bagi Yang Mulia Raja.
Sementara Hae Soo telah mendengar pula kabar buruk tentang
Pangeran ke-8, ia menyediakan diri mengikuti Raja Wang So sampai ke
kamarnya, “Pangeran ke-14 dijebak, ia berhak mendapatkan pembelaan”,
wajah sendu Hae Soo kiranya tak mampu mengubah pendirian seorang raja.
“Pembelaan apa yang berhak didapatkan seorang pengkhianat?”
wajah tampan Yang Mulia Raja merah padam. Wang Wook bersekutu dengan
Wang Yo membunuh Raja Wang Mo, kemudian memaksakan perkawinan dengan
seorang wanita yang tidak pernah ia cintai. Ia harus kehilangan Hae
Soo. Wang Wook tidak tahu dengan siapa ia sedang berhadapan? Pangeran
ke-8 harus membalas kecurangan dengan maut. Setelah asam garam
kehidupan, kini ia adalah seorang raja, ia berhak menentukan hidup dan
matinya seseorang dengan banyak cara.
“Pangeran Wang Wook bukanlah seorang pengkhianat”, Hae Soo berlutut di depan Raja Wang So.
“Seorang kekasih raja tak boleh berlutut, terlebih untuk
pengampunan seorang pengkhianat. Berdiri”, tanda Tanya muncul di dalam
benak Raja Wang So, mengapa Hae Soo harus berlutut untuk Wang Wook?
“Bukankah Yang Mulia sudah berjanji tak akan menyakiti sekalian saudara?” Hae Soo mengingatkan.
“Aku tahu engkau peduli dengan para pangeran, tetapi tak perlu
berlutut demi Wook. Berdiri”, suara Yang Mulia Raja mulai diliputi
amarah.
“Bukan Pangeran ke-8 yang membunuh burung. Yang Mulia dengan
sengaja melakukannya untuk hukuman mati Pangeran Wang Wook”, Hae Soo
tahu dari mana kebencian sang raja berasal. Ia tak heran, ketika Raja
Wang So tertegun karena ia tahu persoalan yang sebenarnya.
“ Wang Wook bersekutu membunuh Moo Hyungnim dan Eun,
ia juga membuat Baek Ah pergi. Wook mencoba membunuhku dan ingin
memisahkan kita berdua. Untuk siapa sebenarnya engkau berlutut?” Raja
Wang So tetap berusaha bersikap tenang.
“Membunuh adalah tindak kejahatan, ganjaran selalu ada bagi
pelaku. Mungkinkah seorang kekasih membenarkan seorang raja dikenang
sebagai sosok yang bengis?” ada satu keinginan dalam diri Hae Soo untuk
mengubah pandangan khalayak kepada Yang Mulia Raja. Bukankah ia masih
dapat melakukannya?
Sesaat suasana diam, hingga akhirnya Raja Wang So
bersuara,”Baiklah, Wang Wook masih memiliki hak hidup”, keputusan itu
menyebabkan wajah pucat Hae Soo tampak sedikit berbinar, namun hanya
sesaat. Sebab Yang Mulia Raja kembali meneruskan kata-kata, “Wang Wook
akan diasingkan ke kampung halaman, tidak boleh keluar satu langkah pun
dari kediaman”, pandangan Yang Mulia Raja diliputi dendam, Hae Soo tahu
ia tak akan pernah dapat memadamkan.
Ia hanya dapat memperpanjang usia Pangeran Wang Wook dalam
keadaan terbuang jauh dari kemilau mahkota raja, membeku di dalam rumah
tahanan bagi maut selanjutnya. Kekasih raja itu kembali terdiam, betapa
tidak mudah mengamankan diri dari musuh di dalam selimut ketika
seseorang ditakdirkan menjadi seorang raja. Ia harus bertindak tegas,
bahkan kepada sesama saudara.
“Benar, lebih baik membuang daripada membunuhnya”, Raja Wang So
tak ragu dengan keputusannya, mengurung Wang Wook di tempat pembuangan
sama dengan membunuhnya pelan-pelan, Pangeran ke-8 harus membayar
seluruh kesalahan.
***
Pangeran Wang Wook terdiam dalam kamar, kebebasan menjadi suatu
hal yang mahal. Ia pernah melewatkan saat-saat indah sebagai putra ke-8
Raja Wang Geon. Kini, ia adalah musuh utama Raja Wang So, bersyukur
sang raja tak menjatuhi hukuman mati. Ia masih berhak akan kehidupan,
akan tetapi langkahnya terhenti ketika bermaksud meninggalkan kediaman.
Beberapa prajurit berjaga di depan pintu dengan wajah garang, ia tak
memiliki izin meninggalkan kediaman. Ia terkurung di dalam sangkar tanpa
permaafan. Pangeran Wang Wook tahu segala impian tentang hari depan
berakhir sudah, taka da lagi sisa harapan.
Sementara Hae Soo melamun sambil memetik bunga yang bersemi di
seputar kolam Damiwon. Suasana semakin tidak nyaman di lingkungan
istana, semakin tidak nyaman pula suasana di Damiwon ketika Ratu Yeon
Hwa tiba-tiba hadir. Hae Soo tahu sang ratu sangat membenci, tak pernah
bersikap baik. Ratu Goryeo mengutuki kehadirannya di istana ini, ia
ibarat duri di dalam daging.
“Engkau masih memiliki waktu bagi bunga-bunga istana?”
pertanyaan Ratu Yeon Hwa dalam nada sinis. Pertanyaan itu segera membuat
Hae Soo membungkuk memberikan hormat.
“Masihkah seorang lelasih raja memiliki perasaan?” pertanyaan
tak menyenangkan dari seorang ratu, dan selalu demikian kata-kata yang
diucapkan wanita paling berkuasa di Goryeo bagi seorang Hae Soo.
“Saya sudah mendengar perihal Pangeran ke-8. Yang Mulia pasti bersedih hati karenanya”, Hae Soo berusaha menguasai diri.
“Waktu masih kecil, dia tak pernah menolak permintaanku. Aku
bertanya-tanya, apakah aku yang telah menghancurkan dirinya? Aku
khawatir bukan aku pelakunya. Aku menekannya untuk menjadi raja, supaya
bisa memiliki istana bersama-sama. Aku terlalu memaksanya”, suara itu
bercampur penyesalan. “Namun sesungguhnya, bukan aku yang mengubah Wook.
Kamu orangnya!” tatapan Ratu Yeon Hwa setajam lidah pisau, diam-diam
bulu kuduk Hae Soo meremang, ia tahu arti tatapan itu, rasa kecewa
terbalut kebencian, ia hanyalah seorang kambing hitam bagi seorang ratu
sombong yang tidak mau mengakui kesalahan.
“Wook pernah menyampaikan, engkau memintanya berhati-hati
terhadap Pangeran ke-4, jangan menghalangi Pangeran Wang So karena dia
bisa saja mati terbunuh”, kebencian berpijar pada sepasang mata Ratu
Yeon Hwa. Ia berada pada pilihan yang sulit, mengandung seorang putra
mahkota atau merelakan Wang Wook terbunuh perlahan-lahan, karena hukuman
buang. Ia telah memilih yang pertama dengan isi hati yang remuk, karena
sesungguhnya ia tak mampu mengkhianati Pangeran ke-8.
“Apakah Pangeran ke-8 berubah, karena aku memintanya
berhati-hati terhadap Pangeran ke-4?” Hae Soo tak percaya. Bahwa sebuah
kekhawatiran akan mengubah takdir seorang pangeran selamanya.
“Setelah Wook mendengar kata-katamu, ia tahu bahwa Pangeran
ke-4 akan menjadi raja. Wook mengasihimu, perasaan penuh harap yang
berakhir dengan kekecewaan, karena engkau mengakui pangeran lain sebagai
raja. Aku memang pernah menekan Wang Wook, tetapi mulutmu menyesatkan
takdir hidupnya, hingga terjadilah hukuman buang. APa bedanya dibuang
dan dibunuh perlahan-lahan?” suara Ratu Yeon Hwa tegas dan teratur,
seolah ia tengah menyusun kata-kata itu berhari-hari sebelumnya.
Di tempatnya berdiri Hae Soo terpaku, sampai sejauh inikah
seorang ratu melemparkan kesalahan? Dengan sadar Pangeran Wang Wook
menempuh cara yang salah untuk mendapatkan tahta, kini hukuman buang itu
adalah kesalahannya pula. Betapa picik cara berpikir seorang ratu,
seorang yang tak pernah bersedia mengakui kesalahan. Hae Soo terngiang
kembali kata-kata Raja Wang Yo sebelum kematiannya, “Semuanya
bermula darimu, maka aku membunuh saudara-saudaraku dan menjadi raja.
Andai engkau tak pernah menyamarkan bekas luka So, ia tak akan pernah
merampas kursi yang menjadi milikku”.
Hae Soo telah melihat semuanya sebelum Gwangjong bertahta
sebagai raja, ia memang pernah meminta dengan panik, supaya Pangeran
Wang Wook berhati-hatilah terhadap Pangeran Wang So, bahkan harus
menghindarinya, jangan pernah menghalanginya. “Jika engkau, jika engkau menghalanginya, semuanya akan mati”,
Hae Soo memang pernah mengatakannya, tetapi Pangeran Wang Wook tak
mengindahkannya. Maka, terjadilah hukuman yang menakutkan itu.
Benarkah ia adalah kambing hitam dari semua hukuman ini? Kepala
Hae Soo berpusing seakan gasing, demikian mudah kelarga raja
menyalahkan orang lain, karena gagal mencapai tahta. Pangeran Wang Wook
tak pernah mencapai tahta, karena ia mencoba mencapai dengan cara yang
salah, ia tak cukup memiliki kekuatan untuk itu. Ia hanya sosok yang
pernah ditekan Putri Yeon Hwa bagi kekuasaan bersama. Kini, nasib
Pangeran ke-8 berakhir di pintu hukuman buang, hukuman raja yang tak
bisa ditentang.
“Engkau telah menghancurkan segalanya, dengan sombon engkau
bahkan masih hidup”, andai mungkin Ratu Yeon Hwa ingin melumat seluruh
sosok Hae Soo hingga luluh tiada bersisa, namun ia tahu hukuman berat
menganiaya kekasih raja. Sesungguhnya sang ratu lebih terbakar api
cemburu, karena Hae Soo mampu mendapatkan cinta sang raja tanpa harus
meminta. Ia seorang ratu, tetapi Yang Mulia tak memberikan sepenggal pun
cinta, bahkan ketika harus mengemisnya. Ia seorang ratu, bersiap
menanti kelahiran putra mahkota, namun dengan licin sang raja meminta
imbalan untuk meninggalkan orang-orang yang dikasihi, Wang Wook dan
ibunda Ratu Hwangbo. Di balik pakaian seorang ratu, Yeon Hwa merasa
kemewahan itu mulai meringkusnya dengan ketat. Ia harus membayar mahal
semua keinginannya. Langkah sang ratu dilumuri amarah ketika
meninggalkan Hae Soo pergi tanpa menoleh lagi.
Sepeninggal Ratu Yeon Hwa, Hae Soo terduduk lemas. Seluruh
tulang belulang seakan terlepas, ia sangat dekat dengan orang-orang yang
mengharapkan ketidak hadirannya, masihkan ia mampu bertahan di istana
ini? Sang ratu dapat berbuat apa saja bagi kematiannya. Teringat kembali
kenangan indah ketika ia pernah berhubungan dekat dengan Pangeran Wang
Wook. Keduanya pernah tersenyum saat ia memberikan teh untuk saudara
ipar. Saat itu Pangeran Wang Eun tengah duduk bersama dengan Pangeran
Baek Ah dan Pangeran Wang Jung. Pangeran Wang Eun tampak senang
menghadapi the putih kesukaanya, demikian pula Pangeran Wang Jun.
“Benarkah semua ini, karena kesalahanku?” Hae Soo bergumam,
kepalanya terus berdenyut-denyut. Ia terperosok terlalu jauh ke dalam
kehidupan manusia dalam pikiran yang sempit, tak mampu mawas diri.
Sebenarnya, dimana dirinya sedang berada?
***
Pelukis istana menampilakAn sosok Raja Wang So dalam keadaan
sedang duduk, Choi Ji Mong memperhatikanya, kemudian berucap, “Yang
Mulia mesti membesarkan kelopak mata kemudian duduk dengan
mengangkat bahu yang kekar seperti raja-raja sebelumnya”, saran yang
bijak dari seorang ahli bintang yang diikuti Yag Mulia Raja.
“Lukislah baik-baik supaya mirip benar dengan sosok Wang So,
sehingga setiap orang yang melihat seakan merasa tengah bertatapan
dengan seorang raja”, Yang Mulia memberikan saran pula bagi sang
pelukis.
“Saya kira kita melukis Yang Mulia dalam keadaan beberapa tahun
ke depan, tidak sedang duduk di tahta. Maka, setiap orang yang melihat
akan bertanya-tanya, siapakah sosok dalam lukisan , seorang pangeran?
Raja? Atau rakyat biasa?” Choi Ji Mong masih juga memberikan saran.
“Aku ini masih sangat muda, mengapa harus melukis Wang So pada
senja usia? Aku ingin memberikan lukisan itu pada seseorang”, Yang Mulia
menjawab.
Tiba-tiba Pangeran Wang Jung menerobos masuk, memberikan
hormat, mengejutkan Raja Wang So. Mengapa Jung berani keluar dari
pengasingan dengan akibat hukuman mati. Sesaat Yang Mulia Raja terlupa,
ia tengah berada dalam keadaan dilukis.
“Sengaja saya dating untuk sebuah persetujuan. Yang Mulia pasti
tidak akan mengijinkan saya dating, bila saya terlebih dahulu
memberikan kabar. Saya harus menyampaikan titah yang ditulis oleh
mendiang raja”, Pangeran Wang Jung memberikan helai surat yang berisi titah mendiag raja Wang Yo. Ia memberanikan diri, apapun akibatnya.
Dengan rasa ingin tahu Raja Wang So membaca titah itu “Aku
menyetujui pernikahan yang sakral antara Pangeran Jung dan Dayang Hae
Soo”, raut muka sang raja segera berubah menjadi merah bara.
Dari mana titah itu berasal?
Saat Raja Wang Yo memerintah, wilayah perbatasan mulai tenang,
karena kerja keras Pangeran Wang Jung. Yang Mulia bersedia memberikan
apa pun yang diinginkan sebagai hadiah sebelum pergi, yang penting bukan tahta. Pangeran Wang Jung telah lama menginginkan sesuatu –adalah izin menikah dengan Dayang Hae Soo.
Setelah membaca titah mendiang Raja Wang Yo, dengan kalap Wang
So, Gwangjong membuang titah itu dengan amarah meluap, “Titah ini
kepalsuan dan kebohongan!” suara Yang Mulia menggetarkan dinding istana.
Mungkinkah ia mengijinkan sang kekasih hati menikah dengan Wang Jung?
Pangeran yang terbuang.
“Bukankah Wang So menduduki tahta tanpa adanya
titah atau wasiat tertulis dari Raja Wang Yo?” dengan berani Pangeran
Wang Jung melawan kemarahan Yang Mulia, ia tahun akan berhadapan dengan
kesulitan saat berhadapan dengan Wang So. Akan tetapi, ia telah berkeras
untuk memenuhi keinginan menikahi dayang Hae. Sejak pertemuan di hutan
bambu saat gadis bangsawan itu membantunya dari musibah pengeroyokan
perompak, ia tak pernah dapat melupakan Soo.
“Apakah titah mendiang raja bisa diabaikan? Bandingkan tulisan
ini dengan tulisan mendiang raja, tulisan ini asli”, Pangeran Wang Jung
bersikeras, ia memang sudah memperhitungkan kemarahan seorang raja,
karena kehilangan kekasih hati.
“Kalaupun titah ini benar asli, aku tidak bisa menyetujuinya.
Engkau tidak boleh menikahi Hae Soo”, kemarahan Yang Mulia mendidih
seakan banjir lahar gunung berapi, mengapa seorang pangeran terbuang
berani menikahi kekasih raja.
“Saya sudah mendapat izin dari mendiang Raja Wang Yo, saya
tidak perlu mendapatkan izin dari Wang So”, Pangeran Wang Jung melawan.
“Semua orang di istana tahu, Soo adalah kekasihku. Bagaimana
engkau, Wang Jung bisa mempunyai niat menikahinya. Tidak salah niat
ini?” Yang Mulia mengejek Wang Jung.
“Hae Soo bukan ratu dan juga bukan selir kerajaan, bukan pula istri raja. Tidak ada alasan, bahwa ia tidak bisa menikah. Saya telah menyampaikan recana ini kepada Menteri.
Mereka menunggu persetujuan raja untuk pernikahan ini”, tak sedikitpun
Pangeran Wang Jung surut. Ia telah dihukum buang dari istana, ia akan
pergi Bersama Hae Soo meninggalkan istana ini.
“Hukuman kujatuhkan kepada Wang Jung, karena
keluar dari pengasingan”, Raja Wang So mengepalkan tangan, ia tidak akan
pernah merelakan kekasih tercinta menikah dengan pangeran yang lain.
“Hae Soo menginginkannya, ia menginginkan pernikahan ini. Bila
tidak percaya, bisa bertanya kepada yang bersangkutan”, Pangeran Wang
Jung masih juga bersuara, hingga mulut sang raja membungkam.
***
Hae Soo melihat garam sabun yang dibuat para dayang, lalu menciumnya, ia tahu takaran madu terlalu
sedikit, “Garam mandi akan mudah hancur kekurangan madu. Tambahkan
aroma bunga untuk garam mandi para istri, serta tambahkan daun atau mint
untuk garam mandi para pangeran dan raja”, dua orang dayang memahami
petunjuk akan hal ini. Hae Soo masih akan meneruskan pembicaraan, tetapi
tiba-tiba Raja Wang So dengan wajah merah padam.
“Wang Jung bilang dia akan menikahimu. Ia punya titah dari
mendiang raja yang isinya, bahwa mendiang raja mengizinkannya
menikahimu. Apakah engkau tahu perihal itu?” suara Raja Wang So nyaris
kalap. Apa yang terjadi antara Jung dan Soo di balik punggungnya?
“Kapan dia menerima titah itu?” Hae Soo balik bertanya.
“Tahun ketiga Pemerintahan Raja Jeongjong. Saat itu Wang Jung
memenangkan pertempuran di Hwayi terhadap Khitan dan kembali ke Goryeo.
Menurut Wang Jung engkau menginginkan perenikahan ini. Benarkah? Atau, titah itu palsu”, Yang Mulia yakin, Hae Soo akan mengakui bahwa titah itu palsu.
“Benar, aku menginginkannya, dosa besar mengabaikan titah
mendiang raja. Raja penerus pasti akan mematuhinya, atau akan diragukan
kemampuan sebagai penerus mendiang raja. Perpisahan akan membuat kita
selalu saling merindukan. Batas antara cinta dan benci sebenarnya
terlalu tipis, ibarat kain terawang yang mudah dikoyak”, masih tersisa
keberanian dalam diri Hae Soo untuk membenarkan titah mendiang Raja Wang
Yo.
“Jadi kau membenciku?” sepasang mata Yang Mulia Raja membelalak lebar seakan hendak terjulur dari kelopaknya.
“Kehidupan di dalam istana akan terus menumbuhkan kebencian.
Bukankah lebih baik aku pergi, tetapi tetap mengenang seorang raja di
relung hati”.
“Aku tidak akan pernah membiarkan pernikahan itu”, terdengar
napas berat seorang raja, langkah berdebum, karena kemarahan. Kemudian
Hae Soo kembali seorang diri. Kiranya Pangeran Wang Jung
memenui janji, kiranya sang pangeran telah lama meletakkan hati, selama
ini matanya buta, tak mampu mmelihat apa-apa, hanya cinta Pangeran Wang
So yang berlumuran dengan kebencian, yang berlumuran dengan darah.
***
Di ruang tahta Raja Wang So terduduk dalam diam, tak pernah
disangka. Ketika ia menjadi orang paling berkuasa di Goryeo, maka
satu-satunya wanita yang dicintai memilih menikah dengan saudara
kandung, dengan alasan lebih baik berpisah, tetapi tetap mengenang di
selasar hati. Sebuah alasan yang aneh dan tidak masuk akal. Siapakah
sesungguhnya Hae Soo?
Ratu Yeon Hwa tergesa datang dengan sepasang mata memerah,
“Rakyat sudah merasa curiga, mengapa seorang raja bisa mengabaikan titah
mendiang raja terdahulu. Yang Mulia juga menekan seorang ratu
mengkhianati keluarga dan saudara tua. Mengapa tidak bisa merelakan Hae
Soo?”
“Aku takkan pernah bisa merelakannya”, Yang Mulia selalu merasa tidak nyaman di dekat Ratu Yeon Hwa.
“Ketidakrelaan itu bisa menyebabkan seorang raja kehilangan
tahta. Ingat, aku telah melakukan segalanya”, Ratu Yeon Hwa telah cukup
menyatakan sikap. Adalah suatu hal yang baik Hae soo meninggalkan istana dalam sebuah perkawinan pula. Bila sang raja berkeras menolak, ia bisa kehilangan tahta.
***
Pangeran Wang Wook tengah menulis di dalam ruangan, ia tak
leluasa lagi bergerak, karena menerima hukuman kurung. Sejenak sang
pangeran termenung, menghentikan gerakan tangan. Ia teringat sesuatu.
Saat bersujud memohon ampun kepada Yang Mulia Raja, Hae Soo tiba-tiba datang, “Berdirilah, Yang Mulia mencabut hukuman mati”.
“Bagaimana jika engkau akan dicurigai, karena memintaku
berdiri?” Pangeran ke-8 bertanya. “Mengapa pula harus peduli kepada
seorang yang sia diseret ke tiang gantung. Masihkaha engkau
mengingatku?” suara Pangeran Wang Wook dingin, ia bahkan tak perlu
mengucap terima kasih.
“Aku akan melakukan hal yang sama terhadap siapapun, Yang Mulia juga tahu akan hal itu. Lupakan
segala yang harus dilupakan, tahta maupun diriku. Hanya dengan
meninggalkan istana seorang pangeran akan terbebas dari segala ancaman.
Camkan, istana bukan tempat yang indah untuk membangun harapan,
kekuasaan hanya tunggal milik seorang raja. Hukuman mati tanpa pembelaan
bisa dijatuhkan kepada siapa saja”, jarak keduanya teramat dekat, tapi
perpisahan telah meregang demikian panjang serta dalam.
Lamunan Pangeran Wang Wook tiba-tiba terpecah, Ratu Yeon Hwa
tergesa menyeruak dalam pakaian biasa, wajahnya yang jelita tampak
demikian cemas. “Lakukan sesuatu, atau aku kehilangan segalanya. Bila
Yang Mulia mesti turun dari tahta, karena menolak titah mendiang Raja
Wang Yo, demikian ratu. Apa yang bisa kumili?” keduanya saling
bertatapan, Pangeran Wang Wook sadar akan kecemasan itu. Ia memang harus
melakukan sesuatu.
--------------------------
Keesokan harinya Ratu Yeon Hwa sudah berada di ruang tahta
ketika Pangeran Wang Wook datang, “Adakah hal penting yang harus
disampaikan, maka saya harus datang. Dengan hormat saya harap Yang Mulia
Ratu bersedia meninggalkan kami berdua”, sebuah permintaan mengejutkaan
dari seorang pangeran kepadaa seorang ratu. Akan tetapi sang ratu
menyadari, betapa penting pembicaraan empat mata itu. Ia tak memiliki
pilihan lain.
“Tak ada yang bisa kuharap, tapi izinkan Wook bicara”, setelah menghela napas Panjang Ratu Yeon Hwa berlaluse pergi.
“Ada yang harus kuakui tentang hubunganku dengan Hae Soo”,
Pangeran Wang Wook membuka pembicaraan, ia sadar akibatnya ketika harus
membuka kata. Di pihak lain Raja Wang So tampak dihantui pertanyaan.
“Yang Mulia belum mengetahui, kami berdua pernah berjanji untuk
menikah”, sebuah kalimat pendek, tetapi cukup untuk membakara api
cemburu seorang raja. Yang Mulia merasa lantai istana seaka bergoyang.
“Apakah engkau benar ingin mati?” tatapan Raja Wang So setajam
lidah pedang, Wang Wook telah mendapatkan hukuman, tetapi masih berani
menyampaikan hal yang teramat pribadi.
“Hubungan kami jauh hari sebelum ia menjadi kekasih raja, Hae
Soo adalah milikku”, sejak Hae Soo menjadi kekasih Yang Mulia tak
sekejabpun Wang Wook mampu melupakan, sosok itu selalu membenam di dasar
hati. Ia masih berharap suatu hari yang indah, meski harapan itu kini
nyata berserakan.
Yang Mulia tak perlu meneruskan pembicaraan ini, bergegas ia
menemui seseorang, sepasang matanya semerah bara. Sekali lagi ia telah
dikhianati, ternyata di sekitarnya terlalu banyk pengkhianat. Betapapun
ia seorang raja dan berkuasa memberikan hadiah sekaigus menjatuhkan
hukuman mati.
Hae Soo tak pernah menduga kedatangan tiba-tiba ini, ia terpaku
ketika Raja Wang So melabraknya dengan amarah meluap, “Sekarang aku
tahu mengapa engkau berlutut demi menyelamatkan Wook. Gelang yang kau
kenakan, pertemuan rahasia di Damiwon. Apa semua itu benar? Apa kau dulu
pernah berencana menikah dengan Wook?” sepasang mata merah Raja Wang So
bagai hendak membakar Hae Soo hidup-hidup. Di pihak lain Hae Soo
tertunduk, tanpa sadar ia menganguk membenarkan.
“Pria yang kau bilang kau cintai, apakah ia Wook?” sekali lagi
Yang Mulia bertanya dengan harapan Hae Soo akan menjawab, ‘tidak’. Akan
tetapi, ternyata Hae Soo kembali mengangguk, membenarkan. Sepasang mata
Raja Wang So membelalak lebar, ingatannya kembali melayang pada masa
yang lampau.
Hae Soo menolak kehadirannya, karena telah hadir orang lain. Ia menebak, “Apakah ia Baek Ah?”
“Bukan”, jawab Hae Soo singkat.
Saat berdua di atas kuda, Wang Wook menjemput Hae Soo, ketika Wang So,”Saya akan mengantarnya ke istana”
“Kehadiranmu berdua pasti akan menimbulkan buah mulut dan pembicaraan kalangan istana”, alasan Pangeran Wang Wook.
Pangeran Wang Wook menahanya saat melihat Hae Soo berlari
pergi, lalu menegaskan, “ Tidak ada apapun di istana yang bisa jadi
milik Wang So baik Yeon Hwa maupun Hae Soo, karena keduanya adalah
orang-orangku”.
Lalu Hae Soo berlutut demi Wang Wook, karena tahu Raja Wang So sengaja
membunuh elang untuk menjebak Pangeran ke-8. Segalanya demikian nyata,
berkaitan. Diam-diam Yang Mulia mengeluh, selama ini kedua matanya buta.
“Aku lebih suka kalau engkau mengatakan tidak, maka segalanya
akan kembali seperti sediakala”, Yang Mulia lebih memilih jawaban yang
bukan sebenarnya.
“Kita sudah setuju untuk tidak akan saling berbohong”, tidak
mudah bagi Hae Soo mengatakan, tetapi harus. Satu hal yang tak mampu
dimengerti sang raja. Mengapa seorang kekasih bisa berlaku seperti itu.
Darah Raja Wang So seakan mendidih.
“Kukira engkau mengasihiku, ternyata sama saja, engkau cuma
seorang pengkhianat. Tega benar perlakuanmu? Mengapa harus Wook?
Ternyata di hati seorang pengkhianat selalu ada Wang Wook”, kali ini
sang raja tak mampu lagi memaafkan. Hae Soo adalah kekasih raja,
ternyata di hatinya tersimpan pangeran yang lain, pangeran yang ingin
dibantainya, Wang Wook.
Hae Soo mencoba menenangkan kemarahan sang raja dengan memegang
lengan, tetapi Yang Mulia menolaknya, “Jangan pernah menyentuhku.
Terhitung mulai hari ini, aku tidak akan pernah melihat seorang
pengkhianat, tidak akan melihatmu lagi”, suara Raja Wang So menggelegar
seakan Guntur, langkah Yang Mulia berdebum pergi seakan hendak
merobohkan lapisan kulit bumi.
Hae`Soo masih terpaku, tak pernah menduga suatu saat setelah
tahun-tahun yang Panjang Yang Mulia akan berkata seperti ini. Ia tahu,
keputusan untuk tidak kembali ke kamar kekasih raja benar adanya. Kisah
cinta ini berakhir sudah, tanpa terasa gerimis menitik pada sepasang
mata Hae Soo, mungkinkah ini air mata penghabisan?
***
Hari itu akhirnya tiba, hari ketika Hae Soo berketetapan
meninggalkan dinding istana, tak ada lagi yang dapat memaksanya tinggal,
tak ada lagi cinta seorang raja. Dengan caranya sendiri ia telah diusir
pergi. Beberapa orang dayang menyertai Hae Soo meninggalkan Istana
Damiwon, air mata telah sirna, wajah lemut itu kini tersenyum. Ia akan
terbebas dari segala perselisihan keluarga kerajaan yang berakhir dengan
hukuman mati atau maut. Ia lelah melihat genangan darah, ia merindukan
kehidupan damai yang telah ditawarkan Pangeran Wang Jung.
Di ruang tahta Raja Wang So tengah duduk, menyibukan diri
membaca buku. Ia mencoba mengubur beribu perasaan yang berkecamuk bagai
perang saudara tanpa akhir. Ia bersikap seolh tak pernah kehilangan
apa-apa.
“Yang Mulia pernah satu kali mencampakkan Hae Soo. Benar, banyak hal harus dikorbankan untuk melindungi takhta ini. Akan tetapi, bila Yang Mulia mengusirnya dengan cara seperti ini, suatu saat tak akan pernah dapat memaafkan diri sendiri”, Choi Ji Mong memberanikan diri berucap.
“Aku tidak pernah meninggalkannya, ia yang meninggalkanku”,
tatapan Raja Wang So lurus ke depan, ia bersikap seolah-olah tak akan
pernah merasa kehilangan.
Di depan istana telah disiapkan sebuah tandu lengkap dengan pengawal, Pangeran Baek Ah tampak menyambut
Hae Soo di depan pintu dengan membawakan segelas minuman, “Segelas
minuman untuk mengucap selamat jalan, bukankah kita adalah teman dan
akan selalu berteman”, senyum Pangeran BaekAh selalu tulus, satu hal yang menentramkan hati Hae Soo. “Seandainya
aku tahu Wang Jung punya titah mendiang raja, maka sejak awal pasti aku
akan membantumu”, Pangeran Baek Ah tahu, keputusan meinggalkan istana,
hidup damai dengan Wang Jung adalah suatu hal yag bijak, ia pun merasa
lelah dengan pertikaian keluarga raja.
“Akupun idak tahu. Jung hanya pernah sampaikan, ia memiliki
jalan keluar untuk meninggalkan istana” Hae Soo tahu ketulusan hati
Pangeran Baek Ah, ia bisa menangkap dari senyum manis pada wajahnya.
“Tapi benarkah engkau meghendaki pernikahan ini? Atau harusnya
menolaknya?” Pangeran Baek Ah masih meragukan alasan Hae Soo
meninggalkan istana, benarkah ia mencintai Jung?
“Seorang tak harus menghendaki pernikahan, akan tetapi
kehidupan Bersama Jung adalah satu-satunya jalan keluar. Aku memiliki
alasan”, jawab Hae Soo.
“Sebenarnya aku ingin engkau tetap menjadi bagian hidup Yang Mulia. Mengapa harus pergi pada saat tak akan pernah mampu melupakan?”
Pangeran Baek Ah seolah ingin menjenguk isi hati Hae Soo terdalam. Ada
terlalu banyak wanita meminta cinta sang raja, tetapi Hae Soo bahkan
menolaknya.
“Andai lantai istana tidak harus digenangi darah? Segalanya
akan berjalan dengan damai”, ada satu hal yang selalu dirindukan Hae
Soo, suasana damai. Ia tak mampu lagi menyaksiskaan hukuman mati serta pertumpahan darah atas nama melindungi tahta.
“Aku tidak tahu benar bagaimana kisah cinta seorang raja, tapi aku sangat beruntung bisa mengenalmu. Satu
hal sangat berharga yang pernah diberikan Nyonya Hae. Tetaplah berbesar
hati, jangan sampai jatuh sakit, karena kesedihan”, pesan Pangeran Baek
Ah dari hati yang tulus.
Pada saat yang sama Pangeran Wang Wook datang, sejenak tertegun saat melihat Hae Soo bersiap pergi
meninggalkan istana. Pangeran ke-8 mengerti arti kepergian itu, ia akan
kehilangan untuk selama-lamanya, ia tak akan pernah lagi berjumpa
dengan satu-satunya wanita yang dicintai. Harapan itu telah lama
berserakan dan kini kandas sampai di sini.
“Lebih baik engkau menyingkir, bila terjadi apa-apa aku pasti akan memanggil pengawal”,
Pangeran Baek Ah memberi peringatan, ia tahu Pangeran Wang Wook pernah
mengharapkan kematian dengan mengirimnya sebagai pemimpin ke medan
pertempuran.
“Tinggalkan kami berdua, tidak akan terjadi apa-apa. Terima
kasih”, Hae Soo mengangguk, memberi keyakinan kepada Pangeran Baek Ah,
maka sang pangeran berlalu pergi.
“Aku tidak melakukannya dengan maksud tertentu”,
Pangeran Wang Wook membuka kata, mengingat kembali pembicaraan dengan
Yang Mulia. Hanya ada satu-satunya cara, sehingga sang raja merelakan
Hae Soo pergi menikah dengan Wang Jung, kecuali mengakui hubungan dekat
yang memang pernah terjadi, meski segalanya berakhir sedemikian rupa.
Api cemburu akan membakar seorang raja, sehingga ia bisa melupakan
wanita yang dicintainya.
“Jika engkau tidak tahu kalau aku ingin pergi dari istana, pasti
engkau tidak akan mengatakan kepada siapapun”, Hae Soo sangat mengerti
sifat Wang Wook, seorang yang pernah mengores kenangan indah, karena
kelembutan hati.
“Wang Jung pasti akan selalu bersikap baik. Tetaplah kuat,
lupakan segala yang pernah terjadi di lingkungan istana. Mulailah dengan
hari-hari baru serta harapan”, suara Pangeran Wang Wook bergetar.
Tak pernah sekejabpun ia melupakan Hae Soo, bahkan setekah ia menerima
kamar indah seorang kekasih raja. Kini, pada hari terakhir ketika
berpamit untuk hidup bersama dengan Wang Jung, perasaan Pangeran ke-8
tak pernah berubah, tetapi ia hanya dapat merasakan. Tanpa sedepa
kemampuan untuk meraih. Seperti halnya ia telah menuliskan takdir hidup,
demikian pula Hae Soo. Perasaan yang kini menghunjam adalah kehilangan
teramat dalam. Ia adalah seorang pangeran, putra ke-8 Raja Taejo Wang
Geon namun justru takdir itu, maka ia tak mudah untuk dapat menikah
dengan wanita yang dicintai. Dalam hidup ternyata tak semuanya dapat
dijangkau. Ia tahu pada saat yang genting, Hae Soo mesti berlutut demi
keselamatan dirinya. Ia memang diasingkan, tetapi terelak dari hukuman
mati. Hae Soo telah menentukan sikap yang bijak dan berani, ia tahu
siapa sesungguhnya yang membunuh elang. Pasti bukan Pangeran Wang Wook.
Siapakah sesungguhnya wanita ini? Seorang yang memiliki
keberanian tanpa niat serakah, meski berada dalam jarak yang sangat
dekat dengan kekuasaan? Pangeran Wang Wook menahan sedu sedan. Ia telah
mengalami serangkaian kisah hidup tak biasa, dengan seorang bernama Hae
Soo terlibat terlalu jauh di dalamnya. Seroang yang dapat dilihat hari
ini untuk terahir kali, kemudian sang waktu akan membawa pergi.
Sesaat Hae Soo terpaku, ingatan melayang pada hari-hari pertama
kala dengan aneh ia terjebak ke istana. Pangeran Wang Wook selalu
memberi perlindungan, bersikap lembut hingga sampai pada janji
pernikahan. Akan tetapi perebutan tahta serta pertumpahan darah
mengacaukan segalanya. Ketika tangan kukuh Pangeran Wang Wook memegang
bahu kemudian memeluknya, Hae Soo masih terpaku. Ia tahu perasaan
terdalam Pangeran ke-8, yang berakhir dengan kehilangan yang
menyakitkan. Andai ia bisa memutar kembali jarum waktu?
“Segalanya yang pernah terjadi antara kita memang berakhir
sampai di sini, tetapi ingatan akan terus mengenang, jauh tanpa batas
….” andai seorang pangeran Goryeo dibenarkan menangis, pasti Wang Wook
telah terisak. Akan tetapi, ia tidak hendak melumuri perpisahan ini
dengan air mata. Sadar atau tidak ia harus bertanggung jawab dengan
takdir yang dikehendakinya. Takdir yang tak pernah membawanya sampai
menuju tahta.
Keduanya saling bertatapan dengan sepasang mata
yang sama pada mula berjumpa, keduanya mencoba tersenyum, menghadapi
perpisahan dengan dewasa. Ada hari-hari yang lebih baik menanti. Sejenak
Hae Soo menatap kembali seisi dinding istana, ia tidak ragu berpamit,
ia tidak kehilangan meninggalkan megah istana raja diraja. Ia pernah
menjadi bagian penting di dalamnya dan segalanya menyakitinya. Cukup
sudah rasa sakit itu sampai di sini. Ketika Hae Soo
melangkah pergi Pangeran Wang Wook tetap berdiri terpaku, ia ingin
menulis ribuan puisi untuk menyatakan pedih perpisahan ini.
Sementara RajaWang So dengan gontai melangkah ke kamar Hae Soo, ia memang pernah berucap tak pernah ingin
melihat kekasih hati. Akan tetapi, benarkah ia menginginkan perpisahan
ini? Kecuali Wang Wook membakarnya dengan api cemburu. Sesaat Yang Mulia
terdiam, pakaian pernikahan seorang ratu yang mestinya dikenakan Hae
Soo pada hari bahagia, masih terawat dengan baik, seakan esok hari sang
kekasih benar akan mengenakannya. Ada yang tercabik di relung hati,
mengapa Hae Soo mesti menganggukkan kepala ketika ia meminta jawaban
hubungan dengan Wang Wook? Mengapa ia tidak menjawab, “tidak”. Yang
Mulia tidak cukup mampu menguasai diri saat dibakar api cemburu, maka ia
mengusir Hae Soo, sesuai dengan keinginan sang kekasih. Yang Mulia
terlalu terburu-buru untuk sekedar menyadari, Pangeran Wang Wook sengaja
memantik nyala api untuk perpisahan ini. Tanpa izin menikah bagi
Pangeran Wang Jung, Yang Mulia akan dituntut turun dari tahta, Ratu Yeon
Hwa akan terseret serta. Wang Wook melakukan segala daya upaya bagi
kedudukan seorang ratu adinda tercinta. Ia telah melakukan dua hal
sekaligus, memberi peluang bagi Hae Soo untuk pergi –meski perpisahan
ini benar menyakiti, sekaligus mengamankan kedudukan ratu bagi Yeon Hwa,
sesuai permintaan di ruang baca.
Yang Mulia terlalu marah untuk menyadari semua itu. Kini ia
dihantam sunyi di depan pakaian pengantin seorang ratu, pakaian yang tak
akan pernah dikenakan siapapun, pakain indah yang membisu sepanjang
waktu. Tanpa sadar Raja Wang So terisak, ia cuma seorang diri. Seorang
Raja Goryeo tak pernah dinyatakan bersalah menangis seorang di depan
pakaian pengantin.
Semantara di halaman istana Hae Soo terus melangkah sambil terus bergumam, “Jika aku tak pernah bertemu, maka aku tak akan merindukan. Jika
aku tak pernah mengenal, maka aku tak akan selalu memikirkan. Jika aku
tak pernah bersama, maka aku pasti tak akan meninggalkan. Jika aku tak
mencintai, maka aku tak perlu mengingat, maka kita tidak perlu berpisah.
Jika kita tidak pernah bertemu, pasti kita tidak akan pernah bersama.
Seandainya aku tak pernah bertemu denganmu…” untuk yang terakhir kali
Hae Soo menoleh, sepasang mata merah berembun. Ia telah sampai pada
keputusan berani yang mengubah takdir hidup selamanya.
Bersambung ke Scarlet Heart, Ryeo Episode 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar