Jumat, 07 Juni 2019

M A K A M




Rokayah mengatupkan kerudung hitam, tak setetespun air mata membasahi pipi, ia masih bersimpuh di depan gundukan tanah yang ditaburi bunga-bunga. Sebongkah batu nisan tertanam, beku bagi ajal, desau angin  terjungkal meruapkan aroma kamboja. Rokayah, janda itu adalah pelayat penghabisan, seluruh tetangga dan handai taulan telah kembali ke kediaman usai menyelesaikan urusan sosial, memakamkan jenazah sebagai penghormatan terakhir. Di sebelah barat, senja disepuh warna merah seakan semburat berdarah, matahari tergelincir di batas cakrawala menjelang padam, mengembalikan segala warna menuju gelap.  
“Ayo kita pulang mak”, suara gadis itu demikian lembut, seolah nyanyian ombak pelipur lara. Akan tetapi Rokayah masih duduk terpaku diterpa angin dingin.
Adakah  kematian ini adalah kehilangan atau pembebasan? Benarkah ia tak pernah mengharapkan seorang suami dalam hidup hingga maut memisahkan? Atau ia hanya pelaku dalam catatan takdir yang tak bisa lagi dirubah? Rokayah menghela napas panjang, sepasang matanya yang jeli menatap jauh seolah menembus deretan batu nisan yang tertanam di seputar tanah pekuburan. Usianya telah melewati kepala lima, sementara kanak-kanak telah memanggilnya “simbah”, tetapi kecantikan seorang kembang desa tak pernah pudar tertelan waktu. Ia tetap setangkai bunga mekar di lingkungan kampung, ia adalah Nyi Ageng, seorang juragan batik ternama, murah hati, santun, dan dikasihi sanak saudara.
“Mak ….” Suara lembut itu kembali mendayu, Rokayah menoleh ke tempat muasal suara, menatap wajah jelita di sampingnya. Sedemikian dekat tatapan itu, sehingga ia dapat melihat bayangan diri pada sepasang orang-orangan matanya. Wajah itu mewarisi kecantikannya,  kecantikan ibunda yang pernah menjadi kembang desa. Rokayah tak pernah berkeluh kesah keapada satu-satunya anak gadis yang pernah dilahirkan. Fatima, calon dokter muda itu. Ia menyimpan satu catatan kelam jauh di relung hati.
Kala itu tahun 1983 ia tengah duduk mengenakan seragam Sekolah Menengah Pertama pada salah satu kelas, menyimak mata pelajaran yang disampaikan seorang guru, ketika ayahanda tiba-tiba berdiri di depan pintu dengan wajah sekeras batu kali. “Saya ijin membawa kembali Rokayah pulang ke rumah untuk sebuah perkawinan”, suara itu terdengar bagai guntur di siang bolong yang mengejutkan seisi kelas. Dinding-dinding seakan hendak roboh berserakan, sedemikian terkejut ibu guru hingga mulutnya ternganga dengan sepasang mata membelalak lebar seolah hendak meloncak dari kelopak. Sementara seisi kelas tiba-tiba terjebak ke dalam hening yang ganjil, satu sama lain siswa saling bertatapan dengan seribu tanda tanya. Mengapa seorang gadis berusia 13 tahun harus menikah? Mengapa seorang ayah tega menjemput seorang bocah bagi perkawinan dini? Mengapa? 
Andai Rokayah bisa  mengatakan “tidak!” Ia masih terlalu kanak-kanak untuk melakukan perlawanan, ia terlahir dari suatu keluarga di kampung yang tidak pernah memahami arti kesetaraan gender atau budaya patrikal. Ia adalah salah satu korban dari budaya termaksud, budaya yang menempatkan perempuan selaku objek, bukan pelaku. “Tugas anak perempuan adalah mengurus dapur dan melayani suami”. Demikian ucapan ayah yang terlontar setiap hari.
“Setinggi apapun pendidikan perempuan, tempatnya adalah di dapur”, mamak mengukuhkan pernyataan bapak.
Rokayah hanya diam, ia tidak berani melawan atau akan dicaci maki, dipukul, dihakimi selaku anak perempuan yang tidak tahu adat kemudian kehilangan tempat berteduh, sandang, pangan, dan papan. Ia tak mampu hidup menggelandang. Ia harus rela dirias sebagai pengantin jelita dalam sebuah perhelatan besar, bersanding dengan duda tua yang kaya raya dari hasil berdagang kain batik. Rokayah bahkan tak pernah mengenal siapa sesungguhnya sang suami yang menjadi mempelai laki-laki. Ia hadir sebagai ratu pada pesta perkawinan dengan hati hampa tak mengerti apa-apa. Kecuali senyum kemenangan di wajah bapak dan emak, perkawinan itu berarti keduanya memiliki menantu kaya raya yang dapat memberikan modal untuk membuka warung tauto dan menjadi sumber nafkah setiap hari untuk menghidupi seisi keluarga.
            Setiap malam berlalu dengan ganjil, hitam langit seakan mengabaikan kerdip bintang, mengkhianati cahaya bulan. Kelam adalah saat yang sungguh menyengsarakan hingga berakhir di batas fajar. Ketika para pembantu bangun lebih awal untuk membersihkan sesisi rumah, menyediakan sarapan, mencuci pakaian kotor, menghidupi seluruh penghuni. Tak ada pekerjaan berat yang harus dilakukan Rokayah, akan tetapi bahkan anak-anak tiri yang tinggal seatap lebih pantas menjadi teman sepermainan. Mereka saling bertatapan dengan aneh tanpa kata, Rokayah segera merasakan lantai rumah yang dipijak berubah seakan bara. Ia tak mampu melawan, karena kekerasan akan terjadi, ia memilih sikap diam, menerima kodrat dengan sabar, ia  mencoba berdamai selaku pengantin baru dalam usia belia.
            Di sebelah rumah adalah pusat pembatikan sekaligus ruang administrasi untuk menangani urusan dagang. Rokayah menghibur diri dengan belajar membatik, mengikuti kata hati untuk belajar pula berdagang, sang suami tak pernah melarang. Jauh dalam hati Rokayah selalu ingin menggampar wajah tua itu, tetapi ia tak memiliki cukup keberanian. Atau ia tidak mampu menghancurkan seluruh hidup dengan akibat harus pergi menggelandang. Diam-diam ia menunggu suatu hari ketika hukuman kurung ini berakhir dan ia akan segera mendapatkan pembebasan. Setiap hari Rokayah menunggu hingga tahun berlanjut, pada usia 27 tahun setelah 14 tahun “hukuman kurung”, Rokayah mengandung kemudian melahirkan seorang bayi perempuan yang mungil.
            Bayi itu memberikan segala kekuatan, ia tak  perlu bertanya dari ayah yang mana sang bayi harus terlahir, tetapi kini ia seorang ibu yang memiliki harapan menurunkan kehidupan kepada anak yang dicintai. Adakah ia masih membenci Taufik, sang suami? Adakah ia masih mengharapkan perkawinan ini berakhir? Rokayah menjawab pertanyaan itu dalam diri sendiri, tak seorangpun tahu apa yang dipikirkan –lebih baik tak seorang pun boleh tahu. Penampilannya yang santun selalu mampu menutupi gejolak diri, mengamankan dari segala bentuk kekerasan.
            Seiring sang bayi mungil bertumbuh dewasa, seiring Taufik semakin tua. Aneh, ia semakin jarang pulang ke rumah, pergi lebih lama dalam memperdagangkan batik ke ibu kota Jakarta. Apa yang terjadi? Rokayah menghela napas panjang, ketika  beberapa pembatik berbisik perlahan dengan rasa takut, menyesal, dan belas kasihan. “Juragan ada tinggal dengan penyanyi dangdut di kampung sebelah ….”
            Haruskah Rokayah dibakar api cemburu? Ia bahkan tak pernah menghendaki perkawinan ini, ia tidak mampu mengajukan gugatan cerai. Ia kembali bersikap diam, bahkan ketika berbulan-bulan Taufik, si kakek tua tak pernah pulang. Ia tak merasa kehilangan dengan ketidakhadiran itu, ia memiliki  rumah usaha dengan hasil yang menjanjikan, bayi mungil yang terus bertumbuh sebagai gadis cantik. Rokayah tak hendak mengulang kesalahan dengan menikahkan Fatima pada muda usia. Di layar televisi ia telah melihat perempuan kini menjadi dokter, ibu guru pengusaha, menteri, pramugari kapal udara, bahkan penerbang. Ia telah bertahun-tahun meneguk kopi pahit tanpa gula dari cangkir yang sama, ia tidak hendak melakukan ketololan serupa bagi satu-satunya anak yang dapat dilahirkan.
            Sementara Fatima beranjak dewasa, menekuni pelajaran pada setiap jenjang pendidikan, menjadi juara kelas hingga akhirya tembus pada seleksi sebuah universitas tertua yang menjadi kebanggaan bangsa ini. Untuk sekali dalam hidup senyum di bibir indah Rokayah mengembang, ia telah membayar kegagalan hidup, tanpa pernah  menerima ijazah tingkat SLTP. Akan tetapi, Taufik semakin renta, ia telah menghabiskan sisa hidup bersama seorang penyanyi dangdut, ketika usia tak memenuhi lagi bagi seorang penyanyi dangdut untuk hidup bersama. Sang penyanyi mengatupkan daun pintu, Taufik tahu kehadirannya tak lagi dikehendaki. Ia telah memberikan segala kekayaan bagi sang penyanyi hingga dicampakkan pergi.
            Rokayah tak berkata apa-apa ketikaTaufik kembali tinggal di rumah, garis-garis penuaan di wajahnya menimbulkan rasa iba dan belas kasihan. Taufik tahu diri untuk tidak berbagi kamar, ia menempati kamar tersendiri, ia harus tahu kehadirannyapun tak pernah dikehendaki di kamar Rokayah. Masa muda terlalu cepat berlalu seperti kuda-kuda yang dicambuk kemudian berlari kencang menyisakan debu. Demikian pula ketika Taufik mulai sakit-sakitan, ia hanya berbaring, menikmati secangkir kopi panas di pagi hari kemudian kembali tertidur atau menyaksikan pertunjukkan televisi dengan susah payah, karena matanya mulai rabun. Ketika tubuh tua itu akhirya lunglai di atas pembaringan tanpa keluh kesah, Rokayah tahu saat-saat bagi sang suami tak akan lama lagi. Ia merasa tak rugi apa-apa dan tak kehilangan apa-apa bila harus merawatnya, meski tak tersisa sedikitpun rasa cinta.
            “Maafkan untuk semua kesalahanku ….” Adalah kata-kata terakhir Taufik sebelum ia menghembuskan napas terakhir. Rokayah membimbingnya mengucap syahadat, “Lailahaillallah….” Kakek tua itu akhirnya berpulang dengan tenang seperti halnya setangkai daun kering bercerai dari dahan.
                                                                      ***
            “Mak hari hampir gelap…. Bapak sudah tenang….” Fatima merangkul bahu ibunda, ia tak benar-benar tahu isi dada Rokayah yang seakan berpusing diamuk badai. Seorang janda berkabung pasti merasa kehilangan, akan tetapi bukankah maut pasti akan datang kepada siapapun yang hidup?
            Rokayah memejamkan mata, menghembuskan napas dalam-dalam, kali ini bangkit berdiri setelah doa-doa. Ia telah mengakhiri tahun-tahun yang panjang dan menyengsarakan, masih tersisa waktu memulai tahun-tahun berikut tanpa kehadiran Taufik Taufik lain di sampingnya. Ia adalah manusia bebas, ia berhak tertawa dan tergelak tanpa perkawinan paksa pada muda tua. Satu langkah setelah membalikkan  badan, Rokayah terpaku, tak jauh di depan adalah anak-anak tiri. Usianya tak terpaut berbeda, pada tahun-tahun yang panjang hubungan terentang dengan amat kaku seakan helai benang yang siap putus. Kini, Rokayah tertegun, tiga orang anak tiri beserta kerabat dalam jarak terukur berdiri dengan mata seakan genangan air danau. Adalah sikap dan tatapan yang kehilangan, tak sepatah katapun terucap. Ketika salah seorang mengulurkan tangan tanpa sadar Rokayah menerima, saling menggenggam. Rokayah masih terpaku, seluruh tubuhnya bergetar, sepasang  matanya yang indah kini basah oleh embun. Ia bukan lagi seorang gadis belia yang terjungkal dalam kubangan duka, karena kawin paksa. Ia melewati takdir dengan tabah, maka pada senja usia ia bukanlah kafilah yang sebatang kara. Ia memiliki seorang anak kandung serta anak-anak tiri yang mengasihi yang tak akan merelakan ia tersesat seorang diri.
            Ketika keluarga yang berkabung itu berjalan beriringan meninggalkan hening pemakaman, langit merah berubah semakin redup. Angin semakin dingin berkesiur menggugurkan kelopak bunga kamboja serta daun-daun kering. Untuk sekali dalam hidup Rokayah merasa damai, ia telah menjalani takdir sesuai garis hidup tanpa banyak berkeluh kesah hingga sampai pada batas pencapaian.
            Bukankah dalam setiap suratan manusia hanya sebagai pelaku? 
                                                                                    ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...