Adalah Yacob Leuhery alias Yopi berumur 29 tahun,
seorang warga yang bertempat tinggal di Jl. Air Tentua RT. 01/RW. 2, Kelurahan Amantelu Batu Merah Dalam Kodya
Ambon. Yopi bekerja sebagai sopir tembak atau sopir angkot milik seorang
pengusaha. Bila ada seseorang membutuhkan sopir ia akan dipanggil, bila ada
sementara teman sesama sopir angkot yang tidak bekerja pada hari itu, maka
mereka akan meminta Yopi menggantikan dengan imbalan bagi hasil.
Ambon, Selasa, 19 Januari 1999
Pada sekitar pukul 15.30, Deni teman Yopi warga
Batu Merah Dalam meminta Yopi menjalankan angkot, maka Yopi membawa angkot
termaksud untuk mencari penumpang. Yopi menghentikan angkot di terminal Batu
Merah di ujung jembatan depan Bioskop Victoria. Sementara Yopi berhenti menunggu
penumpang, ada dua orang pemuda tidak dikenal berdiri di seberang jalan
terminal angkot Batu Merah. Tidak berapa lama kemudian salah seorang dari
pemuda itu mendatangi Yopi lalu meminta uang Rp. 500,00. Dari logat bicara Yopi
tahu, pemuda itu adalah orang Bugis. Permintaan itu dijawab Yopi, “Beta balong
ada uang, soalnya baru ambil mobil, balong lari satu kali lai”, maksudnya --Saya
belum ada uang, soalnya baru ambil mobil, belum jalan satu kalipun--
Setelah itu Yopi meninggalkan pemuda Bugis itu dan
menuju ke terminal Mardika, akan tetapi suasana terminal sepi tidak ada
penumpang, maka Yopi kembali ke terminal Batu Merah. Pemuda Bugis yang tadi
meminta uang kembali datang untuk melakukan hal yang sama: meminta uang. Yopi
kembali menjawab, “Balong ada uang, balong ada penumpang”, artinya --Belum ada uang,
sebab belum ada penumpang-- Akan tetapi pemuda itu terus memaksa, akhirnya
terjadi perang mulut. Pemuda itu mencabut badik dari pinggang dan berusaha
menikam leher Yopi yang masih sementara duduk di belakang kemudi. Refleks Yopi
menghindar sambil mendorong dengan keras pintu mobil ke arah si pemuda. Dahi
pemuda itupun berdarah terkena ujung pintu mobil.
Yopi melarikan mobil ke arah Batu Merah Dalam
untuk mengambil parang kemudian kembali ke terminal Batu Merah mencari pemuda
yang mencoba menikam lehernya dengan badik. Kedatangan Yopi dengan membawa
serta parang panjang membuat pemuda Bugis itu ketakutan dan segera lari ke
dalam lorong Pasar Batu Merah. Warga yang berada di lorong itu menghadang si pemuda,
karena mengira ia adalah seorang pencuri. Pemuda itu kemudian mengaku bernama
Usman, ia tidak dikenal warga setempat, meski seorang Suku Bugis. Usman
berkata, bahwa ia ditodong Yopi, karena ia tidak memiliki uang, maka Yopi
memukul dahinya hingga berdarah. Yopi mengambil parang, maka Usman membela
diri.
Rasyid, seorang warga Batu Merah dan beberapa
orang warga yang mendengar keterangan Usman segera mendatangi Yopi yang sudah
tidak lagi mengejar Usman. Mereka berteriak, “Pele-pele dia”, --Tahan-tahan dia!--Yopi
terus dikejar sampai di terminal Batu Merah. Beberapa orang polisi dan ulama
berusaha menenangkan massa, sehingga massa kembali ke tempat semula. Akan
tetapi, tak lama kemudian massa Batu Merah kembali menampakkan diri sambil
membawa berbagai macam senjata tajam dan segera melempari rumah warga beragama
Kristen yang bermukin di Jl. Sultan Hasanudin, Batu Merah. Warga Kristen tak
mau tinggal diam, mereka balas melempar massa Islam, aksi baku lempar tak
terhindarkan. Massa Islam menjadi beringas, mereka membakar rumah keluarga
Kristen, S. Noya dan rumah keluarga Boy Huliselan serta sebuah bengkel sepeda
motor. Ketika aksi pembakaran berlangsung, maka jarak antara pemukiman warga
Mardika dan Batu Merah hanya dipisahkan sungai selebar 5 meter. Kedua warga itu
melakukan pembicaraan, warga Mardika Kelurahan Rijali diwakili diwakili Bapak Williem
Tuhumena (40 tahun) selaku ketua RT, warga Batu Merah diwakili tokoh masyarakat
setempat. Kedua kelompok tersebut telah sepakat untuk tidak ikut serta dalam
pertikaian.
Akan tetapi, tiba-tiba pada sekitar pukul 16.00
kurang lebih 60 orang warga Batu Merah datang dalam keadaan mabuk, melewati
jembatan pasar Batu Merah, membawa golok, tombak, panah wayer, dan senjata
tajam lainnya. Warga bersenjata tajam itu menyerang Desa Mardika. Saat itu ada
dua orang desa Batu Merah menyeberang Sungai Mardika untuk mencegah keributan,
tetapi tidak berhasil. Penyerangan itu membuat warga Mardika terkejut, karena
mereka telah bersepakat untuk tidak saling menyerang. Warga Mardika yang berada
di tempat penyerangan segera melakukan pembalasan dengan melempar batu.
Sebagian massa Batu Merah terus menyerang sementara yang lain membobol kios
minyak tanah di depan kelurahan kemudian membakar rumah ketua RT, Bapak William
Tuhumena. Api merambat di sekitar rumah warga, rumah milik orang Jawa yang
beragama Islam. Bapak William meminta masyarakat supaya menyelamatkan rumah
warga muslim tersebut, tidak usah peduli dengan rumahnya, karena api sudah
membesar, rumahnya telah hangus terbakar. Rumah warga muslim selamat dari
kobaran api, warga Batu Merah tidak merusaknya.
Sementara itu setelah membakar rumah ketua RT,
warga Batu Merah membakar kantor kelurahan. Ketua RT Mardika telah menelepon
polisi kota --polisi perintis-- untuk meminta bantuan, dijawab dengan: Tunggu
bantuan dari Brimob Air Besar di Kecamatan Baguala yang berjarak kurang lebih
17 Km dari kota Ambon. Pada pukul 18.00 WIT Brimob telah datang untuk
mengamankan Desa Mardika. Dua jam kemudian, pada pukul 20.00 WIT massa dari
Batu Merah kembali menyerang, tetapi desa telah dapat diamankan.
Ketika warga Batu Merah melakukan penyerangan ke
rumah warga Kristen di Mardika, warga Muslim yang ada di silale --Waihaong-- Jl.
Baru dan Soa Bali juga melakukan penyerangan ke rumah warga Kristen di tempat
itu dengan membakar rumah keluarga Nikijuluw serta 11 rumah lainnya, gereja
sumber kasih, dan Pastori setelah melakukan penjarahan terhadap harta benda
warga Kristen. Massa kemudian menuju ke Gereja Bethlehem di Jl. Anthony Rhibok
dan melemparinya. Warga Kristen berusaha melindungi gereja supaya tidak
terbakar, maka terjadilah aksi lempar melempar. Warga muslim undur, berlindung
di Masjid An-Nur, kaca-kaca Masjid dirusak hingga pecah oleh warga Kristen yang
terus mengamuk membakar rumah, becak, kendaraan bermotor, dan segala hal yang
diperkirakan menjadi hak milik warga muslim. Massa Kristen dari Kuda Mati, Pulo
Ganza, dan berbagai tempat lainnya juga menyerang warga muslim di Batu Gantung,
membakar rumah Ustad Abdurrahman Khor –Dewan Penasehat DWP Partai Keadilan
Maluku di Air Salobar, membakar mobil mantan Kaditsospol, Bapak Alm. Moh.
Marica, membakar pemukiman penduduk muslim di sekitar Jl. Diponegoro atas serta
merusak Majid Al Huda.
Pada sekitar pukul 06.00 warga Kristen mengepung
Masjid Al Fatah, tetapi masjid tersebut dapat diselamatkan berkat penjagaan
ketat aparat keamanan bersama warga muslim setempat. Dalam kerusuhan ini 6
orang tewas akibat benturan benda tumpul dan benda tajam, satu orang tewas di
depan Hotel Gamalama, 1 orang tewas di halaman kantor Gubernur, 1 orang tewas
di gang Da Silva. Sebuah kejadian yang amat tragis adalah bahwa, seorang bapak
warga muslim beserta anaknya yang masih kecil tewas dipotong di dalam gang di
depan Hotel Amans-Mardika(Buletin Elektronik Eskol-Net. Fri, 5 Feb 1999
18:10:08-0500).
Apa yang sebenarnya
terjadi pada hari itu, Selasa, 19 Januari 1999 kecuali kesalahpahaman, masa
yang tidak berpikir cermat, dan mudah terprovokasi? Yopi adalah seorang pencari
nafkah demi pertahanan hidup hari ini, ia mengatakan hal yang sebenarnya ketika menjawab, “Balong
ada uang”, memang ia belum melarikan angkot untuk memungut jasa
pengangkutan dari penumpang. Adapun Usman, pada prinsipnya ia tidak memiliki
hak untuk memaksa orang lain memberikan uang meskipun jumlahnya amat kecil. Ketika
keduanya perang mulut dan Yopi diancam dengan kekerasan demi uang Rp. 500,00, identitas
pemuda yang bersangkutan belum diketahui, terlebih agama yang dianutnya,
demikian pula ketika benturan antara pintu angkot dan dahi Usman terjadi yang
menyebabkan pendarahan. Yopi terpaksa melakukan tindakan kekerasan demi
keselamatan jiwanya.
Ketika Yopi kembali datang dengan sebilah parang di
tangan, emosi pemuda itu sudah mulai berkobar, ia tak menyadari akibat
mengerikan yang bakal terjadi setelah itu. Usmanpun ketakutan, ia melindungi
diri dengan cerita palsu, atau memutar balikkan fakta, bahwa ia terluka oleh
Yopi, karena tidak bersedia memberikan sejumlah uang. Kejadian yang sebenarnya
adalah Usman yang memakas Yopi memberikan uang, warga Batu Merah yang tidak
mengenal Usman dengan polos mempercayai kata-kata pemuda itu tanpa menguji
kebenarannya atau mencermati, apa yang sebenarnya telah terjadi. Maka mereka
segera mengejar Yopi tanpa menyadari duduk persoalannya, polisi dan pemuka agama berhasil meredam
amukan masa. Ternyata masalah tidak berhenti sampai di situ!
Kumpulan masa yang tiba-tiba beringas --tanpa alasan
tepat, mengapa keberingasan itu harus ada-- kembali mengamuk dengan benda
tajam, menyerang rumah warga Kristen. Kekerasan dibalas dengan kekerasan, umat
Kristen tak mau tinggal diam, mereka juga menyerang warga Muslim, api berkobar,
darah tertumpah, korban tak bersalah jatuh. Dendam, kebencian, sakit hati
menyebar dengan sangat cepat ke seluruh penjuru kota, hingga pengrusakan
fasilitas sosial dan ibadah tak terelakkan. Asap kebakaran mengepul dari setiap
penjuru kota, tragedi kehidupan yang paling tragis --perang antara sesama suku
dan tetangga tanpa alasan pasti berkecamuk seakan perlawanan terhadap penjajah
yang mempunyai rencana untuk merenggut kemerdekaan tanah ini. Orang-orang tak
bersalah yang tak memahami duduk persoalan antara Yopi dan Usman terprovokasi
atas nama cinta sesama umat, dendam, dan balas dendam. Tanah Ambon mulai
digenangi darah!
Genangan darah itu menyulut amarah bagi sesama umat,
menyebar, melampaui batas ruang dan waktu hingga ke pulau-pulau terpencil.
Berita, bahwa uma Islam saling membunuh dengan umat Kristen menjadi buah mulut
yang tak dapat dihentikan sekaligus menjadi moncong senapan yang dapat mencabut
nyawa, bagi orang yang tak bersalah sekalipun. Konflik dan kepentingan
menyebabkan pembantaian antara agama, antara sesama anak Adam yang menyembah
Allah berkelanjutan menjadi perang tanding tanpa ujung pangkal. Kapankah
tragedi kemanusiaan ini bakal berakhir?
***
Halmahera, 1999
Konon, ada satu suku yang mendiami sebuah pulau
di sekitar Halmahera yang mengalamai masalah ekologi dengan adanya air laut
yang pasang dan selalu menggenangi lingkungan tempat tinggal. Air mutlak
diperlukan bagi kelangsungan hidup sehari-hari, akan tetapi ketika jumlahnya
berlebihan dan merusak lingkungan tempat tinggal yang telah dibangun secara
permanen, maka persoalan menjadi serius. Untuk mengantisipasi masalah itu,
pejabat berwenang menerapkan suatu kebijakan untuk merelokasi suku tersebut ke
sebuah tempat yang lebih aman secara ekologis bagi kelangsungan hidup.
Bertahun kemudian setelah relokasi mulai menuai hasil
melalui proses adaptasi, sebuah kejutan terjadi. Tanah tempat relokasi
pemukiman ternyata kaya akan kandungan emas, penambangan besar-besaran dengan
keuntungan dan peluang bagi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat di
seputar tempat tinggal membentang di
depan mata. Konflik antara masyarakat
asli dan relokasi terpicu, karena perebutan sebidang tanah yang merupakan
deposit emas. Kebencian, iri hati, dan obsesi untuk memiliki kandungan emas
dihembus dengan kerusuhan dan pembantaian berbau Sara di kota Ambon, sehingga
muncullah persepsi yang keliru --bahwa telah terjadi perang dan pembantian
antara umat Islam dan Kristen --Demikian cepat kemarahan tersulut tanpa tanda
tanya, demikian cepat senjata tajam terayun, demikian cepat darah tertumpah.
Maka, Halmahera tanah yang menghijau subur itu mulai digenangi darah!
***
Lambert merasakan kepanikan merontak-rontak ketika ia
mendapatkan suasana tegang di dalam kantor. Wajah-wajah yang semula diliputi
keramahan, kini mendadak berubah menjadi aneh dan seakan tidak lagi saling
mengenal. Laki-laki itu tahu apa sebabnya, peristiwa Ambon! Pertumpahan darah
itu telah menyulut kebencian sedemikian luas dan dalam, sehingga
pribadi-pribadi yang tidak bersinggungan dengan peristiwa itupun telah pula
menjadi panas karena tersulut. Ia telah menangkap kebencian ketika tidak jauh
dari tempatnya tinggal terbetik kabar Masjid telah dibakar. Persepsi masa telah
menghakimi orang Kristen sebagai pelaku. Benarkah?
Selebaran tanpa asal usul bertebaran dengan pesan,
bahwa orang Islam akan membakar gereja, selebaran lain berbunyi orang Kristen
juga akan membakar Masjid. Selebaran itu sama berbahaya dengan pijar api yang
disulut pada segumpal kapas yang telah disiram dengan bensin. Kedamaian yang
menjadi situasi utama dalam menjalankan aktivitas sehari-hari telah terkoyak
dan tercabik-cabik. Demikian dengan situasi di kantor konsultan konstruksi
bangunan tempat Lambert bertugas. Semula mereka saling menghormati antara
seluruh pemeluk agama meki keyakinan itu berbeda. Hormat menghormati telah
menjadi sikap baku dalam kehidupan beragama selama lima abad dan melembaga di
tanah ini. Alangkah indahnya ketika ia duduk makan bersama sambil tertawa
tergelak-gelak dengan handai tolan pada saat hari raya Idhul Fitri. Dan betapa
meriahnya ketika rekan-rekan muslim
mengucapkan selamat dengan takzim pada saat perayaan Natal. Mereka bahkan
memiliki marga yang sama dengan agama yang berbeda. Tak pernah ada konflik
antara Islam-Kristen di tanah ini, masyarakat hidup rukun menjelang perubahan
demi perubahan dan harapan yang lebih baik.
Akan tetapi, betapa tidak nyaman situasi di kantor
hari ini, wajah-wajah curiga, bisik-bisik yang merentangkan jarak dan kebencian
mulai tersulut. Lambert mematikan komputer, ia tak berkonsentrasi kerja hari ini.
Nayla, mamak mantunya terbaring di rumah sakit, suatu keajaiban bahwa setelah
perkawinannya dengan Betani, maka perempuan bijak itu dapat bertahan hidup
lebih satu tahun hingga hari ini. Nayla tengah menunggu saat-saat terakhir
dalam hidup, dokter telah angkat tangan, pengobatan alternatif tak membuahkan
hasil, doa-doa hanya sekedar kekuatan spiritual yang tak dapat lagi memberi
harapan. Lambert tahu Nayla pasrah, perempuan itu masih memiliki satu keinginan
untuk menimang cucu mungil yang terlahir dari kandungan Betani, akan tetapi
sang istri hingga hari ini belum juga menampakkan tanda-tanda kehamilan.
Lambert cukup bijak untuk mendesak Betani perihal kehamilannya meski iapun
telah bermimpi untuk dapat memiliki keturunan. Ia terlalu mencintai Betani, setelah
perkawinannya Betani segera menyelesaikan skripsi, menerima ijazah dalam acara
wisuda. Perempuan itu kemudian sibuk begabung dengan sebuah yayasan yang
bergerak dalam misi kemanusiaan. Betani berhasil membangun suatu jaringan di
Manado, sehingga ia memiliki kepercayaan dan kemampuan dalam mendirikan
yayasan. Sang istri terlalu lelah, terkadang menjelang gelap Betani baru pulang
untuk berkumpul kembali di dalam rumah. Kelelahan bisa jadi merupakan faktor
penghambat bagi kesubururannya, atau entahlah, Lambert tak paham seluk beluk masalah kehamilan. Sikapnya
terhadap Betani tak pernah berubah, ia memberikan seluruh tanggung jawab selaku
kepala keluarga, satu hal yang membuat Betani mengerti, mengapa ibunda menyarankan
supaya ia menikah dengan Lambert. Pilihan ibunda benar adanya.
Tiba-tiba suasana di kantor menjadi amat hening tanpa
suara, beberapa pegawai telah mengemasi perlengkapan dan kembali ke rumah
dengan tergesa-gesa. Selama bekerja di kantor ini Lambert tak pernah mendapati
situasi seperti ini, laki-laki itupun merasa tidak nyaman. Sekilas terlintas
wajah putus asa Nayla dalam menjemput maut, ketika wajah itu berlalu, maka
berganti dengan wajah cantik Betani yang berlinang-linang air mata, menyesali
kepergian ibunda untuk selama-lamanya. Lambert merasakan tenggorokannya
terbakar, pagi tadi Betani berpamit menjenguk ibunda di rumah sakit kemudian ia
hendak turun ke kampung untuk melakukan survei bagi pembangunan taman bacaan.
Semoga ia tak berlama-lama pergi dan segera kembali ke rumah, ia memerlukan
waktu untuk bicara mengingat situasi yang semakin tegang.
Sebenarnya sejak hari kemarin Lambert ingin berbicara
dengan Betani, akan tetapi sang istri tampak demikian lelah setelah tugas rutin
sehari-hari, laki-laki itu mengurungkan niatnya. Ia akan mencari waktu yang
lebih tepat, dan situasi di kantor serta kabar perihal terbakarnya masjid
membuat ia memutuskan untuk berbicara serius dengan Betani. Ia termasuk
kelompok minoritas di kampung ini, apa
yang bakal terjadi apabila kerusuhan dan pertumpahan darah di Ambon
meluas hingga ke tempat ini? Lambertpun mengemasi barang-barang, ia harus
melakukan tindakan antisipasi sebelum kemungkinan yang paling buruk terjadi.
Laki-laki itu tertegun ketika berpapasan dengan
ambulance di depan pintu rumah. Apa yang terjadi? Dengan tergesa ia menerobos
masuk ke dalam rumah, ia mendapati Nayla tengah terbaring dengan napas amat lemah. Wajahnya yang sepucat
kertas tak menyiratkan apapun, kecuali cahaya hidup yang menjelang padam,
saatnya telah tiba. Betani duduk dengan mulut terbungkam, ia telah menyadari
kehadiran saat-saat menakutkan yang tak akan pernah dapat dihindari. Maut telah
lama memberi tanda akan datangnya hari ini --ia memang akan tiba-- Betani
maklum. Sepasang mata jernih itu telah digenangi air, perempuan itu merasakan
betapa dingin telapak tangan ibunda. Tak ada yang lebih dibanggakan dalam
hidup, kecuali ia telah terlahir dan dibesarkan oleh Nayla. Ibunda memberikan
segalanya, demikian juga di saat-saat terakhir, ketika wanita itu demikian
tenang. Ia satu-satunya dari ketiga anak yang tetap berada di sampingnya, ia
tak akan pernah dapat meninggalkan Nayla.
Wanita itu tahu
saatnya akan segera tiba, tak ada gunanya selang infus di rumah sakit, ia ingin
menghembuskan napas terakhir di rumah tinggalnya. Ayahanda tampak lebih tua
dari usia yang sebenarnya, laki-laki itu duduk terpekur, menunggu saat paling
menakutkan dalam hidup. Berapa tahun ia hidup dengan wanita yang dikasihinya?
Ia telah dapat mencapai segala hal yang diinginkan, suka duka, susah senang, keberhasilan
dan kegagalan. Anak-anaknya telah dewasa, tugas terberat dalam perkawinan telah
tunai. Nayla pasti pergi dengan tenang, akan tetapi betapa mencekam detik-detik
ini? Alexander merasa tubuhnya gemetar, setelah detik yang mencekam ini ia
hanya memiliki sisa hidup yang telah kehilangan cahaya, karena Nayla telah
tiada.
“Mama....” suara
Lambert perlahan, ia segera terbenam dalam suasana sendu di dalam kamar itu.
Sejenak Nayla membuka mata, ia mencoba memberi tanda kepada sumber suara,
tetapi tenaganya tak lagi tersisa. Wanita itu tersengal-sengal melawan kekuatan
dasyat yang seakan tengah menyedot seluruh isi tubuhnya. Betani tahu, ibunda
tengah berjuang melawan merasakan sakit tak terperi dan tak seorangpun dapat
mengulurkan bantuan. Genggangan tangan Betani pada telapak tangan Nayla semakin
erat, semakin erat, air matanya deras mengucur.
Akhirnya kepala
Nayla terkulai, matanya terpejam. Tangis Betani dan Alexander pecah, memenuhi
seluruh relung rumah ini. Lambert mengambil tindakan cepat, ia tak boleh
melarut dalam tangis, ia harus melakukan yang terbaik bagi jenazah Nayla.
Laki-laki itu meraih gagang telepon menekan sejumlah nomor, akan tetapi
alangkah herannya karena setelah berulang kali panggilan masuk, tak seorangpun
yang mengangkatnya. Apa yang telah terjadi?
Lambert
mencoba keluar rumah
untuk mengabari perihal kematian Nayla kepada tetangga, namun betapa senyap
suasana di depan rumah, tak ada suara anak-anak bermain atau gaung kendaraan
bermotor. Pintu-pintu rumah tetangga bahkan terkunci rapat, lengkap dengan
tirai jendela. Mereka tak ingin dikunjungi. Tangis Betani tak mengundang
seorangpun datang berkunjung. Lambert merasa dadanya mengombak, ada yang tak beres? Tapi apa?
Laki-laki itu
kembali ke kamar tempat jenazah Nayla terbaring, ia menekan kegelisahan, ia tak
ingin memberikan Betani beban lain setelah kematian ibunda. “Kau tampak gelisah
Lambert?” mata tua Alexander tak dapat tertipu dengan ketenangan yang sengaja
dibuat-buat. “Ada yang salah?”
Hening.
“Maaf bapa, di luar
suasana sunyi sekali, rumah-rumah tertutup, saya menelepon pastor tidak ada
yang angkat. Tak seorangpun yang mengangkat telepon”, Lambert tak dapat lagi
menyembunyikan kegelisahan.
“Sudah kuduga
perseteruan tak akan dapat dihindarkan”, suara Alexander lemah, diam-diam ia
menyimak peristiwa Ambon dan kerusuhan demi kerusuhan yang merambat ke setiap
pulau di wilayah ini, ia mencoba tidak percaya, tetapi suara bisik-bisik dan
pemberitaan itu tak menyangkalan kebenarannya. Sebuah perang tanding tanpa
sebab yang jelas, pertumpahan darah antara sesama warga yang tak memiliki
konflik sebelumnya kecuali kesalah pahaman. Wajah Alexander menjadi semakin
muram, di akhir masa pensiun, semestinya ia menikmati masa istirahat dengan
tenang, tetapi apa yang kini bakal terjadi?
Nayla menghembuskan
napas terakhir, meninggalkannya sebagai duda. Betapa mendalam kenangan hidup
bersama wanita itu. Alexander menyusut air mata, ia tak dapat menyembunyikan
kegundahan di hadapan anak mantu. Sementara isak tangis Betani masih terdengar
menyayat. Adakah ia akan dapat memberikan yang terbaik bagi Nayla pada upacara
pemakaman sementara para tetangga bersembunyi di dalam rumah dengan gelisah,
sebagian mungkin telah mengungsi keluar wilayah, karena situasi yang tak
memberikan rasa nyaman. Tiba-tiba Alexander dicekam kepanikan ketika
samar-samar terdengar suara jerit dan raungan, gereja telah terbakar! Asap
mulai mengepul, bergulung-gulung memburu langit, suara massa mengamuk,
kemarahan, dan ketakutan berbaur menjadi satu.
Alexander dan
Lambert keduanya saling berpandangan, wajah mereka menjadi pucat, tanpa
kesepakan keduanya bergerak tergesa menutup pintu pagar, mengunci pintu,
menutup tirai dan segera kembali memburu Betani yang tenggelam dalam tangis
duka di dalam kamar. Apa yang harus
kulakukan dengan jenazah beta punya istri? Dada Alexander terasa sesak,
keringat dingin mulai mengucur, perubahan sikapnya membuat Betani terhenyak.
“Apa yang telah berlaku papa?” suara Betani terpatah-patah.
“Kalau terjadi
apa-apa, bersembunyilah dulu di sumur kering belakang rumah, larilah selagi
engkau bisa menyelamatkan diri. Masa depanmu masih panjang” Alexander memeluk
anak perempuannya dengan segala rasa kasih. Adakah
ini pelukan terakhirnya? Tenggorokan laki-laki itu terasa kering dan
terbakar. Ia tak akan meninggalkan rumah ini apapun yang terjadi sampai jenazah
Nayla disemayamkan, ia akan melakukan yang terbaik untuk yang terakhir bagi
wanita yang dicintai.
“Apa yang telah
terjadi papa?” Betani mulai mengerti apa
sebenarnya arti rasa takut, tatapan Alexnder dan Lambert sudah cukup
mengatakannya. Air matanya kembali runtuh, ia belum lagi selesai menangisi
jenazah Nayla, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang amat besar tidak jauh
dari rumah ini, dari segala penjuru kota mengepul asap. Suara mobil dalam kecepatan
tinggi dan rem yang mencicit, menjerit-jerit melengkapi ketakutan.
“Mereka telah
membakar rumah-rumah ibadah”, wajah
Lambert menjadi semakin tegang, ia menggenggam telapak Betani yang terasa
semakin dingin. Genggaman itu semakin erat ketika tiba-tiba terdengar kaca
jendela pecah dan suara benda keras terjatuh ke lantai. “Berkemaslah Beta,
selamatkan dirimu!” Lambert dengan panik menyambar tas, menjejalinya dengan
surat-surat berharga, uang, perhiasan, dan pakaian.
“Saya harus pergi
kemana Lambert?” suara Betani putus asa. Suara kaca jendela pecah kembali
terdengar, disusul suara massa yang mengamuk di kejauhan dan semakin lama
semakin mendekat.
“Allahu Akbar!”
“Allahu
Akbar...!!!”
“Menjauhlah dari
kegaduhan, beta harus menjaga jenazah mama”,
“Beta telah
mengandung dua bulan....” suara itu bercampur dengan isak tangis.
“Oh Tuhanku!”
Lambert menatap Betani dengan segala jenis perasaan berkecamuk, ia akan menjadi
seorang bapak, tetapi mengapa nasibnya seakan berada di ujung tanduk? “Mengapa
engkau baru mengatakan Beta?”
“Beta baru saja
periksa setelah dua bulan terlambat”, air mata Betani kembali berlinang-linang,
ia merasakan getaran terdalam dari rasa cinta seorang suami yang mengasihinya
dengan sepenuh hati. Di luar kumpulan masa meraung dalam suara hiruk pikuk,
bulu roma Betani meremang. Mereka tahu, waktu terbelah menjadi kepingan
kepingan tak berbentuk, tak ada kepingan yang cukup lebar untuk sekedar
meloloskan diri. Mereka terjepit kini!
Tiba-tiba terdengar
suara kaca pecah kemudian gumpalan api menggelinding seakan bola yang
menyala-nyala. Betani memekik, ia harus menyadari, bahwa dunianya tengah
terjungkir untuk berubah dan hancur sama sekali. Masa telah beringas atas nama
kebencian yang tidak memiliki dasar, agaknya ia akan segera menjadi korban.
“Berlarilah selagi ada waktu”, Lambert memeluk Betani --mungkin untuk yang
terakhir kali-- cinta kasihnya tak perlu diragukan, Betani merasa dadanya
bergetar. Ketika sepasang matanya bertatapan dengan Lambert, air matanya
kembali berlinang-linang.
Berapa lama ia
harus melupakan Orin untuk menerima Lambert sebagai seorang suami? Ia memang
tak pernah punya alasan untuk membenci, akan tetapi bayang-bayang akan Orin
membuat perasaan hatinya menjadi hancur. Kini, pada detik-detik terakhir ketika
waktu berwenang menentukan takdir sekaligus jalan hidup, dada Betani mengombak,
ia mengerti apa sebenarnya rasa cinta. Perasaan itu serupa dengan tanaman yang
akan tumbuh karena lahan yang subur,
cucuran air, dan terus menerus dipupuk, sehingga kebersamaan hidup dapat tetap
dipertahankan.
Akan tetapi, apa
yang akan dapat terus dipertahankan? Kumpulan masa semakin beringas dan bersiap
melindas segala sesuatu yang dapat memberi kemungkinan bagi ia dan Lambert
untuk hidup bersama dan berkasih-kasihan. Waktu telah habis ketika seorang
perusuh dengan parang terhunus menerjang masuk ke dalam rumah dan siap membunuh
sesama manusia --entah karena alasan apa?
“Betani lari! Selamatkan bayimu!” Lambert berteriak nyalang, ia harus
melakukan tindakan yang sangat mustahil untuk memberi kesempatan bagi Betani
untuk menyelamatkan diri sekaligus anak yang bakal dilahirkan. Laki-laki itu menyambar
kursi, ia melawan tebasan parang untuk melindungi diri sekaligus memberi
kesempatan bagi Betani untuk melarikan diri. Ketika ia melirik Betani telah
menerobos lari melewati pintu belakang dengan isak tangis tertahan, laki-laki
itu merasa lega. Ia telah melakukan hal yang terbaik dalam hidup ketika situasi
mendidih, yaitu menyelamatkan Betani dan janin tak berdosa yang tengah
berlindung di dalam rahimnya. Apakah ia
sendiri akan dapat bertahan bagi kehidupan hari ini?
Perusuh pertama
telah dapat dirobohkan dengan berlumuran darah, Lambert terpaku, hanya beberapa
detik, karena genangan darah telah menyulut amarah. Massa semakin beringas,
mula-mula Lambert masih dapat bertahan, akan tetapi luka-luka tebasan benda
tajam di sekujur tubuh menguras tenaganya. Ia sendiri di tengah kumpulan massa
yang telah kehilangan rasa kemanusiaan, untuk apa mereka harus membunuh?
Akhirnya ketika sebilah parang bersarang tepat jantungnya, Lambert tersungkur,
ia masih dapat mendengar hiruk pikuk massa yang dikuasai amarah. Kemudian rasa
sakit menghunjam tanpa pertolongan, laki-laki tu mengerang, mengerang!
Samar-samar Lambert seakan menyaksikan lingkar cahaya dari langit-langit rumah
dipenuhi aneka bunga, seorang bidadari maya tersenyum sambil mengulurkan
tangan. Seterusnya kabut! Lambert merasa tubuhnya mengambang tanpa rasa sakit
--ia seakan tengah terbaring di atas gumpalan kapas maha putih-- suara hiruk
pikuk itu sirna.
Sementara itu massa
segera menerobos ke dalam rumah, menjarah segala macam benda yang ada, di dalam
kamar Alexander menggigil, ia tak beranjak dari sisi jenazah Nayla. Ia tahu
saat-saat terakhir telah dekat, amukan massa itu tak ubahnya dengan suara maut.
Inikah akhir hidupnya? Ketika perusuh
mulai masuk ke dalam kamar dengan muka beringas dan kebencian tak tertahankan,
Alexander hanya memejamkan mata kemudian memeluk jenazah Nayla. Apa yang
terjadi kemudian adalah rasa perih akibat tebasan parang, semakin lama
kepedihan semakin dalam, Alexander merasa pakaiannya menjadi hangat oleh aliran
darah. Ketakutan menguasai diri, ia terlalu tua dan seorang diri untuk sekedar
menjadi pemenang dalam pertarungan yang tidak seimbang. Ia pasti kalah,
Alexander sadar akan hal itu, laki-laki itu telah kehilangan sebagian dari
kesadaran dengan mata basah ketika tubuhnya diinjak-injak dan jenazah Nayla
teraniaya. Apa yang tengah berlaku
Tuhanku? Alexander mengeluh sebelum langit menjadi gelap dan meringkusnya
dengan selimut hitam yang menyumbat seluruh pernapasannya.
Ketika rumah itu
akhirnya mulai menyala dilahap api, Alexander tak merasakan apa-apa lagi.
Laki-laki itu terbaring lemah, jenazah Nayla telah terkoyak-koyak, sosok tubuh
tak bergerak itu menyala bersama lidah api yang terus berkobar dan tak dapat
dihentikan. Asap hitam mengepul, membumbung tinggi, menyatu dengan kepulan asap
yang bersumber dari tempat kebakaran yang lain. Langitpun menghitam! Berdarah
dan menangis!
Dari sumur dangkal
tempat bersembunyi Betani menyaksikan tragedi itu dengan leher tercekik,
tangannya gemetar mendekap tas --satu-satunya benda yang menyimpan barang
berharga untuk diselamatkan-- Ketika api mulai berkobar, asap membumbung
menyatu dengan langit, Betani mengerti
ia telah direnggut dari kehidupan yang memberikan rasa cinta dan layak pula
untuk dicintai. Kehidupan itu telah berceceran, berserakan tanpa bentuk dalam
sekejab. Apakah beta tengah bermimpi?
Betani menampar pipinya sendiri, ia merasa sakit dan panas, ia tidak sedang
bermimpi, ia sedang berhadapan dengan kehidupan nyata, dengan massa yang
beringas dan bersiap membunuhnya.
Perempuan itu tahu, ia tak akan pernah kembali ke dalam
rumahnya dalam keadaan seperti dulu, ia harus pergi menyelamatkan diri bagi
kehidupan dan janin yang tengah dikandungnya. Betani keluar dari persembunyian,
ia mengikuti perintah Lambert untuk berlari, berlari menjauh dari suara gaduh
dan hiruk pikuk. Ia mengenal tiap jengkal tanah di tempat ini, ia mengenal tiap
batang pohon kelapa yang menjulang dengan buah ramai bergelantungan, ia juga
mengenal tiap semak belukar yang rimbun sebagai tempat persembunyian. Betani
terus berlari, ia tahu keselamatannya tergantung kepada kekuatan sepasang
kakinya melangkah. Ketika ia kehabisan napas, suara hiruk pikuk tak lagi
terdengar, tetapi Betani tetap waspada, ia duduk di antara rimbun tanaman liar
dan semak belukar. Perempuan itu merasa hatinya remuk! Lambert dan Alexander
sudah pasti tewas terbunuh atau terbakar, bagaimana dengan jenazah Nayla? Apa
yang telah mereka lakukan? Betani menyandarkan punggung pada batang pohon, air
matanya kembali membajir? Ia merasakan pedih pada telapak kakinya yang berdarah
setelah diseret berlari melewati bebatuan, semak, dan duri. Kepala Betani
berdenyut-denyut, kunang-kunang seakan ramai berseliweran, lebah-lebah ramai
mendengung. Ia merasa tenggorokannya kering.
Betani tak tahu
dengan pasti berapa lama ia duduk bersandar di antara semak belukar, tetapi
tiba-tiba langit menjadi muram, menjadi pucat, pertanda malam akan segera
datang dalam warna hitam. Kemana ia harus pergi? Siapa yang dapat dituju?
Betani tersentak!, ia tak memiliki tujuan dan tempat berlindung, bagaimana
dengan janin yang telah dikandungnya, kepada siapa bayi itu menuntut
pertanggungjawaban? Betani bangkit, mendekap tas, ia harus mendapatkan tempat
berteduh atau mati sia-sia, karena tak ada tempat berlindung? Ketika dengan
terseok ia mulai melangkah, maka dari kejauhan kembali samar-samar terdengar
hiruk pikuk massa mengamuk, api kembali berkobar, menyala-nyala. Betani membawa
langkah kaki berjalan menjauh dari amukan masa, akan tetapi pandangan matanya
telah berkunang-kunang, ia tidak hanya kelelahan, akan tetapi juga ketakutan,
dan terutama dihantam duka yang dalam setelah kenyataan pahit, bahwa ia telah
kehilangan orang-orang yang dicintai di dalam kobaran api. Ketika kakinya
tersangkut pada akar pohon Betani terpekik, terguling, ia mencoba bangkit,
tetapi mual pada perutnya membuat gerakannya goyah, perempuan itu tersungkur.
Sepasang mata Betani terpejam ketika ia mendengar raungan kemarahan semakin
mendekat. Perempuan itu merasa sakratul maut telah menjemput ketika tiba-tiba
ia merasa ada tangan kuat membungkam mulutnya kemudian menyeret tubuhnya ke
tempat yang tersembunyi.
***
Tian merasa dadanya
sesak ketika ia melihat langit mendadak berubah menjadi hitam malam, karena
asap yang mengepul tebal dari seluruh penjuru kota. Kiamat apa yang terjadi
pada tempat tinggalnya yang damai? Perempuan itu tak mampu berbuat apa-apa
dalam rasa gamang dan ketakutan, ia memutuskan untuk tetap berdiam di dalam
rumah. Ia telah mendengar perihal kerusuhan Ambon yang merambat dalam sekejab
ke pulau-pulau lain di wilayah ini. Media masa, baik cetak maupun elektronik
tak henti-hentinya memuat berita perihal kekerasan yang mengakibatkan
pertumpahan darah serta jatuhnya korban, yaitu orang-orang yang tidak bersalah.
Dan kehadiran laskar jihad itu telah memporak porandakan suasana, laskar itu
siap melakukan dua hal, membunuh atau dibunuh. Sikap yang selayaknya terjadi
pada situasi perang. Mereka tak berusaha untuk menghentikan pertumpahan darah.
Dengan siapa sebenarnya mereka berperang?
Masyarakat Maluku
telah mencatat satu milenium perjalanan sejarah, hidup rukun antara sesama
warga. Lima ratus tahun lamanya penganut
agama Islam dan Kristen berdampingan dengan damai. Akan tetapi, kini
pertumpahan darah dan pembakaran fasilitas sosial terjadi mencederai kedamaian
itu. Dari mana asal kebencian itu? Tak
ada ajaran agama untuk saling membunuh, membakar rumah ibadah dan rumah
tinggal. Berdasarkan ajaran agama yang mana manusia itu saling membunuh dan
merusak?
Wajah Tian menjadi
kelam, ia tak lagi merasa nyaman di tempatnya berdiam. Rumah yang besar ini
tiba-tiba berubah menjadi bangunan tua, bagian depan rumah sengaja dikosongkan,
pintu pagar ditutup rapat dengan papan serta timbunan tanah di dalam karung.
Lampu tak pernah menyala di bagian depan rumah, dinding-dinding coreng moreng,
lumut mulai tumbuh, dan keadaan itu justru memberi dukungan keselamatan. Rumah
ini tak akan menjadi sasaran amukan masa, karena mereka mengira tak ada lagi
penghuninya.
Tian, Orin, dan
beberapa orang pembantu tinggal di rumah bagian belakang dengan pintu masuk
yang dibuat secara rahasia. Kedua orang tua Orin telah mengungsi ke Makasar,
menunggu situasi membaik untuk kembali datang. Tian telah menimbun bahan
makanan di dalam gudang, untuk jangka waktu tertentu ia tak akan kelaparan.
Telah satu bulan taman kanak-kanak tempatnya mengajar ditutup, orang tua tidak
mengijinkan anak-anaknya pergi ke sekolah, karena situasi yang tidak aman.
Untuk sementara Tian memilih berdiam diri di rumah, menghitung hari dalam cemas
tak terperi, menunggu damai yang tiba-tiba terusir pergi. Orin telah menutup
toko dan tempat usaha lainnya, ia sengaja mencoreng-moreng bangunan itu
sehingga orang mengira tak ada benda berharga tersimpan di dalamnya. Orin
bersikeras tidak mengungsi, karena seluruh aset usahanya ada di tempat ini dan
ia harus menjaganya dengan sepenuh hati.
Di atas langit
menjelang padam, mendung tebal sama muramnya dengan suasana hati manusia yang
tidak memiliki lagi kepastian akan nasibnya. Perempuan itu berniat menyiapkan
makan malam dengan menu seadanya ketika tiba-tiba ia dikejutkan dengan
kedatangan Orin bersama para pembantu dan sesosok tubuh perempuan terkulai
dipondong beramai-ramai.
“Orin!” Tian
terpekik.
“Siapkan tempat
Tian”, Orin tampak panik, bergegas mereka mengikuti langkah Tian menuju ke
sebuah ruangan. Tak lama kemudian sesosok tubuh lunglai itu dibaringkan di atas
balai-balai, tubuh itu pasrah dan lemah.
“Ya Allah, Betani!”
Tian kembali terpekik.
Di pihak lain
Betani masih membisu, ia tak menyadari keberadaannya kini, ia telah berada di
alam lain, alam yang dipenuhi kabut, ringan, dan bergulung-gulung oleh halimun.
Ketakutan berkecamuk menjadi satu dengan rasa lelah dan duka, meruntuhkan
kesadarannya. Di luar malam jatuh bersatu dalam kelam, tak ada suara apapun dari
jalanan, kecuali sepi dan kegelisahan. Sesisi rumah itu gelap, penerangan yang
ada hanyalah kerdip lilin serta pelita, baik Orin maupun Tian berkeputusan
untuk menyalakan lampu terang, karena cahaya itu akan mengundang para perusuh
berdatangan. “Apa yan terjadi Orin?” seketika wajah Tian memucat.
“Entahlah, beta
mendapatkannya di kebun kelapa dalam keadaan lemah, mungkin ia melarikan diri
dari rumah, api menyala dimana-mana. Jaga ia baik-baik”, Orin tak berani
berlama-lama menyaksikan keadaan Betani, hati laki-laki itu seakan terkoyak
dengan tragedi yang menimpa sesisi kota sekaligus menimpa pula Betani dan
keluarganya. Orin berlalu keluar, ia harus memeriksa pintu-pintu dan yakin,
bahwa rumah tinggalnya benar berada dalam keadaan aman.
Sementara Tian segera mengambil tindakan cepat, ia segera menyeka
seluruh tubuh Betani dengan air hangat, menyelimuti tubuh malang itu,
menggosoknya dengan minyak angin kemudian memijit-mijit kaki Betani hingga
wanita itu tersadar dengan sebuah keluhan, “Beta, engkau telah sadar?” suara
itu seakan bergema di dalam hening malam, menembus ke relung hati.
Betani masih
terlalu lemah, suara itu seolah bergaung dari mimpi yang sangat jauh dan
samar-samar. Mula-mula ia merasakan lembut sprei mengalasi seluruh berat
tubuhnya, kemudian temaram cahaya lilin dan suasana yang sangat hening. “Dimana
beta kini?”
“Engkau ada
bersamaku” Tian merasa telapak tangan Betani beku seakan es batu. Ia dapat
melihat ekspresi kebingungan pada raut wajah sahabatnya. Di pihak lain nalar
Betani kembali bekerja, ingatan yang ia dapatkan kembali adalah api yang
menyala-nyala, tatapan panik Lambert demi keselamatannya, kemudian ibunda yang
telah menjadi jenazah, dan Alexander, sang ayah. Apa yang telah terjadi pada
mereka? Betani tahu ia tak akan pernah bertemu keluarganya dalam keadaan hidup.
Api itu sudah pasti menelan seluruh isi rumahnya, hanya abu yang tersisa,
menyadari akan hal ini air mata Betani kembali menitik. Ia berusaha mengenali
seraut wajah yang tampak cemas menjaganya, “Tian?” Betani kembali dicekam
kepanikan. Bukankah...?
“Engkau aman
bersamaku, Orin menemukanmu nyaris pingsan di kebun kelapa dan membawamu ke
sini”, Tian seakan tahu ketakutan Betani, ia harus membuat perempuan itu yakin,
bahwa ia tidak termasuk di antara para perusuh. Tak seorangpun akan dicelakai,
terlebih Betani.
“Mengapa engkau
menolong beta? Mengapa tidak engkau bunuh saja beta?”
“Atas dasar apa
beta mesti membunuh engkau? Beta bukan salah satu antara para perusuh,
perseteruan ini sebenarnya tak perlu terjadi, kalau kita bisa tetap berkepala
dingin dan berpikir jernih. Selama ini umat Islam dan Kristen hidup
berdampingan dengan damai, kita berada pula di dalamnya. Kemudian reformasi
terjadi di wilayah pusat, sistem politik berubah, kerusuhan terpecah, daerah
menerima pula dampaknya. Yakinlah engkau aman, beta
tak punya alasan mencelakai engkau juga orang-orang yang lain. Beta tak
menghendaki keadaan ini”, mereka saling bertatapan, seketika mata Betani
berlinang-linang ketika ia medapati ketulusan pada kata-kata serta sinar mata
Tian. Persahabatan itu agaknya tak pernah pudar, bahkan setelah darah
tertumpah, langit menghitam dalam asap kebakaran, dan kebencian mengakar
sedemikian kuat menyebabkan kematian demi kematian.
“Terima kasih Tian”, Betani menyandarkan kepala dengan tarikan
napas lega, ia tengah merasakan keajaiban ketika jiwanya selamat di tangan
pihak yang telah menyata-nyata bertindak semena-mena dengan membakar rumahnya.
Ternyata isi hati manusia amatlah berbeda, tak semua terseret arus kebencian
yang berujung dengan kematian. Di luar sana, ketika kerusuhan terjadi
bermunculan cerita-cerita mengharukan, ketika seorang wanita berkerudung
diselamatkan seorang pendeta dalam atau
seorang warga Kristen ditolong haji. Kebencian tak seluruhnya menyebar pada
pribadi-pribadi, perasaan itu nyata-nyata bersifat nisbi. Provokasi yang
menyebabkan kebencian itu berakibat pada pembakaran, penjarahan, dan
pembunuhan.
“Bagaimana nasib keluargamu?”
Pertanyaan itu membuat leher Betani tercekik, ia kembali
terseret di dalam prahara, ketika angin kencang tiba-tiba berpusing
menyeretnya pada panas api yang menyala
nyala. Ia merasakan tajam mata parang yang menebas tubuh Lambert hingga
laki-laki itu tersungkur kehilangan hak hidup. Ia merasakan pula ketakutan yang
merangsek sebagai maut dan menerjang dalam kebencian, maka api berkobar dan
kehidupannya segera hancur berserakan tanpa sisa. Bagaimana nasib jenazah Lambert, Alexander, dan Nayla?
“Apa yang terjadi Betani?” Tian kembali bertanya, perempuan
itu menunggu dengan dada berdebar, ketika dengan tersendat-sendat Betani mulai
berbicara,
Tian terduduk membeku, ia seakan tersedot menuju liang tanpa dasar dengan
dingin es batu menghentikan seluruh aliran darahnya.
“Beta baru membawa
mama pulang ke rumah, mama tak ingin meninggal di rumah sakit, tak lama
kemudian perusuh mulai berdatangan melempar kaca, melempar bola api, Lambert
diserang, papa ketakutan menjaga jenazah mama. Beta harus pergi untuk
selamatkan janin dalam kandungan beta, api semakin berkobar, semua hangus tanpa
sisa.....” suara Betani semakin lemah, semakin lemah, perempuan itu memejamkan
mata, ia benar-benar mengerti arti kesakitan!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar