Minggu, 02 Juni 2019

SCARLET HEART, RYEO --Roman di Bawah Absolut Monarki-- DELAPAN BELAS

  


Sementara di kamar indah seorang kekasih raja, Hae Soo masih berdiri terpaku, angin seakan menghantamnya dengan sebongkah batu. Satu sosok yang selalu ingin dihindari adalah Putri Yeon Hwa, ia tahu niat jahat yang bersembunyi di balik topeng yang disebut wajah jelita. Kini si putri jelita akan menjadi seorang yang paling dekat dengan Yang Mulia Raja --seorang ratu. Musuh di dalam selimut tampaknya kian merapat tanpa jarak, semakin mudah bagi Putri Yeon Hwa untuk menciderai hidupnya yang penuh liku.
“Jika Yang Mulia menolak pernikahan ini, ia akan dipaksa turun tahta. Tak ada satu pihakpun yang mendukung, tanpa dukungan dari banyak pihak seorang raja tak memiliki kekuatan apa-apa. O ya, dan seorang raja  tak bisa menikah dengan wanita yang mempunyai bekas luka di tubuhnya. Benarkah dengan luka yang pernah engkau sengaja goreskan di tangan, engkau masih bermimpi tentang hari pernikahan dengan Yang Mulia Raja?” senyum di wajah  jelita Putri Yeon Hwa diliputi kemenangan. Ia tak perlu mendapatkan cinta seorang raja untuk mejadi seorang ratu, karena ia memiliki keluarga besar. Ia telah berhasil mengganjal seorang wanita hilang ingatan untuk mendampingi Raja Gwangjong di singgasana.  “Aku Hwangbo dari Hwangju, putri  mendiang Raja Taejo, memiliki keluarga besar untuk mendukung Yang Mulia Raja menduduki tahta. Dan ingat, engkau tak memiliki siapa-siapa”, tanpa menunggu jawaban Putri Yeon Hwa melangkah pergi. Jejak kakinya terasa ringan, ia akan menjelang hari bahagia, hari perkawinan sekaligus penobatan sebagai Ratu Goryeo.
                                                                                 ***
Di singgasana wajah Yang Mulia Raja masih sekeras batu, tak mampu menyangkal kebenaran kata-kata Pangeran Wang Wook. Hae Soo memang pernah dengan sengaja melukai pergelangan tangan untuk menolak pernikahan dengan mendiang Raja Taejo. Setelah ibunda Ratu Hwangbo dan Pangeran Wang Jung menganggapnya mencuri tahta. Kini Pangeran ke-8 menyatakan sikap yang tidak sesuai dengan keinginan diri, menolak pernikahan dengan Hae Soo, menawarkan pernikahan dengan Putri Yeon Hwa. Seorang raja bahkan kehilangan hak untuk menikah dengan wanita yang dicintai, harus menerima pengantin wanita lain yang memiliki marga besar untuk mendukung tahta. Jauh dalam hati Yang Mulia Raja mengeluh. Ia terjebak dalam satu ruangan yang dibangunnya sendiri.
Malam jatuh, seakan leleran tinta, Yang Mulia Raja Gwangjong dan Hae Soo menikmati hidangan makan malam dalam diam. Ada begitu banyak hal yang harus dibicarakan, akan tetapi mulut keduanya hanya mengunyah, bukan bicara. Raja Wang So tahu, ia harus berkorban untuk tahta yang telah dikenakannya, bagaimana ia bisa menyampaikan perkawinannya dengan Putri Yeon Hwa?
Keesokan hari seorang menteri menemui Yang Mulia Raja dengan kabar buruk, “Keluarga Yoo menginginkan kemerdekaan, para menteri meminta kontrol militer dan hak pemungutan pajak”.
“Pemindahan ibu kota ke Seokyeong dihentikan, keluarga yang kuat di daerah hanya mengajukan  keberatan”, jawab Pangeran Baek Ah.
“Chungju Yoo dan Hwangju Hwangbo mempersalahkan Yang Mulia Raja. Pertarungan ini tidak akan mereda dengan segera”,  ucap menteri.
“Apa sebenarnya yang hendak disampaikan? Tidak perlu berbelit-belit”, Yang Mulia Raja memotong.
“Saya harus menyampaikan, Yang Mulia lebih baik menikahi Putri Yeon Hwa, dengan demikian semua masalah selesai”.
“Seorang raja berhak  memutuskan dengan calon pengantin yang mana hendak menikah”, sepasang mata Raja Wang So mulai berkilat.
“Seorang raja tidak seharusnya menikah dengan dayang Damiwon yang tidak memiliki keluarga besar untuk mendukung tahta”,  sang menteri memberikan saran.  
“Saya harap seorang menteri dapat menjaga setiap kata-kata!” suara Pangeran Baek Ah meninggi, maka mulut sang menteri terdiam.
                                                                         ***
Pada kesempatan berikut Ratu Hwangbo menemui Yang Mulia Raja, “Entah Chungju Yoo atau keluarga kuat lainnya, ada pihak yang akan berusaha memecah belah bangsa ini. Apakah Yang Mulia  akan membiarkan Goryeo hancur pada masa pemerintahan ini?” sang ratu bertanya.
“Ibunda Ratu berlebihan”, Yang Mulia Raja menjawab.
“Ayahanda Raja Taejo Wang Geon bekerja terlalu keras untuk membangun negeri ini. Banyak hal dikorbankan, Yang Mulia melakukan banyak  untuk melindunginya, adalah satu-satunya alasan  yang membuatku khawatir. Maka aku mengusir anakku dan  menawarkan putriku”,  Ratu Hwangbo   menyerahkan buku milik Hae Soo yang ditulis dengan huruf hagul.
“Dia menulis kata-kata yang  tidak diketahui siapapun. Segala hal yang dilakukan di Damiwon menunjukkan Soo gadis yang aneh tanpa latar belakang.  Soo  memiliki banyak kelemahan”, Ratu  Hwangbo menyatakan sikapnya terhadap Hae Soo.
“Aku tidak peduli dengan hal seperti itu.  Apa yang begitu hebat dari kursi ini?” Yang Mulia Raja bertanya.
“Aku harus mati  untuk meninggalkannya”, jawab Ratu Hwangbo.
                                                                           ***
Hae Soo menemui Chae Ryung dengan sebuah kabar baik, “Yang Mulia Raja setuju engkau tetap berada di Damiwon”.
“Ah, senang sekali ….Tapi benarkah Putri Yeon Hwa yang akan menjadi ratu? Mestinya agasy,  bahkan sebelum ada keputusan dari Yang Mulia, sang putri sudah menyuruh para dayang Damiwon  mempersiapkan pernikahan kerajaan. Bukankah semua ini hanya kesalah pahaman?”  Chae Ryung bertanya.
Diam.
Hae Soo tak kuasa menjawab, ia memang mendapatkan cinta seorang raja. Kini ia seorang kekasih dengan kamar pribadi yang indah dan nyaman. Akan tetapi, tak ada satu keluarga besar yang dapat mendukungnya menjadi seorang ratu. Bila dibanding dengan Putri Yeon Hwa, ia bukanlah apa-apa, bukanlah apa-apa.
Sementara Choi Ji Mong merasa harus menemui Hae Soo, ia harus menyampaikan sesuatu,  dan “Tempat ini dulu penuh kehidupan, Pangeran Ke-10 mencintai sayap terbang ini, Pangeran Ke-3 dan Pangeran Ke-8 menikmati membaca buku di sana. Dan gambar bintang itu? Pangeran Ke-14 sangat menyukai.  Pangeran Ke-9 selalu bertanya padaku tentang alkimia. Baek Ah selalu sibuk menggambar.  Semua itu berlalu dalam sekejap mata”, kata-kata Ji Mong serupa penyesalan. Sebelum para pangeran berebut tahta, suasana di tempat ini selalu  hangat, kini segalanya berubah dalam sekejab, sedingin kubur batu.
“Aku tahu bahwa engkau sangat  peduli pada para pangeran”,  Hae Soo menanggapi dengan satu pertanyaan, untuk apa ahli bintang ini perlu berbicara.
“Benar, karena alasan itulah, maka  lebih baik aku menyampaikan pendapat. Masihkah engkau ingin menikah dengan Yanag Mulia Raja? Benarkah engkau tak sanggup melepaskan?” sebuah pertanyaan yang  tak mudah disampaikan, tetapi harus.
“Banyak hal yang kami lalui bersama dalam waktu yang lama. Andai harus menyerah, pastinya sejak awal mula, bukan sekarang, setelah penantian yang panjang. Aku akan bertahan”, lidah Hae Soo terasa pahit, sanggupkah ia kehilangan Yang Mulia setelah harapan yang melambung tinggi serta jalan terjal yang dilalui. Hanya tinggal selangkah.
“Tidakkah engkau telah melihat semuanya,  Moo tewas mengapung di kolam, Eun dibunuh, Yo meninggal,  karena ketakutannya sendiri?”
“Maksudmu?”
“Seorang raja harus didukung ratu yang memiliki kekuatan, keluarga besar dan keberanian. Yang Mulia selalu merasa nyaman bersamamu. Akan tetapi, apakah engkau adalah sekutu yang dapat memperkuat kedudukannya di singgasana? Masihkah engkau ingin menjadi pengantin kerajaan?” wajah Choi Ji Mong bersungguh-sungguh ketika menatap Hae Soo.
Jauh di dalam hati Hae Soo membenarkan kata-kata Choi Ji Mong, kebenaran seringkali menyakitkan, tapi benar ia hanya sebatang kara. Cinta Yang Mulia Raja tidak mampu mengantarnya menjadi seorang ratu. Ia  memimpikan kedudukan yang bukan menjadi haknya, adalah hak seorang putri dari klan besar yang akan  menjadi sekutu raja. Hak Putri Yeon Hwa –meski Raja Gwangjong tak akan memberikan setitikpun rasa cinta. Putri Yeo Hwa tak memerlukan cinta, ia menginginkan singgasana. Lidah Hae Soo terasa pahit, dadanya seakan dihimpit bongkahan batu, seluruh dunia seakan mentertawakan. Choi Ji Mong adalah orang pertama yang terkekeh-kekeh hingga kehabisan suara. Ahli bintang itu  memberikan nasehat yang bijak, tak mudah hidup di dalam dinding istana yang penuh perselisihan.
Hae Soo tak lagi menanggapi, ia merasa udara seakan dikepung kabut, semakin dingin, menggigit tulang. Sanggupkah ia kehilangan Yang Mulia Raja setelah kisah yang Panjang? Sanggupkah ia menghadapi suatu hari ketika Raja Gwangjong akan berdiri bersisihan tanpa jarak dengan Ratu Yeon Hwa? 
Hae Soo tahu kemana harus membuang galau, ia menemui Yang Mulia Raja di singgasana, suasana sunyi. Raja Gwangjong tegah terduduk seorang diri, wajahnya kelam. Bahkan setelah menduduki tahta, kesulitan dan tekanan tidak pernah berakhir, semakin hari semakin berat. Ia tidak  mendapatkan dukungan dari seluruh pihak, ia seorang diri dengan Hae Soo gadis manis yang tak memiliki klan serta pasukan. Raja Gwangjong kini tahu, apa sesungguhnya kesunyian.   
“Ada yang membuatmu dapat hadir ke tempat ini tanpa izin?” Yang Mulia Raja bertanya.
“Mengapa pula saya harus mendapat izin Yang Mulia?” Hae Soo balik bertanya, semakin berat ia harus kehilangan Raja Wang So.
“Hampir semua orang di luar sana takut kepada sang raja, cuma kamu yang tidak”, Yang Mulia Raja merasakan hal yang sama, keduanya akan dipisahkan oleh adat, sekutu yang lebih berkuasa akan kedudukan seorang ratu.
“Malam ini adalah malam ritual pengusiran arwah, bukankah kita bisa pergi untuk bergembira”, Hae Soo ingin  menikmati saat-saat terakhir sebelum perkawinan itu terjadi.
“Aku tak bisa meninggalkan singgasana tanpa pengawal dan dayang”, Yang Mulia Raja meragukan tawaran itu, kehadiran Hae Soo selalu memberikan suasana hangat.
“Dengan topeng ini kita bisa meninggalkan  istana, tak seorang pun tahu Yang Mulia adalah seorang raja”, Hae Soo menunjukkan topeng dengan mimic wajah yang lucu.
“Baiklah, mari kita pergi”, Yang Mulia menyetujui sebuah gagasan cerdik yag menghibur malam ini. 
Malam akhirnya menjadi lebih gemerlap oleh cahaya bintang ketika di balik topeng sepasang kekasih itu berjalan bersama sambal bergandengan tangan di pasar. “Aku kembali teringat ketika berlari mengejar penjahat dan ternyata Pangeran Wang So mengikuti”, Hae Soo kembali teringat saat-saat menegangkan ketika ia mesti mempertaruhkan nyawa bagi Pangeran Wang Jung.
Keduanya masih tetap bergandengan tangan ketika Hae Soo  membimbing langkah Yang Mulia Raja ke tempat tumpukan batu, untuk memanjatkan doa, “Kutumpuk batu di tempat ini untuk semua harapan dan keinginan”, Hae Soo membuka pembicaraan.
“Apakah engkau menumpuk pula batu ini untuk mendapatkan lamaran?” Raja Wang So bertanya.
“Bukankah Yang Mulia pernah berjanji untuk dating melamar?” Hae Soo bertanya.
“Ketika pertama kali bertemu seharusnya engkau lari”, Yang Mulia Raja teringat kembali pertemuan itu.
“Aku sudah berlari, tetapi sang pangeran mengejar kemudian menangkap”,  Hae Soo membela diri.
“Saat itu aku tak pernah tahu mengapa harus  mengejarmu. Sekarang aku mengerti, ternyata aku tak mampu kehilanganmu, kita akan hidup bersama. Menikahlah denganku”, Yang Mulia menyatakan keinginan terdalam.
“Alangkah indahnya bila pernikahan itu bisa terjadi. Akan tetapi, dapatkan seorang dayang menikah dengan Raja Goryeo? Apakah Soo memiliki keluarga besar, klan atau pasukan selaku sekutu yang dapat memperkuat kedudukan seorang raja di singgasana?” setelah bertabur bintang, malam kembali berlumuran jelaga. Lidah Hae Soo terasa getir, sulit mengucaapkan, tetapi ia harus menyampaikan kenyataan.
“Dengan siapa engkau berbicara untuk yang terakhir kali?” Yang Mulia Raja tertegun, Hae Soo telah menyadari kenyataan yang sebenarnya, meski getir terasa.
“Aku tidak akan menyerah, karena bekas luka yang pernah sengaja engkau gores di tangan untuk menolak perkawinan dengan  ayahanda raja”.
“Aku pun tidak akan menyerah, aku akan selalu di samping Yang Mulia Raja. Akan tetapi, seorang ratu akann terjebak ke dalam aturan kerajaan, tata karma yang rumit.  Pertemuan dengan Yang Mulia akan sulit terjadi. Satu hal aku akan selalu baik-baik saja”, Hae Soo membelai pipi Yang Mulia Raja, ia tahu ia pasti akan kehilangan.
“Andai kita tak bisa menikah. Engkau tidak bisa meninggalkanku, tak pernah kuijinkan engkau  pergi.  Engkau milikku, engkaulah satu-satunya ratuku”, Yang Mulia meraih Hae Soo ke dalam peukan, ia kini tahu betapa  menakutkan kehilangan dan waktu itu semakin dekat.
                                                                                   ***
Hari pernikahan agung bagi mempelai kerajaan akhirya tiba. Yang Mulia Raja merasa, bahwa hari terakhirnya telah tiba, tak pernah ia bermimpi mesti duduk di pelaminan dengan seorang ratu yang tak pernah dicintai. Pernikahan ini bukan hari bahagia, akan tetapi suatu hari ketika Raja Goryeo bahkan tak mampu menuliskan takdir hidup, kecuali atas dukungan sebuah keluarga besar selaku sekutu –atau sesunggunya musuh dalam selimut. Perlukah Putri Yeon Hwa mencintainya atau pura-pura mencintai? Pernikahan dengan seorang raja berarti kedudukan kuat seorang ratu. Tanpa harus dicintai seorang raja, bahkan ketika Yang Mulia tak pernah menginginkan kehadirannya.
“Selamat untuk pernikahan ini”, Pangeran Wang Wook mengulurkan tangan, ia telah berhasil menggagalkan perkwinan Raja Gwangjong dengan Hae Soo, menyusupkan Putri Yeon Hwa selaku seorang ratu. Ia masih dapat memperoleh celah untuk melampiaskan dendam kepada Yang Mulia Raja, ia tahu Raja Gwangjong tak menghendaki perkawinan ini.
Yang Mulia Raja menatap Pangeran Wang Wook dengan kemarahan tertahan, ia tahu arti perkawinan ini. Pakaian pengantin yang dikenakan terasa sesak seakan meringkus seluruh tubuhnya. Ketika memutuskan menjadi seorang raja, sesungguhnya ia telah memanggil datangnya tragedy yang telah terjadi hari ini.
Sementara di dalam kamar Hae Soo tahu arti kata sebatang kara, benar ia telah mendapatkan  cinta sang raja. Akan tetapi, ia tak akan pernah memenuhi syarat bersanding selaku pengantin kerajaan. Ia bukan apa-apa seperti halnya Putri Yeon Hwa yang kini berkuasa atas nama Ratu Goryeo. Ia hanya seorang gadis malang memilukan dengan kata-kata menghibur seorang raja tanpa pengakuan khalayak, “Engkaulah satu-satunya ratuku….”
Pakaian pengantin semerah bunga mawar di kebun istana kini metertawainya, ia tak memiliki hak mengenakan pakaian indah itu. Ia telah kehilangan. Hae Soo tahu bagaimana rasanya terjungkal ke dalam jurang teramat dalam, ditinggalkan dan disisihkan. Takdirnya adalah seorag kekasih, bukan ratu. Masihkan ia mencintai Yang Mulia Raja? Tanpa sadar sedu sedannya berubah menjadi isak tangis, air mata menitik.
Hae Soo tahu kemana harus pergi, ia menuju ke tempat menumpuk batu yang terakhir dikunjungi dengan Yang Muia Raja ke tempat dia berdoa. Suasana sunyi menghantam, ia seorang diri ketika pernikahan kerajaan digelar, ia bukan bagian dari kesepakatan itu. Hae Soo tak meyadari Pangeran Wang Jung berada di tempat yang sama, melngkah mendekati saat ia tengah khusu berdoa. Yang Mulia Raja tak menghendaki kehadiran Pangeran Wang Jung, meski Putri Yeon Hwa mengundangnya. “Apakah engkau akan tetap bersama So setelah perkawinan ini?”  Pangeran Wang Jung tahu arti kehilangan, ia bisa menatap betapa kosong dan hampa tatapan  Hae Soo.
“Tak usah khawatir, aku bukan tidak bahagia.  Almarhum Raja Taejo pernah berpesan, jangan terlalu jauh melihat ke depan. Tetaplah bersyukur untuk kehidupan hari ini”, Hae Soo menguatkan hati, kehadiran Pangeran Wang Jung membuat tersadar, ia tidak sendiri.
“Mengapa engkau tidak datang kepadaku, kita bisa hidup bersama ke tempat yang damai, jauh di luar dinding istana”, Pangeran Wang Jung akhirnya memiliki waktu yang tepat untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Ia tak pernah melupakan Hae Soo sejak pertemuan pertama, ketika gadis ini berjuang antara hidup dan mati menyelamatkan dirinya dari keroyokan perompak.
“Aku tahu engkau akan membawaku jauh ke medan perang dan membuatku menyaksikan kepahlawananmu”,  Hae Soo tak pernah menduga, Pangeran Wang Jung menginginkan kebersamaan itu. Tak sadar ia terpana menatap wajah manis Pangeran Wang Jung.
“Andai suatu saat pendirianmu berubah, katakan engkau menginginkannya. Aku akan membawamu keluar dari tempat ini”, Pangeran Wang Jung bersungguh-sungguh dengan ucapannya, ia telah menelan pahit getir kehidupan di dalam istana.
Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:8.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
Sesaat Hae Soo terpana, ternyata ia tidak benar-benar sebatang kara ketika pernikahan kerajaan berlangsung. Pangeran Wang Jung bersama ketika ia tersingkir demikian jauh ke wilayah tanpa tepi. Tanpa sadar Hae Soo mengangguk, ia mengerti kemana harus menuju ketika dinding istana semakin riuh onak dan duri. Maka Hae Soo kembali menunduk, berdoa, ia tahu ada Yang Maha Penguasa yang berwenang menertibkan segala-galanya. Pangeran Wang Jung terpesona, ia berdiri khidmad di samping Hae Soo, menundukkan kepala meminta.
Anginpun terasa lebih lembut kerkesiur ….
Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:8.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
                                                     ***
Di kamar pengantin yang dihias mewah bertabur wangi kembang, Yang Mulia Raja Wang So tanpa daya membuka penutup kepala Yeon Hwa. Di balik tudung dari kain yang sangat halus tampaklah wajah jelita terbalut pakaian kebesaran pengantin kerajaan. Betapa menawan wajah mempelai wanita, tetapi aneh Yang Mulia Raja tak berkenan menciumnya. Kecantikan itu cuma topeng yang sempurna menyembunyikan  niat serakah di baliknya. Benarkah sang putri menghendaki perkawinan ini, karena mencintainya? Raja Wang So tak pernah yakin dengan tujuan dari perkawinan ini, ia mengorbankan seluruh takdir hidup demi singgasana, menikahi seorang putri tanpa rasa cinta, meninggalkan satu-satunya wanita  yang dikehendaki sebagai seorang ratu. Kini, dimana Hae Soo ketika ia hanya berdua di kamar pengantin. Ketika rasa benci menyeruak sedemikian hebat, tetapi ia tidak berdaya menghindari  pernikahan ini. Sesaat sang raja mendekati wajah jelita Ratu Yeon Hwa seo;lah berniat menciumnya, tetapi  yang berkobar di relung dada adalah geram. Ia tak berniat menyemtuh kulit yang lembut itu, ia menjauhkan diri.
Satu hal yang tak pernah dikehendaki seorang ratu terlebih pada malam pertama pernikahan, ia masih berharap satu titik kemungkinan mengawali perkawinan kerajaan yang bahagia. Akan teteapi, ketika bertatapan, ia melihat lidah api berpijar pada sepasang mata Yang Mulia Raja. Harapan sang ratu berkeping-keping, pahit menyadari, pernikahan agung ini hanya sandiwara, bukan karena Yang Mulia Raja mencintai, tetapi karena ia takut kehilangan tahta.
“Akan ada banyak cara bagi Hae Soo, dayang hilang ingatan itu digunakan untuk melawanmu di masa depan. Sebaiknya hindari kemungkinan buruk .…” sang ratu memulai percakapan.
“Satu hal yang engkau inginkan adalah menjadi ratu, melalui pernikahan kerajaan. Keinginan itu telah engkau capai. Pertanyaannya adalah, apa engkau kira aku menginginkan perkawinan ini? Apa engkau kira aku harus mencintaimu?” suara Yang Mulia Raja mendesis seakan ular berbisa, ia menyesal melewati malam perkawinan yang tragis dengan seorang putri jelita yang serakah. “Jangan pernah melewati batas!” Raja Wang So menatap wajah sang ratu dalam-dalam seakan ingin menelan seluruh hidup wanita itu, membalikkan badan, melangkah pergi tanpa sepatah kata, tanpa pernah menoleh lagi.
Di tempatnya duduk Ratu Yeon Hwa terpaku, malam pengantin agung seorang ratu yang ditunggu seumur hidup sebagai saat-saat indah mendebarkan, segera berderai menjadi abu yang berserakan. Yang Mulia Raja mengetahui isi hatinya, pada detik pertama Raja Wang So telah menghancurkan seluruh angan-angan. Di balik pakaian kebesaran pengantin kerajaan, ia cuma seorang perempuan malang yang dapat merebut kedudukan seorang ratu, tetapi gagal mengemis cinta. Ia dapat merasakan kebencian berpijar pada sepasang mata Yang Mulia Raja. Apakah kebencian  itu akan padam pada akhirnya?
Ratu Yeon Hwa menatap punggung Yang Mulia Raja dengan galau, ia tak akan pernah berkuasa memanggil sang raja kembali ke kamar pengantin yang mewah. Mengapa ada seorang yang tak pernah terpikat dengan kedudukan dan kecantikannya? Dada sang ratu terasa sesak, ia harus melihat hari-hari ke depan dengan tatapan kelam. Adakah Raja Wang So akan bersikap baik? Atau, ia hanya sekuntum bunga yang dicampakkan pada saat sama ketika mekar berkembang? Terkapar selamanya di lantai kamar pengantin yang indah? Sulit bagi Ratu Yeon Hwa untuk menyadari, betapa dalam kehidupan seorang tidak dapat menjangkau seluruh hal yang ia inginkan. Mempelai kerajaan itu masih terduduk terpaku tanpa kata ketika malam menukik semakin gelap, udara terjebak dalam dingin abadi.
Sementara Hae Soo masih berada di depan tumpukan batu, berdoa. Bayangan Chae Ryung berkelebat menghampiri, tangan dayang itu mengulurkan sehelai kain, ia tahu Hae Soo memiliki   jantung lemah. “Aku ingat Nyonya Hae pernah menumpuk batu-batu ini di rumah Pangeran Ke-8”,  Chae Ryung membuka pembicaraan.
“Iya, ia membangun tumpukan batu ini.  Aku merindukannya”, Hae Soo menjawab, ia berterima kasih, dayang itu membawakan helai kain yang ia perlukan.  
Tiba-tiba Chae Ryung berlutut, menundukkan kepala. “Untuk siapa engkau berdoa?” Hae Soo bertanya.
“Aku tidak berdoa, aku hanya teringat pada ibu yang sudah tiada”, suara Chae Ryung sendu, demikian pula ketika berucap seolah tengah berhadapan dengan ibunda. “Keadaanku selalu baik, demikian pula dengan keadaan adik. Engkau pernah sakit, sekarang pasti sudah sehat. Aku selalu ingin membuat hidupmu menjadi lebih baik.  Selalu senang melihatmu dalam keadaan sehat. Aku selalu memikirkanmu kemarin, hari ini, dan nanti”, suara Chae Ryung masih tetap sendu seolah ia tengah berucap kepada seoraang  yang bersemayam di relung hati.  Hae Soo pun terduduk di samping Chae Ryung.
“Aku selalu sehat.  Selalu dalam keadaan sehat….”, kali ini Hae Soo berbicara seakan Raja Wang So tengah duduk di hadapannya. Suara itu menyebabkan hati Chae Ryung tersentuh, telapak tangannya segera menggenggam tangan Soo, ia tahu kesedihan teramat dalam di hati gadis itu. Dari jarak terukur Yang Mulia Raja menatap dua bayangan gadis yang tengah berlutut di depan batu tanpa mampu mengucap sepatah kata. Sesaat Raja Wang So tertegun, menundukkan kelapa, kemudian berlalu, masih tanpa kata. Seluruh hari seakan berubah menjadi hitam malam. Ketika Yeon Hwa menjadi Ratu Goryeo, menjadi musuh yang berlindung di balik hangat selimut raja. Sementara Hae Soo hanyut terseret arus kesedihan, menyatu dalam doa.
Usai memanjatkan doa, Hae Soo kembali ke kamar, masih dalam sepi yang menyakitkan, ia tak berdaya mengatasnamakan cinta menuju pernikahan kerajaan. Ia masih tetap seorang dayang malang tanpa klan pendukung, tanpa pasukan. Andai Yang Mulia Raja berkenan sejenak hadir pada kesunyian kamar untuk sejenak memberikan penghiburan. Dinding-dinding kamar terasa membeku, meruapkan sendiri tanpa batas. Sesungguhnya Yang Mulia Raja telah berdiri di depan pintu kamar, namun sejenak ragu. Masih pantaskah ia mengunjungi Hae Soo pada malam pengantin agung kerajaan, ketika ia tak berdaya menghentikan langkah Putri Yeon Hwa? Malam ini, bahkan seorang raja kehilangan nyali.
                                                                                  ***
Keesokan harinya Yang Mulia Raja serta para menteri berkumpul di ruang tahta, “Senang kita bisa berkumpul hari ini. Dalam rangka penobatan, aku ingin menunjuk nama era untuk pemerintahan ini”, Yang Mulia Raja berucap pada rapat keesokan harinya.
“Yang Mulia ingin menyebut era ini dengan nama Gwangdeok”, Choi Ji Mong menyambung.
“Semua raja akan melakukan hal yang sama”, Pangeran Wang Wook tersenyum sinis, “Saya sudah tahu cara membagikan beras untuk orang-orang yang dipaksa menjadi buruh. Adapun untuk semua urusan keuangan Yang Mulia bisa mempercayakan kepada kami”, Pangeran Wang Wook tersenyum sinis. Ia tak pernah ingin memanggil Wang So dengan sebutan Yang Mulia,  meski ia telah menyusupkan Putri Yeon Hwa untuk menggores warna gelap pada kehidupan sang raja selamanya.
Yang Mulia Raja tersenyum, menyetujui ide Pangeran Wang Wook. Sementara Pangeran Baek Ah menyembunyikan keterkejutan, ia menduga makna senyum di balik wajah tampak Pangeran Wang Wook dan makna serupa di balik wajah Yang Mulia Raja.  Pangeran Baek Ah memilih diam.
“Dengan menteri yang dapat  dipercaya seperti semua yang hadir di sini. Aku bias tamasya, pergi  berburu atau meneruskan membaca buku.  Ji Mong ingin aku membaca, Pentingnya Pemerintahan di Masa  Zhenguan”, Yang Mulia Raja sengaja mengalihkan pembicaraan, hanya dengan Ji Mong sambal melirik wajah Pangeran Wang Wook, ia tahu niat jahat pangeran itu. Ia tak merasa gentar, karena bisa menjadi lebih jahat dari siapapun.
“Tidak ada buku yang lebih baik untuk mempelajari prinsip-prinsip kebajikan”,  jawab Ji Mong.
“Dan, Pangeran Ke-14, Wang Jung dinyatakan bersalah, karena pengkhianatan,  akan  dihukum dengan kembali ke kampung halamannya”, Yang Mulia Raja menjatuhkan hukuman
 “Yang Mulia …. Apakah hukuman itu layak bagi Jung? Harus ada alasan yang jelas untuk hukuman ini”, Pangeran Baek Ah keberatan.
“Jung tidak mempercayai wasiat raja, bahwa aku berhak akan tahta. Ia sengaja menentangku,  mempertimbangkan bahwa ia adalah saudara muda dari ibu yang sama, aku tidak menjatuhkan hukuman mati, hanya menghapus dia dari lingkungan kerajaan. Kirim kembali kepada  keluarganya di Chungju. Jika Jung menginjakkan kaki di Songak setelah hari ini, ia akan dihukum mati”, keputusan Raja Wang So kiranya tidak bisa diganggu gugat, memicu  suara bergumam dari semua menteri yang hadir.
Kabar buruk itu segera sampai ke telinga ibu suri --Ratu Yoo, sepasang mata sang ratu membelalak lebar, semakin lebar mendengar keputusan itu. Ia telah ditinggalkan Raja Taejo, Wang Yo, kini Jung yang manis harus diasingkan ke tempat yang jauh. Kepada siapa lagi ia bias bersandar mendengar, biru langit dalam sekejab berubah menjadi hitam, malam tergesa jatuh dalam warna hitam, semakin hitam. Ribuan bintang bersliweran, kunang-kunang bertabrakan, tubuh ibu suri terkulai, ia tak mampu lagi kehilangan.
“Yang Mulia menghukum Jung kembali ke Chungju”, wajah Pangeran Baek Ah tampak muram, perselisihan keluarga raja  kembali terjadi.
 “Kita harus bicara dengan Yang Mulia”, Hae Soo terkejut, mengapa Yang Mulia memutuskan hukuman sekejam itu?
“Soo, engkau tidak bisa terlibat dalam hal ini. Atau darah akan tertumpah, hal ini bukan sekedar perselisihan keluarga raja, tetapi lebih dari itu. Ini masalah kesetiaan kepada Yang Mulia”,  Woo Hee berpendapat.
“Benar ….” Pangeran Baek Ah membenarkan. So melindungi kedudukannya dari orang yang meragukan wasiat almarhum raja.
“Lihatlah selalu keadaan, bicara dengan raja dalam suasana tenang. Engkau pasti tahu saat itu”,  pesan Baek Ah.
                                            ***
Ratu Yeon Hwa mendengar perihal keadaan ibu suri tergesa ia datang berkunjung, “Bagaimana keadaan ibu suri?”  sang ratu bertanya kepada seorang dayang.
“Tabib istana mengatakan, baik raja atau ratu harus meninggalkan ibu suri”,  jawab dayang istana, pada saat yang sama  ibu suri membuka mata. “Jung …. Aku harus bertemu”, suara itu sedemikian lemah.
“Mulai sekarang  hanya aku yang akan merawat ibu suri, tak seorang pun dapat memasuki ruangan ini tanpa seijinku”, tiba-tiba Yang Mulia Raja Wang So telah hadir di tempat yang sama.
Sang raja menghampiri ibu suri, menyapu keringat pada wajahnya dengan halus, “Cepatlah sembuh”, Raja Wang So berusaha menghibur, sebagai balasan sepasang mata ibu suri menatapnya dengan kebencian meluap. Ibu suri tak pernah mengharap Wang So menjadi raja, ia ingin menjadi ibu suri bagi Jung, bukan So. Kini So bahkan menghukum Jung, menyingkirkanya keluar dari istana. Apa lagi  yang bisa ia miliki? Ibu suri kini  harus mengerti arti kehilangan, ia tak berdaya apa-apa, bahkan ketika tangan kekar raja dengan lembut menyapu keringatnya. 
Pangeran Wang Jung mendengar pula perihal kabar ibunda, ia berniat berkunjung. Akan tetapi, penjaga menahan di depan pintu. Wajah manis pangeran itu menjadi pucat, ia bukan lagi seorang pangeran yang dapat leluasa melangkah ke halaman istana, bahkan ketika ibunda dalam keadaan sakit. Ia hanya seorang pangeran yang terbuang, karena meragukan wasiat almarhum raja bagi Wang So. Segalanya telah berubah tak lagi sama.
Saat makan malam Hae Soo menyampaikan pendapat, “Tidakkah Yang Mulia bisa sejenak mengijinkan Jung mengunjungi ibu suri yang sakit?” Hae Soo memberanikan diri.
“Engkau sengaja menyampaikan pesan kepada Jung perihal kesehatan ibu suri? Mengapa harus? Jung akan dijatuhi hukuman mati bila memasuki istana. Aku tidak akan mengijinkan Jung mengunjungi ibu suri, sekalipun engkau membantunya”, Yang Mulia Raja menyudahi makan malam, meninggalkan Hae Soo.
Adapun Pangeran Wang Jung masih berdiri di depan istana dengan wajah pucat, hari demi hari berlalu tanpa ijin raja untuk mengunjungi ibunda. Seluruh tubuh sang pangeran menjadi lunglai , ia tidak mampu menelan makanan atau minuman. Tak pernah dalam hidup ia demikian merindukan seorang ibu yang sudah terlalu lama dikenalnya. Jarak hanya tinggal sejengkal, ia cuma harus melangkah, namun betapa berkuasa sang raja atas kematiannya. Pangeran Wang Jung tak juga menyerah, dia masih tetap berdiri dengan satu harapan tipis untuk bersua kembali dengan ibunda. Pangeran Baek Ah merasa iba dengan kesedihan Pangeran Wang Jung, setulus hati ia mengulurkan sebotol air. Ia berharap Jung akan meneguk isi botol untuk menyudahi dahaga, akan tetapi dengan putus asa Pangeran ke-14 menyiramkan air ke kepalanya. Pangeran Baek Ah tertegun, ada yang menyayat di relung hati, mengapa nasib seorang pangeran harus pula semalang ini?
Sementara di kamar ibu suri, Yang Mulia Raja berniat menyuap makanan, namun ibunda mengatupkan mulutnya. Ibu suri telah mengatupkan mulut, menolak segala makanan dan minuman yang disuapkan Yang Mulia Raja selama lima hari berturut-turut. “Apakah ibu suri ingin berpulang dengan cara seperti ini?” Raja Wang So bertanya.
“Dimana Jung?” ibu suri sungguh merindukan kehadiran Pangeran Wang Jung, setiap Wang So berada di sampingnya menyuapkan makanan ia merasa gerah. Jarak sangat dekat dengan Raja Wang So adalah bencana, ibu suri mengutuki penyakitnya, mengapa semakin lemah dan semakin lemah. Dimana Jung?
“Lihatlah, anak yang mana yang berada di sisi ibu sekarang? Yo yang lengkap dan sempurna, terbaring sudah di alam kematian.  Jung, putra tercintai, bahkan tidak tahu dimana berada? Yang ibu punya sekarang adalah aku.  Aku telah menjadi raja dan aku melindungimu”, suara Yang MUlia Raja parau, ia tidak tahu hal apa yang sebenarnya telah dilakukan, ia mengemis atau melampiskan dendam. Tatapan mata ibu suri cukup sudah membahsakan kebenciannya.
Ingatan ibu suri melayang pada masa beberapa tahun silam, ketika Pangeran Wang So muncul dengan pakaian dan bilaah pedang berlumuran darah.
“Ibu akan selalu mengingat hari itu, hari saat seorang ratu membuang pangeran yang dilahirkan. Aku berjanji, mulai saat ini, ibu hanya akan melihatku ….”
Bulu kuduk ibu suri meremang, So menepati kata-katanya. Kini ia duduk di tahta, pada suatu tempat yang seorang ibu mau tak mau harus selalu menatap. Tubuh ibu suri terasa semakin lemah, kabut perlahan lahan mengapung di dalam ruangan, membelit napasnya, tenggorokan ibu suri seakan tercekik.
“Aku akan membangun sebuah  kuil terbesar dan termegah di seluruh Goryeo untuk menghormati ibu. Aku akan membuat cerita tentang  hubungan kita yang teramat dekat dan mengesankan, betapa ibu selalu peduli dan aku adalah seorang anak yang mencintai. Kita adalah ibu dan anak yang mengasihi satu sama lain. Maka, semua orang akan tahu itu, Wang So adalah  satu-satunya  anak yang berharga. Aku harus membalas dendam setelah pengusiran dan penyangkalan seorang ibu ….” Suara sang raja nyaris bercampur isak tangis. Ia seorang raja, tetapi tidak pernah mendapatkan kasih saying seorang ibu, ia berkuasa membalas dendam atasnya.
Napas ibu suri semakin terengah, penyesalan datang terlambat saat pintu sang maut terkuak. Halimun seakan semakin tebal mengepung menebarkan udara beku yang semakin lama semakin menyakiti. Adapun kerinduan akan kehadiran Jung semakin melukai, dimana wajah manis pangeran itu? Pandangan matanya kabur saat ibu suri mencoba menatap wajah Wang Soo yang tertutup tata rias, maka bekas luka pada wajah tak pernah tampak  lagi. Ada beribu kata ingin terucap, tetapi membeku di ujung lidah, tubuh lunglai itu kini tak lagi dibekali tenaga. Satu  hal yang bisa dilakukan   ibu suri adalah memegang pipi Yang Mulia Raja, kemudian maut datang dengan cepat dan pasti pada saatnya.  Kehidupan ibu suri berakhir sudah sampai di sini, di atas pembaringan hanya ditemani Wang So.
Saat tangan lemah itu nyaris terkulai, Yang Mulia Raja segera menggenggamnya, menempelkan kembali ke pipi, tangisnya terpecah. Ia telah kehilangan seorang ibu yang tak pernah mengasihi, menutup pintu hati hingga maut menjemput. Kerinduan akan hubungan indah dengan seorang ratu yang pernah melahirkan ke dunia tak pernah terjawab, menggantung sebagai pertanyaan yang melukai. Mengapa harus seorang ibu membenci anak yang terlahir, bahkan setelah ia   mengangkatnya selaku ibu suri. Raja Wang So terisak-isak, duka dan dendam bagai angin dan badai yang berpusing di relung hati. Benarkah ia seorang raja yang malang?
Kabar kematian ibu suri perlahan merebak hingga sampai pula ke telinga Hae Soo, ia segera menemui  Pangeran Wang Jung, membimbingnya ke sisi pembaringan ibu suri berpulang, terbujur kaku. Pangeran Wang Jung tak mampu membendung air mata, andaia ia sempat bercakap sebelum ibunda berpulang, masih ada kata-kata manis yang bisa diucapkan. Kini ibunda hanya satu sosok jenazah, tanpa napas, gerak, dan kata-kata. Ayahanda telah lama berpulang, kini ibunda. Wang So tak menghendaki kehadirannya di istana, ia  hanya seorang pangeran yang terbuang. Dada Pangeran Wang Jung terasa sesak, ia tak mengira suatu saat akan berada dalam keadaan sesulit ini. Sementara Hae Soo berdiri terpekur, ia bias merasakan duka Pangeran Wang Jung. BUkankah ia pernah pula kehilangan Myung Hae?
“Segera tinggalkan tempat ini. Hukumanmu tetap berlaku. Tinggalkan istana atau menghadapi hukuman mati, engkau meragukan kedudukanku. Akan kutangani seluruh upacara pemakaman”, suara Yang Mulia Raja dingin, ia benar-benar tak berminat menatap wajah Wang Jung, seorang tanpa kesetiaan.
Pangeran Wang Jung tak mampu melawan perintah raja, ia ingin terlibat dalam upacara pemakaman ibunda bagi hormat penghabisan. Akan tetapi, ia tak memiliki hak untuk mengantar ibunda menuju peirstirahatan  terakhir. Air matanya masih menetes, seisi dunia seakan telah meninggalkannya, ia seorang diri tanpa perlindungan seorang raja.
“Mengapa engkau berpihak pada  Jung?” Raja Wang So menyatakan kemarahan kepada Hae Soo
“Dia sudah pergi sebelum upacara pemakaman, hanya sesaat ia memiliki waktu berduka di samping jenazah”,  Hae Soo  memberikan jawaban.
“Jung mendapatkan lebih dari sekedar kasih sayang, aku Wang So cuma pangeran yang terbuang. Ibu hanya sempat menyentuh wajahku tepat sebelum maut  menjemput selama dua puluh lima tahun kehidupan. Aku tidak pernah memiliki seorang ibu, berbeda dengan Jung. Apakah aku salah?” suara Yang Mulia Raja menahan amarah dan kekecewaan. Ia tak menghendaki Wang Jung hadir di istana tempatnya bertahta.
Wajah Hae Soo menjadi muram, ia memahami duka cita seorang pangeran yang terbuang. Bahkan ketika menjadi seorang raja, ibunda hanya mengulurkan tangan di ambang kematiannya. Tangan kekasih raja itu berniat menyentuh pipi Yang Mulia, tetapi Wang So memasang jarak. Ia kecewa Hae Soo masih mengulurkan tangan bagi Wang Jung, seorang yang tak  mendukungnya duduk di singgasana. “Aku kira engkau memahami kesulitanku”, suara Yang Mulia raja parau, kemudian ia berlalu dengan beragam perasaan berkecamuk seakan badai.
                                                                                     ***
Usai upacara duka cita bagi  ibu suri yang berpulang selamanya, Yang Mulia Raja memanggil Pangeran Wang Won, bertanya, “Siapa yang memiliki gagasan meletakkan merkuri di kolam mandi Raja Moo”? sepasang mata raja menatap wajah Pangeran Wang Won dalam-dalam, ia masih mencurigai kematian Raja Wang Moo. Ada seorang yang menginginkan kematiannya.
Sejenak suasana diam. Mulut Pangeran Wang Won mengatup. Bagaimana ia bisa menjawab?
“Apakah gagasannya Wook?” Raja Wang So memancing, ia ingin mengetahui pelaku sesungguhnya, seorang yang membahayakan Wang Moo akan membahayakan dirinya pula. “Semula Chae Ryung bekerja di rumahmu, kemudian pindah ke rumah Wook. Saku tahu kalian berdua yang menempatkan Chae Ryung di Damiwon. Bukankah serangan terhadap Moo dan pemberontakan Wang Gyu adalah ide Wook?” sang raja masih memiliki sejumlah pertanyaan. Akan tetapi, suasan masih tetap hening, Pangeran Wang Won terdiam seribu bahasa. Ia tahu akibat yang terjadi ketika menjawab.
“Jika bukan Wook, aku harus beranganggapan semua  kejahatan itu adalah gagasanmu”, kesabaran Yang Mulia Raja sampai batasnya.
“Saya bukan cendikiawan Goryeo yang pandai menyusun beragam gagasan”,  jawab Pangeran Wang  Won.
“Pangeran Won juga bisa dihukum atas penipuan timbangan ketika menjual perak kepada pedagang, jika tak mau menjawab. Hukumannya adalah dimasukkan ke dalam kuali mendidih”, Choi Ji Mong memberi peringatan supaya Pangeran Wang Won tidak selamanya membungkam.
“Aku hanya melakukan hal-hal yang diperintahkan”, akhirnya Pangeran Wang Won mengaku. “Semua ide Wook, ia merencanakan dengan mendiang Raja Wang Yo”, Pangeran ke-9 tak memiliki lagi ruang berkelit, ia membuka kedok  yang selama ini melindungi kejahatan di ruang lingkup istana.
“Satu lagi pertanyaan, siapa yang menyebabkan kematian mendiang Raja Wang Moo di kolam pemandian?” wajah Yang Mulia Raja merah padam, tatapa matanya setajam belati ke arah wajah pucat Pangeran Wang Won. Ia mulai dapat menangkap jalinan benang halus antara Wang Wook, Wang Won serta Chae Ryung, dayang Damiwon yang memanfaatkan hubungan dekat dengan Hae Soo untuk mendapatkan ijin bekerja di istana yang sama. Ia harus melakukan sesuatu, hukuman bagi pelaku yang meletakkan mercuri di kolam pemandian sehingga mending Raja Wang Moo meninggal mengenaskan.   
                                                                                  ***
Hae Soo menangkap suasana janggal di Damiwon, wajah muram, lesi, dan ketakutan. “Dimana Chae Ryung?” ia bertanya kepada Woo Hee.
Mulut Woo Hee seketika membungkam, ia harus menyembunyikan kejadian yang mengerikan. Sanggupkah Hae Soo mendengar kabar ini? Wajah cantik Woo Hee tak kalah lesi dengan dayang-dayang yang lain. Sesuatu telah terjadi.
Satu hal yang dirasakan Ha Soo adalah panik, bahasa tubuh seseorang telah menyatakan segalanya. Tergesa sang kekasih raja melangkah ke halaman,  ia berusaha menolak kemungkinan buruk yang bakal terjadi. Sepasang mata Hae Soo membelalak lebar, algojo istana tengah memukuli tikar berisi manusia berulang kali hingga isi di dalam tikar itu tak lagi menandakan perlawanan atau kehidupan. Si terhukum telah mati. “Apa yang telah terjadi?” suara itu menyerupai jeritan.
“Yang Mulia memerintahkan seluruh dayang menyaksikan hukuman bagi dayang yang tidak mampu menjaga kata-katanya dengan baik”, jawab seorang dayang.
“Mengapa Yang Mulia memerintahkan semua ini?” Hae Soo hendak  menghampiri algojo yang tengah menjalankan hukuman, namun Choi Ji Mong mencegahnya.
“Adalah hukuman bagi dayang Damiwon yang melakukan kejahatan”, jawab Choi Ji Mong.
“Dayang Damiwon? Siapa dia? Siapa?” suara Hae Soo bercampur isak tangis, ia sangat berharap, bahwa dayang yang dihukum mati dipukuli di dalam tikar bukan Chae Ryung.
“Dayang itu Chae Ryung”, jawaban Choi Ji Mong seakan hantaman batu kali yang mendarat tepat di kepala Hae Soo, kekasih raja itu terpengarah. Ia tak pernah menghendaki kematian Chae Ryung atau dayang yang manapun dengan cara seperti ini. Dengan gontai Hae Soo melangkah  mendekati tikar, pada saat yang sama pembungkus tubuh mati Chae Ryung terbuka. Tubuh itu tak lagi bernapas, tak lagi bertenaga, hanya sesosok dayang malang berlumuran darah yang tak mampu melawan hukuman mati –sesosok perempuan malang yang telah binasa.
Hae Soo  merasa pandangan matanya berkunang-kunang, rasa pening menghebat, mewarnai seluruh langit menjadi leleran merah darah, semakin merah. Tanpa ampun seluruh warna itu menggenangi kesadarannya, tubuh rapuh Hae Soo terguling. Kekuatan hatinya tak pernah mampu memaafkan hukuman raja yang mengerikan bagi seorang dayang yang tak berdaya. 
Ketika tersadar Hae Soo telah terbaring di kamar kekasih raja, “Mengapa tak pernah menyampaikan bila Soo sakit?” Yang Mulia Raja tampak marah, tabib istana menyembunyikan kesehatan Hae Soo yang sebenarnya.
Tabib istana hanya membungkam tanpa jawaban, membungkuk kemudian undur diri. Tak lama kemudian Hae Soo membuka mata dengan kesadaran yang menyakitkan, ia kembali harus menyaksikan kematian tragis di dalam dinding istana. Kali ini kematian Chae Ryung, dayang malang yang telah dianggap saudara sekandung.  Yang Mulia Raja berniat membantunya duduk, tetapi Hae Soo menolaknya, “Aku ingin sendiri”, namun Raja Wang Soo tak membiarkan Hae Soo sendiri.
“Bagaimana seorang raja bisa menjatuhkan hukuman bagi seorang dayang dengan cara yang mengerikan?” rasa sedih Hae Soo berubah menjadi kemarahan.
“Kau tidak pernah tahu, Chae Ryung memata-mataimu. Dia memberitahu Pangeran Ke-9 tentang kita, kabar itu sampai ke Ibu Suri.  Dia mengambil barangmu dari Damiwon, menciptakan kecurigaan bahwa kau adalah mata-mata asing”, jawab Yang Mulia Raja. Sesaat Hae Soo teringat  hanya Chae Ryung yang melihatnya menulis huruf hangul.
“Dayang itu diam-diam menghalangi pernikahan kita. Ia juga meletakkan merkuri di air mandi Moo” , jawaban itu mengingatkan pula ketika Hae Soo hendak membahas tentang merkuri dengan Chae Ryun, tiba-tiba dayang itu ketakutan, dan berkata kalau bukan dia yang melakukannya.
“Ingatkah  saat pertama kali memasuki istana melalui gua yang ada di pemandian Damiwon? Bukankah Chae Ryung yang pertama kali memberitahumu soal tempat itu? Dayang itu tahu dari Pangeran Ke-9, maka Eun tidak bisa melarikan diri. Pangeran Won dan Wook tahu pula tentang  tempat itu dan memerintah penjaga menunggu di sana”, Yang Mulia Raja memiliki sejumlah alasan untuk menjatuhkan hukuman mati. Hae Soo teringat, ia pernah bertemu dengan Pangeran Wang Wook di tempat itu. Tanpa sadar air mata Hae Soo menetes, tak mudah kehilangan seorang sahabat di tempat yang masih juga terasa asing.
“Dia berusaha tetap di dekatmu untuk memisahkan kita. Dia sedang menunggu saat tepat untuk  menyakitimu. Aku tidak punya alasan  atau perlu memaafkannya”, Raja Wang So masih memiliki satu alasan.
Air mata Hae Soo masih tetap menetes, ia terlalu rapuh untuk melihat kematian demi kematian yang mengerikan, ternyata nyawa manusia di dalam dinding istana murah adanya. Suaranya serak saat berucap, “Satu-satunya kejahatan dayang itu adalah dilahirkan sebagai budak. Aku menganggapnya sebagai saudara satu ibu”, Hae Soo terisak, kehilangan selalu mendatangkan perasaan hampa.
“Istirahatlah ….” Raja Wang So memegang pundah Hae Soo kemudian berlalu pergi.
Kini Hae Soo sendiri dengan air mata yang belum kering. Pandangan matanya menangkap sepucuk surat. Perlahan jemarinya bergerak memungutnya.
Sementara di ruang tahta Yang Mulia Raja tak dapat mengendalikan amarah, hingga membanting meja, “Wook dalang dari semua ini, ia berani menggunakan  tahta sebagai umpan dan mengira bisa bermain-main  dengan Wang So?” suara itu meledak seakan halilintar.
“Pastikan kebenaran Wook dalang dari semua ini sebelum memutuskan”, saran Pangeran Baek Ah.
“Siapa lagi yang aku punya? Adalah engkau dan Hae Soo. Semua ini, karena Wook, sekarang aku sudah menjadi  algojo untuk Soo. Aku akan membuat perhitungan!” Raja Wang So membayangkan wajah Pangaren Wang Wook dengan segala kebencian. Benar, ia akan membuat perhitungan.
Adapun di dalam kamar Hae Soo membuka surat yang ditulis sendiri oleh Chae Ryung. Satu hal yang membuat sang kekasih raja terdiam, ternyata Chae Ryung banyak menyembunyikan kebenaran tentang dirinya, ia pernah mengaku tak mampu membaca. Ternyata dayang itu mampu menulis dengan baik, tulisannya rapi.
Nona Hae Soo tersayang,
Tolong perhatikan keluargaku. Aku tahu akhirnya akan segera datang. Aku ingin mengakui semuanya padamu, tetapi tak ada lagi kesempatan. Aku hanya seseorang yang tidak bisa berhenti mencintai setelah memulai.  Aku orang yang bodoh….
Sejenak Hae Soo menghela napas, ia takjub akan kemampuan seorang dayang menulis surat. Sebuah surat pendek yang jujur dan memperdalam rasa kehilangan Hae Soo. Andai ia mampu menyelamatkan kehidupannya. Pandangan Hae Soo menerawang jauh, teringat kembali saat ia terjebak di dalam istana ini saat para pangeran tengah mandi. Chae Ryung adalah satu-satunya orang yang memahami kesulitannya.
Siapakah sesungguhnya Chae Ryung?
Kala itu, Chae Ryung hanya seorang kanak-kanak dengan penampilan yang sangat buruk meminta-minta uang pada semua orang yang ditemui, namun tak seorangpun bermurah hati. Pada saat yang sama Pangeran Wang Won lewat di dalam tandu,  memberi Chae Ryung sekeping uang perak. Pemberian yang tak pernah dapat dilupakan seorang kanak-kanak, kemudian merubah seluruh takdir hidup, karena yang berada dalam pikiran Chae Ryung adalah sosok Pangeran Wang Won. Ia selalu ingin berada di dekatnya, maka setelah dewasa Chae Ryung memutuskan bekerja sebagai dayang di kediaman Pangeran Wang Won. Dengan bijak Pangeran ke-9 mengajari Chae Ryung cara menulis dan membaca. Ketampanan dan kebaikan hati Pangeran Wang Won membangkitkan perasaan dalam diri seorang dayang -–perasaan yang tak pernah dapat ditidurkan, bahkan ketika harus ditebus dengan kematian. Perasaan cinta. Betapa damai menatap wajah Pangeran ke-9 yang tengah pulas tertidur. Betapa indah angan-angan untuk menjadi selir seorang pangeraan.
Hae Soo kembali meneruskan membaca surat pendek itu.
…. Aku yakin engkau selalu mengerti perasaanku terdalam. Tak perlu ada yang kusesali, karena tak ada pula yang kubenci. Apakah segala hal yang pernah kulakukan kiranya memiliki makna? Akupun yakin engkau bisa menjawabnya.
Hae Soo membuang pandang, isi surat itu menikam hingga ke relung hati. Chae Ryung adalah seorang dayang yang tengah jatuh cinta, ia bersedia melakukan apa saja bagi keinginan sang pangeran. Sekalipun menyebabkan kematian seorang raja di kolam pemandian, dan harus dipertanggungjawabkan dengan hukum istana, menuju keabadian.
                                                                                  ***
Yang Mulia Raja kembali ke kamar dalam keadaan mabuk, di atas tempat tidur tampak sosok seorang wanita menutup topeng pada wajahnya, topeng milik Hae Soo. Sejenak hati Raja Wang So bersorak, ia mengira amarah Soo telah reda dan bersedia berkunjung ke kamar pribadi. Tak perlu kiranya  menunggu Yang Mulia mendekat, memeluk, dan berniat mencium. Namun gerakannya tertahan, ada yang salah, sosok Hae Soo tak seperti ini. Gesit tangan Yang Mulia membuka topeng, darahnya tersirap ketika mendapati wajah di balik topeng ternyata bukan Hae Soo, bukan kekasih raja. Akan tetapi, seraut wajah  yang selalu menumbuhkan kebencian –-wajah Ratu Yeon Hwa.  
“Mengapa harus berada di tempat ini tanpa seijinku?” satu perasaan yang membakar diri Wang So ketika bertatapan dengan Ratu Yeon Hwa adalah geram. Wanita  ini telah berhasil memisahkan dirinya dengan Hae Soo, merampas seluruh kebahagiaan hidup.
“Seorang raja kiranya dapat tertipu oleh topeng belaka”, suara sang ratu sinis, menyembunyikan perasaan sakit. Ia adalah seorang ratu yang dicampakkan, Yang Mulia Raja lebih memilih dayang hilang ingatan.
“Tinggalkan tempat ini, sebelum kuperintah yang kedua kali!” Raja Wang So membuang pandang, ia sama sekali tidak berminat menatap wajah jelita sang ratu. Ia tahu niat serakah di balik kecantikan itu.
“Aku adalah seorang ratu, dengan demikian berkewajiban melahirkan putra mahkota bagi penerus tahta Goryeo. Kita bisa bersepakat, Yang Mulia menginginkan tahta, aku pelindungnya. Kita harus mempersiapkan seorang anak  menjadi raja”, Ratu Yeon Hwa memeluk punggung Raja Wang So. Ia telah mengorbankan suatu perkawinan tanpa cinta seorang raja, apa arti pengorbanan itu bila ia tidak bisa melahirkan seorang putra mahkota. Pedih perihnya akan sia-sia.
“Bila engkau benar ingin menjadi satu-satunya ratuku, melahirkan putra mahkota, dan menjadi ibu suri? Bisakah engkau berpaling dari Wook dan keluargamu?” kali ini Raja Wang So memberi penawaran kepada sang ratu. Ia tahu Ratu Yeon Hwa mencintai tahta bukan Wang So, ia meminta putra mahkota untuk menjadi ibu suri. Akan tetapi, bukankah semua keinginan itu harus dicapai dengan pengorbanan? Sanggupkah sang ratu mengkhianati orang-orang yang dicintai demi kekuasaannya?
                                                                    ***
Langkah Hae Soo gontai ketika pergi ke Damiwon, di tangannya tergenggam tusuk konde. Wajah lembutnya diselimuti duka, ia tidak tahu berapa panjang waktu diperlukan untuk memaafkan hukuman Yang Mulia Raja hingga Chae Ryung berpulang selamanya? Ia harus melakukan sesuatu, keputusan yang tidak mudah. Ketika tampak bayangan Pangeran Baek Ah datang berkelebat, Hae Soo menghela napas panjang.
“Apa yang harus aku lakukan? Seorang raja yang kucintai telah menghukum mati dayang  yang kuanggap sebagai saudara satu ibu?” Hae Soo bertanya.
“Raja sudah lama tahu,  bahwa Chae Ryung merencanakan sesuatu. Raja pernah mencoba menyingkirkan dayang itu dari istana, tapi dia sangat dekat denganmu.  Jika dia tidak mencoba untuk tinggal di istana, hukuman itu  tidak akan terjadi”,  jawab Baek Ah.
“Hukuman itu terlalu kejam untuk seorang budak? Chae Ryung hanyalah seorang yang sedang jatuh cinta”, Hae Soo tak mampu memaafkan hukuman kejam seorang raja. Ia terjerembab ke dalam kubangan sedih yang berlebihan.
“Hukuman itu sudah semestinya bagi seorang dayang Damiwon yang salah. Ia telah tenang di alam sana …..”  Baek Ah mencoba menghibur.
“Yang Mulia Raja mengkhawatirkan keadaanmu”, Pangeran Baek Ah bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya hendak dilakukan Hae Soo setelah rasa kehilangan yang teramat dalam?
“Bisakah engkau membantuku memberikan tusuk konde kepada Jung. Sampaikan pesan, aku bersedia”, Hae Soo mengulurkan tusuk konde itu kepada Pangeran Baek Ah, ia telah mengambil keputusan, menyelamatkan hidup yang tersisa.
“Jika Jung menerima pesanmu, engkau takkan lagi bersedih?” Pangeran Baek Ah menatap wajah pucat Hae Soo, hati manusia memang selalu diliputi misteri. Apa sesungguhnya yang benar dikehendaki kekasih raja ini?
”Berikan tusuk konde ini kepada Jung, sampaikan pesan aku menginginkannya”, dengan putus asa Hae Soo mengulang permintaannya.


Bersambung ke Scarlet Heart, Ryeo ke-19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...