Minggu, 02 Juni 2019

ASRAMA PUTRI --Tentang Relasi Gender-- TIGA




  
  

Setiap tiga bulan sekali, pada tanggal 19 Universitas menyelenggarakan momen besar, peristiwa ketika lebih dari seribu mahasiswa berhasilkan menyelesaikan studi, dikukuhkan sebagai sarjana dalam upacara wisuda. Kali ini tiga dari lebih seribu wisudawan dan wisudawati berasal dari asrama putri, warga yang berhasil menyelesaikan studi yaitu, Murni dari jurusan ilmu hukum, Sartika dari Farmasi, dan Hana dari kedokteran.
            Asrama terbangun pada pagi buta dalam suasana yang lebih ceria, tiga orang wisudawati telah berkemas pergi ke salon untuk mengubah penampilan dengan sanggul bergaya Yogya, tata rias yang lembut, kain kebaya serta jubah hitam, dan topi sarjana yang sekaligus menjadi lambang keberhasilan studi. Seksi tata asrama tak kalah sibuk, warga yang bertugas pada seksi ini berkewajiban membeli bunga hidup pada pasar bunga yang terletak di dekat Malioboro, seputar hotel Garuda. Aneka bunga segar warna warni, gladiol, aster, aronsklik, krisan, anggrek, dahlia, lily, anyelir ditata secara artistik pada jambangan bunga dan diletakkan pada setiap meja di ruang tamu. Biaya pembelian bunga dicairkan dari iuran warga yang dipotong secara langsung dari uang bulanan dan dikumpulkan oleh bendahara.
Sementara komisaris blok melakukan hal serupa bagi warga blok yang tengah diwisuda. Relina membantu Soraya membeli bunga dengan bergoncengan mengendarai sepeda motor pada pagi hari sebelum Murni bersiap pergi ke balairung bagi upacara yang penuh kebanggaan itu. Mereka bersepakat membeli anggrek berwarna ungu dengan asparagus kemudian merangkainya pada sebuah jambangan keramik dengan motif putri Cina dan tugu Pagoda. Secarik kerta sbertuliskan ucapan selamat atas nama blok E disematkan pada rangkaian bunga. Kedua gadis itu juga membersihkan seluruh isi kamar, sehingga bunga itu tampak anggun ketika Murni tiba kembali dari salon dengan toga hitam pekat melapisi kain kebaya berwarna merah darah. Seisi blok berteriak nyaring menyerbu Murni hingga gadis itu menjadi kewalahan.
Suasana serupa terjadi di blok tempat Sartika dan Hana tinggal, seluruh warga menghambur keluar dari kamar menyoraki calon sarjana yang telah siap diwisuda, sehingga calon wisudawati itu menjadi tersipu-sipu. Fotografer amatir telah siap dengan camera di tangan mengabadikan momen itu, suasana bertambah  ramai, karena seluruh warga menonton sang calon wisudawati menjadi model secara tiba-tiba.
Keramaian berakhir ketika tiga calon sarjana telah pergi meninggalkan asrama bersama keluarga dan para pendamping menuju ke balairung. Pihak universitas mengirimkan dua krans bunga sebagai ucapan selamat bagi warga yang siap diwisuda. Kiriman krans bunga dalam rangkaian bambu yang dijalin secara artistik rutin dikirim setiap hari wisuda, suasana ruang tamu bertambah semarak. Upacara winisuda berlangsung dari pagi hingga tengah hari, sesaat setelah acara selesai dan para sarjana baru diijinkan untuk meninggalkan tempat, maka suasana di seputar kampus menjadi gegap gempita. Senyum cerah dan keberhasilan bertebaran di setiap sudut yang dibayangi oleh gelap jubah sarjana.
Suasana asrama tak kalah seru dengan suasana di seputar kampus, kehadiran warga yang telah dikukuhkan sebagai sarjana memancing keramaian dari seluruh warga terlebih bagi warga yang berhubungan secara akrab. Murni, Sartika, dan Hana datang nyaris bersamaan, seorang warga memanggil warga-warga dari seluruh blok untuk turun ke ruang tamu dan bergambar bersama. Pada hari wisuda jam tenang tidak berlaku, suara gong satu kali tetap terdengar, tetapi pintu ruang tamu tetap terbuka hingga pukul 22.00 WIB. Pihak keluarga wisudawati dapat berisitirahat di ruang tamu dan beramah tamah dengan warga asrama.
Acara wisuda di balairung akhirnya diteruskan dengan syukuran wisuda di lingkungan asrama. Pengurus asrama berkumpul dengan wisudawan untuk menentukan hari syukuran kemudian masing-masing seksi kembali bekerja seperti yang telah terjadi setiap tiga bulan selama bertahun-tahun. Koordinator seksi tata asrama, memasang dekorasi di aula, mempersiapkan protokol untuk memandu acara, memanfaatakan jasa fotografer, dan mempersiapkan segala perlengkapan pesta bersama seksi perlengkapan. Sementara koordinator seksi keputrian menyusun menu yang bakal dihidangkan, mengerahkan anggota dan warga baru untuk memasak beramai-ramai di dapur. Warga baru harus berlatih mempersiapkan atraksi untuk menghibur sekalian tamu pada saat istirahat. Para wisudawati mengundang rekan dan handai tolan termasuk kawan-kawan baik dari asrama putra pada almamater yang sama. Seisi asrama menjadi sibuk dengan tugas masing-masing tanpa kecuali.
Malam itu, aula telah disulap menjadi ruang perjamuan dengan dekorasi menarik dari tangan-tangan kreatif. Selembar kain berukuran raksasa menutup hampir keseluruhan dinding menjadi latar belakang mimbar dari meja berkaki pendek dengan karpet warna senada. Krans bunga diletakkan pada kiri kanan meja, tikar-tikar dibentangkan membentuk huruf U, saund system telah disiapkan pula.
Murni menatap wajah dan seluruh penampilan diri di muka cermin, ia telah menikmati saat-saat bahagia setelah delapan tahun lamanya bergelut dengan bangku kuliah, melewati saat-saat sulit dan membosankan, sehingga akhirnya aia dapat menjadi seperti yang dicita-citakan. Ia telah mendapatkan ijazah sarjana dari sebuah universitas yang menjadi kebanggaan negeri ini. Akan tetapi, usahanya belumlah selesai, ia masih harus mengadu nasib pada sebuah persaingan yang lebih sulit untuk mencapai kemandirian dan jati diri. Murni tak perlu merasa berkecil hati untuk yang satu ini, ia akan kembali ke Surabaya, kerabatnya akan memberikan bantuan dalam hal mendapatkan pekerjaan.
Murni mengenakan rok panjang berlipit-lipit dari kain batik berwarna kuning kunyit dengan motif burung merak yang cantik. Bluose lengan panjang dengan leher Shang Hai berwarna gelap mengubah keseluruhan penampilannya, Soraya membantu Murni merias wajah dan menata rambut  serta melengkapinya dengan asesoris yang sesuai dengan warna pakaian. Dan malam ini Murni tampak seakan seorang artis yang bersiap menghadiri malam gala.
Di dalam kamar Sartika dan Hana melakukan hal yang sama dengan Murni, mereka tengah berhias dengan gaun pesta yang dijahit secara khusus, merias wajah, menata rambut, memilih asesoris dan sepatu. Ketiga wisudawati itu duduk berdampingan pada tempat yang telah disediakan, mereka segera menjadi pusat perhatian. Warga asrama yang lain melakukan hal serupa, mereka berusaha tampil secantik yang bisa dilakukan, meskipun tak jarang harus mengenakan barang pinjaman. Wajah-wajah kusut yang pada hari Minggu pagi tampak terkekeh-kekeh di seputar sumber air untuk mencuci pakaian, malam ini mengubah penampilan layaknya kepompong menjadi kupu-kupu. Tamu undangan dari kalangan mahasiswa tak pernah berhenti melirik, pada saat-saat seperti ini ada di antara undangan yang terpesona selanjutnya mereka berusaha membangun komunikasi, menjalin hubungan khusus pada jenjang yang lebih menentukan.
Suatu kehormatan bagi para wisudawati, bahwa rektor beserta ibu berkenan hadir, beliau memang selalu hadir pada setiap acara yang diselenggarakan asrama. Bapak rektor beserta ibu mengenakan pakaian dari kain batik serupa, penampilannya sungguh bersahaja. Rektor adalah seorang bapak yang mencintai seluruh mahasiswa, sebaliknya para mahasiswa juga mencintai dedikasi kerja sang rektor. Tak ada kegiatan mahasiswa yang tak mendapatkan dukungan dari rektor, baik secara moril maupun materiil. Demikian pula dengan bermacam undangan dalam bentuk yang paling megah hingga yang paliing sederhana, rektor tak pernah melewatkan. Rektor beserta ibu tampil berwibawa pada setiap perjamuan dengan protokoler dan hidangan istimewa, beliau juga tetap hadir bersahaja bila mahasiswa menyelenggarakan acara dalam bentuk apa adanya, tak ada masalah bila perjamuan diselenggarakan di sebuah dusun dengan pincuk daun pisang sebagai alas tempat makan. Malam itu, ketiga wisudawati dan seluruh warga asrama merasa tersanjung dengan kehadiran rektor.
Acara dibuka oleh protokol, Tania warga blok G, mahasiswa jurusan Psikologi dengan suara semerdu buluh perindu dilanjutkan dengan sambutan Sunarti sebagai ketua asrama, rektor memberikan ucapan selamat sekaligus sambutan, kemudian adik kamar dari warga yang diwisuda membacakan riwayat singkat serta pengalaman selama wisudawati tinggal di asrama. Sementara di belakang pintu warga baru telah bersiap membawakan atraksi dalam bentuk opera tentang cerita Sinderela dengan Elin sebagai tokoh utama, Ratna menjadi ibu tiri, Fifi menjadi Drunela, Anik menjadi Barbeta, Inung menjadi pangeran, Myra dan Amali menjadi pengawal, adapun Relina dan warga baru yang lainnya menjadi tikus-tikus yang mengelilingi Sinderela.  
Relina tahu ia dan kawan-kawan senasib sedang “dikerjain”, tak pernah terbayangkan, bahwa suatu saat ia akan menjadi tontotan rektor beserta segenap tamu undangan dalam bentuk binatang tikus yang bersetia membela kisah sedih Sinderela. Relina bersama tikus-tikus yang lain mengenakan celana panjang dan T shirt berwarna putih, seluruh rambut ditutup dengan kain putih, tata rias wajah digores secara tebal dengan kumis tikus dari goresan pensil alis yang menggelikan. Relina tak berani berlama-lama memandang diri di depan cermin, sementara ia harus bersandiwara dan memerankan diri sebagai tokoh yang lain sama sekali. Apa boleh buat? Tugas warga baru pada setiap syukuran wisuda atau malam dies natalis adalah menyelenggarakan atraksi untuk menghibur sekalian tamu undangan.
Seksi konsumsi dibantu anggota telah menutup meja dengan aneka hidangan yang menerbitkan selera, kue-kue basah yang lezat, menu makan malam yang terdiri atas nasi putih, rendang daging sapi, opor ayam, sup, kerupuk, dan cocktail sebagai hidangan penutup. Ketika seluruh tamu mulai menyantap hidangan bersama, maka atraksipun dimulai dengan penampilan Elin sebagai Sindera yang mendapat siksa secara terus menerus dari ibu tiri, Drunela, dan Barbeta. Elin memiliki wajah yang manis dengan kulit hitam, dan rambut ikal. Akting Elin yang lugu, memukau, dan apa adanya telah memancing gelak tawa dari seisi ruangan. Gelak tawa itu terus berlanjut dari episode ke episode, hingga akhirnya hadir sang pangeran untuk mendapatkan seorang gadis yang memiliki ukuran sepatu sama dengan sepatu yang tertinggal pada malam pesta dansa. Warga baru telah berhasil menghibur wisudawati dan tamu undangan secara memuaskan.
Acara syukuran wisuda di lingkungan asrama diteruskan oleh masing-masing wisudawati pada syukuran di lingkungan blok. Murni dibantu Dita, Soraya, dan warga yang lain telah memesan ayam eski di depot makan Arek-arek Surabaya, ayam kecap dengan bumbu spesifik yang resepnya dirahasiakan adalah menu favorit dari seluruh warga. Cita rasa ayam bakar itu demikian istimewa, tanpa tambahan menu apapun lauk itu sudah lebih dari sekedar cukup untuk membangkitkan selera. Murni memasak pula super mie campur jamur, emping, dan agar-agar serta es sirup.   
Tikar telah dibentangkan di tengah-tengah kamar, hidangan telah siap, Soraya memimpin warga berdoa. Sesaat ketika seluruh warga telah bergilirin menyendok hidangan, Relina menatap keluar pintu, sekilas ia melihat seorang gadis berambut panjang bergaun putih berjalan melintas koridor menuju ke arah aula. Langkah gadis itu seakan mengambang tak menjejakkan kakinya ke lantai. Relina tak pernah mengenali gadis seperti itu, ia seperti Inung, tetapi pasti bukan, Inung tak pernah mengenakan gaun putih, ia pasti akan menoleh ke dalam kamar bila melintas di depan pintu. Wujud itu bahkan tak tampak riel, lebih mirip bayangan negatif film. Relina terdiam, ia teringat pada cerita hantu yang selalu beredar dari mulut ke mulut, mungkin sosok tadi adalah salah satu wujud dari cerita itu.
Acara makan bersama berlanjut hingga melewati jam tenang, Relina harus mengemasi piring-piring kotor, membersihkan seisi kamar, keesokan harinya seperti biasa ia mencuci piring, mangkuk, dan gelas kotor. Pembersihan kamar dan seluruh perlengkapan makan sudah menjadi hal biasa bagi Relina, ia tak pernah merasa keberatan. Murni dan Dita tak banyak berkomentar dengan sikap Relina, mereka tak membenarkan tidak pula menyalahkan. Setelah seisi kamar dan koridor bersih Relina bersiap pergi ke kampus, ia tengah memersiapkan buku ketika beberapa orang warga berdatangan ke kamar menemui Murni.
“Mbak Murni, mana pakaian buatku?”
“Buatku juga”.
Murni menjawab kata-kata itu dengan membagikan pakaian pantas pakai yang tak akan dikenakan kembali. Ia memang telah menyiapkan setumpuk pakaian bagi warga asrama yana akan ditinggalkan. Tanda mata berupa pakaian pantas pakai dan benda-benda lainnya merupakan simbol kasih sayang bagi warga asrama. Pakaian itu akan dikenakan dengan rasa bangga, karena warga yang ditinggalkan mendapat perhatian khusus dalam bentuk barang pribadi milik warga yang telah lulus menjadi sarjana.
“Hei, terima kasih!” pemberian Murni diterima dengan suka cita.
“Aku juga, terima kasih!”
Tanpa banyak bicara kedua warga itu segera berlari kencang kembali ke kamar dengan masing-masing pakaian pemberian dari Murni di tangan. Murni memberikan pakaian pesta berwarna biru laut bagi Dita, syal dari kain sutera yang sangat halus, sepatu olah raga, dan rak buku. Relina menerima rok hitam, blouse putih, daster dengan motif kotak-kotak berwarna ungu, tempat pensil, dan sebuah set pisau lipat lengkap dengan sendok dan garpu. Soraya dan warga blok E yang lain juga berdatangan meminta pembagian jatah. Dengan tulus Murni membagikan pakaian yang sudah disiapkan, ia maklum akan kebiasan dari warga asrama pada saat perpisahan. Iapun pernah meminta-minta kepada senior yang telah diwisuda dan harus meninggalkan asrama.
Akhirnya Murni berpamitan, berjalan keliling dari kamar ke kamar, ia meminta maaf akan segala kesalahan yang mungkin pernah dilakukan. Relina mendapatkan suasana kamar yang sunyi ketika Murni benar-benar pergi, gadis itu sering memberikan teguran dengan kata-kata yang keras, memang demikianlah sikapnya. Sementara pesan pada buku putih sama persis dengan goresan mata pisau yang mengulitinya. Akan tetapi, Relina tahu Murni tak pernah membencinya, mereka hanya tak mempunyai lebih panjang waktu untuk saling mengenal. Relina juga merasa sedih ketika  Sartika  berkunjung ke kamar untuk berpamit pergi, sarjana baru itu hendak pulang ke Bali untuk bekerja di daerah asal. Hana masih tetap tinggal di asrama untuk melakukan ko asisten selama kurang lebih dua tahun, nanti setelah pengambilan sumpah dokter, Hana juga akan berkunjung dari kamar ke kamar untuk berpamit pergi.
Sepeninggal Murni, Dita berpindah ke pembaringan Murni sebagai tempat tidur, ia memindahkan pula barang –barang pribadi menatanya pada almari dan meja belajar yang semula digunakan Murni. Adapun Relina, ia berpindah ke pembaringan yang semula digunakan Dita. Kini, mereka hanya tinggal berdua.
                                            ***
       Dua bulan menjelang tanggal 19 Desember pengurus asrama menyelenggarakan pleno di ruang makan untuk membentuk panitia dies natalis. Nama-nama yang terpilih sebagai panitia, kelak akan terpilih kembali sebagai pengurus asrama menggantikan pengurus lama yang telah setahun menyelesaikan tugas. Pleno dimulai setelah jam tenang dan selesai pada sekitar pukul sebelas dengan hasil nama-nama yang duduk sebagai ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara dan wakil bendahara. Nama-nama itu selanjutnya disebut sebagai panitia inti, seterusnya panitia inti akan menyelenggarakan rapat untuk memilih koordinator seksi kemudian bernegoisasi dengan pengurus asrama untuk mengadakan rapat pertama dengan agenda menyususn daftar kegiatan dies natalis atas persetujuan dari seluruh warga.
Bermacam kegiatan diselenggarakan untuk memeriahkan acara dies natalis, yaitu lomba tarik tambang antar blok, lomba lari estafet antar blok, lomba volley antar asrama putri se-Yogyakarta, lomba solo song, kunjungan ke rumah janda pahlawan. Dari keseluruhan lomba yang paling menarik dan berdampak secara langsung terhadap kelestarian bangunan asrama, yaitu lomba kebersihan blok sekaligus lomba kamar cantik. Dalam beberapa tahun terakhir blok E selalu mendapatkan juara pertama dalam lomba kebersihan blok. Blok E memiliki bunga-bunga segar dan tanaman hias serta pot gantung yang tidak dimiliki blok lain, kelebihan ini merupakan nilai tambah. Juri dapat melihat, bahwa seluruh kamar dan blok bersih serta rapi, akan tetapi keindahan yang tercipta dari tanaman hias dan bunga-bunga hidup menjadi nilai tambah yang tak dapat ditawar-tawar.
Dita mulai merapikan seisi kamar, membersihkan seluruh debu dengan kain basah, menata buku-buku, menghias dinding dan meja dengan kerajina tangan. “Re, kita harus mulai merapikan kamar, lebih cepat lebih baik, tahun lalu blok kita mendapat juara pertama untuk lomba kebersihan, kerapian dan keindahan kamar menambah pula penilaian. Kamar tidak cukup rapi, tetapi juga harus indah, kita harus juara. Ayo bersihkan kamarmu!” Dita tampak bersemangat, Relina tersulut, iapun mulai menata kamar dan segala benda milik pribadi secara rapi. Beberapa orang warga yang melintas di depan kamar memperhatikan keduanya, merekapun segera mengerjakan hal yang sama.
            Penjurian lomba kebersihan blok dan kamar cantik akan dilakukan pada sore hari, maka pagi itu seluruh warga tanpa kecuali sibuk membersihkan kamar dan koridor pada blok masing-masing. Seluruh pot bunga di blok E telah mengkilat oleh cat berwarna hijau lumut yang masih baru. Bunga-bunga tampak segar dan terawat. Perlak meja telah diganti pula dengan warna senada, pada tiap-tiap meja diletakkan jambangan bunga dengan air di dalamnya. Selanjutnya lantai koridor disikat dengan rinso, air , dan sapu lidi secara beramai-ramai. Papan blok dengan foto dan nama-nama warga telah diganti dengan ornamen cantik dan menarik untuk diperhatikan.
            Pukul 16.00 WIB ketika juri datang untuk menilai kebersihan dan keindahan blok secara cermat, mereka tampak benar terpesona. Empat orang juri tersebut berasal dari organisasi wanita di bawah naungan universitas. Juri terlebih dahulu mengadakan tehnikal meeting dengan panitia untuk menentukan kriteria penilaian kemudian penjurian dimulai. Juri mulai berkunjung dari blok ke blok dan dari kamar ke kamar, warga asrama mengekor di belakangnya untuk membandingkan kebersihan pada blok masing-masing. Tiba di blok E rombongan juri tidak segera masuk ke dalam kamar untuk menilai keindahan di dalamnya, mereka berjalan mondar mandir di sepanjang koridor menikmati sederetan tanaman hias yang telah ditata rapi.
            “Wah, banyak sekali tanaman di blok ini”, salah seorang dari juri berkomentar. Sementara sinar surya yang memantul berwarna kuning jernih, sesaat lagi akan berubah menjadi candi ayu. Hijau pepohonan dan bunga-bunga yang mekar menggenapi suasana sejuk di seputar blok.
            “We are coming to the paradise....” salah seorang warga dari blok lain berbicara pelan, setengah memuji, setengah menyindir. Mereka telah maklum akan kemenangan blok E pada setiap lomba kebersihan, meskipun juri selalu menilai objektif, tetapi kemenangan selalu menjengkelkan bagi pihak yang kalah, terlebih yang tak menerima juara apapun.
            Tim juri tampak puas dengan kebersihan dan keindahan blok E, maka rombongan itu terus berkeliling menuju blok F memasuki kamar demi kamar, dilanjutkan ke blok G dan H. Akhirnya penjurianpun selesai, tim juri menjumlah nilai dari masing-masing kamar serta blok kemudian memberi ulasan sebelum mengumumkan pemenang. Baik tim juri maupun warga semuanya berkumpul di aula yang telah dibersihkan dan dialasi tikar. “Selamat sore adik-adik yang manis, senang sekali, bahwa kami dapat bersua dan berkesempatan untuk berkunjung ke asrama putri dalam rangka penurian lomba kebersihan dan keindahan blok serta kamar. Ada beberapa catatan sebelum kami mengumumkan para pemenang: Pertama, bahwa semua blok dan kamar pada prinsipnya bersih dan rapi, akan tetapi ada nilai tambah bagi blok serta kamar pemenang, karena beberapa hal. Antara lain, keindahan dari menghias blok dengan aneka tanaman dan menghias kamar dengan benda-benda seni. Kedua, ada beberapa hal yang sangat mengesankan, bahwa banyak di antara warga yang memajang foto orang tua pada meja belajar atau dinding kamar. Ada satu kamar dengan hiasan yang berbeda pada masing-masing tempat warga, satu orang warga memasang tanda salib sementara warga di dalam kamar yang sama memajang kaligrafi. Hal ini menunjukkan adanya toleransi di dalam kehidupan asrama. Ketiga, ada beberapa kamar yang menempatkan benda tidak selayaknya, seperti di bawah meja diletakkan sepatu sementara di atas meja diletakkan makanan, hal ini tidak sehat. Akhirnya perlombaan ini pada prinsipnya adalah bertujuan untuk memelihara kebersihan asrama secara totalitas. Semestinya asrama bukan hanya bersih pada acara perlombaan, tetapi juga pada kehidupan sehari-hari. Para pemenang tidak boleh menjadi besar kepala sedangkan pihak yang kalah tidak perlu berkecil hati. Di dalam lomba pasti ada yang kalah dan ada pula yang menang. Sau hal lagi, bahwa keputusan dewan juri tidak bisa diganggu gugat”, seisi ruangan hening, semuanya menunggu dengan tegang siapa yang berhak keluar sebagai pemenang.
            “Baiklah, sekarang tiba saatnya saya atas nama dewan juri mengumumkan para memenang. Juara ketiga untuk lomba kamar cantik dengan nilai tiga ratus lima diraih oleh kamar tiga dari blok A”, tepuk tangan bergemuruh menyambut kemenangan itu.
            “Juara kedua dengan nilai tiga ratus lima belas diraih oleh kamar 18 dari blok E”, Soraya mengawali tepuk tangan, ia tak dapat menahan diri untuk tidak menjerit dan bertepuk tangan keras-keras diikuti oleh warga blok E yang lain.
            “Juara pertama dengan nilai tiga ratus tiga puluh tujuh diraih oleh kamar 28 dari blok G”, tepuk tangan dan jeritan terdengar lebih keras dari yang sebelumnya. Warga pemilik kamar saling berpelukan, sehingga dewan juri tak dapat menahan senyum.
            “Selanjutnya akan kami sampaikan juara lomba kebersihan dan keindahan blok. Juara ketiga dengan nilai dua ratus delapan puluh satu diraih oleh blok H”, seketika warga blok H menjerit dan bertepuk tangan.
            “Juara kedua dengan nilai  tiga ratus sembilan belas diraih oleh blok F”, suasana kembali gaduh.
            “Terakhir, juara pertama dengan nilai tiga ratus delapan puluh lima diraih oleh blok..... Blok mana kira-kira?” juri berteka-teki. Suasana menjadi hening.
            “Blo E....” terdengar lirih suara warga berguman.
            “Baiklah, juara pertama dengan nilai tiga ratus delapan puluh lima diraih oleh blok E”, keheningan seketika terpecah oleh ledakan sorak sorai dan tepuk tangan, khususnya dari warga blok E. Sebagaian warga yang sportif ikut bertepuk tangan dan tertawa, akan tetapi ada pula yang bersungut, merasa tidak senang, karena iri dan kalah. “Sampai di sini pengumuman para pemenang, sekali lagi keputusan dewan juri tidak bisa diganggu gugat. Terima kasih”.
            Tak lama kemudian pertemuan itupun selesai, panitia dies natalis mengantar dewan juri kembali hingga di depan pintu pagar dengan segala ucapan terima kasih. Warga blok E kembali berkumpul merayakan kemenangan, mereka memasak super mie hingga satu mangkuk besar dan menyantapnya bersama-sama. Relina, si warga baru secara perlahan-lahan mulai melarut di dalam kebersamaan kehidupan asrama.
            Sementara kegiatan dan perlombaan lain terus menyusul sesuai dengan agenda yang telah dijadwalkan. Rangkaian kegiatan ditutup dengan malam kesenian yang dihadiri oleh rektor dan ibu serta undangan lainnya. Akhirnya panitia menyelenggarakan evaluasi untuk mempertanggungjawabkan seluruh mandat yang telah diberikan.
            Demikian kehidupan di dalam asrama terus berlanjut, aktivitas utama warga adalah belajar, sementara bermacam kegiatan khususnya dalam rangka merayakan hari wisuda, dies natalis, penerimaan warga baru, kegiatan keagamaan yang melibatkan pula kehadiran dari asrama putra mewarnai sekaligus menguji kreativitas dan kemampuan warga dalam mengapresiasikan kelebihan di luar kesanggupan mengejar ijasah sarjana. Tanpa adanya kegiatan semacam itu suasana asrama akan mati, hubungan antara warga akan renggang dan masing-masing individu akan bersikap apatis.
            Seperti halnya warga yang lain Dita menjalani hari demi hari dengan satu tujuan utama, menyelesaikan studi. Dita adalah calon sarjana pertanian jurusan sosial ekonomi, ia telah menjalani delapan puluh prosen dari proses belajar. Ada dua hal yang harus ia kerjakan, yaitu mengikuti Kuliah Kerja Nyata dan menyelesaikan skripsi dengan proposal yang telah disetujui. Dita mahasiswa yang pintar, ia tak mengalami persoalan dalam urusan belajar. Dosen pembimbing menyayangi, membuka waktu dan dukungan bagi penulisan skripsi.
            Skripsi seringkali menjadi “hantu” bagi sementara mahasiswa, sehingga ada di antara mereka yang menyerah, gagal meraih gelar sarjana setelah bertahun mondar-mandir ke kampus hingga jenuh rasa hati. Dita tak mengalami masalah untuk yang satu ini, persoalan skripsi baginya hanya soal waktu, ia akan segera merampungkan dan mendapat nilai A setelah Kuliah Kerja Nyata. Semalam Dita “wayangan” belajar semalam suntuk untuk persiapan ujian semester yang terakhir. Ia kembali dari kampus dalam keadaan lelah, namun gembira, karena seluruh soal dapat dikerjakan dengan baik, ia tak akan mendapat nilai C. Rasa lelah membuat Dita kelaparan, setelah ia menyantap hidangan makan siang di ruang makan, rasa mengantukpun datang.
            Beberapa saat setelah meletakkan tas kuliah dan mengganti pakaian dengan daster Ditapun terlena, gadis itu tertidur sedemikian lelap, hingga tak terasa suasana terang telah berubah menjadi gelap. Relina pergi kuliah sore dan langsung pergi ke bioskop untuk menonton artis aksi kesayangannya, ia baru akan kembali pada malam hari. Dita terjaga dalam kekagetan ketika tiba-tiba ia melihat bayangan bocah laki-laki tengah memperhatikan seisi kamar dan menatap dirinya berlama-lama. Sejenak Dita gagal meraih seluruh kesadarannya, iapun berteriak dengan kalap,”Hei....!! kamu hantu atau manusia??!!”
            “Saya manusia....!!” bocah kecil itu rupanya tak kalah kaget dari Dita, ia tak menyangka, bahwa seorang yang tengah tertidur pulas dapat terjaga dan menjerit dengan kalap secara tiba-tiba. Bocah itupun berlari pontang-panting, rupanya ia takut ditangkap dan diinterogasi. Warga asrama putri terkenal galak dan cerewet, ia tak berani mengambil resiko.
            Dita terpaku, ia memerlukan beberapa menit untuk menyadari keberadaannya, ruangan di dalam kamar telah berubah menjadi remang-remang, karena cahaya lampu yang suram. Dita beranjak dari tempat tidur, ia menekan sakelar yang terletak di dekat kusen pintu, sehingga ruangan di dalam kamar menjadi terang benderang. Gadis itu menyalakan pula lampu di koridor, kegelapan segera menepi. Suasana di dalam blok sunyi, berbeda dengan suasana ketika Murni masih ada. Murni amat gemar memasak dan berbelanja makanan, ia tak pernah kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan, karena Murni tak pernah menikmati masakannya seorang diri. Ia akan memanggil seluruh warga atau sesiapapun yang ada untuk berkumpul makan bersama-sama.
            Dita meraih bubuk susu mencampurnya dengan gula dan coklat kemudian menyeduhnya dengan air panas yang disimpan di dalam termos. Air panas akan diisi setiap malam oleh tukang masak, termos-termos yang telah kosong dibawa turun ke dapur diletakkan pada sebuah meja besar. Pada pagi-pagi sekali termos yang kosong akan terisi kembali, ada tangan tukang masak yang bertanggung jawab atasnya.
            Gadis itu meneguk coklat susu pelan-pelan hingga gelas itupun kosong sudah. Dita menatap suasana gelap di depannya dengan segala harapan, ia anak seorang petani yang bertahan hidup dari hasil kebun. Dita tak pernah menyesal dengan takdir yang dijalani, ia mempunyai ayah ibu yang mengasihi, orang tua yang berpikir sederhana dan sadar terhadap segala sesuatu yang dimiliki dan yang tak mungkin dimiliki. Setiap bulan ibunda mengirim wesel dalam jumlah yang amat minim, Dita harus berhemat, ia dapat berjalan kaki untuk pergi ke kampus, jarak dari asrama ke kampus tidaklah jauh. Beruntung, ia memiliki otak yang cerdas, dosen pembimbing menawarinya sebagai asisten, hal itu berarti setelah skripsi lulus diuji ia tak akan susah lagi mencari pekerjaan. Peluang sebagai dosen telah tergenggam di tangan. Dita rajin menulis artikel di surat kabar, sungguhpun ia seorang calon sarjana pertanian, akan tetapi perhatiannya tak pernah luput dari situasi nasional yang terus berubah-ubah. Honor yang diterima dari media masa berkaitan dengan tulisannya dipergunakan sehemat mungkin, ia pasti memerlukan lebih dari sekedar biaya untuk dapat menyelesaikan skripsi dan mendanai KKN. Orang tua tak akan dapat memberinya lebih dari uang saku yang diberikan setiap bulan.
            Dita menikmati kesendirian di dalam koridor, ia tak terlalu senang bergabung dengan warga asrama dari blok lain. Segala tindak tanduk selalu dicurigai, ia bergaul dengan siapapun tanpa membedakan suku, agama, dan golongan. Ia sangat bersahabat dengan Murni, seorang Katholik yang taat hingga ke tulang sumsum, ia juga hadir pada serangkaian acara yang diselenggarakan warga Nasrani dalam merayakan Natal. Ia dipersilakan makan dengan hormat dengan informasi yang baik, hidangan mana yang halal dan hidangan mana yang tak bisa disentuh. Ia tetap seorang muslim sungguhpun berada di tengah-tengah umat Nasrani.
            Akan tetapi, sebagian mulut usil berbisik-bisik, bahwa ia cenderung menjadi Kristen dan berniat untuk berpindah agama. Warga dari blok lain yang berkunjung ke kamar untuk segala maksud selalu diawasi, Dita tersinggung. Agama adalah urusan manusia dengan Tuhan, bukan antara manusia dengan mulut usil yang lainnya. Ia mendirikan sembahyang lima waktu sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban, bukan ketakutan terhadap anggota komunitas, bahwa ia tak menjadi Islam dengan betul.
            Lambat laun kecurigaan dari mulut-mulut usil itu tak pernah tebukti, Dita tetap bersahabat dengan siapapun warga yang mengulurkan persahabatan. Meski mulut-mulut usil itu tak lagi bicara, tetapi Dita membatasi diri, ia mengambil hak sebagai mahasiswa untuk menempati bangunan ini, ia memiliki syarat untuk itu. Selebihnya ia berkonsentrasi untuk belajar, langkah untuk meraih gelar sarjana dan merintis karir sebagai dosen tinggal sejengkal. Mengingat akan hal ini Dita tersenyum, ia mempunyai sebuah cita-cita, mendanai kedua orang tuanya pergi ke Tanah Suci. Dita mengerti, betapa rindu ibu bapaknya akan hal ini.
            Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam, tetapi aneh Dita dan seluruh warga lainnya tak mendengar suara gong dipukul. Tamu-tamu yang datang berkunjung keasyikan bercakap-cakap dan baru meninggalkan ruangan menjelang pukul sembilan malam dengan teguran keras dari pengurus. Pak Badi, penjaga malam terlupa menutup pintu dan jendela ruang tamu. Keesokan paginya keributan kecil terjadi, pengurus asrama kebingungan, gong yang biasa dipukul sebagai tanda jam tenang tak lagi tergantung pada tempatnya, di dekat pembaringan penjaga malam yang terletak di samping gudang makanan.
            “Bagaimana gong bisa menghilang?” Sunarti terheran-heran dengan peristiwa kecil ini, mengapa pencuri harus mengambil gong bukan benda berharga lainnya. Aneh, tetapi itulah kenyataannya. Dengan dibantu beberapa orang warga Sunarti berusaha mencari gong di seputar asrama, tetapi benda “antik” itu tetap tak ditemukan. Akhirnya mereka menyerah.
            Dari lantai atas Dita memandang dengan geli kejadian ini, ia juga heran, mengapa gong, benda yang tak ada harganya bisa dicuri. Siapa pelakunya, kecuali anak-anak yang iseng. Dita teringat pada bocah kecil yang memandanginya saat ia tengah tertidur lelap dan berlari ketakutan ketika bertanya, kau hantu atau manusia?  Seisi asrama tahu, bahwa bocah-bocah kecil yang sering bermain di seputar asrama, bahkan menggunakan lapangan volley untuk bermain sepak bola secara liar, acapkali melakukan pencurian kecil-kecilan seperti pot bunga atau segala benda yang tergetak di atas meja. Kemungkinan besar bocah itu pelakunya, untuk apa bocah kecil mengawasi warga asrama tertidur kalau bukan untuk berniat jahat. Tapi bagaimana pula gong itu bisa diperoleh kembali, identitas bocah kecil itupun tak diketahui.
            “Pak Badi, apa gunanya menjadi penjaga malam, kalau gong saja bisa hilang?” Dita bertanya kepada penjaga malam yang tengah duduk asyik mengisap rokok di ruang administrasi. Dita mengira penjaga malam itu akan menjadi tersipu-sipu, karena keteledorannya, tetapi ternyata tidak.
            “Lha wong yang hilang cuma gong, mengapa harus bingung? Yang penting bukan mbak Dita saja yang dicuri. Barang itu sudah waktunya berpindah tempat, nanti ada gantinya”, dengan santai pak Badi tetap menghisap rokok, ia tahu warga asrama akan terus bertanya perihal gong yang hilang. Ia telah belasan tahun menjadi penjaga malam di tempat ini dan mengenali hampir seluruh perangai warga. Dita termasuk warga yang ramah dan dapat menghormati siapapun yang berada di lingkungan asrama ini. Bermacam kejadian telah terpatri, ia adalah saksi hidup bagi segala perubahan yang pernah dan akan terjadi di dalam asrama. Selama ini tak pernah ada peristiwa yang benar-benar berbahaya. Kalau hanya sebutir gong menghilang, apalah masalahnya?
            Dita tahu, ia tak perlu bersilat lidah dengan penjaga malam yang satu ini, ia harus bergegas ke ruang makan, membaca koran pagi, sarapan dengan menu apa adanya. Ia harus membaca buku-buku tebal yang telah ia pinjam dari perputakaan untuk menyelesaikan skripsi. Hari ini tak ada agenda di kampus, sekarang hari Sabtu beberapa jam lagi akan datang malam Minggu, Firman akan datang berkunjung, ia sudah berjanji untuk pergi menonton pertunjukkan teater di Gedung Kesenian.
            Firman mahasiswa S2 pada jurusan arsitektur, mereka telah berjanji untuk memasuki jenjang perkawinan setelah kuliah Dita selesai. Mereka telah memiliki ketetapan hati, keduanya memiliki bobot kesibukan yang sama. Pada hari-hari biasa keduanya menyelesaikan segala urusan di kampus, pada Sabtu malam Minggu atau pada hari-hari libur mereka baru bertemu. Baik Dita maupun Firman tak berani bertaruh untuk bermain-main dengan waktu.
            Setelah meletakkan piring kotor di meja, Dita bergegas kembali ke kamar. Gadis itu mengenakan rok span berwarna ungu dengan blouse longgar putih tulang dari kain katun. Peraturan asrama tidak mengijinkan warga menyantap menu di ruang makan dengan mengenakan celana pendek atau dalam keadaan wajah dilumuri masker. Ruang makan sekaligus adalah tempat untuk berkomunikasi dan menjalin keakraban antara sesama warga, penampilan yang santun ditetapkan untuk membangun komunikasi.
            Menjelang akhir pekan wajah Dita tampak cerah, ia telah memanfaatakan satu minggu penuh untuk menekuni literatur, mengikuti ujian, dan “wayangan” untuk mendapatkan hasil terbaik. Nanti malam akan tiba saatnya untuk rileks,  ia masih memiliki beberapa jam untuk membaca buku di dalam kamar, dan gadis itu melakukannya dengan tekun. Relina telah membenahi seisi kamar dan koridor kemudian keluar dari kamar mandi dalam keadaan segar ketika Dita mulai tekun membaca.
            Relina mulai beraktivitas di depan kaca, mengoleskan susu pembersih, menyekanya dengan selembar tisu, mengoleskan penyegar, pelembab, alas bedak, dan mulai memulas wajah dengan bedak padat. Ia memoles kaki dan lengannya dengan hand body lotion, menyisir rambut, berlama-lama mematut diri di depan cermin kemudian menyeduh sirup diet. Berat badannya tampak mekar beberapa kilo, pakaian yang dikenakannya terasa sesak, ia menjadi tidak nyaman dengan penampilannya.
            Sementara Dita tekun membaca, Relina tampak berjalan mondar-mandir dengan segelas sirup di tangan, duduk santai tanpa mengerjakan apapun. Telah berulang kali Dita mendapai Relina tengah duduk melamun dengan pandangan kosong, gadis itu mungkin mengkhayal, berandai-andai, mungkin menyesal, atau entahlah, yang jelas Dita berkesimpulan Relina memiliki persoalan yang tak dapat diselesaikan. Atau Relina tengah “bermimpi”. Di balik keangkuhan pada prinsipnya Re menyimpan jiwa yang rapuh, Dita hapal segala hal yang dilakukan gadis itu dari pagi hingga pagi berikutnya. Salahkah kalau ia memberi masukan?
            “Maaf Re, aku hampir tak pernah melihatmu belajar dengan tekun, kau lebih sering menghabiskan waktu dengan duduk termenung.  Kesempatan hanya datang sekali, jarum jam tak dapat diputar undur ke belakang. Lebih baik kita terbangun dan menghadapi kenyataan betapapun buruknya dari pada tertidur dan bermimpi betapapun indahnya”, sejenak Dita menghentikan ketekunan membaca dan bersuara.
            Relina terkesima dengan kata-kata itu, ia seakan terjaga dari sekalian khayalan yang secara perlahan, tapi pasti menipunya. Relina tahu betapa tekun Dita mempersiapkan setiap tugas dan ujian, gadis itu sadar ia memang lebih sering menghabiskan waktu mengandai-andai. Tentu, Dita tak pernah tahu duduk persoalan yang sebenarnya, ia memang tak perlu tahu. Segala jejak yang membawa langkah kakinya ke tempat ini telah menjadi sebuat catatan rahasia yang tak perlu diketahui siapapun, karena hal itu tidak akan mengubah apapun.
            Akan tetapi, bukankah Dita memberikan nasehat yang arir? Nasehat yang amat rasionil supaya ia dapat bersikap realistis sekaligus mencari solusi bagi setiap persoalan yang dihadapi. “Terima kasih nasehatnya, saya akan mencoba”.
            Hari-hari selanjutnya Dita mulai sering melihat Relina membaca buku atau mengerjakan paper dengan bersungguh-sungguh. Sesekali Re tampak membaca fiksi, pergi seharian untuk berekreasi, akan tetapi kesungguhan belajarnya tidak menghilang. Re ternyata tidak seangkuh seperti yang pernah ia bayangkan, penampilan seseorang tidak seluruhnya mencerminkan isi hatinya. Re amat gemar berbelanja makanan ringan, gadis itu tak menghabiskannya sendiri, ia selalu berbagi. Sementara kamar ini menjadi lebih rapi dan mengkilat. Mereka tampaknya mulai dapat saling menyesuaikan diri. Tetapi ....
                                                           ***
            Dita tengah mengepak segala perlengkapan untuk keperluan KKN, ia mendapat lokasi di sebuah desa pertanian, di sebuah kaki gunung antara Yogya-Temanggung. Ia akan turun langsung ke lapangan dan mendapatkan pengalamn baru yang menyenangkan. Rombongan akan berangkat dengan mengendarai bus pada pukul 15.00 WIB, sekarang pukul 11,17. Ia masih memiliki beberapa jam dan berakrab-akrab dengan Firman sebelum keberangkatan. KKN akan berlangsung selama tiga bulan, ia hanya memiliki ijin untuk kembali ke kampus dua kali dalam rangka administrasi dengan bagian tata usaha. Selebihnya ia harus menahan diri untuk tidak bertemu dengan Firman.
            Seluruh perlengkapan hampir siap, tetapi Dita memerlukan satu benda, spidol untuk menulis nama, supaya barang-barangnya tidak tertukar dengan mahasiswa lainnya. Ia tak memiliki alat tulis itu, tetapi ia pernah melihat di meja belajar Relina. Dita mulai mencari-cari, meja belajar Relina dilapisi kaca dengan rangkaian foto dan gambar ditata artistik di bagian bawahnya. Seluruh buku catatan, lieratur, paper, kosmetik, dan segala pernik antik tertata rapi pada tempatnya. Tetapi spidol itu tak mudah ditemukan, Dita terus mencari-cari, perhatiannya tiba-tiba terpaku pada sebuah buku agenda bersampul kulit dengan bis keemasan pada bagian tepinya. Agenda itu tampak elegan, sehelai pita berwarna keemasan terjulur keluar dari halaman buku. Dita tak pernah melihat Relina menekuni buku itu, ada suatu dorongan tak terkendali yang memerintah tangan gadis itu meraih buku. Wajah gadis itu tampak seakan tengah bertanya-tanya ketika ia mulai membuka sampul pertama. Sederet kalimat tergores dengan rapi, Dita tahu itu tulisan tangan Relina:

            Aku tak pernah mampu melupakan, kecuali bila kehilangan ingatan. Masa itu telah membatu menjadi kepingan. Seandanya aku dapat memungutinya kembali....

            Kening Dita berkerut dengan kalimat itu. Ia terpancing untuk membuka lembar berikutnya. Maka tangannya kembali bergerak membuka halaman buku yang tipis bergaris halus.

22 Mei
Aku tak pernah dapat melupakan wajah ibu, wajah yang hanya dapat kukenal pada selembar kertas foto hitam putih yang semakin hari semakin buram. Semakin aku berusaha melupakan semakin aku teringat. Aku tak pernah mengerti sebab apa ayah membawaku pergi meninggalkan ibu yang melahirkanku. Setiap kali aku bertanya, wajah ayah berubah menjadi sekeras batu, aku ketakutan. Aku pernah merasakan tangan ayah yang kekar mendarat dengan keras di pipiku. Rasa takut melebihi kesakitan yang menyengat, aku terjebak dalam sebuah teka-teki, tapi aku sadar aku tak akan pernah berhak akan sebuah jawaban.Akhirnya aku memilih diam.

            Dita tertegun, deretan kalimat itu membuat kepalanya seakan disengat sekawanan lebah. Ia tak pernah menduga seperti ini masa lalu Relina, gadis itu selalu menutup diri. Rupanya ia memiliki “kawan” akrab untuk berbicara. Dita tak bisa menahan diri untuk tidak membaca catatan berikutnya, Relina memiliki kemampuan menulis yang mempesonakan.

24 Mei
Aku selalu berusaha menyayangi Maya, adik perempuan yang dilahirkan istri ayahku. Maya bertumbuh menjadi gadis cantik, cerdas dengan dilumuri segala kasih sayang kedua orang tua. Aku tak pernah punya alasan untuk membenci Maya, karena gadis itu juga anak kandung ayahku. Akan tetapi, setiap kulihat ia bermanja-manja pada ayah dan ibu, aku merasa tersisih. Maya mendapatkan segala kehangatan di dalam keluarga, satu hal yang telah hilang secara mutlak sejak masa kecilku. Maya tak pernah canggung berhadapan dalam situasi apapun dengan ayah dan ibu. Akan tetapi, aku adalah anak tiri dari ibu kandung Maya. Ada jurang yang semakin hari menganga semakin dalam, jarak yang pada akhirnya berubah menjadi kebencian.

3 Juni
Sungguhpun seorang ibu tiri, tetapi aku memiliki ibu tiri yang baik, ia selalu mengirim uang saku yang cukup dan uang kuliah tepat pada waktunya. Aku tak perlu mengeluh untuk hal yang satu ini. Ibu tiriku adalah seorang wanita yang sangat cantik, ia selalu berpenampilan layaknya ibu pejabat pada sebuah pertemuan resmi. Seharusnya ayah berbangga dengan memiliki istri seperti ibu. Disamping pandai berhias, ibu juga pandai memasak dan merawat rumah. Rumahku mungil dan tertata dengan rapi, ibu dan Maya rajin pula bertanam bunga. Ibu juga berbisnis perhiasan kemudian mengelola keuangan dengan baik. Apa yang tidak dimiliki ibuku atau ibu tiriku?
Hari ini ayah dan ibu bertengkar hebat, aku tak tahu dari mana perselisihan ini berasal, tetapi sempat kudengar teriakan ibu, bahwa ayah memiliki hubungan gelap dengan seorang perempuan yang berkelakuan tidak baik, mungkin ia seorang wanita tuna susila. Ibu tidak menangis, ia menumpahkan kemarahan secara dramatis seakan ia tengah berakting di atas panggung teater. Di dalam kamar aku duduk menggigil bersama Maya, kami ketakutan dan menangis diam-diam.

10 Juni
Sudah lebih satu minggu suasana di dalam rumah tegang, ibu memilih diam, wajahnya yang cantik tampak murung dan kesakitan. Aku menunjukkan simpati kepada ibu dengan cara membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, memasak, mencuci piring, mencuci lantai, merawat tanaman, dan memijit tubuhnya. Sebenarnya aku datang berlibur untuk mencari ketenangan, hidup sebagai anak kost ternyata tidak semudah seperti yang pernah kubayangkan. Akan tetapi suasana yang kudapatkan di dalam rumah justru sebaliknya. Aku menduga-duga, barangkali karena alasan semacam inikah ayah berpisah dari ibu kandungku dan membawaku pergi bersamanya?
Dan ibu tiriku adalah seorang wanita yang tegar, ia mampu menghadapi pengkhianatan ayah dengan akal sehatnya. Teguran dan pertengkaran hebat tak bisa dihindarkan. Ibu memberi tawaran, ayah mau memilih wanita tuna susila itu atau ibu? Aku tahu, ayah mati kutu.

17 Juni
Setelah menimbang, berfikir, dan merenung akhirnya aku memutuskan hubunganku dengan Hendra. Pada hari-hari pertama aku memang merasa begitu sunyi, Hendra telah menyusup cukup dalam dan mewarnai seluruh hari-hariku. Akan tetapi, Hendra tetap produk karakter dari cultur timur, cultur patriakhi, cultur yang menempatkan laki-laki sebagai tokoh sedangkah seorang perempuan hanyalah penyerta. Hendra selalu bersikap bak seorang raja sedangkan aku hanyalah pelayannya. Kedudukanku dan Hendra sama-sama mahasiswa, kami mempunyai status, posisi, dan masa depan yang sama. Tak adil Hendra berlaku seperti itu. Dengan gigih ia selalu menekan supaya aku dapat menjadi piribadi seperti yang ia bayangkan –sosok seorang selebritis mungkin—akan tetapi, aku tengah berjuang untuk mencari jati diri. Aku ingin menjadi diriku sendiri!

25 Juni
Aku menolak untuk mengikuti ceramah perkawinan yang diselenggarakan di aula kampus. Bagiku perkawinan hanyalah sebuah cermin retak, wajah dan seluruh penampilanku akan terbelah ketika harus berkaca di depannya. Pengalaman telah mengajarkan tentang itu. Aku tak bermimpi lagi tentang pesta pengantin dengan gaun putih yang sangat indah. Aku hanya akan menjalani hidup ini secara apa adanya, entah takdir akan membawa langkah kaki ke mana, toh Tuhan tetap bertahta di atas sana....  

3 Juli
Kehidupan di asrama ini sangat unik dan aneh, sebagai warga baru aku dan kawan-kawan seangkatan sering diperlakukan seperti mahkluk aneh dari planet lain. Sebenarnya apa yang aneh, kecuali bahwa kami adalah pribadi yang belum dikenal dengan baik....

            Dita seakan tenggelam dalam sebuah pengakuan murni tentang kehidupan seseorang yang dipenuhi misteri, ia bermaksud terus menyelam ke dalam misteri itu, tetapi gendang telinganya menangkap sebuah gerakan. Bayangan manusia berkelebat masuk ke dalam kamar tanpa permisi, karena ruangan ini memang tempat tinggalnya. Jantung Dita seakan berhenti berdetak ketika ia bertatapan dengan sepasang mata Relina. Dita merasakan kilatan mata lembing membenam tepat di ulu hati, raut wajah Relina adalah expresi kemarahan yang tak tertahankan.
            Dita terpengarah, ia adalah seorang pencuri yang tertangkap basah, ia menyesali kelancangan telah memasuki sebuah wilayah yang paling pribadi dari seorang yang memiliki hak akan asazi. Catatan harian adalah bagian paling rahasia dari seorang individu yang tak boleh dijamah siapapun, sungguhpun ia seorang senior di asrama dan Relina hanyalah seorang warga baru. Akan tetapi, penyesalan tak pernah datang pada saat yang tepat.
            Di lain pihak, Relina merasa banjir lahar kawah berleleran melumuri wajahnya ketika ia mendapati Dita dengan lancang tengah membaca catatan harian tanpa seijinnya. Kalaulah Dita meminta ijin membaca catatan itu, maka ia tak akan pernah mengijinkan. Ia tak akan pernah membiarkan sesiapapun mengobrak abrik wilayah pribadinya. Relina tahu ada saatnya ia harus dapat memaafkan orang lain, tetapi ada pula waktu untuk memberi pelajaran.
            Gadis itu sadar dengan sepenuhnya ketika ia mengangkat tangan tinggi-tinggi kemudian mendaratakan sebuah tamparan keras tepat di pipi Dita. Relina melakukan hal ini dengan seluruh keyakinannya, ia tak akan membiarkan seorangpun menghina kehidupan pribadinya. Tak seorangpun!
            “Plakkk!!!”
            Dita terpekik, ia memegangi pipi yang terasa panas dan pedih, ia tak pernah menyangka Relina akan dapat berbuat seperti ini. Tak pernah ada catatan warga baru dapat melakukan tindak kekerasan terhadap seniornya. Akan tetapi, bagaimana Dita dapat memberikan pembelaan diri, ia memulai kesalahan, ia telah bertindak melampuai batas ketersinggungan. Dan Relina dengan sangat yakin memintanya untuk menebus kesalahan.
            Relina mengira Dita akan membalasnya dengan sebuah gamparan, ia telah bersiap bagi segala kemungkinan. Akan tetapi, Dita hanya merunduk, ia bersimpuh, terisak, kemudian berlalu pergi meninggalkan kamar. Relina tak pernah bertanya-tanya kemana Dita pergi, ia memang tak harus bertanya.
            Gadis itu meraih kembali buku harian yang telah ia letakkan dengan ceroboh di atas meja. Ia selalu menulis catatan sehari-hari dalam kesendirian kemudian mengunci buku ini di dalam laci. Akan tetapi, manusia tetap saja lengah, ia tergesa turun ke ruang tamu bagi sebuah panggilan dari seorang teman kuliah. Ia terlupa pada buku pribadi itu, akhirnya dengan lancang Dita membacanya. Apa yang telah diketahui oleh gadis itu? Dita terlalu lancang!
            Relina memutuskan pergi ke Malioboro untuk membuang kejengkelan, kemudian ia pergi mengelilingi kota tanpa tujuan pasti dan kembali pada larut malam setelah Dita pergi dan suasana kamar menjadi sunyi. Sekali lagi ia harus kembali dicengkeram dengan perasaan yang bernama kebencian! Relina mengira Dita akan melaporkan kejadian ini pada pengurus asrama, ia akan mendapatkan teguran sekaligus peringatan. Akan tetapi, ternyata tak ada seorangpun di asrama yang tahu perihal insiden yang terjadi di dalam kamar beberapa jam sebelum Dita pergi KKN. Untuk sementara dinding-dinding asrama terbungkam. Relina memerlukan beberapa hari untuk menenangkan diri ia harus kembali berkonsentrasi dengan tugas-tugas kuliah dan kegiatan rutin asrama yang tak pernah putus dari bulan ke bulan.
            Selama tiga bulan Dita tenggelam dalam kesibukan KKN, ia tak pernah kembali ke asrama. Ketika KKN berakhir dan gadis itu berpulang ke tempat semula, Relina tengah mengikuti kuliah lapangan di Lampung, mereka tak pernah bersua. Dita masih merasa gamang dengan insiden yang terjadi antara ia dan Re, ia bersumpah tak akan menceritakan kejadian ini kepada siapapun, karena cerita itu hanya akan mentertawakan ketololannya.
            Akhirnya ketika Relina kembali dari kuliah lapangan, ia tertegun. Gadis itu mendapati kamar Dita dalam keadaan kosong, tak ada selembar benangpun yang tersisa pada meja, pembaringan, almari serta dinding di sudut ruangannya. Apa yang telah berlaku? Kemana Dita berada? Relina tak lama mengalami keheranan, karena Soraya segera datang. “Maaf Re, ada pesan dari mbak Dita, ia pamit mendadak. Sepulang dari KKN ayah Mas Firman meninggal, permintaan terakhir sebelum kematian itu adalah pernikahan bagi Firman, anak tunggalknya. Sebab itu Mbak Dita menikah mendadak di depan jenazah, ada undangan lisan dan ada undangan resmi. Beberapa orang warga datang mewakili. Setelah menikah, praktis warga harus meninggalkan asrama, Mas Firman hanya tunggu wisuda, ia mendapatkan pekerjaan di Tangerang, mbak Dita ikut serta. Ia hanya tinggal menyelesaikan skripsi dan bisa dikerjakan melalui konsultasi. Sekarang mbak Dita ada di Tangerang, ia tak dapat menghubungimu, karena tidak tahu nomor telepon mana yang bisa dihubungi untuk berpamit denganmu”.
            Kata-kata itu singkat dan cepat, tetapi bagi Re, makna kalimat itu telah berubah seakan mimpi. Saat terakhir bertemu dengan Dita adalah ketika ia melayangkan tangan dengan keras tepat pada belahan pipinya, ia tak berpikir panjang akan dampak dari perbuatannya, ia emosional, ia kehilangan kontrol. Tiga bulan berpisah dengan Dita pada masa KKN ternyata juga tak pernah meredakan kemarahannya, ia tetap membayangkan wajah Dita dengan kebencian meletup pada puncaknya. Kini, orang yang dibencinya berpamit pergi tanpa sepatah kata, karena kesibukan masing-masing. Relina tak pernah tahu, apakah suatu saat ia akan dapat bersua dengan Dita? Adakah ia akan tetap membencinya?
            Masih terngiang di telinga Relina kata-kata Dita, “....lebih baik engkau terjaga menghadapi kenyataan betapapun buruknya dari pada tertidur dan bermimpi betapapun indahnya....” mulut yang merangkai kata-kata indah itu kini telah ikut pula berlalu pergi bersama sang pribadi. Relina merasa napasnya sesak, kehidupan berubah dengan cepat seperi pusaran angin beliung.
            “Re, kau dengar kata-kataku?” Soraya tampak keheranan, ia tak tahu dan tak akan pernah tahu, pikiran berat yang tengah berkecamuk di dalam pikiran Relina.

                                                                   ***

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...