Setiap tiga bulan sekali, pada tanggal 19 Universitas
menyelenggarakan momen besar, peristiwa ketika lebih dari seribu
mahasiswa berhasilkan menyelesaikan studi, dikukuhkan sebagai sarjana
dalam upacara wisuda. Kali ini tiga dari lebih seribu wisudawan dan
wisudawati berasal dari asrama putri, warga yang berhasil menyelesaikan
studi yaitu, Murni dari jurusan ilmu hukum, Sartika dari Farmasi, dan
Hana dari kedokteran.
Asrama terbangun pada pagi buta dalam
suasana yang lebih ceria, tiga orang wisudawati telah berkemas pergi ke
salon untuk mengubah penampilan dengan sanggul bergaya Yogya, tata rias
yang lembut, kain kebaya serta jubah hitam, dan topi sarjana yang
sekaligus menjadi lambang keberhasilan studi. Seksi tata asrama tak
kalah sibuk, warga yang bertugas pada seksi ini berkewajiban membeli
bunga hidup pada pasar bunga yang terletak di dekat Malioboro, seputar
hotel Garuda. Aneka bunga segar warna warni, gladiol, aster, aronsklik,
krisan, anggrek, dahlia, lily, anyelir ditata secara artistik pada
jambangan bunga dan diletakkan pada setiap meja di ruang tamu. Biaya
pembelian bunga dicairkan dari iuran warga yang dipotong secara langsung
dari uang bulanan dan dikumpulkan oleh bendahara.
Sementara komisaris blok melakukan hal serupa bagi
warga blok yang tengah diwisuda. Relina membantu Soraya membeli bunga
dengan bergoncengan mengendarai sepeda motor pada pagi hari sebelum
Murni bersiap pergi ke balairung bagi upacara yang penuh kebanggaan itu.
Mereka bersepakat membeli anggrek berwarna ungu dengan asparagus
kemudian merangkainya pada sebuah jambangan keramik dengan motif putri
Cina dan tugu Pagoda. Secarik kerta sbertuliskan ucapan selamat atas
nama blok E disematkan pada rangkaian bunga. Kedua gadis itu juga
membersihkan seluruh isi kamar, sehingga bunga itu tampak anggun ketika
Murni tiba kembali dari salon dengan toga hitam pekat melapisi kain
kebaya berwarna merah darah. Seisi blok berteriak nyaring menyerbu Murni
hingga gadis itu menjadi kewalahan.
Suasana serupa terjadi di blok tempat Sartika dan
Hana tinggal, seluruh warga menghambur keluar dari kamar menyoraki calon
sarjana yang telah siap diwisuda, sehingga calon wisudawati itu menjadi
tersipu-sipu. Fotografer amatir telah siap dengan camera di tangan
mengabadikan momen itu, suasana bertambah ramai, karena seluruh warga
menonton sang calon wisudawati menjadi model secara tiba-tiba.
Keramaian berakhir ketika tiga calon sarjana telah
pergi meninggalkan asrama bersama keluarga dan para pendamping menuju ke
balairung. Pihak universitas mengirimkan dua krans bunga sebagai ucapan
selamat bagi warga yang siap diwisuda. Kiriman krans bunga dalam
rangkaian bambu yang dijalin secara artistik rutin dikirim setiap hari
wisuda, suasana ruang tamu bertambah semarak. Upacara winisuda
berlangsung dari pagi hingga tengah hari, sesaat setelah acara selesai
dan para sarjana baru diijinkan untuk meninggalkan tempat, maka suasana
di seputar kampus menjadi gegap gempita. Senyum cerah dan keberhasilan
bertebaran di setiap sudut yang dibayangi oleh gelap jubah sarjana.
Suasana asrama tak kalah seru dengan suasana di
seputar kampus, kehadiran warga yang telah dikukuhkan sebagai sarjana
memancing keramaian dari seluruh warga terlebih bagi warga yang
berhubungan secara akrab. Murni, Sartika, dan Hana datang nyaris
bersamaan, seorang warga memanggil warga-warga dari seluruh blok untuk
turun ke ruang tamu dan bergambar bersama. Pada hari wisuda jam tenang
tidak berlaku, suara gong satu kali tetap terdengar, tetapi pintu ruang
tamu tetap terbuka hingga pukul 22.00 WIB. Pihak keluarga wisudawati
dapat berisitirahat di ruang tamu dan beramah tamah dengan warga asrama.
Acara wisuda di balairung akhirnya diteruskan dengan
syukuran wisuda di lingkungan asrama. Pengurus asrama berkumpul dengan
wisudawan untuk menentukan hari syukuran kemudian masing-masing seksi
kembali bekerja seperti yang telah terjadi setiap tiga bulan selama
bertahun-tahun. Koordinator seksi tata asrama, memasang dekorasi di
aula, mempersiapkan protokol untuk memandu acara, memanfaatakan jasa
fotografer, dan mempersiapkan segala perlengkapan pesta bersama seksi
perlengkapan. Sementara koordinator seksi keputrian menyusun menu yang
bakal dihidangkan, mengerahkan anggota dan warga baru untuk memasak
beramai-ramai di dapur. Warga baru harus berlatih mempersiapkan atraksi
untuk menghibur sekalian tamu pada saat istirahat. Para wisudawati
mengundang rekan dan handai tolan termasuk kawan-kawan baik dari asrama
putra pada almamater yang sama. Seisi asrama menjadi sibuk dengan tugas
masing-masing tanpa kecuali.
Malam itu, aula telah disulap menjadi ruang perjamuan
dengan dekorasi menarik dari tangan-tangan kreatif. Selembar kain
berukuran raksasa menutup hampir keseluruhan dinding menjadi latar
belakang mimbar dari meja berkaki pendek dengan karpet warna senada.
Krans bunga diletakkan pada kiri kanan meja, tikar-tikar dibentangkan
membentuk huruf U, saund system telah disiapkan pula.
Murni menatap wajah dan seluruh penampilan diri di
muka cermin, ia telah menikmati saat-saat bahagia setelah delapan tahun
lamanya bergelut dengan bangku kuliah, melewati saat-saat sulit dan
membosankan, sehingga akhirnya aia dapat menjadi seperti yang
dicita-citakan. Ia telah mendapatkan ijazah sarjana dari sebuah
universitas yang menjadi kebanggaan negeri ini. Akan tetapi, usahanya
belumlah selesai, ia masih harus mengadu nasib pada sebuah persaingan
yang lebih sulit untuk mencapai kemandirian dan jati diri. Murni tak
perlu merasa berkecil hati untuk yang satu ini, ia akan kembali ke
Surabaya, kerabatnya akan memberikan bantuan dalam hal mendapatkan
pekerjaan.
Murni mengenakan rok panjang berlipit-lipit dari kain
batik berwarna kuning kunyit dengan motif burung merak yang cantik.
Bluose lengan panjang dengan leher Shang Hai berwarna gelap mengubah
keseluruhan penampilannya, Soraya membantu Murni merias wajah dan menata
rambut serta melengkapinya dengan asesoris yang sesuai dengan warna
pakaian. Dan malam ini Murni tampak seakan seorang artis yang bersiap
menghadiri malam gala.
Di dalam kamar Sartika dan Hana melakukan hal yang
sama dengan Murni, mereka tengah berhias dengan gaun pesta yang dijahit
secara khusus, merias wajah, menata rambut, memilih asesoris dan sepatu.
Ketiga wisudawati itu duduk berdampingan pada tempat yang telah
disediakan, mereka segera menjadi pusat perhatian. Warga asrama yang
lain melakukan hal serupa, mereka berusaha tampil secantik yang bisa
dilakukan, meskipun tak jarang harus mengenakan barang pinjaman.
Wajah-wajah kusut yang pada hari Minggu pagi tampak terkekeh-kekeh di
seputar sumber air untuk mencuci pakaian, malam ini mengubah penampilan
layaknya kepompong menjadi kupu-kupu. Tamu undangan dari kalangan
mahasiswa tak pernah berhenti melirik, pada saat-saat seperti ini ada di
antara undangan yang terpesona selanjutnya mereka berusaha membangun
komunikasi, menjalin hubungan khusus pada jenjang yang lebih menentukan.
Suatu kehormatan bagi para wisudawati, bahwa rektor
beserta ibu berkenan hadir, beliau memang selalu hadir pada setiap acara
yang diselenggarakan asrama. Bapak rektor beserta ibu mengenakan
pakaian dari kain batik serupa, penampilannya sungguh bersahaja. Rektor
adalah seorang bapak yang mencintai seluruh mahasiswa, sebaliknya para
mahasiswa juga mencintai dedikasi kerja sang rektor. Tak ada kegiatan
mahasiswa yang tak mendapatkan dukungan dari rektor, baik secara moril
maupun materiil. Demikian pula dengan bermacam undangan dalam bentuk
yang paling megah hingga yang paliing sederhana, rektor tak pernah
melewatkan. Rektor beserta ibu tampil berwibawa pada setiap perjamuan
dengan protokoler dan hidangan istimewa, beliau juga tetap hadir
bersahaja bila mahasiswa menyelenggarakan acara dalam bentuk apa adanya,
tak ada masalah bila perjamuan diselenggarakan di sebuah dusun dengan
pincuk daun pisang sebagai alas tempat makan. Malam itu, ketiga
wisudawati dan seluruh warga asrama merasa tersanjung dengan kehadiran
rektor.
Acara dibuka oleh protokol, Tania warga blok G,
mahasiswa jurusan Psikologi dengan suara semerdu buluh perindu
dilanjutkan dengan sambutan Sunarti sebagai ketua asrama, rektor
memberikan ucapan selamat sekaligus sambutan, kemudian adik kamar dari
warga yang diwisuda membacakan riwayat singkat serta pengalaman selama
wisudawati tinggal di asrama. Sementara di belakang pintu warga baru
telah bersiap membawakan atraksi dalam bentuk opera tentang cerita
Sinderela dengan Elin sebagai tokoh utama, Ratna menjadi ibu tiri, Fifi
menjadi Drunela, Anik menjadi Barbeta, Inung menjadi pangeran, Myra dan
Amali menjadi pengawal, adapun Relina dan warga baru yang lainnya
menjadi tikus-tikus yang mengelilingi Sinderela.
Relina tahu ia dan kawan-kawan senasib sedang
“dikerjain”, tak pernah terbayangkan, bahwa suatu saat ia akan menjadi
tontotan rektor beserta segenap tamu undangan dalam bentuk binatang
tikus yang bersetia membela kisah sedih Sinderela. Relina bersama
tikus-tikus yang lain mengenakan celana panjang dan T shirt berwarna
putih, seluruh rambut ditutup dengan kain putih, tata rias wajah digores
secara tebal dengan kumis tikus dari goresan pensil alis yang
menggelikan. Relina tak berani berlama-lama memandang diri di depan
cermin, sementara ia harus bersandiwara dan memerankan diri sebagai
tokoh yang lain sama sekali. Apa boleh buat? Tugas warga baru pada
setiap syukuran wisuda atau malam dies natalis adalah menyelenggarakan
atraksi untuk menghibur sekalian tamu undangan.
Seksi konsumsi dibantu anggota telah menutup meja
dengan aneka hidangan yang menerbitkan selera, kue-kue basah yang lezat,
menu makan malam yang terdiri atas nasi putih, rendang daging sapi,
opor ayam, sup, kerupuk, dan cocktail sebagai hidangan penutup. Ketika
seluruh tamu mulai menyantap hidangan bersama, maka atraksipun dimulai
dengan penampilan Elin sebagai Sindera yang mendapat siksa secara terus
menerus dari ibu tiri, Drunela, dan Barbeta. Elin memiliki wajah yang
manis dengan kulit hitam, dan rambut ikal. Akting Elin yang lugu,
memukau, dan apa adanya telah memancing gelak tawa dari seisi ruangan.
Gelak tawa itu terus berlanjut dari episode ke episode, hingga akhirnya
hadir sang pangeran untuk mendapatkan seorang gadis yang memiliki ukuran
sepatu sama dengan sepatu yang tertinggal pada malam pesta dansa. Warga
baru telah berhasil menghibur wisudawati dan tamu undangan secara
memuaskan.
Acara syukuran wisuda di lingkungan asrama diteruskan
oleh masing-masing wisudawati pada syukuran di lingkungan blok. Murni
dibantu Dita, Soraya, dan warga yang lain telah memesan ayam eski di
depot makan Arek-arek Surabaya, ayam kecap dengan bumbu spesifik yang
resepnya dirahasiakan adalah menu favorit dari seluruh warga. Cita rasa
ayam bakar itu demikian istimewa, tanpa tambahan menu apapun lauk itu
sudah lebih dari sekedar cukup untuk membangkitkan selera. Murni memasak
pula super mie campur jamur, emping, dan agar-agar serta es sirup.
Tikar telah dibentangkan di tengah-tengah kamar,
hidangan telah siap, Soraya memimpin warga berdoa. Sesaat ketika seluruh
warga telah bergilirin menyendok hidangan, Relina menatap keluar pintu,
sekilas ia melihat seorang gadis berambut panjang bergaun putih
berjalan melintas koridor menuju ke arah aula. Langkah gadis itu seakan
mengambang tak menjejakkan kakinya ke lantai. Relina tak pernah
mengenali gadis seperti itu, ia seperti Inung, tetapi pasti bukan, Inung
tak pernah mengenakan gaun putih, ia pasti akan menoleh ke dalam kamar
bila melintas di depan pintu. Wujud itu bahkan tak tampak riel, lebih
mirip bayangan negatif film. Relina terdiam, ia teringat pada cerita
hantu yang selalu beredar dari mulut ke mulut, mungkin sosok tadi adalah
salah satu wujud dari cerita itu.
Acara makan bersama berlanjut hingga melewati jam
tenang, Relina harus mengemasi piring-piring kotor, membersihkan seisi
kamar, keesokan harinya seperti biasa ia mencuci piring, mangkuk, dan
gelas kotor. Pembersihan kamar dan seluruh perlengkapan makan sudah
menjadi hal biasa bagi Relina, ia tak pernah merasa keberatan. Murni dan
Dita tak banyak berkomentar dengan sikap Relina, mereka tak membenarkan
tidak pula menyalahkan. Setelah seisi kamar dan koridor bersih Relina
bersiap pergi ke kampus, ia tengah memersiapkan buku ketika beberapa
orang warga berdatangan ke kamar menemui Murni.
“Mbak Murni, mana pakaian buatku?”
“Buatku juga”.
Murni menjawab kata-kata itu dengan membagikan
pakaian pantas pakai yang tak akan dikenakan kembali. Ia memang telah
menyiapkan setumpuk pakaian bagi warga asrama yana akan ditinggalkan.
Tanda mata berupa pakaian pantas pakai dan benda-benda lainnya merupakan
simbol kasih sayang bagi warga asrama. Pakaian itu akan dikenakan
dengan rasa bangga, karena warga yang ditinggalkan mendapat perhatian
khusus dalam bentuk barang pribadi milik warga yang telah lulus menjadi
sarjana.
“Hei, terima kasih!” pemberian Murni diterima dengan suka cita.
“Aku juga, terima kasih!”
Tanpa banyak bicara kedua warga itu segera berlari
kencang kembali ke kamar dengan masing-masing pakaian pemberian dari
Murni di tangan. Murni memberikan pakaian pesta berwarna biru laut bagi
Dita, syal dari kain sutera yang sangat halus, sepatu olah raga, dan rak
buku. Relina menerima rok hitam, blouse putih, daster dengan motif
kotak-kotak berwarna ungu, tempat pensil, dan sebuah set pisau lipat
lengkap dengan sendok dan garpu. Soraya dan warga blok E yang lain juga
berdatangan meminta pembagian jatah. Dengan tulus Murni membagikan
pakaian yang sudah disiapkan, ia maklum akan kebiasan dari warga asrama
pada saat perpisahan. Iapun pernah meminta-minta kepada senior yang
telah diwisuda dan harus meninggalkan asrama.
Akhirnya Murni berpamitan, berjalan keliling dari
kamar ke kamar, ia meminta maaf akan segala kesalahan yang mungkin
pernah dilakukan. Relina mendapatkan suasana kamar yang sunyi ketika
Murni benar-benar pergi, gadis itu sering memberikan teguran dengan
kata-kata yang keras, memang demikianlah sikapnya. Sementara pesan pada
buku putih sama persis dengan goresan mata pisau yang mengulitinya. Akan
tetapi, Relina tahu Murni tak pernah membencinya, mereka hanya tak
mempunyai lebih panjang waktu untuk saling mengenal. Relina juga merasa
sedih ketika Sartika berkunjung ke kamar untuk berpamit pergi, sarjana
baru itu hendak pulang ke Bali untuk bekerja di daerah asal. Hana masih
tetap tinggal di asrama untuk melakukan ko asisten selama kurang lebih
dua tahun, nanti setelah pengambilan sumpah dokter, Hana juga akan
berkunjung dari kamar ke kamar untuk berpamit pergi.
Sepeninggal Murni, Dita berpindah ke pembaringan
Murni sebagai tempat tidur, ia memindahkan pula barang –barang pribadi
menatanya pada almari dan meja belajar yang semula digunakan Murni.
Adapun Relina, ia berpindah ke pembaringan yang semula digunakan Dita.
Kini, mereka hanya tinggal berdua.
***
Dua bulan menjelang tanggal 19 Desember
pengurus asrama menyelenggarakan pleno di ruang makan untuk membentuk
panitia dies natalis. Nama-nama yang terpilih sebagai panitia, kelak
akan terpilih kembali sebagai pengurus asrama menggantikan pengurus lama
yang telah setahun menyelesaikan tugas. Pleno dimulai setelah jam
tenang dan selesai pada sekitar pukul sebelas dengan hasil nama-nama
yang duduk sebagai ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris,
bendahara dan wakil bendahara. Nama-nama itu selanjutnya disebut sebagai
panitia inti, seterusnya panitia inti akan menyelenggarakan rapat untuk
memilih koordinator seksi kemudian bernegoisasi dengan pengurus asrama
untuk mengadakan rapat pertama dengan agenda menyususn daftar kegiatan
dies natalis atas persetujuan dari seluruh warga.
Bermacam kegiatan diselenggarakan untuk memeriahkan
acara dies natalis, yaitu lomba tarik tambang antar blok, lomba lari
estafet antar blok, lomba volley antar asrama putri se-Yogyakarta, lomba
solo song, kunjungan ke rumah janda pahlawan. Dari keseluruhan lomba
yang paling menarik dan berdampak secara langsung terhadap kelestarian
bangunan asrama, yaitu lomba kebersihan blok sekaligus lomba kamar
cantik. Dalam beberapa tahun terakhir blok E selalu mendapatkan juara
pertama dalam lomba kebersihan blok. Blok E memiliki bunga-bunga segar
dan tanaman hias serta pot gantung yang tidak dimiliki blok lain,
kelebihan ini merupakan nilai tambah. Juri dapat melihat, bahwa seluruh
kamar dan blok bersih serta rapi, akan tetapi keindahan yang tercipta
dari tanaman hias dan bunga-bunga hidup menjadi nilai tambah yang tak
dapat ditawar-tawar.
Dita mulai merapikan seisi kamar, membersihkan
seluruh debu dengan kain basah, menata buku-buku, menghias dinding dan
meja dengan kerajina tangan. “Re, kita harus mulai merapikan kamar,
lebih cepat lebih baik, tahun lalu blok kita mendapat juara pertama
untuk lomba kebersihan, kerapian dan keindahan kamar menambah pula
penilaian. Kamar tidak cukup rapi, tetapi juga harus indah, kita harus
juara. Ayo bersihkan kamarmu!” Dita tampak bersemangat, Relina tersulut,
iapun mulai menata kamar dan segala benda milik pribadi secara rapi.
Beberapa orang warga yang melintas di depan kamar memperhatikan
keduanya, merekapun segera mengerjakan hal yang sama.
Penjurian lomba kebersihan blok dan kamar
cantik akan dilakukan pada sore hari, maka pagi itu seluruh warga tanpa
kecuali sibuk membersihkan kamar dan koridor pada blok masing-masing.
Seluruh pot bunga di blok E telah mengkilat oleh cat berwarna hijau
lumut yang masih baru. Bunga-bunga tampak segar dan terawat. Perlak meja
telah diganti pula dengan warna senada, pada tiap-tiap meja diletakkan
jambangan bunga dengan air di dalamnya. Selanjutnya lantai koridor
disikat dengan rinso, air , dan sapu lidi secara beramai-ramai. Papan
blok dengan foto dan nama-nama warga telah diganti dengan ornamen cantik
dan menarik untuk diperhatikan.
Pukul 16.00 WIB ketika juri datang untuk
menilai kebersihan dan keindahan blok secara cermat, mereka tampak benar
terpesona. Empat orang juri tersebut berasal dari organisasi wanita di
bawah naungan universitas. Juri terlebih dahulu mengadakan tehnikal
meeting dengan panitia untuk menentukan kriteria penilaian kemudian
penjurian dimulai. Juri mulai berkunjung dari blok ke blok dan dari
kamar ke kamar, warga asrama mengekor di belakangnya untuk membandingkan
kebersihan pada blok masing-masing. Tiba di blok E rombongan juri tidak
segera masuk ke dalam kamar untuk menilai keindahan di dalamnya, mereka
berjalan mondar mandir di sepanjang koridor menikmati sederetan tanaman
hias yang telah ditata rapi.
“Wah, banyak sekali tanaman di blok ini”,
salah seorang dari juri berkomentar. Sementara sinar surya yang
memantul berwarna kuning jernih, sesaat lagi akan berubah menjadi candi
ayu. Hijau pepohonan dan bunga-bunga yang mekar menggenapi suasana sejuk
di seputar blok.
“We are coming to the paradise....” salah
seorang warga dari blok lain berbicara pelan, setengah memuji, setengah
menyindir. Mereka telah maklum akan kemenangan blok E pada setiap lomba
kebersihan, meskipun juri selalu menilai objektif, tetapi kemenangan
selalu menjengkelkan bagi pihak yang kalah, terlebih yang tak menerima
juara apapun.
Tim juri tampak puas dengan kebersihan
dan keindahan blok E, maka rombongan itu terus berkeliling menuju blok F
memasuki kamar demi kamar, dilanjutkan ke blok G dan H. Akhirnya
penjurianpun selesai, tim juri menjumlah nilai dari masing-masing kamar
serta blok kemudian memberi ulasan sebelum mengumumkan pemenang. Baik
tim juri maupun warga semuanya berkumpul di aula yang telah dibersihkan
dan dialasi tikar. “Selamat sore adik-adik yang manis, senang sekali,
bahwa kami dapat bersua dan berkesempatan untuk berkunjung ke asrama
putri dalam rangka penurian lomba kebersihan dan keindahan blok serta
kamar. Ada beberapa catatan sebelum kami mengumumkan para pemenang:
Pertama, bahwa semua blok dan kamar pada prinsipnya bersih dan rapi,
akan tetapi ada nilai tambah bagi blok serta kamar pemenang, karena
beberapa hal. Antara lain, keindahan dari menghias blok dengan aneka
tanaman dan menghias kamar dengan benda-benda seni. Kedua, ada beberapa
hal yang sangat mengesankan, bahwa banyak di antara warga yang memajang
foto orang tua pada meja belajar atau dinding kamar. Ada satu kamar
dengan hiasan yang berbeda pada masing-masing tempat warga, satu orang
warga memasang tanda salib sementara warga di dalam kamar yang sama
memajang kaligrafi. Hal ini menunjukkan adanya toleransi di dalam
kehidupan asrama. Ketiga, ada beberapa kamar yang menempatkan benda
tidak selayaknya, seperti di bawah meja diletakkan sepatu sementara di
atas meja diletakkan makanan, hal ini tidak sehat. Akhirnya perlombaan
ini pada prinsipnya adalah bertujuan untuk memelihara kebersihan asrama
secara totalitas. Semestinya asrama bukan hanya bersih pada acara
perlombaan, tetapi juga pada kehidupan sehari-hari. Para pemenang tidak
boleh menjadi besar kepala sedangkan pihak yang kalah tidak perlu
berkecil hati. Di dalam lomba pasti ada yang kalah dan ada pula yang
menang. Sau hal lagi, bahwa keputusan dewan juri tidak bisa diganggu
gugat”, seisi ruangan hening, semuanya menunggu dengan tegang siapa yang
berhak keluar sebagai pemenang.
“Baiklah, sekarang tiba saatnya saya atas
nama dewan juri mengumumkan para memenang. Juara ketiga untuk lomba
kamar cantik dengan nilai tiga ratus lima diraih oleh kamar tiga dari
blok A”, tepuk tangan bergemuruh menyambut kemenangan itu.
“Juara kedua dengan nilai tiga ratus lima
belas diraih oleh kamar 18 dari blok E”, Soraya mengawali tepuk tangan,
ia tak dapat menahan diri untuk tidak menjerit dan bertepuk tangan
keras-keras diikuti oleh warga blok E yang lain.
“Juara pertama dengan nilai tiga ratus
tiga puluh tujuh diraih oleh kamar 28 dari blok G”, tepuk tangan dan
jeritan terdengar lebih keras dari yang sebelumnya. Warga pemilik kamar
saling berpelukan, sehingga dewan juri tak dapat menahan senyum.
“Selanjutnya akan kami sampaikan juara
lomba kebersihan dan keindahan blok. Juara ketiga dengan nilai dua ratus
delapan puluh satu diraih oleh blok H”, seketika warga blok H menjerit
dan bertepuk tangan.
“Juara kedua dengan nilai tiga ratus sembilan belas diraih oleh blok F”, suasana kembali gaduh.
“Terakhir, juara pertama dengan nilai
tiga ratus delapan puluh lima diraih oleh blok..... Blok mana
kira-kira?” juri berteka-teki. Suasana menjadi hening.
“Blo E....” terdengar lirih suara warga berguman.
“Baiklah, juara pertama dengan nilai tiga
ratus delapan puluh lima diraih oleh blok E”, keheningan seketika
terpecah oleh ledakan sorak sorai dan tepuk tangan, khususnya dari warga
blok E. Sebagaian warga yang sportif ikut bertepuk tangan dan tertawa,
akan tetapi ada pula yang bersungut, merasa tidak senang, karena iri dan
kalah. “Sampai di sini pengumuman para pemenang, sekali lagi keputusan
dewan juri tidak bisa diganggu gugat. Terima kasih”.
Tak lama kemudian pertemuan itupun
selesai, panitia dies natalis mengantar dewan juri kembali hingga di
depan pintu pagar dengan segala ucapan terima kasih. Warga blok E
kembali berkumpul merayakan kemenangan, mereka memasak super mie hingga
satu mangkuk besar dan menyantapnya bersama-sama. Relina, si warga baru
secara perlahan-lahan mulai melarut di dalam kebersamaan kehidupan
asrama.
Sementara kegiatan dan perlombaan lain
terus menyusul sesuai dengan agenda yang telah dijadwalkan. Rangkaian
kegiatan ditutup dengan malam kesenian yang dihadiri oleh rektor dan ibu
serta undangan lainnya. Akhirnya panitia menyelenggarakan evaluasi
untuk mempertanggungjawabkan seluruh mandat yang telah diberikan.
Demikian kehidupan di dalam asrama terus
berlanjut, aktivitas utama warga adalah belajar, sementara bermacam
kegiatan khususnya dalam rangka merayakan hari wisuda, dies natalis,
penerimaan warga baru, kegiatan keagamaan yang melibatkan pula kehadiran
dari asrama putra mewarnai sekaligus menguji kreativitas dan kemampuan
warga dalam mengapresiasikan kelebihan di luar kesanggupan mengejar
ijasah sarjana. Tanpa adanya kegiatan semacam itu suasana asrama akan
mati, hubungan antara warga akan renggang dan masing-masing individu
akan bersikap apatis.
Seperti halnya warga yang lain Dita
menjalani hari demi hari dengan satu tujuan utama, menyelesaikan studi.
Dita adalah calon sarjana pertanian jurusan sosial ekonomi, ia telah
menjalani delapan puluh prosen dari proses belajar. Ada dua hal yang
harus ia kerjakan, yaitu mengikuti Kuliah Kerja Nyata dan menyelesaikan
skripsi dengan proposal yang telah disetujui. Dita mahasiswa yang
pintar, ia tak mengalami persoalan dalam urusan belajar. Dosen
pembimbing menyayangi, membuka waktu dan dukungan bagi penulisan
skripsi.
Skripsi seringkali menjadi “hantu” bagi
sementara mahasiswa, sehingga ada di antara mereka yang menyerah, gagal
meraih gelar sarjana setelah bertahun mondar-mandir ke kampus hingga
jenuh rasa hati. Dita tak mengalami masalah untuk yang satu ini,
persoalan skripsi baginya hanya soal waktu, ia akan segera merampungkan
dan mendapat nilai A setelah Kuliah Kerja Nyata. Semalam Dita “wayangan”
belajar semalam suntuk untuk persiapan ujian semester yang terakhir. Ia
kembali dari kampus dalam keadaan lelah, namun gembira, karena seluruh
soal dapat dikerjakan dengan baik, ia tak akan mendapat nilai C. Rasa
lelah membuat Dita kelaparan, setelah ia menyantap hidangan makan siang
di ruang makan, rasa mengantukpun datang.
Beberapa saat setelah meletakkan tas
kuliah dan mengganti pakaian dengan daster Ditapun terlena, gadis itu
tertidur sedemikian lelap, hingga tak terasa suasana terang telah
berubah menjadi gelap. Relina pergi kuliah sore dan langsung pergi ke
bioskop untuk menonton artis aksi kesayangannya, ia baru akan kembali
pada malam hari. Dita terjaga dalam kekagetan ketika tiba-tiba ia
melihat bayangan bocah laki-laki tengah memperhatikan seisi kamar dan
menatap dirinya berlama-lama. Sejenak Dita gagal meraih seluruh
kesadarannya, iapun berteriak dengan kalap,”Hei....!! kamu hantu atau
manusia??!!”
“Saya manusia....!!” bocah kecil itu
rupanya tak kalah kaget dari Dita, ia tak menyangka, bahwa seorang yang
tengah tertidur pulas dapat terjaga dan menjerit dengan kalap secara
tiba-tiba. Bocah itupun berlari pontang-panting, rupanya ia takut
ditangkap dan diinterogasi. Warga asrama putri terkenal galak dan
cerewet, ia tak berani mengambil resiko.
Dita terpaku, ia memerlukan beberapa
menit untuk menyadari keberadaannya, ruangan di dalam kamar telah
berubah menjadi remang-remang, karena cahaya lampu yang suram. Dita
beranjak dari tempat tidur, ia menekan sakelar yang terletak di dekat
kusen pintu, sehingga ruangan di dalam kamar menjadi terang benderang.
Gadis itu menyalakan pula lampu di koridor, kegelapan segera menepi.
Suasana di dalam blok sunyi, berbeda dengan suasana ketika Murni masih
ada. Murni amat gemar memasak dan berbelanja makanan, ia tak pernah
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan, karena Murni tak pernah
menikmati masakannya seorang diri. Ia akan memanggil seluruh warga atau
sesiapapun yang ada untuk berkumpul makan bersama-sama.
Dita meraih bubuk susu mencampurnya
dengan gula dan coklat kemudian menyeduhnya dengan air panas yang
disimpan di dalam termos. Air panas akan diisi setiap malam oleh tukang
masak, termos-termos yang telah kosong dibawa turun ke dapur diletakkan
pada sebuah meja besar. Pada pagi-pagi sekali termos yang kosong akan
terisi kembali, ada tangan tukang masak yang bertanggung jawab atasnya.
Gadis itu meneguk coklat susu pelan-pelan
hingga gelas itupun kosong sudah. Dita menatap suasana gelap di
depannya dengan segala harapan, ia anak seorang petani yang bertahan
hidup dari hasil kebun. Dita tak pernah menyesal dengan takdir yang
dijalani, ia mempunyai ayah ibu yang mengasihi, orang tua yang berpikir
sederhana dan sadar terhadap segala sesuatu yang dimiliki dan yang tak
mungkin dimiliki. Setiap bulan ibunda mengirim wesel dalam jumlah yang
amat minim, Dita harus berhemat, ia dapat berjalan kaki untuk pergi ke
kampus, jarak dari asrama ke kampus tidaklah jauh. Beruntung, ia
memiliki otak yang cerdas, dosen pembimbing menawarinya sebagai asisten,
hal itu berarti setelah skripsi lulus diuji ia tak akan susah lagi
mencari pekerjaan. Peluang sebagai dosen telah tergenggam di tangan.
Dita rajin menulis artikel di surat kabar, sungguhpun ia seorang calon
sarjana pertanian, akan tetapi perhatiannya tak pernah luput dari
situasi nasional yang terus berubah-ubah. Honor yang diterima dari media
masa berkaitan dengan tulisannya dipergunakan sehemat mungkin, ia pasti
memerlukan lebih dari sekedar biaya untuk dapat menyelesaikan skripsi
dan mendanai KKN. Orang tua tak akan dapat memberinya lebih dari uang
saku yang diberikan setiap bulan.
Dita menikmati kesendirian di dalam
koridor, ia tak terlalu senang bergabung dengan warga asrama dari blok
lain. Segala tindak tanduk selalu dicurigai, ia bergaul dengan siapapun
tanpa membedakan suku, agama, dan golongan. Ia sangat bersahabat dengan
Murni, seorang Katholik yang taat hingga ke tulang sumsum, ia juga hadir
pada serangkaian acara yang diselenggarakan warga Nasrani dalam
merayakan Natal. Ia dipersilakan makan dengan hormat dengan informasi
yang baik, hidangan mana yang halal dan hidangan mana yang tak bisa
disentuh. Ia tetap seorang muslim sungguhpun berada di tengah-tengah
umat Nasrani.
Akan tetapi, sebagian mulut usil
berbisik-bisik, bahwa ia cenderung menjadi Kristen dan berniat untuk
berpindah agama. Warga dari blok lain yang berkunjung ke kamar untuk
segala maksud selalu diawasi, Dita tersinggung. Agama adalah urusan
manusia dengan Tuhan, bukan antara manusia dengan mulut usil yang
lainnya. Ia mendirikan sembahyang lima waktu sebagai salah satu bentuk
pertanggungjawaban, bukan ketakutan terhadap anggota komunitas, bahwa ia
tak menjadi Islam dengan betul.
Lambat laun kecurigaan dari mulut-mulut
usil itu tak pernah tebukti, Dita tetap bersahabat dengan siapapun warga
yang mengulurkan persahabatan. Meski mulut-mulut usil itu tak lagi
bicara, tetapi Dita membatasi diri, ia mengambil hak sebagai mahasiswa
untuk menempati bangunan ini, ia memiliki syarat untuk itu. Selebihnya
ia berkonsentrasi untuk belajar, langkah untuk meraih gelar sarjana dan
merintis karir sebagai dosen tinggal sejengkal. Mengingat akan hal ini
Dita tersenyum, ia mempunyai sebuah cita-cita, mendanai kedua orang
tuanya pergi ke Tanah Suci. Dita mengerti, betapa rindu ibu bapaknya
akan hal ini.
Jarum jam menunjukkan pukul delapan
malam, tetapi aneh Dita dan seluruh warga lainnya tak mendengar suara
gong dipukul. Tamu-tamu yang datang berkunjung keasyikan bercakap-cakap
dan baru meninggalkan ruangan menjelang pukul sembilan malam dengan
teguran keras dari pengurus. Pak Badi, penjaga malam terlupa menutup
pintu dan jendela ruang tamu. Keesokan paginya keributan kecil terjadi,
pengurus asrama kebingungan, gong yang biasa dipukul sebagai tanda jam
tenang tak lagi tergantung pada tempatnya, di dekat pembaringan penjaga
malam yang terletak di samping gudang makanan.
“Bagaimana gong bisa menghilang?” Sunarti
terheran-heran dengan peristiwa kecil ini, mengapa pencuri harus
mengambil gong bukan benda berharga lainnya. Aneh, tetapi itulah
kenyataannya. Dengan dibantu beberapa orang warga Sunarti berusaha
mencari gong di seputar asrama, tetapi benda “antik” itu tetap tak
ditemukan. Akhirnya mereka menyerah.
Dari lantai atas Dita memandang dengan
geli kejadian ini, ia juga heran, mengapa gong, benda yang tak ada
harganya bisa dicuri. Siapa pelakunya, kecuali anak-anak yang iseng.
Dita teringat pada bocah kecil yang memandanginya saat ia tengah
tertidur lelap dan berlari ketakutan ketika bertanya, kau hantu atau manusia?
Seisi asrama tahu, bahwa bocah-bocah kecil yang sering bermain di
seputar asrama, bahkan menggunakan lapangan volley untuk bermain sepak
bola secara liar, acapkali melakukan pencurian kecil-kecilan seperti pot
bunga atau segala benda yang tergetak di atas meja. Kemungkinan besar
bocah itu pelakunya, untuk apa bocah kecil mengawasi warga asrama
tertidur kalau bukan untuk berniat jahat. Tapi bagaimana pula gong itu
bisa diperoleh kembali, identitas bocah kecil itupun tak diketahui.
“Pak Badi, apa gunanya menjadi penjaga
malam, kalau gong saja bisa hilang?” Dita bertanya kepada penjaga malam
yang tengah duduk asyik mengisap rokok di ruang administrasi. Dita
mengira penjaga malam itu akan menjadi tersipu-sipu, karena
keteledorannya, tetapi ternyata tidak.
“Lha wong yang hilang cuma gong, mengapa
harus bingung? Yang penting bukan mbak Dita saja yang dicuri. Barang itu
sudah waktunya berpindah tempat, nanti ada gantinya”, dengan santai pak
Badi tetap menghisap rokok, ia tahu warga asrama akan terus bertanya
perihal gong yang hilang. Ia telah belasan tahun menjadi penjaga malam
di tempat ini dan mengenali hampir seluruh perangai warga. Dita termasuk
warga yang ramah dan dapat menghormati siapapun yang berada di
lingkungan asrama ini. Bermacam kejadian telah terpatri, ia adalah saksi
hidup bagi segala perubahan yang pernah dan akan terjadi di dalam
asrama. Selama ini tak pernah ada peristiwa yang benar-benar berbahaya.
Kalau hanya sebutir gong menghilang, apalah masalahnya?
Dita tahu, ia tak perlu bersilat lidah
dengan penjaga malam yang satu ini, ia harus bergegas ke ruang makan,
membaca koran pagi, sarapan dengan menu apa adanya. Ia harus membaca
buku-buku tebal yang telah ia pinjam dari perputakaan untuk
menyelesaikan skripsi. Hari ini tak ada agenda di kampus, sekarang hari
Sabtu beberapa jam lagi akan datang malam Minggu, Firman akan datang
berkunjung, ia sudah berjanji untuk pergi menonton pertunjukkan teater
di Gedung Kesenian.
Firman mahasiswa S2 pada jurusan
arsitektur, mereka telah berjanji untuk memasuki jenjang perkawinan
setelah kuliah Dita selesai. Mereka telah memiliki ketetapan hati,
keduanya memiliki bobot kesibukan yang sama. Pada hari-hari biasa
keduanya menyelesaikan segala urusan di kampus, pada Sabtu malam Minggu
atau pada hari-hari libur mereka baru bertemu. Baik Dita maupun Firman
tak berani bertaruh untuk bermain-main dengan waktu.
Setelah meletakkan piring kotor di meja,
Dita bergegas kembali ke kamar. Gadis itu mengenakan rok span berwarna
ungu dengan blouse longgar putih tulang dari kain katun. Peraturan
asrama tidak mengijinkan warga menyantap menu di ruang makan dengan
mengenakan celana pendek atau dalam keadaan wajah dilumuri masker. Ruang
makan sekaligus adalah tempat untuk berkomunikasi dan menjalin
keakraban antara sesama warga, penampilan yang santun ditetapkan untuk
membangun komunikasi.
Menjelang akhir pekan wajah Dita tampak
cerah, ia telah memanfaatakan satu minggu penuh untuk menekuni
literatur, mengikuti ujian, dan “wayangan” untuk mendapatkan hasil
terbaik. Nanti malam akan tiba saatnya untuk rileks, ia masih memiliki
beberapa jam untuk membaca buku di dalam kamar, dan gadis itu
melakukannya dengan tekun. Relina telah membenahi seisi kamar dan
koridor kemudian keluar dari kamar mandi dalam keadaan segar ketika Dita
mulai tekun membaca.
Relina mulai beraktivitas di depan kaca,
mengoleskan susu pembersih, menyekanya dengan selembar tisu, mengoleskan
penyegar, pelembab, alas bedak, dan mulai memulas wajah dengan bedak
padat. Ia memoles kaki dan lengannya dengan hand body lotion, menyisir
rambut, berlama-lama mematut diri di depan cermin kemudian menyeduh
sirup diet. Berat badannya tampak mekar beberapa kilo, pakaian yang
dikenakannya terasa sesak, ia menjadi tidak nyaman dengan penampilannya.
Sementara Dita tekun membaca, Relina
tampak berjalan mondar-mandir dengan segelas sirup di tangan, duduk
santai tanpa mengerjakan apapun. Telah berulang kali Dita mendapai
Relina tengah duduk melamun dengan pandangan kosong, gadis itu mungkin
mengkhayal, berandai-andai, mungkin menyesal, atau entahlah, yang jelas
Dita berkesimpulan Relina memiliki persoalan yang tak dapat
diselesaikan. Atau Relina tengah “bermimpi”. Di balik keangkuhan pada
prinsipnya Re menyimpan jiwa yang rapuh, Dita hapal segala hal yang
dilakukan gadis itu dari pagi hingga pagi berikutnya. Salahkah kalau ia
memberi masukan?
“Maaf Re, aku hampir tak pernah melihatmu
belajar dengan tekun, kau lebih sering menghabiskan waktu dengan duduk
termenung. Kesempatan hanya datang sekali, jarum jam tak dapat diputar
undur ke belakang. Lebih baik kita terbangun dan menghadapi kenyataan
betapapun buruknya dari pada tertidur dan bermimpi betapapun indahnya”,
sejenak Dita menghentikan ketekunan membaca dan bersuara.
Relina terkesima dengan kata-kata itu, ia
seakan terjaga dari sekalian khayalan yang secara perlahan, tapi pasti
menipunya. Relina tahu betapa tekun Dita mempersiapkan setiap tugas dan
ujian, gadis itu sadar ia memang lebih sering menghabiskan waktu
mengandai-andai. Tentu, Dita tak pernah tahu duduk persoalan yang
sebenarnya, ia memang tak perlu tahu. Segala jejak yang membawa langkah
kakinya ke tempat ini telah menjadi sebuat catatan rahasia yang tak
perlu diketahui siapapun, karena hal itu tidak akan mengubah apapun.
Akan tetapi, bukankah Dita memberikan
nasehat yang arir? Nasehat yang amat rasionil supaya ia dapat bersikap
realistis sekaligus mencari solusi bagi setiap persoalan yang dihadapi.
“Terima kasih nasehatnya, saya akan mencoba”.
Hari-hari selanjutnya Dita mulai sering
melihat Relina membaca buku atau mengerjakan paper dengan
bersungguh-sungguh. Sesekali Re tampak membaca fiksi, pergi seharian
untuk berekreasi, akan tetapi kesungguhan belajarnya tidak menghilang.
Re ternyata tidak seangkuh seperti yang pernah ia bayangkan, penampilan
seseorang tidak seluruhnya mencerminkan isi hatinya. Re amat gemar
berbelanja makanan ringan, gadis itu tak menghabiskannya sendiri, ia
selalu berbagi. Sementara kamar ini menjadi lebih rapi dan mengkilat.
Mereka tampaknya mulai dapat saling menyesuaikan diri. Tetapi ....
***
Dita tengah mengepak segala perlengkapan
untuk keperluan KKN, ia mendapat lokasi di sebuah desa pertanian, di
sebuah kaki gunung antara Yogya-Temanggung. Ia akan turun langsung ke
lapangan dan mendapatkan pengalamn baru yang menyenangkan. Rombongan
akan berangkat dengan mengendarai bus pada pukul 15.00 WIB, sekarang
pukul 11,17. Ia masih memiliki beberapa jam dan berakrab-akrab dengan
Firman sebelum keberangkatan. KKN akan berlangsung selama tiga bulan, ia
hanya memiliki ijin untuk kembali ke kampus dua kali dalam rangka
administrasi dengan bagian tata usaha. Selebihnya ia harus menahan diri
untuk tidak bertemu dengan Firman.
Seluruh perlengkapan hampir siap, tetapi
Dita memerlukan satu benda, spidol untuk menulis nama, supaya
barang-barangnya tidak tertukar dengan mahasiswa lainnya. Ia tak
memiliki alat tulis itu, tetapi ia pernah melihat di meja belajar
Relina. Dita mulai mencari-cari, meja belajar Relina dilapisi kaca
dengan rangkaian foto dan gambar ditata artistik di bagian bawahnya.
Seluruh buku catatan, lieratur, paper, kosmetik, dan segala pernik antik
tertata rapi pada tempatnya. Tetapi spidol itu tak mudah ditemukan,
Dita terus mencari-cari, perhatiannya tiba-tiba terpaku pada sebuah buku
agenda bersampul kulit dengan bis keemasan pada bagian tepinya. Agenda
itu tampak elegan, sehelai pita berwarna keemasan terjulur keluar dari
halaman buku. Dita tak pernah melihat Relina menekuni buku itu, ada
suatu dorongan tak terkendali yang memerintah tangan gadis itu meraih
buku. Wajah gadis itu tampak seakan tengah bertanya-tanya ketika ia
mulai membuka sampul pertama. Sederet kalimat tergores dengan rapi, Dita
tahu itu tulisan tangan Relina:
Aku tak pernah mampu melupakan,
kecuali bila kehilangan ingatan. Masa itu telah membatu menjadi
kepingan. Seandanya aku dapat memungutinya kembali....
Kening Dita berkerut dengan kalimat itu.
Ia terpancing untuk membuka lembar berikutnya. Maka tangannya kembali
bergerak membuka halaman buku yang tipis bergaris halus.
22 Mei
Aku tak pernah dapat melupakan wajah ibu, wajah
yang hanya dapat kukenal pada selembar kertas foto hitam putih yang
semakin hari semakin buram. Semakin aku berusaha melupakan semakin aku
teringat. Aku tak pernah mengerti sebab apa ayah membawaku pergi
meninggalkan ibu yang melahirkanku. Setiap kali aku bertanya, wajah ayah
berubah menjadi sekeras batu, aku ketakutan. Aku pernah merasakan
tangan ayah yang kekar mendarat dengan keras di pipiku. Rasa takut
melebihi kesakitan yang menyengat, aku terjebak dalam sebuah teka-teki,
tapi aku sadar aku tak akan pernah berhak akan sebuah jawaban.Akhirnya
aku memilih diam.
Dita tertegun, deretan kalimat itu
membuat kepalanya seakan disengat sekawanan lebah. Ia tak pernah menduga
seperti ini masa lalu Relina, gadis itu selalu menutup diri. Rupanya ia
memiliki “kawan” akrab untuk berbicara. Dita tak bisa menahan diri
untuk tidak membaca catatan berikutnya, Relina memiliki kemampuan
menulis yang mempesonakan.
24 Mei
Aku selalu berusaha menyayangi Maya, adik
perempuan yang dilahirkan istri ayahku. Maya bertumbuh menjadi gadis
cantik, cerdas dengan dilumuri segala kasih sayang kedua orang tua. Aku
tak pernah punya alasan untuk membenci Maya, karena gadis itu juga anak
kandung ayahku. Akan tetapi, setiap kulihat ia bermanja-manja pada ayah
dan ibu, aku merasa tersisih. Maya mendapatkan segala kehangatan di
dalam keluarga, satu hal yang telah hilang secara mutlak sejak masa
kecilku. Maya tak pernah canggung berhadapan dalam situasi apapun dengan
ayah dan ibu. Akan tetapi, aku adalah anak tiri dari ibu kandung Maya.
Ada jurang yang semakin hari menganga semakin dalam, jarak yang pada
akhirnya berubah menjadi kebencian.
3 Juni
Sungguhpun seorang ibu tiri, tetapi aku memiliki
ibu tiri yang baik, ia selalu mengirim uang saku yang cukup dan uang
kuliah tepat pada waktunya. Aku tak perlu mengeluh untuk hal yang satu
ini. Ibu tiriku adalah seorang wanita yang sangat cantik, ia selalu
berpenampilan layaknya ibu pejabat pada sebuah pertemuan resmi.
Seharusnya ayah berbangga dengan memiliki istri seperti ibu. Disamping
pandai berhias, ibu juga pandai memasak dan merawat rumah. Rumahku
mungil dan tertata dengan rapi, ibu dan Maya rajin pula bertanam bunga.
Ibu juga berbisnis perhiasan kemudian mengelola keuangan dengan baik.
Apa yang tidak dimiliki ibuku atau ibu tiriku?
Hari ini ayah dan ibu bertengkar hebat, aku tak
tahu dari mana perselisihan ini berasal, tetapi sempat kudengar teriakan
ibu, bahwa ayah memiliki hubungan gelap dengan seorang perempuan yang
berkelakuan tidak baik, mungkin ia seorang wanita tuna susila. Ibu tidak
menangis, ia menumpahkan kemarahan secara dramatis seakan ia tengah
berakting di atas panggung teater. Di dalam kamar aku duduk menggigil
bersama Maya, kami ketakutan dan menangis diam-diam.
10 Juni
Sudah lebih satu minggu suasana di dalam rumah
tegang, ibu memilih diam, wajahnya yang cantik tampak murung dan
kesakitan. Aku menunjukkan simpati kepada ibu dengan cara membantu
menyelesaikan pekerjaan rumah, memasak, mencuci piring, mencuci lantai,
merawat tanaman, dan memijit tubuhnya. Sebenarnya aku datang berlibur
untuk mencari ketenangan, hidup sebagai anak kost ternyata tidak semudah
seperti yang pernah kubayangkan. Akan tetapi suasana yang kudapatkan di
dalam rumah justru sebaliknya. Aku menduga-duga, barangkali karena
alasan semacam inikah ayah berpisah dari ibu kandungku dan membawaku
pergi bersamanya?
Dan ibu tiriku adalah seorang wanita yang tegar,
ia mampu menghadapi pengkhianatan ayah dengan akal sehatnya. Teguran dan
pertengkaran hebat tak bisa dihindarkan. Ibu memberi tawaran, ayah mau
memilih wanita tuna susila itu atau ibu? Aku tahu, ayah mati kutu.
17 Juni
Setelah menimbang, berfikir, dan merenung
akhirnya aku memutuskan hubunganku dengan Hendra. Pada hari-hari pertama
aku memang merasa begitu sunyi, Hendra telah menyusup cukup dalam dan
mewarnai seluruh hari-hariku. Akan tetapi, Hendra tetap produk karakter
dari cultur timur, cultur patriakhi, cultur yang menempatkan laki-laki
sebagai tokoh sedangkah seorang perempuan hanyalah penyerta. Hendra
selalu bersikap bak seorang raja sedangkan aku hanyalah pelayannya.
Kedudukanku dan Hendra sama-sama mahasiswa, kami mempunyai status,
posisi, dan masa depan yang sama. Tak adil Hendra berlaku seperti itu.
Dengan gigih ia selalu menekan supaya aku dapat menjadi piribadi seperti
yang ia bayangkan –sosok seorang selebritis mungkin—akan tetapi, aku
tengah berjuang untuk mencari jati diri. Aku ingin menjadi diriku
sendiri!
25 Juni
Aku menolak untuk mengikuti ceramah perkawinan
yang diselenggarakan di aula kampus. Bagiku perkawinan hanyalah sebuah
cermin retak, wajah dan seluruh penampilanku akan terbelah ketika harus
berkaca di depannya. Pengalaman telah mengajarkan tentang itu. Aku tak
bermimpi lagi tentang pesta pengantin dengan gaun putih yang sangat
indah. Aku hanya akan menjalani hidup ini secara apa adanya, entah
takdir akan membawa langkah kaki ke mana, toh Tuhan tetap bertahta di
atas sana....
3 Juli
Kehidupan di asrama ini sangat unik dan aneh,
sebagai warga baru aku dan kawan-kawan seangkatan sering diperlakukan
seperti mahkluk aneh dari planet lain. Sebenarnya apa yang aneh, kecuali
bahwa kami adalah pribadi yang belum dikenal dengan baik....
Dita seakan tenggelam dalam sebuah
pengakuan murni tentang kehidupan seseorang yang dipenuhi misteri, ia
bermaksud terus menyelam ke dalam misteri itu, tetapi gendang telinganya
menangkap sebuah gerakan. Bayangan manusia berkelebat masuk ke dalam
kamar tanpa permisi, karena ruangan ini memang tempat tinggalnya.
Jantung Dita seakan berhenti berdetak ketika ia bertatapan dengan
sepasang mata Relina. Dita merasakan kilatan mata lembing membenam tepat
di ulu hati, raut wajah Relina adalah expresi kemarahan yang tak
tertahankan.
Dita terpengarah, ia adalah seorang
pencuri yang tertangkap basah, ia menyesali kelancangan telah memasuki
sebuah wilayah yang paling pribadi dari seorang yang memiliki hak akan
asazi. Catatan harian adalah bagian paling rahasia dari seorang individu
yang tak boleh dijamah siapapun, sungguhpun ia seorang senior di asrama
dan Relina hanyalah seorang warga baru. Akan tetapi, penyesalan tak
pernah datang pada saat yang tepat.
Di lain pihak, Relina merasa banjir lahar
kawah berleleran melumuri wajahnya ketika ia mendapati Dita dengan
lancang tengah membaca catatan harian tanpa seijinnya. Kalaulah Dita
meminta ijin membaca catatan itu, maka ia tak akan pernah mengijinkan.
Ia tak akan pernah membiarkan sesiapapun mengobrak abrik wilayah
pribadinya. Relina tahu ada saatnya ia harus dapat memaafkan orang lain,
tetapi ada pula waktu untuk memberi pelajaran.
Gadis itu sadar dengan sepenuhnya ketika
ia mengangkat tangan tinggi-tinggi kemudian mendaratakan sebuah tamparan
keras tepat di pipi Dita. Relina melakukan hal ini dengan seluruh
keyakinannya, ia tak akan membiarkan seorangpun menghina kehidupan
pribadinya. Tak seorangpun!
“Plakkk!!!”
Dita terpekik, ia memegangi pipi yang
terasa panas dan pedih, ia tak pernah menyangka Relina akan dapat
berbuat seperti ini. Tak pernah ada catatan warga baru dapat melakukan
tindak kekerasan terhadap seniornya. Akan tetapi, bagaimana Dita dapat
memberikan pembelaan diri, ia memulai kesalahan, ia telah bertindak
melampuai batas ketersinggungan. Dan Relina dengan sangat yakin
memintanya untuk menebus kesalahan.
Relina mengira Dita akan membalasnya
dengan sebuah gamparan, ia telah bersiap bagi segala kemungkinan. Akan
tetapi, Dita hanya merunduk, ia bersimpuh, terisak, kemudian berlalu
pergi meninggalkan kamar. Relina tak pernah bertanya-tanya kemana Dita
pergi, ia memang tak harus bertanya.
Gadis itu meraih kembali buku harian yang
telah ia letakkan dengan ceroboh di atas meja. Ia selalu menulis
catatan sehari-hari dalam kesendirian kemudian mengunci buku ini di
dalam laci. Akan tetapi, manusia tetap saja lengah, ia tergesa turun ke
ruang tamu bagi sebuah panggilan dari seorang teman kuliah. Ia terlupa
pada buku pribadi itu, akhirnya dengan lancang Dita membacanya. Apa yang
telah diketahui oleh gadis itu? Dita terlalu lancang!
Relina memutuskan pergi ke Malioboro
untuk membuang kejengkelan, kemudian ia pergi mengelilingi kota tanpa
tujuan pasti dan kembali pada larut malam setelah Dita pergi dan suasana
kamar menjadi sunyi. Sekali lagi ia harus kembali dicengkeram dengan
perasaan yang bernama kebencian! Relina mengira Dita akan melaporkan
kejadian ini pada pengurus asrama, ia akan mendapatkan teguran sekaligus
peringatan. Akan tetapi, ternyata tak ada seorangpun di asrama yang
tahu perihal insiden yang terjadi di dalam kamar beberapa jam sebelum
Dita pergi KKN. Untuk sementara dinding-dinding asrama terbungkam.
Relina memerlukan beberapa hari untuk menenangkan diri ia harus kembali
berkonsentrasi dengan tugas-tugas kuliah dan kegiatan rutin asrama yang
tak pernah putus dari bulan ke bulan.
Selama tiga bulan Dita tenggelam dalam
kesibukan KKN, ia tak pernah kembali ke asrama. Ketika KKN berakhir dan
gadis itu berpulang ke tempat semula, Relina tengah mengikuti kuliah
lapangan di Lampung, mereka tak pernah bersua. Dita masih merasa gamang
dengan insiden yang terjadi antara ia dan Re, ia bersumpah tak akan
menceritakan kejadian ini kepada siapapun, karena cerita itu hanya akan
mentertawakan ketololannya.
Akhirnya ketika Relina kembali dari
kuliah lapangan, ia tertegun. Gadis itu mendapati kamar Dita dalam
keadaan kosong, tak ada selembar benangpun yang tersisa pada meja,
pembaringan, almari serta dinding di sudut ruangannya. Apa yang telah
berlaku? Kemana Dita berada? Relina tak lama mengalami keheranan, karena
Soraya segera datang. “Maaf Re, ada pesan dari mbak Dita, ia pamit
mendadak. Sepulang dari KKN ayah Mas Firman meninggal, permintaan
terakhir sebelum kematian itu adalah pernikahan bagi Firman, anak
tunggalknya. Sebab itu Mbak Dita menikah mendadak di depan jenazah, ada
undangan lisan dan ada undangan resmi. Beberapa orang warga datang
mewakili. Setelah menikah, praktis warga harus meninggalkan asrama, Mas
Firman hanya tunggu wisuda, ia mendapatkan pekerjaan di Tangerang, mbak
Dita ikut serta. Ia hanya tinggal menyelesaikan skripsi dan bisa
dikerjakan melalui konsultasi. Sekarang mbak Dita ada di Tangerang, ia
tak dapat menghubungimu, karena tidak tahu nomor telepon mana yang bisa
dihubungi untuk berpamit denganmu”.
Kata-kata itu singkat dan cepat, tetapi
bagi Re, makna kalimat itu telah berubah seakan mimpi. Saat terakhir
bertemu dengan Dita adalah ketika ia melayangkan tangan dengan keras
tepat pada belahan pipinya, ia tak berpikir panjang akan dampak dari
perbuatannya, ia emosional, ia kehilangan kontrol. Tiga bulan berpisah
dengan Dita pada masa KKN ternyata juga tak pernah meredakan
kemarahannya, ia tetap membayangkan wajah Dita dengan kebencian meletup
pada puncaknya. Kini, orang yang dibencinya berpamit pergi tanpa sepatah
kata, karena kesibukan masing-masing. Relina tak pernah tahu, apakah
suatu saat ia akan dapat bersua dengan Dita? Adakah ia akan tetap
membencinya?
Masih terngiang di telinga Relina
kata-kata Dita, “....lebih baik engkau terjaga menghadapi kenyataan
betapapun buruknya dari pada tertidur dan bermimpi betapapun
indahnya....” mulut yang merangkai kata-kata indah itu kini telah ikut
pula berlalu pergi bersama sang pribadi. Relina merasa napasnya sesak,
kehidupan berubah dengan cepat seperi pusaran angin beliung.
“Re, kau dengar kata-kataku?” Soraya
tampak keheranan, ia tak tahu dan tak akan pernah tahu, pikiran berat
yang tengah berkecamuk di dalam pikiran Relina.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar