…. karena “mereka”
adalah bagian dari “kita” ---
Betapa menakjubkan
sesungguhnya Nusantara, gugusan beribu pulau yang berserakan di atas luas biru
samudera seakan untaian zamrud khatulitiswa. Aneka budaya dengan beragam adat
yang berbeda --adalah suatu strategi pertahanan hidup yang berpotensi secara
langsung membangun karakter dan melahirkan pemimpin. Seorang pemimpin akan
menginspirasi serta mengubah kehidupan orang-orang di sekitarnya menjadi lebih
baik. Bahwa satu adat isti adat dari satu suku bangsa selalu berbeda dengan
suku bangsa yang lain adalah suatu kelaziman, bahwa satu gaya kepemimpinan dari
satu lingkungan kebudayaan selalu tidak sama dengan lingkungan kebudayaan yang
lain adalah kearifan. Karakter dan perilaku adalah hasil adaptasi manusia
dengan lingkungan yang berkolaborasi secara permanen, bertanggung jawab
langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat.
Maka setiap individu selalu merasa menjadi bagian dari individu yang lain untuk
bersama-sama membangun komunitas menjadi lebih baik.
Betapa menakjubkan
andai keberagaman, perbedaan antar budaya, suku, ras, agama, dan golongan
menjadi suatu kekuatan yang bersinergi secara permanen dalam kehidupan
demokrasi serta bernegara. Indonesia akan memiliki sumber daya, ruang, dan
waktu tak berbatas untuk membangun negara menuju masyarakat sejahtera yang
menyebabkan satu individu dari adat isti adat yang berbeda selalu menjadi
bagian dari komunitas yang lain, tanpa syarat. Kebersamaan mendorong pemerataan
untuk setiap individu dalam mendapatkan hak serta kebebasan bersuara
--demokrasi.
Demokrasi tengah
menempuh perjalanan panjang yang belum diketahui dimana ujungnya, setelah lebih
tiga dekade kebebasan bersuara hanya mimpi. Kini impian itu bahkan menjadi surealis
–melebihi harapan dan kenyataan yang sebenarnya. Media sosial yang pada
prinsipnya berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan ide-ide yang
menginspirasi, dalam waktu yang relative singkat berubah menjadi sarana untuk
melampiaskan kesumat dendam dan kebencian, karena perbedaan ras, suku, agama,
dan golongan --karena “mereka” bukan
“kita”. Jarak meregang tak terukur, karena keberagaman dan perbedaan. Lembaga
keagamaan yang mutlak memiliki masa yang seharusnya berfungsi menata hubungan
manusia dengan Tuhan, perlahan tetapi pasti melebarkan sayap kewenangan,
menjadi kekuatan politik yang mematikan. Demokrasi menjunjung kebebasan
bersuara, dengan konsekuensi yang sangat berat, merelakan pemenang, santun
terhadap kekalahan. Kursi sang pemenang mutlak hanya satu, tak mungkin tiga
kontestan akan menduduki kursi yang sama dalam ruang dan waktu yang sama pula.
Demokrasi harus selalu siap dengan pahit kekalahan.
Benarkah pelaku
demokrasi siap dengan kekalahan?
Dalam beberapa kasus
sang pemenang tidak mendapatkan setangkai kembang, akan tetapi caci maki di
luar batas kewajaran, pergerakan masa di luar persangkaan, bahkan fitnah yang
terlalu keji. Suatu penolakan terhadap
kekalahan yang tidak mencerminkan betapa adat isti adat setiap etnis di
Nusantara tidak memiliki kaidah nilai yang serupa itu. Kebudayaan mengajarkan
kesantunan, membangun perilaku untuk tetap bersikap baik dalam kekalahan
sekalipun. Keberanian peserta kompetisi adalah menanggung kekalahan dan tetap
diam. Relakan sang pemenang mengerjakan kewajiban, menerima hak sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Demonstrasi bukanlah kesalahan sebagai salah satu cara
bersuara dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, akan tetapi demonstrasi
yang anarkis dengan caci maki, perlu dipertanyakan kembali kebenarannya.
Memberikan rasa hormat kepada orang lain bahkan kepada pemimpin tinggi bukan
kekeliruan. Tugas pembangunan suatu bangsa bukan semata menjadi beban para
pemenang pesta demokrasi beserta seluruh jajarannya, akan tetapi menjadi
tanggung jawab setiap pelaku kebudayaan pada masing-masing komunitas, tanpa
kecuali.
Apakah kita akan
selamanya diam?
Sebagai bagian dari
komunitas yang mengaku berbudaya adi luhung setiap individu pada prinsipnya berkewajiban
menjunjung tinggi demokrasi, memiliki keberanian menanggung kekalahan,
sekaligus bersikap santun. Bahwa sesiapapun yang menghirup udara bebas pada
negeri ini adalah bagian dari kita, memiliki hak untuk selalu mendapatkan rasa
hormat tanpa membedakan suku, ras, agama, dan golongan. Tak seorangpun dapat
memilih mau terlahir dari ibu serta kebudayaan yang mana? Satu hal yang terjadi pada diri manusia adalah takdir
hidup yang tidak bisa dipilih, kecuali dijalani dengan keinginan bagi sebuah cita-cita. Manusia hanya
pelaku, siapapun dan apapun keputusan dalam menjalani hidup, “mereka” adalah
bagian dari “kita”. “Mereka” dan “kita” akan dapat menjadi bagian siapapun
andai setiap individu memiliki kesadaran dengan segala kerendahan hati untuk
memangkas jarak –melupakan segala perbedaan, suku, ras, agama, dan golongan. Kesepakatan
untuk memberikan rasa hormat kepada “mereka”
mutlak, atau seluruh ruang, waktu, tenaga serta pikiran akan terkuras untuk hal
yang tidak perlu terjadi –melampiaskan kesumat dendam secara anarkis, karena
perbedaan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar