Suasana bersahaja segera meruap ketika seorang
pengunjung melangkahkan kaki di teras pasar kemudian membaur pada riuh
suasana Beringharjo. Aneka kuliner dengan harga sangat terjangkau
ditawarkan pedagang dengan ramah, gudeg, pecel, cendol, camilan khas
Yogya, dan es teller. Pada langkah berikutnya pengunjung akan segera
menyatu dengan kesibukan pasar dalam menawarkan aneka motif batik dan
tekstil, jual beli berlanjut sepanjang hari hingga pasar tertutup pada
sore hari.
Harga batik dan tekstil relatif murah bila dibandingkan dengan
harga di toko atau mall, karena pajak yang rendah. Beragam corak batik
yang indah dan mengesankan memberi kemungkinan kepada pembeli untuk
memilih dengan harga terjangkau. Helain kain, selendang, hem, rok,
sprei, sarung bantal. Tak jauh dari tempat penjualan batik, tampak
pedagang menawarkan buah-buahan, makanan kering khas Yogya. Seorang yang
semula hanya berniat melihat-lihat, tanpa niat membeli akhirnya
perpancing juga untuk berbelanja, karena motif batik yang indah. Di
Lantai atas tersedia aneka kebutuhan hidup yang telah ditata sedemikian
rupa, sehingga pengunjung bisa menentukan langkah, kemana hendak menuju
dengan menghemat waktu dan tenaga. Segala kebutuhan hidup seakan
tersedia di tempat ini, pasar yag terletak di jantung kota, satu
rangkaian simbolis dengan filosofi Kraton Yogya.
Keberadaan pasar bagian pilar dalam "catur tunggal", yakni
Keraton, Alun-Alun Utara, Pasar Beringharjo, dan Masjid Keraton. Catur
Tunggal adalah pola tata kerajaan yang sejak awal keberadaan keraton
telah digunakan untuk menjalankan roda kehidupan kerajaan. Beringharjo
menghidupi seisi kerajaan. Pasar Beringharjo didirikan pada tahun yang
sama saat pendirian kerajaan, tepatnya tahun 1758. Pasar Beringharjo
memiliki nilai sejarah tinggi bagi kerajaan kasultanan. Pasar ini
didirikan pada tahun yang sama saat pendirian kerajaan. Tepatnya tahun
1758.
Semula kawasan pasar hutan belantara yang, akan tetapi karena
posisi penataan pilar catur tunggal tersebut, maka dibuka hutan sebagai
lahan kepentingan roda perekonomian, fasilitas warga masyarakat
melakukan jual beli. Pohon beringin subur berdiri dengan daun yang
rindang meneduhi pedagang dan pembeli dalam melakukan transaksi. Tahun
1925, Sri Sultan HB IX membangun pasar menjadi bangunan permanen, bukan
sekedar transaksi dagang di bawah rindang pohon beringin. Saat
peresmian, Sri Sultan HB IX memberi nama "Pasar Beringharjo". "Bering"
berarti pohon beringin dan "harjo" berarti sejahtera. Adalah suatu
harapan, bahwa pohon beringin yang meneduhi penjual dan pembeli dalam
melakuka transaksi akan memberikan kesejahteraan dari tahun ke tahun
hingga beberapa kali dipugar dan akhirnya menjadi seperti sekarang ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar