Senin, 10 Juni 2019

PASAR BERINGHARJO, YOGYAKARTA

 
  




Suasana bersahaja segera meruap ketika seorang pengunjung melangkahkan kaki di teras pasar kemudian membaur pada riuh suasana Beringharjo. Aneka kuliner dengan harga sangat terjangkau ditawarkan pedagang dengan ramah, gudeg, pecel, cendol, camilan khas Yogya, dan es teller. Pada langkah berikutnya pengunjung akan segera menyatu dengan kesibukan pasar dalam menawarkan aneka motif batik dan tekstil, jual beli berlanjut sepanjang hari hingga pasar tertutup pada sore hari.
Harga batik dan tekstil relatif murah bila dibandingkan dengan harga di toko atau mall,  karena pajak yang rendah. Beragam corak batik yang indah dan mengesankan memberi kemungkinan kepada pembeli untuk memilih dengan harga terjangkau. Helain kain, selendang, hem, rok, sprei, sarung bantal. Tak jauh dari tempat penjualan batik, tampak pedagang menawarkan buah-buahan, makanan kering khas Yogya. Seorang yang semula hanya berniat melihat-lihat, tanpa niat membeli akhirnya perpancing juga untuk berbelanja, karena motif batik yang indah. Di Lantai atas tersedia aneka kebutuhan hidup yang telah ditata sedemikian rupa, sehingga pengunjung bisa menentukan langkah, kemana hendak menuju dengan menghemat waktu dan tenaga. Segala kebutuhan hidup seakan tersedia di tempat ini, pasar  yag terletak di jantung kota, satu rangkaian simbolis dengan filosofi Kraton Yogya.
Keberadaan pasar bagian pilar dalam "catur tunggal", yakni Keraton, Alun-Alun Utara,  Pasar Beringharjo, dan Masjid Keraton. Catur Tunggal adalah pola tata kerajaan yang sejak awal keberadaan keraton telah digunakan untuk menjalankan roda kehidupan kerajaan. Beringharjo menghidupi seisi kerajaan. Pasar Beringharjo  didirikan pada tahun yang sama saat pendirian kerajaan, tepatnya tahun 1758. Pasar Beringharjo memiliki nilai sejarah tinggi bagi kerajaan kasultanan. Pasar ini didirikan pada tahun yang sama saat pendirian kerajaan. Tepatnya tahun 1758.
Semula kawasan pasar hutan belantara yang, akan tetapi karena posisi penataan pilar catur tunggal tersebut, maka dibuka hutan sebagai lahan kepentingan roda perekonomian,  fasilitas warga masyarakat melakukan jual beli. Pohon beringin subur berdiri dengan daun yang rindang meneduhi pedagang dan pembeli dalam melakukan transaksi. Tahun 1925, Sri Sultan HB IX membangun pasar menjadi bangunan permanen, bukan sekedar transaksi dagang di bawah rindang pohon beringin. Saat peresmian, Sri Sultan HB IX memberi nama "Pasar Beringharjo". "Bering" berarti pohon beringin dan "harjo" berarti sejahtera. Adalah suatu harapan, bahwa pohon beringin yang meneduhi penjual dan pembeli dalam melakuka transaksi akan memberikan kesejahteraan dari tahun ke tahun hingga beberapa kali dipugar dan akhirnya menjadi seperti sekarang ini.

                                                                                     ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...