Senin, 10 Juni 2019

MONUMEN MANDALA MAKASSAR

 






“Setia hingga akhir di dalam keyakinan ....” Walter Robert Monginsidi,
5 September 1949.


Beberapa jengkal setelah langkah kaki melewati pintu Monumen Mandala, suasana tiba-tiba berubah, hiruk pikuk lalu lintas kota menghilang, yang terpampang kini sejarah pada masa berpuluh bahkan beratus tahun silam, sebelum dan  dua dekade kemudian ketika bangsa ini menyatakan kemerdekaan. Tak terbilang jumlah pahlawan dikenal maupun tak dikenal gugur berlumuran darah bagi sebuah pembebasan. Saya tak sempat membidikkan kamera, terlarut dalam catatan demi catatan serta  diorama, ialah adegan sejarah yang memberi pembelajaran tentang proses panjang perjuangan suatu bangsa untuk berdiri dan berdaulat. Ada yang bergetar di dalam hati ketika kaki terus melangkah dari satu diorama ke diorama yang lain.
Monumen Mandala terletak di Jl. Jendral Sudirman, dengan luas lahan satu hektar, sekitar 500 meter dari Lapangan Karebosi. Tanggal  11 Januari 1994 Menko Polkam Soesilo Sudarman meletakkan batu pertama, tanggal 19 Desember 1995 Presiden Soharto bertandang ke Makassar untuk meresmikan monumen bersejarah ini.  Makassar adalah markas bagi pasukan pembebasan Irian Barat, maka di kota inilah monumen didirkan. Bangunan ini berbentuk segitiga sama sisi dengan menara menjulang 75 meter dari atas permukaan tanah. Segi tiga menggambarkan Trikora --Tiga Komando Rakyat, pada bagian bawah dan atas bangunan terdapat relief berbentuk kobaran api menandakan semangat juang Trikora. Pada lantai pertama terdapat 12 diorama, menggambarkan perang rakyat Makassar melawan penjajahan Belanda  hingga peristiwa Andi Azis. Pada lantai kedua terdapat diorama yang menggambarkan perjuangan pembebasan Irian Barat --yang kini menjadi Papua Belanda masih menguasai Irian Barat. 
Segala perundingan yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda dalam rangka membebaskan Irin Barat, kandas tanpa hasil, maka pada Desember 1961 Presiden Soekarno mencetuskan Trikora di alun-alun utara Yogyakarta, menggunakan kekuatan militer. Soekarno mengangkat Mayor Jendral Soeharto sebagai panglima serta komando Mandala dengan memikul tugas merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat ke Indonesia dengan berbagai peralatan militer dari Uni Soviet.
Monumen adalah sejarah yang dihadirkan secara eksklusif dan mengesankan, sehingga generasi penerus yang hidup kemudian dapat sejenak menoleh ke belakang dan menyadari dari mana sebenarnya kehidupan hari ini berasal. Bahwa kebebasan yang diperoleh bukan semata-mata jatuh dari langit, akan tetapi dari perjuangan, kerja keras, serta tumpahan darah para pendahulu. Pendahulu yang dikenal seperti Sultan Hasanudin, namanya tetap abadi menjadi nama bandar udara, universitas, dan jalan raya
Satu hal yang sungguh mengesankan adalah saya mendapatkan kembali kalimat yang diucapkan Walter Robert Monginsidi, beberapa saat sebelum hukuman mati dijatuhkan, adalah kata-kata yang hapal dari catatan sejarah ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Pun Monginsidi lahir di Malalayang – Manado, putra dari Petrus Monginsidi dan Lina Suawa memulai pendidikan di  HIS dan MULO kemudian dididik sebagai guru bahasa Jepang, mengajar bahasa Jepang di Minahasa dan Luwuk kemudian ke Makassar. Monginsidi berada di Makassar ketika Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi Belanda mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II. Monginsidi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar. Pada 17 Juli 1946 Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan rekan-rekannya membentuk Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia Sulawesi, ditangkap Belanda pada Februari 1947, tetapi berhasil membebaskan diri pada 27 Oktober 1947 Belanda menangkapnya kembali, kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati pada 5 September 1949, akan tetapi  hukuman mati tak menggoyahkan Monginsidi akan keyakinan suatu bangsa yang merdeka.  Kata-kata terakhir yang diucapkan sebelum kematian itu adalah Setia hingga akhir di dalam keyakinan ....”
Walter Robert Monginsidi adalah satu dari sekian banyak pemuda yang merelakan diri gugur dengan tragis dan menyakitkan di usia belia untuk suatu cita-cita luhur, kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pada hari Pahlawan 10 November 1950 jasad Monginsidi dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Makassar. Adakah kalimat terakhir yang diucapkan pemuda muda belia menjelang hukuman mati itu akan berakhir dengan sia-sia? Pemerintah Indonesia akhirnya dapat berdiri dan berdaulat mencapai kemerdekaan, hal itu berarti bahwa hukuman mati itu tidak menyurutkan Monginsidi-Monginsidi yang lain akan keyakinannya. Akan tetapi Soekarno pernah berucap, “Perjunganku sulit, karena berperang melawan   bangsa asing, tetapi perjuanganmu lebih sulit, karena melawan bangsamu sendiri”.
Adakah Monumen Mandala berdiri dengan sia-sia? Pada kunjungan kali ini kami, 26 orang peserta Diklat Pim III Angkatan I dari Kabupaten Asmat di LAN Makassar mengadakan wisata sejarah untuk sejenak menoleh ke belakang, menggali kembali perjuangan yang terjadi di masa lampau. Masing-masing peserta pasti memiliki persepsi yang berbeda dengan sudut pandang dan pengalaman yang berbeda pula. Saya sejenak seakan tercabut dari rutinitas hari-hari dengan jadwal yang ketat, berpulang pada suatu masa yang tak akan pernah dapat daya kunjungi kemudian terhanyut dalam situasi teramat kritis ketika setiap orang bahkan rela mati untuk mencapai satu kata “merdeka!”. Kami, generasi yang hidup pada masa ini tinggal memetiknya, menggali kemudian menerapkan apa sejatinya yang mesti dikerjakan setiap warga negara di era kemerdekaan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...