“Setia hingga akhir di dalam keyakinan ....” Walter Robert Monginsidi,
5 September 1949.
Beberapa jengkal setelah langkah kaki melewati pintu Monumen
Mandala, suasana tiba-tiba berubah, hiruk pikuk lalu lintas kota
menghilang, yang terpampang kini sejarah pada masa berpuluh bahkan
beratus tahun silam, sebelum dan dua dekade kemudian ketika bangsa ini
menyatakan kemerdekaan. Tak terbilang jumlah pahlawan dikenal maupun tak
dikenal gugur berlumuran darah bagi sebuah pembebasan. Saya tak sempat
membidikkan kamera, terlarut dalam catatan demi catatan serta diorama,
ialah adegan sejarah yang memberi pembelajaran tentang proses panjang
perjuangan suatu bangsa untuk berdiri dan berdaulat. Ada yang bergetar
di dalam hati ketika kaki terus melangkah dari satu diorama ke diorama
yang lain.
Monumen Mandala terletak di Jl. Jendral Sudirman, dengan luas
lahan satu hektar, sekitar 500 meter dari Lapangan Karebosi. Tanggal 11
Januari 1994 Menko Polkam Soesilo Sudarman meletakkan batu pertama,
tanggal 19 Desember 1995 Presiden Soharto bertandang ke Makassar untuk
meresmikan monumen bersejarah ini. Makassar adalah markas bagi pasukan
pembebasan Irian Barat, maka di kota inilah monumen didirkan. Bangunan
ini berbentuk segitiga sama sisi dengan menara menjulang 75 meter dari
atas permukaan tanah. Segi tiga menggambarkan Trikora --Tiga Komando
Rakyat, pada bagian bawah dan atas bangunan terdapat relief berbentuk
kobaran api menandakan semangat juang Trikora. Pada lantai pertama
terdapat 12 diorama, menggambarkan perang rakyat Makassar melawan
penjajahan Belanda hingga peristiwa Andi Azis. Pada lantai kedua
terdapat diorama yang menggambarkan perjuangan pembebasan Irian Barat
--yang kini menjadi Papua Belanda masih menguasai Irian Barat.
Segala perundingan yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan
pihak Belanda dalam rangka membebaskan Irin Barat, kandas tanpa hasil,
maka pada Desember 1961 Presiden Soekarno mencetuskan Trikora di
alun-alun utara Yogyakarta, menggunakan kekuatan militer. Soekarno
mengangkat Mayor Jendral Soeharto sebagai panglima serta komando Mandala
dengan memikul tugas merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan
operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat ke Indonesia dengan
berbagai peralatan militer dari Uni Soviet.
Monumen adalah sejarah yang dihadirkan secara eksklusif dan
mengesankan, sehingga generasi penerus yang hidup kemudian dapat sejenak
menoleh ke belakang dan menyadari dari mana sebenarnya kehidupan hari
ini berasal. Bahwa kebebasan yang diperoleh bukan semata-mata jatuh dari
langit, akan tetapi dari perjuangan, kerja keras, serta tumpahan darah
para pendahulu. Pendahulu yang dikenal seperti Sultan Hasanudin, namanya
tetap abadi menjadi nama bandar udara, universitas, dan jalan raya
Satu hal yang sungguh mengesankan adalah saya mendapatkan
kembali kalimat yang diucapkan Walter Robert Monginsidi, beberapa saat
sebelum hukuman mati dijatuhkan, adalah kata-kata yang hapal dari
catatan sejarah ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.
Pun Monginsidi lahir di Malalayang – Manado, putra dari Petrus
Monginsidi dan Lina Suawa memulai pendidikan di HIS dan MULO kemudian
dididik sebagai guru bahasa Jepang, mengajar bahasa Jepang di Minahasa
dan Luwuk kemudian ke Makassar. Monginsidi berada di Makassar ketika
Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi
Belanda mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya
Perang Dunia II. Monginsidi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di
Makassar. Pada 17 Juli 1946 Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan
rekan-rekannya membentuk Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia Sulawesi,
ditangkap Belanda pada Februari 1947, tetapi berhasil membebaskan diri
pada 27 Oktober 1947 Belanda menangkapnya kembali, kali ini Belanda
menjatuhkan hukuman mati pada 5 September 1949, akan tetapi hukuman
mati tak menggoyahkan Monginsidi akan keyakinan suatu bangsa yang
merdeka. Kata-kata terakhir yang diucapkan sebelum kematian itu adalah “Setia hingga akhir di dalam keyakinan ....”
Walter Robert Monginsidi adalah satu dari sekian banyak pemuda
yang merelakan diri gugur dengan tragis dan menyakitkan di usia belia
untuk suatu cita-cita luhur, kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pada hari
Pahlawan 10 November 1950 jasad Monginsidi dimakamkan kembali di Taman
Makam Pahlawan Makassar. Adakah kalimat terakhir yang diucapkan pemuda
muda belia menjelang hukuman mati itu akan berakhir dengan sia-sia?
Pemerintah Indonesia akhirnya dapat berdiri dan berdaulat mencapai
kemerdekaan, hal itu berarti bahwa hukuman mati itu tidak menyurutkan
Monginsidi-Monginsidi yang lain akan keyakinannya. Akan tetapi Soekarno
pernah berucap, “Perjunganku sulit, karena berperang melawan bangsa asing, tetapi perjuanganmu lebih sulit, karena melawan bangsamu sendiri”.
Adakah Monumen Mandala berdiri dengan sia-sia? Pada kunjungan
kali ini kami, 26 orang peserta Diklat Pim III Angkatan I dari Kabupaten
Asmat di LAN Makassar mengadakan wisata sejarah untuk sejenak menoleh
ke belakang, menggali kembali perjuangan yang terjadi di masa lampau.
Masing-masing peserta pasti memiliki persepsi yang berbeda dengan sudut
pandang dan pengalaman yang berbeda pula. Saya sejenak seakan tercabut
dari rutinitas hari-hari dengan jadwal yang ketat, berpulang pada suatu
masa yang tak akan pernah dapat daya kunjungi kemudian terhanyut dalam
situasi teramat kritis ketika setiap orang bahkan rela mati untuk
mencapai satu kata “merdeka!”. Kami, generasi yang hidup pada masa ini
tinggal memetiknya, menggali kemudian menerapkan apa sejatinya yang
mesti dikerjakan setiap warga negara di era kemerdekaan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar