Rabu, 12 Juni 2019

MEMANGKAS JARAK





…. karena “mereka” adalah bagian dari “kita” ---

Betapa menakjubkan sesungguhnya Nusantara, gugusan beribu pulau yang berserakan di atas luas biru samudera seakan untaian zamrud khatulitiswa. Aneka budaya dengan beragam adat yang berbeda --adalah suatu strategi pertahanan hidup yang berpotensi secara langsung membangun karakter dan melahirkan pemimpin. Seorang pemimpin akan menginspirasi serta mengubah kehidupan orang-orang di sekitarnya menjadi lebih baik. Bahwa satu adat isti adat dari satu suku bangsa selalu berbeda dengan suku bangsa yang lain adalah suatu kelaziman, bahwa satu gaya kepemimpinan dari satu lingkungan kebudayaan selalu tidak sama dengan lingkungan kebudayaan yang lain adalah kearifan. Karakter dan perilaku adalah hasil adaptasi manusia dengan lingkungan yang berkolaborasi secara permanen, bertanggung jawab langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Maka setiap individu selalu merasa menjadi bagian dari individu yang lain untuk bersama-sama membangun komunitas menjadi lebih baik.
Betapa menakjubkan andai keberagaman, perbedaan antar budaya, suku, ras, agama, dan golongan menjadi suatu kekuatan yang bersinergi secara permanen dalam kehidupan demokrasi serta bernegara. Indonesia akan memiliki sumber daya, ruang, dan waktu tak berbatas untuk membangun negara menuju masyarakat sejahtera yang menyebabkan satu individu dari adat isti adat yang berbeda selalu menjadi bagian dari komunitas yang lain, tanpa syarat. Kebersamaan mendorong pemerataan untuk setiap individu dalam mendapatkan hak serta kebebasan bersuara --demokrasi.
Demokrasi tengah menempuh perjalanan panjang yang belum diketahui dimana ujungnya, setelah lebih tiga dekade kebebasan bersuara hanya mimpi. Kini impian itu bahkan menjadi surealis –melebihi harapan dan kenyataan yang sebenarnya. Media sosial yang pada prinsipnya berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan ide-ide yang menginspirasi, dalam waktu yang relative singkat berubah menjadi sarana untuk melampiaskan kesumat dendam dan kebencian, karena perbedaan ras, suku, agama, dan golongan  --karena “mereka” bukan “kita”. Jarak meregang tak terukur, karena keberagaman dan perbedaan. Lembaga keagamaan yang mutlak memiliki masa yang seharusnya berfungsi menata hubungan manusia dengan Tuhan, perlahan tetapi pasti melebarkan sayap kewenangan, menjadi kekuatan politik yang mematikan. Demokrasi menjunjung kebebasan bersuara, dengan konsekuensi yang sangat berat, merelakan pemenang, santun terhadap kekalahan. Kursi sang pemenang mutlak hanya satu, tak mungkin tiga kontestan akan menduduki kursi yang sama dalam ruang dan waktu yang sama pula. Demokrasi harus selalu siap dengan pahit kekalahan.
Benarkah pelaku demokrasi siap dengan kekalahan?
Dalam beberapa kasus sang pemenang tidak mendapatkan setangkai kembang, akan tetapi caci maki di luar batas kewajaran, pergerakan masa di luar persangkaan, bahkan fitnah yang terlalu  keji. Suatu penolakan terhadap kekalahan yang tidak mencerminkan betapa adat isti adat setiap etnis di Nusantara tidak memiliki kaidah nilai yang serupa itu. Kebudayaan mengajarkan kesantunan, membangun perilaku untuk tetap bersikap baik dalam kekalahan sekalipun. Keberanian peserta kompetisi adalah menanggung kekalahan dan tetap diam. Relakan sang pemenang mengerjakan kewajiban, menerima hak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Demonstrasi bukanlah kesalahan sebagai salah satu cara bersuara dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, akan tetapi demonstrasi yang anarkis dengan caci maki, perlu dipertanyakan kembali kebenarannya. Memberikan rasa hormat kepada orang lain bahkan kepada pemimpin tinggi bukan kekeliruan. Tugas pembangunan suatu bangsa bukan semata menjadi beban para pemenang pesta demokrasi beserta seluruh jajarannya, akan tetapi menjadi tanggung jawab setiap pelaku kebudayaan pada masing-masing komunitas, tanpa kecuali.
Apakah kita akan selamanya diam?
Sebagai bagian dari komunitas yang mengaku berbudaya adi luhung setiap individu pada prinsipnya berkewajiban menjunjung tinggi demokrasi, memiliki keberanian menanggung kekalahan, sekaligus bersikap santun. Bahwa sesiapapun yang menghirup udara bebas pada negeri ini adalah bagian dari kita, memiliki hak untuk selalu mendapatkan rasa hormat tanpa membedakan suku, ras, agama, dan golongan. Tak seorangpun dapat memilih mau terlahir dari ibu serta kebudayaan yang mana? Satu hal  yang terjadi pada diri manusia adalah takdir hidup yang tidak bisa dipilih, kecuali dijalani dengan  keinginan bagi sebuah cita-cita. Manusia hanya pelaku, siapapun dan apapun keputusan dalam menjalani hidup, “mereka” adalah bagian dari “kita”. “Mereka” dan “kita” akan dapat menjadi bagian siapapun andai setiap individu memiliki kesadaran dengan segala kerendahan hati untuk memangkas jarak –melupakan segala perbedaan, suku, ras, agama, dan golongan. Kesepakatan untuk memberikan rasa hormat  kepada “mereka” mutlak, atau seluruh ruang, waktu, tenaga serta pikiran akan terkuras untuk hal yang tidak perlu terjadi –melampiaskan kesumat dendam secara anarkis, karena perbedaan. 



                                           ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...